Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

Materialisme Kebudayaan, Ekologi, Teknoekonomi,


dan Kebudayaan Masyarakat Sunda

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah wawasan budaya yang diampuh oleh

Bapak Dolot Alhasni Bakung, SH., MH

Disusun

Kelompok 5

Ketua: Magfira Alex Rahim ( 1011419018)


Anggota: Fatmawati Thalib (1011419027)
Yulin Kamumu ( 1011419008)
Rizal A Bobihu (1011419047)
Lukman O. Kadir (1011417181)

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Materialisme Kebudayaan, Ekologi, Teknoekonomi, dan Kebudayaan Masyarakat Sunda”  ini
dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan
oleh Bapak Dolot Alhasni Bakung, SH., MH. Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data
sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan Wawasan Budaya. Tak
lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada pengajar matakuliah Wawasan Budaya atas
bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang
telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam
hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Materialisme Kebudayaan, Ekologi,
Teknoekonomi, dan Kebudayaan Masyarakat Sunda. Memang makalah ini masih jauh dari
sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju
arah yang lebih baik.

Gorontalo, 09 Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................
A. Latar Belakang........................................................................................
B. Rumusan Masalah...................................................................................
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................
D. Manfaat Penulisan...................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................
A. Pengertian Materialisme Kebudayaan.....................................................................................
B. Ekologi Budaya......................................................................................................................
C. Teknoekonomi......................................................................................................................
D. Kebudayaan Masyarakat Sunda............................................................................................
BAB III PENUTUP......................................................................................
A. Kesimpulan.............................................................................................
B. Saran...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

D. Manfaat Penulisan
BAB II
ISI

A. Teori Materialisme Kebudayaan


1. Pengertian
Materialisme adalah salah satu paham yang beranggapan bahwa manusia hidup di
dunia adalah hasil rekayasa materi. Artinya selagi seorang manusia hidup di dunia, dia
sebenarnya hidup di dunia materi. Dia mau hidup, harus makan, dia mau menata sistem
nilai dan budayanya harus menggunakan alat (materi). Materialisme berpandangan
kebudayaan adalah hasil kumpulan pikiran yang dipelajari dan kelakuan yang
diperlihatkan oleh anggota dari kelompok sosial masyarakat, yang diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Pandangan materialisme ini berkaitan dengan hubungan
manusia dengan lingkungannya, oleh Marvin Harris, disebut variabel yang bersifat
empiris dan ini diistilahkan dengan teknoekonomi dan teknolingkungan. Kebudayaan
bukanlah hal-hal yang irasional, yang tidak dapat dimengerti, yang penuh dengan
subjektivitas, tetapi bersifat materiil, dapat jelas dan dapat diukur.
Dalam kaitan ini, kebudayaan didefinisikan sebagai kumpulan pikiran yang dipelajari
dan kelakuan yang diperlihatkan oleh anggota kelompok sosial. Semua ini diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebudayaan terlepas dari faktor hereditas
genetika.
Aspek materiil dari kebudayaan tidaklah dapat dilepaskan dari kajian. lan Hodder
mengungkapkan tiga teori untuk memahami relasi kebudayaan dan materi, yaitu teori
teknologi, marxisme, dan strukturalisme. Pertama, teori teknologi mengungkapkan
bahwa penciptaan kebudayaan materi sebagai simbolisasi terciptanya sebuah
kebudayaan sebagai proses untuk memberikan keuntungan bagi para pencipta
kebudayaan materi dengan seefisien mungkin. Kedua, teori marxis mengungkapkan
bahwa simbel yang terdapat dalam kebudayaan materi merupakan hasil proses dominasi
dari kuasa pihak penguasa dan bersifat dialektik. Ketiga, teori strukturalie
mengungkapkan bahwa kebudayaan materi diciptakan berdasarkan dan pola tertentu
serta mempunyai makna sesuai dengan konteksnya.
Dalam memahami kebudayaan materi ada dua pendekatan yang berbeda. lanHodder
mengungkapkan bahwa pendekatan idealistik sebagai metode untuk memahami
kebudayaan materi. Sementara Marvin Harris mengungkapkan bahwa pendekatan
materialistik merupakan cara untuk memahami kebudayaan materi. Pendekatan idealistik
berusaha mencari keunikan dari kebudayaan materi dan berusaha mencari makna di
balik terciptanya kebudayaan materi melalui simbol-simbol yang tertuang di dalamnya.
Dengan menggunakan interpretasi, sebuah kebudayaan materi mampu diungkap kannya,
misalnya dengan mengungkapkan makna bahasa dengan apa yang disebut Bachtel
sebagai model kognisi.
Pendekatan materialistik berusaha mencari hubungan antara kebudayaan materi dan
perilaku manusia yang pernah membuat, mempergunakan, dan membuangnya.
Pendekatan ini difokuskan pada objek materialnya, konfigurasi, artikulasi, sampai pada
sifat-sifat molekulernya. Ada dua cara untuk memahami pola hubungan kebudayaan
materi dengan perilaku manusianya, yaitu dengan etik dan emik. Mengenai dua cara ini,
Marvin Harris membagi menjadi empat tipe, yaitu emicsofthought, emicsofbehavior,
eticsofbehavior, dan eticsofthought. Marvin Harris juga mengungkapkan bahwa
kebudayaan materi dapat memengaruhi dan dipengaruhi oleh infrastruktur, struktur, dan
superstruktur.
2. Kekurangan dan Kelebihan Teori Materialisme
Salah satu tokoh menyatakan bahwa teori-teori dalam materialism kebudayaan tidak
operasional sehingga teori-teori tersebut tidak dapat diuji. Materialisme kebudayaan
dengan pendekatan perilaku emik hanya dianggap cocok untuk menganalisis masyarakat
berburu dan meramu. Materialisme kebudayaan terlalu mekanis dan deterministik,
karena hanya memusatkan perhatian pada faktor-faktor teknologi dan
lingkungan,sehingga menganggap bahwa individu tidak memainkan peran dalam proses
sosiokultural.
B. Ekologi Budaya (Teknolingkungan)
Kata lingkungan umumnya disama-artikan dengan ciri-ciri atau hal- hal menonjol yang
menandai habitat alami: cuaca, flora dan fauna, tanah, pola hujan, bahkan ada-tidaknya
mineral di bawah tanah. Salah satu kaidah dasar ekologi-budaya adalah pembedaan antara
lingkungan-sebagaimana- adanya dengan lingkungan efektif, yaitu lingkungan sebagaimana
dikonseptualisasikan,dimanfaatkan, dan dimodifikasi oleh manusia (Kaplan&Manners,
2002).
Ciri ekologi budaya adalah perhatian mengenai adaptasi pada dua tataran: pertama,
sehubungan dengan cara sistem budaya beradaptasi terhadap lingkungan totalnya, dan
kedua, sebagai konsekuensi adaptasi sistemis itu-perhatian terhadap cara institusi dalam
suatu budaya beradaptasi atau saling menyesuaikan diri. Ekolog-budaya menyatakan bahwa
dipentingkannya proses adaptasi akan memungkinkan kita melihat cara kemunculan,
pemeliharaan dan transformasi sebagai konfigurasi budaya. Umumnya, ekologi kultural
cenderung menekankan teknologi dan ilmu ekonomi dalam analisis mereka terhadap
adaptasi budaya karena dalam segi-segi budaya itulah tampak jelas perbedaan antarbudaya
di samping perbedaan dari waktu ke waktu di dalam suatu budaya. Berbeda dengan ekologi
umum, ekologi budaya tidak sekadar membicarakan interaksi bentuk kehidupan dalam
ekosistem tertentu, tetapi membahas cara manusia (berkat budaya sebagai sarananya)
memanipulasi dan membentuk ekologi sistem (Kaplan&Manners, 2002).
C. Teknoekonomi
1. Pengertian
William F. Ogburn menyatakan bahwa kondisi-kondisi teknologis dan ekonomis
merupakan dasar yang mendasari suatu kebudayaan. Inilah yang dimaksud
teknoekonomi.
Kata teknoekonomi tidak hanya mengacu pada mesin dan alat yang
digunakanbudayatertentu,tetapijugacarabenda-bendaitudiorganisasikan dalam
penggunaannya, bahkan pengetahuan ilmiah yang memungkinkan hadirnya benda-benda
itu. Setiap komponen teknologi (teknoekonomi) itu penting; tetapi dalam keadaan
kultural dan historis tertentu, seperangkat faktor (misalnya: alat-alat) mungkin lebih
menentukan daripada faktor- faktor lainnya. Penetapan akhir apakah suatu budaya
"memutuskan" untuk membiarkan "teknologi" memegang kendali atau "memutuskan"
untuk mengendalikan "teknologi" demi perbaikan sosial, adalah produk Sejarah dan
pengaturan sosioekonomis beserta ideologi yang mengiringinya.pada kedua kasus itu
efektivitas ideologi dibatasi atau ditentukan oleh berbagai jenis kekuasaan yang mampu
atau tidak mampu dilaksanakannya (Kaplan &Manners, 2002).
2. Determinan Teknoekonomi
Ungkapan "determinan teknologi" dan "determinan teknoekonomi" sering digunakan
untuk menandai serta mengevaluasi suatu karya. Implikasinya adalah karya yang disebut
demikian mengandung sesuatu yang simplistik, mekanistik, dan kurang imaginatif. Akan
tetapi, sulit menghindarkan adanya determinisme sosioekonomis dengan derajat tertentu,
dalam segala analisis mengenai perubahan kultural. Di antara semua faktor yang
digunakan antropolog untuk memberikan penjelasan, faktor-faktor teknoekonomi adalah
yang paling terlihat dan paling mudah dipahami. Oleh karena itu,teori-teori
teknoekonomis menjadi lebih mudah dikukuhkan dengan bukti atau disanggah jika
dibandingkan dengan teori- teori lainnya (Kaplan&Manners, 2002).
Teori-teori teknoekonomi tidak secara eksklusif memusat pada teknik dan alat yang
digunakan oleh suatu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomisnya. Singkatnya,
bagian pertama dari kata bentukan itu (tekno) mengacu pada perlengkapan teknis atau
materiil dan pengetahuan yang ada dalam (dan dapat dimanfaatkan oleh) masyarakat.
Adapun kata kedua (ekonomi) menekankan pengaturan yang dilakukan oleh suatu
masyarakat dalam menggunakan perlengkapan teknis dan pengetahuannya untuk
produksi, distribusi, serta konsumsi barang da jasa. Dalam pengertian yang dibatasi
secara sewenang ini, teknologi adalah representasi dari "kesempatan" (opportunity),
sedangkan ekonomi representasi cara pemberlakuan kesempatan itu dalam masyarakat
(Kaplan &Manners, 2002).

D. Kebudayaan Masyarakat Sunda

1. Latar Belakang Kajian

Masyarakat Sunda sudah lama mengalami krisis budaya. Apabila yang dimaksud dengan
krisis budaya adalah kemandegan, kemunduran, atau "kelemahan" dalam karsa, cipta, rasa,
sikap hidup, alam pikiran, dan kebiasaan prilaku, krisis itu melingkupi hampir semua aspek
budaya, mulai dari keagamaan, sains, filsafat, ekonomi, sosial, dan politik. Akan tetapi,
krisis yang paling jelas tampak adalah dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik. Pada
dasarnya, krisis itu bisa berakar pada krisis keberagamaan. Indikator utama krisis ini
menampakkan diri secara nyata dalam bentuk ketidakmampuan orang Sunda untuk bersaing
bukan hanya dengan etnis pendukung budaya luar, seperti Cina yang berpijak pada budaya
Konfusius dan orang Barat yang umumnya penganut etos Protestanisme, tetapi juga kalah
bersaing dengan orang Jawa, Minang, Melayu, Batak, dan suku-suku lainnya. Ini berarti
mereka lemah dalam "karsa"yang mencerminkan aspek kemauan, ketangguhan, keuletan,
dan energikitas. Ini berakibat pada kekalahan mereka Oleh pendukung budaya lain pada
aspek-aspektertentu dari "rasa',' terutama dalam naluri kecerdikan, ekonomi, politik, dan
nsosial'.' Akibat Ianjutannya, mereka tidak mau bersaing atau kalah bersaing dalam bidang
profesi yang memerlukan keuletan, ketangguhan, dan "agresivitas" yang tinggi.
Dalam bidang politik, sejak sebelum kemerdekaan sampai sekarang Sangat sedikit tokoh
Sunda yang berperan pada tataran nasional. Padahal, Secara kuantitas, populasi mereka
adalah etnis kedua setelah etnis Jawa. Mereka tidak mampu menyaingi suku lain dalam
memperebutkan pimpinan tingkat nasional, baik partai politik, organisasi massa, maupun
lembaga-lembaga pemerintahan. Belum ada orang Sunda yang mendirikan partai politik
besar, atau organisasi massa bertaraf nasional.
Dalam bidang ekonomi, hampir tidak ditemukan orang Sunda yang menjadi konglomerat
yang mampu mendirikan perusahaan raksasa, baik di bidang industri produksi maupun
perdagangan. Orang Sunda hanya mampu mendirikan perusahaan menengah dan kecil yang
tidak memerlukan ketangguhan, keuletan, dan permainan bisnis modern yang tajam, energik,
berwawasan global yang dipacu semangat serta ambisi mencari kekayaan sebesar-besarnya.
Pada bidang asosiasi profesional seperti organisasi wartawan, kedokteran, olahraga,
koperasi, dan sebagainya, lebih-lebih pada organisasi yang terkenal keras seperti pengacara
yang umumnya didominasi nama- nama Batak,orang Sunda jarang kedengaran namanya,
kecuali organisasi guru. Tokoh-tokoh Sunda, umumnya, tidak bisa dan biasa bersaing
dengan keras karena hal itu jauh dari watak orang Sunda yang lebih suka di belakang, baru
mau maju kalau didorong-dorong. Di sini, tampaknya, mereka kurang berani mengambil
risiko dan kurang ambisius dibandingkan dengan etnis-etnis lain.

2. Tatar Sunda Dangkalan Sunda

Tatar Sunda merupakan wilayah (tanah, tatar) yang menurut sumber setempat meliputi
bagian barat Pulau Jawa, dengan batas sebelah timur, (sampai akhir abad ke-16) adalah
Sungai Cimapali (Kali Pemali sekarang), tetapi kemudian batas itu pindah ke sebelah barat
ke Sungai Cilosari. Menurut Tome' Pires, orang Portugis, pada tahun 1513, batas sebelah
timur adalah Sungai Cimanuk. Batas sebelah Barat Tatar Sunda berupa laut yang
memisahkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatra, yang disebut Selat Sunda. Letak selat ini
sangat strategis sehingga memiliki peranan penting dalam perjalanan sejarah kawasan ini,
yaitu sebagai salah satu jalan yang dilalui rute perdagangan laut, yang menghubungkan
kawasan Nusantara dan Asia Tenggara dengan kawasan Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia
Barat serta kemudian Eropa sejak awal masa sejarah (abad-abad pertama Masehi).
Adapun yang dimaksud dengan dangkalan dalam Sunda, dalam istilah geologi Indonesia,
untuk menamai dataran atau paparan Indonesia barat; meliputi Pulau Kalimantan, Pulau
Sumatra, dan pulau-pulau serta dasar laut transgresi (Laut Jawa, Laut Natuna, di bagian
selatan Laut Cina Selatan dan Selat Malaka); sebelum zaman Pleistosen menjadi satu
kesatuan dengan benua Asia. Batas daerah dangkalan Sunda di sebelah timur yaitu "Garis
Wallace", garis yang melintang mulai dari perairan timur Pulau Mindanau (Filipina) terus ke
Laut Sulawesi, Selat Makassar, Selat Lombok, dan berakhir di Samudra Indonesia. Laut-laut
transgresi di wilayah Dangkalan Sunda berkedalaman rata-rata 200m.

a. Sekilas Kerajaan Sunda

Menurut berbagai sumber, Kerajaan Sunda didirikan tahun 669 oleh Maharaja
Tarusbaya, dan runtuh pada tahun 1579 oleh serbuan pasukan gabungan Banten dan
Cirebon. Nama Sunda pertama kali muncul dalam prasasti RakryanJurupangambat
(736); lalu prasasti Sanghiang Tapak (1030) yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja
Jayabhupati. Dari masa yang kira-kira sezaman, nama Sunda tercantum dalam prasasti
Horen dari Jawa Timur.

b. Sejarah Penggunaan Bahasa Sunda

Bahasa sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang sunda
dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa
ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti
berasal dari abad ke-14. Prasasti ini ditemukan di Kawali Ciamis, dan ditulis di batu
alam dengan menggunakan aksara dan bahasa sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini
terdiri atas beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala
Wastukancana(1937-1475).
3. Gambaran Kosmologi Sunda
Dalam naskah kosmologi Sunda. digambarkan kedudukan tiap- tiap penghuni. baik
makrokosmos (yang berhubungan dengan masalah Sang Hyang Tunggal Jatiniskala) yang
menciptakan batas, tetapi tidak terkena batas ataupun penghuninya yang disebut bumi
niskala (mikrokosmos). Akan tetapi, naskah tersebut tidak mengUngkapkan adanya alam
yang dihuni Oleh roh manusia sebelum lahir ke alam dunia (bumi sakala). Jatiniskala
merupakan ruang dan waktu yang tunggal. Jatiniskala menjadikan dirinya Sang Hyang
Tunggal yang dikenal manusia selama ini. Sang Hyang Tunggal "Menjelma keluar dari
ketiadaan- bersama munculnya tekad, ucapan, dan tenaga dari ketiadaan tersebut.
Manusia dalam pandangan kosmologi Sunda merupakan pusat dari perputaran mikro dan
makrokosmos. Hidup di bumi bagi mereka, dipandang sebagai bayangan belaka dari yang
lebih tinggi dan pada kebenaran itu setiap individu harus menyerahkan diri. sejauh manusia
merupakan ungkapan fisik dari tata kehidupan di semesta alam, ia diberi tugas untuk
mengendalikan badannya, hawanafsu, dan emosi-emosinya. Dengan demikian, ia akan
mewujudkan hidupnya secara indah seraya memenuhi kewajibannya untuk menjaga
keselarasan dan keharmonisan dengan alam dan Tuhan.
Dalam paham kosmologi Sunda kuno, jagat raya terbagi ke dalam tiga alam, yaitu bumi
sangkala (dunia nyata, alam dunia), buana niskala (dunia gaib, alam gaib), dan buana
jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban sejati). Bumi sangkala adalah alam nyata di
dunia tempat kehidupan makhluk yang memiliki jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Makhluk
demikian adalah yang disebut manusia, hewan, tumbuhan dan benda lain yang dapat dilihat,
baik yang bergerak maupun tidak bergerak.
4. Upacara Keagamaan dalam Dimensi Spiritual
Upacara Keagamaan adalah pelaksanaan tindakan-tindakan yang telah ditentukan, yang
strukturnya sangat ketat dan dianggap memiliki arti keagamaan tertentu, Upacara ritual
keagamaan merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan yang keramat, dan
cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dan krisis. Menurut K. Nottingham,
ritual atau upacara keagamaan adalah bagian dari tingkah laku manusia dalam praktik
yang mencakup tingkah laku, misalnya berkorban, bersemedi, menyanyi, berdoa, memuja,
mengadakan pesta, dan menari.
1. Fungsi Upacara Keagamaan
Fungsi upacara keagamaan adalah mencari keselamatan, ketentraman dan menjaga
kelestarian hidup.
2. Ruwatan sebagai sarana komunikasi
Salah satu upacara tradisi yang sekarang masih ditaati, dipatuhi, diyakini dan
dilaksanakan oleh sebagian masyarakat sunda adalah tata upacara ruwatan. Ruwatan
berasal dari kata “ruwat” dan mendapatkan sufiks-an. Kata “ruwat” mengalami gejala
bahasa matatesis dari kata luwar, yang berarti terbebas atau terlepas dari ancaman
bahaya (malapetaka) yang meliputinya.

5. Filsafat Hidup Orang Sunda

Pandangan Hidup atau filsafat hidup orang sunda yang mencerminkan dalam ruwatan,
terlihat pada bagaimana mereka menafsirkan siloka yang terdapat dalam sasajen ruwatan.
Guaran Silokaning Sesajian (menafsirkan perumpamaan sasajean) salah satu contohnya
yaitu “ngukus, meuleum menyan dina parupuyan ngandung nganuhunkeun kana kersana
Gusti Allah SWT, wireh ureng aya dialam dunya tehmualsana tina 4 unsur : acining geni,
acining angin, acining banyu, acining bumi.”
(ngukus : membakar kemenyan dalam tungku, artinya bahwa hidup ini harus bersyukur
kepada Allah karena kita di dunia ini berasal dari empat unsur yaitu, api, angin, air dan
tanah).

6. Warisan Budaya Sunda

Kebudayaan sunda merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan
bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu dilestarikan. Misalnya,
kebudayaan yang berwujud system kepercayaan. Hampir semua orang Sunda beragama
Islam, hanya sebagian kecil yang tidak beragaa Islam, diantaranya orang-orang baduy
yang tinggal di banten.
Pada dasarnya, seluruh kehidupan orang sunda ditujukan untuk memelihara
keseimbangan alam semesta. Keseimbangan magis dipertahankan dengan upacara-
upacara adat, sedangkan keseimbangan social dipertahankan dengan kegiatan saling
member (gotong royong). Hal yang menarik dalam kepercayaan Sunda adalah lakon
pantun Lutung Kasarung. salah satu budaya mereka, yang percaya adanya Allah yang
Tunggal (Guriang yang menitiskan sebagian kecil diri-Nya ke dalam dunia untuk
memelihara kehidupan manusia (titisan Allah ini disebut Dewata).
Oleh sebab itu, sebagai masyarakat yang hidup dalam alam dan kultur Sunda,
masyarakat Sunda memiliki pandangan kosmologis yang diwariskan Oleh Ieluhurnya.
Secara kultural, pandangan kosmologi itu tergambar dalam khazanah mitologisnya.
Dalam sebuah mitologi terdapat pola dasar yang mempersatukan secara harmoni realitas-
realitas dan pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan. Eliade menyebut pola ini
sebagai coincidentia opposilorum.
Dalam Kropak 422, kisah mitologis yang menggambarkan kosmologi Sunda abad ke
14-15 M. dikisahkan bahwa alam raya terbagi ke dalam tiga dunia, yaitu saknla (dunia
nyata), nisknla (dunia gaib), dan jatiniskala (kemahagaiban sejati). Penghuni sakala
adalah berbagai makhluk yang bisa dilihat dan diraba seperti manusia. hewan, tumbuhan,
dan lain-lain. Penghuni niskala adalah berbagai makhluk yang tidak berjasad, berupa
anasir-anasir halus, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadarif apsara-apsari. roh-roh netral
yang disebut syanu, bayu, sabda, dan hedap. Di antara mereka, ada yang telah dikenal
dengan nama-nama serta tugasnya masing-masing di memelihara alam dengan melalui
konsep leuwengun larangan sebagai pantangan mengolah tanah dihutan tertentu.

7. Pemahaman tentang Sunda dan Etos Kerja

Istilah Sunda saat ini telah memasuki kehidupan masyarakat Indonesia yang menunjuk
pada pengertian kebudayaan, etnis, geografis, administrasi Pernerintahan, dan sosial
(Ekadjati, 1995: 1). Menurut R.W. Van Bemmelen (dalam Ekadjati, 1995: 1), Sunda adalah
sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India
Timur, sedangkan daratan bagian tenggara dinamai sahul.
Menurut data sejarah, istilah Sunda yang menunjukkan pengertian wilayah di bagian
barat Pulau Jawa dengan segala aktivitas kehidupan manusia di dalamnya, muncul untuk
pertama kalinya pada abad 1 (Ekadjati, 1995: 2). Dalam perkembangan lain, istilah Sunda
digunakan pula dalam konotasi manusia atau kelompok manusia, yaitu dengan sebutan
orang Sunda. Orang Sunda adalah orang yang mengakui dirinya dan diakui Oleh orang lain
sebagai orang Sunda (Warnaen et.al., 1987:1). Di dalam definisi tersebut tercakup kriteria
berdasarkan keturunan dan berdasarkan sosial budaya sekaligus.
Untuk eksis dalam kehidupan sebuah entitas akan ditentukan Oleh semangat kerja atau
etos kerja dari komponen entitas tersebut. Dalam hal ini,.Sunda sebagai sebuah entitas pun
agar survive dalam kehidupan harus senantiasa mempunyai etos kerja yang sangat tinggi,
yang diperankan Oleh komunitasnya, dalam hal ini disebut urang Sunda. Kata etos diambil
dari bahasa Yunani, ethos, yang mengandung pengertian watak, dan etos kerja menunjuk
pengertian "Karakter dan sikap, kebisaan serta kepercayaan" seseorang atau sekelompok
orang manusia yang bersifat khusus (Bachtiar, 1998).
Etos juga mengungkapkan sikap batin yang tetap, sejauh di dalamnya termasuk tekanan
moral tertentu (Suseno dalam Bahtiar, 1998). Karena itu, etos mengandung makna
semangat, kesungguhan, keuletan,dan kemauan maju yang merupakan karakter tetap dalam
batin. Etos berkaitan dengan etika, yang mengandung nilai-nilai etik, seperti jujur dan
bertanggung jawab (Bachtiar, 1998).
Myrder (dalam Bachtiar, 1998) mengatakan ada tiga belas karakter dan sikap yang
menggambarkan etos kerja tinggi, yaitu rajin, disiplin waktu, sederhana, jujur, rasional
dalam mengambil keputusan dan tindakan, sikap berubah, gesit dalam menangkap
kesempatan yang muncul, energik dalam bekerja, berdiri pada kekuatan sendiri, kerja sama
dan mempunyai pandangan jauh ke depan. Karakter tersebut di atas yang merupakan
indikator dari etos kerja dapat diraih berdasarkan beberapa faktor yang harus dimiliki Oleh
setiap individu ataupun kelompok, yaitu motivasi, keyakinan, dan pola ajar.

8. Motivasi, Keyakinan, dan Globalisasi pada Masyarakat Sunda

1. Motivasi Hidup Orang Sunda


Berbicara masalah etos kerja orang Sunda tidak terlepas dari motivasi hidup yang
bersumberkan pada pandangan hidup yang dimilikinya. Banyak karya yang telah ditulis
seputar pandangan hidup orang Sunda, di antaranya Ajip Rosidi ataupun oleh
SoewarsihWarnaen. Ajip Rosidi (2003) melihat pandangan hidup orang Sunda dari sudut
peribahasa yang dimiliki oleh orang Sunda. Berdasarkan tulisan Ajip Rosidi ini dapat
disimpulkan bahwa perilaku masyarakat Sunda sangat berprinsip pada nilai-nilai Islam.
la mendukung pernyataan "Islam the Sunda, Sunda the Islam" yang dikemukakan oleh
Endang Saifudin Anshari.
Berbeda dengan hasil penelitian SoewarsihWarnaen (dalam Wahyu Wibisana, 1998:
1 11-113), melihat pandangan hidup orang Sunda dari sudut tradisi lisan dan sastra yang
ada di tatar Sunda. Berdasarkan Cerita Pantun Lutung Kasarung, Sanghyang Siksa
Kandang Karesian, Sawer Panganten, Dua cerita roman, yaitu MantriJero dan Pangeran
Kornel, ia mengatakan bahwa pandangan hidup orang Sunda terbagi dalam beberapa
aspek, yaitu manusia sebagai pribadi, manusia dengan masyarakat, manusia dengan
alam, manusia dengan Tuhan, manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan
batin.
Dari pandangan hidup di atas, orang Sunda harus menjadikan nilai-nilai tersebut
dalam melakukan motivasi hidupnya. Akan tetapi, kenyataannya orang Sunda sudah
mengalami pergeseran nilai dari pandangan hidup yang dimilikinya. Hal ini dibuktikan
oleh berbagai aspek kehidupan yang masih belum mampu bersaing dengan budaya
lainnya yang ada di Nusantara ini. Dalam kancah ekonomi, masih sedikit persentase
orang Sunda menguasai perekonomian masyarakat Sunda Dalam kancah politik, masih
sedikit orang Sunda yang mampu menduduki di tempat-tempat yang strategis di wilayah
birokrasi Nusantara ini. DPRD Jawa Barat pun hamper sebagiannya diduduki oleh
orang-orang luar Sunda. Dalam kancah hukum,masih banyak orang Sunda yang bukan
menjadi penentu kebjikan hukum, tetapi menjadi objek pelaksanaan hukum, terutama di
Jawa Barat. Dalam aspek budaya, orang Sunda sudah meninggalkan karakter
kesundaannya. Di kalangan kompleks yang ada di wilayah Sunda, banyak keluarga yang
lebih lancar menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Sunda; di kalangan orang
muda masih banyak orang menggandrungi musik Barat yang notabene penuh dengan
irama kekerasan daripada musik Sunda yang penuh dengan irama ketenangan.
2. Keyakinan Orang Sunda
Sebagai sebuah entitas, orang Sunda memiliki keyakinan sebagai dasar bagi pijakan
hidupnya. Ungkapan "Islam theSunda,Sundathe Islam" yang diungkapkan oleh Endang
Saifudin Anshari dan dibenarkan oleh hasil penelitiannya Ajip Rosidi menandakan
bahwa keyakinan orang Sunda berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam.
Islam datang di Tatar Sunda dan mengenai kepastiannya bisa dilihat dari segi
geografis,bahwaTatar Sunda berada pada lintasan pelayaran niaga internasional pada
kurun waktu abad ke-15 sampai abad ke-17 Masehi. Dilihat dari letak geografis, boleh
jadi pantai utaraTatar Sunda adalah daerah yang lebih dahulu mendapat sentuhan agama
Islam daripada Jawa Tengah dan Jawa Timur serta witayah Indonesia bagian timur
lainnya, demikian diungkapkan oleh Dadan Wildan dalam makalahnya "Penyebaran
Islam di Tatar Sunda" (Dadan Wildan, 2003).
Banyak sumber mengenai kedatangan Islam di Tatar Sunda,di antaranya naskah
Carita Parahyangan yang menyebutkan bahwa kedatangan Islam ke daerah Sunda
dibuktikan dengan adanya seorang yang memeluk agama Islam yang pertama. Ia adalah
Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang
Bunisora penguasa kerajaan Galuh. la adalah seorang saudagar yang melanglangbuana
ke berbagai wilayah, di antaranya Sumatra, Cina, India, Sri Langka, Iran sampai ke
negeri Arab. la menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti
Muhammad. Melalui pernikahannya, ia masuk Islam. (Dadan Wildan, 2003).
Bukti lain, di Karawang terdapat sebuah pesantren di bawah pimpinan Syekh Quro
sebagai penyebar dan guru agama Islam pertama di daerah Karawang. Nama asli Syekh
Quro adalah Syekh Hasanudin, putra Syekh Yusuf Sidik, seorang ulama yang datang
dari negeri Campa. Di Karawang ia menikah dengan Ratna Sondari, putri Ki Gedeng
Karawang, dan membuka pesantren yang diberi nama pondoQuro yang khusus
mengajarkan Al- Quran (Dadan Wildan, 2003).
Selain Carita Parahyangan, Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh
Pangeran Arya Cirebon menyebutkan adanya tokoh yang bernama Syekh Nurjati yang
disebut Syekh Datuk Kahpi, seorang ulama yang berasal dari Arab berusaha untuk
menyebarkan Islam dengan cara mendirikan pesantren di wilayah Muara Jati dan
sekaligus ia menjadi guru agama Islam di pesantren yang cukup ramai itu. Pesantren ini
lebih berkembang semenjak datangnya Syekh Syrif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Djati, dari Mesir (Dadan Wildan, 2003). Melalui pesantren ini, Islam mampu
berkembang dengan pesat di tatar Sunda.
Islam disebarkan ke Tatar Sunda melalui kepiawaian para penda kwahnya di samping
dari kualitas ajarannya. Berdasarkan segi pendakwahnya, seperti yang dilakukan oleh
Sunan Gunung Djati, ia berusaha mendekati dengan pendekatan kultural yang berusaha
memahami terlebih dahulu karakteristik objek dakwahnya, misalnya melalui wayang, ia
berusaha melakukan islamisasi melalui wayang. Selain itu, perhatian yang besar
terhadap kaum lemah seperti fakir miskin mendorong Sunan Gunung Djati untuk selalu
mengajarkan pepatahnya yang menyerukan nilai-nilai ketakwaan dan keyakinan,
kedisiplinan, kearifan dan kebajikan, kesopanan dan tata krama, dan kehidupan sosial
(Effendi dalam Dadan Wildan, 2003).
Di samping Islam yang menjadi keyakinan orang Sunda, juga terdapat keyakinan
yang dimiliki oleh orang Sunda, di antaranya Sunda wiwitan. Ajaran Sunda wiwitan
yang berada di wilayah Desa Kanekes dan sering dikenal dengan masyarakat Baduy ini
mengajarkan kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek
moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan, yakni SanghyangKeresa (Yang
Mahakuasa).
Madrais juga merupakan salah satu keyakinan yang diyakini oleh orang Sunda.
Madrais merupakan keyakinan hasil persentuhan antara Islam dan budaya lokal yang ada
di tatar SundaeMadrais yang dikembangkan dalam tradisi Islam kemudian melahirkan
ajaran baru yang mengajarkan paham Islam dengan kepercayaan lama (pra-lslam)
masyarakat Sunda yang agraris yang disebutnya sebagai Ajaran Djawa Sunda atau
Madraisme pada tahun 1921. Mereka menetapkan tangal 1 Sura sebagai hari besar Seren
Taun yang dirayakan secara besar-besaran, antara lain dengan ngagondang
(menumbuhkan alu dan lisung sambil bernyanyi). Menurut ajarannya, Dewi Sri, atau
Sanghyang Sri adalah Dewi Padi yang perlu dihormati dengan upacara-upacara religius
daur ulang penanaman Padi serta ajaran budi pekerti dengan mengolah hawa nafsu agar
hidup selamat. Di pihak lain, ia pun memuliakan Maulid Nabi Muhammad, namun
menolak A1-Quran dengan anggapan A1-Quran yang sekarang tidak sah, sebab A1-
Quran yang sejati baru akan diturunkan menjelang kiamat (Dadan Wildan, 2003).
Terakhir, aliran kepercayaan Perjalanan yang dikenal dengan Agama Kuring dan
Partai Permai yang didirikan oleh Mei Kartawinata (1898-1967) di Ciparay Kabupaten
Bandung. Diawali dari penerimaan wangsit pada tanggal 17 September 1927, di
Subang,yang berisi perintah untuk berjuang melalui pendidikan, kerohanian, dan
pengobatan melalui perkumpulan perjalanan yang mengibaratkan hidup manusia seperti
air dalam perjalanannya menuju laut dan bermanfaat sepanjang jalan. Dia menulis buku
Budi Daya tahun 1953 yang dijadikan "kitab suci" oleh para pengikutnya. Ajaran ini
memadukan sinkretisisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, Buddha, dan Islam
(Dadan Wildan, 2003).
Berbagai keyakinan di atas, sudah menjadi prinsip yang senantiasa dilakukan oleh
orang Sunda ketika melakukan aktivitasnya. Sudah tentu, proses perjuangan hidup yang
dilakukannya dengan berdasar pada keyakinannya berdampak pada semangat untuk
hidup dan selalu berlomba untuk mencapai kebaikan. Itulah yang selalu menjadi prinsip
orang Sunda pada waktu dahulu. Apabila dilihat realitas sekarang, keyakinan yang
diyakini oleh orang Sunda belum tampak berwujud pada semangat kerja dan usaha keras
dalam hidup ini. Ini dibuktikan masih kurangnya etos orang Sunda dalam melakukan
persaingan hidup di bumi Nusantara ini. Pemahaman ajaran Islam masih berada pada
tataran pengetahuan semata belum mampu bergerak pada tataran praktik.
3. Etnis Sunda dalam Konteks Globalisasi
Era global yang semakin memengaruhi seluruh ruang gerak alam raya ini, menuntut
seluruh komponen untuk senantiasa mempersiapkan dirinya agar mampu bersaing dalam
berbagai aspek kehidupan. Para ahli sepakat bahwa era global ditandai Oleh maraknya
kemajuan teknologi dan kemajuan pada aspek lainnya. Selain itu pula, akan tampak
pengaruh kemajuan teknolgi ini pada pola sikap, terutama pola budaya dan komunikasi
social yang terjadi di berbagai wilayah, baik desa maupun kota.
Etnis Sunda pun mengalami arus global yang memengaruhi eksistensi orang Sunda
dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk itu, diperlukan kemampuan orang Sunda untuk
mampu meresponsnya. Etos kerja Sunda menjadi fokus perhatian dalam rangka
mengayomi berbagai dampak dari arus global tersebut.Untuk melengkapi peningkatan
etos kerja orang Sunda dibutuhkan motivasi hidup yang kuat, dilandasi Oleh berbagai
konsep pandangan hidup orang Sunda. Aspek keyakinan yang diyakininya melalui
ajaran yang berkembang di wilayah Sunda menjadi poin penting kedua untuk
meningkatkan kualitas etos kerja orang Sunda. Kedua aspek tersebut sangat ditentukan
Oleh pola pendidikan yang berlangsung di wilayah kesundaan, yaitu berorientasi pada
penciptaan kesadaran masyarakat dalam melaksanakan tugas pendidikan.
Sunda sebagai sebuah entitas yang ada di wilayah Indonesia mempunyai setumpuk
sistem nilai yang didasarkan atas pengalaman warganya.Lahirlah berbagai konsep yang
berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, politik
maupun hukum. Sebagai sebuah entitas yang ada di wilayah bangsa Indonesia, orang
Sunda tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang berdomisili di luar Sunda, bahkan
kurang mampu bersaing dengan etnis lainnya. Kenyataan ini, menuntut kepada setiap
komponen masyarakat khususnya komunitas Sunda, baik pemerintahnya maupun di luar
pemerintahan agar senantiasa memerhatikan, bahkan berupaya untuk melakukan
perubahan dalam peningkatan etos kerja orang Sunda Yang lebih penting lagi adalah
perhatian dari pemerintahan daerah agar senantiasa menjadikan mentalitas orang Sunda
menjadi orang-orang yang kuat dan mampu bertahan dalam berbagai sektor kehidupan.
Dari hal di atas, dapat diidentifikasikan dalam beberapa persoalan, seputar unsur
dasar pembentuk kebudayaan yang ada di daerah Sunda, masalah keyakinan yang
menjadi unsur penting dalam menerapkan system kehidupan orang Sunda, dan pola ajar
yang menjadi pijakan orang Sunda sangat penting kehadirannya.
Realitas yang terjadi terbagi atas dua kondisi, yaitu kondisi orang Sunda yang mampu
eksis dan orang Sunda yang tenggelam diterkam oleh gelombang. Apabila
dipersentasikan, masih banyak orang Sunda yang mampu bertahan hanya sebatas
mencukupi kebutuhan primer apalagi di wilayah perdesaan. Masih banyak kawasan
orang Sunda yang belum mampu bersaing di dunia global ini. Realitas seperti ini
disebabkan oleh dua aspek,yaitu persoalan motivasi dan keyakinan yang dimiliki oleh
setiap individu ataupun kolektif.
Ada beberapa pergeseran yang dialami oleh orang Sunda jika melihat konsep
pandangan hidup yang dimilikinya jika dikaitkan dengan kondisi sekarang. Banyak
orang Sunda yang meninggalkan petuah dan petatah leluhur atau orangtua. Aspek
rasionalitas menjadi ukuran utama bagi orang Sunda dan sedikit mengesampingkan
aspek rasa. Masih banyak orang Sunda yang ekonominya lemah yang jauh dari perhatian
dari orang Sunda yang kaya karena menitikberatkan aspek rasionalitas bukan rasa.
Penyebab lain adalah orientasi pemahaman terhadap konsep kebudayaan. Arus
globalisasi yang membawa budaya baru membutuhkan respons yang baik bagi orang
Sunda dengan senantiasa melakukan dialog kebudayaan antara kebudayaan lama dan
kebudayaan baru. Realitas yang terjadi banyak orang Sunda di berbagai lapisan belum
mampu mendialogkan antara kebudayaan Sunda dengan kebudayaan pendatang. Bahkan
orang Sunda meninggalkan kebudayaannya hanya persoalan gengsi, misalnya banyak
generasi Sunda saat ini yang tidak mengetahui kesenian Sunda semisal degung,
karawitan, cianjuran, dan lain-lain. Lebih jauh ketika diperkenalkan kebudayaan Sunda,
orang Sunda masih mementingkan dan memprioritaskan budaya dari luar. Hal ini
menunjukkan bahwa motivasi untuk melestarikan budaya Sunda sangat kurang apalagi
dalam dialog kebudayaan dengan cara menyintesiskan dua kebudayaan yang berbeda.
Dalam aspek keyakinan, masih banyak keyakinan orang Sunda yang bersifat
sektarian, mas ih terkungkung oleh doktrin ajaran yang menjadikan keyakinannya tidak
bersifat luwes untuk senantiasa berinteraksi dengan suasana zaman. Islam yang notabene
banyak dianut oleh orang Sunda pun belum banyak disinggung pada aspek pemahaman
yang dibuktikan dengan pengamalan. Padahal, Islam disebarkan di tatar Sunda melalui
dialog kebudayaan oleh wali Sunan Gunung Djati.
Aspek yang juga penting untuk melihat lemahnya motivasi dan keyakinan yang
dimiliki oleh orang Sunda saat ini adalah faktor pendidikan. Masih banyak orang Sunda
yang menjunjung tinggi pendidikan hanya sebatas aspek transfer pengetahuan. Dampak
dari pemahaman seperti ini melangsungkan karakter latah yang terus menjamur dari para
objek yang dididik.
Pola pendidikan di atas disebut Freire sebagai pendidikan gaya bank, yaitu manusia
yang terdidik merupakan manusia yang terasing dengan dirinya dan lingkungannya.
Meminjam istilah Erich Fromm, Freire menyebutkan pendidikan semacam ini akan
menciptakan necrophiliy yaitu kecintaan terhadap sesuatu yang destruktif, dan senang
pada yang tidak hidup. Pendidikan semacam ini menyebabkan manusia tidak bias
menangkap tugas-tugas zamannya (Rachman, 2001: 381). Pendidikan tersebut
mewujudkan pada pendidikan tertindas.
Pola pendidikan inilah jawaban bagi persoalan yang terjadi di wilayah kesundaan
dalam merespons hegemoni global sehingga motivasi hidup orang Sunda semakin tinggi
dan keyakinannya dapat dipahami tidak hanya pada tataran pengetahuan, tetapi juga
pemahaman dan pengamalan.
9. Islam dan Etos Kerja Muslim Sunda
1. Menilik Hubungan Islam dengan Budaya Sunda
Ketika Islam mendominasi Sunda, baik secara agama maupun budaya, sedikit demi
sedikit, pengaruh kedua agama itu berkurang dari waktu ke waktu seiring dengan
terjadinya islamisasi yang semakin intens. Kristenisasi pada masa kolonial tidak pernah
berhasil walaupun mendapat fasilitas yang penuh dari para penguasa.
Kini yang tampak dalam diri orang sunda adalah kesundaan warisan karuhun bersaing
dan berintegrasi dengan keislaman di tengah derasnya hantaman arus budaya Barat
modern.
Agama Islam masuk ke tatar sunda melalui tiga pelabuhan besar,yaitu Cirebon,
Jayakarta, dan Banten yang merupakan tiga pusat kekuasaan dan perdagangan di Jawa
Barat. Melalui ketiga pusat kekuasaan itu, tiga kerajaan pedalaman di tatar Sunda, yaitu
Pajajaran, Sumedang Larang, dan Galuh ditundukkan dan masyarakatnya beralih agama
dari Hindu- Buddha ke Islam. Ketika Belanda menguasai kerajaan Islam itu, otomatis
Pasundan menjadi wilayah kerajaan Belanda. Islamisasi tidak terhalang Oleh penjajahan,
bahkan Islam dengan para kiainya menggantikan peran raja-raja yang telah dikuasai dan
dijinakkan Belanda dalam membela kepentingan rakyat dan pengembangan Islam. Islam
menjadi popular sebagai ideologi pemberontakan terhadap para penguasa lalim sehingga
semakin mengakar di masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran islamisasiorang dan
budaya Sunda semakin lancar, hingga pada abad ke-18, wilayah Sunda menjadi wilayah
Islam secara geo-politik, sosial, dan budaya. Orang Sunda lebih mudah menyatu dengan
Islam dibandingkan dengan orang Jawa karena agama Hindu-Buddha orang Sunda
sangattipis.Bahkan,agama mereka yang sebenarnya adalah agama Karuhun yang mudah
berintegrasi dan berasimilasi dengan Islam. Akhirnya, Islam menjadi identitas utama
orang Sunda di samping kesundaan.
Secara teologis, keislaman orang Sunda sama dengan penduduk Nusantara lainnya.
Islam yang datang ke sini dan yang akhirnya sangat dominan adalah Islam yang fiqhnya
adalah Syafi'iyah, akidahnya adalah Asy'ariyah, dan tasawufnya adalah tasawuf Sunni
yang beragam. Akan tetapi, dari sudut pengembangan budaya, Islam yang diserap dan
menjadi agama masyarakat adalah Islam yang tidak atau kurang memberi dorongan bagi
kemajuan kebudayaan.
Dari sudut lain, secara sosiologis, masyarakat Sunda sudah dibangun sesuai dengan
aspek tertentu dari sistem masyarakat Islam, dalam arti hubungan antarindividu dan
kegiatan masyarakat banyak berdasarkan prinsip Islam atau sesuai dengan ajarannya.
Hal itu tercermin, misalnya, dalam peribahasa yang menjadi filsafat masyarakat Sunda,
yaitu:"silih asah, silih asih, si/ih asuh." Filsafat ini menggambarkan hubungan
antarindividu yang bersifat kritis, saling menyayangi, dan saling perhatian, baik secara
vertical maupun horizontal. Filsafat sosial ini menggambarkan bahwa masyarakat Sunda
dibangun atas asas demokratis. Akan tetapi, sifat demokratis masyarakat Sunda lenyap
karena lamanya penjajahan orang Jawa yang menanamkan budaya feodalistis.
Seharusnya, asas itu bärlaku dalam hubungan antarindividudalanf semua jenis kegiatan
sosial keagamaan atau sosial pada umumnya.
Adapun hubungan orang atau budaya Sunda dengan Islam atau Islam Politik dapat
dijelaskan melalui uraian hubungan menak (priayi) Sunda dengan Islam dan melalui
Islam sebagai ideologi oposisi yang dikendalikan Para kiai dan ajengan.Menak (kelas
feodal masyarakat Sunda) sangat sulit didekati Islam-politik karena di tatar Sunda tidak
pernah ada kerajaan Islam. Yang ada adalah kerajaan Sunda-Hindu yang ditundukkan
dan dihancurkan dengan kekerasan secara militer oleh kerajaan Islam di pantai utara
Jawa.
Hubungan antara Islam dengan seni Sunda juga sangat jauh, bahkan kadang-kadang
bermusuhan. Fakta menunjukkan pesantren yang menjadi pusat keislaman sangat jauh
dari kesenian Sunda, baik sastra, musik, maupun seni tari. Pergelaran kesenian Sunda
tradisional seperti wayang, tari Jaipongan dan sejenisnya sangat tabu dan dimusuhi
pesantren. padahal, wayang, dahulunya di Jawa termasuk di Tatar Sunda, adalah alat
islamisasi. Demikian pula, seni sastra dan sekaligus seni lagu Sunda yang sangat indah,
seperti kinanti, sinom, dangdang gula, mijil, dan yang sejenisnya tidak dikenal oleh
dunia pesantren
Melihat realita hubungan Islam dengan budaya Sunda, orang Sunda, terutama para
kiai dan para seniman, harus lebih saling mendekati satu sama lainnya, hingga sunda dan
Islam lebih rekat lebih terintegrasi dan identitas Sunda-lslam atau Islam Sunda tidak lagi
dalam pertanyaan.
2. Peran Islam dalam pengembangan Budaya Kerja Orang Sunda
Membangun suatu masyarakat berarti membangun sumber daya manusianya, dan
membangun sumber daya manusia, pada dasarnya, membangun budayanya. Dalam
membangun budaya, hal yang paling penting adalah membangun etos kerjanya karena
etos kerja adalah energi yang menggerakkan mesin budaya dan memajukannya. Dengan
budaya kerja yang tinggi, energi budaya akan terpancar dalam kebiasaan cara berpikir,
bersikap, dan berperilaku yang positif dalam seluruh aspek kehidupan para pendukung
budaya itu. Cara berpikir, bersikap, dan berperilaku yang bersifat dasariah masyarakat
modern mana pun era global ini, termasuk masyarakat Sunda, ditentukan atau
dipengaruhi oleh faktor-faktor agama, warisan budaya, dan budaya luar, terutama
budaya Barat modern. Oleh karena itu, energi budaya harus digali dari faktor-faktor
tersebut. Dengan kata lain, apabila suatu masyarakat ingin mengembangkan etos kerja
yang baik mesti memilih dan mengambil unsur positif serta meninggalkan unsur negatif
dari faktor-faktor itu. Faktor agama dipandang faktor yang paling menentukan dalam
semua itu karena agama adalah inti (core) dalam budaya masyarakat manusia.
Dengan demikian, budaya kerja masyarakat Sunda ditentukan oleh desain bangunan
karakter budaya mereka.Mendesain dengan baik bangun budaya berarti mengembangkan
potensi dasar dan memecahkan masalah pokok yang menyatu dalam budaya tersebut.
Jadi, membangun budaya kerja orang Sunda berarti mengembangkan potensi dasar dan
membuang masalah pokok yang menyatu dalam budaya mereka. Ini berarti, untuk
membangun etos kerja orang Sunda, budaya dasar mereka dan sumbernya perlu
dipahami dan dilacak dahulu.
Budaya masyarakat kontemporer mana pun, termasuk masyarakat Sunda kiwari,
mempunyai sumber yang beragam, baik warisan nenek moyangnya yang tidak terlacak
sejarahnya, maupun budaya luar hasil interaksi intensif. Secara teoretis, karena agama
menjadi inti dari suatu budaya, sumber budaya utama masyarakat Sunda kiwari adalah
Islam yang yang dipadu dengan dua sistem nilai budaya dominan lain' yaitu budaya
Sunda karuhun dan budaya Barat modern (budaya Jawa juga mungkin cukup berperan
dalam membentuk budaya Sunda Kiwari karena mereka cukup lama menjajah
Pasundan).Tiap-tiap sistem nilai itu mempunyai segi potensi atau segi positif dan segi
masalah atau segi negatif bagi pengembangan budaya kerja masyarakat Sunda.
Membangun etos kerja masyarakat Sunda berarti mengambil dan mengembangkan
potensi-potensi Pada budaya kasundaan, keislaman, kemodernan yang ada dalam diri
mereka,serta memecahkan masalah atau membuang sifat-sifat negatif Pada budaya-
budaya itu yang mcngendap dalam alam pikiran, sikap, dan prilaku mereka. Membangun
kerja Sunda berarti membentuk kualitas sumber daya manusia Sunda cerdas, terampil,
energik, berwawasan ke depan, dan disiplin.
3. Meningkatkan Peran Islam Positif dalam Solusi Krisis Budaya Sunda secara teoretis,
keterpurukan budaya kerja orang Sunda sebagian besar karena Islam sebab sistem nilai
yang paling memengaruhi keyakinan,sikap, dan perilaku manusia adalah agama yang
dipeluknya.Agama orang Sunda adalah Islam. Jadi, keterpurukan budaya Sunda sebagian
besar adalah dosa Islam. Itu teori. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa agama Islam
yang dipilih oleh orang Batak, Minang, dan beberapa suku lainnya di Indonesia tidak
menyebabkan mereka seterpuruk orang Sunda. Jadi, yang salah bukan hanya Islam,
tetapi orang Sunda salah memilih varian ajaran Islam. seperti diketahui, misalnya, dalam
ajaran Asy'ariah yang dianut oleh Muslim Indonesia terdapat aspek negatif dan
positif.Yang negatif adalah ajarannya yang jabariah (= deterministik, nasib ditentukan
Tuhan) dan predestine (ketentuan nasib ditetapkan sejak zaman sebelum penciptaan,
azali, dan tidak bisa diubah).Yang positif adalah ajarannya yang mewajibkan manusia
berusaha (al-kasab). Demikian juga, dalam tasawuf, terdapat konsep anti dunia dan ini
yang dominan, tetapi juga terdapat konsep dan pandangan yang cukup menghargai dunia
dan uang. Orang Sunda terlalu banyak yang memilih ajaran Asy'ariah dalam aspek
deterministik dan predenstinik dibandingkan dengan aspek positifnya, yaitu penekanan
pada usaha. Dalam aspek tasawuf, mereka lebih memilih pandangan negatif terhadap
dunia dibandingkan dengan aspek positifnya. Akan tetapi, bagaimanapun keislaman
mereka tetap ikut bertanggung jawab atas keterpurukan itu karena memang di dalamnya
terdapat ajaran negatif yang dipandang dari sudut pengembangan budaya.
Tahap awal dalam memecahkan masalah kemunduran budaya Sunda adalah
menyadarkan Orang-orang Muslim-Sunda dan Sunda-Muslim,terutama tokoh-tokohnya
bahwa budaya Sunda dalam krisis. Kita tahu bahwa bangsa_ bangsa besar dalam arti
bangsa penguasa dunia yang kuat, energik, kreatif, dan produktif, —seperti bangsa-
bangsa: Yahudi, Jerman, penganut Protestan kontemporer, Jepang, penganut Konfusius
dan umat Islam generasi awal —mereka hebat karena mereka didorong Oleh keyakinan
keagamaan yang positif. Semua meyakini diri mereka sebagai umat yang dipilih Tuhan
menguasai dunia atau menyelamatkannya. Mereka merasa dan meyakini dirinya sebagai
umat atau bangsa unggul. Keyakinan itu membuat mereka energik, ambisius, pejuang
tangguh yang tidak mau kalah, siap mengatasi segala macarn tantangan dan bersaing
untuk merebut apa pun yang bisa direbut; menguasai siapa pun atau apa pun yang bisa
dikuasai dan meraih kemenangan di bidang apa pun. Mereka hanya mau memimpin dan
tidak mau dipimpin, mereka pun mau menguasai dan tidak mau dikuasai.Mereka
mempunyai pandangan positif tehadap dunia dan kekayaan. Misalnya, Calvinisme
mendesak Penganutnya untuk kerja keras, mengumpulkan kekayaan sebanyak-
banyaknya. Bekerja adalah bayar utang terhadap Tuhan dan mendapatkan kekayaan
adalah lambang kemurahan dan kecintaan Tuhan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai