Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

HUKUM PERBURUHAN
Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perburuhan yang diampuh oleh Bapak
Mohamad Taufiq Zulfikar Sarson, S.H. M.H. M.Kn

Oleh

Nama : Magfira Alex Rahim


Nim : (1011419018)
Kelas : J

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Perburuhan” ini dengan lancar.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan
oleh Bapak Mohamad Taufiq Zulfikar Sarson, S.H. M.H. M.Kn. Makalah ini ditulis
dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh buku dan jurnal di
internet yang berkaitan dengan hukum perburuhan. Tak lupa penyusun ucapkan
terima kasih kepada pengajar mata kuliah Hukum Perburuhan atas bimbingan dan
arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Gorontalo, 16 Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB IPENDAHULUAN..............................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................................1
BAB II ISI.....................................................................................................................2
A. Hukum Perburuhan / Ketenagakerjaan di Indonesia............................................2
B. Sejarah Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia............................5
C. Perlindungan Hukum Tenaga Kerja/Buruh...........................................................7
D. Hubungan Ketenagakerjaan/Perburuhan............................................................11
E. Hubungan Industrial............................................................................................12
F. Perjanjian Kerja...................................................................................................15
G. Jaminan Sosial Tenaga Kerja..............................................................................19
H. Upah Buruh/Tenaga Kerja..................................................................................20
I. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).....................................................................22
J. Peradilan Perburuhan/Ketenagakerjaan...............................................................25
BAB III PENUTUP.....................................................................................................38
A. Kesimpulan.........................................................................................................38
B. Saran....................................................................................................................38
REFERENSI................................................................................................................39

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tenaga kerja atau buruh adalah pelaku pembangunan dan pelaku ekonomi
baik secara individu maupun secara kelompok, sehingga mempunyai peranan yang
sangat signifikan dalam aktivitas perekonomian nasional, yaitu meningkatkan
produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Indonesia, tenaga kerja di indonesia
sebagai salah satu penggerak tata kehidupan ekonomi dan merupakan sumber daya
yang jumlahnya cukup melimpah. Indikasi ini bisa dilihat pada masih tingginya
jumlah pengangguran di Indonesia serta rendahnya atau minimnya kesempatan kerja
yang disediakan.
Negara-negara yang ada diasia Indonesia merupakan salah satu negara dengan
jumlah pengangguran yang sangat besar. Banyaknya pekerja yang kehilangan
pekerjaannya ditambah dengan angkatan kerja baru yang belum mendapatkan
pekerjaan karena terbatasnya kesempatan kerja yang tersedia mengakibatkan tingkat
penganguran yang semakin tinggi. Salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk
mengurangi penganguran, disaat peluang dan kesempatan kerja didalam negeri sangat
terbatas, adalah migrasi melalui penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar
negeri.
Hukum Perburuhan atau ketenagakerjaan (Labor Law) adalah bagian dari
hukum berkenaan dengan pengaturan hukum perburuhan baik bersifat perseorangan
maupun kolektif. Secara tradisonal, hukum perburuhan terfokus kepada mereka
(pekerja atau buruh) yang melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan kerja yang
subordinatif (dengan pengusaha/pemberi kerja/majikan).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum perburuhan/ketenagakerjaan di Indonesia?
2. Bagaimana Sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan di Indonesia?
3. Bagaimana perlindungan hukum tenaga kerja/buruh?
4. Bagaimana hubungan ketenagakerjaan/perburuhan?
5. Bagaimana hubungan industrial?
6. Bagaimana perjanjian kerja?
7. Bagaimana jaminan sosial tenaga kerja?
8. Bagaimana upah buruh/tenaga kerja?
9. Bagaimana pemutusan hubungan kerja?
10. Bagaimana peradilan perburuhan/ketenagakerjaan

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hukum perburuhan/ketenagakerjaan di Indonesia
2. Untuk mengetahui Sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan di Indonesia
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum tenaga kerja/buruh
4. Untuk mengetahui hubungan ketenagakerjaan/perburuhan
5. Untuk mengetahui hubungan industrial
6. Untuk mengetahui perjanjian kerja
7. Untuk mengetahui jaminan sosial tenaga kerja
8. Untuk mengetahui upah buruh/tenaga kerja
9. Untuk mengetahui pemutusan hubungan kerja
10.Untuk mengetahui peradilan perburuhan/ketenagakerjaan

1
BAB II
ISI
A. Hukum Perburuhan / Ketenagakerjaan di Indonesia
1. Pengertian
Hukum ketenagakerjaan adalah hukum yang mengatur tentang tenaga kerja.
Hukum ketenagakerjaan semula dikenal dengan istilah perburuhan. Menurut A.N.
Molenaar, Hukum Perburuhan adalah suatu bagian dari hukum yang berlaku, yang
mengatur hubungan antara buruh dengan buruh, buruh dengan majikan, buruh dengan
penguasa, dan penguasa dengan penguasa.Setelah kemerdekaan ketenagakerjaan di
Indonesia diatur dengan ketentuan Undang Undang No. 14 Tahun 1969 tentang
Pokok-pokok Ketentuan Tenaga Kerja. Pada tahun 1997 undang-undang ini diganti
dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
Kehadiran Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 1997 telah menimbulkan
banyak protes dari masyarakat. Hal ini dikaitkan dengan masalah menara Jamsostek
yang dibangun berdasarkan dugaan kolusi penyimpangan dana Jamsostek. UU ini
ditangguhan kemudian diganti oleh UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara/LN Tahun 2003 No.39, Tambahan LN.Tahun 2003 No.4279).
Hukum Ketenagakerjaan juga disebut Hukum Perburuhan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39, memberikan definisi-
pengertian sebagai pembatasan, antara lain bawah ini.
a. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada
waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
b. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang da/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
c. Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
d. Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-
badan lainnya lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah
atau imbalan bentuk lain.
2. Ruang Lingkup
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 telah disesuaikan dengan perkembangan
reformasi, khususnya yang menyangkut hak berserikat/berorganisasi, penyelesaian
perselisihan indutrial. Dalam undang-undang ketenagakerjaan ini tidak lagi
ditemukan istilah buruh dan majikan, tapi telah diganti dengan istilah pekerja dan
pengusaha. Dalam Pasal 1 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Ketenagakerjaan adalah segala hal ikhwal hal
yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah
melakukan pekerjaan. Berdasarkan pengertian Ketenagakerjaan tersebut dapat
dirumuskan pengertian Hukum Ketenagakerjaan adalah segala peraturan hukum yang
berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja, selama atau dalam hubungan
kerja, dan sesudah hubungan kerja. Jadi pengertian hukum ketenagakerjaan lebih luas
dari hukum perburuhan yang selama ini dikenal sebelumnya yang ruang lingkupnya
hanya berkenaan dengan hubungan hukum antara buruh dengan majikan dalam
hubungan kerja saja.
3. Asas
Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 menegaskan
bahwa pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan melalui
koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.

2
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas
pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi, asas adil, dan merata. Hal ini
dilakukan karena pembangunan ketenagakerjaan menyangkut multidimensi dan
terkait dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha dan tenaga kerja.
Oleh sebab itu pembangunan ketenagakerjaan dilakukan secara terpadu dalam bentuk
kerja sama yang saling mendukung. Asas hukum ketenagakerjaan adalah asas
keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
4. Tujuan
Keberadaan hukum ketenagakerjaan secara yuridis bertujuan untuk menjaga
keseimbangan hubungan kerja antara tenaga kerja dan pengusaha agar memiliki
huungan yang baik dalam melakukan aktifitas berusaha sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan pada tiap pihak (industrial peace).
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa
pembangunan ketenagakerjaan bertujuan: a. Memberdayakan dan mendayagunakan
tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; b. Mewujudkan pemerataan kesempatan
kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan
nasional dan daerah; c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan; dan d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan
keluarganya.
5. Sifat
Hukum ketenagakerjaan bersifat perdata atau privat. Meski begitu,
pelaksanaan hubungan kerja untuk masalah-masalah tertentu masih membutuhkan
intervensi dari pemerintah. Sifat hukum ketenagakerjaan dibagi menjadi dua yaitu
bersifat imper atif dan bersifat fakultatif. Hukum bersifat imperatif atau
dwingenrecht (hukum memaksa) artinya hukum yang harus ditaati secara mutlak,
tidak boleh dilanggar. Sedangkan hukum yang bersifat fakultatif atau
regelendrecht/aanvutlendrecht (hukum yang mengatur/melengkapi), artinya hukum
yang dapat dikesampingkan pelaksanaannya.
6. Hakikat
Hakikat dari hukum ketenagakerjaan adalah melindungi pekerja dari tindakan
sewenang-wenang pihak pengusaha. buruh memiliki hak kebebasan yang dilindungi
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, Namun secara sosiologis, buruh
merupakan orang yang tidak bebas, karena ia terpaksa bekerja mengikuti
majikannya/pengusanya dimana ia berada. Dalam prakteknya, baik secara jasmaniah
maupun rohaniah tenaga kerja merupakan pihak yang tidak bebas. Oleh karena itu
perlu adanya hukum perburuhan untuk menghendaki adanya keadilan sosial dalam
imbangan antara kepentingan buruh da kepentingan majikan.
7. Sumber Hukum
Sumber Hukum Perburhan memiliki posisi penting karena merupakan acuan
para pihak jika mereka menghadapi suatu perselisihan. karena itu, sumber Hukum
Perburuhan bernilai yang sangat strategis dalam hubungan kerja. Apabila dilihat dari
jenisnya, ada dua macam/jenis sumber hukum dalam hukum pernburuhan yaitu
Kaidah Otonom dan Kaidah Heteronom.
a. Kaidah Otonom
Kaidah hukum otonom terdiri dari:
1. Perjanjian Kerja. Isi perjanjain kerja adalah hak dan kewajiban buruh pekerja
ataapun pengusaha yang tercermin dalam syarat-syarat kerja, dan harus dijadikan
pedoman bertingkah laku buruh/pekerja dalam kehdiupan sehari-hari disetiap unit
kerja.
2. Peraturan Perusahaan. Isi peraturah perusahaan adalah hak dan kewajiban buruh
dan pengusaha yang merupakan syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan

3
yang harus dijadikan sebagai sumber hukum jika terjadi perselisiha di antara
mereka.
3. Perjanjian Kerja Bersama atau Collective Labor Agreement atau Collective
Bargaining Agreement menghasilkan syarat-syarat kerja yang merupakan hak dan
kewajiban buruh atau serikat buruh dengan pengusaha yang harus menjadi
pedoman selama berlakuanya perjanjian kerja bersama tersebut.
4. Kebiasaan Hukum (Customary Law) dapat didefinisikan sebagai kebiasaan atau
perilaku yang harus menerus dilakukan dan berulang-ulang yang lama-lama
menjadi hukum di mana para pihak terikat untuk melaksanakannya. Satu kali
dilakukan dan di jadikan dasar pemberian hak kepada buruh, akan dijadikan
acuan untuk selanjutnya, kecuali ada alasan-alasan yang dapat diajukan untuk
tidak melaksanakannya asalkan dibuat perjanjian/persetujuan dari pihak
buruh/pekerja.
b. Kaidah Heteronom
Kaidah hukum heteronom terdiri dari
1. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republlik Indonesia
2. Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Terhadap Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
6. Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-
undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 No. 23 dari Republik Indonesia
untuk Seluruh Indonesia
7. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
8. Subjek Hukum
Subjek hukum perburuhan adalah tenaga kerja, majikan, dan organisasi tenaga
kerja. Berdasarkan undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
dimaksud dengan pekerjaan Pengantar Hukum Ketenagakerjaan buruh adalah setiap
orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Sedangkan majikan adalah seorang pengusaha dalam hubungannya dengan
pengusaha dalam hubungannya dengan buruh, dalam hal tertentu kata pengusaha
berarti majikan.
Dalam dunia tenaga kerja, terdapat organisasi yang dianggotai oleh para
tenaga kerja yakni organisasi tenaga kerja. Organisasi tenaga kerja adalah alat bagi
buruh untuk melindungi dan memperjuangkan kedudukannya dalam perbaikan nasib.
Pentingnya organisasi buruh sesuai dengan undang-undang dasar sementara 1950
pasal 29 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mendirikan serikat dan masuk
ke dalamnya untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingannya.
9. Objek Hukum
Adapun objek hukum ketenagakerjaan antara lain:
1. Pelanggaran atas suatu ketentuan dalam terpenuhinya pelaksanaan sanksi
hukuman, baik yang bersifat administratif maupun bersifat pidana sebagai akibat
dilanggarnya suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
2. Terpenuhinya ganti rugi banyak pihak yang dirugikan sebagai akibat wanprestasi
yang dilakukan oleh pihak lainnya terhadap perjanjian yang telah disepakati.
10. Pihak-Pihak yang Terkait
Demi terwujudnya hubungan kerja yang baik perlu adanya kerjasama yang
melibatkan beberapa pihak seperti yang terdapat dalam UU No. 13 Tahun 2013.
Pihak-pihak yang tersebut diantaranya: 1. Pekerja/buruh; 2. Serikat Kerja/Serikat

4
Buruh; 3. Pemberi kerja/pengusaha; 4. Organisasi pengusaha; 5. Lembaga kerjasama
bipartit/tripartit; 6. Dewan pengupahan; dan 7. Pemerintah
B. Sejarah Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia
1. Pra Kemerdekaan RI
a. Zaman Perbudakan
Pada masa perbudakan, keadaan Indonesia dapat dikatakan lebih baik
daripada di negara lain karena telah hidup hukum adat. Pada masa ini, budak adaiah
milik majikan. Pengertian milik berarti menyangkut perekonomian, serta hidup
matinya seseorang. Politik hukum yang berlaku pada masa ini, tergantung pada
tingkat kewibawaan penguasa (raja)..
Selain itu, dikenal lembaga perhambaan (pandelingschap) dan peruluran
(horigheid, perkhorigheid). Iman Soepomo menggambarkan lembaga perhambaan
(pandelingschap) dan peruluran (horigheid, perkhorigheid) sebagai berikut lembaga
perhambaan (pandelingschap). Lembaga ini terjadi apabila ada hubungan pinjam-
meminjam uang atau apabila terjadi perjanjian utang piutang. Orang yang berutang
sampai saat jatuh tempo pelunasan belum bisa membayar utangnya. Pada saat itu pula
orang yang berutang (debitur) menyerahkan dirinya atau menyerahkan orang lain
kepada orang si kreditor, sebagai jaminan dan dianggap sebatas bunga dari utang.
Selanjutnya orang yang diserahkan diharuskan untuk bekerja kepada orang
yang memberi utang sampai batas waktu si debitur dapat melunasi utangnya.
Penyerahan diri atau orang lain itu dimaksudkan untuk membayar bunga dari utang
itu. Bukan untuk membayar utangnya. Keadaan ini pada dasarnya sama dengan
perbudakan.
Lembaga peruluran (horigheid, perkhorigheid) terjadi setelah Jan
Pieterszoon Coen pada tahun 1621 menguasai Pulau Banda. Semua orang yang ada
di pulau itu dibunuh atau diangkut ke luar negeri sebagai budak. Yang sempat
melarikan diri ada yang menjadi bajak laut. Selanjutnya tanah-tanah yang masih
kosong itu diberikan atau dibagi-bagikan kepada bekas pegawai Kompeni atau orang
lain. Orang yang diberi kebun itu dinamakan perk (= ulur). Kepemilikan hanya
terbatas pada saat orang itu tinggal di kebun itu dan wajib tanam.
Hasil dari wajib tanam itu wajib untuk dijual kepada Kompeni saja dengan
harga yang telah ditentukan oleh Kompeni. Apabila mereka pergi atau keluar dari
kebun itu, ia akan kehilangan hak atas kebun itu. Wajib tanam ini kemudian menjadi
bagian dari cultuurstelsel dan berlangsung hingga tahun 1863.
b. Zaman Kerja Rodi
Pekerjaan rodi atau kerja paksa dilakukan oleh Hindia Belanda mengingat
untuk melancarkan usahanya dalam mengeruk keuntungan dari rempah-rempal dan
perkebunan. Untuk kepentingan politik imperialismenya, pembangunan saran;
prasarana dilakukan dengan rodi.
Rodi dibagi tiga, yaitu rodi gubernemen (untuk kepentingan gubernemei dan
pegawai), rodi perorangan (untuk kepentingan kepala atau pembesa Indonesia), dan
rodi desa (untuk kepentingan desa).
c. Zaman Poenale Sanctie
Zaman ini merupakan perkembangan dari zaman kerja paksa. Pada zaman
poenale sanctie ini kedudukan buruh sudah diakui sebagai tenaga kerja yang berhak
menerima upah atau imbalan kerja (meskipun masih dalam taraf yang minim).
Poenalie sanctie itu bertujuan untuk mengikat buruh supaya tidak melarikan diri
setelah melakukan kontrak kerja. Kontrak kerja saat itu dapat dikatakan semu karena
setelah tanda tangan apabila buruh diperlakukan sewenang-wenang tidak dapat
mengakhiri hubungan kerja.
Berdasarkan laporan Rhemrev, di luar poenale sanctie, masih ada pukulan dan
tendangan sesuai kehendak majikan kulit putih guna-menanamkan disiplin kepada
buruh kulit berwarna. Mencambuk kuli kontrak yang membangkang kadang-kadang

5
sampai mati atau mengikat kuli perempuan di bungalo tuan kebun dan menggosok
kemaluannya dengan lada yang ditumbuk halus tidak hanya terdapat di Deli. Poenale
Sanctie berakhir dengan dicabutnya Kuli Ordonantie 1931/1936 dengan Staatsblad
1941 No. 514 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1942.
2. Pasca Kemerdekaan RI
a. Orde Lama
Pada awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia ingin membentuk sebuah
Negara Kesejahteraan (welfare state), dimana kesejahteraan rakyat merupakan
tanggung jawab pemerintah. Pada masa ini pemerintah Indonesia melakukan berbagai
nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan peninggalan Kolonial Belanda dan
dalam pengaturan perburuhan tetap menggunakan peraturan-peraturan yang
ditinggalan Belanda. Belum adanya peraturan perburuhan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Indonesia pada masa itu dikarenakan orientasi/ pemikiran pemerintah dan
rakyat Indonesia ditujukan kepada usaha mempertahankan kemerdekaan Negara
Indonesia yang ingin direbut kembali oleh Pemerintah Belanda.20
Pada tahun 1948, saat Indonesia berhasil mempertahankan kedaulatannya
baru terlihat Pemerintah Indonesia memperbaiki hubungan perburuhan dengan cara
memperhatikan nasib pekerja/ buruh dengan mengeluarkan beberapa peraturan
perundang-undangan, yaitu antara lain:
1) Undang-Undang Kerja Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan
Antara Serikat Buruh dan Majikan;
2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan;
3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Kerja di Perusahaan
Swasta;
4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-
Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 NR, 23 Dari Republik Indonesia
Untuk Seluruh Indonesia;
b. Orde Baru
Hubungan perburuhan yang dibangun pemerintah orde baru diberi nama
Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP). Hubungan perburuhan Pancasila adalah
hubungan di antara para pihak yang berkaitan dengan proses produksi baik mengenai
barang maupun jasa yang dilandasi atas nilai-nilai yang merupakan perwujudan dari
keseluruhan Pancasila dan UUD 1945.
Penggunaan istilah Hubungan Perburuhan Pancasila dalam perkembangannya
berubah menjadi Hubungan Industrial Pancasila (HIP), dikarenakan hubungan
perburuhan yang merupakan terjemahan dari labour relation pada permulaan
perkembangannya hanya membahas hubungan antara buruh dan majikan, tetapi
dalam kenyataannya hubungan antara pekerja dan pengusaha bukan merupakan
masalah yang berdiri sendiri karena banyak dipengaruhi oleh masalah lain seperti
ekonomi, social, politik dan budaya, oleh karena itu istilah hubungan perburuhan
tidak tepat lagi karena tidak menggambarkan lagi permasalahan yang sebenarnya.
Hubungan Industrial Pancasila menghendaki agar para pihak yang terlibat di
dalamnya melakukan suatu tindakan apapun harus sesuai dengan nilai Pancasila, atau
jelasnya hubungan industrial Pancasila adalah hubungan industrial yang dijiwai oleh
kelima sila Pancasila. Hubungan Industrial Pancasila (HIP) bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur, penciptaan ketenangan bekerja dan
berusaha, menciptakan kondisi produksi dan produktivitas yang tinggi, peningkatan
kesejahteraan pekerja selayaknya martabat manusia seutuhnya, dan mewujudkan
kemerdekaan sebagai bagian dari ketertiban dunia. Konsep Hubungan Industrial
Pancasila (HIP) melihat pekerja sebagai manusia dengan segala martabat yang
melekat pada dirinya, dan tidak hanya semata dan sekedar sebagai faktor produksi.
Sifat gotong royong sangat mendasari dari keberlakuan konsep Hubungan Industrial
Pancasila (HIP), oleh karenanya friksi antara pekerja yang memperjuangkan
kesejahteraan dan pengusaha yang mencari keuntungan semata harusnya dapat
terjawab dan terselesaikan.
Pemerintahan Orde Baru tetap memberlakukan produk hukum perburuhan
pada masa Orde Lama dan hanya mengeluarkan beberapa undang-undang dan

6
peraturan-peraturan tingkat Menteri yang pada dasarnya hanyalah sebagai pelengkap,
tetapi kenyataannya meniadakan ketiga undang-undang tersebut serta nyata-nyata
merugikan buruh.
Dalam laporan ILO, Lembaga Bantuan Hukum berpendapat bahwa: “Analisa
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah menemukan tiga tujuan dari sistem hubungan
industrial Orde Baru (Masduki, 1999).
Pertama, perangkat hukum ini dimaksudkan untuk memperkuat sistem kontrol
pemerintah atas urusan perburuhan dengan memperkenalkan model korporatis dan
paksaan. Jamsostek, melalui UU No. 3 tahun 1992. Kedua, reformasi era pasar
dimaksudkan untuk menjamin fleksibilitas pasar tenaga kerja. Hal ini khususnya
dimaksudkan untuk membantu pihak pengusaha dalam melaksanakan sistem kerja
subkontrak atau berjangka pendek berdasarkan fluktuasi produksi, perubahan
teknologi produksi atau mobilisasi modal. Ketiga, perangkat hukum ini bertujuan
memfasilitaskan mobilisasi para pekerja oleh pemerintah agar disesuaikan dengan
keperluan mobilitas modal.
c. Era Reformasi
Perburuhan pada masa orde reformasi dimulai pasca turunnya Soeharto.
Dalam perkembangannya Pemerintahan Abdurrahman Wahid mengesahkan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, dan pada
Pemerintahan Megawati Soekarnoputri mengesahkan: 1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; dan 3) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Pada awal diusulkannya ketiga rancangan undang-undang yaitu RUU Serikat
Pekerja (yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/ Serikat Buruh), RUU Pembinaan Dan Perlindungan Ketenagakerjaan
(yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan), dan RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (yang
kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial) mendapat reaksi keras dari buruh. Dua pihak yang
berpolemik adalah pengusaha dan buruh. Pihak buruh melihat pada mulanya dua
RUU tentang Ketenagakerjaan yang baru bila dibandingkan dengan Undang-Undang
yang lama, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 ternyata lebih memihak
kepada Pengusaha. Bahkan patut dicurigai pula dua RUU itu diajukan Pemerintah ke
DPR untuk disahkan menjadi Undang-Undang karena motif desakan International
Monetary Fund (IMF). Seperti diketahui IMF memberikan syarat supaya Pemerintah
mereview semua Undang-Undang yang berkaitan dengan perburuhan akarena selama
ini dinilai terlalu memproteksi buruh dan merugikan investor. Dengan demikian jelas
bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan memang merupakan kelanjutan dari hasil
pesanan Bank Dunia yang mewakili kepentingan modal internasional di Indonesia
yang melihat buruh semata sebagai hambatan bagi investasi dan pembangunan
ekonomi.
C. Perlindungan Hukum Tenaga Kerja/Buruh
Perlindungan tenaga kerja sangat mendapat perhatian khusus dalam hukum
ketenagakerjaan. Perlindungan hukum terhadap buruh diatur dalam UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
1. Jenis Perlindungan Tenaga Kerja
Perlindungan tenaga kerja dapat dibagi menjadi 3 jenis, yakni:
1) Perlindungan ekonomis, yakni perlindungan yang diberikan kepada tenaga kerja
adalah dalam bentuk penghasilan/upah yang cukup. Hal ini termasuk bila tenaga
kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya.
2) Perlindungan sosial, yakni perlindungan yang diberikan kepada tenaga kerja
dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan dalam berserikat serta
perlindungan hak untuk berorganisasi.

7
3) Perlindungan teknis, yakni perlindungan yang diberikan kepada tenaga kerja
dalam bentuk keselamatan kerja dan juga keamanan saat bekerja.
a. Perlindungan Tenaga Kerja
Perlakuan khusus dalam perlindungan tenaga kerja berdasarkan objek
perlindungan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 adalah kepada tenaga kerja
perempuan, anak, dan penyandang disabilitas.
b. Perlindungan Jam Kerja dan Waktu Istirahat
Perlindungan waktu kerja meliputi waktu kerja dan juga waktu istirahat untuk
tenaga kerja. Hal ini merupakan jaminan perlindungan yang perlu diberikan saat para
pekerja berada di lingkungan kerja. Perlindungan ini bertujuan agar dapat
menghindari sikap yang sewenang-wenang terhadap waktu bekerja para tenaga kerja
seperti memberikan waktu kerja yang berlebihan yang dapat menimbulkan hal buruk
bagi pekerja tersebut.
1). Perlindungan Waktu Kerja
Waktu kerja adalah waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan pada
satu periode tertentu. Penentuan waku kerja, dan waktu istirahat menjadi faktor yang
menentukan untuk menilai apakah pekerja/buruh benar-banar mendapatkan jaminan
perlindungan dari pengusaha. Ketentuan waktu kerja yang menjadi pedoman untuk
dilaksanakan oleh pengusaha atau pemberi kerja diatur dalam UU No. 13 tahun 2003
pada pasal 77 Undang-Undang Ketenagakerjaan, Tenaga kerja hanya diberikan waktu
bekerja sesuai dengan ketetapan di dalamnya. Perusahaan wajib menaati aturan sesuai
ketentuan tesebut terhadap para pekerjanya. Pelanggaran yang dilakukan terhadap
aturan yang belaku mengharuskan perusahaan untuk meminta perizinan dari lembaga
yang memiliki wewenang terkait hal ini yang selanjutnya harus memberikan
kompensasi pembayaran atas pelanggaran yang dilakukan sebagaimana telah
dicantumkan dalam peraturan mengenai waktu kerja lembur dan pemberian upah
lembur. Waktu kerja yang ditetapkan dalam UUK meliputi (pasal 77 ayat 2) yakni:
a) 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh ) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerj dalam 1 (satu) minggu; atau
b) 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam (satu) minggu untuk 5
(lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Ketentuan waktu kerja di atas memiliki pengecualian bagi sektor usaha
tertentu seperti perusahaan yang bergerak dibidang Energi dan Sumber Daya Mineral.
Perusahaan di bidang Energi dan Sumber Daya Mineral termasuk perusahaan jasa
penunjangan yang melakukan kegiatan di daerah operasi tertentu dapat memilh dan
menetapkan salah satu dan atau beberapa waktu kerja sesuai dengan kebutuhan
operasional perusahaan.
2). Waktu Kerja Lembur
Pengusaha yang memperkerjakan pekerja atau buruh melebihi waktu kerja
sebagaimana di maksud dalam pasal 77 ayat (2) undang-undang Ketenagakerjaan
harus mendapat persetujuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan, dan waktu kerja
lembur hanya dapat di lakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14
(empat belas) jam dalam satu minggu dan wajib membayar upah kerja lembur.
Menurut Pasal 9 Keputusan Mentri tenaga kerja dan transmigrasi Republik
Indonesia Nomor Kep. 102/MEN/ VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah
Kerja Lembur, perhitungan upah lembur didasarkan pada upah bulanan. Cara
menghitung upah sejam adalah 1/173 kali upah sebulan. Dalam hal upah
pekerja/buruh/dibayar secara harian, maka penghitungan besarnya upah sebulan
adalah upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi pekerja/buruh yang bekerja 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu dikalikan 21 (dua puluh satu) bagi
pekerja/buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

8
3). Waktu Istirahat
Perusahaan berkewajiban untuk memberikan waktu istirahat bagi tenaga kerja
yang dipekerjakan di lingkungan kerja. Waktu istirahat bertujuan agar para pekerja
dapat berhenti istirahat sejenak untuk mengembalikan tenaga yang terpakai selama
bekerja. Waktu istirahat memiliki ketentuan, sebagai berikut:
a) Istirahat di antara jam kerja, diberikan minimal setengah jam setelah bekerja
selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk
jam kerja;
b) Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam1 (minggu) atau 2
(dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c) Istirahat/cuti untuk tidak bekerja namun akan tetap berhak menerima upah dan
hak lain dengan semestinya. Waktu cuti yang menjadi hak tenaga kerja ialah: Cuti
tahunan, minimal 12 (dua belas) hari setelah pekerja/buruh yang bersangkutan
selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan Istirahat panjang minimal
2 (dua) bulan dan dapat dilakukan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-
masing 1 (satu) bagi perkerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun
secara terus menerus pada perusahaan yang sama. Dalam hal ini pekerja/ buruh
yang menjalani istirahat panjang tersebut tidak berhak atas istirahat tahunannya
dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa
kerja 6 (enam) tahun.
Bagi tenaga kerja perempuan terdapat beberapa keistimewaan dari aturan
yang diberikan mengenai waktu istirahatnya. Hal ini disebabkan perempuan memiliki
fungsi biologis yang berbeda yang menjadikan dirinya pada waktu-waktu tertentu
tidak mampu melaksanakan kewajibannya sebagai tenaga kerja. Tenaga kerja
perempuan diberikan waktu istirahat dan tetap memiliki hak-haknya. Cuti khusus
perempuan ini meliputi:
a) Hari pertama dan kedua pada waktu haid. Pekerja/buruh perempuan yang dalam
masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib
bekerja (pasal 18 UUK).
b) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengan)
bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan
( pasal 82).
c) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak
memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat
keterangan dokter kendungan atau bidan (pasal 82).
d) Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan
sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu
kerja (pasal 83).
2. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
a. Prinsip Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Beberapa prinsip keselamatan kerja dan kesehatan kerja menurut berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 86 dan pasal
87 antara lain sebagai berikut:
1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: 1)
Keselamatan dan kesehatan kerja; 2) Moral dan kesusilaan; dan 3) Perlakuan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas
kerja yang optimal diselenggarkan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
3) Setiap perusahaan waijib menerapkan sistem manajemen keselamatan kerja yang
terintegritas dengan manajemen perusahaan.
b. Maksud dan Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

9
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bermaksud memberikan jaminan
keselamatan dan meningkatkan kualitas kesehatan para tenaga kerja dengan
melakukan pencegahan adanya kemungkinan kecelakan dan sakit yang berasal dari
pekerjaan dengan cara pengendalian bahaya di lingkungan kerja, promosi kesehatan,
pengobatan, dan rehabilitasi. Keselamatan dan Kesehatan Kerja juga bertujuan
melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang
optimal, dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian
bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. Oleh sebab
itu terdapat peraturan perundang-undangan yang membahas keselamatan dan
kesehatan kerja terkait:
1) Melindungi pekerja dari resiko kecelakaan kerja.
2) Meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh.
3) Agar pekerja/buruh dan orang orang disekitarnya terjamin keselamatannya.
4) Menjaga agar sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan
berdaya guna.
Lingkup keselamatan dan kesehatan kerja terdapat di seluruh wilayah kerja baik
yang berada di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air, maupun udara
selama masih dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Unsur tempat kerja ada
tiga, yaitu :
1) Adanya usaha yang sifatnya komersil, ekonomis, ataupun sosial.
2) Adanya sumber bahaya yang dapat membahayakan pekerja.
3) Adanya tenaga kerja yang bekerja di wilayah tersebut yang secara terus-menerus
ataupun berkala.
Penanggung jawab keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja ialah
pengusaha atau pimpinan atau pengurus tempat kerja. Pelaksanaan keselamatan dan
kesehatan kerja di tempat kerja dilakukan secara bersama oleh pimpinan atau
pengurus perusahaan dan seluruh pekerja/buruh
3. Perlindungan Upah
a. Prinsip Pengupahan
1) Hak menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada
saat hubungan kerja putus. Pengusaha tidak boleh mengadakan diskriminasi upah
bagi pekerja atau buruh laki-laki dan wanita untuk jenis pekerjaan yang sama.
2) Upah tidak dibayar apabila pekerja atau buruh tidak melakukan pekerjaan (no
work no pay).
3) Komponen upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap, dengan formulasi
upah pokok minimal 75% dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
4) Tuntutan pembayaran upah pekerja atau buruh dan segala pembayaran yang
timbul dari hubungan kerja menjadi daluwarsa setalah melampaui jangka waktu 2
(dua) tahun sejak timbulnya hak.
b. Upah Minimum
Penetapan upah minimum provinsi atau disebut UMP bertujuan untuk
melindungi upah tenaga kerja agar mendapatakan perolehan upah yang sesuai dan
layak. Sebelumnya UMP disebut sebagai upah minimum regional tingkat I (UMR Tk
I) yang kemudian melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Kep-226/Men/2000 tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11,
Pasal 20, dan Pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/MEN/1999
tentang Upah Minimum Pasal 1 angka 1, UMR Tk I kemudian diubah menjadi UMP.
Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7
Tahun 2013 tentang Upah Minimum (Permenakertrans No. 7 Tahun 2013)
menjelaskan bahwa yang dimaksud sebagai upah UMP adalah upah bulanan terendah
yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur

10
sebagai jaring pengaman yang berlaku untuk seluruh kabupaten atau kota di satu
provinsi. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa UMP adalah upah bulanan
terendah yang terdiri dari upah pokok, termasuk tunjangan tetap.
Perusahaan tidak boleh memberi upah yang lebih rendah dari UMP yang telah
ditetapkan. Bila perusahaan tetap memberi upah lebih kecil dari pada jumlah UMP
maka hal ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan. Tindak pidana ini
akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4
(empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
c. Upah Lembur
Upah lembur merupakan jenis upah yang diberikan oleh perusahaan sebagai
kompensasi kepada tenaga kerja karena tetap melakukan pekerjaan melebihi jam
kerja (7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu) atas permintaan
perusahaan. Sikap yang dilakukan oleh tenaga kerja tersebut menjadikannya berhak
untuk menerima upah lembur. Meskipun seperti itu, tetap ada batasan-batasan
maupun pengaturan khusus terhadap tenaga kerja atau buruh tertentu yang justru
tidak berhak atas upah lembur. Komponen upah yang dipergunakan sebagai dasar
perhitungan upah lembur terdiri atas upah pokok dan tunjangan yang bersifat tetap.
d. Keterlambatan Pembayaran Upah
Dalam peraturan yang belaku tentang upah, Perusahaan berkewajiban untuk
memberikan upah kepada tenaga kerja secara tepat waktu sesuai dengan perjanjian
kerja yang dibuat. Hal ini ada dijelaskan pada pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor
8 Tahun 1981 menyatakan bahwa upah harus dibayar oleh pengusaha kepada pekerja
secara tepat waktu sesuai kesepakatan. Jika perusahaan
mengalami keterlambatan dalam memberikan upah kepada pekerja maka pengusaha
wajib membayar denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja atau
buruh (Pasal 95 ayat 2 Undang-Undang Ketenagakerjaan) atau tambahan upah (Pasal
19 Peraturan Pemerintah Pengganti Upah) kepada pekerja atau buruh sebesar:
1) 5% (lima persen) per hari keterlambatan, untuk hari keempat sampai hari
kedelapan;
2) 1% (satu persen) per hari keterlambatan, untuk hari kesembilan dan seterusnya.
Dengan catatan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari upah
keseluruhan yang seharusnya diterima oleh pekerja.

D. Hubungan Ketenagakerjaan/Perburuhan
1. Ruang Lingkup Hubungan Kerja
Hubungan kerja merupakan dasar dari setiap pekerja yang bekerja.
Sebagaimana diketahui bahwa hubungan kerja merupakan hubungan hukum yang
sangat berbeda jika dibandingkan dengan hubungan hukum perikatan dalam Perdata
Umum. Perbedaan mendasar adalah hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha
didasarkan pada posisi yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan antara pekerja
dengan pengusaha didasarkan pada fakta pekerja merupakan pihak yang
mengandalkan pengusaha sebagai pihak lain untuk dapat bekerja, sementara disaat
yang bersamaan pengusaha adalah pihak yang berwenang menentukan syarat-syarat
kerja.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah
mengatur secara khusus mengenai hubungan kerja yaitu berada pada Bab IX.
Hubungan kerja sendiri memiliki keterkaitan erat dengan perjanjian kerja, namun
perlu dipahami bahwa pembuktian keberadaan hubungan kerja tidak didasarkan pada
adanya perjanjian kerja, melainkan terpenuhi atau tidaknya unsur pekerjaan, upah,

11
dan perintah antara pekerja dengan pengusaha. Selain itu juga Perjanjian Kerja dapat
dibuat secara tertulis maupun lisan.
2. Unsur Hubungan Kerja
Unsur hubungan kerja terdiri dari para pihak sebagai subjek (pengusaha dan
pekerja/buruh), perjanjian kerja, adanya pekerjaan, upah, dan perintah. Maka dari itu,
landasan hubungan kerja karena adanya perjanjian kerja, baik tertulis maupun lisan.
Unsur hubungan kerja terdiri atas: a. Unsur adanya pekerjaan; b. Unsur adanya
perintah; c. Unsur adanya upah; dan d. Unsur waktu tertentu.
3. Subjek Hukum dalam Hubungan Kerja
Subjek hukum dalam hubungan kerja pada dasarnya adalah
pengusaha/pemberi kerja dengan pekerja/buruh. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
membedakan pengertian pengusaha, perusahaan, dan pemberi kerja.
4. Objek Hukum dalam Hubungan Kerja
Objek hukum dalam hubungan kerja adalah pekerjaan yang dilakukan oleh
pekerja. Dengan kata lain tenaga yang melekat pada diri pekerja merupakan objek
hukum dalam hubungan kerja.
Objek hukum dalam perjanjian kerja, yaitu hak dan kewajiban masing-masing
pihak secara timbal balik yang meliputi syarat-syarat kerja atau hal lain akibat adanya
hubungan kerja. Syarat-syarat kerja selalu berkaitan dengan upaya peningkatan
produktivitas bagi majikan dan upaya peningkatan kesejahteraan oleh buruh. Antara
kepentingan pengusaha dengan kepentingan pekerja pada hakikatnya adalah
bertentangan.
Objek hukum dalam hubungan kerja tertuang di dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan dan kesepakatan kerja bersama/perjanjian kerja bersama.
Kedudukan perjanjian kerja adalah di bawah peraturan perusahaan, sehingga apabila
ada ketentuan dalam perjanjian kerja yang bertentangan dengan peraturan perusahaan
maka yang berlaku adalah peraturan perusahaan. Peraturan perusahaan yang
membuat adalah majikan secara keseluruhan. Perjanjian kerja secara teoretis yang
membuat adalah buruh dan majikan, tetapi kenyataannya perjanjian kerja itu sudah
dipersiapkan majikan untuk ditandatangani buruh saat buruh diterima kerja oleh
majikan.

E. Hubungan Industrial
1. Pengertian
Hubungan industrial merupakan suatu sistem hubungan yang terbentuk antara
para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.66 Berdasarkan
pengertian di atas, dapat disebutkan unsur-unsur hubungan industrial, yakni sebagai
berikut: a. Adanya proses produksi barang dan/atau jasa; b. Adanya sistem hubungan
industrial; dan c. Adanya pelaku yang meliputi pengusaha, pekerja/buruh, dan
pemerintah.
UU Ketenagakerjaan telah mengatur prinsip-prinsip dasar yang perlu kita
kembangkan dalam bidang hubungan industrial. Arahnya adalah untuk menciptakan
sistem dan kelembagaan yang ideal, sehingga tercipta kondisi kerja yang produktif,
harmonis, dinamis, dan berkeadilan.
Hubungan industrial mencakup hal yang dikaitkan dengan interaksi manusia
di tempat kerja. Hal tersebut sangat nyata ketika terjadi berbagai gejolak dan
permasalahan. Dampaknya adalah akan mengganggu suasana kerja dan berakibat
pada penurunan kinerja serta produksi di tempat kerja. Semua itu terkait dengan
keberhasilan atau kegagalan mengelola hubungan industrial di dalam perusahaan.

12
Mengingat permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia yang semakin
kompleks dengan diabaikannya perlindungan terhadap pekerja/buruh. Upaya
menciptakan hubungan indutrial adalah dalam rangka mencari keseimbangan antara
kepentingan pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah, karena ketiga komponen ini
mempunyai kepentingan masing-masing. Maka, pemerintah mempunyai peranan
yang sangat besar dalam uapaya menciptakan hubungan industrial yang selaras,
serasi, dan seimbang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Tujuan hubungan industrial Pancasila sebagaimana dimaksud di atas,
sesungguhnya dapat dibagi dalam dua ruang lingkup, yakni:
1) Mikro; dari segi mikro ini tujuan hubungan industrial Pancasila yaitu
menciptakan ketenangan, ketentraman, ketertiban kerja serta ketenangan usaha,
meningkatkan produksi, dan meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya
sesuai dengan martabat manusia.
2) Makro; dari segi makro ini tujuan hubungan industrial Pancasila adalah
mengemban cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus
1945 di dalam Pembangunan Nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang berdasarkan Pancasila serta ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Subjek hukum dalam hubungan industrial adalah para pihak yang terkait
dalam hubungan industrial, yaitu pekerja/buruh, pengusaha (majikan), dan
pemerintah. Kedudukan pekerja/buruh dan pengusaha (majikan) adalah dalam
kaitannya dengan adanya hubungan kerja yang menjadi inti dari hubungan industrial.
Kedudukan pemerintah sebagai pihak yang terkait sangat penting dalam
melaksanakan fungsinya untuk mengatur, membina, dan mengawasi hubungan
industrial tersebut. Di samping ketiga pihak itu, masih ada pihak lain yang tidak kalah
pentingnya dalam hubungan industrial yaitu serikat pekerja dan masyarakat pada
umumnya.
2. Landasan
Landasan hubungan industrial terdiri dari: a. Landasan konstitusional, yaitu
Undang-Undang Dasar 1945; b. Landasan ideal ialah Pancasila; dan c. Landasan
operasional, yakni GBHN (ditetapkan oleh MPRserta kebijakan-kebijakan lain dari
pemerintah).
3. Tujuan
Tujuan hubungan industrial adalah mengemban cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 di dalam pembangunan Nasional
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila serta
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial melalui penciptaan ketenangan, ketenteraman, dan
ketertiban kerja serta ketenangan usaha, meningkatkan produksi, dan meningkatkan
kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai derajat manusia. Sedemikian berat dan
amat mulianya tujuan tersebut, maka semua pihak yang terkait dalam hubungan
industrial harus memahami untuk terwujudnya pelaksanaan hubungan industrial
dengan baik.
4. Ciri-Ciri
Adapun ciri-ciri hubungan industrial di Indonesia ialah: a. Mengakui dan meyakini
bahwa bekerja bukan sekadar mencari nafkah saja, melainkan juga sebagai
pengabdian manusia kepada Tuhannya, sesama manusia, masyarakat, bangsa, dan
negara; b. Menganggap pekerja bukan hanya sekadar faktor produksi belaka,
melainkan juga sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya; c.
Melihat antara pekerja dan pengusaha bukan mempunyai kepentingan yang
bertentangan, melainkan mempunyai kepentingan yang sama untuk kemajuan

13
perusahaan; d. Setiap perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus
diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan
secara kekeluargaan; e. Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban untuk kedua
belah pihak, atas dasar rasa keadilan dan kepatutan.
5. Persfektif Hubungan Industrial dan Peran Pihak
a. Persefektif Hubungan Industrial
Hubungan industrial terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi
barang dan/atau jasa yang terdiri atas unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan
pemerintah. Dari ketiga unsur tersebut tentu sangat memengaruhi pelaksanaan
hubungan industrial, baik dalam perspektif sistem maupun dalam perspektif
kepentingan.
Dalam perspektif sistem, masing-masing pihak memiliki keterkaitan yang
sangat erat. Oleh sebab itu, satu sama lain harus sinergis dengan baik karena jika
tidak,akan mengganggu sistem yang lain dalam harmonisasi pelaksanaan hubungan
industrial. Andaikan saja peran pemerintah sudah dilaksanakan secara baik, peran
pengusaha dan pekerja/buruh juga harus mendukung dengan baik pula. Jika salah satu
pihak tidak berperan dengan baik, akan sangat berpengaruh dalam sistem pelaksanaan
hubungan industrial.
Dalam perspektif kepentingan, tentu masing-masing pihak memiliki
kepentingan yang berbeda, tetapi juga tidak menutup kemungkinan adanya
persamaan kepentingan. Persamaan kepentingan inilah yang harus selalu dibangun
dan dipelihara bersama. Kepentingan pemerintah dalam harmonisasi pelaksanaan
hubungan industrial, tentu tidak hanya sebatas peningkatan devisa dan tumbuhnya
investasi, tetapi juga terciptanya lapangan pekerjaan dan stabilitas Nasional.
Kepentingan pengusaha adalah terjaminnya iklim usaha yang kondusif sehingga
terciptanya hak tenangan usaha dan peningkatan keuntungan perusahaan. Sedangkan
kepentingan pekerja/buruh adalah kelangsungan bekerja dan peningkatan
kesejahteraan.
b. Peran Para Pihak
Peran para pihak dalam pelaksanaan hubungan industrial sebagai berikut:
1) Pemerintah, adalah menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan
pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
2) Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh adalah menjalankan pekerjaan
sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,
menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan dan
keahliannya, serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
3) Pengusaha dan organisasi pengusaha, adalah menciptakan kemitraan,
mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan
kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
6. Sarana Pendukung
Hubungan industrial baru bisa terlaksanakan bila didukung oleh beberapa
sarana utama, yaitu:
1) Peraturan perundang-undangan, yang merupakan standar minimal yang harus
ditaati.
2) Perjanjian kerja bersama (PKB), yang merupakan syarat kerja Pengantar Hukum
Ketenagakerjaan yang dirumuskan melalui perundingan antara serikat pekerja/
buruh dengan pengusaha.
3) Serikat pekerja/buruh di tingkat perusahaan dan di tingkat yang lebih tinggi,
bahkan di tingkat nasional untuk memungkinkan dibentuknya lembaga kerja sama

14
Tripartit sebagai wadah dialok untuk memberi masukan, mengantisipasi, dan
memecahkan permasalahan hubungan industrial.
4) Lembaga kerja sama Bipartit, sebagai sarana konsultasi dan komunikasi mengenai
berbagai isu antara pekerja dan pengusaha di tingkat perusahaan.
5) Peraturan perusahaan (PP), yang mengatur syarat kerja yang dibuat oleh
perusahaan.
6) Pendidikan hubungan industrial, sebagai sarana untuk memberikan pemahaman
tentang hubungan industrial, baik bagi pekerja/buruh, serikat pekerja/buruh
pengusaha atau manajemen perusahaan.
7) Mekanisme penyelesaian perselisihan industrial, sebagai pedoman apabila terjadi
perselisihan antara pekerja/buruh atau organisasinya dengan pengusaha.
Dalam melaksanakan prinsip hubungan industrial perlu adanya sikap mental
dan sikap sosial yang sarna antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah sehingga tidak
ada tempat bagi sikap yang saling berhadapan atau sikap penindasan oleh yang kuat
terhadap yang lemah. Guna mewujudkan falsafah hubungan industrial dalam
kehidupan hubungan kerja sehari-hari mutlak perlu suasana yang kondusif dalam
lingkungan kerja. Terciptanya suasana tersebut dapat terwujud bila didukung sarana-
sarana, antara lain: a. Serikat pekerja/serikat buruh; b. Organisasi pengusaha; c.
Lembaga kerjasama bipartit; dan d. Lembaga kerjasama tripatit.

F. Perjanjian Kerja
1. Pengertian
Dalam ketentuan Pasal l angka 14 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003,
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
Subjek hukum dalam perjanjian kerja pada hakikatnya adalah subjek hukum
dalam hubungan kerja. Menjadi objek dalam perjanjian kerja adalah tenaga yang
melekat pada diri pekerja. Atas dasar tenaga telah dikeluarkan oleh pekerja/buruh
maka ia akan mendapatkan upah.
2. Syarat Sah
Untuk sahnya sebuah perjanjian kerja, maka pembuatannya harus meme nuhi
syarat materiel (Pasal 52, 55, 58, 59, dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 13 tahun
2003) dan syarat formil (Pasal 54 dan 57 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003).
Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
secara materiel perjanjian kerja dibuat atas dasar: 1). Kesepakatan kedua belah pihak;
2). Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; 3). Adanya pekerjaan
yang diperjanjikan; dan 4). Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundangundangan yang berlaku.
3. Bentuk dan Isi
Membahas bentuk dan isi perjanjian kerja berarti membahas tentang syarat
formil suatu perjanjian kerja. Walau tidak ada satu pun peraturan yang mengikat
tentang bentuk dan isi perjanjian, karena dijamin dengan adanya asas kebebasan
berkontrak, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya
boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Asas
kebebasan berkontrak tersebut dituangkan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata
dengan memperhatikan Pasal 1320, 1335, dan 1337 KUH Perdata di samping Pasal
52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam praktik masih ada pihak yang sengaja dan salah menafsirkan
penerapan asas kebebasan berkontrak. Dianggapnya dengan asas ini perjanjian kerja
dapat dibuat dengan semaunya dan tanpa mematuhi rambu-rambu hukum yang

15
berlaku. Beberapa contoh di antaranya perjanjian yang mencantumkan: 1). Masa
percobaan yang melebihi 3 bulan atau masa percobaan berulang-ulang; 2). Masa
percobaan dalam perjanjian kerja waktu tertentu; 3). Hubungan kerja melanggar
ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu; 4). Upah di bawah ketentuan upah
minimum; 5). Melanggar atau meniadakan ketentuan perhitungan upah lembur; dan
6). Melanggar atau meniadakan program jamsostek.
4. Unsur-Unsur
Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 BW suatu perjanjian dikatakan sah apabila
memenuhi unsur-unsur: a. Adanya sepakat; b. Kecakapan berbuat hukum; c. Hal
tertentu; d. Kausa yang dibenarkan/sebab halal.
5. Pengelompokan Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja dibagi menjadi dua jenis,
yaitu: 1. Berdasarkan waktu berlakunya terdiri atas: a. Kesepakatan Kerja Waktu
tidak tertentu (KKWTT); dan b. Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu (KKWT). 2.
Perjanjian kerja lainnya terdiri atas: a. Perjanjian pemborongan pekerjaan; b.
Perjanjian kerja bagi hasil; c. Perjanjian kerja laut; dan d. Perjanjian untuk melakukan
jasa-jasa.
Namun demikian, perjanjian kerja tersebut masih perlu ditambah dengan perjanjian
kerja bagi hasil dan perjanjian untuk melakukan jasa-jasa. Kedua perjanjian ini jelas
tidak diatur dalam hukum ketenagakerjaan. Di samping itu, status para pihak yang
mengadakan perjanjian memiliki posisi tawar (bargaining position) yang hampir
seimbang. Berbeda dengan perjanjian kerja, di mana posisi tawar seorang
pekerja/buruh tidak sebanding dengan pengusaha. Apalagi dalam kedua perjanjian
tersebut tidak adanya unsur perintah dalam bentuk atasan bawahan.
Secara yuridis maupun empiris perjanjian kerja dapat dikelompokkan menjadi
empat kelompok, antara lain berdasarkan bentuk perjanjian, jangka waktu perjanjian,
status perjanjian, dan pelaksanaan pekerjaan.
d. Berakhirnya Perjanjian Kerja
Berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
bahwa perjanjian kerja berakhir apabila: 1. Pekerja/buruh meninggal dunia; 2.
Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; 3. Adanya putusan pengadilan dan/atau
putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau 4. Adanya keadaan atau kejadian
tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau
beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah
(Pasal 61 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
6. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
1. Prinsip Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Beberapa prinsip perjanjian kerja waktu tertentu yang perlu diperhatikan,
antara lain: a. Harus dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin,
minimal rangkap 2 (dua). Apabila dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing
dan terjadi perbedaan penafsiran, yang berlaku bahasa Indonesia; b. Hanya dapat
dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu; c. Paling lama 3 tahun, termasuk jika
ada perpanjangan atau pembaharuan; d. Pembaruan PKWT dilakukan setelah
tenggang waktu 30 hari sejak berakhirnya perjanjian; e. Tidak dapat diadakan untuk
jenis pekerjaan yang bersifat tetap; f. Tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja; g. Upah dan syarat-syarat kerja yang diperjanjikan tidak boleh

16
bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama (PKB), dan
peraturan perundang-undangan.
2. Syarat-Syarat Pembuatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Sebagaimana perjanjian kerja pada umumnya, perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT) harus memenuhi syarat-syarat pembuatan, baik syarat materiel maupun
syarat formil (periksa pembahasan Syarat Sahnya Perjanjian Kerja). Dalam Undang-
Undang Nomor 13 tahun 2003 syarat materiel diatur dalam Pasal 52, 55, 58, 59, dan
60, sedangkan syarat formil diatur dalam Pasal 54 dan 57.
Seperti dalam Pasal 58 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 diatur
bahwa PKWT tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Jadi, jika ada
PKWT yang mensyaratkan masa percobaan, masa percobaan dalam PKWT tersebut
batal demi hukum. Akibat hukumnya PKWT tersebut menjadi PKWTT. Sedangkan
secara formil pembuatan PKWT harus memuat sekurang-kurangnya (Pasal 54 ayat 1
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003), yaitu: a. Nama, alamat perusahaan, dan
jenis usaha; b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. Jabatan atau
jenis pekerjaan; d. Tempat pekerjaan; e. Besarnya upah dan cara pembayarannya; f.
Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; g.
Mulai dan jangka waktu bertakunya perjanjian kerja; h. Tempat dan lokasi perjanjian
kerja dibuat; dan i. Tanda tangan para pihak dalam penjanjian kerja.
Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam rangkap 2, masing- masing untuk
pengusaha dan pekerja/buruh. Mengingat perlunya pencatatan PKWT sebagaimana
diatur dalam Pasal 13 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Kep.100/Men/VIIZOO4, maka ditambah 1 rangkap lagi, yaitu untuk instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat. Pencatatan
dilakukan selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak penandatanganan perjanjian kerja.
Segala hal dan/atau biaya yang timbul atas pembuatan PKWT menjadi tanggung
jawab pengusaha (Pasal 53 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003).
3. Kategori Pekerjaan Untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Dalam praktik sering terjadi penyimpangan atas hal ini. Dengan latar
belakang dan alasan tertentu kadang terdapat pengusaha dengan sengaja
memberlakukan PKWT untuk jenis pekerjaan yang bersifat tetap. Guna
mengantisipasi masalah ini, pasal 59 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
menetapkan kategori pekerjaan untuk PKWT, sebagai berikut: a. pekerjaan yang
sekali selesai atau sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lam 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan
produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan.
4. Pengelompokan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Kep.100/Men/Vl/2004 pengelompokan PKWT terdiri atas:
a). Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang sekali selesai atau
sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 tahun 1) Didasarkan atas
selesainya pekerjaan tertentu. 2) Untuk jangka waktu paling lama 3 tahun. 3)
Hubungan kerja putus demi hukum apabila pekerjaan tertentu dapat diselesaikan
lebih cepat dari yang diperjanjikan. 4) Dapat dilakukan pembaruan: - Apabila karena
dalam kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan; dan - Setelah
melebihi masa tenggang waktu 30 hari sejak berakhirnya perjanjian kerja. Selama
tenggang waktu 30 hari secara hukum tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha.

17
b. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang bersifat musiman 1)
Berlaku untuk pekerjaan yang pelaksanaannya bergantung pada musim atau cuaca. 2)
Hanya untuk satu jenis pekerjaan tertentu. 3) Dapat juga dilakukan untuk pekerjaan-
pekerjaan yang bersifat untuk memenuhi pesanan atau target tertentu. 4) Tidak dapat
dilakukan pembaruan untuk PKWT poin 1 dan 3.
c. Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan
produk baru 1) Berlaku untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,
kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
2) Jangka waktu paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 kali paling lama
1 tahun. 3) Tidak dapat dilakukan pembaruan. 4) Hanya boleh diberlakukan bagi
pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang
biasa dilakukan perusahaan.
d. Perjanjian kerja harian lepas 1) Berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu
yang berubahubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada
kehadiran. 2) Pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam sebulan. 3) Apabila
pekerja/buruh bekerja 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut, perjanjian
kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.
5. Jangka Waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Mengenai jangka waktu PKWT diatur pada Pasal 59 ayat 3 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 bahwa PKWT dapat diperpanjang atau diperbarui dengan
jangka waktu paling lama tiga tahun. Yang dimaksud diperpanjang ialah melanjutkan
hubungan kerja setelah PKWT berakhir tanpa adanya pemutusan hubungan kerja.
Sedangkan pembaruan adalah melakukan hubungan kerja baru setelah PKWT
pertama berakhir melalui pemutusan hubungan kerja dengan tenggang waktu 30 hari,
yaitu: a. Jangka waktu PKWT dapat diadakan paling lama 2 tahun dan hanya boleh
diperpanjang sekali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun (Pasal 59 ayat 4
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003). b. Pembaruan PKWT hanya boleh
dilakukan sekali dan paling lama 2 tahun (Pasal 59 ayat 6 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003).
Dengan berakhirnya jangka waktu yang telah disepakati dalam PKWT, secara
otomatis hubungan kerja berakhir demi hukum. Jika disimpulkan, secara normatif
jangka waktu PKWT keseluruhan hanya boleh berlangsung selama 3 tahun, baik
untuk perpanjangan maupun untuk pembaruan.
6. Perubahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu
Perubahan PKWT menjadi PKWTT merupakan salah satu akibat ari
ketidakcermatan dalam menyusun suatu perjanjian kerja. Di sinilah peran pentingnya
seorang perancang kontrak (contract drafter) dalam menyusun suatu perjanjian kerja.
Apabila tidak cermat, dapat berakibat merugikan perusahaan, baik secara yuridis
maupun secara ekonomis. Ketentuan mengenai perubahan PKWT menjadi PKWTT
telah diatur dalam Pasal 57 ayat 2 dan Pasal 59 ayat 7 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 serta Pasal 15 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor Kep.100/Men/Vl/2004.
7. Perjanjian Kerja Bersama
Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan
antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang
tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha, atau beberapa pengusaha, atau perkumpulan pengusaha yang memuat
syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja bersama
sebagai sarana pendukung yang sangat penting dalam mewujudkan hubungan
industrial, melestarikan, dan mengembangkan keserasian hubungan kerja karena PKB

18
merupakan wahana partisipasi antara pekerja/ buruh dan pengusaha (periksa
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama).

G. Jaminan Sosial Tenaga Kerja


Jaminan sosial tenaga kerja belum diatur secara jelas oleh Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003, sehingga dasar hukumnya untuk saat ini masih menggunakan
Undang-Undang No. 13 Tahun 1992.
1. Hakikat Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Pada hakikatnya program jaminan sosial tenaga kerja dimaksudkan untuk
memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai
pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang. Penyelenggara program
jaminan sosial merupakan salah satu tanggung jawab dan kewajiban negara untuk
memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat Indonesia,
mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu
jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja
di sektor formal.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992,
Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam
bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dan penghasilan yang
hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang
dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan
meninggal dunia.
Dengan demikian jaminan sosial tenaga kerja mendidik kemandirian pekerja,
sehingga pekerja tidak harus meminta belas kasihan orang lain jika dalam hubungan
kerja terjadi risiko-risiko seperti kecelakaan kerja, sakit, hari tua, dan lainnya.
2. Landasan Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Berdasarkan ketentuan Pasal 99 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, setiap
pekerja berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja. Pelaksanaannya diatur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan yang dimaksud
adalah Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek). Jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang-Undang No. 3
Tahun 1992 merupakan hak setiap tenaga kerja yang sekaligus merupakan kewajiban
dari majikan.
Program jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) mempunyai landasan yang
berisikan dasar pertimbangan sebagai berikut: bahwa pada tanggal 17 Februari 1992,
telah dikeluarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja. Kemudian Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tersebut diundangkan dalam
Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 14 dan penjelasannya diumumkan dalam
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3468.
3. Ruang Lingkup Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 199
ruang lingkup program Jamsostek meliputi: a. Jaminan kecelakaan kerja; b. Jaminan
kematian; c. Jaminan hari tua; dan d. Jaminan pemeliharaan kesehatan.
Pengembangan program jaminan sosial tenaga kerja di atas diatur let lanjut
dengan peraturan pemerintah. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengal jaminan
sosial tenaga kerja dalam rangka meningkatkan perlindungan kesejahteraan tenaga
kerja itu sendiri, beserta keluarganya.
Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
diperuntukkan bagi tenaga kerja. Tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, setiap saat

19
menghadapi risiko sosial berupa peristiwa yang dapat mengakibatkan berkurangnya
atau hilangnya penghasilan. Oleh karena itu, perlu, adanya peningkatan perlindungan
tenaga kerja dalam program jaminan sosial tenaga kerja yang bertujuan untuk
memberikan ketenangan bekerja dan menjamin kesejahteraan tenaga kerja beserta
keluarganya.

H. Upah Buruh/Tenaga Kerja


1. Pengaturan Upah Buruh
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003,
upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 88 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 13
Tahun 2003, dijelaskan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan
yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk mewujudkan
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja/buruh.
2. Upah Minimum
Aturan pelaksana yang mengatur mengenai upah minimum dapat ditemui
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan juncto
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2018
Tentang Upah Minimum juncto Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2016 Tentang Kebutuhan Hidup Layak. Dari ketiga aturan tersebut didapat
definisi dari upah minimum adalah upah bulanan terendah berupa upah tanpa
tunjangan atau upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh Gubernur
sebagai jaring pengamanan.
Keberlakuan mengenai ketentuan upah minimum ditujukan kepada pekerja
dengan masa kerja kurang dari 1 tahun dan lajang, sedangkan untuk pekerja dengan
masa kerja 1 tahun atau lebih, dan/ atau tidak lajang ditetapkan melalui mekanisme
runding antara pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh, dan
harus melebihi dari upah minimum. Upah minimum ditetapkan dan diarahkan pada
pencapaian kehidupan layak, dimana undang-undang membagi upah minimum terdiri
dari upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota, dan upah
minimum sektoral berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Peraturan
perundang-undangan menegaskan hubungan antara upah minimum provinsi (UMP),
upah minimum Kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral provinsi (UMSP),
dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) yaitu sebagai berikut:
1. Nilai upah minimum kabupaten/kota (UMK) harus lebih besar dari nilai upah
minimum provinsi (UMP);
2. Nilai upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) harus lebih besar dari nilai
upah minimum sektoral provinsi (UMSP);
3. Nilai upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) harus lebih besar dari nilai
upah minimum kabupaten/kota (UMK); dan
4. Nilai upah minimum sektoral provinsi (UMSP) harus lebih besar dari nilai upah
minimum provinsi (UMP)
Mekanisme penetapan upah minimum maupun upah minimum sektoral jika
ditilik menggunakan pendekatan sejarah hukum maka didapat 3 rezim aturan dimana

20
masing-masing dari aturan tersebut menjadi acuan dalam menetapkan upah minimum
dan upah minimum sektoral.
3. Penangguhan Upah Minumum
Mengenai penangguhan upah minimum harus merujuk pada Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :
Kep.231/Men/2003 Tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum
sebagai aturan pelaksana Pasal 90 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan. Selanjutnya berdasarkan Kepmenaker tersebut,
tahapan – tahapan dalam pengajuan permohonan penangguhan upah minimum yaitu
sebagai berikut:
1. Penangguhan upah minimum ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan
permohonan yang diajukan pengusaha;
2. Permohonan penangguhan upah minimum wajib diajukan oleh pengusaha
kepada Gubernur melalui Dinas Tenaga Kerja Provinsi paling lambat 10 hari
sebelum tanggal berlakunya upah minimum, dengan kewajiban menyertai
seluruh dokumen-dokumen sebagai berikut: 1) Naskah asli kesepakatan
tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau
pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan; 2) Laporan keuangan
perusahaan yang terdiri dari neraca, perhitungan rugi/laba beserta penjelasan-
penjelasan untuk 2 (dua) tahun terakhir; 3) Salinan akte pendirian perusahaan;
4) Data upah menurut jabatan pekerja/buruh; 5) Jumlah pekerja/buruh
seluruhnya dan jumlah pekerja/buruh yang dimohonkan penangguhan
pelaksanaan upah minimum; dan 6) Perkembangan produksi dan pemasaran
selama 2 (dua) tahun terakhir, serta rencana produksi dan pemasaran untuk 2
(dua) tahun yang akan datang;
3. Gubernur dalam menentukan disetujui atau tidaknya permohonan
penangguhan upah minimum setelah menerima saran dan pertimbangan dari
Dewan Pengupahan Provinsi;
4. Dalam hal permohonan penangguhan upah minimum, maka Gubernur akan
menetapkan melalui Surat Keputusan Gubernur dengan jangka waktu
keberlakuan paling lama 12 bulan, namun apabila tidak disetujui maka
pengusaha wajib membayar upah minimum kepada seluruh pekerjanya.
Tindakan pengusaha yang membayar upah dibawah upah minimum kepada pekerja
tanpa didasari dengan Surat Keputusan Gubernur perihal persetujuan penangguhan
upah minimum bagi perusahaan yang bersangkutan, merupakan tindak pidana
kejahatan dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 dan paling banyak Rp.
400.000.000,00.
4. Upah Berdasarkan Kesepakatan
Bagi pekerja dengan masa kerja 1 tahun atau lebih, atau telah berkeluarga
maka berhak untuk mendapatkan upah dengan nominal lebih besar dari upah
minimum yang berlaku, dengan mekanisme runding dengan pengusaha. Dalam
praktek, serikat pekerja/serikat buruh sebagai pihak yang mewakili pekerja untuk
berunding bersama dengan pengusaha, dan hasil kesepakatan dituangkan di dalam
perjanjian kerja bersama (PKB). Mengenai upah berdasarkan kesepakatan ini harus
merujuk pada Pasal 92 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan juncto Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (5) Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan juncto Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Struktur Dan
Skala Upah.

21
Struktur dan Skala Upah merupakan bagian dari syarat kerja, oleh karena
itu bagi perusahaan yang terdapat serikat pekerja/serikat buruh di dalamnya maka
penyusunannya wajib dirundingkan antara pengusaha bersama-sama dengan serikat
pekerja/serikat buruh dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja,
pendidikan, dan kompetensi. Pasal 6 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Struktur Dan Skala Upah memberikan
keleluasaan bagi pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menyusun
metode struktur dan skala upah lain selain yang ada dalam Lampiran Permanker
tersebut.

I. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)


1. Pengertian
Pemutusan hubungan kerja ini berdasarkan ketentuan Pasal 150 Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 meliputi PHK yang terjadi di badan usaha yang berbadan
hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau badan hukum,
baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha
lainnya yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
PHK berarti suatu keadaan di mana si buruh berhenti bekerja dari majikannya.
PHK pada dasarnya harus ada izin, kecuali dalam hal tertentu berdasarkan ketentuan
Pasal 154 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, yaitu:
1. Pekerja dalam masa percobaan, bila disyaratkan secara tertulis sebelumnya
2. Pekerja mengajukan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa
ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan
kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali
3. Pekerja mencapai usia pensiun
4. Pekerja meninggal dunia.
Batasan pemberian izin PHK digantungkan pada alasannya, yaitu izin tidak
dapat diberikan atau karena alasan yang dilarang. Berdasarkan ketentuan Pasal 153
ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, apabila:
1. Pekerja berhalangan masuk karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu
12 bulan secara terus-menerus
2. Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
terhadap negara
3. Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agama
4. Pekerja menikah
5. Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya
6. Pekerja mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan pekerja
lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja atau
PKB
7. Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja, pekerja
melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang di atur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau PKB
8. Pekerja mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan
pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan
9. Perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warn a kulit, golongan jenis
kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan
10. Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit karena
hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter akibat kecelakaan kerja,

22
atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang
jangka waktu penyembuhannya dapat dipastikan.
2. Cara Terjadinya PHK
a. PHK Demi Hukum
PHK demi hukum terjadi karena alasan batas waktu masa kerja yang
disepakati telah habis atau apabila buruh meninggal dunia. Berdasarkan ketentuan
Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, Perjanjian kerja berakhir
apabila:
1. Pekerja meninggal dunia;
2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
3. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap; atau
4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja betsama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1603 e Burgerlijk Wetboek, pengertian waktu
tertentuyang menentukan berakhirnya suatu hubungan kerja ditetapkan dalam
perjanjian, atau ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan serta kebiasaan.
b. PHK oleh Buruh
PHK oleh buruh dapat terjadi apabila buruh mengundurkan diri atau telah
terdapat alasan mendesak yang mengakibatkan buruh minta di PHK. Berdasarkan
ketentuan Pasal 151 ayat (3) huruf b Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, atas
kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,
berakhirnya hubungan keija sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk
pertama kali. Pengunduran diri buruh dapat dianggap terjadi apabila buruh mangkir
paling sedikit dalam waktu 5 hari kerja berturut-turut dan telah dipanggil oleh
pengusaha 2 kali secara tertulis, tetapi pekerja tidak dapat memberikan keterangan
tertulis dengan bukti yang sah.
c. PHK oleh Majikan
PHK oleh majikan dapat terjadi karena alasan apabila buruh tidak lulus masa
percobaan, apabila majikan mengalami kerugian sehingga menutup usaha, atau
apabila buruh melakukan kesalahan. Lamanya masa percobaan maksimal adalah 3
bulan, dengan syarat adanya masa percobaan dinyatakan dengan tegas oleh majikan
pada saat hubungan kerja dimulai, apabila tidak maka dianggap tidak ada masa
percobaan. Ketentuan lainnya apabila majikan menerapkan adanya training maka
masa percobaan tidak boleh dilakukan.
d. PHK karena Putusan Pengadilan
Cara terjadinya PHK yang terakhir adalah karena adanya putusan pengadilan.
Cara yang keempat ini sebenarnya merupakan akibat dari adanya sengketa antara
buruh dan majikan yang berlanjut sampai ke proses peradilan. Datangnya perkara
dapat dari buruh atau dapat dari majikan.
3. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja yang di PHK
Perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja yang terpenting adalah
menyangkut kebenaran status pekerja dalam hubungan kerja serta kebenaran alasan
PHK. Alasan yang dipakai dasar untuk menjatuhkan PHK yang dapat dibagi dalam
dua kelompok, yaitu alasan yang diizinkan dan alasan yang tidak diizinkan untuk di-
PHKYang perlu mendapat perhatian adalah adanya ketentuan apabila pekerja
tertangkap tangan melakukan kesalahan besar dapat di-PHK tanpa izin. Hal ini adalah
bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya asas praduga tak bersalah.
Seseorang dikatakan telah terbukti melakukan perbuatan pidana apabila secara tegas

23
telah diputuskan oleh hakim. Apabila pekerja yang terdapat tertangkap tangan
melakukan kesalahan besar itu hanya merupakan hasil rekayasa pengusaha, apa boleh
buat akan berakibat pekerja justru tidak mendapatkan perlindungan hukum dari
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Adanya kebenaran alasan PHK untuk menjaga
kemurnian alasan penjatuhan PHK dari rekayasa majikan. Mengingat kebenaran
alasan sangat berpengaruh terhadap hak yang nantinya dapat diterima oleh buruh
pasca izin PHK turun.
Kebenaran alasan yang berasal dari cara terjadinya PHK yang datangnya dari
buruh dapat digolongkan menjadi dua, yaitu karena alasan buruh mengundurkan diri
atau karena adanya alasan mendesak yang mengakibatkan buruh tidak dapat
melanjutkan hubungan kerjanya. Alasan mengundurkan diri dari buruh harus benar
karena jangan sampai terdapat kebohongan di dalam alasan tersebut. Pengunduran
diri itu harus benar-benar murni atas inisiatif buruh sendiri tanpa dipengaruhi oleh
pihak lain. Pihak lain di sini dapat dari majikan atau dari pihak ketiga.
PHK massal berdasarkan surat edaran dari Menaker No. SE-907/MEN/ PHI-
PPHI/X/2004 tentang Pencegahan PHK Massal, disebutkan bahwa apabila dalam hal
suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap
ketenagakerjaan, maka pemutusan hubungan kerja haruslah merupakan upaya
terakhir, setelah dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan
direktur;
2. Mengurangi shift;
3. Membatasi/menghapuskan kerja lembur, mengurangi jam kerja;
4. Mengurangi hari kerja;
5. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara
waktu;
6. Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa
kontraknya;
7. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
4. Hak-Hak Buruh yang di PHK
Hak-hak buruh yang di PHK meliputi uang pesangon, uang penghargaan masa
kerja (uang jasa), uang ganti rugi perumahan dan pengobatan, serta uang pisah.
Hak buruh itu timbul dari keterkaitan antara status buruh, upah buruh dan
alasan PHK yang berbentuk: 1. Buruh berhak atas pesangon, uang penghargaan masa
kerja, dan ganti rugi perumahan dan pengobatan; dan 2. Berhak, berapakah besarnya.
5. Upaya Hukum Bagi Buruh yang Kena PHK
Apabila ternyata pekerja tidak mendapatkan haknya sebelum terbentuknya
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan Industrial, berdasarkan ketentuan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 lembaga yang dimaksud adalah Pengadilan
Hubungan Industrial maka dapat dilakukan upaya administratif atau upaya perdata.
Upaya hukum melalui upaya administratif, penyelesaiannya dapat melalui
upaya Bipartid yang dilakukan antara pekerja dan pengusaha sebagai pihak yang
terikat dalam hubungan kerja. Apabila perundingan itu mencapai kesepakatan maka
hasil persetujuan itu mempunyai kekuatan hukum. Akan tetapi, apabila perundingan
tidak mencapai kesepakatan maka dapat minta anjuran ke Dinas Tenaga Kerja
setempat.
Apabila anjuran dari Dinas Tenaga Kerja tidak diterima oleh salah satu atau
kedua belah pihak maka dapat diajukan ke P4D atau ke P4P. Hal ini dapat diteruskan
ke Menteri Tenaga Kerja guna memohon veto. Veto Menaker didasarkan pada
pertimbangan keamanan dan stabilitas nasional. Apabila di antara putusan P4D atau
P4P sudah dapat diterima oleh kedua belah pihak dan mempunyai kekuatan hukum

24
yang tetap maka dapat dimintakan fiat eksekusi ke Pengadilan Negeri, supaya
putusan itu dapat dijalankan.
Di samping itu, upaya hukum secara perdata, dapat dilakukan oleh pekerja,
apabila putusan pengusaha dalam menjatuhkan PHK karena efisiensi tidak dapat
dibenarkan. Dalam arti belum dilakukan langkah awal untuk menghindari efisiensi
jumlah tenaga kerja. Secara perdata, pekerja dapat mengajukan gugat ganti rugi ke
Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 1365 BW, yaitu "Tiap perbuatan melanggar
hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut".
Sejak adanya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), yang disahkan pada tanggal 4 Januari 2003
(LN. Tahun 2004, No. 6, TLN. No. 4356), upaya hukum bagi pekerja yang
mengalami perselisihan hubungan industrial akan dilakukan secara bipartid, mediasi,
konsiliasi, arbitrase, atau ke pengadilan hubungan industrial.
Bipartid, yaitu musyawarah antara pekerja dan pengusaha. Apabila tidak
tercapai kesepakatan dengan cara bipartid maka pihak-pihak dapat memilih
penyelesaian secara mediasi, konsiliasi, atau arbitrase. Apabila pihak-pihak memilih
mediasi atau konsiliasi dan tidak tercapai kesepakatan, dapat membawa perkaranya
ke pengadilan hubungan industrial. Apabila pihak-pihak memiliki arbitrase maka
kesepakatan dituangkan dalam akta perdamaian yang merupakan keputusan arbitrase
dan harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
Apabila isi keputusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka dapa
dimohonkan pembatalannya kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 3 hari
kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter. Permohonan pembatalan dilakukan apabila
mengandung unsur-unsur berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1 Undang-Undang
No. 2 Tahun 2004, yaitu: a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,
setelah putusai dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu; b. Setelah putusan diambil
ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak
lawan; c. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan perselisihan; d. Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan
industrial; atau e. Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dari ketentuan Pasal 126 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, masa
berlakunya adalah satu tahun sejak diundangkan. Ketentuan ini diundangkan pada
tanggal 14 Januari 2004. Jadi, lembaga penyelesaian perselisihan hubungai industrial
ini telah menggantikan kedudukan P4D atau P4P sejak tanggal 1, Januari 2005.

J. Peradilan Perburuhan/Ketenagakerjaan
1. Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapa
terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai keadaan ketenaga kerjaan
yang belum ditetapkan, baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian
kerja bersama, maupun peraturan perundang-undangan.
Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan
hubungan kerja. Hal ini terjadi karena hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha
merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan
diri dalam suatu hubungan kerja. Apabila salah satu pihak tidak menghendaki lagi
untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, sulit bag para pihak untuk tetap
mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karen itu, perlu dicari jalan keluar
yang terbaik bagi kedua belah pihak untui menentukan bentuk penyelesaian, sehingga
Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun

25
2004 akan dapat menyelesaikan, kasus-kasus pemutusan hubungan kerja yang tidak
diterima oleh salah satu pihak.
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak
yang berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah
pihak. Seperti penyelesaian Bipartit dapat dilakukan melalui musyawarah mufakat
oleh para pihak tanpa dicampuri oleh pihak manapun. Sebagai upaya untuk
memberikan pelayanan masyarakat khususnya kepada pekerja/buruh dan pengusaha,
pemerintah berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial
tersebut. Upaya fasilitasi dilakukan dengan menyediakan tenaga mediator yang
bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih.
Dengan adanya era demokratisasi di segala bidang, perlu diakomodasi
keterlibatan masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
melalui konsiliasi atau arbitrase.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004
tentang Pengadilan Hubungan Industrial, yang dimaksud dengan Perselisihan
Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
2. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, jenis
Perselisihan Hubungan Industrial meliputi:
1) Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak,
akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
2) Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/ atau
perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3) Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleb salah satu pihak.
4) Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat
pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban
keserikatpekerjaan.
3. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
a. Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, perselisihan perburuhan tidak
hanya menyangkut perselisihan hak dan kepentingan, tetapi sudah berkembang
kepaqda perselisihan antara serikat buruh. Denganmemerhatikan sifat-sifat hubungan
perburuhan. Diharapkan fungsi lembaga-lembag yang telah disahkan menangani
penyelesaian perselisihan perburuhan (industrial) dapat berjalan dengan baik, dalam
arti membuat suasanahbungan industrial yang disharmoni, penuh curiga, ketidak
percayaan, dan saling menanag sendiri, menjadi harmoni yaitu tercipta suartu kondisi
dan keadaan dimana antara buruh dan majikan menjadi mitra yang baik, sehingga
buruh tenang dalam bekerja dan majikan tenteram dalam berusaha (industrial Peace).

26
Pembahasan mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial akan
diarahkan kepada terciptanya kondisi harmoni sebagaimana tersebut di atas, sehingga
proses penyelesaian perselisiha yang ada, baik penyelesaian melalui Bipartit maupun
melalui Tripartit, baik melalui proses Adjudicatie (melalui pengadilan) maupun Non
Adjudicatie (diluar pengadilan) semua tertuju kepada terciptanya Industrial Peace. Di
samping itu, juga dipenuhi asas sederhana, cepat, dan murah, sehingga lembaga
yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan memenuhi pelayanan yang baik
bagi masyarakat.
Proses penyelesaian perselisihan oleh pihak ketiga di luar pengadilan menurut
UU No. 2 Tahun 2002 dalam hal ini adalah hanya satua-satunya melalui Arbitrase
yaitu suatu proses penyelesaian di mana seseorang atau lebih yang dipilih oleh para
pihak yang berselisih, dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja
untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan
antara serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan
penyelesaian melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersipat
final. Terhadap putusan arbitrase ini dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung
dengan syarat: Ada tipu muslihat, ada data yang dipalsukan, bertentangan dengan
undang-undang, dan arbiter melampaui kewenangannya.
Penyelesaian perselisihan hubungan industri melalui Pengadilan disini
dilaksanakan oleh Pengadilan Hubungan Industrial yaitu suatu proses penyelesaian
perselisihan hubungan industrial oleh pihak ketiga melalui pengadilan hubungan
industrial, yang merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan
pengadilan negeri. Di pengadilan hubungan industrial, perseslisihan hubungan
industrial akan diperiksa dan diputus oleh hakim, terdiri dari hakim karier dan hakim
ad-hoc yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja dan organisasi pengusaha.
Sebagai prasyarat untuk proses di Pengadilan Hubungan Industrial, maka
suatu perkara perburuha harus lebih dulu diselesaikan melalui mediasi atau konsiliasi.
Mediasi dan Konsiliasi pada hakekatnya dua lembaga yang sama tetapi diperankan
oleh instansi yang berbeda. Mediasi diperankan oleh pemerintah sedang Konsiliasi
diperankan oleh pihak swasta dengan kewengan yang berbeda. Mediasi berwenang
menyelesaikan 4 (empat) macam perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antara serikat pekerja/buruh di suatu perusahaan. Konsiliasi berwenang
menyelesaikan macam perselisihan yaitu perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja/buruh si suatu perusahaaan.
Sedangkan mengenai perselisihan yang ditangani di sebutkan: mediator
berkewajiban memberikan anjuran tertulis kepada pihak yang berselisih, untuk semua
jenis perselisihan hubungan industrial. Konsiliator wajaib memberikan anjuran
tertulis kepada pihak yang berselisih, untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja hanya
dalam satu perusahaan.
Mengenai proses penyelesaian perselisihan oleh pihak ketiga melalui
pengadilan dalam hal ini melalui pengadilan hubunagn industrial, yang merupakan
pengadilan khususnya yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri. Di pengadilan
hubungan industrial, perselisihan hubungan industrial akan diperiksa dan diputus oleh
hakim, terdiri dari hakim karier dan hakim ad-hoc yang pengangkatannya atas usul
serikat pekerja dan organisasi pengusaha.
b. Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja
Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan baik
melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. Tahapan proses telah diatur dalam
Undang-undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, selanjutnya disingkat UU PPHI.

27
1). Penyelesaian di Luar Pengadilan (Non Adjudication)
a). Penyelesaian di tingkat perusahaan
 Penyelesaian keluh kesah karyawan. Proses penyelesaian ini pada umumnya
diatur dalam Peraturan Perusahaan atau dalam Perjanjian Kerja Bersama;
 Penyelesaian oleh LKS Bipartit. Proses penyelesaian melalui LKS Bipartit, pada
umumnya berlangsung agak alot, karena diperlukan teknik negosiasi yang baik
dari masing-masing pihak.
b). Penyelesaian oleh Mediator
Penyelesaian pada tahap ini bersifat wajib beradasarkan Pasal 4 ayat (1) UU
PPHI, dan paling lama 7 hari setelah tanggal pencatatannya, para pihak ditwarkan
untuk memilih penyelesaian melalui Konsiliasi atau Arbitrase, dan apabila paling
lama 7 hari setelah penawaran tersebut para pihak menentukan pilihannya, maka
perkara tersebut akan ditangani oleh Mediator yang ada di setiap instasi Disnakertran.
Paling lambat 7 hari setelah menerima pelimpahan perkara, Mediator akan
dilaksanakan tugasnya untuk menyelesaikan perkara (Pasal 10 UU PPHI). Mereka
dapat memanggil saksi atau ahli (Pasal 11 UU PPHI), dan mereka mempunyai
kekuatan memaksa bagi seseorang yang dimintai keterangannya, artinya mereka tidak
boleh menolak (Pasal 12 UU PPHI), dan keterangan tersebut bersifat rahasia.
Selanjutnya apabila proses mediasi tersebut berhasi mencapai kesepakata, maka
kesepakatan tersebut harus dinyatakan dalam Perjanjian Bersama ditandatangani oleh
para pihak dan disaksikan oleh Mediator. Kemudian Perjanjian Bersama tersebut
didaftarkan ke Pengadilan Khusus Hubungan Industrial di wilayah yurisdiksnya.
(Pasal 13 UU PPHi).
Apabila tidak tercapai kesepakatan, maka dalam waktu 10 hari sejak Mediator
bertugas harus membuat Anjuran Tertulis, dan para pihak yang berpekara harus
membuat jawaban secara tertulis paling lambat 10 hari sejak menerima Anjuran
tertulis. Pihak yang tidak memberikan jawaban dianggap menolak. Anjuran Tertulis.
Apabila kedua belah pihak menerima anjuran Tertulis, maka dalam waktu 3 hari
Mediator harus membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama, dan kemudian
didaftarkan ke Pengadilan Khusus Hubungan Industrial setempat. Selanjutnya apabila
ada pihak yang tidak mau melaksanakan Perjanjian Bersama, maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Khusus Hubungan
Industrial setempat. Proses penyelesaian melalui mekanisme Mediasi tersebut paling
lama 30 hari.
Proses penyelesaian melalui mekanisme Mediasi tidak bersifat final artinya .
apabila ada pihak yang menolak Perjanjian Bersama, maka pihak yang dirugikan
harus mengajukan gugatan ke Pengadilan Khusus Hubungan Industrial, walaupun
Perjanjian Bersama tersebut telah didaftarkan (Pasal 14 UU PPHI). Jelas dalam hal
ini, hasil dari proses mediasi tidak mempunyai kekuatan mengikat karena hasilnya
tidak final. Dapat dikatakan proses Mediasi hanya menambah rantai penyelesaian
perkara perburuhan, karena Perjanjian Bersama masih dianggap sebagai wanprestasi,
sehingga gugatan terhadap Wanprestasi tersebut menurut Pasal 1266 BW harus tetap
diajukan kepada Pengadilan setempat. Menurut saya hal ini salah tafsir terhadap Pasal
1266 BW, Karena Perjanjian Bersama tersebut telah didaftarkan ke Pengadilan
setempat, artinya pengajuan gugatan atas penolakan Perjanjian Bersama merupakan
pengulangan (Redandence), dan bertentangan dengan Pasal 14 ayat (3) butir b UU
PPHI.
c). Penyelesaian oleh Konsiliator
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU PPHI, proses menyelesaikan melalui
mekanisme Konsiliasi dan Arbitrase bersifat sukarela, karena proses penyelesaian ini
ditawarkan terlebih dahulu kepada para pihak oleh pegawai instansi setempat. Proses

28
Konsiliasi ini hanya menangani perselisihan kepentingan, perselisihan hubungan
kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/buruh (Pasal 4 ayat (5).
Apabila para pihak setuju menyelesaikan perkaranya melalui mekanisme
Konsiliasi, maka perkaranya akan ditangani oleh Konsiliator yang terdaftar di
Disnakertran setempat. Para pihak dapat melihat daftar nama-nama Konsiliator yang
terdaftar, dan memilihnya.
Paling lambat 7 hari setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial, Konsiliator harus segera bertugas. Mereka mempunyai
kewenangan memanggil saksi atau saksi ahli untuk didengar keterangannya (Pasal 21
UU PPHI). Konsiliator mempunyai kekuatan memaksa terhadap seseorang yang
dimintai keterangannya, dan keteranagn ini bersifat rahasia (Pasal 22 UU PPHI).
Dalam hal proses Konsiliasi ini mencapai suatu kesepakatan, maka kesepakan
tersebut harus segera dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh kedua
belah pihak yang berperkara, dan disaksikan oleh Konsiliator, kemudian didaftarkan
kepada Pengadilan Khusus Hubungan Industrial setempat (Pasal 23 UU PPHI).
Apabila tidak tercapai kesepakatan, atau paling lama 10 hari sejak proses Konsiliasi,
maka Konsiliator mengaluarkan Anjuran Tertulis. Sebaliknya apabila kedua belah
pihak menyetujui Anjuran tertulis, maka Konsiliator dalam waktu paling lama 3 hari
harus segera membantu membuat Perjanjian Bersaam, dan kemudian didaftarakan
kepada Pengadilan Khusus Hubungan Industrial setempat.
Apabila ada pihak yang tidak melaksanakan Perjanjian Bersama maka pihak
yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Khusus
Hubungan Industrial setempat (Pasal 23 ayat (3) butir b). Namun demikian, apabila
salah satu pihak menolak Anjuran Tertulis, maka pihak lainnya dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Khusus Hubungan Industrial setempat (Pasal 24 UU PPHI).
Jelas di sini ada tiga hal yang membuat racun proses penyelesaian perselisihan
melalui mekansime Mediasi maupun Konsiliasi, yaitu: Pertama, mekanisme Mediasi
dan Konsliasi prosedurnya tidak jelas. Kedua, funsi pendaftaran ke Pengadilan
Khusuh Hubungan Industrial tidak jelas. Ketiga, penolakan terhadap Perjanjian
Bersama atau Anjuran Tertulis yang masuk kategori Wanprestrasi, sehingga perlu
diajukan gugatan ke Pengadilan. Proses Konsiliasi ini paling lama 30 hari.
d). Penyelesaian oleh Arbiter
Apabila ada pihak memilih penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial
melalui mekanisme Arbitrase, maka di buatkan Perjanjian Arbitrase (Pasal 32 UU
PPHI). Dalam hal ini, UU PPHI tidak memperhitungkan kemungkinan adanya
Klausula Arbitrase dalam Kaedah Otonom yang dibuat para pihak. Oleh karena itu,
perlu dijelaskan mengenai perbedaan antara Klausula Arbitrase dengan Perjanjian
Arbitrase. Proses Arbitrase ini hanya menangani penyelesaian perselisihan
kepentingan, atau perselisihan antar serikat pekerja/buruh (Pasal 4 ayat (6);
 Klausula Arbitrase (Actio de Compromitendo),pernyataan para pihak dalam
Kaidah Otonom (Perjanjian Kerja/ Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja
Bersama), tentang tatacara penyelesaian sengketa (Dispute Setlement). Dalam
hal ini, para pihak telah menentukan bahwa hanya lembaga Arbitrase yang
ditunjuk menyelesaikan sengketa, jauh hari sebelum sengketa tersebut terjadi.
 b) Kesepakata Arbitrase (Acte Compromie), yaitu perjanjian yang dibuat oleh
para pihak yang bersengketa, bahwa mereka sepakat menyelesaikan sengketa
meraka melalui mekanisme Arbitrase.
Selanjutnya para pihak yang bersengketa dapat memilih Arbitrase yang
terdaftar, dan telah ditetapakan oleh Menteri Depnakertran. Penunjukan ini bisa
tunggal atau majelis (paling banyak terdiri 3 orang). Setelah menerima surat
penunjukan, Arbitrase mulai bekerja. Apabila ada pihak yang merasa ragu bahwa

29
Arbitrase akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam
mengambil keputusan atau adanya hubungan keluarga terhadap lawan, maka
terhadapnya dapat diajukan Hak Ingkar dengan sukup bukti autentik ke Pengadilan
Negeri. Putusan Pengadilan Negeri terhadap Hak Ingkar tidak dapat diajukan
perlawanan (Pasal 38 UU PPHI).
Proses penyelasaian perselisihan Hubungan Industrial melalui mekanisme
Arbitrase paling lama 30 hari, dan dapat diperpanjang paling lama 14 hari (Pasal 40
UU PPHI). Dalam sidang Arbitrase para pihak dapat diwakili oleh kuasanya melalui
Surat Kuasa Khusus (Pasal 42 UU PPHI).
Proses penyelesaian Hubungan Industrial melalui mekanisme Arbitrase, dimulai
dengan upaya mendamaikan para pihak. Apabila para pihak berhasil didamaikan,
maka dibuatlah Akta Perdamaian. Akta tersebut selanjutnya didaftarkan ke
Pengadilan Khsus Hubungan Industrial setempat (Pasal 44 UU PPHI). Apabila upaya
perdamaian gagal, maka sidang dilanjutkan di mana masing-masing pihak diberi
kesempatam menjelaskan pendiriannya disertai bukti-bukti yang mendukung (Pasal
45 UU PPHI). Dalam hal ini Arbiter dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk
dimintai keterangannya, yang sebelumnya disumpah terlebih dahulu, dan
mempunayai kekuatan memaksa.
Putusan Arbiter mempunyai irah-irah “Demi keadilan berdasarakan
Ketuhanan yang Maha Esa”, artinya putusannya mempunyai kekuatan eksekutorial
(Pasal 50 UU PPHI). Di samping itu, putusan Arbitrase ini juga mengikat para pihak
yang sifatnya tetap dan final (Final and Binding), artinya sudah tidak dapat dilakukan
banding (Pasal 51 UU PPHI). Apabila ada pihak yang tidak mau melakasanakan
putusan Arbitrase, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan Fiat Eksekusie
Pengadilan Hubungan Industrial setempata, dan paling lama 30 hari setelah
diteriamanya permohonan, Perintah Eksekusin harus diberikan. Namun demikian,
terdapat putusan yang cacat tetap dapat dimintakan pembatalan ke Mahkamah Agung
(Pasal 52 UU PPHI). Terhadap perkara yang sedang atau telah diselesaikan oleh
Arbitrase, tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan Khusus Hubungan Industrial, dan
terhadap Arbiter tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum atas putusannya
(Pasal 53 jo Pasal 54 UU PPHI). Proses penyelesaian melalui mekanismeArbitrase ini
paling lama 30 hari.
4. Prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilaksanakan melalui pengadilan
hubungan industrial atau di luar pengadilan hubungan industrial.
a. Bipartit
Sebelum perselisihan diajukan kepada lembaga penyelesai perselisihan, setiap
perselisihan wajib diupayakan penyelesaiannya secara bipartit, yaitu musyawarah
antara pekerja dan pengusaha.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004,
perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial. Upaya bipartit diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 7 Undang-
Undang No. 2 Tahun 2004.
Penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah
dilakukan perundingan, tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit
dianggap gagal.
Apabila perundingan bipartit gagal maka salah satu atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang

30
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya
penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Apabila bukti-bukti tidak
dilampirkan maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari
kelja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas. Setelah menerima
pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati
memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase. Dalam hal para pihak
tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu
7 (tujuh) hari kerja, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.
Setiap perundingan bipartid harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh
para pihak. Risalah perundingan sekurang-kurangnya memuat: a. Nama lengkap dan
alamat para pihak; b. Tanggal dan tempat perundingan; c. Pokok masalah atau alasan
perselisihan; d. Pendapat para pihak; e. Kesimpulan atau hasil perundingan; dan f.
Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
Apabila perundingan dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat
Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian Bersama itu
mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian
Bersama itu wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak
mengadakan Perjanjian Bersama. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan
akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
Apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar
untuk mendapat penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar
Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama maka pemohon eksekusi
dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten
melaksanakan eksekusi.
b. Mediasi
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004,
mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja,
dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
Upaya mediasi diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang
No. 2 Tahun 2004. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh
mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan mediator harus sudah
mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang
mediasi. Mediator dapat memanggil saksii atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang
mediasi guna diminta dan didengar keterangannya. Saksi atau saksi ahli yang
memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi
yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri (Pasal 10 dan 11).
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para

31
pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian
Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Dalam hal tidak tercapai
kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka: a.
Mediator mengeluarkan anjuran tertulis; b. Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud
pada huruf a dalam waktu selambat lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang
mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak; c. Para pihak harus
sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui
atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
kerja setelah menerima anjuran tertulis; d. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya
sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis; dan e. Para
pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka dalam
waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator
harus sudah selesai membantu par; pihak membuat Perjanjian Bersama untuk
kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan
akta bukt pendaftaran. (Pasal 13)
Lembaga mediasi ini pada dasarnya hampir sama dengan lembaga perantaraan
yang dilaksanakan oleh pegawai perantara disnaker sebagaimana yang telah kita
kenal. Petugas yang melakukan mediasi adalah mediator yang merupakan pegawai
dinas tenaga kerja yang akan memberikan anjuran tertuli kepada para pihak yang
berselisih.
Perbedaannya adalah jika sebelumnya setiap perselisihan wajib melalu proses
perantaraan (mediasi) terlebih dahulu, maka berdasarkan UU PHI in (selain
perselisihan hak), pihak disnaker terlebih dahulu menawarkan kepad; para pihak
untuk dapat memilih konsiliasi atau arbitrase (tidak langsunj melakukan mediasi).
Jika para pihak tidak menetapkan pilihan melalui konsilias atau arbitrase dalam
waktu 7 (tujuh) hari, maka penyelesaian kasus akai dilimpahkan kepada mediator.
Adapun terhadap perselisihan hak, maka setelah menerima pencatatan basil bipartit,
disnaker wajib meneruskan penyelesaian perselisihan kepada mediator. Hal ini
dikarenakan pengadilan hubungan industria hanya dapat menerima gugatan
perselisihan hak yang telah melalui proses mediasi. Setelah menerima pelimpahan
perselisihan, maka mediator wajib menyelesaikan tugasnya selambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan perselisihan. Jika
penyelesaian melalui mediasi tidal mencapai kesepakatan, salah satu pihak dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial.
c. Konsiliasi
Lembaga penyelesaian perselisihan yang berwenang untuk menjadi penengal
dalam perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar-Serika
Pekerja.
Yang bertugas sebagai penengah adalah konsiliator, yaitu orang yang
memenuhi syarat-syarat sesuai ketetapan menteri dan wajib memberikan anjuran
tertulis kepada para pihak yang berselisih. Jika proses konsiliasi tidak mencapai
kesepakatan, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada pengadilai hubungan
industrial.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004,
Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah
penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau
perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004,

32
Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang
atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri,
yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada
para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan.
Konsiliasi diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang No.
2 Tahun 2004. Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator
yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antarserikat pekerja/ serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator
yang wilayah kerjanya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. Penyelesaian oleh
konsiliator dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian
secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak. Para
pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari daftar
nama konsiliator vang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi Pemerintah
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima
permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah
mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari
kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama. Konsiliator dapat
memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta dan
didengar keterangannya. Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak
menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para
pihak danl disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadila Hubungan Industriall
pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-piha mengadakan Perjanjiian
Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftarar Dalam hal tidak terrcapai
kesepakatan penyelesaian perselisihan hubunga industrial melalui konsiliasi, maka: a.
Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis; b. Anjuran tertulis seebagaunana
dimaksud pada huruf a dalam waktu selamba lambatnya 10 (srepuluh) hari kerja sejak
sidang konsiliasi pertama haru sudah disampaikan kepada para pihak; dan c. Para
pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepad konsiliator yang isinya
menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam wakt selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari kerja setelah menerima anjura tertulis; d. Pihak yang tidak memberikan
pendapatnya sebagaimana dimaksud pad huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
dan e. Pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, dalam
waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja seja anjuran tertulis disetujui,
konsiliator harus sudah selesai membantu par pihak membuat Perjanjian Bersama
untuk kemudian didaftar di Pengadila Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti
pendaftaran.
Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftara dan
merupakan bagianyang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama. Perjanjia Bersama
tidak dilaksalakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugika dapat mengajukan
pexnohonan eksekusi di Pengadilan Hubungan Industri, pada Pengadilan Negeri di
wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. Dalam hal
pemohon eksekusi berdomisili di luar wilaya hukum Pengadilan hubungan Industrial

33
pada Pengadilan Negeri tempa pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon
eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi Aelalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadila Negeri di wilayah dorisili pemohon eksekusi untuk
diteruskan ke Pengadilai Hubungan Industrial pda Pengadilan Negeri yang
berkompeten melaksanakal eksekusi ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak,
maka salah satu pihal atau para pihak dapatnelanjutkan penyelesaian perselisihan ke
Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri setempat dengan membuat
gugatan Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian
perselisihan.
d. Arbitrase
Lembaga yang berwenang untuk menjadi wasit dalam perselisihan
kepentingan, perselisihan antar-Serikat Pekerja. Yang bertugas menjadi wasit adalah
arbiter. Para arbiter ini dapat dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter
yang ditetapkan oleh menteri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004,
Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian
suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui
kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian
perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, Arbiter
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang
dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh
Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan
perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak
dan bersifat final.
Arbitrase diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 54 Undang-Undang No.
2 Tahun 2004. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase
meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan. Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial harus arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri. Wilayah kerja
arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas
dasar kesepakatan para pihak yang berselisih. Kesepakatan para pihak yang berselisih
dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) dan
masing-masing pihak mendapatkan 1(satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang
sama, memuat: a. Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang
berselisih; b. Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan
kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
c. Jumlah arbiter yang disepakati;
d. Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan
keputusan arbitrase;
e. Tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak
yang berselisih.
Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk membuat perjanjian penunjukan arbiter
dengan para pihak yang berselisih sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai
berikut: a. Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang
berselisih dan arbiter; b. Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang
diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan; c. Biaya

34
arbitrase dan honorarium arbiter; d. Pernyataan para pihak yang berselisih untuk
tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase; e. Tempat, tanggal pembuatan surat
perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih dan arbiter; f. Pernyataan
arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui kewenangannya dalam penyelesaian
perkara yang ditanganinya; g. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih.
Dalam hal arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani sural
perjanjian maka yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan
para pihak. Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapal persetujuan para
pihak, arbiter harus mengajukan permohonan pada Pengadilar Hubungan Industrial
untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengar mengajukan alasan yang dapat
diterima. Dalam hal arbiter tunggal mengundurkar diri atau meninggal dunia, para
pihak harus menunjuk arbiter pengganti yanf disepakati oleh kedua belah pihak.
Arbiter yangtelah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian arbitrase
dapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila cukup alasar dan
cukup bukti autentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan
tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan. Tuntutan
ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula diajukan apabila terbukti adanya hubungan
kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya. Putusan
Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkar tidak dapat diajukan perlawanan.
Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian
penunjukan arbiter. Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau
majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih
menghendaki lain.
Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh
kuasanya dengan surat kuasa khusus. Apabila pada hari sidang para pihak yang
berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah
dipanggil secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan
perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai.
Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau
kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil
secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan
putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali
dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Apabila perdamaian
tercapai, arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang
ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter. Akta
Perdamaian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
di wilayah arbiter mengadakan perdamaian. Akta Perdamaian yang telah didaftar
diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Akta Perdamaian. Apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak,
maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Akta Perdamaian
didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi
berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri tempat pendaftaran Akta Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke
Pengadilan Hubunga Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten
melaksanakan eksekusi.

35
Apabila upaya perdamaian gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan
sidang arbitrase. Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitras dibuat
berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter. Putusa arbitrase memuat:
a. Putusan yang menyatakan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhana Yang Maha
Esa"; b. Nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter; c. Nama lengkap dan
alarnat para pihak; d. Hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh
para piha yang berselisih; e. Ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih
lanjut para pihak yang berselisih; f. Pertimbangan yang menjadi dasar putusan; g.
Pokok putusan; h. Tempat dan tanggal putusan; i. Mulai berlakunya putusan; dan j.
Tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.
Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter denga
alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakuny putusan.
Dalam putusan, ditetapkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) ha kerja harus sudah
dilaksanakan. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukur yang mengikat para
pihak yang berselisih dan merupakan putusan yan bersifat akhir dan tetap. Putusan
arbitrase didaftarkan di Pengadilan Hubunga Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah arbiter menetapkan putusan. Apabil putusan tidak dilaksanakan oleh salah
satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi
di Pengadilan Hubungan Industri; pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar
putusan diperintahkan untuk dijalankan. Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak
dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam wakil
eelamba lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter,
apabil putusan diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Surat atau
dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau
dinyatakan palsu; b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; c. Putusan diambil dari tipu
muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan; d.
Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; e. Putusan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal permohonan dikabulkan, Mahkamah Agung menetapkan akibat
dari pembatalan, baik seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. Mahkamah Agung
memutuskan permohonan pembatalan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan. Perselisihan
hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat
diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat
dikenakan tanggung jawab hukum apa pun atas segala tindakan yang diambil selama
proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau
majelis arbiter, kecuali dapat dibuktikan adanya iktikad tidak baik dari tindakan
tersebut.
5. Pengadilan Hubungan Industrial
Lembaga peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus semua jenis
perselisihan. Hakim yang memeriksa dan memutus perselisihan tersebut terdiri atas
hakim lembaga peradilan dan hakim Ad Hoc. Pada pengadilan ini, serikat pekerja dan
organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum mewakili anggotanya.
Untuk pertama kalinya pengadilan hubungan industrial akan dibentuk pada
setiap pengadilan negeri yang berada di setiap ibu kota provinsi yang daerah
hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan. Adapun di kabupaten/kota terutama
yang padat industri, berdasarkan keputusan presiden harus segera dibentuk
pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri setempat.

36
Berdasarkan ketentuan Pasal 56 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004,
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: a.
Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; b. Di tingkat pertama dan terakhir
mengenai perselisihan kepentingan; c. Di tingkat pertama mengenai perselisihan
pemutusan hubungan kerja; dan d. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Pengkajian mengenai objek PHI berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun
2004, tentunya harus dikaitkan dengan legal concept yang ada dalam ilmu hukum.
Jenis perselisihan hubungan industrial, dikenal dalam pengertian kompetensi di dalam
legal concept. Kompetensi adalah kewenangan. Kajian mengenai kompetensi PHI
dari sudut ontologi berarti mempertanyakan apakah kompetensi PHI merupakan
sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada merupakan sesuatu yang sudah benar apabila
ditinjau dari legal concept.
Kompetensi pengadilan hubungan industrial adalah perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Keempat jenis
perselisihan hubungan industrial yang terdapat di dalam ketentuan UndangUndang
No. 2 Tahun 2004, jika dikaji lebih jauh ternyata tidak sesuai dengan rumusan
perselisihan perburuhan yang dikenal secara umum di dalam legal concept.
PHI adalah bentuk pengadilan khusus dari Pengadilan Negeri. Kompetensi
Pengadilan Negeri berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 adalah perkara
perdata dan perkara pidana. Terhadap perkara perdata yang masuk ke Pengadilan
Negeri, hakim hanya memutuskan sesuai dengan yang ditunjut oleh penggugat. Tidak
boleh memberikan putusan lebih dari yang dituntut. Perselisihan hubungan industrial
adalah bagian dari perkara ketenagakerjaan. Ketenagagerjaan merupakan cabang dari
bidang ilmu perdata. Prinsip dari norma hukum Perdata adalah bersifat mengatur,
dalam arti hukum pihak-pihai hebas untuk membuat suatu aturan yang tertuang dalam
klausul perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan perundang-undangan,
kesusilaan, dan kesopanan yang aaa di masyarakat. Yang menjadi pertanyaan adal,ah
apakah mungkin hakim PHI menyelesaikan sengketa yang merupakan perkara
doelmatigheid? Tentunya Hakim PHI lebih tepat jika hanya menangani perkara yang
rechtsmatigheid saja. Untuk perkara rechtsmatigheid yang berupa perselisihan
kepentingan hendaknya dikeluarkan dari kompetensi PHI selanjutnya untuk diberikan
kepada lembaga arbitrase saja.
Kejelian hakim PHI menempatkan perselisihan hubungA industrial yang akan
diselesaikan di awal pemeriksaan sangat dibutuhkan. Hal ini diperlukan untuk
mencari dasar hukum bagi perkara yang sedang ditangani merupakan
rechtsmatigheid atau doelmatigheid. Apabila perselisihan yang akan ditangani
merupakan perselisihan hak, maka hakim PHI dapat segera memeriksa, mengadili,
dan memutus perselisihan itu. Sebaliknya apabila sejak awal diketahui bahwa
perselisihan itu merupakan perselisihan kepentingan yang merupakan perwujudan
dari perkara doelmatigheid, secepat mungkin diberitahukan kepada pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya ke lembaga arbitrase.

37
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Indonesia belum memiliki sistem hukum perburuhan yang tepat. UU No. 13
Tahun 2003 belum mengatur substansi, struktur dan upaya penciptaan budaya hukum
secara terpadu. Substansi hukum perburuhan masih diwarnai inkonsistensi vertikal
dan horisontal. Struktur hukum perburuhan masih tumpang tindih atau terjadi
kekosongan kewenangan. Terjadi tumpang tindih kewenangan antara Menteri Tenaga
Kerja dan Menteri Dalam Negeri di bidang perburuhan berkaitan dengan otonomi
daerah. Pengaturan penegakan hukum atas pelanggaran upah minimum tidak jelas
menjadi kewenangan Pegawai Disnaker kota/ provinsi atau kepolisian. Sarana upaya
hukum atas pelanggaran upah minimum belum menjadi kompetensi PHI. PHI tidak
mempunyai kompetensi terhadap perselisihan perburuhan yang bersifat publik.
Belum tercipta budaya hukum yang mengutamakan musyawarah serta belum
terciptanya mekanisme aturan perburuhan yang kondusif. Belum terdapat kesesuaian
perilaku masyarakat (buruh/pekerja, pemberi kerja, pemerintah) terhadap kehendak
Undang-undang (Peraturan Perundang-undangan).

B. Saran
Untuk para pembuat peraturan perundang-undangan agar dapat melakukan
pengawasan dan pengubahan yang sesuai dengan kondisi dan situasi ketenagakerjaan
di Indonesia dalam hal pemberian dan penerimaan upah minumum bagi pekerja
disektor swasta, serta diperkuatnya penegakan aturan mengenai perlindungan hak
pekerja serta tindakan diskriminatif terhadap pekerja demi perwujudan keadilan dan
kesejahteraan bersama.

38
REFERENSI
Sulaiman, Abdullah & Walli, Andi. 2019. Hukum Ketenagakerjaan/Perburhan.
Jakarta: Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(YPPSDM).

Kusbianto & Silalahi, Dian Hardian. 2020. Hukum Perburuhan. Medan: Enam
Media.

Harahap, Aripuddin Muda. 2020. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan. Malang:


Literasi Nusantara.

Adhistianto, dkk. 2021. Hukum Ketenagakerjaan. Banten: Umpam Press.

39

Anda mungkin juga menyukai