Anda di halaman 1dari 25

Makalah

ASPEK YURIDIS DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN

Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Ketenagakerjaan

Dosen Pengampu: Mar’atul Fitria, S.H., M.H

Di Susun Oleh:

Kelompok 8

Cahya Kumala Niati 203070010

Trisnawati 203070014

Wildan Awalia 203070020

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI DATOKARAMA PALU

2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim…

Alhamdulillahi rabbil’alamiin Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala


rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Aspek Yuridis Dalam Hukum
Ketenagakerjaan” dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Mar’atul Fitria,
S.H., M.H selaku dosen Mata Kuliah Hukum Ketenagakerjaan yang telah
membantu kami dalam Menyusun makalah ini. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada teman-teman yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat


bermanfaat untuk kita semua. kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih
banyak kekurangan, saran dan kritik dari pembaca sangat kami harapkan untuk
perbaiki makalah ini nantinya.

Palu, 2 November 2022

Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................1

A. Latar Belakang .....................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................3

A. Aspek Yuridis dalam Hukum Ketenagakerjaan.....................................................3


1. Aspek Yuridis Perjanjian Kerja ......................................................................3
2. Aspek Yuridis Pengawasan Perburuhan ..........................................................5
3. Aspek Yuridis Hubungan Industrial ................................................................6
4. Aspek Yuridis Keselamatan dan Kesehatan Kerja ......................................... 12
5. Aspek Yuridis Perlindungan Upah ................................................................ 18

BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 21

A. Kesimpulan ....................................................................................................... 21
B. Saran ................................................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan nasional, khususnya bidang ketenagakerjaan
diarahkan untuk sebesarbesarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat pekerja. Oleh karena itu hukum ketenagakerjaan harus dapat
menjamin kepastian hukum, nilai keadilan, asas kemanfaatan, ketertiban,
perlindungan dan penegakan hukum.
Seiring dengan pembangunan bidang ketenagakerjaan, tampak
maraknya para pelaku dunia usaha berbenah diri pasca krisis ekonomi dan
moneter untuk bangun dari mimpi yang buruk, serta terpaan gelombang
krisis ekonomi global yang melanda asia tenggara, di mana Indonesia
tidak lepas dari terpaan gelombang tersebut. Pemerintah dalam upaya
mengatasi krisis ekonomi global bersama dengan masyarakat, terutama
para pelaku usaha, salah satu alasan pokok untuk menstabilkan
perekonomian dan menjaga keseimbangan moneter serta menghindari
kebangkrutan sebagian besar perusahaan yang berdampak terhadap
sebagian besar nasib para pekerja pabrikan dan berujung pada pemutusan
hubungan kerja.
Sarana yang cukup efektif dalam upaya menjaga kesinambungan
antara pelaku usaha dan pekerja dalam hubungan kerja, yakni eksistensi
hukum ketenagakerjaan yang mengatur pelbagai hak, kewajiban serta
tanggungjawab para pihak. Selain sarana tersebut, perjanjian kerja
bersama (PKB), lembaga bipartit, tripartit, serikat pekerja, organisasi
pengusaha, serta mediasi yang diperankan pemerintah merupakan wujud
eksistensi hukum ketenagakerjaan.
Pemerintah selaku pembina, pengawas, dan penindakan hukum
melaksanakan aturan hukum dengan hati-hati mengingat posisi pengusaha
dan pekerja merupakan aset potensial bagi negara, sekaligus subyek
pembangunan nasional yang berkedudukan sama dihadapan hukum.

1
Aturan hukum sebagai pedoman tingkah laku wajib dipatuhi para pihak
dan dengan penuh rasa tanggung-jawab. Kepatuhan bukan merupakan
paksaan, melainkan budaya taat terhadap ketentuan hukum.

B. Rumusan masalah
Bagaimana aspek yuridis dalam hukum ketenagakerjaan?

C. Tujuan Penulisan

Mengetahui dan memahami aspek yuridis dari hukum ketenagakerjaan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Aspek Yuridis dalam Hukum Ketenagakerjaan


Dulu bernama RUU Pembinaan dan Perlindungan
Ketenagakerjaan) menjadi Undang-Undang (26/02). Dengan UU
Ketenagakerjaan ini, tidak kurang 13 peraturan ketenagakerjaan dicabut,
termasuk UU No. Sejak disahkannya pada 2003 silam hingga 2017,
banyak pihak yang menguji sejumlah pasal dalam UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Dari puluhan pengujian, hasilnya
Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak, mengabulkan sebagian
dan bahkan ada yang mengabulkan seluruh pasal yang diuji.
Bahwa peraturan ketenagakerjaan diciptakan atas pemikiran untuk
mewujudkan keadilan dalam hubungan kerja. Secara factual dalam
hubungan ketenagakerjaan terlibat dua (2) pihak yang secara sosial,
ekonomi, dan politis berada pada posisi yang tidak seimbang karena
pengusaha adalah pihak yang sangat kuat dibandingkan dengan pihak
pekerja. Dalam hubungan kerja diawali dengan keterlibatan pekerja dalam
perjanjian kerja dengan pengusaha sebagaimana dimaksud dalam
pengertian hubungan kerja pada Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerja, upah, dan
perintah.” Adapun aspek yuridis dalam hubungan kerja sebagai berikut:
1. Aspek Yuridis Perjanjian Kerja
Pada dasarnya keterkaitan antara para pihak dalam
pembentukan perjanjian kerja mengakibatkan terjalinnya suatu
kesepakatan yang dituangkan dalam suatu perjanjian sehingga
mengakibatkan hubungan kerja yang mana hubungan kerja tersebut
melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, yaitu
bagi pengusahan dan pekerja/buruh.

3
Tujuan utama hukum ketenagakerjaan adalah untuk
menghilangkan ketimpangan hubungan antara majikan/penguasaha
dengan pekerja/buruh, sebagaiama dalam pendahuluan telah
disebut dengan mengutip pendapat Sinzheimer bahwa dalam
hubungan kerja pengusaha adalah pihak yang memiliki kekuatan
lebih dibanding pekerja/buruh, bahkan dalam hal membuat kontrak
kerja di mana terdapat asas kebebasan individu namun dalam
kenyataannya hal ini hanya merupakan istilah karena dalam
kontrak kerja pekerja/buruh tetap tidak memiliki posisi tawar untuk
meningkatkan kodisi hubungan kerja yang diinginkan.
Pancasila sebagai landasan ideal dalam menerapkan
kebijakan pemerintah di segala bidang mengandung nilai keadilan,
dalam sila kedua disebutkan kemanusiaan yang adil dan beradab,
sedangkan di sila kelima kembali ditegaskan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Konsekwensi dari dasar negara Pancasila
yang menerapkan keadilan bagi kemanusiaan dan juga keadilan
sosial utuk seluruh rakyat Indonesia mengharuskan pemerintah
menentang setiap perbuatan yang dapat menjurus adanya
diskriminasi dan eksploitasi yang dapat terjadi pada rakyat yang
lemah oleh golongan rakyat yang lebih kuat. Oleh karena itu
melalui aturan-aturan hukum ketenagakerjaan pemerintah
memberikan perlindungan terhadap golongan rakyat pekerja/buruh
untuk melindunginya dari kemungkinan diskriminasi dan
eksploitasi dari pemberi kerja
Di sini pemerintah berperan sebagai regulator (pembentuk
peraturan) agar hak dan kewajiban pengusaha ataupun
buruh/pekerja dipenuhi dan sesuai dengan perjanjian yang
disepakati, sekaligus sebagai pengawas pelaksanaan jalannya
peraturan. Maka pemerintah membentuk undang-undang terkait
dengan ketenagakerjaan ini yakni Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003. Sehingga jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi

4
karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh.1
2. Aspek Yuridis Pengawasan Perburuhan
Pengawasan Ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi
dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahunn 2003 tentang
Ketenagakerjaan, pasal 1).
a. Maksud Pengawasan, Pengawasan Ketenagakerjaan yang
diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1951
dimaksudkan agar perusahaan yang merupakan asset
perekonomian tersebut dapat berjalan dengan lancar,
berkembang menjadi perusahaan yang kuat dan tidak
mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh
pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Lingkup Pengawasan, Pemerintah (cq. Depnaker) melalui
pengawas perburuhan berdasarkan Undang-undang No. 23
Tahun 1948 jo. Undang-undang No. 3 Tahun 1951 tentang
Pengawasan Ketenagakerjaan diberikan wewenang sebagai
berikut:
1) Mengawasi berlakunya Undang-Undang dan
Peraturan-peraturan ketenagakerjaan pada
khususnya.
2) Mengumpulkan bahan-bahan keterangan
(informasi) tentang soal-soal hubungan kerja dan
keadaan ketenagakerjaan dalam arti yang seluas-
luasnya guna membuat undang-undang dan
peraturan-peraturan ketenagakerjaan lainnya.

1
Masitah Pohan Rahma Yanti, "Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja Dalam
Perusahaan Perkebunan,” Jurnal Cahaya Keadilan 8 no. 1 (2020): 16-18

5
3) Menjalankan pekerjaan lainnya yang sesuai dengan
peraturan peundang-undangan.2
3. Aspek Yuridis Hubungan Industrial
Kemudian dalam pengertian hubungan industrial ternyata
tidak hanya pihak pekerja dan pengusaha yang terlibat
sebagaimana dimaksud dalam pengertian hubungan kerja, tetapi
ada keterlibatan pihak ketiga yaitu pihak Pemerintah. Hal ini
sebagaimana yang diamanatkan dalam pengertian hubungan
industrial pada Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa:
“Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang
dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pekerja, pengusaha, dan
Pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Bahwa tujuan pembuatan hukum ketenagakerjaan
khususnya pembuatan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan yang merupakan induk dari Undang-
Undang Ketenagakerjaan lainnya adalah untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik secara
materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa perwujudan masyarakat yang sejahtera, adil, dan
makmur sebagaimana dimaksud dalam tujuan pembuatan Undang-
Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 adalah
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi pihak-pihak yang
terlibat dalam hubungan kerja. Hal tersebut terlihat dalam Pasal 1
angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, yaitu pihak pekerja dan pengusaha.

2
Muhammad Anis, “Tinjauan yuridis terhadap Pengawasan Ketenagakerjaan menurut
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 di Kota Makassar,” Jurnal AL-QADAU Peradilan dan
Hukum Keluarga Islam 4 no. 2 (2017): 417

6
Menurut Aloysius Uwiyono, Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bagaikan “kanibalisme”.
Lanjutnya, Pemerintah dan DPR terlalu memaksakan untuk
menerbitkan undang-undang ini karena undang-undang ini tidak
didukung oleh satu pun naskah akademik sehingga substansi pasal-
pasalnya penuh dengan inkonsistensi. Selain itu, ada beberapa
peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku masuk dalam
undang-undang ini seperti PP No. 8 Tahun 1981 tentang
Perlindungan Upah, PNPK No. 2 Tahun 1993 tentang Persetujuan
Kerja Waktu Tertentu, dan juga Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor 150 Tahun 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan
Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Penghargaan
Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan juga masuk dalam
undang-undang ini.
Persoalan lain yang terdapat dalam Undang-Undang
ketenagakerjaan Indonesia tampak pada konsep keadilan dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dimana ternyata konsep keadilan yang selama ini diusung dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
masih belum dirasakan oleh pekerja dan pengusaha.
Hal ini tampak dari temuan yang menunjukkan bahwa baik
pengusaha dan pekerja sama-sama berkeberatan dengan beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Namun pada saat dilakukan revisi terhadap
undang-undang ini, baik pengusaha dan pekerja terkesan tidak mau
melakukan pembahasan lebih lanjut akibat sangat kuatnya benturan
kepentingan yang tidak kunjung menemui titik temu. Situasi
seperti ini pun masih belum berubah meskipun pada tahun 2011,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah memaparkan
hasil kajian terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, yang pada intinya menyatakan bahwa

7
setidaknya terdapat 6 (enam) aspek yang harus diperhatikan dalam
revisi undang-undang itu. Keenam aspek tersebut meliputi:
a. Tenaga Kerja Asing;
b. Hubungan Kerja Dalam Sistem Kontrak Kerja dan
Outsourcing;
c. Istirahat Panjang;
d. Pengupahan;
e. Mogok Kerja; dan
f. PHK dan kompetensinya.

Selain persoalan untuk merevisi atas beberapa ketentuan tersebut di


atas, juga ada temuan lain yang menunjukkan bahwa pada tahun
2012, putusan Mahkamah Konstitusi No. 12/PUU-I/2003 juga
membatalkan kembali 3 (tiga) pasal dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu Pasal 64, 65, dan 66
sebagai berikut:

Pasal 64

“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan


pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang
dibuat secara tertulis”

Pasal 65

1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada


perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Dilaksanakan secara terpisah dari kegiatan utama

8
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak
langsung dari pemberi pekerjaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara
keseluruhan;
d. Tidak menghambat proses produksi secara
langsung.
3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus berbentuk badan hukum.
4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi
pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan
pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja
secara tertulis antara perusahaan lain dengan pekerja yang
dipekerjakan.
7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6)
berdasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau
perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal (59).
8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dan ayat (3) tidak terpenuhi maka demi hukum status
hubungan kerja pekerja dengan perusahaan penerima
pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja
dengan perusahaan pemberi kerja.

9
9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalamayat (8) maka
hubungan kerja pekerja dengan pemberi pekerjaan sesuai
dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(7).
Pasal 66
1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak
boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan
kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi.
2) Penyedia jasa pekerja untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Adanya hubungan kerja antara pekerja dengan
perusahaan penyedia jasa pekerja.
b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) adalah
perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu
tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditanda
tangani oleh kedua belah pihak.
c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat
kerja serta perselisihan yang timbul menjadi
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja
dan perusahaan lain yang bertindak sebagai
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat

10
secara tertulis dan wajib memuat Pasal-Pasal
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang
berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ayat (2) huruf (a), huruf (b) dan huruf (d) serta ayat (3)
tidak terpenuhi maka demi hukum status hubungan kerja
antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja beralih
menjadi hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan
pemberi kerja.
Bahwa pembatalan atas 3 (tiga) Pasal dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut karena isi
dari pasal-pasal tersebut dirasakan tidak adil bagi pekerja.
Apabila kita menggunakan teori keadilan dari John Rawls
sebagaimana dalam bukunya A Theory of Justice
menyatakan bahwa untuk mencapai kesetaraan, perlu
adanya pemenuhan hak dasar (equal right). Ketiga pasal
tersebut di atas tampaknya belum terpenuhinya hak-hak
dasar bagi pekerja yang bekerja pada pemberi kerja seperti:
1. Belum adanya kontrak yang jelas menurut sistem
kerja baik antara pekerja dengan perusahaan
pemberi kerja maupun antara pekerja dengan
perusahaan penyedia jasa pekerja;
2. Belum adanya status yang jelas mengenai apakah
pekerja yang dipekerjakan pada perusahan pemberi
kerja dapat menjadi karyawan tetap atau tidak;
3. Tidak disebutkan secara jelas mengenai
pemotongan persentase upah yang harus diterima
oleh pekerja yang bekerja pada perusahaan pemberi
kerja; dan

11
4. Belum adanya peraturan yang mengatur tentang
pesangon jika pekerja yang bekerja pada perusahaan
pemberi kerja sewaktu-waktu diberhentikan.Apabila
ketiga pasal sebagaimana tersebut di atas tetap
dipertahankan, maka menurut John Rawls dapat
menimbulkan penyalahgunaan kekuasan terhadap
pekerja baik dilakukan oleh perusahaan penyedia
jasa tenaga kerja maupun oleh perusahaan pemberi
pekerjaan.17 Atas dasar hal tersebut, sangat rasional
apabila Pasal 64, 65 dan 66 dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
tersebut dibatalkan pemberlakuannya oleh
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 3
4. Aspek Yuridis Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan Kerja Dalam pasal 68 ayat 1 Undang-Undang
No. 13 tahun 2003 disebutkan bahwa setiap pekerja/buruh
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a) Keselamatan Kerja;
b) Moral dan Kesusilaan, dan
c) Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia
serta nilai-nilai agama.

Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna


mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan
upaya keselamatan kerja. Perlindungan tersebut dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk
mewujudkan perlindungan keselamatan kerja, maka pemerintah
telah melakukan upaya pembinaan norma di bidang
ketenagakerjaan. Dalam pengertian pembinaan norma ini sudah

3
M. Rikhardus Joka, Maria GS Sutopo, “Aspek Yuridis Pemutusan Hubungan Kerja
(Phk) Dalam Mewujudkan Hukum Ketenagakerjaan Berbasis Keadilan,” Binamulia Hukum 7 no. 2
(2018): 196-203

12
mencakup pengertian pembentukan, penerapan dan pengawasan
norma itu sendiri.

Atas dasar norma tersebut maka dikeluarkan Undang-


Undang No. 1 Tahun 1970, tentang keselamatan Kerja. Walaupun
namanya undang-undang tentang keselamatan kerja, namun
cakupan materinya termasuk pula masalah kesehatan kerja, karena
keduanya tidak dapat dipisahkan, jika keselamatan sudah
terlaksana dengan baik maka kesehatan kerjapun akan tercapai.

Yang dimaksud dengan petugas keselamatan kerja adalah


karyawan yang mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang
keselamatan kerja, dan ditunjuk oleh pimpinan atau pengurus
tempat kerja/perusahaan untuk membantu pelaksanaan usahanya.

Sedangkan yang bertugas mengawasi dan mentaati atau


tidak peraturan perundangundangan di bidang keelamatan kerja ini
adalah:

1) Pegawai pengawas keselamatan kerja yaitu pegawai teknis


berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga kerja yang
ditunjuk oleh Menteri tenaga Kerja.
2) Ahli keselamatan kerja yaitu tenaga teknis berkeahlian
khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk
oleh Menteri Tenaga Kerja.

Yang bertanggung jawab atas keselamatan kerja di tempat


kerja adalah pimpinan atau pengurus tempat kerja/perusahaan atau
pengusaha. Kewajiban pengusaha atau pimpinan perusahaan dalam
melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja, adalah:

Terhadap tenaga kerja yang baru bekerja, ia berkewajiban


menunjukkan dan menjelaskan tentang:

13
a) Melakukan pembinaan dalam hal pencegahan kecelakaan,
penanggulangan kebakaran, pemberian pertolongan
pertama pada kecelakaan (P3K) dan peningkatan usaha
keselamatan.
b) Memeriksakan kesehatan baik fisik maupun mental secara
berkala.
c) Menyediakan sarana cuma-cuma semua alat perlindungan
diri yang diwajibkan untuk tempat kerja yang bersangkutan
bagi seluruh tenag kerja.
d) Memasang gambar dan undang-undang keselamatan kerja
serta bahan pembinaan lainnya di tempat kerja sesuai
dengan petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan
dan kesehatan kerja.
e) Melaporkan setiap peristiwa kecelakaan termasuk
peledakan, kebakaran dan penyakit akibat kerja yang terjadi
di tempat kerja tersebut kepada kantor Departemen Tenaga
Kerja setempat.
f) Membayar biaya pengawasan keselamatan kerja ke Kantor
Perbendaharaan Negara setempat setelah mendapat
penetapan besarnya biaya oleh Kantor Dinas Departemen
Tenaga Kerja setempat.
g) Mentaati semua persyaratan keselamatan kerja baik yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun yang
ditetapkan oleh pegawai pengawas.

Sedangkan dari sudut tenaga kerja, juga mempunyai hak


dan kewajiban dalam pelaksanaan keselamatan kerja. Adapun
kewajiban-kewajiban tenaga kerja tersebut, adalah:

1) Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh


pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
2) Memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan.

14
3) Memenuhi dan mentaati persyaratan keselamatan dan
kesehatan kerja yang berlaku di tempat kerja/perusahaan
yang bersangkutan.

Adapun hak-hak tenaga kerja adalah:

1) Meminta kepada pimpinan atau pengurus perusahaan


tersebut agar dilaksanakan semua syarat keselamatan kerja
yang diwajibkan di tempat kerja/perusahaan yang
bersangkutan.
2) Menyatakan keberatan melakukan pekerjaan bila syarat
keselamatan kerja serta alat perlindungan diri yang
diwajibkan tidak memenuhi persyaratan, kecuali dalam hal
khusus ditetapkan oleh pegawai pengaws dalam batas-batas
yang masih dapat dipertanggungjawabkan.

Keselamatan kerja bertalian dengan kecelakaan kerja yaitu


kecelakaan yang terjadi di tempat kerja atau dikenal dengan istilah
kecelakaan industri. Kecelakaan industri ini secara umum dapat
diartikan: “Suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak
dikehendaki yang mengacaukan proses yang telah diatur dari suatu
aktivitas”. Suatu kejadian atau peristiwa tertentu adalah sebab
musababnya demikian pula kecelakaan industri/kecelakaan kerja
ini, di mana ada 4 (empat) faktor penyebabnya, yaitu:

1. Faktor Manusia
Diakibatkan kurangnya keterampilan atau kurangnya
pengetahuan, salah penempatannya, misalnya: Tenaga kerja
lulusan Sekolah Teknologi Mesin (STM) ditempatkan di bagian
tata usaha.
2. Faktor material/bahan/peralatan

15
Bahan yang seharusnya terbuat dari besi, akan tetapi supaya
lebih murah dibuat dari bahan lainnya sehinga dengan mudah dapat
menimbulkan kecelakaan.
3. Faktor bahaya/sumber bahaya, dan dua sebab lainnya:
a. Perbuatan bebahaya: Misalnya karena metode kerja yang
salah, keletihan/kelesuan, sikap kerja yang tidak sempurna
dan sebagainya.
b. Kondisi/keadaan berbahaya; yaitu keadaan yang tidak aman
dari mesin/peralatan-peralatan, lingkungan, proses, sifat
pekerjaan.
4. faktor yang dihadapi; misalnya kurangnya pemeliharaan/perawatan
mesin-mesin/peralatan sehingga tidak bisak bekerja dengan
sempurna.

Disamping ada sebabnya maka suatu kejadian juga akan


membawa akibat. Akibat dari kecelakaan industri ini dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu:

1. Kerugian yang bersifat ekonomi, antara lain:


a. Kerusakan/kehancuran mesin, peralatan, bahan dan
bangunan;
b. Biaya pengobatan dan perawatan korban;
c. Tunjangan kecelakaan;
d. Hilangnya waktu kerja;
e. Menurunnya jumlah maupun mutu produksi.
2. Kerugian yang bersifat non ekonomis
Pada umumnya berupa penderitaan manusia yaitu tenaga kerja
yang bersangkutan, baik itu merupakan kematian, luka/cedera berat
maupun luka ringan.

Penjelasan di atas, bisa dihubungkan dengan International


Labour Organitation (ILO) ada beberapa cara atau langkah yang
perlu diambil untuk menanggulangi kecelakaan yang terjadi di

16
tempat kerja, yaitu melalui: peraturan perundang-undangan,
standarisasi, inspeksi, riset teknis, riset medis, riset psikologis, riset
statistik, pendidikan, latihan, persuasi dan asuransi. Sedangkan
untuk mencegah terjadinya hal-hal tersebut, dalam Undang-undang
No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja.

K3 merupakan aspek penting dalam pelaksanaan hubungan


kerja yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
sebagai salah satu jenis hak normatif pekerja/buruh. Pemenuhan K3
merupakan tanggung jawab atau kewajiban pemberi kerja atau
perusahaan. sebagai upaya pencegahan terjadinya KAK dan PAK.
Pelaksanaan K3 diupayakan untuk kondisi lingkungan kerja yang
sehat bagi pekerja sehingga memberikan pengaruh positif bagi
produktifitas pekerja. Pengaturan tentang kesehatan kerja dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia diberlakukan bagi
pekerjaan sektor formal maupun pekerjaan sektor non-formal.
emiliki tujuan meningkatkan dan memelihara derajat tertinggi
kesejahteraan fisik, mental, dan sosial pekerja pada semua jenis
pekerjaan, pencegahan keberadaan dan ketidakhadiran pekerja
karena kondisi kesehatan yang disebabkan kondisi kerja yang tidak
layak, melindungi pekerja pada tempat kerjanya terhadap risiko
yang muncul dari faktor-faktor yang dapat merugikan kesehatan,
penempatan dan pemeliharaan pekerja di lingkungan kerja yang
sesuai dengan kondisi fisiologis dan psikologis pekerja dan untuk
menciptakan kesesuaian antara pekerjaan dengan pekerja dan setiap
pekerja dengan pekerjaannya. K3 berupaya untuk mewujudkan data
tahan jasmani dan rohani atau fisik dan mental dalam lingkup
ketenagakerjaan. Dengan pengelolaan K3 yang baik diharapkan
tenaga kerja dapat melakukan pekerjaan dengan aman dan nyaman
serta mencapai ketahanan fisik, daya kerja, dan tingkat kesehatan
yang tinggi.

17
Pada intinya fungsi pengawasan ketenagakerjaan di
perusahaan menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Keselamatan Kerja belum efektif. Hal ini disebabkan
karena belum optimalnya upaya pembinaan norma keselamatan dan
kesehatan kerja di bidang ketenagakerjaan. Faktor yang
berpengaruh terhadap fungsi pembinaan dan pengawasan
ketenagakerjaan menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Keselamatan Kerja pada perusahaan adalah selain faktor
substansi hukum, faktor aparat hukum. 4

5. Aspek Yuridis Perlindungan Upah


Pengertian upah menurut Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh
yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan
dari pengusaha atau pemberi kerja yang ditetapkan dan dibayarkan
menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan
dilakukan.
Pengupahan merupakan aspek penting dari perlindungan
pekerja/buruh sebagaimana ditegaskan pada Pasal 88 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bentuk
perlindungan upah pada Undang-Undang Ketenagakerjaan antara
lain terlihat dari adanya kebijakan tentang upah minimum,
kewajiban pengusaha dalam membayar upah kerja lembur dan
Upah Tidak Masuk Kerja Karena Berhalangan sebagaimana yang

4
M. N. Sholikin, & Herawati, “Aspek Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Bagi Tenaga Medis dan Kesehatan di Masa Pandemi: (Legal Aspects of Occupational Safety and
Health for Medical and Health Workers During the Pandemic),” Majalah Hukum Nasional 50 no.
2 (22020): 163-182. https://doi.org/10.33331/mhn.v50i2.74

18
dijelaskan dalam Pasal 88 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Dalam undang-undang ketenagkerjaan Pasal 95 ayat (2)
menyebutkan bahwa pengusaha yang karena kesengajaan atau
kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah,
dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah
pekerja/buruh. Keterlambatan pembayaran upah kepada
pekerja/buruh diatur dalam peraturan pemerintah tentang
perlindungan upah pasal 19 yang mewajibkan membayar denda
atas keterlambatan pembayaran upah. Akan tetapi, pengaturan
sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar denda atas
keterlambatan upah tersebut tidak diatur. Oleh karena itu tidak
dapat memberikan efek jera kepada pengusaha yang terlambat
membayar upah sehingga terjadi kekaburan norma.
Bahwa upah yang dikategorikan sebagai upah layak
menurut Undang-Undang ketenagakerjaan yaitu upah yang dapat
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Layak bagi
kemanusiaan maksudnya apabila kebutuhan hidup dasar minimum
pekerja/buruh sudah terpenuhi misalnya seperti terpenuhinya
sandang, pangan, dan papan. Selain itu, upah juga harus diberikan
secara adil yaitu harus sesuai dengan jabatan, golongan, dan masa
kerja.
Untuk pemerintah dan pejabat yang berwenang agar lebih
memperhatikan masalah pengupahan yang sering terjadi, terutama
mengenai keterlambatan pembayaran upah oleh pengusaha. Karena
dalam Peraturan Pemerintah hanya mengatur tentang kewajiban
pembayaran denda oleh pengusaha, sehingga diharapkan untuk
membuat peraturan yang memberikan sanksi pidana terhadap
pengusaha yang tidak memayar denda atas keterlambatan
membayar upah. Agar peraturan mengenai keterlambatan
pembayaran upah kepada pekerja/buruh lebih jelas dan mempunyai

19
sanksi yang tegas. Dimana peraturan mengenai keterlambatan
pembayaran upah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun
2003 tentang ketenagakerjaan Pasal 95 ayat 2 “Pengusaha yang
karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan
keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan
persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.” Sedangkan persentase
denda diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981
tentang perlindungan upah. Disini terlihat tidak adanya sanksi atas
tidak dibayarkannya denda akibat keterlambatan pembayaran upah.
Hal ini teu berdampak bagi pekerja/buruh karena dengan adanya
peraturan yang tidak tegas akan mempersulit pekerja/buruh untuk
memperoleh haknya dalam bentuk upah dan tentu akan berdampak
pada kebutuhan pekerja yang akan semakin sulit untuk dipenuhi.
Seharusnya dalam pemberian upah tidaklah harus terpaku
pada upah minimum, karena upah minimum hanya untuk
pekerja/buruh yang masih lajang dan belum berpengalaman.
Sedangkan bagi pekerja yang masa kerjanya diatas satu tahun dan
sudah berpengalaman maka upah yang diterimanya harus diatas
upah minimum bukan setara dengan pekerja yang masa kerjanya
dibawah satu tahun dan masih lajang. Pemberian upah haruslah
berdasarkan kebutuhan hidup layak, yaitu dapat mensejahterakan
pekerja/buruh.5

5
Meli Indriyanti, “Aspek Yuridis Tentang Perlindungan Upah Dalam Rangka
Peningkatan Produktivitas Pekerja Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan,” S1 thesis, Universitas Mataram, 2014

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari segi aspek yuridis/hukum, persoalan mengenai hukum
ketenagakerjaan tersebut sebenarnya tidak semata-mata berada pada aspek
substansi hukum seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan melainkan lebih pada aspek struktur hukum dan budaya
hukum yang ada di masyarakat. Di samping adanya fakta bahwa Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah undang-
undang yang tidak sempurna akibat banyaknya pencabutan pasal-pasal
melalui putusan Mahkamah Konstitusi, pelanggaran-pelanggaran tersebut
justru acapkali timbul pada tahap peraturan pelaksanaan yang berkualitas
buruk yang dibuat oleh pemberi kerja. Peraturan pelaksana dimaksud
adalah Peraturan Perusahan (PP), Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan
Perjanjian Kerja (PK). Selain itu juga ada persoalan lain terkait cara
pandang masyarakat dan pemahamannya atas hukum dan fakta bahwa
hingga saat ini Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan masih belum dapat direvisi lantaran kuatnya benturan
kepentingan antara perusahaan dengan pekerja. Walaupun secara kualitas,
Pemerintah sendiri telah mengamini kekurangan dari undang-undang ini.

B. Saran
Tentunya kami sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di
atas masih banyak kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun
nantinya kami akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu
dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa
membangun dari para pembaca.

21
DAFTAR PUSTAKA

Anis, Muhammad. 2017. “Tinjauan yuridis terhadap Pengawasan


Ketenagakerjaan menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 di Kota
Makassar.” Jurnal AL-QADAU Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 4
no. 2
Indriyanti, Meli (2014) Aspek Yuridis Tentang Perlindungan Upah Dalam Rangka
Peningkatan Produktivitas Pekerja Menurut Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. S1 thesis, Universitas Mataram.

Joka, M. Rikhardus Maria GS Sutopo. 2018. “Aspek Yuridis Pemutusan


Hubungan Kerja (Phk) Dalam Mewujudkan Hukum Ketenagakerjaan
Berbasis Keadilan.” Binamulia Hukum 7 no. 2

Pohan, Masitah Rahma Yanti. 2020. "Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Kerja
Dalam Perusahaan Perkebunan.” Jurnal Cahaya Keadilan 8 no. 1

Sholikin, M. N., & Herawati. (2020). “Aspek Hukum Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) Bagi Tenaga Medis dan Kesehatan di Masa Pandemi: (Legal
Aspects of Occupational Safety and Health for Medical and Health
Workers During the Pandemic).” Majalah Hukum Nasional 50 no. 2 163-
182. https://doi.org/10.33331/mhn.v50i2.74

22

Anda mungkin juga menyukai