Anda di halaman 1dari 7

Tugas Individu Kajian PHK Menurut tiga Perspektif Kebijakan

Mata Kuliah : Manajemen Operasional


Dosen : Prof. Dr. Bernhard Tewal, SE, ME

Program Studi S2 MM – FEB Unsrat 2021


Nama : RADINAL MUHDAR
NIM : 210621020071
Kelas : A1
Tanggal : 03 November 2021

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Dalam dunia kerja, kita lazim mendengar istilah Pemutusan Hubungan Kerja atau yang
sering disingkat dengan kata PHK. PHK sering kali menimbulkan keresahan khususnya bagi
para pekerja. Bagaimana tidak? Keputusan PHK ini akan berdampak buruk bagi
kelangsungan hidup dan masa depan para pekerja yang mengalaminya dan keluarganya.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kerap terjadi di dunia kerja. Apalagi saat pandemi Covid-
19 ini dimana perusahaan-perusahan mencoba melakukan efisiensi agar tidak gulung tikar.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu
hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan
perusahaan/majikan. Artinya harus adanya hal/alasan tertentu yang mendasari pengakhiran
hubungan kerja ini.

Dalam aturan perburuhan, alasan yang mendasari PHK dapat ditemukan dalam pasal
154A ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) jo. Undang-
undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2021) dan peraturan pelaksananya
yakni pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP
35/2021).

Mengutip Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PHK


adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Sesuai hukum ketenagakerjaan di Indonesia, perusahaan tidak boleh melakukan
pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa alasan terhadap karyawan mereka. PHK harus
didasari alasan kuat dan sah, sebagaimana yang disebutkan dalam UU Cipta Kerja No 11
Tahun 2020, Bab IV Ketenagakerjaan, poin 42 tentang penyisipan Pasal 154A ke dalam UU
Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003.

Beberapa waktu lalu, terdapat sebuah keputusan kontroversi yang diambil pemerintah
yaitu pengesahan Omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja telah
disahkan oleh DPR RI dalam rapat paripurna. Banyak bagian yang disoroti publik dalam
omnibus law UU Cipta Kerja ini, salah satunya menyoal pemutusan hubungan kerja (PHK)
terhadap pekerja atau buruh. Penyebabnya adalah banyak yang berbeda dengan UU Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan dinilai merugikan pihak pekerja. Menurut UU
Nomor 13 Tahun 2003, PHK merupakan pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dengan
pengusaha. Dalam menanggapi hal tersebut kita akan melihat bagaimana PHK dalam tiga
perspektif, yaitu Hubungan Industrial Pancasila, Undang-Undang R.I. No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Perspektif Hubungan Industrial Pancasila

Seperti yang kita ketahui bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia dan semua
kehidupan berbangsa dan bernegara harus berdasarkan kepada Pancasila. Begitupun dalam
Hubungan Ketenagakerjaan harus berdasarkan kepada Pancasila oleh karena itu di Indonesia
hubungan ketenagakerjaan dikenal dengan sebutan Hubungan Industrial Pancasila (HIP).
Berdasarkan literatur istilah Hubungan Industrial Pancasila (HIP) merupakan terjemahan
labour relation atau hubungan perburuhan. Istilah ini pada awalnya menganggap bahwa
hubungan perburuhan hanya membahas masalah-masalah hubungan antara kerja/buruh dan
pengusaha.

Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) Departemen


Tenaga kerja (Anonim, 1987:9) pengertian HIP ialah suatu sistem yang terbentuk antara
pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pekerja, pengusaha dan pemerintah) yang
didasarkan atas nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, yang tumbuh dan
berkembang di atas keperibadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia. Untuk itu
sebagai wujud pelaksanaan hubungan kerja antara pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah
harus sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, artinya segala bentuk
perilaku semua subjek yang terkait dalam proses harus mendasarkan pada nilai-nilai luhur
Pancasila secara utuh.

Sila Ketuhanan yang Maha Esa telah dikonkritkan ke dalam beberapa aturan, seperti
pelarangan melakukan diskriminasi berdasarkan alasan agama, pemberian tunjangan hari raya
pada saat buruh merayakan hari besar keagamaan dan hak untuk mendapatkan cuti untuk
menjalankan ibadah keagamaan merupakan contoh-contoh yang diterapkan pada sila pertama
dalam hubungan industrial di Indonesia.

Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sila ini diturunkan ke dalam beberapa asas,
antara lain asas adil dan merata, yang pelaksanaannya dalam upah minimum masih bisa
terlihat. Asas peri kehidupan dalam keseimbangan merupakan asas yang harus diterapkan
misalnya dalam penciptaan hubungan kemitraan antara buruh dan majikan.

Sila Persatuan Indonesia terlihat dalam pengelolaan pasar kerja di Indonesia, di mana
lowongan kerja dan pencari kerjanya dikelola secara nasional.Hal ini mengambarkan upaya
untuk mempertemukan tenaga kerja yang berasal dari daerah padat angkatan kerja tetapi
rendah kesempatan kerjanya dengan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan
atau minat dari tenaga kerja tersebut, walau lowongan pekerjaan tersebut terletak di daerah
yang berbeda dengan tempat tenaga kerja tersebut berasal.

Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Pemusyawaratan


Perwakilan mengandung nilai yang paling banyak diterapkan di dalam aktivitas berorganisasi
para buruh. Bila terjadi perselisihan hubungan industrial, prinsip penyelesaiannya adalah
melalui proses musyawarah untuk mencapai mufakat.

Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan sila yang paling erat
berkaitan dengan masalah hubungan industrial. Karena merupakan hal terpenting dalam
perlindungan wajib bagi buruh sperti hak untuk memperoleh jaminan social, hak untuk
memperoleh upah yang layak, hak untuk tidak dieksploitasi baik atas dasar jam kerja
maksimal dan jam istirahat minimal yang berdasarkan pada sila ini.

Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila di Indonesia haruslah membawa suasana


yang ideal dan tentram dalam hubungan industrial, namun tidaklah demikian. Banyak
masalah dalam hubungan industrial dewasa ini yang menunjukan bahwa Hubungan Industrial
Pancasila yang masih tertidur, penyebabnya antara lain: Pekerja dan Pengusaha masih
menempatkan diri pada posisi yang bersebrangan dan tidak merasa memiliki kepentingan
yang sama. Pekerja merasa bahwa pengusaha mengeksploitasi mereka; sedangkan pengusaha
merasa bahwa pekerja banyak yang tidak melaksanakan tugsanya dengan baik.

Peraturan yang saat ini paling banyak dianggap salah oleh pihak pekerja adalah tentang
outsourcing di dalam hukum Indonesia.Peraturan ini dianggap buruk karena perlindungan
hukum terhadap pekerja outsourcing masih sangat tidak memadai. Sementara itu, peraturan
tentang pemberian pesangon pada pekerja yang akhirnya di PHK karena beberapa kali
melakuka pelanggaran terhadap peraturan perusahaan juga dianggap oleh pengusaha sebagai
peraturan yang tidak menguntungkan di posisi mereka.

Dalam pasal 1 angka 16 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pengertian istilah hubungan industrial adalah suatu sistem
hubungan yang terbentuk antara para perilaku dalam proses produksi barang dan jasa yang
terdiri atas unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Landasan hubungan industrial terdiri atas :

A. Landasan idil ialah pancasila

B. Landasan konsitusional ialah undang-undang dasar 1945

C. Landasan operasional GBHN yang ditetapkan oleh MPR serta kebijakan-kebijakan


lain dari pemerintah

Tujuan Hubungan Industrial Pancasila yaitu untuk : Mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang berdasarkan Pancasila serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial melalui penciptaan ketenangan,
ketentraman dan ketertiban kerja serta ketenangan usaha, meningkatkan produksi dan
meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai derajat manusia.

Hubungan Indostrial Pancasila memiliki beberapa ciri-ciri sebagai berikut :


1. Mengakui dan menyakini bahwa bekerja bukan sekedar mencari nafkah saja,
melainkan juga sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya, sesama manusia,
masyarakat, bangsa dan negara.
2. Menganggap pekerja bukan hanya sekedar faktor produksi belaka melainkan sebagai
manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya.
3. Melihat antara pekerja dan pengusaha bukan mempunyai kepentingan yang
bertentangan, melainkan mempunyai kepentingan yang sama untuk kemajuan
perusahaan.
4. Setiap perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus disesuaikan dengan
jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan secara kekeluargaan.
5. Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban untuk kedua belah pihak, atas dasar
rasa keadilan dan kepatutan.

Sedangkan sarana Hubungan Industrial Pancasila yaitu : Serikat Pekerja/Serikat Buruh,


Organisasi Pengusaha, Lembaga kerja sama Bipartit, Lembaga kerja sama Tripartitdilakukan,
Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama, Peraturan Perundang-undangan
Ketenagakerjaan dan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

PHK Memurut Undang-Undang R.I. No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor.13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan, masalah pemutusan Hubungan Kerja diatur dalam pasal 150 s/d Pasal 172.

Khusus pengaturan masalah uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dang anti
kerugian yang sebelumnya telah diatur dalam kepmen nomor. KEP 150/MEN/2000 tentang
Penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan uang pesangon, uang penghargaan
masa kerja dan ganti kerugian di perusahaan telah diatur kembali dalam undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003.

Sedang pengaturan hukum acara (formil) mengenai PHK masih mengacu UNdang-
Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan dan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang pemutusan Hubungan Kerja di perusahaan swasta,
karena kedua Undang-undang tersebut sampai saat ini masih berlaku (tidak dicabut oleh
undang-undang nomor 13 tahun 2003). Pada prinsipnya pemutusan hubungan kerja (PHK)
harus melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan Industrial. (pasal 151
ayat 3).

Dalam UU Nomor 13 Tahun 2020 Pasal 163, pengusaha dapat melakukan PHK
terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan atau
perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja.
PHK juga dapat dilakukan jika perusahaan mengalami perubahan status, penggabungan, atau
peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja di perusahaannya.
Lebih lanjut, PHK dapat dilakukan karena perusahaan tutup diakibatkan mengalami kerugian
yang telah dibuktikan dengan laporan keuangan dua tahun terakhir yang sudah diaudit
akuntan publik atau keadaan memaksa. Pengusaha dapat melakukan PHK karena perusahaan
melakukan efisiensi, serta perusahaan pailit. Setiap pemutusan hubungan kerja dengan
alasan-alasan di atas, setiap pekerja berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa
kerja, dan uang ganti hak sesuai dengan ketentuan masing-masing yang ada dalam UU.
Pengusaha juga dapat melakukan PHK terhadap pekerja dalam proses perkara pidana. Dalam
hal pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur di perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan PHK, setelah pekerja
diberikan surat peringatan hingga tiga kali secara berturut-turut. Pengusaha dapat melakukan
PHK terhadap pekerja yang memasuki usia pensiun. Serta, PHK bisa dilakukan jika pekerja
mengundurkan diri.

PHK hasil dari Omnibuslaw Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dalam UU Nomor 13 Tahun 2020 Pasal 163, pengusaha dapat melakukan PHK
terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan atau
perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja.
PHK juga dapat dilakukan jika perusahaan mengalami perubahan status, penggabungan, atau
peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja di perusahaannya.
Lebih lanjut, PHK dapat dilakukan karena perusahaan tutup diakibatkan mengalami kerugian
yang telah dibuktikan dengan laporan keuangan dua tahun terakhir yang sudah diaudit
akuntan publik atau keadaan memaksa. Pengusaha dapat melakukan PHK karena perusahaan
melakukan efisiensi, serta perusahaan pailit. Setiap pemutusan hubungan kerja dengan
alasan-alasan di atas, setiap pekerja berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa
kerja, dan uang ganti hak sesuai dengan ketentuan masing-masing yang ada dalam UU.
Pengusaha juga dapat melakukan PHK terhadap pekerja dalam proses perkara pidana.
Dalam hal pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur di perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan PHK,
setelah pekerja diberikan surat peringatan hingga tiga kali secara berturut-turut. Pengusaha
dapat melakukan PHK terhadap pekerja yang memasuki usia pensiun. Serta, PHK bisa
dilakukan jika pekerja mengundurkan diri.

Sedangkan pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pengusaha
dapat melakukan PHK dengan alasan berikut: Perusahaan melakukan penggabungan,
peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan Perusahaan melakukan efisiensi
Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian Perusahaan tutup
yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur) Perusahaan dalam keadaan
penundaan kewajiban pembayaran utang Perusahaan pailit Perusahaan melakukan perbuatan
yang merugikan pekerja Pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri Pekerja mangkir
Pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama Pekerja ditahan pihak yang berwajib Pekerja
mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat
melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan Pekerja memasuki usia pensiun
Pekerja meninggal dunia Perusahaan tetap wajib membayarkan uang pesangon dan/atau uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Sementara pada RUU Cipta Kerja, terdapat beberapa perubahan. Dalam pasal 156 poin
2 UU 13 Tahun 2003, perhitungan uang pesangon disebutkan diberikan "paling sedikit"
sesuai dengan rincian ketentuan yang ada. Sedangkan, pada pasal 156 RUU Cipta Kerja,
pesangon diberikan "paling banyak" berdasarkan rincian yang sama dengan UU Nomor 13
Tahun 2003. Perbedaan uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja pada UU
Cipta Kerja terdapat perbedaan dengan UU Ketenagakerjaan. Uang penggantian hak yang
seharusnya diterima meliputi: Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur Biaya atau
ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja diterima
bekerja Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama. Pada UU Cipta Kerja ini, pasal mengenai tambahan pesangon yang
didapatkan pekerja apabila perusahaan melakukan efisiensi dihapus. Sementara, besaran
maksimal pesangon yang didapatkan pekerja terkena PHK turun menjadi 25 kali upah. Yakni
terdiri atas 19 kali upah bulanan dan 6 kali jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).

Anda mungkin juga menyukai