Pajak Daerah di Indonesia: Antara Close List dan Open List System
Alokasi keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah merupakan konsekuensi logis
dari desentralisasi sistem pemerintahan yang dipilih oleh pemerintah. Di mana dalam
desentralisasi pemerintahan menghendaki adanya pemberian otonomi yang luas kepada
pemerintahan di daerah atau lokal untuk dapat mengelola sendiri sebagian
urusannya.Penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otomatis akan diiringi dengan
penyerahan sumber keuangan daerah baik berupa pajak daerah dan retribusi daerah maupun
berupa dana perimbangan untuk menjalankan urusan pemerintahan daerah yang menjadi
kewenangannya. Oleh karenanya daerah harus mempunyai sumber keuangan agar mampu
memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada rakyat di daerahnya.Sumber-sumber
pendanaan pelaksanaan pemerintahan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah, dana
perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah.
Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah,
hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah. Tujuannya adalah untuk memberikan keleluasaan kepada
daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan
asas desentralisasi.Dalam skema pengelolaan pajak daerah di Indonesia, pengaturan induknya
ada di tingkat undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Ini artinya, penetapan pajak berdasarkan undang-
undang diselaraskan dengan konstitusi negara yaitu UUD 1945. Hal ini bermakna bahwa
timbulnya pajak-pajak dan/atau pungutan lain hanya boleh ditetapkan berdasarkan undang-
undang saja, tidak boleh dengan peraturan lain.
a. Syarat yuridis, syarat ini mengharuskan undang-undang pajak yang normatif harus
memberikan kepastian hukum dan keadilan di bawah prinsip equality dan equity.
b. Syarat ekonomis, pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada penguasa
tanpa imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk. Pajak dijadikan sebagai
instrumen ekonomi negara yang harus dikelola secara hati-hati oleh pemerintah.
c. Syarat finansial, pajak dipungut untuk mengisi anggaran keuangan negara.
d. Syarat sosiologis, pajak adalah gejala sosial, hanya ada dalam masyarakat. Untuk itu
pajak harus dipungut sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta memperhatikan
keadaan dan situasi masyarakat.
Sepanjang sejarah berlakunya pajak-pajak daerah di Indonesia, telah pernah
dipraktikkan open list system maupun close list system secara bergantian.
Pemerintah Indonesia tampaknya menyadari suatu paradigma besar dibalik euforia pemberian
otonomi luas kepada daerah. Kesadaran ini adalah kepentingan nasional yang lebih besar
harus lebih diutamakan daripada semangat kedaerahan yang cenderung partisan. Serta pada
kenyataannya daerah-daerah tersebut eksis dan menyatu membentuk wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini akan berarti bahwa apapun keadaan daerah-
daerah itu akan merepresentasikan wajah Indonesia.
Kesadaran inilah yang menjadi spirit dari pemberlakuan UU PDRD, Undang-undang No. 28
Tahun 2009. UU PDRD dirancang sebagai payung hukum bagi pelaksanaan pajak daerah di
Indonesia. Undang-undang ini membatasi jenis-jenis pajak apa saja yang boleh berlaku di
daerah otonom.
Salah satu dari hambatan investasi itu adalah kebijakan perpajakan yang berlaku. Penilaian
dari investor luar mengenai faktor-faktor penentu kemudahan berusaha sekarang ini bukan
lagi dilakukan dengan cara membandingkan negara per negara, tetapi sudah masuk sampai ke
kota-kotanya. Oleh karena itu, perbaikan iklim investasi di tingkat nasional tidak akan berarti
apa-apa tanpa membenahi hambatan-hambatan yang ada di daerah.
Laporan Doing Business dari Bank Dunia (World Bank) mengenai profil ekonomi Indonesia
tahun 2019 dan 2020 seolah mengonfirmasi argumentasi di atas. Disebutkan bahwa peringkat
daya siang Indonesia dalam kemudahan bisnis tidak beranjak dari posisi 73 dari 190 negara.
Tetapi, perolehan skornya justru meningkat tipis dari 67,9 ke 69,6. Menariknya, aspek
perpajakannya menunjukkan perbaikan peringkat, naik dari 112 menjadi 81 dari 190 negara.
Tentu capaian ini tak terlepas dari upaya pemerintah dan segenap stakeholder yang telah
bekerja keras memperbaiki regulasi dan sistem perpajakan, baik di pusat maupun daerah.
Di mana kebijakan pajak daerah yang diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia haruslah
memperhatikan keseragaman, keselarasan, pembatasan, dan standardisasi baik dalam hal
penentuan objek, subjek, wajib pajak, tarif dan dasar pengenaan pajaknya, serta dalam hal
teknis pemungutan, pembayaran, pengawasan, pemberian sanksi, dan
pemanfaatan/alokasinya.
Sumber: https://yoursay.suara.com/news/2020/11/28/191431/pajak-daerah-di-indonesia-
antara-close-list-dan-open-list-system
1. Bagaimana keterkaitan antara otonomi daerah dengan desentralisasi fiskal dan
pemungutan pajak daerah?
Jawaban :
Jawaban :
Close list system. Artinya, pemerintah daerah dilarang memungut pajak selain
jenis pajak yang telah disebutkan dan ditentukan dalam Pasal 2 ayat (3) UU 28/2009.
Sedangkan Hal yang melatarbelakangi perubahan kebijakan pemerintah mengenai
pergantian dari open list system menjadi close list system adalah karena pemerintah
menginginkan kepastian hukum yang lebih baik untuk pemerintah daerah karena
ketundukannya kepada pemerintah pusat sebab itu close list system dilaksanakan.
3. Apa yang dimaksud dengan open list system dan close list system?
Jawaban :
Opened list system, yaitu pemberian diskresi kewenangan daerah dapat
memungut jenis pajak selain yang tercantum di dalam Undang-undang sesuai dengan
potensi dari masing-masing daerah. Close list system. Artinya, pemerintah daerah
dilarang memungut pajak selain jenis pajak yang telah disebutkan dan ditentukan dalam
Pasal 2 ayat (3) UU 28/2009.