JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
PERMASALAHAN POKOK PENDIDIKAN DI INDONESIA
a. Pemerataan Pendidikan
ANALISIS
Pemerataan pendidikan di indonesia masih jauh dari kelayakan masih banyak pendidikan
di indonesia yang tidak merata misalnya dari jumlah gedeng sekolah,guru dan fasilitas yang ada
kesenjangan atara di kota dan di desa.
b. Kuantitas
Jadi dapat disimpulkan, permasalahan kuantitas ini timbul apabila masih banyak
warga negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat ditampung di dalam sistem atau
lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia. Pada masa
awalnya, permasalahan kuantitas ini telah dinyatakan dalam UU No.4 Tahun 1950 sebagai
dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada Bab XI Pasal 17berbunyi:
“Tiap-tiap warga negara Republik Indonesia mempunyai hak yang sama untuk
diterima menjadi murid suatu sekolah jika syarat-syarat yang sama diterapkan untuk
pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu dipenuhi.”
Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab VI, Pasal 10 Ayat 1
menyatakan: “Semua anak yang sudah berumur 6 tahun telah berhak dan yang sudah berumur
8 tahun diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya. Ayat 2 menambahkan:
“Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari menteri agama dianggap
telah memenuhi kewajiban belajar.” Landasan yuridis kuantitas pendidikan tersebut penting
sekali, karena sebagai landasan pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan guna mengejar
ketinggalan kita akibat penjajahan.
Di bawah ini merupakan kondisi pemetaan pendidikan anak usia 13 – 15 tahun pada tahun
2004 secara umum:
1) Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP adalah sebesar 77,4% dan Angka Partisipasi Murni
(APM) nya sebesar 59.18%. Sehingga anak usia 13 – 15 tahun yang belum tertampung
pada tahun 2004 adalah sebesar 22,56% atau sebanyak 2.9 juta anak dari 12.775.026 anak.
2) Data lapangan juga menunjukkan fakta tentang menurunnya kemampuan orang tua
siswa terutama dari kelas bawah dalam membiayaipendidikan.
3) Masuknya anak usia sekolah pada berbagai lapangan kerja dan terpaksa putussekolah.
4) Pada daerah-daerah sulit dan terpencil pelayanan pendidikan masih sangat kurang,dan
lemahnya kondisi ekonomi sebagian warga masyarakat mengkibatkan anak anak mereka
kurang mendapat kesempatan pendidikan. (Kebijakan Direktorat Pendidikan Lanjutan
Pertama, Depdiknas Tahun2004)
Oleh karena itu, dengan melihat tujuan yang terkandung di dalam upaya pemerataan
pendidikan tersebut yaitu menyiapkan masyarakat untuk menyiapkan masyarakat untuk dapat
berpartisipasi dalam pembangunan, maka setelah pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan
terpenuhi, mulai diperhatikan juga upaya pemerataan kualitas/mutu pendidikan. Hal ini akan
dibicarakan pada butir tentang masalah kualitas/mutu pendidikan.
Khusus untuk pendidikan formal atau pendidikan persekolahan yang berjenjang dan
tiap–tiap jenjang memiliki fungsinya masing–masing maupun kebijakan memperoleh
kesempatan pendidikan pada tiap jenjang itu diatur dengan memperhitungkan faktor-faktor
kuantitatif dan kualitatif serta relevansi yang selalu ditentukan proyeksinya secara terus
menerus dengan seksama.
khususnya pada tingkat SD. Dalam Pelita IV, titik berat diletakkan pada peningkatan mutu
dan perluasan pendidikan dasar serta perluasan kesempatan belajar pada tingkat pendidikan
menengah (Tap MPR RI No. II/MPR/1983), kemudian pada Pelita V titik berat pembangunan
pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan serta
perluasan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan menengah dalam rangka perluasan
wajib belajar untuk pendidikan menengah tingkat pertama (Tap MPR RI No. II/MPR/1988).
Banyak macam pemecahan masalah yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah
untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
langkah-langkah ditempuh melalui cara konvensional dan cara inovatif.
Cara konvensional antara lain:
b. Menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore).
Cara inovatif antaralain:
a) Sistem pamong (pendidikan oleh orang tua, masyarakat, dan guru) atau Inpacts
system (Instructionar Management by parent, community and teacher). Sistem
tersebut dirintis di solo dan didiseminasikan ke beberapaprovinsi.
b) SD kecil pada daerahterpencil.
c) Sistem GuruKunjung.
ANALISIS
c. Kualitas (MutuPendidikan)
Kualitas sama halnya dengan memiliki mutu dan bobot. Jadi pendidikan yang
berkualitas yaitu pelaksanaan pendidikan yang dapat menghsilkan tenaga profesional sesuai
dengan kebutuhan negara dan bangsa pada saat ini. Sejalan dengan proses pemerataan
pendidikan, peningkatan kualitas untuk setiap jenjang pendidikan melalui persekolahan juga
dilaksanakan. Peningkatan kualitas ini diarahkan kepada peningkatan kualitas masukan dan
lulusan, proses, guru, sarana dan prasarana, dan anggaran yang digunakan untuk menjalankan
pendidikan.
Kualitas pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf
seperti yang diharapkan. Penetapan kualitas hasil pendidikan pertama dilakukan oleh
lembaga penghasil sebagai produsen tenaga terhadap calon keluaran, dengan sistem
sertifikasi. Selanjutnya jika keluaran tersebut terjun ke lapangan kerja penilaian dilakukan
oleh lembaga pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja (performance
test).
Jadi kualitas pendidikan pada akhirnya dilihat pada kualitas keluarannya. Jika tujuan
pendidikan nasional dijadikan kriteria, maka pertanyaannya adalah: Apakah keluaran dari
suatu sistem pendidikan menjadikan pribadi yang bertakwa, mandiri dan berkarya, anggota
masyarakat yang social dan bertanggung jawab, warga negara yang cinta kepada tanah air
dan memiliki rasa kesetiakawanan sosial.
Meskipun disadari bahwa pada hakikatnya produk dengan ciri-ciri seperti itu tidak
semata-rnata hasil dari sistem pendidikan sendiri. Tetapi jika terhadap produk seperti itu
sistem pendidikan dianggap rnempunyai andil yang cukup, yang tetap menjadi persoalan
ialah bahwa cara pengukuran kualitas/mutu produk tersebut tidak mudah. Berhubung dengan
sulitnya pengukuran terhadap produk tersebut maka jika orang berbicara tentang
kualitas/rnutu pendidikan, umumnya hanya mengasosiasikan dengan hasil belajar yang
dikenal sebagai hasil UAS, UN, atau hasil-hasil Try Out, SNMPTN/SBMPTN, karena ini
yang rnudah diukur. Hasil UAS dan lain-lain tersebut itu dipandang sebagai gambaran
tentang hasilpendidikan.
Padahal hasil belajar yang berkualitas hanya mungkin dicapai melalui proses belajar
yang berkualitas. Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil
belajar yang berkualitas. Jika terjadi belajar yang ridak optimal menghasilkan skor hasil ujian
yang baik maka hampir dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut adalah ‘semu’. Ini
berarti bahwa pokok permasalahan kualitas/mutu pendidikan lebih terletak pada masalah
pemrosesan pendidikan.
Meskipun untuk tiap-tiap jenis dan jenjang pendidikan memiliki kekhususan, namun
pada dasarnya pemecahan masarah mutu pendidikan bersasaran pada perbaikan kualitas
1. Seleksi yang lebih rasional terhadap masukan mentah, khususnya untuk SLTA danPT.
5. Penyempumaan sarana berajar seperti buku paket, media pembelajaran dan peralatan
laboratorium.
6. Peningkatan administrasi manajemen khususnya yang mengenaianggaran.
ANALISIS
Padahal hasil belajar yang berkualitas hanya mungkin dicapai melalui proses belajar
yang berkualitas. Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil
belajar yang berkualitas. Jika terjadi belajar yang ridak optimal menghasilkan skor hasil ujian
yang baik maka hampir dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut adalah ‘semu’. Ini
berarti bahwa pokok permasalahan kualitas/mutu pendidikan lebih terletak pada masalah
pemrosesan pendidikan yang berkaitan dengan penyediaan fasilitas dan juga kualitas gurunya
semakin lengkap fasilitas suatu sekolah maka proses pembelajaran akan optimal,sedangkan
dengan kualitas gurunya jika guru mampu menguasai kelas dengan baik maka dia mampu
menciptakan proses belajar yang optimal.
d. Efisiensi
Penggunaan sarana dan prasarana yang tidak efisien bisa terjadi antara lain
sebagai akibat kurang matangnya perencanaan dan sering juga karena perubahan
kurikulum. Contoh gejala tidak adanya efisiensi dalam penggunaan sarana dan
prasarana:
2. Bila terdapat kurikulum baru, maka pemerintah harus secepat mungkin berkoordinasi
dengan pelaksana di lapangan (Tenaga Pendidik), untuk menjelaskan sedetail-detailnya
tentang kurikulum itu agar tidak menganggu jalannyapendidikan.
ANALISIS
sering menganti kurikulum k 13 padahal yang ini belum maksimal pelaksanaannya tapi sudah
diganti lagi sehingga membuat guru kebingungan.
e. Efektivitas
Masalah efektivitas ini berkenaan dengan hubungan antara hasil pendidikan yang
dicapai dengan tujuan/sasaran pendidikan yang diharapkan yang tidak sesuai, atau dapat pula
dikatakan perbandingan keduanya. Hal yang dibandingkan dapat berupa jumlah dan mutu.
Oleh karena itu masalah efektivitas pendidikan dapat dibedakan dalam dua macam yaitu:
a) Jumlah tamatan yang dihasilkan tidak sesuai dengan jumlah tamatan yang diharapkan.
Perbandingan antara keduanya itu biasanya dinyatakan dengan persentase. Dengan
kata lain, tingkat efektivitas sistem pendidikan dinyatakan dalam persentase. Misalnya
tingkat efektivitas SMP di Indonesia tahun ajaran 1982/1983 adalah sebesar kurang
lebih 85%, sedangkan tingkat efektivitas SMA di Indonesia untuk tahun ajaran
1982/1983 adalah kurang lebih 83%. Apabila sasaran pendidikan SMP dan SMA
adalah 100%, maka sistem pendidikan SMP dan SMA termasuk kurangefektif.
b) Kualitas/mutu pendidikan yang rendah (Mutu tamatan yang dihasilkan tidak sesuai
dengan mutu tamatan yang diharapkan). Salah satu kriteria yang dapat dijadikan
indikator atau petunjuk tenntang mutu pendidikan adalah tingkat serap, yaitu
perbandingan antara hasil belajar yang dicapaidengan hasil belajar yang diharapkan.
Tingkat serap dinyatakan dalam persentase. Contoh: Berdasarkan hasil TESMAS
tahun ajaran 1981/1982 dapat diketahui tingkat serap rata-rata siswa SMP adalah
57,7%, sedangkan tingkat serap siswa SMA untuk jurusan IPA adalah 59,5%, jurusan
IPS adalah 51,7%, dan jurusan bahasa 43,9%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
serap siswa belum mencapai tingkat serap yang diharapkan yaitu sebesar 75%.
Artinya, tingkat serap siswa masih kurang memadai, dengan demikian kualitas/mutu
pendidikan SMP/SMA masih kurang. Lain dari pada itu kualitas/mutu pendidikan
dapat pula dilihat dari prestasi kerja yang dicapai, meskipun hal ini sangat sulit
ditelusuri, karena prestasi kerja tidak tergantung semata-mata kepada hasil belajar di
sekolah.
mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Melainkan akan menghasilkan lulusan yang
tidak diharapkan. Keadaan ini akan menghasilkan masalah lain seperti pengangguran.
Dengan dilakukannya peningkatan kualitas tenaga pengajar. Jika kualitas tenaga pengajar
baik, bukan tidak mungkin akan meghasilkan lulusan atau produk pendidikan yang siap untuk
menghadapi dunia kerja dengan cara setiap yang sudah menyelesaikan S1 maka di sarankan
mengikuti kuliah keprofesian untuk menampah kempuan mengajar nantinya.
f. Relevansi
Relevansi artinya persesuaian antara hasil pendidikan yang dicapai terhadap keutuhan
tenaga kerja. Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat
menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
ini, yang biasa disebut sebagai “yang tergelincir dari sistem pendidikan nasional” ternyata
kemudian masuk ke dunia kerja.
a) Ketidak sesuaian antara jumlah tamatan dengan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan.
Kedua-duanya menimbulkan masalah. Kelebihan tamatan dapat menimbulkan
pengangguran, dan kekurangan dapat menimbulkan kemacetan dalam pembangunan.
Angkatan kerja yang tidak terserap dalam dunia kerja saat ini sebagian besar tamatan
pendidikan menengah. Hal ini antara lain berhubungan dengan tingkat keterampilan
yang kurang pada mereka, dan juga arus tamatan pendidikan menengah yang tidak
terserap di pendidikan tinggi masih cukupbesar.
b) Ketidak sesuaian keahlian tamatan dengan keahlian yang dibutuhkan dalam
masyarakat untuk berbagai sektor. Ketidak sesuaian ini dapat berkenaan dengan
kemampuan-kemampuan dasar yang diperlukan atau kecakapan-kecakapan teknis
dalam melaksanakan sesuatu jenispekerjaan.
ANALISIS
Relevansi artinya persesuaian antara hasil pendidikan yang dicapai terhadap keutuhan tenaga
kerja. Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat
menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Pemecahan masalah
relevansi pendidikan ini salah satunya meningkatkan kualitas tenaga pengajar di Indonesia.
Karena dibanding negara berkembang lainnya, maka kualitas tenaga pengajar pendidikan di
mengusai perkembangan teknologi masih banyak guru-guru yang belum bisa membuat media
pembelajaran yang baik dan menarik karna tidak memiliki kempuan atau pengetahuan
tentangitu.
a) Pendidik bukan berasal dari lulusan yang sesuai. Maksudnya terkadang terdapat
tenaga pendidik yang mengajar tidak sesuai dengan jurusannya. Contoh, pendidik
yang merupakan lulusan metematika mengajar bahasa Indonesia. Hal ini secara tidak
langsung akan menjadi masalah pendidikan di Indonesia. Padahal dalam PP NO.19
tahun 2005 tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan pasal 28 ayat 2,
dijelaskan bahwa pendidik harus sesuai dengan ijazah dan sertifikat keahlian yang
relevan dengan perundang-undangan yangberlaku.
b) Pendidik kurang menguasai dari 4 kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik
maupun tenaga kependidikan sehingga hal ini menyebabkan adanya masalah kualitas
pendidik dan tenaga kependidikan yang kurang baik. Dalam UU RI No.14 Tahun
2005 pasal 8 ayat dijelaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi yang salah satu
diantaranya kompetensi, dan diperjelas dalam pasal 10 ayat 1 yang berbunyi:
“kompetensi guru sebagai mana dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogic,
kepribadian, sosial dan professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.”
Selain itu juga dijelaskan dalam PP No.19 Tahun 2005 pasal 28 ayat 3 mengenai
kompetensi yang harus dimiliki olehpendidik.
c) Pendidik terkadang menjadikan mengajar hanya untuk menggugurkan kewajiban
sebagai pendidik, sehingga dia mengajar secara tidak maksimal. Hal ini tidak sesuai
dengan PP No. 19 Tahun 2005 pasal 28 ayat 3 yang seharusnya pendidik memiliki
kompetensi professional, yang mengharuskan pendidik wajib bertanggung jawab
dengan tugas dan pembinaan terhadap pesertadidik.
d) Pendidik belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat. Fenomena itu
ditandai dari rendahnya mutu lulusan, penyelesaian masalah pendidikan yang tidak
tuntas, bahkan lebih berorintasi proyek. Akibatnya, seringkali hasil pendidikan
mengecewakan masyarakat. Mereka terus mempertanyakan relevansi pendidikan
dengan kebutuhan masyarakat dalam dinamika kehidupan ekonomi, politik , sosial,
danbudaya.
e) Pendidik mengajar tidak sesuai dengan silabus sehingga target dari tujuan
pembelajaran tidak sepenuhnya tercapai. Hal ini tidak sesuai dengan kompetensi
pedagogic yang harus dimiliki oleh guru sesuai dengan PP No.19 Tahun 2005Pasal
28 ayat 3 yang berbunyi “Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: Kompetensi
pedagogic, Kompetensi kepribadian, Kompetensi professional dan Kompetensi
sosial.”
f) Masih banyak pendidik yang belum memenuhi ketentuan sesuai dengan PP No. 19
tahun 2005 seperti pengajar di tingkat SD/MI minimal berijazah S1/D4. Tapi dalam
kenyataan di masyarakat masih terdapat pendidik yang belum berijazah D4 atau
dengan kata lain masihD3.
g) Tenaga kependidikan biasanya masih berasal dari tenaga pendidik yang merangkap
tugas menjadi tenaga kependidikan seperti guru merangkap menjadi tenaga
administrasi atau tenaga perpustakaan.
ANALISIS
Masih banyak permasalahan yang dihadapi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan misalkan
Meningkatkan kualitas hidup ekonomi tenaga pendidik, karena seperti kita ketahui
jabatan tenaga pendidik terutama guru adalah jabatan yang paling tidak disenangi di
dalam