Anda di halaman 1dari 15

Nama : Mangambit Tua Sagala,S.

H
Nim : 02012682327043
Tugas : Mata Kuliah Metode Penelitian Hukum

MEMBANGUN PARADIGMA BARU


HUKUM PERUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT INDONESIA
TENTANG KETENAGAKERJAAN

Oleh :

Mangambit Tua Sagala, S.H


Email : ambidkurus@gmail.com

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan

perekonomian nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh

bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian

dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi

pada masa mendatang dan perekonomian nasional diselenggarakan

berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,

efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan

kemandirian. Bawha berdasarkan undang-undang nomor 39 tahun

2014 tentang Perkebunan pada pasal 1 ayat 1 dikatakan “perkebunan

segala kegiatan pengolahan sumber daya alam, sumber daya manusia,

sarang produksi, alat dan mesin, budidaya panen, pengolahan dan

pemasaran terkait tanaman perkebunan”1

1
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014
Bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka

membangun manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan

masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang

sejahtera, adil dan makmur, yang merata, baik materil maupun spiritual

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu

melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang/atau jasa, baik yang

memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.2

Hukum perusahaan merupakan kumpulan aturan-aturan tertulis

maupun tidak tertulis yang mengatur bentuk-bentuk organisasi bisnis

yang mengatur hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian

dalam praktik bisnis. Organisasi bisnis tersebut akan mengkodifikasi

harapan dari etika dalam melaksanakan kegiatan bisnis dan

kewirausahaan. Meskipun disadari tidak semua harapan etika tersebut

dapat dipenuhi oleh hukum perusahaan. Terlebih lagi hukum

bukanlah merupakan tujuan, tetapi merupakan pen- cerminan dari

aspirasi masyarakat dalam perlindungan hak-hak serta kepentingan-

kepentingan individu yang dituangkan dalam norma-norma hukum

atau kaidah- kaidah hukum sebagai jembatan yang akan membawa

seluruh rakyat Indonesia kepada ide yang dicita-citakan.3

2Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


3
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991,
hlm. 1.
Tenaga kerja memiliki peran dan kedudukan yang sangat

penting sebagai pelaku (actor) dalam mencapai tujuan

pembangunan. Sejalan dengan itu, pembangunan ketenagakerjaan

diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kontribusinya dalam

pembangunan serta melindungi hak dan kepentingannya sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan.4 Pembangunan

ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dan

kemitraan. Oleh karena itu, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(UU Ketenagakerjaan) bahwa pembangunan ketenaga- kerjaan

bertujuan untuk:

• Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga

kerja secara optimal dan manusiawi;

• Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan

penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan

kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;

• Memberikan perlindungan bagi tenaga kerja dalam

mewujudkan kesejahteraan; dan

• Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan

keluarganya.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlindungan hukum terhadap

4
B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan
Administratif Dan Operasional, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005, hlm. 1.
pekerja dalam hubungan industrial sangat penting dan harus

dilindungi oleh pengusaha serta pemerintah, sehingga tercipta

kedudukan yang proporsional. Untuk itu, perlu dipahami mengenai

hak dan kewajiban pekerja/pengusaha, perlindungan hukum bagi

pekerja, upaya-upaya yang harus dilakukan dalam membentuk

hubungan industrial yang harmonis, dan penyelesaian perselisihan

hubungan industrial.

Hukum perikatan menganut suatu asas yang dinamakan asas

kebebasan berkontrak atau istilah Contractvrijheid atau

Partijautonomie5 artinya subyek-subyek hukum diberi suatu

kebebasan untuk mengadakan atau melaksanakan kontrak atau

perjanjian sesuai kehendak dalam menentukan isi dan syarat

berdasarkan kesepakatan asalkan memenuhi unsure-unsur

kesepakatan.

Pemutusan hubungan kerja bagi pekerja/buruh merupakan awal

hilangnya mata pencaharian, berarti pekerja/buruh kehilangan pekerjaan dan

penghasilannya. Istilah PHK merupakan hal yang ditakuti oleh setiap

pekerja/buruh, karena mereka dan keluarganya terancam kelangsungan

hidupnya dan merasakan derita akibat dari PHK itu. Pemutusan hubungan

kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal

tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara

5 Achmad Busro, Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUH Perdata, (Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2011),
halaman 1.
pekerja dan pengusaha6. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa

berakhirnya hubungan kerja tidak hanya berasal dari keinginan pengusaha

saja tetapi bisa juga berasal dari keinginan pekerja/ buruh.

Dalam hal Pemutusan Hubungan kerja atas dasar pengunduran diri

yaitu PHK tersebut timbul karena kehendak pekerja/buruh secara murni

tanpa adanya rekayasa pihak lain. Dalam praktek bentuknya pekerja/buruh

mengundurkan diri dari perusahaan tempat ia bekerja yaitu dengan

membuat permohonan secara tertulis dan dibuat atas kemauan sendiri

tanpa adanya indikasi tekanan / intimidasi dari pengusaha. Jika terdapat

indikasi tekanan /intimidasi dari pengusaha, secara hukum bukan PHK oleh

pekerja/buruh, tetapi PHK oleh pengusaha. Hal ini akan menimbulkan akibat

hukum yang berbeda pula. Dalam hal pemberian hak pekerja/buruh yang

terkena PHK oleh pengusah mempunyai perbedaan yang sangat mencolok

dengan PHK yang dilakukan atas permintaan pengunduran diri.

6 Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaaan


MEMBANGUN PARADIGMA BARU HUKUM PERUSAHAAN PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT INDONESIA TERHADAP KETENAGAKERJAAN

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut maka yang menjadi permasalahan

dalam penelitian tentang Ketenagakerjaan Khususnya Perkebunan

Kelapa Sawit adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan klausul baku dalam hukum perjanjian

untuk mencapai keadilan berkontrak?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja dalam

Pelaksanaan Hubungan Industrial?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap Hak Pekerja/buruh yang

mengundurkan diri atas kemauan diri sendiri?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun penelitian-penelitian jurnal ini bertujuan untuk :

1. Untuk memahami bagaimana perlindungan hukum terhadap

pekerja dalam Pelaksanaan Hubungan Industrial;

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan klausul baku dalam

hukum perjanjian untuk mencapai keadilan berkontrak;

3. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap Hak

Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan diri sendiri;


D. MANFAAT PENELITIAN

Penulisan Jurnal ini diharapkan bisa dapat memberikan manfaat bagi

kita semua, baik bagi mahasiswa maupun bagi masyarakat:

a. Manfaat teoritis

Hasil penelitian jurnal ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

ilmu pengetahuan hukum yang lebih baik tentang Ketenagakerjaan

dari sudut pandang perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia.

b. Manfaat praktis,

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan atau

sumbangan pemikiran bagi masyarakat dan kalangan Pemerintah

yang terkait tentang Ketenagakerjaan dari sudut pandang

perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia.

E. ORISINALITAS PENELITIAN

Dalam mendukung penelitian ini, penelitian menggunakan penelitian

terdahulu sebagai rujukan yang berkesinambungan dengan apa saja

yang akan diteliti. Penelitian terdahulu digunakan sebagai sebuah

rujukan dan perbandingan untuk kelancaran penelitian terbaru.

Penelitian terbaru yang menjadi rujukan dan perbandingan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :


Nama : Ahmad Hunaeni Zulkarnaen dan Tanti
Kirana Utami
1
Jurnal : Perlindungan Hukum terhadap pekerja
dalam melaksankan Hubungan Industrial
Sumber : PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum
Volume 3 Nomor 2 Tahun 2016

Tahun : 2016

Hasil Penelitian : Sistem hukum yang cocok bagi


hubungan industrial di Indonesia
adalah sistem hukum hubungan
industrial Pancasila, yaitu sistem
hubungan industrial sejalan dan sejiwa
dengan idea atau cita hukum Indonesia,
yaitu mewujudkan masyarakat adil dan
makmur merata secara materiil
maupun spiritual dan mampu
memberikan kesejahteraan kepada
semua pihak (pekerja/buruh, pengusaha,
pemerintah, dan masyarakat). Sistem
hukum hubungan industrial Pancasila
tersebut bercirikan: para pihak yang
terlibat dalam hubungan industrial
dipandang sebagai manusia yang
bermartabat dan sederajat yang mudah
melakukan komunikasi, koordinasi,
konsultasi, sehingga setiap permasalahan
sekecil apapun dapat diantisipasi; setiap
perbedaan pendapat dapat diselesaikan
dengan mudah dengan jalan musyawarah
mufakat; dan mogok atau penutupan
perusahaan (lock out) tidak pernah di-
gunakan.
Namun demikian, tidak mudah
mewujudkan ciri dari sistem hukum
hubungan industrial Pancasila
dikarenakan ada 5 (lima) faktor
penghambat dalam me- wujudkan ciri
dari sistem hukum hubungan
industrial Pancasila, yaitu: faktor
penegak hukum, faktor sarana atau
fasilitas, faktor masyarakat, faktor
budaya, dan faktor hukumnya sendiri
(perundang-undangan). Maka teori dan
solusi yang ditawarkan oleh Tim
Penulis adalah 'teori hubungan
industrial kerja sama ber- keadilan
kontribusi yang transparansi', yaitu
antara pekerja/buruh dengan peng-
usaha bekerjasama secara terbuka
berdasarkan keadilan kontribusi baik
dalam kondisi perusahaan sedang
mengalami keuntungan maupun
sedang mengalami kerugian.

Nama : Muhammad Hassan Mauziz


Ahmad Busro
2
Jurnal : Pengaturan Klausula Baku Dalam Hukum
Perjanjian untuk mencapai Keadilan
Berkontrak
Sumber : Jurnal Law Reform Volume 4, Nomor 1
Tahun 2015
Tahun : 2015

Hasil Penelitian : Klausula baku lahir dari adanya kebutuhan para pihak
untuk membuat suatu kontrak yang cepat, dan
efisien. Meski demikian adanya klausula baku
cenderung menguntungkan pihak yang
membuatnya dalam hal ini adalah pihak
perusahaan atau kreditur, dimana pihak kreditur
memiliki waktu yang cukup banyak untuk
membuat klausula perjanjian, sedangkan
masyarakat/ debitur tidak memiliki ruang yang
cukup untuk melakukan negosiasi atas klausula
dalam perjanjian tersebut, bahkan masyarakat
sendiri tidak atau bahkan belum familiar dengan
istilah-istilah yang terdapat di dalam klausula
tersebut. Selain itu, kondisi dan keadaan debitur yang
berada pada posisi lemah tidak memiliki pilihan
lain selain menerima atau menolak klausula yang
telah ditentukan tersebut.

Isi perjanjian agar dapat mencapai keadilan


berkontrak tidak dapat dilepaskan dari beberapa
unsur yang ada di dalam perjanjian itu sendiri,
yaitu posisi tawar para pihak atau kedudukan
yang dimiliki oleh para pihak dalam melakukan
perjanjian tersebut. Adanya negosiasi dalam
perjanjian merupakan hal terpenting dalam
proses perumusan kotrak, sehingga para pihak
mengerti dan memahami setiap klausula yang
diperjanjikan. Selain itu, kejujuran dan
keterbukaan para pihak terkait dengan hal-hal
yang diperjanjikan beserta resiko yang mungkin
akan dialami dalam proses pelaksanaan
perjanjian merupakan salah satu hal terpenting
untuk dilakukan prapihak dalam proses
perancangan dan pelaksanaan kontraktual
sehingga diharapkan mampu menghasilkan
suatu hubungan perjanjian yang adil dan
proporsional.
Nama : Taufiq Yulianto S.H

3 Jurnal : Perlindungan Hukum terhadap Hak


Pekerja/buruh yang mengundurkan diri
atas kemauan diri sendiri.
Sumber : Jurnal Law reform Oktober 2011 Vol. 6

No.2

Tahun : 2011

Hasil Penelitian : 1. Ketentuan normatif pekerja/ buruh yang


mengundurkan diri atas kemauan
sendiri
Dalam hal pemutusan hubungan kerja oleh
pekerja/buruh atas permintaan pengunduran
diri maka PHK tersebut timbul karena
kehendak pekerja/buruh. Pengunduran diri
itu harus benar-benar murni atas kehendak
pekerja/buruh sendiri tanpa adanya rekayasa
ataupun dipengaruhi oleh pihak lain.
Pekerja/ buruh yang mengundurkan diri
harus membuat permohonan secara tertulis dan
dibuat atas kemauan sendiri tanpa adanya
indikasi tekanan / intimidasi dari
pengusaha. Jika terdapat indikasi tekanan/
intimidasi dari pengusaha, secara hukum bukan
PHK oleh pekerja/buruh, tetapi PHK oleh
pengusaha. Hal ini akan menimbulkan akibat
hukum yang berbeda pula. Menurut pasal 162
ayat 3 UU No.
13 Tahun 2003, pekerja/buruh yang me -
ngundurkan diri harus memenuhi syarat :

a. mengajukan permohonan pengun -


duran diri secara tertulis selambat -
lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sebelum tanggal mulai pengunduran
diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya
sampai tanggal mulai pengunduran
diri.
2. Hak yang diterima pekerja/ buruh
yang mengundurkan diri atas
kemauan sendiri

Pemutusan hubungan kerja karena


pekerja / buruh mengundurkan diri atas
kemauan sendiri berlaku pasal 162 UU
N0. 13 Tahun 2003 yaitu :
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri
atas kemauan sendiri, memperoleh
uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang me -
ngundurkan diri atas kemauan sendiri,
yang tugas dan fungsinya tidak
mewakili kepentingan pengusaha
secara langsung, selain menerima uang
penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4) diberikan uang
pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam perjan-
jian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
Jadi pekerja/buruh yang mengun- durkan
diri akan memperoleh Uang Penggantian Hak,
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) yang
terdiri dari:

a. Cuti tahunan yang belum diambil


dan belum gugur;
b. Biaya pulang untuk pekerja/ buruh
dan keluarganya ketempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja;
c. Penggantian perumahan serta
pengobatan dan perawatan ditetapkan
15% dari uang pesangon dan/atau
uang penghargaan masa kerja bagi
yang memenuhi syarat; dan
d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja
Bersama (PKB).
Berdasarkan Pasal 162 tersebut, maka
jenis hak yang diterima oleh
pekerja/buruh yang mengundurkan diri
bukanlah berupa uang pesangon maupun
uang penghargaan masa kerja, melainkan
hanya berupa uang penggantian hak yang
besarnya disesuaikan dengan masa kerja.
3. Perlindungan hukum terhadap hak
pekerja/buruh yang mengundurkan
diri atas kemauan sendiri

Berdasarkan pasal 162 ayat (1)


Undang-Undang Republik Indonesia
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenaga -
kerjaan secara tegas mengatur: “Pekerja/
buruh yang mengundurkan diri atas
kemauan sendiri, memperoleh uang
penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4)”.
Namun demikian ketentuan pem-
berian uang penggantian hak berupa
penggantian perumahan serta
pengobatandan perawatan ini dalam
implementasinya sering menimbulkan
multi tafsir. Ketentuan yang dianggap
multi tafsir tersebut kemudian
berusaha ditafsirkan oleh Menteri
Tenaga Kerja dan Trans- migrasi
dengan mengeluarkan surat Nomor :
B.600/MEN/SjHk/VIII/ 2005, tanggal
31 Agustus 2005.
Dalam surat Menakertrans tersebut secara jelas
dan tegas menyebutkan bahwa karena
pekerja/ buruh yang mengundurkan diri
tidak mendapatkan uang pesangon dan uang
penghargaan masa kerja maka pekerja/buruh
yang bersangkutan tidak mendapatkan
penggantian perumahan serta pengobatan dan
perawatan sebagaimana ketentuan dalam
Pasal 156 ayat (4)”. Dengan kata lain
pekerja/buruh yang mengundurkan diri
secara baik-baik atas kemauan sendiri bisa saja
tidak mendapatkan hak apapun.
Berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia No.10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan
Perundangan secara hirarkis Surat Menteri
Tenaga Kerja tidak termasuk dalam tata
urutan perundangan apalagi mengalahkan
Undang-undang, oleh karena itu Kepmenaker
tersebut dapat diabaikan karena hanya
bersifat penafsiran saja apalagi surat
tersebut hanya ditujukan kepada kepala
instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.

Anda mungkin juga menyukai