Anda di halaman 1dari 17

RESUME

DASAR-DASAR ILMU PENDIDIKAN

“PERMASALAHAN POKOK PENDIDIKAN DI INDONESIA”

NAMA : ELVIRA HENDINI


NIM 18033048
PRODI : PENDIDIKAN FISIKA
DOSEN : Dra. Hj. IZZATI, M. Pd

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
PERMASALAHAN POKOK PENDIDIKAN DI INDONESIA

a. Pemerataan Pendidikan

Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaimana system pendidikan dapat


menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk memperoleh
pendidikan, sehinggga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia
untuk menunjang pembangunan.
Pada masa awalnya, di tanah air kita pemerataan pendidikan telah dinyatakan di dalam Undang
– Undang No. 4 Tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dengan pengajaran di sekolah.
Pada Bab XI, pasal 17 berbunyi :
“ Tiap-tiap warga negara RI mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi murid suatu
sekolah jika syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu
terpenuhi”
Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab VI, pasal 10 ayat 1, menyatakan :
“ Semua anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang berumur 8 tahun diwajibkan
belajar disekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya”
Ayat 2 menyatakan :
“ Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari menteri agama dianggap telah
memnuhi kewajiban belajar “.
Pemecahan masalah pemerataan pendidikan ditempuh dengan 2 cara, yaitu :
1. Cara Konvensional
a. Membangun gedung sekolah seperti SD Inpers atau ruangan belajar.
b. Menggunakan gedung sekolah untuk double shift ( pagi dan sore ).
2. Cara Inovatif
a. Sistem pamong atau inpact system ( pendidikan oleh masyarakat, orang tua, dan guru ).
Sistem tersebut dirintis di Solo dan diseminasikan ke beberapa provinsi.
b. SD kecil pada daerah terpencil
c. Sistem guru kunjung
d. SMP terbuka
e. Kejar paket A dan B
f. Belajar jarak jauh, seperti Universitas terbuka
Contohnya :
Seorang siswa tidak di terima atau tidak di izinkan untuk sekolah di luar daerah, hanya boleh
sekolah di sekitar daerah tersebut. Tetapi sekarang sudah diatasi oleh pemerintah siapapun dan
dimanapun setiap orang boleh sekolah asalkan dia mampu bersaing.

ANALISIS

Pemerataan pendidikan di indonesia masih jauh dari kelayakan masih banyak pendidikan
di indonesia yang tidak merata misalnya dari jumlah gedeng sekolah,guru dan fasilitas yang ada
kesenjangan atara di kota dan di desa.

b. Kuantitas

Permasalahan kuantitas bekaitan dengan banyak murid yang harus di ditampung


didalam system pendidikan atau sekolah.Permasalahan kuantitas dapat terjadi karena kurang
tergorganisirnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bahkan
hingga daerah terpencil sekalipun. Hal ini menyebabkan terputusnya komunikasi antara
pemerintah pusat dengan daerah.

Jadi dapat disimpulkan, permasalahan kuantitas ini timbul apabila masih banyak
warga negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat ditampung di dalam sistem atau
lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia. Pada masa
awalnya, permasalahan kuantitas ini telah dinyatakan dalam UU No.4 Tahun 1950 sebagai
dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada Bab XI Pasal 17berbunyi:

“Tiap-tiap warga negara Republik Indonesia mempunyai hak yang sama untuk
diterima menjadi murid suatu sekolah jika syarat-syarat yang sama diterapkan untuk
pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu dipenuhi.”

Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab VI, Pasal 10 Ayat 1
menyatakan: “Semua anak yang sudah berumur 6 tahun telah berhak dan yang sudah berumur
8 tahun diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya. Ayat 2 menambahkan:
“Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari menteri agama dianggap
telah memenuhi kewajiban belajar.” Landasan yuridis kuantitas pendidikan tersebut penting
sekali, karena sebagai landasan pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan guna mengejar
ketinggalan kita akibat penjajahan.

Masalah pemerataan memperoleh pendidikan dipandang penting anak-anak usia


sekolah memperoleh kesempatan belajar pada SD, maka mereka memilki bekal dasar berupa
kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sehingga mereka dapat mengikuti
perkembangan kemajuan melalui berbagai media massa dan sumber berajar yang tersedia
baik mereka itu nantinya berperan sebagai produsen maupun konsumen. Dengan demikian
mereka tidak terbelakang dan menjadi penghambat derap pembangunan.

Di bawah ini merupakan kondisi pemetaan pendidikan anak usia 13 – 15 tahun pada tahun
2004 secara umum:
1) Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP adalah sebesar 77,4% dan Angka Partisipasi Murni
(APM) nya sebesar 59.18%. Sehingga anak usia 13 – 15 tahun yang belum tertampung
pada tahun 2004 adalah sebesar 22,56% atau sebanyak 2.9 juta anak dari 12.775.026 anak.
2) Data lapangan juga menunjukkan fakta tentang menurunnya kemampuan orang tua
siswa terutama dari kelas bawah dalam membiayaipendidikan.
3) Masuknya anak usia sekolah pada berbagai lapangan kerja dan terpaksa putussekolah.

4) Pada daerah-daerah sulit dan terpencil pelayanan pendidikan masih sangat kurang,dan
lemahnya kondisi ekonomi sebagian warga masyarakat mengkibatkan anak anak mereka
kurang mendapat kesempatan pendidikan. (Kebijakan Direktorat Pendidikan Lanjutan
Pertama, Depdiknas Tahun2004)

Oleh karena itu, dengan melihat tujuan yang terkandung di dalam upaya pemerataan
pendidikan tersebut yaitu menyiapkan masyarakat untuk menyiapkan masyarakat untuk dapat
berpartisipasi dalam pembangunan, maka setelah pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan
terpenuhi, mulai diperhatikan juga upaya pemerataan kualitas/mutu pendidikan. Hal ini akan
dibicarakan pada butir tentang masalah kualitas/mutu pendidikan.

Khusus untuk pendidikan formal atau pendidikan persekolahan yang berjenjang dan
tiap–tiap jenjang memiliki fungsinya masing–masing maupun kebijakan memperoleh
kesempatan pendidikan pada tiap jenjang itu diatur dengan memperhitungkan faktor-faktor
kuantitatif dan kualitatif serta relevansi yang selalu ditentukan proyeksinya secara terus
menerus dengan seksama.

Pada jenjang pendidikan dasar, kebijaksanaan penyediaan memperoleh kesempatan


pendidikan didasarkan atas pertimbangan faktor kuantitatif, karena kepada seluruh warga
negara perlu diberikan bekal dasar yang sama. Sedangkan pada jenjang pendidikan menengah
terutama pendidikan tinggi, kebijakan pemerataan didasarkan atas pertimbangan kualitatif
dan relevansi, yaitu minat dan kemampuan anak, keperluan tenaga kerja, dan keperluan
pengembangan masyarakat, kebudayaan danIPTEK.
Perkembangan upaya pemerataan pendidikan berlangsung terus menerus dari pelita ke
pelita. Dari Pelita III sampai dengan Pelita V landasannya sudah dipancang dalam Tap MPR
dan ketetapan lainnya. Dalam Pelita III, titik berat diletakkan pada perluasan pendidikan

khususnya pada tingkat SD. Dalam Pelita IV, titik berat diletakkan pada peningkatan mutu
dan perluasan pendidikan dasar serta perluasan kesempatan belajar pada tingkat pendidikan
menengah (Tap MPR RI No. II/MPR/1983), kemudian pada Pelita V titik berat pembangunan
pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan serta
perluasan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan menengah dalam rangka perluasan
wajib belajar untuk pendidikan menengah tingkat pertama (Tap MPR RI No. II/MPR/1988).

Khusus melalui jalur pendidikan luar sekolah, usaha pemerataan pendidikan


mengalami perkembangan pesat. Ada dua faktor yang menunjang yaitu perkembangan
IPTEK yang menawarkan berbagai macam alternatif, dan dianutnya konsep pendidikan
sepanjang hidup yang tidak membatasi pendidikan hanya sampai usia tertentu dan tidak
terbatas hanya pada penyediaan sekolah. Perkembangan IPTEK menawarkan beraneka ragam
alternatif model pendidikan yang dapat memperluas pelayanan kesempatan belajar. Dilihat
dari segi waktu belajarnya bervariasi mulai dari beberapa jam, hari, minggu, bulan bulan,
sampai tahunan; melalui proses tatap muka, melalui media massa ataupun jarak jau; isinya
dapat berupa paket terbatas ataupun sejumlah paket; sumber belajarnya manusia, barang
cetak/elektronik, sampai pada lingkunganalam.

Pemecahan Permasalahan Kuantitas Pendidikan

Banyak macam pemecahan masalah yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah
untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
langkah-langkah ditempuh melalui cara konvensional dan cara inovatif.
Cara konvensional antara lain:

a. Membangun gedung sekolah seperti SD Inpres dan atau ruanganbelajar.

b. Menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore).
Cara inovatif antaralain:
a) Sistem pamong (pendidikan oleh orang tua, masyarakat, dan guru) atau Inpacts
system (Instructionar Management by parent, community and teacher). Sistem
tersebut dirintis di solo dan didiseminasikan ke beberapaprovinsi.
b) SD kecil pada daerahterpencil.
c) Sistem GuruKunjung.

d) SMP Terbuka (ISOSA - In School Out off School Approach),

e) Kejar Paket A danB.

f) Belajar Jarak Jauh, seperti UniversitasTerbuka.

ANALISIS

Permasalahan kuantitas adalah persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat


menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk
memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber
daya manusia untuk menunjang pembangunan nasional.Pada kenyataannya sekarang sistem
pendidikan tidak sepenuhnya menyediakan kesampatan yang luas bagi masyarakat,banyak
yang kita lihat misalnya masih banyak anak-anak bangsa yang masih putus sekolah karna
tidak mempunyai biaya,memang ada bantuan tapi tidak tepat sasaran.Kadang mereka tak
berdaya mereka harus banting tulang agar bisa menghidupi keluarganya oleh karena itu
mereka tidaknbersekolah karna kekurangan biaya.

c. Kualitas (MutuPendidikan)

Tentang persoalan kualitas sudah terlalu sering dinyatakan bagaimana rendahnya


kualitas pendidikan di negeri ini dibanding dengan negara negara se-ASEAN sekalipun.
Tentang persoalan kualitas sudah sering dikomunikasikan bahwa menurut “Human
Development Indexs Report 1999”, kualitas pendidikan Indonesia berada pada urutan ke 105
(dari kurang lebih 180 negara), jauh di bawah Singapura (22), Brunei Darussalam (25),
Malaysia (56) Thailand (67), Filipina (77), dan bahkan Srilanka (90). Laporan itu
menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia memang relatif rendah.

Kualitas sama halnya dengan memiliki mutu dan bobot. Jadi pendidikan yang
berkualitas yaitu pelaksanaan pendidikan yang dapat menghsilkan tenaga profesional sesuai
dengan kebutuhan negara dan bangsa pada saat ini. Sejalan dengan proses pemerataan
pendidikan, peningkatan kualitas untuk setiap jenjang pendidikan melalui persekolahan juga
dilaksanakan. Peningkatan kualitas ini diarahkan kepada peningkatan kualitas masukan dan
lulusan, proses, guru, sarana dan prasarana, dan anggaran yang digunakan untuk menjalankan
pendidikan.
Kualitas pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf
seperti yang diharapkan. Penetapan kualitas hasil pendidikan pertama dilakukan oleh
lembaga penghasil sebagai produsen tenaga terhadap calon keluaran, dengan sistem
sertifikasi. Selanjutnya jika keluaran tersebut terjun ke lapangan kerja penilaian dilakukan
oleh lembaga pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja (performance
test).

Jadi kualitas pendidikan pada akhirnya dilihat pada kualitas keluarannya. Jika tujuan
pendidikan nasional dijadikan kriteria, maka pertanyaannya adalah: Apakah keluaran dari
suatu sistem pendidikan menjadikan pribadi yang bertakwa, mandiri dan berkarya, anggota
masyarakat yang social dan bertanggung jawab, warga negara yang cinta kepada tanah air
dan memiliki rasa kesetiakawanan sosial.

Meskipun disadari bahwa pada hakikatnya produk dengan ciri-ciri seperti itu tidak
semata-rnata hasil dari sistem pendidikan sendiri. Tetapi jika terhadap produk seperti itu
sistem pendidikan dianggap rnempunyai andil yang cukup, yang tetap menjadi persoalan
ialah bahwa cara pengukuran kualitas/mutu produk tersebut tidak mudah. Berhubung dengan
sulitnya pengukuran terhadap produk tersebut maka jika orang berbicara tentang
kualitas/rnutu pendidikan, umumnya hanya mengasosiasikan dengan hasil belajar yang
dikenal sebagai hasil UAS, UN, atau hasil-hasil Try Out, SNMPTN/SBMPTN, karena ini
yang rnudah diukur. Hasil UAS dan lain-lain tersebut itu dipandang sebagai gambaran
tentang hasilpendidikan.

Padahal hasil belajar yang berkualitas hanya mungkin dicapai melalui proses belajar
yang berkualitas. Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil
belajar yang berkualitas. Jika terjadi belajar yang ridak optimal menghasilkan skor hasil ujian
yang baik maka hampir dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut adalah ‘semu’. Ini
berarti bahwa pokok permasalahan kualitas/mutu pendidikan lebih terletak pada masalah
pemrosesan pendidikan.

Masalah kualitas pendidikan juga mencakup masalah pemerataan kualitas/mutu, Di


dalam Tap MPR RI 1988 tentang GBHN dinyarakan bahwa titik berat pembangunan
pendidikan diletakkan pada peningkatan kualitas/mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan,
dan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan khususnya untuk memacu penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi perlu lebih disempurnakan dan ditingkatkan pengajaran ilmu
pengetahuan alam dan matematika. (BP-7 Pusat. l989: 68). Umumnya kondisi kualitas
pendidikan di seluruh tanah air menunjukkan bahwa di daerah pedesaan utamanya di daerah
terpencil lebih rendah daripada di daerah perkotaan.

Pemecahan Masalah Kualitas Pendidikan

Meskipun untuk tiap-tiap jenis dan jenjang pendidikan memiliki kekhususan, namun
pada dasarnya pemecahan masarah mutu pendidikan bersasaran pada perbaikan kualitas

komponen pendidikan (utamanya komponen rnasukan mentah untuk jenjang pendidikan


menengah dan tinggi, dan komponen masukan instrumental) serta mobilitas komponen-
komponen tersebut.
Upaya pemecahan masalah mutu pendidikan daram garis besarnya meliputi hal-hal
yang bersifat fisik dan perangkat lunak, personalia, dan manajemen sebagai berikut:

1. Seleksi yang lebih rasional terhadap masukan mentah, khususnya untuk SLTA danPT.

2. Pengembangan kemampuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut, misalnya berupa


pelatihan, penataran, seminar, kegiatan-kegiatan kelompok studi seperti PKG dan lain-
lain.
3. Penyempurnaan kurikulum, misalnya dengan memberi materi yang lebih esensial dan
mengandung, muatan lokal, metode yang menantang dan mengairahkan belajar, dan
melaksanakan evaluasi yang ber-acuan,PAP.
4. Pengembangan prasarana yang menciptakan lingkungan yang tentram untukbelajar.

5. Penyempumaan sarana berajar seperti buku paket, media pembelajaran dan peralatan
laboratorium.
6. Peningkatan administrasi manajemen khususnya yang mengenaianggaran.

7. Kegiatan pengendalian mutu yang berupa kegiatan-kegiatan:

 Laporan penyelenggaraan pendidikan oleh semua lembagapendidikan.

 Supervisi dan Monitoring pendidikan dan penilik danpengawas.

 Sistem ujian nasional / Negara seperti UAS, UN, atauSNMPTN.

 Akreditasi terhadap lembaga pendidikan untuk menetapkan status suatulembaga.


ANALISIS

Padahal hasil belajar yang berkualitas hanya mungkin dicapai melalui proses belajar
yang berkualitas. Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil
belajar yang berkualitas. Jika terjadi belajar yang ridak optimal menghasilkan skor hasil ujian
yang baik maka hampir dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut adalah ‘semu’. Ini
berarti bahwa pokok permasalahan kualitas/mutu pendidikan lebih terletak pada masalah
pemrosesan pendidikan yang berkaitan dengan penyediaan fasilitas dan juga kualitas gurunya
semakin lengkap fasilitas suatu sekolah maka proses pembelajaran akan optimal,sedangkan
dengan kualitas gurunya jika guru mampu menguasai kelas dengan baik maka dia mampu
menciptakan proses belajar yang optimal.
d. Efisiensi

Permasalahan efisiensi pendidikan dipandang dari segi internal pendidikan. Maksud


efisiensi adalah apabila sasaran dalam bidang pendidikan dapat dicapai secara efisien atau
berdaya guna. Artinya pendidikan akan dapat memberikan hasil yang baik dengan tidak
menghamburkan sumberdaya yang ada, seperti uang, waktu, tenaga dan sebagainya.

Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikan


mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika
penggunaannya hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiennya tinggi. Jika terjadi yang
sebaliknya, efisiensinya berarti rendah.

Beberapa masalah efisiensi pendidikan yang penting ialah:

a) Bagaimana tenaga kependidikan difungsikan. Meliputi: pengangkatan, penempatan,


dan pengembangantenaga.
 Masalah Pengangkatan terletak pada kesenjangan antara stok tenaga yang
tersedia dengan jatah pengangkatan yang sangat terbatas. Sebab tenaga
kependidikan khususnya guru bila tidak difungsikan, ia tidak siap untuk
berwirausaha.
 Masalah penempatan guru, khususnya guru bidang penempatan studi sering
mengalami kepincangan(tidak disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan) dan
penempatan guru wanita. Misalnya di suatu sekolah guru bahasa harus mengajar
IPA yang di luar kewenangannya karena guru bahasa di sekolah itu sudah cukup
atau bahkan sudah kelebihan. Gejala tersebut membawa ketidakefisienan dalam
memfungsikan tenaga guru.
 Masalah pengembangan tenaga kependidikan di lapangan, biasanya terlambat
khususnya pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Karena setiap
pembaruan kurikulum menuntut adanya penyesuaian dari para pelaksana di
lapangan.
b) Bagaimana sarana dan prasarana pendidikandifungsikan.

Penggunaan sarana dan prasarana yang tidak efisien bisa terjadi antara lain
sebagai akibat kurang matangnya perencanaan dan sering juga karena perubahan
kurikulum. Contoh gejala tidak adanya efisiensi dalam penggunaan sarana dan
prasarana:

 Banyak gedung Inpres (yang mulai dilancarkan pembangunannya pada akhir


Pelita II) dibangun pada lokasi yang tidak tepat, akibatnya banyak SD yang
kekurangan murid atau yang ruang belajarnya kosong. Jika kondisi ini terjadi
pada banyak kabupaten dan provinsi, maka terjadinya pemborosan tidak
terelakkan. Sebab bangunan tidak dapat dipindahkan, lagi pula daya tahannya
punterbatas.
 Diadakannya dan didistribusikannya sarana pembelajaran tanpa dibarengi
dengan pembekalan kemampuan, sikap dan keterampilan calon pemakai,
ataupun tanpa dilandasi oleh konsep yangjelas.
c) Bagaimana pendidikan diselenggarakan.

d) Masalah efisiensi dalam memfungsikantenaga.

Pemecahan Masalah Efiensi Pendidikan

1. Tenaga pendidik harus benar-benar difungsikan dengan mengangkat dan menempatkan


mereka memang pada bidang studi yang dikuasainya, agar tenaga pendidik merasa
nyaman dengan bidang studi tersebut dan pelajaran yang diberikan tenaga pendidik
tersebut dapat tersampaikan dengan baik kepadapelajar.

2. Bila terdapat kurikulum baru, maka pemerintah harus secepat mungkin berkoordinasi
dengan pelaksana di lapangan (Tenaga Pendidik), untuk menjelaskan sedetail-detailnya
tentang kurikulum itu agar tidak menganggu jalannyapendidikan.

3. Memberikan bantuan sarana dan prasarana pada sekolah-sekolah yang memang


membutuhkan, agar sarana dan prasarana tersebut memang termanfaatkan denganbaik.

ANALISIS

Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikan


mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika
penggunaannya hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiennya tinggi. Jika terjadi yang
sebaliknya, efisiensinya berarti rendah. Bila terdapat kurikulum baru, maka pemerintah harus
secepat mungkin berkoordinasi dengan pelaksana di lapangan (Tenaga Pendidik), untuk
menjelaskan sedetail-detailnya tentang kurikulum itu agar tidak menganggu jalannya
pendidikan.Pada kenyataannya setiap ada kurikulum baru para guru kebingungan cara
penilaianyang harus dilakukan ,pelaksanaan pembelajaran yang harus dilaksanakan.Indonesia

sering menganti kurikulum k 13 padahal yang ini belum maksimal pelaksanaannya tapi sudah
diganti lagi sehingga membuat guru kebingungan.

e. Efektivitas

Masalah efektivitas ini berkenaan dengan hubungan antara hasil pendidikan yang
dicapai dengan tujuan/sasaran pendidikan yang diharapkan yang tidak sesuai, atau dapat pula
dikatakan perbandingan keduanya. Hal yang dibandingkan dapat berupa jumlah dan mutu.
Oleh karena itu masalah efektivitas pendidikan dapat dibedakan dalam dua macam yaitu:

a) Jumlah tamatan yang dihasilkan tidak sesuai dengan jumlah tamatan yang diharapkan.
Perbandingan antara keduanya itu biasanya dinyatakan dengan persentase. Dengan
kata lain, tingkat efektivitas sistem pendidikan dinyatakan dalam persentase. Misalnya
tingkat efektivitas SMP di Indonesia tahun ajaran 1982/1983 adalah sebesar kurang
lebih 85%, sedangkan tingkat efektivitas SMA di Indonesia untuk tahun ajaran
1982/1983 adalah kurang lebih 83%. Apabila sasaran pendidikan SMP dan SMA
adalah 100%, maka sistem pendidikan SMP dan SMA termasuk kurangefektif.
b) Kualitas/mutu pendidikan yang rendah (Mutu tamatan yang dihasilkan tidak sesuai
dengan mutu tamatan yang diharapkan). Salah satu kriteria yang dapat dijadikan
indikator atau petunjuk tenntang mutu pendidikan adalah tingkat serap, yaitu
perbandingan antara hasil belajar yang dicapaidengan hasil belajar yang diharapkan.
Tingkat serap dinyatakan dalam persentase. Contoh: Berdasarkan hasil TESMAS
tahun ajaran 1981/1982 dapat diketahui tingkat serap rata-rata siswa SMP adalah
57,7%, sedangkan tingkat serap siswa SMA untuk jurusan IPA adalah 59,5%, jurusan
IPS adalah 51,7%, dan jurusan bahasa 43,9%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
serap siswa belum mencapai tingkat serap yang diharapkan yaitu sebesar 75%.
Artinya, tingkat serap siswa masih kurang memadai, dengan demikian kualitas/mutu
pendidikan SMP/SMA masih kurang. Lain dari pada itu kualitas/mutu pendidikan
dapat pula dilihat dari prestasi kerja yang dicapai, meskipun hal ini sangat sulit
ditelusuri, karena prestasi kerja tidak tergantung semata-mata kepada hasil belajar di
sekolah.

Tujuan dari pelaksanaan pendidikan adalah untuk mengembangkan kualitas SDM


sedini mungkin, terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya. Dari tujuan
tersebut, pelaksanaan pendidikan Indonesia menuntut untuk menghasilkan peserta didik yang
memiliki kualitas SDM yang mantap. Ketidakefektifan pelaksanaan pendidikan tidak akan

mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Melainkan akan menghasilkan lulusan yang
tidak diharapkan. Keadaan ini akan menghasilkan masalah lain seperti pengangguran.

Pemecahan Masalah Efektivitas Pendidikan

1. Dengan dilakukannya peningkatan kualitas tenaga pengajar. Jika kualitas tenaga


pengajar baik, bukan tidak mungkin akan meghasilkan lulusan atau produk
pendidikan yang siap untuk menghadapi duniakerja.
2. Dengan pemantauan penggunaan dana pendidikan. Pemantauan penggunaan dana
pendidikan dapat mendukung pelaksanaan pendidikan yang efektif dan efisien.
Kelebihan dana dalam pendidikan lebih mengakibatkan tindak kriminal korupsi
dikalangan pejabatpendidikan.
3. Dengan pelaksanaan pendidikan yang lebih terorganisir dengan baik. Ini juga dapat
meningkatkan efektifitas pendidikan. Pelaksanaan kegiatan pendidikan seperti ini
akan lebih bermanfaat dalam usaha penghematan waktu dantenaga.
ANALISIS

Dengan dilakukannya peningkatan kualitas tenaga pengajar. Jika kualitas tenaga pengajar
baik, bukan tidak mungkin akan meghasilkan lulusan atau produk pendidikan yang siap untuk
menghadapi dunia kerja dengan cara setiap yang sudah menyelesaikan S1 maka di sarankan
mengikuti kuliah keprofesian untuk menampah kempuan mengajar nantinya.

f. Relevansi

Relevansi artinya persesuaian antara hasil pendidikan yang dicapai terhadap keutuhan
tenaga kerja. Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat
menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan.

Persoalan relevansi pendidikan menyangkut bekal pendidikan dalam kaitannya


dengan kepentingan peserta didik untuk (a) melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi atau (b) terjun ke dunia kerja. Sebuah paparan Direktorat PMK, Dikdasmen,
Depdiknas Tahun 2003 menunjukkan bahwa sekitar 22,56% anak usia sekolah SLTP tak
tertampung di sekolah yang ada, dan dalam jumlah yang agak lebih besar (61.85% lulusan
SLTP yang tak tertampung di SMU minus yang ditampung di Sekolah Kejuruan) juga tak
bersekolah. Sementara hampir 75% lulusan SMU tak melanjutkan ke perguran tinggi.Mereka
Indonesia memiliki masalah yang sangat mendasar baik kempuan berbahasa maupun

ini, yang biasa disebut sebagai “yang tergelincir dari sistem pendidikan nasional” ternyata
kemudian masuk ke dunia kerja.

Luaran pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang


beraneka ragam seperti sektor produksi, sektor jasa, dan lain-lain. Sebenarnya kriteria
relevansi seperti dinyatakan tersebut cukup ideal jika dikaitkan dengan kondisi sistem
pendidikan pada umumnya dan gambaran tentang kerjaan yang ada.
Berikut ini adalah masalah-masalah relevansi pendidikan:

a) Ketidak sesuaian antara jumlah tamatan dengan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan.
Kedua-duanya menimbulkan masalah. Kelebihan tamatan dapat menimbulkan
pengangguran, dan kekurangan dapat menimbulkan kemacetan dalam pembangunan.
Angkatan kerja yang tidak terserap dalam dunia kerja saat ini sebagian besar tamatan
pendidikan menengah. Hal ini antara lain berhubungan dengan tingkat keterampilan
yang kurang pada mereka, dan juga arus tamatan pendidikan menengah yang tidak
terserap di pendidikan tinggi masih cukupbesar.
b) Ketidak sesuaian keahlian tamatan dengan keahlian yang dibutuhkan dalam
masyarakat untuk berbagai sektor. Ketidak sesuaian ini dapat berkenaan dengan
kemampuan-kemampuan dasar yang diperlukan atau kecakapan-kecakapan teknis
dalam melaksanakan sesuatu jenispekerjaan.

Pemecahan Masalah Relevansi Pendidikan

1. Meningkatkan kualitas tenaga pengajar di Indonesia. Karena dibanding negara


berkembang lainnya, maka kualitas tenaga pengajar pendidikan di Indonesia
memiliki masalah yang sangatmendasar.
2. Dibutuhkanlah kerja sama antara lembaga pendidikan dengan berbagai organisasi
masyarakat.

ANALISIS

Relevansi artinya persesuaian antara hasil pendidikan yang dicapai terhadap keutuhan tenaga
kerja. Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat
menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Pemecahan masalah
relevansi pendidikan ini salah satunya meningkatkan kualitas tenaga pengajar di Indonesia.
Karena dibanding negara berkembang lainnya, maka kualitas tenaga pengajar pendidikan di
mengusai perkembangan teknologi masih banyak guru-guru yang belum bisa membuat media
pembelajaran yang baik dan menarik karna tidak memiliki kempuan atau pengetahuan
tentangitu.

g. Tenaga Pendidik dan TenagaKependidikan

Beberapa masalah tenaga pendidik dan tenaga kependidikan ialah:

a) Pendidik bukan berasal dari lulusan yang sesuai. Maksudnya terkadang terdapat
tenaga pendidik yang mengajar tidak sesuai dengan jurusannya. Contoh, pendidik
yang merupakan lulusan metematika mengajar bahasa Indonesia. Hal ini secara tidak
langsung akan menjadi masalah pendidikan di Indonesia. Padahal dalam PP NO.19
tahun 2005 tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan pasal 28 ayat 2,
dijelaskan bahwa pendidik harus sesuai dengan ijazah dan sertifikat keahlian yang
relevan dengan perundang-undangan yangberlaku.
b) Pendidik kurang menguasai dari 4 kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik
maupun tenaga kependidikan sehingga hal ini menyebabkan adanya masalah kualitas
pendidik dan tenaga kependidikan yang kurang baik. Dalam UU RI No.14 Tahun
2005 pasal 8 ayat dijelaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi yang salah satu
diantaranya kompetensi, dan diperjelas dalam pasal 10 ayat 1 yang berbunyi:
“kompetensi guru sebagai mana dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogic,
kepribadian, sosial dan professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.”
Selain itu juga dijelaskan dalam PP No.19 Tahun 2005 pasal 28 ayat 3 mengenai
kompetensi yang harus dimiliki olehpendidik.
c) Pendidik terkadang menjadikan mengajar hanya untuk menggugurkan kewajiban
sebagai pendidik, sehingga dia mengajar secara tidak maksimal. Hal ini tidak sesuai
dengan PP No. 19 Tahun 2005 pasal 28 ayat 3 yang seharusnya pendidik memiliki
kompetensi professional, yang mengharuskan pendidik wajib bertanggung jawab
dengan tugas dan pembinaan terhadap pesertadidik.
d) Pendidik belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat. Fenomena itu
ditandai dari rendahnya mutu lulusan, penyelesaian masalah pendidikan yang tidak
tuntas, bahkan lebih berorintasi proyek. Akibatnya, seringkali hasil pendidikan
mengecewakan masyarakat. Mereka terus mempertanyakan relevansi pendidikan
dengan kebutuhan masyarakat dalam dinamika kehidupan ekonomi, politik , sosial,
danbudaya.

e) Pendidik mengajar tidak sesuai dengan silabus sehingga target dari tujuan
pembelajaran tidak sepenuhnya tercapai. Hal ini tidak sesuai dengan kompetensi
pedagogic yang harus dimiliki oleh guru sesuai dengan PP No.19 Tahun 2005Pasal
28 ayat 3 yang berbunyi “Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: Kompetensi
pedagogic, Kompetensi kepribadian, Kompetensi professional dan Kompetensi
sosial.”
f) Masih banyak pendidik yang belum memenuhi ketentuan sesuai dengan PP No. 19
tahun 2005 seperti pengajar di tingkat SD/MI minimal berijazah S1/D4. Tapi dalam
kenyataan di masyarakat masih terdapat pendidik yang belum berijazah D4 atau
dengan kata lain masihD3.
g) Tenaga kependidikan biasanya masih berasal dari tenaga pendidik yang merangkap
tugas menjadi tenaga kependidikan seperti guru merangkap menjadi tenaga
administrasi atau tenaga perpustakaan.

Pemecahan Masalah Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan

1. Menempatkan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan pada bidang studi /


keahliannya masing-masing, agar pengajaran yang diberikannya dapatefektif.
2. Meningkatkan profesionalisme tenaga pendidik. Karena tidak ada gunanya kurikulum
yang bagus apabila tidak tersedia tenaga pendidik yangprofesional.
3. Meningkatkan kualitas hidup ekonomi tenaga pendidik, karena seperti kita ketahui
jabatan tenaga pendidik terutama guru adalah jabatan yang paling tidak disenangi di
dalam masyarakat modern disebabkan karena penghargaan ekonominya relatif sangat
kurang dibandingkan dengan profesi-profesilainnya.
4. Tenaga pendidik dan tenaga kependidikan harus menguasai 4 kompetensi (meliputi
kompetensi pedagogic, kepribadian, sosial dan professional) yang memang harus
dimiliki oleh setiap tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan, agar bisa menjadi
tenaga pendidik dan kependidikan yangberkualitas.

ANALISIS

Masih banyak permasalahan yang dihadapi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan misalkan
Meningkatkan kualitas hidup ekonomi tenaga pendidik, karena seperti kita ketahui
jabatan tenaga pendidik terutama guru adalah jabatan yang paling tidak disenangi di
dalam

masyarakat modern disebabkan karena penghargaan ekonominya relatif sangat kurang


dibandingkan dengan profesi-profesi lainnya.Selain itu ada kesenjangan antara guru honor
dengan guru PNS.Guru honorer ekonominya jauh dari kata layak dikarenakan masih
kecilnya gaji mereka sedang mereka sudah berjuang mencerdasan kehidupan bangsa
seharusnya pemerintah juga memperhatikan itu juga.
DAFTAR PUSTAKA

Mudyahardjo, Redja. 1992. Materi Pokok Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sadulloh, Uyoh. 2011. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta.

Tilaar, H.A.R. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.


Tirtarahardja, Umar. 2008. Pengantar Pendidikan Edisi Revisi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai