Anda di halaman 1dari 18

PENGADILAN ADMINISTRASI PAJAK

CHAPTER I SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

A. HUKUM, PENGELOMPOKAN DAN PELAKSANAAN

Hukum keseluruhan peraturan atau norma hkm atur hub antara manusia (hkm perdata) dlm
kehidupan bermasy dlm st negara, dan penguasa dg masy (hkm publik), dalam suatu negara (nasional)
atau antar negara (internas), dan siapa langgar norma hkm dpt dijatuhi sanksi atau dituntut pihak
berwenang (pidana). Sbg suatu sistem, hkm terdiri subsistem hkm yg saling berkaitan satu sama
lain dan saling bekerja sama utk capai tujuan hkmkepastian hkm (rechtssicherheit), keadilan
(gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmassigheit). Hkm dibentuk utk lindungi manusia. Hkm, dlm
negara berdasar Pancasila yg berjiwa kekeluargaan, puna tugas pengayoman, mengatur, melindungi,
dan membina kearah tujuannya, yaitu masy adil makmur, bkn semata-mata jamin hak2 individu.

Menurut isinya, hkm dibedakan: hkm publik (public law/recht), dan hkm privat/sipil (private
law/privaatrecht). Hkm publikseluruh peraturan atau norma hkm atur hub hkm antara negara dg
orang dan badan yg utamakan kepentingan umum: hkm tata negara, hkm tata usaha negara/adm
negara/tata pemerintahan, hkm pidana, hkm internasional (publik), dan hkm acara (pidana, TUN).
Hkm privatseluruh peraturan atau norma hkmyg atur hub hkm antara perseorangan dan/atau badan
privat yg utamakan kepentingan pribadi; atau seluruh aturan hkm yg atur hub hkm antara
perseorangan satu dg lain ut kepentingan pribadi:Hkm Perdata (Burgelijk Wet - BW), Hkm Dagang
(Wetbok van Koophandel – WvK), Hkm Acara perdata, Hkm Acara Peradilan Agama.

Pelaksanaan hkm dapat secara normal, damai, atau karena ada pelanggaran hkm. Penegakan hkm
dilakukan jika terjadi pelanggaran. Sudikno Mertokusumo (2008) sebut 3 tujuan gakkum: kepastian
hkm, kemanfaatan, dan keadilan. Kepastian hkm sbg perlindungan justifiabel atas kesewenangan
penegak hkm. Hkm bertugas ciptakan kepastian hkm karena bertujuan tertibkan masy. Kepastian
hkm jadikan masy lebih tertib. Bagaimana hkm tertulisnya itulah yang harus berlaku tidak seharusnya
menyimpang. Karena hkm utk masy, dari gakkum mereka harap manfaat atau kegunaan. Gakkum
tidak boleh resahkan masy, maka pelaksanaannya harus adil. Masy amat berkepentingan agar gakkum
berkeadilan. Namun, hkm bersifat samaratakan shg tdk identik dg keadilan yg bersifat subjektif dan
individualistis. Agar proporsional, gakkum harus akomodasi tiga unsur dimaksud, jangan hanya fokus
pada kepastian hkm saja dan korbankan unsur lain.

Misalnya, mhsw kost sdh 2 semester tdk lunasi uang kost. Dia diperkarakan oleh yg punya rumah.
Putusan: (1) kepastian hkm (hkm ditegakkan sesuai bunyinya – brlaku samarata utk semua mhsw); (2)
keadilan (bersifat subjektif, situasionalmhsw tdk punya sdr dsb apa suruh gelandangan?, tidak
lindungi hak dasar warga) maka diberi waktu tangguh 3 bln; dan (3) kemanfaatan cari uang ut
bayar; yg punya rumah beri keringanan atau kompromi dg mhsw ybs agar ada solusi kerja bakti.

Lembaga peradilan (kantor pengadilan) diperlukan utk gakkum, agar terjadi ketertiban dlm kehidupan
masy. Pengadilanconditio sine qua non negara hkmseluruh tatanan kehidupan bermasy dan
bernegara diatur dg hkm. Pasal 23A pajak dan pungutan untuk negara yg bersifat memaksa diatur
dg UU. No taxation wihtout representation, taxation without representation is robbery.

Sengketa pajak merupakan sengketa (perselisihan) yg timbul dlm bidang perpajkan (hal-hal mengenai
pajak) antara WP dg pejabat berwenang akibat dikeluarkannya keputusan yg dpt diajukan banding
atau gugatan kpd Pengadilan Pajak berdasar peraturan perUU perpajakan, tmsk gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasar UUPPSP. Keputusan adalah penetapan tertulis bidang perpajakan
dikeluarkan pejabat berwenang berdasar peraturan perUUan perpajakan. Putusan Pengadilan Pajak
sebagai penetapan tertulis bidang perpajakan Majelis Hakim Pengadilan Pajak berdasar hasil penilaian
pembuktian, peraturan perUUan perpajakan, dan keyakinan hakim.
Keputusan merupakan produk badan eksekutif, sedang putusan sebagai produk badan yudikatif.
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir punya kekuatan hkm tetap (inkraght van
gewijsde), langsung dpt dilaksanakan tdk perlu lg keputusan pejabat yg berwenang, tdk dpt diajukan
gugatan ke Peradilan Umum, PTUN, atau badan peradilan lain, kecuali putusan berupa ‘tdk dpt
diterima’ nyangkut kewenangan/kompetensi.

Peradilan pjk adalah peradilan administrasi pajak, dalam lingkup PTUN, yg bertugas selesaikan
sengketa atau perselisihan krn beda pendapat antara pemerintah/DJP/DJBC/Pemda dg WP ttg besaran
pjk yg ditetapkan. Ada dua pendapat tentang lingkup PTUN pajak: luas dan sempit. Secara luas,
berpendapat segala sengketa antara penguasa (administrasi) dan rakyat jadi wewenang lembaga
PTUN. Sementara, secara sempit, hanya sengketa atas surat ketetapan administrasi saja yang dajukan
ke PTUN, seperti Surat Ijin, Surat Larangan, SKP, IMB, dan sejenisnya. Peradilan pjk sbg penengah
dalam sengketa. Peradilan (judiciary, rechtspraak) beda dari pengadilan (court, rechtsbank).
Peradilan nyangkut fungsi dan tugas, sedang pengadilan terkait lembaga/badan penyelenggara atau
pelaksana fungsi peradilan pajak. Pengadian Pjk di Indonesia dibentuk berdasar UU 14/2002 ttg
Pengadilan Pajak sejak 12 April 2002. PP ganti atau teruskan BPSP (Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak) dibentuk berdasar UU 17/1997 ttg BPSP.

BPSP mrupakn badan peradilan pajak sbgmn dimaksud UU 6/1983 tapi tdk bermuara ke MA sbgmn
seharusnya badan peradilan. BPSP ngganti MPP (Majelis Pertimbangan Pajak – Raad van Beroep
voor Belastingzaken) yg dibentuk berdasar Statsblaad 29/1927 (Tot regeling van het beroep in
belastingzaken), sbg pengganti Majelis Banding Pajak (MBP) yg dibentuk berdasar Staatsblad
707/1915 11 Desember 1915 (Ordonantie Tot Regeling van Het Beroep in Belastingzaken). MBP
semula meriksa perkara pajak pusat, berdasar Stb 24/1930 ditambah pajak daerah. Dg Stb 211/1936
tiap banding kena bea f 10, dikembalikan jika dikabulkan. Ketua MBP semula Menkeu (ex officio), dg
Stb 29/1927 dganti Wakil Ketua MA (Hooggerechtshof). Sejak itu kedudukan MBP tdk dipengaruhi
eksekutif, sbg cikal bakal PP mandiri bebas kini.

B. NEGARA HUKUM DAN SISTEM PERADILAN

Pasal 1(3) UUD 1945 nyatakan Indonesia sbg negara hkm. Maka segala kehidupan bernegara dan
berbangsa diatur dengan UU. Kekuasaan kehakiman sbg kekuasaan merdeka ut selenggarakan
peradilan guna gakkum dan keadilan. Pasal 24(2) UUD sebut kekuasaan kehakiman dilakukan oleh:
(i) Mahkamah Agung (MA) dan bdn peradilan dibawahnya dlm lingkungan peradilan umum, agama,
militer dan tata usaha negara, dan (ii) Mahkamah Konstitusi (MK).

Pasal 24A sebut wewenang MA ngadili pd tk kasasi , uji peraturan perUUan dibawah UU thd UU dan
wewenang lainnya, sedang Pasal 24C sebut wewenang MK adili pd tk pertama dan terakhir dg
putusan final ut uji UU thd UUD, putus sengketa kewenangan lembaga negara dg kewenangan dr
UUD, pembubaran parpol , dan selisih hasil pemilu. Dg 9 anggota yg sepertiga masing2 diajukan MA,
DPR dan Presiden, MK juga wajib putusin pendapat DPR ttg dugaan pelanggaran oleh Presiden/
Wapres menurut UUD.

Pasal 24B UUD 1945 sebut pengusulan hakim agung jadi wewenang Komisi Yudisial yg mandiri dan
juga punya kewenangan lain guna jaga dan gak kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. Sistem peradilan di bawah MA di Indonesia terdiri 3 tingkat peradilan: Pertama di Pengadilan
Negeri ditiap Kabupaten/Kota; Kedua banding di Pengadilan Tinggi pada tiap Provinsi; dan Ketiga
peninjauan kembali (PK) dan kasasi di MA.

Karena sifatnya berbeda dg sengketa perdata atau pidana, tetapi lebih bersifat finansial, peradilan
pajak tingkat pertama di mulai pada kantor DJP (administratif semu-quasi; sebelum 1984 dianggap
sebagai peradilan doleansi/keberatan) dg ajukan keberatan ke atasan KPP (sebelum 2000an diajukan
ke KPP penerbit ketetapan), yaitu Kakanwil atas keputusan TUN berupa ketetapan pajak dari KPP.
Tingkat kedua, kalau kurang puas dg keputusan keberatan Kakanwil, WP dpt ajukan banding ke
Pengadilan Pajak (PP; sebagai peradilan administratif murni). Untuk percepatan dan kesederhanaan
serta kemudahan peroleh keadilan, atas kuasa UU putusan PP diberi kekuatan hukum final atau tetap
(inkraght van gewijsde) serta punya kekuatan eksekutorial administratif. Artinya, dieksekusi lembaga
TUN (KPP), sehingga semua sanksi dan denda finansial administrasi masuk penerimaan pajak.
Namun untuk peroleh keadilan tuntas, para pihak bersengketa (DJP atau WP) dpt ajukan PK ke MA
sebagai puncak dari peradilan.

Peradilan (tempat ut peroleh peradilan – putusan dr sengketa) administrasi (‘administratieve rechts


praak’ atau judicial control of administrative action’) beda dg pengadilan (lembaga) administrasi.
Trias politica atur 3 kekuasaan (power) dalam satu negara John Locke (legislative power, executive
power, dan federative power), beda dari John Montesquieu (legislaive power, executive power, dan
judicative power). Locke masukkan peradilan dlm executive power, sedang Montesquieu dlm
kekuasan peradilan bkn eksekutif. Administratie berasal dr kata Latin ‘administrare’ punya dua arti:
(a) tata usahahimpunan catatan, yaitu penyusunan keterangan tertulis dan sistemais tujan dptkn
ikhtisar dr keteraangan2 dlm keseluruhan dan dlm hubungannya satu sama lain; dan (b) administrasi
administratie, administration pemerintahan negara, propinsi, kota/kabupaten dan maskapai besar.
The administration di USA artinya keseluruhan pemerintahan termasuk presiden.

PeradilanVan Praag – penentuan berlakunya suatu peraturan pd peristiwa konkrit, adanya


perselisihan; Apeldoorn – pemutusan perselisihan oleh instansi yg tdk punya kepentingan dlm perkara
atau sbg bagian pihak berselisih, tapi berdiri di atas perkara; P Scholten – hakim nerapkan hkm,
temukan hkm in concreto, bkn buat aturan yg ikat umum; Bellefroid – peradilan adalah pmutusan
perkara dg penerapan hkm; Kranenburg – fungsi peradilan penerapan UU, beri putusan perkara
konkrit sesuai peraturan dg tegas dibuat pembuat UU. Unsur-unsur peradilan(i) adanya suatu aturan
hkm abstrak yg ikat umum yg dpt ditrapkan pada suatu sengketa, (ii) adanya suatu perselisihan hkm
konkrit, (iii) ada sekurang2nya dua pihak, dan (iv) adaya aparatur peradilan yg berwenang putus
perselisihan.

Unsur-unsur peradilan administrasi (i) sifat aturan hkm yg diterapkan (aturan hkm tata negara dan
administrasi negara, pokok sengketa [objectum litis] dlm hkm adm negara, dasar gugat [fundamentum
petendi] terletak pd hkm publik; (ii) perselisihan hkm konkrit, (iii) minimal 2 pihak berselisih, dan
salah satu pihak adalah pemerintah (administrasi), (iv) aparatur yg lakukan peradilan administrasi
(badan khusus pengadilan). Di Belanda ada pembedaan antara administratieve rehtspraak (peradilan
administrasi murni atau peradilan administrasi dlm arti sempit) dan administratief beroep (bandingan
administrasi, peradilan administrasi tidak murni). Dalam praktik, peradilan administrasi tdk murni
muncul berbagai bentuk: (i) ketetapan administrasi murni, (ii) quasi peradilan atau peradilan semu,
(iii) ketetapan semi administrasi, dan (iv) semi peradilan.

CAHPTER II MITIGASI SENGKETA PAJAK

1. Pengantar

Untuk keperluan proses bisnis pemajakan, baik official maupun self assessment sama-sama perlu
pemberitahuan (SPT) dan ketetapan pajak (SKP). Namun fungsi kedua instrumen berbeda pada kedua
sistem assessment. Walaupun sama-sama ada penghitungan pajaknya, dalam official assessment SPT
berfungsi informasikan objek pajak pada KPP sehingga bisa melakukan penghitungan pajak terutang
(assessment) dengan penerbitan SKP atas semua SPT (penganut paham utang pajak formal – pajak
terutang karena SKP). Sebaliknya, karena menganut paham utang pajak materiil (pajak terutang
karena UU), SPT dalam self assessment berfungsi selain memberitahukan jumlah objek sekaligus
jumlah pajak terutang (assessment) dan pembayarannya.

Selanjutnya, jika KPP mendapat bukti bahwa jumlah pajak yang terutang dalam SPT tidak benar
maka setelah dilakukan pemeriksaan KPP dapat menerbitkan SKP (sebagai re-assessment), terbatas
pada yang benar-benar terbukti salahya. Jika official setiap tahun paling lambat akhir tahun berikutnya
KPP menerbitkan SKP atas semua SPT, maka self assessment hanya menerbitkan SKP terbatas pada
SPT yang terbukti salah hitung utang dan bayar pajaknya saja. Jika selama 5 tahun atas SPT tidak
terbit SKP, maka utang dan bayaran pajak dalam SPT demi hukum sudah final dianggap sudah benar
sesuai UU sehingga secara administratif self assessment lebih efektif dan efisien dari official
assessment karena kegiatan assessment bergesar kemasyarakat.

Karena yang langsung terima penghasilan atau lakukan transaksi kena pajak sendiri adalah WP dan
kepadanya diharuskan membukukan objek dan pajaknya, maka mereka dipercaya menghitung
(assess) utang pajak dan bayar sesuai keadaan sebenarnya. Dari pembukuan yang dikerjakan berdasar
iktikad baik, WP tahu besaran utang pajak sebenarnya, sehingga kalau sesuai bukti yang telah
dilakukan pemeriksaan dan telah diberitahukan dan dibahas bersama ternyata ada kurang bayar maka
muncul asumsi bahwa WP telah menggunakan sebagian utang pajak secara diam-diam. Karena itu,
berbeda dengan SKP dalam official assessment tanpa sanksiadministrasi, dalam SKPKB self
assessment bernuansa hukuman atas penggunaan uang negara secara diam-diam oleh WP dapat
berupa bunga, denda atau kenaikan.

Sengketa pajak merupakan sengketa (perselisihan) yg timbul dlm bidang perpajakan (hal-hal
mengenai pajak) antara WP dg pejabat berwenang akibat terbitnya keputusan yg dpt diajukan banding
atau gugatan kpd Pengadilan Pajak (PP) berdasar peraturan perUU perpajakan, tmsk gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasar UUPPSP. Sengketa merupakan akibat dari dikeluarkannya keputusan
oleh pejabat. Keputusan adalah penetapan tertulis bidang perpajakan dikeluarkan pejabat berwenang
berdasar peraturan perUUan perpajakan. Keputusan ada yang dapat: (i) diajukan keberatan, banding,
dan Peninjauan Kembali (PK), atau (ii) hanya gugatan dan PK.

Pasal 25(1) UU KUP sebut objek keberatan, termasuk: (i) SKPKB, (ii) SKPKBT, (iii) SKPN, (iv)
SKPLB, dan (v) pot-put pajak oleh pihak ketiga. Sementara banding dpat diajukan atas surat
keputusan keberatan,peninjauan kembali dilakukan atas putusan banding PP. Pasal 23(2) UU KUP
nyatakan gugatan WP atau Penaggung Pajak (OP atau bdn yg tanggung jwb bayar pjk, tmsk wakil yg
jalankan hak dan penuhi kewajiban WP sesuai ketentuan) atas: (i)pelaksanaan SP, SPMP dan
Pengumuman Lelang, (ii) keputusan pencegahan dlam rangka penagihan pajak, (iii) keputusan terkait
pelaksanaan keputusan perpajkan selain yag ditetapkan dlm Psl 25(1) dan 26, dan (iv) penerbitan SKP
atau Surat Keputusan Kebertan yg dlm penerbitannya tdk sesuai prosedur dan tata cara yang telah
diatur dlm ketentuan hanya dapat diajukan pada badan peradilan perpajkan.

2. Pelanggaran administratif

Penjelasan Pasal 38 sebut 2 pelanggaran kewajiban pajak dpt dilakukan WP: (i) administrasi
perpajakan akan kena sanksi administrasi dengan penerbitan SKP atau STP, dan (ii) tindakan pidana
atau pelanggaran hukum pidana pajak akan kena sanksi pidana badan (kurungan atau penjara) dan
denda (finansial). Untuk menghindari penerbitan SKP atau STP berikut sanksinya, agar sistem pajak
pro reo (business and investor’s friendly) dalam self assessment diberikan self (voluntary) correction
sehingga tidak perlu tindakan penegakan hukum dan penerbitan SKPKB dab STP yang bernuansa
punitif karena diikuti dengan sanksi administrasi, misalnya dengan kemauan sendiri (voluntary
correction/disclosure) atau berdasar himbauan dri KPP WP dapat membetulkan atau mendisklos
ketidakbenaran pengisian SPT.

a. Sebelum ketetapan pajak

Pasal 8(1) UU KUP secara persuasif sebelum pemeriksaan atas kemauan sendiri WP dapat
membetulkan SPT yg telah disampaikan dg sampaikan pernyataan tertulis. Misalnya, PT A ternyata
kelupaan belum memasukkan penghasilan dari penjualan barang dagangannya yang cacat sejumlah
Rp 3 milyar dengan harga beli Rp 2,3 milyar dan biaya perbaikan 300 juta dalam SPT PPh badan
2017 yang disampaikan 30 April 2018. Jika perbaikan itu dilakukan pada bulan Juni, maka atas
kekuragan PPh sebesar Rp 100 juta, maka sesuai Pasal 8(2) UU KUP kena sanksi bunga 2% selama
2 bulan atau 4% sebanyak Rp 12 juta. Kalau penjualan terjsdi pada Desember 2017. Maka SPT Masa
PPN Januari 2018 harus diperbaiki juga dengan bunga 12% sehingga harus ada koreksi PK Rp 300
juta dan sesuai Pasal 8(2a) kena bunga Rp 36 juta.
Pasal 8(4) UU KUP nyatakan walaupun DJP sudah mulai memeriksa tetapi blm terbitkan SKP (dalam
PP 74/2011 diubah menjadi sebelum SPHP), dengan kesadaran sendiri WP dapat mngungkapkan
(disclosure) dlm laporan tersendiri ttg ketidakbenaran pengisian SPT sesuai keadaan sebenarnya yg
dpt berakibat: (i) pajak yg harus dibayar jadi membesar atau mengecil, (b) rugi fiskal naik atau turun,
(iii) jumlah harta membesar atau mengecil, dan (iv) jumlah modal naik atau turun. Menurut Pasal 8(5)
UU KUP atas pajak yg masih harus dibayar kena sanksi administrasi berupa kenaikan 50%,dan
pemeriksaan jalan terus sampai selesai. Pasal 13(2) UU KUP sebut bahwa SKPKB yang terbit karena
pemeriksaan, keterangan lain, atau pemberian NPWP/PKP jabatan kena sanksi bunga 2% tiap bulan
maksimal 24 bulan atau total 48%. Karena itu, ketentuan pengungkapan sendiri dalam pemeriksaan
Pasal 8(4) jo Pasal 8(5) [sanksi kenaikan 50%] menjadi kurang menarik, WP rasional mungkin lebih
suka menunggu SKPKB terbit karena sanksi bunganya maksimal hanya 48% lebih rendah dari
kenaikan jika ia lakukan pembetulan SPT dalam pemeriksaan.

Pasal 8(6) UU KUP menyebut jika menerima ketetapan pajak, permohonan keberatan/banding/ PK/
gugatan WP dikabulkan, atau surat keputusan pembetulan dan menyebabkan kerugian atau
penghasilan kena pajak mengecil sehingga ngaruh pada penghasilan fiskal dalam SPT atau dasar
penghitungan PPh Pasal 25 maka WP dapat membetulkan SPT. Kadangkala jika tahun tersebut
dilakukan pemeriksaan, sebagai layanan, pemeriksa secara otomatis dapat juga membetulkan SPT WP
tanpa diminta.

b. Setelah ketetapan pajak

Pasal 8(3) sebut walau sudah dilakukan pemeriksaan dan SKP, tetapi belum dilakukan penyidikan
tentang ketidakbenaran pengisian SPT karena tidak sengaja (alpa) yang pertama kali seperti disebut
Pasal 38 UU KUP, karea kesadaran sendiri WP dapat mendisklose ketidakbenarannya dengan disertai
pembayaran pajaknya ditambah sanksi administrasi denda 150%,DJP tidak akan melakukan
penyidikan. PP 74/2011 perluas ketentuan dekriminalisasi ini (transformasi pelanggaran pidana
kriminal ke pelanggaran administrasi) ke pelanggaran dengan sengaja Pasal 39. Dalam praktik
voluntary disclosure pidana alpa itu dapat dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan diterbitan
SKPKB atas kuasa Pasal 13A dengan sanksi administrasi kenaikan 200% sama dengan denda pidana
alpa maksimal Pasal 8(3).

Setelah pemeriksaan dan dikeluarkan SKPKB, menurut Pasal 15(3) apabila ada data baru yang
menambah jumlah pajak terutang, guna hindari sanksi administrasi kenaikan 100% jika dilakukan
pemeriksaan dan penerbitan SKPKBT, atas kemauan sendiri WP dapat memberikan keterangan
tertulis pada KPP sebelum KPP akan lakukan pemeriksaan untuk penerbitan SKPKBT. Voluntary
disclosure ini gugurkan sanksi kenaikan 100% SKPKBT. Ketentuan Pasal 15(3) UU KUP merupakan
salah satu contoh mitigasi sengketa pajak yang cukup beri dorongan (encouraging) WP untuk dengan
kesadaran sendiri beriktikad baik bersedia mengungkap ketidak benaran pengisian SPT dan ketidak
benaran SKPKB, karena ganjaran iktiad baik adalah hapusnya sanksi kenaikan menjadi nihil, sdang
jika itu tidak dilakukan WP kena sanksi 100% dari jumlah pajak kurang bayar. Harapan dari inisiatif
demikian dapat meningkatakan kepatuhan sukarela masyaraakat dalam sistem self assessment.

3. Pelanggaran hukum pidana

Pelanggaran pidana oleh WP, pegawainya atau kuasanya baik karena alpa maupun sengaja, kalau
buktinya cukup kuat, setelah dilakukan pemeriksaan bukti permulaan (rikbukper – untuk mengetahui:
kerugian negara, calon tersangka, saksi, bukti dan modes operandi) dapat dilakukan penyidikan dan
penuntutan di pengadilan pidana. Pasal 40 UU KUP sebut daluarsa penuntutan pidana pajak 10 tahun.
Kalau pelanggaran pidana itu terbukti sesuai Pasal 38 UU KUP untuk yang kedua kali atau selebihnya
dapat kena pidana denda minimal 1 kali pajak kurang dibayar dan maksimal 2 kali, atau pidana
kurungan minimal 3 bulan dan maksimal 1 tahun. Sedang untuk pidana sengaja, Pasal 39 beri
ancaman pidana penjara paling cepat 6 bulan dan paling lama 6 tahun, dan denda paling dikit 2 kali
jumlah pajak kurang dibayar dan paling banyak 4 kali.
a. Pidana alpa

Penjelasan Pasal 38 UU KUP menyebut kealpaan sebagai tidak sengaja, lalai, tidak hati0hati atau
kurang mengindahkan kewajiban sehingga tindakan tersebut dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara. Apa yang dimaksud dengan kerugian pada pendapatan negara tidak dijelaskan
dalam UU, namun dapat diduga dengan merujuk pada denda pidananya, yaitu jumlah pajak terutang
yang kurang atau tidak sepenuhnya dibayar. Untuk menghindari kesan kurang bershabatnya hukum
pajak, maka tindak pidana kealpaan yang sifatnya manusiawi tidak begitu langsung dipidana
melainkan ditransformasi jadi pelanggaran administrasi kena sanksi administrasi finansial.

Mitigasi pidana alpa yang pertama kali diketahui petugas pajak menurut Pasal 8(3), yaitu voluntary
disclosure dengan bayar pajak kurang bayar ditambah sanksi administrasi kenaikan 150%. Kadang
pembetulan SPT ini dipertegas jadi rikbukper dengan SKPKB Pasal 13A dan sanksi kenaikan 200%.
Sanksi 200% merupakan ancaman denda maksimal pidana kealpaan jika ternyata terbukti dalam
sidang tuntutan di pengadilan. Namun karena denda maksimal 200% itu jarang diputuskan hakim
dalam perkara pidana pajak, mungkin WP yang merasa tak terganggu reputasinya jika jadi
narapidana, mereka pilih dituntut ke pengadilan pidana. Karena selama ini, jarang Majelis Hakim
jatuhkan pidana denda maksimal 200%. Kebanyakan dijatuhi pidana kurungan beberapa bulan
subsider denda pidana lebih rendah, jika terpidana tidak mampu bayar. Dengan jalani pidana subsider
kurungan, maka terpidana dianggap telah mengganti denda pidana uang dengan pidana badan.

b. Pidana sengaja

Mitigasi pidana alpa yang pertama kali dalam praktik adalah penerbitan SKPKB Pasal 13A dengan
sanksi kenaikan 200%. Dalam mitigasi transformasi pidana ke sanksi administratif (dekriminalisasi),
oleh PP 74/2011 ini diperluas juga ke pidana sengaja. Yaitu dg pemeriksaan bukti permulaan
(Rikbuper) dan penerbitan SKPKB Pasal 13A dengan sanksi denda administrasi 200% dr pokok pajak.
Dekriminalisasi ini, mengindikasikan bahwa ketentuan pidana pajak dalam UU administratif (UU
KUP) tidaklah dimaksudkan untuk memidana atau memenjarakan WP, tetapi lebih pada pemberian
unsur deterrence membuat mereka takut (masuk penjara) sehingga patuh mau membayar pajak.
Karena itu, Prof Romli Atmasasmita sebut sanksi pidana pajak dalam UU KUP bersifat sebagai
ketentuan khusus sistemik (lex specialis sistemik), karena aspek fiskalnya lebih menonjolketimbang
aspek pidananya. Jika WP mau bayar sejumlah denda administrasi maka tiada sanksi pidananya.

Sedang mitigasi pidana alpa untuk tindakan kedua dan selebihnya adalah Pasal 44B berupa membayar
kekurangan pajak ditambah sanksi kenaikan 400%. Karena Pasal 38 UU KUP hanya memberi
ancaman denda maksimal 2 kali jumlah pajak terutang atau kurang dibayar, beberapa ahli pidana
mempertanyakan keberlakuan Pasal 44B pada pidana alpa. Tuntutan jaksa jika terjadi proses
penuntutan pidana alpa perpajakan tentu tidak dapat lebih tinggi dari ketentuan Pasal 38, karena
berlaku prinsip tiada pidana tanpa ada ketentuan hukum pidana yang sudah berlaku. Jika seandainya
Pasal 44B berlaku juga atas pidana alpa, namun karena sanksi kenaikan maksimal 400% itu adalah
denda maksimal dalam tuntutan pidana ternyata terbukti dengan sah melakukan tindak pidana,
mungkin WP yang tidak akan terganggu reputasinya dengan jadi narapidana mereka memilih dituntut
ke pengadilan, karena jarang Majelis Hakim jatuhkan denda pidana maksimal 400% bahkan
kebanyakan dijatuhi pidana kurungan subsider denda pidana lebih rendah dari 400%. Praktik
demikian pun berlaku dalam kasus pidana sengaja, misalnya pada kasus Asian Agri yang hanya kena
denda pidana 150% pajak kurang dibayar.

Agar masih ada unsur kerugian pada pendapatan negara, atas WP yang dirikbukper jika akan
dinaikkan ke penyidikan maka tidak diterbitkan SKPKB. Pasal 13(5) dan 15(4) menunda penerbitan
SKP sampai saat keluar putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sehingga ada
kepastian hukum bahwa jumlah utang dan bayar pajak dalam SPT salah. Walaupun jangka waktu
Penerbitan telah lampau 5 tahun dari saat pajak terutang, atas kuasa UU SKPKB atau SKPKBT masih
dapat diterbitkan untuk menagih pokok pajak ditambah sanksi lambat bayar (bunga) maksimum 48%.
Namun, dalam putusan PK Asian Agri atas Penolakan Keberatan dan Banding SKPKB yang
diterbitkan atas putusan pidana sengaja pajak yang telah berkekuatan hukum tetap Majelis
HakimAgung MA membatalkan SKPKB yang diterbitkan berdasar kuasa Pasal 13A dengan alasan ne
bis in idem (perkara tidak bisa dihukum 2 kali pidana dan administrasi) dan oplosing theori yang
mendalilkan perkara administrasi yang dilihkan ke pidana bebannya melebur dan terhisab (absorbed)
oleh pidana yang dianggap sekaligus telah menghapus sanksi administrasi dan beban pokok pajaknya.
Konsekwensi dari teori ini, bagi WP yang reputasinya tidak terganggu dengan status narapidana,
ketimbang bayar 500% pajak seperti dalam Pasal 44B mereka lebih suka dituntut pidana karena lebih
ringan dari beban pajak dalam Pasal 44B, dan Pasal 13(5) jo 15(4) UU KUP.

Kembali ke Asian Agri yang gelapin PPh Rp 2 Triyun, jika menempuh solusi administrasi tidak
dituntut sesuai Pasal 44B akan membayar Rp 10 T. Tetapi jika dituntut di Pengadilan Pidana dengan
putusan pidana penjara 2 tahun dan denda 150% subsider kurungan 6 bulan,maka hanya bayar Rp 3
Trilyun, dan jika tidak mampu itupun bisa diganti dengan kurungan 6 bulan tanpa bayar uang pajak.
Kalau teori pembauran diterapkan para hakim pidana, negara malah justru rugi membiayai nara pidana
selama 2 tahun 6 bulan tanpa mendapat penerimaan pajak, termasuk pokok pajaknya, dan PNBP dari
denda pidana.

CHAPTER III PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK MELALUI UPAYA ADMINISTRASI

Pengantar

Pajak nyangkut transfer sumber daya atau daya beli sektor privat ke publik untuk kepentingan umum.
Seberapa banyak yg ditransfer adalah sejumlah semestinya menurut UU. Atas jumlah semestinya
tersebut, Earl R Rolph menyebut sebagai formula pajak minimal meliput tiga unsur: (1) basis pajak
atau dasar pengenaan pajak (DPP), (2) tarif pajak biasanya dalam UU (UU), dan (3) adanya wajib
pajak (WP). Formula Tax = Rate x Base. Akibatnya, sengketa pajak juga meliputi 3 unsur, yaitu:
(1) persoalan fakta/data objek (peristiwa, kejadian, dan keadaan – feitelijke aard), (2) persoalan
hukum (recfhtkundige aard), dan (3) persoalan campuran (1) dan (2). Sengketa pajak timbul karena
tidak diterimanya besaran jumlah pajak mungkin oleh pemerintah pemungut pajak (merasa kurang
banyak), atau oleh WP karena merasa kebesaran tidak sesuai fakta objek, atau salah memahami UU,
atau keduanya.

Jika terjadi sengketa pajak, UU Pajak menyediakan sarana mencari penyelesaian, misalnya
pembetulan (jika terjadi kesalahan (tulis, hitung, kekeliruan penerapan ketentuan tertentu, seperti tarif,
penerapan norma penghitungan, sanksi administrasi, PTKP, hitung PPh tahun jalan, dan pengkreditan
pajak) yang bersifat manusiawi tetapi tidak terdapat unsur sengketa antara kantor pajak dengan WP.
Pembetulan dapat dilakukan DJP karena jabatannya, atau atas permohonan WP, dan dapat lebih dari
sekali. Selain pembetulan terdapat dua upaya penyelesaian, yaitu: (1) melalui upaya administratif, dan
(2) melalui pengadilan. Upaya administratif dapat dilakukan dengan mengajukan: (1) keberatan [Pasal
25, 26, dan 26A UU KUP], (2) peninjauan kembali administratif atas sanksi pajak [Pasal 36(1)(a) UU
KUP], dan (3) peninjauan kembali administratif atas ketetapan pajak, STP, dan hasil pemerisaan [
ordonansi keadilan – Pasal 36(1)(b), (c), dan (d) UU KUP]. Adapun upaya yudisial meliputi: (1)
banding [Pasal 27 UU KUP], (2) gugatan [Pasal 23 UU KUP], dan (3) peninjauan kembali [PK, Pasal
77 UU PP].

Penyelesaian melalui upaya administratif

1. Pembetulan kesalahan (kekeliruan)

Tidak diterimanya besaran jumlah pajak yang nyaris menjadi sengketa mungkin timbul karena terjadi
kesalahan teknis atau praktis yang bersifat manusiawi sehingga penyelesaiannya cukup dengan
pembetulan oleh lembaga penerbit ketetapan saja. Pasal 16(1) UU KUP nyatakan bahwa pembetulan
dapat dilakukan otomatis (tanpa permohonan WP) oleh Dirjen Pajak karena jabatannya,atau karena
permohonan WP. Dalam rangka pelayanan dan perlindungan hak WP, pembetulan otomatis dilakukan
jika pejabat pajak temukan kesalahan atau kekeliruan pada ketetapan pajak. Jika WP mengajukan
permohonan pembetulan, Pasal 16(2) UU KUP menyebut untuk beri kepastian dan perlindungan
hukum atas hak-hak WP, dalam waktu 6 bulan sejak tanggal permohonan diterima, Dirjen Pajak harus
beri keputusan. Dalam berikan kepastian hukum berlaku asumsi silent granted, Pasal 16(3) UU KUP
nyatakan jika waktu 6 bulan terlampaui, tetapi Dirjen tidak memberi suatu keputusan, maka
permohonan dianggap dikabulkan. Akibatnya, Dirjen Pajak harus terbitkan surat pembetulan.

Pasal 16(1) UU KUP dan Penjelasanya menyebut pembetulan meliputi: (1) ketetapan pajak (SKPKB,
SKPKBT, SKPN, dan SKPLB), (2) STP, (3) Surat Keputusan Pembetulan, (4) SKPPKP (Surat
Keputusan Pengembalian Pendahulan Kelebihan Pajak), (4) Surat Keputusan Keberatan, (5) Surat
Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, (6) Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, (7)
Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, (8) Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan
Pajak, atau (9) Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.

Ruang lingkup pembetulan terbatas pada kesalahan atau kekeliruan dari: (1) salah tulis, antara lain
pada nama, alamat, NPWP, nomor skp, jenis pajak, masa pajak, atau tahun pajak,dan tanggal jatuh
tempo; (2) salah hitung, seperti jumlah, pengurangan, perkalian, atau pembagaian bilangan; atau (3)
keliru penerapan ketentuan perpajakan tertentu, yaitu keliru tarif, penerapan persentase norma
penghitungan penghasilan neto, sanksi administrasi, PTKP, penghitungan PPh dalam th berjalan, dan
keliru dalam pengkreditan pajak. Sifat kesalahan atau kekeliruan tidak ada unsur sengketa antara
fiskus dg WP. Pembetulan dapat berupa menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan,
tergantung pada sifat kesalahan atau kekeliruannya.

Atas diterimanya beberapa surat pembetulan sebagaimana disebut dalam Pasal 16(1) UU KUP, Pasal
8(6) menyatakan bahwa WP dapat betulkan SPT yg terpengaruh oleh surat pembetulan dimaksud, yg
nyatakan rugi fiskal beda dg rugi fiskal yg telah dikompensasikan dlm SPT Tahunan yang akan
dibetulkan itu, dalam waktu 3 bulan setelah menerima surat dimaksud,dg syarat Dirjen Pajak belum
lakukan pemeriksaan. Jika pemeriksaan telah dilakukan, maka pemeriksa akan secara otomatis
betulkan SPT atau rugi fiskal yg dikompensasi dlm SPT.

2. Permohonan keberatan

Prof Rochmat Soemitro (1991, Peradilan dlm Hukum Pajak di Indonesia) menyebut istilah ‘keberatan’
sebagai ‘doleansi’ (doleantie, objection). Dalam official assessment, ketetapan pajak atas semua SPT
ditetapkan Kantor Pajak. Karena tidak tahu adanya kesalahan penetapan, maka mungkin tiada
sengketa pajak dg tiadanya keberatan WP. Pengajuan keberatan atas ketetapan pajak, berarti ada
sengketa atau perselisihan pajak antara kantor pajak (administrasi) dg WP. Pasal 14(1) Ordonansi
Pajak Pendapatan 1944 (Ord PPd), Pasal 28(1) Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (Ord PPs), dan Pasal
16 UU Pajak Penjualan 1951 (UU PPn), mewajibkan Ditjen Pajak memberi keputusan atas keberatan
dimaksud. Keberatan diajukan ke kantor pajak (administrasi) dan diputus di situ, sepertinya ada suatu
proses peradilan dlm lembaga administrasi tsb.

Karena itu, seperti ada peradilan adm semu (quasi rechtspraak) dalam kantor pajak, sehingga proses
pemberian keputusan surat keberatan disebut sebagai peradilan doleansi atau peradilan keberatan
(doleantierechtspraak). Disebut peradilan semu karena: (i) ada sengketa antara WP dan adm, (ii)
lembaga/pejabat pemutus merupakan bagian dari adm yang bersengketa, (iii) ada kewajiban beri
keputusan, dan iv) keputusan terpengaruh pandangan adm, yang bukan freies ermessen (hak inisiatif/
diskresi darurat adm untuk ambil kputusan agar pkerjaan bisa jalan). Sampai sekarang lembaga
peradilan adm semu ini dipertahankan. Untuk jaga independensi, maka lembaga pemutus keberatan
adalah atasan KPP yaitu Kanwil atau atasannya, yaitu Kantor Pusat DJP.

Sistem peradilan umum di bawah MA di Indonesia menganut 3 tingkat peradilan: tingkat pertama
pada pengadilan negeri (Kota atau Kabupaten), tingkat kedua (banding) di pengadilan tinggi
(Provinsi), dan ketiga kasasi dan peninjauan kembali (PK) di MA. Karena lebih menekankan pada
unsur fiskal (penerimaan), peradilan pajak pada tingkat pertama bukan dilakukan di pengadilan negeri
tetapi ditangani oleh kantor pajak sendiri. Tujuan utama pajak adalah penerimaan negara, maka pada
masa lalu pada lembaga keberatan dalam hukum pajak timbul kebiasaan praktik kompromi fiskal,
persetujuan atau ‘accord’ berupa perundingan pengenaan pajak antara inspektur/ pemeriksa dan WP
tanpa mediator juru runding (Rochmat Soemitro, 1991). Yang dirundingkan dlm kompromi fiskal
adalah fakta dan data. Setelah tercapai kesepakatan maka pajak dikenakan sepihak oleh kantor pajak.
Selain kompromi fiskal, ada transaksi fiskal (transactie fiscale) antara adm dg pelanggar hukum
pidana dg tujuan cegah penuntutan pidana (sekarang seperti Psl 8(3), 13A, dan Psl 44B UU KUP).
Pasal 53 Ord Pajak Upah sebut Menkeu dpt adakan atau nyuruh adakan perdamaian (schikking) untuk
cegah tuntutan pidana peristiwa yg dpt dihukum berdasar Ord Pajak Upah.

Jika WP kurang puas atas keputusan keberatan kantor pajak, maka dpt ajukan banding (appeal,
appelante) dg buat surat banding (beroepschrift) ke Pengadilan Pajak (pengadilan tata usaha
negara/adm yg khusus adili sengketa pajak) , bukan di pengadilan tinggi provinsi. Untuk beri sistem
peradilan cepat, mudah dan murah biaya, maka Pasal 77(1) UU PP secara hkm beri kekuatan final
pada putusan PP untuk dapat segera dieksekusi. Namun, guna perluasan kesempatan peroleh keadilan,
kepastian dan perlindungan hukum WP dan adm, yg kurang puas dapat mengajukan PK ke MA.

Masalah perpajakan nyangkut multi disiplin ilmu, seperti hkm (khusus hkm pajak), pembukuan,
ekonomi, akuntansi, sosial, dsb. Saat ini belum banyak Perguruan Tinggi punya fakultas khusus yg
sepenuhnya ajarkan ilmu pajak pada seluruh semester di program diploma 4 atau strata 1 (sarjana hkm
pajak, ekonomi atau akuntan pajak, administrasi pajak, dan lainnya) belum saatnya buka kamar pajak
di pengadilan negeri/tinggi. Karena itu, banyak pendapat merasa saat ini belum cukup SSM
perpajakan untuk buka kamar pajak tersendiri di kantor pengadilan umum.

Di Negeri Belanda dan beberapa negara Uni Eropa, pada tingkat pertama sengketa pajak diselesaikan
internal di kantor pajak agar aspek fiskalnya selesai dan jadi penerimaan. Baru pada peradilan tingkat
kedua banding diselesaikan di pengadilan tinggi kamar pajak, dan terakhir bermuara ke MA. Berbeda
dari Indonesia dan Amerika pihak yg bersengketa adalah WP dan lembaga pemungut pajak (DJP). Di
Belanda pihak yg dianggap bersengketa adalah WP dengan inspektur atau pemeriksa pajak. Maka
penelaah keberatan dan yg berperkara di Pengadilan Tinggi serta di MA adalah inspektur atau
pemeriksa pajak dengan WP. Keberatan pajak negara bagian (State) dan Munisipal (Kota atau
Kabupaten) di Amerika dapat dibawa ke pengadilan negeri. Sementara itu, di Indonesia karena yang
bersengketa adalah lembaga (DJP) maka pemeriksa yg ngoreksi SPT WP tidak kerepotan pergi ke
Pengadilan Pajak atau ke MA, Karena DJP yang bersengketa, maka tim yang pergi ke Pengadilan
Pajak dan ke MA dapat berbeda sehingga mereka harus mencoba memahami alasan pemeriksa
mengoreksi SPT yg jadi sengketa.Karena di Belanda pihak yg bersengketa dlm inspektur atau
pemeriksa pajak yg ngoreksi SPT maka pembuatan risalah banding dan PK lebih efisien karena
inspektur dan pemeriksa tahu persis alasan ngoreksi SPT WP.

3. Pembayaran pajak dlm pengajuan keberatan dan banding

Karena kewenangan tetapkan utang pajak ada pada KPP (official assessment) maka ketetapan pajak
punya kekuatan eksekutorial untuk ditagih penuh sampai lunas. Maka Pasal 38 Ord PPs nyatakan
kewajiban bayar pajak tdk tertunda oleh pemasukan keberatan atas ketetapan. Untuk amankan
penerimaan karena dirasa penagihan ketetapan pajak berperan signifikan dalam menopang
penerimaan, maka prinsip keberatan/banding tidak menunda kewajiban bayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak dipertahankan sampai dg 2007. Baru ada 2008 berdasar UU 28/2007 prinsip umum
self assessment yg berikan kepercayaan pada WP bahwa utang pajak dlm SPT adalah benar sesuai UU
dijalankan. Karena WP dianggap paling tahu jumlah pajak yg sebenarnya terutang berdasar bukti yg
dimiliki, maka koreksi utang pajak dlm SPT harus transparan, yaitu (1) temuan audit yg berbeda dg
SPT diberitahukan pada WP dg SPHP, dan (ii) di bahas dg WP untuk peroleh kesepakatan.

Akibat dari transparansi koreksi utang pajak dlm SPT melalui SPHP dan pembahasan akhir audit,
Pasal 25(3a) sebut bayar utang pajak minimal sejumlah yg disetujui dlm pembahasan akhir jika
diajukan keberatan. Prinsip bayar yg setuju ini sepertinya melegitimasi kebenaran jumlah dan hak WP
menetapkan (assessment) utang pajak dlm SPT, maka agar SKPKB punya kekuatan eksekutorial
ditagih lunas harus disetujui WP. Pengajuan keberatan/banding menunda pelunasan pajak 30 hari
sejak tanggal SKPKB jadi 30 hari setelah tanggal keputusan keberatan atau putusan banding. Jumlah
pajak yg belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tidak termasuk sbg utang pajak yg harus
dikompensasi dari SKPLB atau dari lebih bayar pajak karena keputusan keberatan dan sejenisnya.

Namun, untuk dorong keseriusan pemenangan keberatan karena didukung bukti kompeten dan cukup,
bukan untuk menunda pelunasan, maka atas penolakan keberatan WP kena sanksi adm denda 50%
dari jumlah pajak menurut keputusan keberatan kurang yg telah dibayar. Pengajuan banding bebaskan
WP dari denda 50%. Sebaliknya, denda naik jadi 100% jika banding ditolak. Untuk hindari denda ini
biasanya sebelum pengajuan keberatan pajak sudah dilunasi. Pegajuan keberatan dan banding
merupakan hak asasi WP. Karena sanksi denda mengesankan hambatan upaya peroleh keadilan WP,
maka pernah diajukan uji materi ke MK. Tetapi dengan alasan itu sebagai filter aliran deras keberatan
dan banding serta sebagai imbalan kelambatan pelunasan pajak,maka uji materi ditolak MK.

Berbeda dg Pasal 25(3a) UU KUP (28/2007) yg syaratkan bayar pajak sejumlah yg disetujui dlm
pembahasan pemeriksaan (closing conference), karena di bentuk dalam mas UU KUP 16/2000 (saat
itu ada dalil pengajuan keberatan/banding tidak menunda pelunasan pajak), dg semangat peringanan
pajak dlm sengketa Pasal 36(4) UU PP mensyaratkan bayar 50% jumlah pajak terutang. Maksudnya
agar WP tdk jadikan banding sbg alat tunda bayar pajak. Namun,saat itu, jia kalah dalm keberatan/
banding belum ada denda 50/100%. Walaupun ada postulat hkm ‘lex posteriori derogat legi priori’
9bila ada satu hal diatur bersamaan oleh dua UU berbeda, ketentuan yang lbh baru kesampingkan
ketentuan lama UU KUP (28/2007) kesampingkan UU PP (14/2002), sebagian hakim kekeh ngotot
beropini bahwa Pasal 36(4), karena khusus atur PP maka UU PP berlaku kesampingkan ketentuan UU
KUP (bersifat umm). Namun sebagaain yg lain, pro WP shg hanya penuhi ketentuan UU KUP.

4. Beban pembuktian keberatan

Secara yuridis, keberatan WP berawal dari beda pandangan dan tafsiran serta penerapan aturan yuridis
fiskal pada SKPKB hasil audit. Pemeriksa pajak merasa temuannya dan penerapan aturan pajak dalam
laporan audit nya benar, sedang WP merasa sebaliknya. Atas SPHP (Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan) yg diterima dari pemeriksa, WP telah sampaikan alasan ketidaksetujuannya atas temuan
tersebut dgn berikan fakta, data, keterangan, dan informasi serta dalil-dalil ketentuan perpajakan.
Beda pendapat itu sudah dijembatani dlm pembahasan akhir dg pemeriksa tapi tetap belumdiperoleh
kesepakatan paham. Mungkn juga telah dilakukan proses Quality Assurance, melalui timindependen
kantor pajak,namun tetap sja belum terjadi kesepakatan paham dan SKPKB tetap diterbitkan.

Dlm hkm pembuktian, Ps 1865 BW (Hkm Perdata) sebut siapa ajukan peristiwa yg atasnyaa dia
punya hak, wajib membuktikan peristiwa itu; sebalinya siapa ajukan peristiwa guna membantah hak
org lain, juga wajib buktikan peristiwa barang siapa ajukan persitiwa itu. Hakim harus perhatikan hal-
hal yg dibantah pihak lawan yg harus dibuktikan. Dlm hkm acara perdata, peembuktian diatur dlm Ps
163 HIR/283 Rbg sebut ‘siapa dalilkan punya hak atau ajukan suatu peristiwa ut tegaskan haknya
atau bantaah adanya hak org lain, harus buktikan ttg adanya hak atas peristiwa itu. Nampaknya
pembuktian ada pihak yg dalilkan, pihak pembantah berupa fakta hkm, bukti hkm dan landasan hkm.

Konstruksi teoretis beban pembuktian dlm Hkm Acara Perdata adalah: (1) teori beban pembuktian
affirmatif (teori penguatan belaka – bloot affirmatieve) – bebannya pd pihak pendalil saja. Dlm
praktik secara spontan pihak lawan akan bantah dan gugurkan dalil2 itu; (2) teori hkm subjektif –
bebannya pd siapa yg minta pd hakim agar hak subjektifnya yg didalilkan diakui lebih dulu, sedang
phak lain bantah fakta dasar tuntutan itu sudah gugur/hapus. Peminta harus yakinkan bahwa fakta itu
memang demikian adanya; (3) teori hkm objektif – bebannya ada pd pemohon ke hakim agar
laksanakan aturan objektif atas fakta yg diajukan/dituntut, jika unsur terkait fakta terdapat dlm aturan
hkm objektif tsb; dan (4) teori keadilan – bebannya pd pihak yg paling sedikit nanggung beban
pembuktian atau paling sedikit disuruh buktikan oleh hakim.
Penjelasan Ps 29(3) UU KUP sebut pendapat dan simpulan pemeriksa harus berdasar pada bukti yg
kuat dan terkait serta sesuai ketetuan peraturan perUUan perpajakan. Karena itu, penelaah keberatan,
pemeriksaan hakim pengadilan pajak dan hakim PK MA harus kedepankan asas affirmatieve incumbit
proboto (siapa dalilkan harus buktikan). Asas afirmatif merupakan prinsip umum berlaku dlm ilmu
hkm pembuktian yg harus dibuktikan, siapa yg dalilkan sesuatu harus buktikan, jika disangkal lawan.
Namun, sesuai asas kesamaan kedudukan dlm hkm (equality before the law) atau audi et alteram
partem, berdasar kearifannya guna lahirkan putusan yg beri kepastian hkm berdasar nilai-nilai
keadilan, hakim dpt terapkan pembuktian seimbang pd mereka yg bersengketa.

Walau merupakan peradilan administratif semu yg tidak selevel dg peradilan murni, namun semuanya
melibatkan perselisihan antara dua pihak. Jika ada sesuatu yg harus diputus, masalah pembuktian
punya peranan penting. Pasal 26A UU KUP melimpahkan pengaturan tata cara pengajuan dan
penyelesaian keberatan. Antara lain: (i) pemberian hak pada WP hadir beri keterangan atau dapat
penjelasan keberatanya (seperti SPHP dan pembahasan akhir pemeriksaan), (ii) ketidakhadiran WP
tidak hambat penyelesaian keberatan, dan (iii) pengungkapan buku, catatan, data, informasi atau
keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak tidakdiberian pada saat pemeriksaan, selain yang
saat itu ada pada pihak ketiga, tidak dipertimbangkan dlm penyelesaian keberatan.

Proses penyelesaian keberatan atau banding di pengadilan adm murni, termasuk uji bukti dari para
pihak kenapa ada klausul demikian? Untuk itu, Pasal 28(3) dan (4) sebut pembukuan dan pencatatan
harus dilakukan berdasar iktikad baik cerminkan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya, dan harus
diselenggarakan di Indonesia. Jika pembukuan di Indonesia telah dilakukan dengan iktikad baik
sesuai keadaan sebenarnya, tentulah semua catatan, data dan informasi pendukung sudah disimpan
rapi dan setiap saat diperlukan dapat ditunjukkan bukan dicari-cari lagi. Mungkin sekali untuk dorong
aktualisasi iktikad baik sesuai keadaan sebenarnya sehingga tercapai kepatuhan sukarela, maka
pembuat UU tidak mentoleransi tidak adanya data pendukung pembukuan tanpa alasan kuat.

Pasal 12(1) UU KUP nyatakan tiapWP bayar pajak terutang sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan pajak. Memang secara eksplisit ketentuan itu tidak sebut siapa yg hitung (assess) utang
pajak. Namun, secara teknis empiris tentu para WP bayar pajak setelah hitung jumlah utang pajak
sesuai UU. Maka secara implisit WP hitung sendiri utang pajak sesuai UU, laporkan melalui SPT dan
sampaikan ke kantor pajak. Pasal 12(2) UU KUP mengendorse jumlah pajak terutang menurut SPT yg
disampaikan WP adalah jumlah pajak terutang sesuai ketentuan peraturan perUUan perpajakan. Jika
DJP ingin menetapkan jumlah pajak terutang yg semestinya (reassessment), Pasal 12(3) UU KUP
syaratkan DJP harus dapatkan bukti ketidak benaran jumlah utang pajak dlm SPT. Jadi burden of
proof (beban pembuktian) penerbitan SKPKB sebagai koreksi atas SPT ada pada Dirjen Pajak. Tetapi
dlm praktik audit transfer pricing, nampak ada keharusan dlm TP Docs bahwa harga transfer barang,
imbalan bunga atau royalti antar perusahaan asosiasi telah sebanding dg harga transaksi independen
sehingga disebut sudah sesuai prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU). Seandainya, atas audit
transfer pricing diterbitkan SKPKB, maka dlm reassessment ini telah terjadi pembalikan pembebanan
bukti (reversing the burden of proof, omkering van bewijslast) dari DJP pada WP.

Prinsip umum yg berlaku biasanya siapa keberatan atas suatu keputusan harus buktikan kesalahannya.
Penjelasan Pasal 13(1)(d) UU KUP sebut jika WP tidak lakukan kewajiban Pasal 28 (pembukuan) dan
Pasal 29 (perlihatkan buku dan catatan dalam audit) sehingga DJP tidak bisa hitung pajak seharusnya
terutang, maka dapat diterbitkan SKPKB dg penghitungan secara jabatan, yaitu tidak hanya sesuai
data WP. Pembuktian atas uraian hitungan yg jadi dasar hitungan secara jabatan dibebankan pada WP.
Beban pembuktian pada WP juga berlaku atas ketetapan jabatan dari tidak disampaikannya SPT
walau sudah ditegur seperti Pasal 13(1)(b). Dengan demikian nampak bahwa jika WP tidak lakukan
pembukuan atau tidak serahkan buku dan catatan pada saat audit atau tidak sampaikan SPT sehingga
diterbitkan SKPKB secara jabatan, pembuktian ketidakbenaran utang pajak berada pada WP. Maka
secara a contrario jika WP telah laksanakan kewajiban sampaikan SPT, lakukan pembukuan dan
perlihatkan pembukuan pada saat audit, kewajiban pembuktian ketidak benaran utang pajak ada pada
pejabat pajak. Prinsip pembuktian jumlah pajak yg menyimpang dari SPT ada pada pejabat pajak jika
WP telah lakukan semua kewajiban perundang-undangan (penyampaian SPT, pembukuan, perlihatkan
buku dan catatan saat audit) juga di dukung oleh Prof Rochmat Soemitro (1991).

Keberatan pajak negara

Pajak negara meliputi semua jenis pajak yang dipungut pemerinatah pusat, seperti PPh, PPN & PPn
BM, PBB P3 (pertambangan, perkebunan dan perhutanan), dan Bea Meterai. Pengajuan keberatan
tunjukkan perselisihan besaran utang pajak antara kantor pajak dg WP. Selisih terjadi mungkin
karena fakta (data yang dipakai sebagai dasar pengenaan pajak), dan/atau pemahaman UU Pajak atau
bahkan penafsiran oleh pejabat kantor pajak, yang berbeda dengan data atau pemahaman WP.

Dlm adagium Hukum Perdata muncul asas lex fori dan doktrin hukum the law of the forum yg ajarkan
‘hukum acara yg berlaku tunduk pada kedudukan pengadilan tempat banding/gugatan diajukan atau
diterima’. Banding/gugatan di Indonesia, berlaku hukum acara negara ini. WPLN yg kena potong
PPh, misalnya Pasal 26 dapat ajukan keberatan ke kantor pajak Indonesia. Seterusnya jika kurang
puas atas keputusan keberatan dari DJP dapat mengajukan banding ke PP. PPN dan PPn BM secara
administratif dibayar oleh PKP tetapi beban ekonomisnya (economic incidence) ditanggung
konsumen. Secara hkm pajak, kapan BKP dianggap dikonsumsi sesuai dg proksinya dapat: (i) pada
saat secara ekonomis/fisik dikonsumsi, seperti makanan dan minuman; (ii) pada saat penyerahan
misalnya jasa, (iii)pada saat pembayaran jika mendahului penyerahan, (iv) sesuai termijn pembayaran
untuk kontrak jangka panjang, dan (v) lampaunya jangka waktu. Misalnya, BKP yg dibeli pemegang
paspor selain Indonesia dianggap dikonsumsi di luar negeri paling lama setelah 1 bulan sebelum
tinggalin Indonesia. Maka, kalau pembeli itu pulang ke negaranya selambatnya sebulan setelah beli
BKP dpt restitusi PPN yg dibayar, karena barang dianggap di konsumsi di luar daerah pabean shg
bebas PPN. Jika tdk direstitusi, pemegang paspor luar negeri dpt ajukan keberatan dan banding.

Beda dg BKP, JKP dianggap dikonsumsi pada saat penyerahan, kecuali; (i) jasa makloon, (ii) jasa
reparasi barang, dan (iii) jasa konstruksi (asembling) yang melekat pada fisik barang. Karena
dianggap di konsumsi di luar daerah pabean, maka PPN atas ketiga jasa tersebut kena PPN 0% dan
pajak yang telah dibayar dapat direstitusi. Jika tidak biberikan, maka konsumen dapat ajukan
keberatan dan banding.

Prosedur formal penyampaian keberatan, menurut Pasal 25 dan 26 UU KUP antara lain: (i) objek
pengajuan keberatan adalah beschikkingen (keputusan/ketetapan) seperti SKPKB, SKPKBT, SKPN,
SKPLB, dan pot-put pajak oleh pihak ketiga, (ii) keberatan diajukan secara tertulis (ketentuan
sebelum 1984 nampung keberatan lisan dan dituliskan kantor pajak), (iii) dlm bahasa Indonesia, (iv)
isi keberatan sampaikan jumlah pajak terutang, jumlah pot-put pajak, atau rugi menurut WP dg
sertakan alasan-alasan hitungannya, dan (v) tiap SKP satu surat keberatan sehingga kalau dalam 1
tahun ada 12 SKPKB Masa PPN maka harus dibuat 12 surat keberatan, demikian juga dg PPh Ps 21.
Selanjutnya, (vi) keberatan diajukan selambatnya 3 bulan sejak tanggal pengiriman ketetapan pajak
atau sejak pot-put pajak, kecuali berdasar bukti kuat atau diluar kuasanya waktu itu tidak cukup.
Apabila untuk ajukan keberatan WP minta, DJP wajib berikan keterangan tertulis dasar pengenaan
pajak, hitungan rugi, atau pot-put pajak.

Untuk layanan pemberian kepastin hkm pd WP dlm sistem self assessment, Pasal 26(1) UU KUP
sebut paling lambat 12 bln sejak tgl terima surat keberatan, Dirjen Pajak harus beri keputusan. Pada
masa pra 1984, karena jumlah WP badan belum banyak guna beri pertimbangan lebih seksama, maka
pemberian keputusan keberatan PPs oleh Dirjen (Ps 28(1) Ord PPs), sedang PPd oleh Kepala Inspeksi
Pajak (Pasal 14(1) Ord PPd). Pada saat itu belum ada batasan waktu kapan paling lama keberatan
harus diputus. Karena jumlah WP belum banyak, seperti ketetapan harus terbit secepatnya setelah
akhir tahun, mungkin dlm praktik keputusan keberatan juga diberikan secepatnya.

Untuk kelengkapan pembuktian keberatan, sebelum penerbitan keputusan, WP masih dapat


sampaikan alasan atau keterangan tambahan. Keputusan atas keberatan dapat berupa mengabulkan
seluruhnya, atau sebagian,menolak atau menambah jumlah pajak masih harus dibayar. Nampaknya,
hakim doleansi, dlm memeriksa keberatan tidak terikat pada perkara yang diajukan WP, tetapi dapat
perhatikan ketidakbenaran pada waktu penetapan pajak di SKPKB. Misalnya, jika masih ada beberapa
penghasilan yg tdk dilapor atau ditemukan dlm audit, Dirjen Pajak masih dpt menambahkan dlm
penelaahan keberatan. Karena dapat berakibat membesarnya jumlah yg masih harus dibayar, proses
keberatan sebetulnya bukan penyelesaian perselisihan tetapi lebih tepat sebagai penelaahan kembali
ketetapan (herziening van de aanslag, review of the tax bill). Perkecualian berlaku atas Pajak
Kekayaan, karena Pasal 31(4) Ord PKk sebut segala kesalahan dan ketidakbenaran dpt dibetulkan, dg
pengertian, tidak dpt sebabkan pajak bertambah. Jika ada pengurangan pajak karena doleansi, maka
lebih dulu dikompensasi dg kenaikan yg ada dan hasil akhir tidak nambah jumlah pajak.

Jika jangka waktu 12 bulan lewat, Dirjen Pajak tidak beri keputusan, demi kepastian dan perlindungan
hkm hak WP, maka keberatan dianggap dikabulkan (silent deemed granted). Akibatnya, kantor pajak
harus menerbitkan keputusan pengabulan keberatan dimaksud dlm waktu sebulan. Jika DJP karena
jabatannya, ingin betulkan SKPKB maka dlm masa pengajuan keberatan itu dpt dilakukan pembetulan
ketetapan. Seandainya dlm pembetulan itu mencakup masalah yg diajukan keberatan, karena
masalahnya sudah tidak ada lagi maka dg sendirinya sengketa yg diajukan keberatan sudah selesai.
Sesuai ketentuan Ps 16 UU KUP, pembetulan tak boleh nyangkut hal yg disengketakan dg WP.

Keberatan atas nilai dan tarif kepabeanan dan cukai

Pada 1 Januari 1989 Indonesia mengganti tarip bea masuk dari Sistem Tarip Bea Masuk berdasar
CCCN (Customs Cooperation Council Nomenclature) beralih ke HS (The Harmonized Commodity
Description and Coding system), yg paada 14 Juni 1993 telah diterima oleh International Convention
di Brusel Belgia. Keppres 35/1993 tgl 15 Mei 1993 mengesahkan konvensi internasional tsb. Tujuan
penerapan HS: (i) keseragaman internasional penggolongan tarif pabean, (ii) kemudahan pengumplan
, analisis dan sandingan statistik perdagangan dunia, dan (iii) ikuti sistem resmi global koding
penjeasan dan golngan barang untuk tujuan komersial, seperti tarif dan keperluan angkutan,
dokumentasi, dsb.

Kewenangan DCBC menerima dan memutus keberatan menurut UU 10/1995 ttg Kepabeanan sttd UU
17/2006, adalah sbb:
1. Pasal 93(1) dan (2) UU atur penetapan kembali tarif dan nilai paben (custom value) dalam waktu
2 th sejak tgl PIB berdasar audit atas kuasa PMK 125/2007, 51/2008 dan 160/2010, dan jika
Wajib Bea keberatan dapat sampaikan keberatan selambatnya 60 hari, yg diputus selambatnya
dlm 60 hari pula.
2. Pasal 93A(4) UU atur keberatan atas selain tarif dan nilai pabean, dalam waktu 60 hari dan
diputus 60 hari juga.
3. Pasal 94(2) UU atur keberatan atas sanksi administrasi denda dalam waktu 60 hari.
4. Pasal 92A UU beri wewenang DCBC untuk: (i) betulkan Surat peenetapan Tagihan Bea Masuk
krena salah tulis, hitung, dan kekliruan dlm penetapan ketentuan UU, dan (ii) kurangi dan hapus
denda karena kekhilafan atau bukan karena kesalahan. Permohonan Wajib Bea 14 hari.
Berdasar Pasal 95 UU Kepabeanan, Wajib Bea yang belum merasa mendapat keadilan dariputusan
Diren Bea dan Cukai dapat mengajukan banding ke PP.

Keberatan pajak daerah dan retribusi daerah

Pasal 103 UU 28/2009 ttg PDRD menyebut WP PDRD dapat ajukan keberatan pada Kepala Daerah
(Gubernur, Bupati Wali Kota) atau Pejabat yang ditunjuk atas: SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang), SKPD (Surat Ketetapan Pajak Daerah), SKPDKB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang
Bayar), SKPDKBT (Surat ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan), SKPDLB (Surat
Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar), SKPDN (Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil), dan pot-put
oleh pihak ketiga. Keberatan diajukan selambatnya 3 bulan, atas materi atau isi ketetapan dg hitungan
jumlah pajak yg seharusnya menurut WP. Satu keberatan untuk satu jenis/tahun pajak, dan telah bayar
paling dikit sejumlah yg telah disetuui WP. Pihak ketiga adalah orag/badan yg ditunjuk kepala daerah
sebagai pemotong/pemungut pajak.
Pasal 104 UU PDRD sebut Kepala daerah dalam waktu 12 bulan sejak tgl penerimaan surat keberatan
harus beri keputusan keberatan. Keptusan dapat menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau
nambah jumlah pajak. Jika waktu 12 bulan lewat dan Kepala Daera tida beri keputusan, keberatan
dianggap dikabulkan dan surat keputusan harus diterbitkan. Pasal 106 UU PDRD nyatakan jika
keberatan dikabulkan sebagain atau seluruhnya dan terdapat lebih bayar pajak dikembalikan plus
bunga 2% per bulan paling lama 24 bulan yg dihtiung sejak pelunasan s/d penerbitan SKPDLB.
Sebaliknya jika keberatan ditolak, WP kena sanksi adm denda 50%dari jumlah pajak sesuai keputusan
keberatan kurang yg dibayar sebelum keberatan. Denda tidak dikenakan jika WP banding ke PP.

Pasal 105 UU PDRD sebut WP yg kurang puas atas keputusan keberatan dpt ajukan banding ke PP,
secara tertulis dg bahasa Insonesia, dg alasan jelas dlm waktu 3 bulan sejak keputusan diterima.
Pengajuan banding tangguhkan bayar pajak sampai sebulan sejak penerbitan putusan banding.
Penolakan banding sebabkan WP kena sanksi adm 100% dari pajak menurut putusan banding kurang
yg telah dibayar sebelum keberatan.

5. Permohonan peninjauan administratif sanksi administrasi

Tujuan negara utk gakkum, jika terjadi pelanggaran/agar terjadi kepastian hkm, perlindungan hkm,
dan jamin kebebasan warga negara dlm batasan UU, shg berikan keadilan dan kemanfaatan pd rakyat.
Pembentukan UU adalah hak rakyat, kemauan rakyat sendiri ut bentuknya, UU sbg penjilmaan dr
kemauan/kehendak rakyat. Sebagai kehendak umum masy yg telah dilimpahkan pada wakil2nya,
maka rakyat harus tunduk dan mematuhi tiap UU. Di NKRI, kemauan rakyat (kedaulatan) telah
diserahkan kpd MPR, yg serahkan pelaksanaan kedaulatan kpd Presiden sbg mandataris. Presiden
laksanakan kedaulatan dg mbentuk peraturan perUUan, termasuk mbentuk UU Perpajkan dg DPR.

Sesuai kehendak rakyat, UU KUP punya 5 instrumen pembetulan dn penyesuaian kesalahan atau
kekeliruan besaran pajak, seperti: (i) koreksi jumlah pajak dlm SPT, termasuk yg sudah terbit
SKPKBnya dalam Pasal 8 dan 15, (ii) pembetulan kesalahan atau kekeliruan ketetapan pajak dan
surat keputusan pajak karena kesalahan manusiawi dalam Pasal 16, (iii) koreksi sengketa besaran
pajak melalui peradilan semu (peradilan doleansi/keberatan), peradilan administrasi (Pengadilan
Pajak), dan MA, dalam Pasal 25, 26, 26A dan 27 serta gugatan pajak melalui Pasal 23, (iv) koreksi
besaran pajak yg dilakukan secara melawan hukum oleh WP melalui peradilan pidana pajak dalam
Pasal 38, 39, 39A, dan 43, dan (v) koreksi peninjauan administratif berupa pengurangan/penghapusan
sanksi, pengurangan/pembatalan ketetapan pajak tdk benar, STP tdk benar, hasil pemeriksaan atau
ketetapan pajak darinya yg salah prosedur.

Pembetulan Pasal 16 terutama atas prakarsa (permohonan) WP dan Dirjen Pajak karena jabatannya
atas kesalahan/kekeliruan yg tdk jadi sengketa/selisih sehigga cukup diselesaikan kantor pajak,
sedangkan keberatan/banding Pasal 25/27 terjadi karena sengketa sehingga solusinya perlu pihak
dependen (hakim doleansi) atau pihak ketiga independen yaitu hakim profesional. Sementara itu,
Pasal 36 terutama atas prakarsa Dirjen Pajak karena jabatannya atau permohonan WP atas kesalahan
dari ketidak telitian petugas atau ketidak pahaman WP atau sengketa pajak yg diajukan keberatan tapi
tdk penuhi syarat formal. Untuk, memberikan kepastian hukum aga tidak terjadi overlapping
penyelesaian sengketa pajak yang khusus solusinya melalui jalur keberatan/banding/PK, Pasal 36
kecuali keberatannya tidak penuhi syarat formal tidak dapat dipakai untuk ajukan banding atas
keputusan keberatan.

Pasal 36(1)(a) UU KUP memfasilitasi pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa
buga, denda, dan kenaikan yg terutang karena kekhilafan WP (kurang paham aturan), bukan salahya
(ketidak telitian petugas). Pembetulan Pasal 16 dan keputusan keberatan Pasal 26 lingkupnya dpt
nambah pajak yg masih harus dibayar, atau hapus tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya,
sedangkan Pasal 36(1)(a) UU KUP memang sengaja meringankan WP karena tdk ada unsur nambah
tapi terbatas pada pengurangan (sanksi jadi kurang) atau penghapusan (sanksi hilang).
6. Permohonan peninjauan pengurangan atau pembatalan ketetapan dan STP

Jika redaksi Pasal 36(1)(a) UU KUP memakai kata mengurangi atau menghapus, Pasal 36(1)(b) dan
(c) mengurangkan atau membatalkan ketetapan atau STP yg tdk benar, dan ayat (1)(d) lebih tegas lagi
hanya membatalkan. Ayat (1)(a) hanya berurusan dg sanksi administrasi (tidak berlaku atas sanksi
pidana yg harus diajukan kasasi atau PK ke MA), ayat (1)(b) khusus untuk ketetapan pajak, ayat (1)(c)
untuk STP dan ayat (1)(d) untuk hasil audit dan ketetapannya yg dlm pelaksanaan audit tapa
penyampaian SPHP atau pembahasan akhir. Karena hak menghitug/netapkan pajak berada pada WP,
maka tiap perubahan atas jumlah utang pajak dlm SPT pada sistem self assessment harus dilakukan
secara transparan dg beritahu dan bahas kebenaran koreksi dg WP.

Di masa lalu ketentuan Pasal 36 ini dianggap berada di atas keberatan dan banding setara dengan
peninjauan kembali ketetapan dan sanksi oleh pihak administrasi (Dirjen Pajak), sebelum ada badan
peradilan pajak yg berpuncak di MA, jika solusinya buntu. Persyartan peninjaun kembali administratif
dalam Pasal 36 ini ada syarat: (i) sanksi administratif dikenakan karena kekhilafan (bukan
kesengajaan) WP, atau bukan salahnya (karena ketidak telitian petugas), (ii) ketetapan atau surat
tagihan pajak secara hkm tdk benar, dan (iii) pelaksanaan pemeriksaan salahi tata cara dan prosedur.

Berbeda dengan pembetulan yg dapat dilakukan sampai tgl jatuh tempo penerbitan ketetapan,
peninjauan adm Pasal 36 dibatasi paling banyak 2 kali pengajuan pengurangan atau penghapusan
sanksi, dan pengurangan atau pembatalan ketetapan atau STP. Bahkan untuk pembatalan hasil
pemeriksaan atau ketetapannya hanya dapat diajukan sekali. Namun, dalam praktik jika permohoanan
peninjauan ini ditolk Dirjen Pajak WP menggugatnya ke Pengadilan Pajak dan jika ditolak oleh
Pengadilaan diajukan PK ke MA. Nampaknya secara judisial prosedural, permohonjan peninjauan
kembali administratif saksi, ketetapan dan STP mdenjadi awal jalur judisial penyelesaian gugatan
sengketa pajak yg bermuara ke MA.

Sama seperti permohonan pembetulan yg hanya berdurasi 6 bulan untuk dapat keputusan, sehingga
lebih cepat dari keberatan, permohonan peninjauan kembali administratif Pasal 36 juga dalam waktu 6
bulan setelah permohonan diterima harus diberi keputusan Dirjen Pajak. Lampaunya durasi tersebut,
jika tanpa keputusan maka dianggap Dirjen Pajak mengabulkan permohonan peninjauan administratip
dimaksud. Sebaliknya jika ditolak, atas permintaan WP, Dirjen Pajak harus memeberi keterangan
tertulis penyebab penolakan permohonan dimaksud.

Berbeda dengan syarat finansial dlm pengajuan keberatan/banding, permohonan peninjauan adm ini
tidak mensyaratkan adanya pembayaran jumlah pajak yang masih harus dibayar. Akibatnya, secara
fiskal tidak ada filter penghambat pengajuan permohonan peninjauan adm Pasal 36, sehingga beri
kesempatan luas pada WP untuk dapat perlindungan hukum atas hak perpajkannya. Filter yg ada
berupa frekwensi pengajuan maksimal 2 kali.

Penyelesaian melalui pengadilan

1. Banding

Untuk berikan kepastian hkm dan perlindungan hkm pada WP, dan ekualitas hukum dg peradilan
umum, maka tingkat pencarian keadilan pajak juga dibangun jadi 3 tingkatan. Pertama peradilan
administrasi semu dg hakim doleansi kepada atasan kantor pajak (Kanwil) yg terbitkan ketetapan
pajak. Kedua, peradilan administrasi murni ke Pengadilan Pajak, dan ketiga sebagai puncak peradilan
bermuara dengan peradilan PK di MA.

Pasal 27(1) UU KUP menyebut WP yg kurang uas dg keputusan keberatan dpt ajukan banding dlm
waktu 3 bulan ke Pengadilan pajak (PP). Permohonan tertulis dibuat dlm bahsa Indonesia, tiap
keputusan keberatan 1 permohonan, dg alasan jelas dan sebut berapa jumlah pajak menurutnya. Utk
kelengkapan permohonan itu, atas permintaan WP, Dirjen Pajak wajib berikan keterangan tertulis
dasar dan alasan keputusan keberatan. Putusan PP sbg putusan pengadilan khusus di lingkunagn TUN.
Utang pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan jatuh tempo pelunasannya tertunda
sebulan setelah tanggal putusan banding PP.

Selain hak ajukan banding, Pasal 3 UU PP beri hak WP untukcabut banding baik sebelum maupun
setelah dilakukan sidang. Jika surat pencabutan diajukana sebelum disidang maka perkara atas
penetapan Ketua PP perkara dihapus dari Daftar Sengketa.Sementara itu, jika pencabutan setelah
sengketa disidang, maka penghapusan dari daftar sengketa dilakukan berdasar putusan Maajels hakim
atau Hakim Tunggal. Sengketa dapat diperiksa dalam sidang secara cepat oleh hakim tunggal, atau
secara acara biasa oleh Majelis Hakim dari 3 orang.

Alat bukti dalam sidang berupa: (i) surat atau tulisan (akta auteetik, akta di bawah tanagan, surat
keputusan/ketetapan, dan surat lainnya), (ii) keterangan ahli (pendapat orang diberikan di bawah
sumpah dlm persidangan ttg apa yg dietahui berdasar pengaalaman dan pengetahuannya), (iii)
keterangan para saksi (berknaan dg hal yg dialami, dilihat atau didengar saksi sendiri, (iv) pengakuan
para pihak, dan (v) pengetahuan hakim (hal yg diketahui dan diyakini kebenarannya). Putusan PP
didasarkan atas hasil penilaian pembuktian, peraturan perUUan pajak, serta keyakinan hakim.

Pasal 77(1) PP menyatakan putusan PP sbg putusan akhir dan punya kekuatan hukum tetap dan segara
dapat dieksekusi tanpa keputusan TUN. Putusan PP dapat segera dieksekusi tanpa tunggu putusan
PK. Namun, Pasal 77(3) nyatakan pihak yg bersengketa dapt ajukan PK ke MA. Putusan PP dpt
menolak, kabulkan sebagian atau seluruhnya, nambah pajak harus dibayar, tidak dapat diterima
(TDD), betulkan salah tulis/hitung, atau batalkan. Penolakan banding diikuti dg sanksi administrasi
denda 100% dari jumlah pajak sesuai putusan banding kurang yg telah dibayar seblm ajukan
keberatan. Dalam rangka pemberian ekualitas hukum antara negara dg WP, Pasal 27A UU KUP sebut
pengabulan keberatan/banding atau PK jika pajak yg masih harus dibayar dalam SKPKB, SKPKBT,
SKPN, SKPLB telah dibayar dan sebabkan lebih bayar dikembalikan dg imbalan bunga 2% sebulan
maksimal 24 bulan.

2. Gugatan

Pasal 23(2) UU KUP jo Pasal 40 UU PP berikan hak pada WP ajukan gugatan kepada PP. Objek
gugatan, termasuk: (i) pelaksanaan SP, SPMP, atau pengumuman lelang, (ii) keputusan pencegahan
dalam penagihan pajak, (iii) keptusan terkait pelaksanaan keputusan perpajkan, selain yg ditetapkan
dlm Pasal 25(1) dan 26 [keberatan], seperti STP[Pasal 14] dan keputusan Pasal 36 UU KUP, dan (iv)
penerbitan surat ketetpan pajak atau surat keputusan keberatan yg penerbitannya tdk sesuai prosedur
dan tata caranya.

Pasal 4(1) UU PP sebut penggugat dapat WP sendiri, ahli waris, pengurus penggugat sebagai badan,
dan kuasa hkm yg ditunjuk. Jika penggugat meninggal, dapat dilanjutkan ahli waris. Jika merger
(badan), penggabungan atau likuidasi, dapat dilanjutakn oleh penerima tanggung jawab terjadinya
merger dsb. Durasi gugatan adalah 14 hari untk pelaksanaan penagihan, dan 30 hari untuk keputusan
lainya. Pasal 40 dan 41 UU PP sebut syarat gugatan, seperti: tertulis dlm bahasa Indonesia, (ii)
disampaikan ke PP.

Gugatan berisi antara lain: jati diri penggugat, siapa atau pihak mana yg digugat, fakta kejadian dan
fakta hkmnya, kronologi kejadian yg digugat, alasan hkm secara tepat dan jelas, apa yg dittuntutnatau
diminta, dan tgl gugatan dan tandatangan penggugat. Pasal 42 UU PP sebut gugatan dpt dicabut baik
atau setelah sidang. Penghapusan dari dayar gugatan jika pecabutan diajukan sebelum sidang
dilakukan berdasar penetapan ketua pengadilan, sedang jika setelah sidang putusan diberikan oleh
sidang Majelis Hakim.

Berbeda dg keberatan/banding, Pasal 41 UU PP natakan pengauan gugatan tidak menunda penagihan


pajak sampai lunas. Namun dlm keadaan mendesak permohonan pendaan penagihan dapat diajukan.

3. Peninjauan Kembali
Karena putusan banding PP secara UU berkekuatan hukum final (inkraght van gewijsde), maka PK
merupkan upaya hkm luar biasa ut peroleh keadilan. PK merupakan paya hukum baru dalam PP, yg
tdk ada pada masa BPSP (Badan Penyelesaian Sengketa Pajak) dan MPP (Majelis Pertimbangan
Pajak). Pengajuan PK tideak menunda eksekusi adm putusan banding PP. Namun dlm praktik, karena
tdk ada sarana penagihan nkembali sanksi adm yg telah dikembalikan pada WP jika banding
dimenangkannya, maka apabila Dirjen Pajak mengajukan PK, sanksi adm misalnya berupa bunga
belum diberikan bersama okok pajaknya tetapi menunggu putusan Majelis PK MA. Pasal 77(3), jo
Pasal 89, 90, 91, dan 92 UU PP mengatur PK. Per MA 3/2002 tgl 23 Oktober 2002 atur tata cara
permohonan PK.

Pasal 89 s/d 93 UU PP menentukan tata cara PK, seperti: (i)pengajauan PK hanya 1 kali melalui PP,
(ii) permohonan PK tdk tangguhkan atau hentikan eksekusi putusan PP, dan (iii) PK dpt dicabut
sebelum diputus dan sekali dicabut tdk dpt diajukan kembali. Hukum acara yg berlaku atas PK adalah
Hukum Acara Pemeriksaan dalam UU 14/1985 tentang MA, kecuali diatur khusus dlm UU PP. Jenis
putusan PP yg dpt di PK tidak dibatasi, namun PK hnaya dpt diajukan jika berdasar alasan tertentu
seperti tersebut dalam Pasal 91 UU PP.

Antara lain: (i) putusan PP berdasar suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yg diketahui
setelah perkara diputus, atau berdasar bukti2 yg kemudian oleh hakim pidaana dinyatakan palsu. PK
atas bukti pidaana tersebut diajukan paling lambat 3 bulan sejak diketahuinya kebohongan atau tipu
muslihat atau sejak putusan hakim pidana berkekuatan hkm tetap, (ii) terdapat bukti tertulis baru yg
penting dn bersifat menentukan padaa tahap persidangan di PP akan berikan putusan beda. PK
berdasar temuan bukti tertulis baru harus diajukan selambatnya 3 bulan peenemuan bukti itu dengan
mengangkat sumpah dan disahkan pejabat berwenang,(iii) dikabulkannya suatu hal yg tidak dituntut
atau lebih dari pada yg dituntut (ultra petita) , kecuali putusan PP kabulkan sebagian atau seluruhna,
nambah pajak yg harus dibayar, (iv) bagian dari suatu tuntutan blm diputus tanpa pertimbangkan
penyebabnya, dan (v) putusan nyata-nyata tdk sesuai dg ketentuan yg berlaku.

Pasal 93 UU PP sebut durasi putusan PK majelis hakim MA,yaitu: (a) Jika putusan PP melalui acara
biasa maka MA harus periksa dan putus PK dlm waktu 6 bulan sejak permohonan PK, dan (b) jika
putusan PP melalui peemeriksaan acara cepat maka MA harus periksa dan putus dlm waktu 1 bulan
sejak permohonan PK. Namun jika durasi putusan terlampaui tdk ada ketentuan apakah PK diterima
atau ditolak. Putusan PK harus diucapkan dlm sidang umum terbuka.

Tata cara permohonan PK, termasuk: (i) diajukan tertulis oleh pemohon, ahli waris, atau kuasa hkm,
(ii) sebutkan alasan-alasan PK beserta buktinya, (iii) diajukan ke MA lewat PP dan harus diteruskan
Panitera PP dlm waktu 7 hari, (iv) lunas uang muka biaya perkara sesuai Surat Kuasa Untuk
Membayar yg ditetapkan MA, dan (v) diajukan selambatnya 90 hari sejak diketahuinya kebohongan
atau tipu muslihat setelah putusan PP, ditemukan bukti surat tertulis baru.

4. Uji legalitas ke Mahkamah Agung

Sengketa pajak karena masalah keabsahan aturan dapat dilakaukan ke MA dalam bentuk legal
revieuw (uji kesahihan), atau ke MK dalam bentuk judicial review (uji materi). Uji kesahihan
dilakukan atas peraturan di bawah UU dengan UU,sedang uji materi dilakukan atas UU dg UUD. Jika
ada pertentangan antra peraturan di bawah UU dengan UU (misalnya tidak ada perintah buat aturan
lebih lanjut) maka peraturan tersebut dianggap tidak syah (valid) sehingga tdk punya daya mengikat.
Sama halnya, jika dalam uji materi suatu ketentuan dalam UU dianggap bertentangan dg ketentuan
dalam UUD maka ketentuan UU dianggap tidak mengikat. Jika Dirjen Pajak kalah dalam uji sahih
atau uji materi maka semua keputusan TUN yg dibentuk atas peraturan di bahwah UU (yg dilegal
reviu), atau berdasar ketentuan UU (yg di judicial reviu) dianggap tidak sah, tidak pernah, ada,
diabaikan dan tidak punya daya ikat.

Pengurus Kadin mengajukan uji legalitas atas PMK Verifikasi turunan Pasal 14(1)(a) Peraturan
Pemerintah 74/2011. Pasal 13(1)(a) UU KUP nyatakan bahwa untuk dapat terbitkan SKPKB, hanya
dikenal istilah pemeriksaan atau keterangan lain, maka 74/2011 telah dimohonkan uji materi (legal
review) ke Mahkamah Agung (MA). Karena UU KUP tidak menyebut istilah verifikasi sebagai
instrumen penerbit SKPKB, maka Website MA menyebut uji materi dikabulkan. Artinya ketentuan
verifikasi yang tidak dikenal dalam UU KUP tidak sah, batal demi hukum dan dianggap tidak pernah
ada berikut semua produk hukumnya (termasuk SKPKB).
5. Uji materi ke Mahkamah Konstitusi

Sengketa pajak termasuk unsur: (1) persoalan fakta/data objek (peristiwa, kejadian, dan keadaan –
feitelijke aard), dan (2) persoalan hukum (recfhtkundige aard). Namun sengketa itu dapat saja hanya
melibatkan persolan hukum, misalnya aturan pelaksanaan suatu ayat atau pasal dalam UU KUP.
Misalnya PMK turunan dari Pasal 32(3) jo Pasal 32(3a) UU KUP, yg sebut kuasa hukum meliputi
konsultan pajak dan pegawai WP. Seorang pengacara yg menurut ketentuan pengacara dari Kemen
Kumham merasa dapat menjadi kuasa hukum WP untuk mewakilinya dalam pemeriksaan pajak di
KPP Bantul Yogyakarta, pernah ajukan materi Pasal 32(3a) jo Pasal 32(3) terhadap Pasal 27 UUD
1945 (kebebasan mendspatkan pekerjaan bagi setia warga). Putusan MK menyatakan bahwa jika
PMK turunan dari Pasal 32(3a) UU KUP dimaknai sebagai pembatasan kuasa hukum WP maka
makna tersebut bertentangan dengan Pasal 27 UUD 1945, dan tidak bertentangan dg Pasal 27 UUD
1945 jika konsultan pajak dimaknai sebagai contoh pihak lain yg memahami masalah perpajakan.
Dengan demikian, para pengacara hukum dan profesi sejenisnya dapat menjadi kuasa hukum WP.

Anda mungkin juga menyukai