Anda di halaman 1dari 7

TUGAS 1

MATA KULIAH
HUKUM KETENAGAKERJAAN ADBI4336.75

1. Bagaimana karakteristik pengaturan mengenai berserikat dan berkumpul di bidang


ketenagakerjaan di masa orde lama, orde baru dan orde reformasi dan produk hukum yang
ditetapkan sebagai acuan pelaksanaan ?
Jawaban :
Sebagaimana kita ketahui, karakteristik pengaturan mengenai berserikat
dan berkumpul di bidang ketenagakerjaan di masa orde lama yakni Pada masa ini
pemerintah Indonesia melakukan berbagai nasionalisasi terhadap perusahaan- perusahaan
peninggalan Kolonial Belanda dan dalam penganturan perburuhan tetap menggunakan
peraturan-peraturan yang ditinggalkan Belanda. Belum adanya peraturan perburuhan yang
dikeluarkan sebab pemerintah masih berfokus pada usaha mempertahankan Kemerdekaan
Negara Indonesia. Adapun produk hukumnya yakni Pertama, Undang-Undang Kerja
Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh dan Majikan;
Kedua, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan; Ketiga, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Kerja di
Perusahaan Swasta; dan Keempat, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang
Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 NR, 23 Dari
Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia.

Kemudian, karakteristik pengaturan mengenai berserikat dan


berkumpul di bidang ketenagakerjaan di masa orde baru yakni terdapat
pembaharuan yaitu dibangunnya Hubungan perburuhan yang dinamakan Hubungan
Perburuhan Pancasila (HPP). HPP ini merupakan hubungan diantara para pihak yang berkaitan
dengan proses produksi baik mengenai barang maupun jasa yang dilandasi atas nilai-nilai yang
merupakan perwujudan dari keseluruhan Pancasila dan UUD. Kemudian, istilah HPP ini
diganti menjadi HIP yaitu Hubungan Industrial Pancasila. Sifat gotong royong sangat
mendasari dari keberlakuan konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Dalam hal ini
Pemerintahan Orde Baru tetap memberlakukan produk hukum perburuhan pada
masa Orde Lama dan hanya mengeluarkan beberapa undang-undang dan
peraturan-peraturan tingkat Menteri yang pada dasarnya hanyalah sebagai
pelengkap, tetapi kenyataannya meniadakan ketiga undang-undang tersebut
serta nyata-nyata merugikan buruh.

Lalu, karakteristik pengaturan mengenai berserikat dan berkumpul di


bidang ketenagakerjaan di masa orde reformasi yakni Perburuhan pada masa orde
reformasi dimulai pasca turunnya Soeharto. Reformasi pemerintahan memberikan dampak
yang signifikan termasuk di dalam perburuhan yang salah satunya adalah dengan dicabutnya
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 oleh

Referensi :
Hardjoprajitno Purbadi, M. Badrun Saefulloh, Wahyuningsih Tiesnawati. (2020). Buku materi pokok Hukum
Ketenagakerjaan (2nd ed.). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
pemerintahan Presiden B.J. Habibie serta undang-undang pada zaman orde lama yang
digunakan kembali. Pemerintah juga meratifikasi beberapa konvensi dasar ILO termasuk di
dalamnya Konvensi Nomor 87 yang menjamin kebebasan berserikat bagi buruh. Adapun
produk hukumnya dimana pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, mengesahkan:
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, dan pada
Pemerintahan Megawati Soekarnoputri mengesahkan: 1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan; 2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. 3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional.

2. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi pertumbuhan jumlah tenaga kerja
perempuan dari 2018 ke 2019. Pada 2018, tercatat 47,95 juta orang perempuan yang bekerja.
Jumlahnya meningkat setahun setelahnya menjadi 48,75 juta orang. Begitu juga pekerja anak
di Indonesia mengalami peningkatan dalam kurun waktu tiga tahun. Data Badan Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2017 terdapat 1,2 juta pekerja anak di Indonesia dan
meningkat 0,4 juta atau menjadi sekitar 1,6 juta pada 2019. Namun meningkatnya jumlah
tenaga kerja tersebut tidak diimbangi dengan pengawasan yang baik sehingga sering terjadi
pelanggaran dalam pelaksanaan dalam mempekerjakan anak dan perempuan tersebut. Padahal
Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan bahwa
setiap tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan dan juga pekerja anak di Indonesia
berhak untuk dilindungi dan mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pekerjaan.
a. Bagaimana bentuk perlindungan pekerja perempuan dan anak dalam Undang- Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ?
Jawaban :
Sebagaimana kita ketahui bahwa, Tenaga kerja merupakan seseorang yang
melakukan tindakan kerja kepada pemberi usaha dengan bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, dengan demikian segala sesuatunya harus diatur dan difasilitasi
terkait ketenagakerjaan. Adapun tenaga kerja perempuan dan anak yang mana
harus dilakukan dan dibuatkan aturan khusus yang bertujuan melindungi
hak apabila perumpuan dan anak akan dipekerjakan sebagai buruh di suatu
perusahaan, Dalam kegiatan Ketenagakerjaan banyak terdapat aspek yang
saling berkaitan di dalamnya, terdapat serangkaian aturan untuk mengatur
dan mewadai adanya tenaga kerja perempuan dan anak, dalam hal ini dapat
kita lihat pada peraturan yang mengatur yakni terdapat pada Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, semua hal terkait
tenaga kerja termuat dalam Undang-Undang tersebut. Dengan adanya peraturan
ini masih didapati oknum perusahaan yang melakukan tindakan melanggar hukum, yang
mana sering kita dapati di media masa yang memberi gamabaran aturan-aturan apa yang
sering diklakukan oleh perusahaan dalam pengaturan Ketenagakerjaan.

Adapun, ketentuan mengenai pekerja anak diatur dalam Pasal 68 sampai


dengan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Pada dasarnya Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan melarang pengusaha mempekerjakan anak,
akan tetapi terdapat pengecualian di dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai hak-hak bagi
pekerja anak, yakni:
1) Pekerja anak yang melakukan pekerjaan ringan

Referensi :
Hardjoprajitno Purbadi, M. Badrun Saefulloh, Wahyuningsih Tiesnawati. (2020). Buku materi pokok Hukum
Ketenagakerjaan (2nd ed.). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Bagi anak yang telah berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan15 (lima
belas) tahun dapat melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial anak tersebut. Perusahaan
yang akan mempekerjakan anak dalam lingkup pekerjaan ringan, harus
memenuhi persyaratan yaitu izin tertulis dari orang tua atau wali; perjanjian kerja
antara pengusaha dengan orang tua atau wali; waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; keselamatan dan
kesehatan kerja; adanya hubungan kerja yang jelas; dan menerima upah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

Namun, terdapat pengecualian bagi anak yang bekerja pada usaha


keluarganya, yaitu tidak diperlukan izin tertulis dari orang tua atau wali;
perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; adanya hubungan kerja
yang jelas; dan menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2) Pekerja anak yang bekerja di tempat kerja yang merupakan bagian dari
kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang.
Yang dapat bekerja di tempat kerja tersebut adalah anak yang berumur paling sedikit
empat belas (14) tahun. Namun, pengusaha yang bersangkutan harus
memiliki beberapa persyaratan bagi pekerja anak yang bekerja
ditempatnya, yaitu: diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan
serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan diberi
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

3) Pekerja anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minatnya.


Tujuan dari jenis pekerjaan anak ini adalah agar usaha untuk mengembangkan bakat
dan minat anak tidak terhambat pada umumnya. Pengusaha yang
mempekerjakan anak untuk mengembangan bakat dan minat pekerja
anak tersebut, wajib memenuhi persyaratan yaitu pekerjaan dilakukan di
bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali; waktu kerja paling lama 3 (tiga)
jam sehari, dan kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik,
mental, sosial, dan waktu sekolah.

4) Pekerja anak yang dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh


dewasa.
Dalam hal ini, tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh
dewasa.

5) Larangan mempekerjakan dan melibatkan anak dalam pekerjaan-


pekerjaan yang terburuk.
Adapun pekerjaaan-pekerjaan terburuk tersebut meliputi: segala pekerjaan dalam
bentuk perbudakan atau sejenisnya; segala pekerjaan yang memanfaatkan,
menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi,
pertunjukan porno, atau perjudian; segala pekerjaan yang memanfaatkan,
menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras,
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau semua pekerjaan yang
membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.

Referensi :
Hardjoprajitno Purbadi, M. Badrun Saefulloh, Wahyuningsih Tiesnawati. (2020). Buku materi pokok Hukum
Ketenagakerjaan (2nd ed.). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Kewajiban untuk melindungi pekerja anak tidak hanya harus dilakukan
oleh pengusaha yang mempekerjakan anak, tetapi juga harus dilakukan oleh
Pemerintah. Pemerintah diwajibkan untuk melakukan upaya penanggulangan anak yang
bekerja di luar hubungan kerja. Tujuan dari upaya penanggulangan tersebut adalah untuk
menghapuskan atau mengurangi anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Upaya
penanggulangan tersebut harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi
dengan instansi terkait. Contoh dari anak yang bekerja diluar hubungan kerja adalah anak
penyemir sepatu, anak penjual koran, dan masih banyak lagi pekerja anak lainnya.

Selain pekerja anak yang memiliki perlindungan hukum, pekerja


perempuan juga memiliki perlindungan hukum. Perlindungan hukum terhadap
pekerja wanita diatur dalam Pasal 76 Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan. Jenis-jenis perlindungan terhadap pekerja/buruh
perempuan adalah:
1) Bagi pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan
belas) tahun.
Pekerja/buruh perempuan tersebut dilarang untuk dipekerjakan antara pukul
23.00 sampai dengan pukul 07.00.
2) Bagi pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter
berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun
dirinya.
Pengusaha dilarang untuk mempekerjakannya antara pukul 23.00 sampai dengan
pukul 07.00.
3) Bagi pekerja/buruh perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul
23.00 sampai dengan pukul 07.00, wajib memberikan makanan dan minuman bergizi,
dan menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
4) Bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang
bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00, wajib untuk menyediakan
angkutan antar jemput.
5) Bagi pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid.
Bagi pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan hal tersebut kepada pengusaha, ia tidak wajib untuk bekerja pada
hari pertama dan kedua pada waktu haid. Pelaksanaan ketentuan tersebut berlaku
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
6) Bagi pekerja/buruh perempuan yang akan melahirkan dan setelah
melahirkan.
Pekerja/buruh perempuan memiliki hak untuk memperoleh istirahat selama 1,5
(satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan
sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
7) Bagi pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan.
Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan
atau sesuai dengan surat keterangan dokter atau bidan.
8) Bagi pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu.
Pekerja/buruh perempuan harus diberikan kesempatan untuk menyusui anaknya
jika hal tersebut harus dilaksanakan selama waktu kerja.

Referensi :
Hardjoprajitno Purbadi, M. Badrun Saefulloh, Wahyuningsih Tiesnawati. (2020). Buku materi pokok Hukum
Ketenagakerjaan (2nd ed.). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
b. Bagaimana sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan dalam penerapan hukum
mempekerjakan perempuan dan anak di Indonesia ?
Jawaban :
Bagi pengusaha yang melanggar persyaratan-persyaratan ruang
lingkup pekerjaan ringan bagi pekerja anak, dapat dikenakan sanksi pidana penjara
paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,- (empat ratus
juta rupiah).

Bagi pengusaha yang melanggar persyaratan pekerja anak yang


bekerja untuk mengembangkan bakat dan minatnya, dikenakan sanksi pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Pengusaha atau pihak yang mempekerjakan dan melibatkan anak-anak


dalam pekerjaan-pekerjaan terburuk tersebut, dapat dikenakan sanksi berupa
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah).

Pengusaha yang melanggar ketentuan Bagi pekerja/buruh perempuan


yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun, Bagi pekerja/buruh
perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi
kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya, Bagi
pekerja/buruh perempuan yang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan
pukul 07.00 dan Bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang
bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00 diberikan sanksi pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Pengusaha yang melanggar ketentuan Bagi pekerja/buruh perempuan


yang akan melahirkan dan setelah melahirkan dan Bagi pekerja/buruh
perempuan yang mengalami keguguran kandungan diberikan sanksi pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,-
(empat ratus juta rupiah).

3. Karyadi adalah karyawan Konveksi PT. LANCAR LURUS yang bekerja berdasarkan
Perjanjian Kerja selama 1 (satu) tahun sejak tahun 2018. Saat ini Karyadi masih bekerja di PT.
LANCAR LURUS dengan baik dan selalu mentaati peraturan yang berlaku di perusahaan
tersebut tanpa dilakukan penandatanganan Perjanjian Kerja seperti awal masuk. Suatu hari
karena ingin memastikan status hubungan kerjanya, Karyadi menanyakan kepada Pimpinan
Perusahaan, namun hingga saat ini tidak ada jawaban.
a. Apakah hubungan kerja Karyadi dengan PT. LANCAR LURUS masih sah secara hukum ?
Jawaban :
Menurut saya hubungan kerja Karyadi dengan PT. LANCAR LURUS
masih SAH. Sebagaimana kita ketahui bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU
13/2003 dan pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021

Referensi :
Hardjoprajitno Purbadi, M. Badrun Saefulloh, Wahyuningsih Tiesnawati. (2020). Buku materi pokok Hukum
Ketenagakerjaan (2nd ed.). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu
Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) menyebut perjanjian
kerja dibuat secara tertulis atau lisan baik untuk perjanjian kerja waktu tertentu ataupun
waktu tidak tertentu. Meski demikian untuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT)
yang dibuat secara lisan terdapat ketentuan wajib bagi pengusaha yakni untuk membuat
surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan (Pasal 63 ayat (1) UU
13/2003). Surat pengangkatan tersebut sekurang-kurangnya memuat keterangan Nama
dan alamat pekerja/buruh, Tanggal mulai bekerja, Jenis pekerjaan, dan Besarnya upah.
Sejak adanya perubahan dalam aturan yang menyebut perjanjian kerja dapat dibuat
secara tertulis atau lisan, memang tidak ada kewajiban pengusaha untuk memberikan
perjanjian kerja secara tertulis. Namun demi kepastian hukum akan ditaatinya perjanjian
kerja baik oleh pekerja maupun pengusaha, maka pekerja dapat mengingatkan dan
meminta perjanjian kerja dibuat secara tertulis. Harus dipahami kembali bahwa perjanjian
kerja adalah perjanjian yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
Artinya kepastian hukum bukan hanya kepentingan pekerja tetapi juga pengusaha.

b. Bagaimana status hubungan kerja antara Karyadi dengan PT. LANCAR LURUS ?
Jawaban :
Adapun Status hubungan kerja antara Karyadi dengan PT. LANCAR
LURUS yakni dapat dikatakan “SAH” apabila hal-hal yang diperjanjikan
dalam perjanjian kerja lisan tersebut telah disepakati oleh kedua belah pihak
(pekerja dan pengusaha).
Perjanjian Kerja yang terjadi secara lisan dikatakan “SAH”, selama
memenuhi syarat sahnya perikatan/perjanjian sebagai berikut: Pertama,
Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak. Kedua, Adanya Kemampuan atau
kecakapan melakukan perbuatan hukum; Ketiga, Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
dan Keempat Pekerjaan yang di perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

c. Bagaimana Karakteristik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan Perjanjian


Kerja Waktu Tidak tertentu (PKWTT) ?
Jawaban :
Sebagaimana kita ketahui bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
adalah perjanjian kerja yang mengikat karyawan kontrak dan pekerja lepas, sedangkan
Perjanjian Kerja Waktu Tidak tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja yang
mengikat karyawan tetap yang tidak memiliki masa berlaku. PKWT maupun PKWTT
adalah perjanjian kontrak kerja karyawan yang diterapkan dan berlaku saat
ini di Indonesia. Baik PKWT maupun PKWTT diatur dalam UU No.13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pemerintah telah mengatur tata cara pemberlakuan PKWT di dalam UU
Ketenagakerjaan dalam Pasal 59 ayat (1), ketentuan tersebut adalah:
1) Perusahaan dapat memperbarui PKWT jika pekerjaan yang sedang dikerjakan oleh
karyawan terkait, belum dapat diselesaikan sesuai dengan tenggat waktu di perjanjian.
2) Pembaruan perjanjian dapat dilakukan setelah melebihi masa 30 hari setelah perjanjian
kerja berakhir.
3) PKWT diberikan untuk pekerja musiman terkait satu jenis pekerjaan tertentu yang
dikerjakan di musim tertentu.

Referensi :
Hardjoprajitno Purbadi, M. Badrun Saefulloh, Wahyuningsih Tiesnawati. (2020). Buku materi pokok Hukum
Ketenagakerjaan (2nd ed.). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
4) PKWT bisa diberikan kepada karyawan kontrak yang sedang menjalani probation
sebelum diangkat menjadi karyawan tetap.
5) Upah karyawan berdasarkan dari jumlah kehadiran.
6) Jika karyawan sudah melewati masa probation 3 bulan, maka karyawan tersebut dapat
diangkat menjadi karyawan tetap sesuai dengan keputusan perusahaan dan berubah
menjadi PKWTT.
Dengan kata lain, karyawan dengan perjanjian kerja berstatus PKWT
disebut karyawan kontrak atau hanya sementara. Meski dalam praktiknya,
perjanjian kerja ini dapat diperpanjang atau diperbaharui. Namun, berdasarkan UU No.
13 Tahun 2003, perusahaan tidak bisa memberikan status PKWT pada
semua jenis pekerjaan. PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis, sifat, dan kegiatannya akan selesai dalam waktu
tertentu.

Meski sekilas mirip, namun pada praktiknya PKWT dan PKWTT berbeda.
Perjanjian kerja waktu tidak tertentu diperuntukkan untuk karyawan tetap. Mengacu
pada Pasal 60 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, PKWTT hanya akan berakhir
apabila karyawan sudah memasuki masa pensiun, meninggal dunia atau
mengajukan resign. Sesuai dengan pengertian tersebut, PKWTT bersifat terus menerus
dan tidak dibatasi oleh waktu. Dengan kata lain, karyawan yang memiliki kesempatan
kerja PKWTT berstatus sebagai karyawan tetap. Perusahaan biasanya tidak menetapkan
status PKWTT secara langsung kepada karyawan baru. Pemerintah menetapkan bahwa,
perusahaan harus memberikan masa percobaan terlebih dahulu kepada karyawan baru
selama tiga bulan yang menggunakan perjanjian PKWT. Setelah masa percobaan tersebut
berakhir, karyawan baru tersebut diangkat menjadi karyawan tetap dan menggunakan surat
perjanjian PKWTT apabila karyawan dianggap telah memenuhi persyaratan. Sistem
kontrak PKWTT dapat diberlakukan secara lisan dengan klausul-klausul yang berlaku
yang tertera pada UU Ketenagakerjaan.
Berdasarkan Pasal 15 Kepmenakertrans No. 100 Tahun 2004, PKWT
dapat berubah menjadi PKWTT apabila:
1) PKWT yang tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi
PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
2) PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam jenis pekerjaan
yang dipersyaratkan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan
kerja.
3) PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru dan
menyimpang dari ketentuan jangka waktu perpanjangan, maka PKWT berubah
menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan.
4) Pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya
perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain, maka PKWT berubah menjadi
PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.
5) Pengusaha yang mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja dengan hubungan kerja
PKWT sebagaimana dalam angka (1), (2), dan (4), maka hak- hak pekerja dan prosedur
penyelesaiannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi
PKWTT.

Berdasarkan perbedaan antara PKWT dan PKWTT, maka PKWTT lebih


menguntungkan dibandingkan dengan PKWT. Karyawan PKWTT tidak akan khawatir
mengenai masa depan kariernya, sehingga berbeda dengan PKWT yang memiliki masa
kerja terbatas atau sementara.

Referensi :
Hardjoprajitno Purbadi, M. Badrun Saefulloh, Wahyuningsih Tiesnawati. (2020). Buku materi pokok Hukum
Ketenagakerjaan (2nd ed.). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai