Anda di halaman 1dari 8

1) Berdasarkan artikel di atas, berikan analisis anda bahwa untuk

mencegah diskriminasi terhadap perempuan atas hak-hak dalam


ekonomi, akses terhadap layanan kesehatan, peran serta dalam
memberantas Covid-19, dan hak untuk menghidupkan kegiatan
perekonomian, sudah dijamin dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang
HAM.
Jawab :
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
Berdasarkan artikel tersebut, menurut saya YA dalam mencegah
diskriminasi terhadap perempuan atas hak-hak dalam ekonomi,
akses terhadap layanan kesehatan, peran serta dalam memberantas
Covid-19, dan hak untuk menghidupkan kegiatan perekonomian,
sudah dijamin dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam
Undang-undang ini jelas diatur tentang hak asasi bagi wanita dalam
pasal 45 sampai dengan pasal 51.

Dalam Pasal 50 UU No 39 Tahun 1999 tertuang bahwa Wanita yang


telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan
perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum
agamanya.
Dalam Pasal 50 UU No 39 Tahun 1999 tertuang bahwa Pasal 46 Yang
dimaksud dengan "keterwakilan wanita" adalah pemberian
kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita untuk
melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif,
legislatif, kepartaian, dan pemilihan umum menuju keadilan dan
kesetaraan jender.

2) Mengapa perempuan mendapatkan jaminan dan diatur tersendiri


dalam UU No 39 Tahun 1999!
Jawab:
Perjuangan perempuan dalam mengakhiri sistem yang tidak adil
(ketidakadilan gender) tidaklah merupakan perjuangan perempuan
melawan laki-laki, melainkan perjuangan melawan sistem dan
struktur ketidakadilan masyarakat,berupa ketidakadilan gender.
Untuk mengakhiri sistem yang tidak adil ini ada beberapa agenda
yang perlu dilakukan, yakni :
1. Melawan hegemoni yang merendahkan perempuan, dengan cara
melakukan dekonstruksi idiologi. Melakukan dekonstruksi artinya
mempertanyakan kembali segala sesuatu yang menyangkut nasib
perempuan di mana saja. ... dst.
2. Melawan paradigma developmentalism yang berasumsi bahwa
keterbelakangan kaum perempuan disebabkan karena mereka
tidak berpartisipasi dalam pembangunan

Untuk menjamin penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi


perempuan sebagai perwujudan dari hak asasi manusia, maka hak
asasi perempuan tersebut harus diatur dalam asas-asas hukum,
prinsip-prinsip hukum dan norma-norma hukum. Hal ini terkait
dengan hubungan antara hukum dengan hak asasi manusia (HAM).
Hukum memiliki supremasi (supreme) kedudukan tertinggi untuk
dipatuhi.

Setelah merdeka selama 44 tahun, Indonesia baru mempunyai


undangundang HAM pada tahun 1999. Berbeda dengan Amerika,
Inggris maupun Perancis, yang mempunyai bill of rights sejak awal
kemerdekaannya, dan menjadikan bill of rights mereka sebagai
bagian tidak terpisah dari konstitusi. Konstitusi Indonesia pada
awalnya sangat sedikit sekali mengatur HAM. UU ini mengartikan
HAM sebagai, “...seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia” (Pasal
1 ayat (1)).

Dengan adanya UU HAM, semua peraturan perundang-undangan


harus sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM seperti
diatur dalam UU ini. Diantaranya penghapusan diskriminasi
berdasarkan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status
sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik.
Pelarangan diskriminasi diatur dalam Pasal 3 ayat (3), yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Pasal 1 ayat (3) dan
Pasal 3 ayat (3) menjelaskan bahwa diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin telah dilarang oleh hukum. Aturan hukum lainnya harus
meniadakan diskriminasi dalam setiap aspek kehidupan, sosial,
politik, ekonomi, budaya dan hukum. Pasal-pasalnya dalam UU HAM
ini selalu ditujukan kepada setiap orang, ini berarti semua hal yang
diatur dalam UU HAM ini ditujukan bagi semua orang dari semua
golongan dan jenis kelamin apapun.
3) Berdasarkan artikel di atas, berikan analisis anda mengapa bupati
terpilih Kabupaten Sabu Raijua tidak dapat dilantik walaupun lahir di
Indonesia.
Jawab:
Sabu Raijua tidak dapat dilantik walaupun lahir di Indonesia
dikarenakan diduga telah melepas status kewarganegaraannya.
Orient Riwu Kore disebutkan bahwa telah menjadi warga negara
amerika. Indonesia sendiri tidak mengenal dwi kewarganegaraan.
Sementara itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Pilkada telah diatur syarat pencalonan adalah harus warga
negara Indonesia. Jadi walaupun Orient lahir dan besar di Indonesia
namun Ia telah melepas status WNI nya dengan memiliki green card
atau izin tinggal permanent di amerika Orient juga memilih passport
amerika.

4) Hal-hal apa saja yang menyebabkan seseorang kehilangan


kewarganegaraannya (WNI) sehingga kehilangan hak-hak
kewarganegaraannya termasuk hak untuk menjabat menjadi bupati.
Jawab:
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, pemerintah
Indonesia harus berada dalam posisi yang pasif mengenai pencabutan
dan pemberian status WN karena tak ada kalimat yang menyatakan
secara gamblang bahwa pemerintah mencabut status WNI seseorang.
Dengan demikian, seseorang kehilangan status WNI bukan karena
dicabut oleh pemerintah. Seseorang kehilangan status WNI secara
otomatis akibat melakukan sejumlah hal yang diatur UU Nomor 12
tahun 2006.
Dalam UU No. 12 tahun 2006, ada 9 hal yang membuat seseorang
kehilangan status WNI. Di antaranya, (1) memperoleh
kewarganegaraan lain atas kemauan sendiri. Kemudian, (2) tidak
menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain.
Seseorang juga bisa kehilangan status WNI jika (3) mengajukan
permohonan kepada pemerintah Indonesia dan dikabulkan oleh
Presiden. Permohonan dikirim secara tertulis kepada Menteri Hukum
dan HAM. (WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang
bersangkutan) Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih
dahulu dari Presiden.
Kemudian, seseorang kehilangan status WNI (5) jika secara sukarela
masuk dalam dinas negara asing dan mendapat jabatan tertentu.
Juga kehilangan status WNI apabila (6) menyatakan janji setia
kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.
WNI kehilangan kewarganegaraannya (7) ketika turut serta dalam
pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara
asing. Kehilangan status WNI juga bisa terjadi apabila (8) seseorang
memiliki paspor atau surat sejenis dari negara asing atau surat tanda
kewarganegaraan dari negara lain.
Terakhir, WNI otomatis kehilangan status WNI jika (9) tinggal di luar
NKRI selama 5 tahun berturut-turut bukan dalam rangka dinas
negara dan tidak memberitahu kepada kedutaan besar atau konsulat
jenderal bahwa dirinya tetap ingin menjadi WNI.

5) Apakah dimungkinkan memperoleh kembali kewarganegaraan RI


setelah berpindah kewarganegaraan? Jika bisa berikan penjelasan.
Jawab:
Sangat dimungkinkan memperoleh kembali kewarganegaraan RI
setelah berpindah kewarganegaraan.
Kewarganegaraan Republik Indonesia diperoleh melalui
Pewarganegaraan yang dilakukan dengan mengajukan suatu
permohonan (“Permohonan Pewarganegaraan”) kepada Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia (“Menteri”) melalui Direktorat
Jenderal Administrasi Hukum Umum (“Dirjen AHU”).

Secara umum, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang


Kewarganegaraan Republik Indonesia (“UU Kewarganegaraan”)
mengatur bahwa permohonan Pewarganegaraan Indonesia dapat
diajukan oleh pemohon dengan kriteria sebagai berikut:
a) Orang Asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara
Indonesia (“WNI”);
b) Orang Asing yang telah berjasa kepada Negara Indonesia;
c) Anak yang memiliki kewarganegaraan ganda; dan
d) WNI yang kehilangan status kewarganegaraan Indonesia dan ingin
memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Pengajuan Permohonan Pewarganegaraan untuk setiap kriteria


pemohon memiliki prosedur dan tahapan yang berbeda. Sehubungan
dengan pertanyaan Anda di atas, maka dalam hal ini pengajuan
Permohonan Pewarganegaraan suami Anda masuk dalam kategori
Permohonan Pewarganegaraan Orang Asing yang kawin dengan orang
Indonesia.

Adapun Syarat Permohonan Pewarganegaraan Indonesia, Tata Cara


Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia karena Kawin, dan Prosedur
Pemberian Status Warga Negara karena kawin akan dijelaskan
sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 UU Kewarganegaraan, syarat-syarat
yang harus dipenuhi untuk dapat memperoleh kewarganegaraan
Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Telah berusia 18 tahun atau sudah kawin;


2. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal
di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima)
tahun berturut-turut atau paling singkat 10 tahun tidak
berturut-turut;
3. Sehat jasmani dan rohani;
4. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
5. Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;
6. Jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia,
tidak menjadi berkewarganegaraan ganda;
7. Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan
8. Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.

Menurut UU Nomor 12 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah (PP)


Nomor 2 Tahun 2007, eks WNI ternyata masih bisa memperoleh
kembali kewarganegaraan RI jika memenuhi persyaratan dan
mengikuti sejumlah prosedur.

6) Berikan analisis anda tentang pemilihan kepala daerah dan wakil


kepala daerah dalam rezim Pemilu.
Jawab:
Pemilihan kepala daerah (Pilkada atau Pemilukada) dilakukan secara
langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang
memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket
bersama dengan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang dimaksud mencakup:
 Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi
 Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten
 Wali kota dan wakil wali kota untuk kota

Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat
Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005,
dilaksanakan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang


Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim
pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada.
Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan
undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.

Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai


penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan
adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Pada tahun 2014, DPR-RI kembali mengangkat isu krusial terkait


pemilihan kepala daerah secara langsung. Sidang Paripurna DRI RI
pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan
Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali
dipilih oleh DPRD. Putusan Pemilihan kepala daerah tidak langsung
didukung oleh 226 anggota DPR-RI yang terdiri Fraksi Partai Golkar
berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berjumlah
55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang,
dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.

Keputusan ini telah menyebabkan beberapa pihak kecewa.


Keputusan ini dinilai sebagai langkah mundur di bidang
"pembangunan" demokrasi, sehingga masih dicarikan cara untuk
menggagalkan keputusan itu melalui uji materi ke MK. Bagi sebagian
pihak yang lain, Pemilukada tidak langsung atau langsung dinilai
sama saja. Tetapi satu hal prinsip yang harus digarisbawahi
(walaupun dalam pelaksanaan Pemilukada tidak langsung nanti
ternyata menyenangkan rakyat) adalah: Pertama, Pemilukada tidak
langsung menyebabkan hak pilih rakyat hilang. Kedua, Pemilukada
tidak langsung menyebabkan anggota DPRD mendapat dua hak
sekaligus, yakni hak pilih dan hak legislasi. Padahal jika Pemilukada
secara langsung, tidak menyebabkan hak pilih anggota DPRD
(sebagai warga negara) hak pilihnya tetap ada.

7) Berikan pendapat anda mengapa pada tahun 2019 pelaksanaan


Pemilu Presiden dan Wakil presiden dilaksanakan serentak dengan
Pemilihan legislatif.
Jawab:
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan menyatakan,
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar. Perubahan tersebut memberi arti bahwa
kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan


Pemilihan Umum (Pemilu), baik untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun untuk memilih
presiden dan wakil presiden.
Sebelum tahun 2004, presiden dan wakil presiden masih dipilih MPR
dan belum dipilih langsung oleh rakyat. Saat itu, Pemilu di Indonesia
hanya untuk memilih wakil rakyat yang duduk di kursi DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Sejak Pemilu pertama tahun
1955 hingga Pemilu 1999, rakyat belum pernah memilih langsung
calon Kepala Negara Indonesia.

Seiring lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang


Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pelaksanaan Pemilu
presiden dan wakil presiden pada tahun 2004 mengalami perubahan.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, presiden dan wakil presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 dapat dikatakan hasil tindak
lanjut dari ketentuan Pasal 6A UUD 1945 amandemen ketiga tahun
2001, bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat. Selanjutnya menurut Pasal
22E ayat (1) Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Kemudian
ayat (2) menjelaskan, Pemilihan Umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.

Walau dalam Pemilu 2004 presiden dan wakil presiden telah dipilih
langsung oleh rakyat, namun saat itu pemilihannya dilakukan
terpisah dari Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Pemilu presiden dan
wakil presiden dilakukan beberapa bulan setelah berlangsungnya
Pemilu legislatif. Hal itu terus berlangsung hingga Pemilu tahun
2014.
Pemilu presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD baru
dilaksanakan secara bersamaan atau serentak pada tahun 2019.
Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 tidak lepas dari putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013. Majelis
membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14
ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan pasal
tersebut mengatur pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil
presiden tiga bulan setelah pelaksanaan Pemilihan legislatif (Pileg).

Salah satu pertimbangan MK mengenai Pemilu serentak karena


dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2004 dan 2009, adanya
fakta calon presiden harus bernegosiasi terlebih dahulu dengan partai
politik yang akhirnya mempengaruhi roda pemerintahan.
Pelaksanaan Pemilu presiden dan wakil presiden bersamaan dengan
Pemilu legislatif tentu untuk memperkuat sistem presidensial yang
hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Dengan dilaksanakan
secara serentak, maka potensi terjadinya tawar menawar politik yang
bersifat praktis dan statis dapat dihindarkan.

Pemilu serentak tahun 2019 diatur dalam Pasal 167 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Pasal itu
menerangkan, Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada
hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional. Pemilu presiden
dan wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD dilakukan pada hari dan
waktu yang bersamaan. Selanjutnya Pasal 347 ayat (1) menjelaskan,
pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak.

Anda mungkin juga menyukai