Petunjuk
1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada
laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal
ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan
aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun,
serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas
Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi
akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
MEDAN, 27 JUNI 2022
Yang Membuat Pernyataan
1. Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959, maka kondisi hukum di Indonesia sangat
jamak/plural, yang mana pluralisme hukum itu tidak jarang dapat berujung pada konflik. Namun
pluralisme hukum masih atau tetap dibutuhkan dan negara justru tidak hendak melakukan
unifikasi terhadap bidang- bidang hukum tertentu.
Pertanyaan :
Mengapa masih ada atau tetap dibutuhkannya pluralisme dalam sistem hukum nasional
Indonesia?. Berikan argumentasi anda dan anda dapat menggunakan hukum waris sebagai contoh
objek kajian Jawaban:
Pluralisme hukum merupakan situasi di mana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada
dalam suatu kehidupan sosial. Keberadaan dan keberlakuan hukum yang plural di Indonesia
sendiri tidak terlepas dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Sebelum masa penjajahan kolonial
Belanda, nusantara yang saat itu terdiri dari banyak kerajaan dengan beragam suku bangsa,
bahasa, serta aliran kepercayaan, telah memiliki sistem hukumnya sendiri-sendiri. Sistem hukum
tersebut dikenal dengan hukum adat, yang umumnya berupa hukum tidak tertulis. Sementara itu,
di beberapa wilayah yang mayoritas penduduknya menganut Islam saat itu, pemberlakuan
ketentuan hukum adat banyak diwarnai oleh ketentuan hukum Islam. Dengan demikian, sebelum
Belanda menjajah Indonesia telah berlaku dua sistem hukum, yaitu hukum adat dan hukum
Islam. Adapun hukum negara baik pidana maupun perdata yang berlaku di Indonesia, berasal dari
warisan pemerintahan kolonial Belanda yang berinduk pada Wetboek van Strafrecht (WvS) atau
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Contohnya adalah keberlakuan hukum waris di Indonesia yang pengaturannya bersifat plural, di
mana tiap-tiap golongan penduduk tunduk kepada hukumnya masing-masing. Hukum waris
bersumber pada hukum waris perdata yang diatur dalam KUHPerdata (BW), hukum waris Islam
yang diatur dalam hukum Islam, dan hukum waris adat yang diatur dalam Hukum Adat. Sejarah
hukum Indonesia menunjukkan bahwa eksistensi ketiga sistem hukum waris tersebut berlaku
secara bersama-sama dan telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat jauh sebelum
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pasca Kemerdekaan, kondisi yang pluralistik dari hukum
waris di Indonesia tersebut masih terus berlangsung. Berdasarkan Pasal II aturan peralihan UUD
NRI 1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan dinyatakan masih berlaku
sebelum diadakan peraturan baru menurut UUD, maka ketiga hukum waris tersebut kemudian
menjadi bagian hukum nasional.
Dalam sejarah perkembangannya, dapat diketahui bahwa sistem hukum waris adat lebih dahulu
ada dibandingkan dengan sistem hukum waris yang lain. Hal ini dikarenakan hukum adat,
termasuk hukum warisnya, merupakan hukum asli bangsa Indonesia, berasal dari nenek
moyangnya dan telah melembaga serta terinternalisasi secara turun temurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Hukum waris yang diatur dalam hukum adat sendiri berbeda-beda antar
daerah, di mana terdapat adat yang menganut sistem matrilineal atau berdasarkan garis keturunan
ibu, dan sistem patrilineal atau berdasarkan garis keturunan bapak. Ketika Agama Islam masuk
ke Indonesia, di beberapa daerah terjadi kontak erat antara Hukum Adat dengan Hukum Islam, di
mana hukum keduanya saling berdampingan. Hukum adat tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Bagi penduduk yang beragama Islam, berlaku hukum waris
atau faraidh yang bersumber pada Al Qur’an Surat An Nisa’ ayat 11, 12, dan 176. Dalam hukum
waris Islam, diterangkan secara jelas siapa yang berhak mendapat waris dan berapa ukurannya,
dikarenakan harta dan pembagiannya merupakan sumber ketamakan bagi manusia. Adapun
dalam KUH Perdata, pengaturan mengenai hukum waris tersebut dapat dijumpai dalam pasal 830
sampai dengan pasal 1130. Dalam KUH Perdata, anak laki- laki berbanding sama dengan anak
perempuan. Adapun tertib keluarga yang menjadi ahli waris dalam KUHPerdata, yaitu Isteri atau
suami yang ditinggalkan serta penggolongan berdasarkan hubungan darah.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pasca kemerdekaan Indonesia hingga saat ini,
pluralisme dalam hukum masih berlaku, dan merupakan suatu realitas yang tidak dapat dihindari.
Keberlakuan pluralisme hukum masih tetap diperlukan dalam sistem hukum nasional di
Indonesia, disebabkan kondisi masyarakat Indonesia sendiri yang plural, terdiri dari berbagai suku
bangsa, bahasa dan agama. Pluralisme hukum memberikan penjelasan terhadap kenyataan adanya
tertib sosial yang bukan merupakan bagian dari keteraturan hukum negara. Pandangan umum
menyatakan bahwa satu-satunya institusi yang berperan menciptakan keteraturan sosial adalah
negara melalui hukum yang dibentuk dan ditetapkan oleh negara. Namun pada realitanya, banyak
terdapat ‘kekuatan lain’ yang tidak berasal dari negara, seperti hukum adat, hukum agama,
kebiasaan-kebiasaan, perjanjian- perjanjian perdagangan lintas bangsa dan sebagainya.
Kekuatan-kekuatan tersebut sama-sama memiliki kemampuan mengatur tindakan-tindakan
masyarakat yang terikat di dalamnya, bahkan terkadang anggota atau komunitas dalam
masyarakat lebih memilih untuk mentaati aturan-aturan yang dibentuk oleh kelompoknya
dibanding aturan hukum negara. Oleh karena itu, para praktisi hukum, pembentuk hukum negara
(pemerintah dan legislator) serta masyarakat secara luas harus memahami bahwa di samping
hukum negara, terdapat sistem-sistem hukum lain yang terlebih dahulu ada di masyarakat dan
sistem hukum tersebut berinteraksi dengan hukum negara serta tidak dapat dicegah
keberlakuannya.
Selanjutnya dalam ayat Pasal 7 ayat (2) dijelaskan bahwa kekuatan hukum setiap jenis
Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya. Pemahaman tentang hierarki erat
kaitannya dengan jenis peraturan perundang-undangan yang ditentukan, siapa yang
berwenang membentuknya, kewenangan apa yang diemban dalam muatan materi dan
sekaligus memunculkan konsep fungsi dari peraturan-perundang-undangan tersebut. Jenis,
kewenangan, dan fungsi peraturan perundang-undangan akan menentukan derajat atau
tingkatannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan
pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila setelah berlakunya
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terdapat aturan atau pasal-pasal yang
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka peraturan yang lebih rendah itu dapat
dilakukan uji materi (judicial review) untuk dibatalkan seluruhnya atau dibatalkan sebagian.
Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi digunakan sebagai batu
uji terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Dengan demikian, dalam proses penyusunan suatu peraturan perundang-undangan, harus
berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi agar tidak terjadi
pertentangan atau perbedaan yang dapat menimbulkan ketidakpastian dalam penerapannya.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa, penegasan hierarki dimaksudkan agar tidak
terjadi tumpang tindih antara peraturan perundang-undangan yang dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum dalam keberlakuannya
b. Pasal 5 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Presiden menetapkan peraturan
pemerintah (PP) untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Ketentuan
tersebut menegaskan bahwa PP hanya dapat ditetapkan oleh Presiden jika ada UU induknya.
Kewenangan Presiden untuk menetapkan PP merupakan salah satu wujud dari fungsi
Presiden sebagai kepala pemerintahan, yaitu kepala kekuasaan eksekutif dalam negara,
sehingga dalam rangka menjalankan UU, Presiden mempunyai kekuasaan untuk membentuk
PP.
Dalam pembentukan PP harus didasarkan pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik, salah satunya asas asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi
muatan, yang diatur dalam Pasal 5 huruf c UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun
2019 (UU P3). Dalam penjelasan pasalnya, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “asas
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan
Peraturan Perundang- undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Demikian halnya dengan Peraturan Pemerintah, yang dalam hierarkinya merupakan
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, di mana materi muatannya diatur
dalam Pasal 12, yang menjelaskan bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Dengan demikian, materi
muatan Peraturan Pemerintah harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang.
Adapun mengenai ketentuan sanksi pidana atau pemaksa, tidak dapat dicantumkan dalam
materi muatan Peraturan Pemerintah. Apalagi jika Undang-Undang yang dijalankan oleh
Peraturan Pemerintah tersebut tidak mengatur ketentuan mengenai sanksi pidana ataupun
pemaksa. Hal ini telah diatur secara tegas dalam Pasal 15 Ayat (1) UU P3, yang menyatakan
bahwa materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang
dan Peraturan Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota Badut meminjam uang dari
Palu sejumlah Rp. 200 juta sejak Maret 2019. Badut berjanji paling lama 1 bulan akan
mengembalikannya, tetapi setelah ditagih terus menerus dan sampai Juni 2020 pinjaman
tersebut belum dikembalikan. Palu kesal dan berniat membunuh Badut. Rencana tersebut
disampaikannya kepada teman dekatnya yaitu Paku yang adalah seorang pengangguran. Palu
meminta Paku untuk membunuh Badut dengan menjanjikan imbalan Rp. 20 juta dan Paku
bersedia menerima tawaran Palu. Paku menceritakan rencana Palu kepada temannya yakni
Skrup dan memintanya untuk mencari informasi tentang rutinitas Badut dengan memberikan
Rp. 1 juta kepadanya. Berkat keterangan Skrup, Paku dapat menyusun rencananya. Lalu
Paku menunggu Badut pada tempat yang biasa dilewatinya. Ketika Badut tiba di tempat
tersebut, Paku menyerang Badut sampai tidak sadar diri dan meninggal dunia.
Pertanyaan:
c. Tentukan status masing – masing pelaku dalam contoh kasus di atas dan jawaban anda harus
disertai dengan ketentuan hukum yang mengaturnya.
d. Kapan seseorang dapat dikatakan memberikan bantuan?, dengan memperhatikan kasus
tersebut, tentukan siapa yang dikualifikasikan sebagai yang memberi bantuan?. Jawaban anda
harus menyebutkan dasar hukumnya.
Jawaban:
a. Dari contoh kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa kasus tersebut merupakan tindak pidana
pembunuhan berencana. Pembunuhan berencana adalah kejahatan merampas nyawa manusia
lain, atau membunuh, setelah dilakukan perencanaan mengenai waktu atau metode, dengan
tujuan memastikan keberhasilan pembunuhan.
Dasar hukumnya yaitu : Pasal 340 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang
berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Pada contoh kasus diatas, terlibat lebih dari satu orang yang berarti terdapat orang lain yang
turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana tersebut diluar seorang pelaku. Dimana peserta
(pelaku lainnya) memegang bagian atau peranan atau andil dalam bentuk suatu perbuatan.
Masing- masing pelaku melakukan perbuatan yang apabila digabungkan merupakan suatu
kesatuan sebagai suatu perbuatan yang memenuhi perumusan tindak pidana dalam hal ini
tindak pidana pembunuhan berencana.
Untuk melihat hubungan antara pelaku-pelaku tersebut (penyertaan dan/atau pembantuan),
ada baiknya kita melihat dalam rumusan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP yaitu:
Pasal 55, berbunyi:
1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan;
2) Mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan
memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan.
2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang
diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya
Pasal 56, menyebutkan:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat kita rinci bahwa terdapat 2 (dua)
kelompok orang-orang yang melakukan tindak pidana yaitu:
1. Kelompok berdasarkan Pasal 55 KUHP ayat (1), sebagai berikut:
- Orang yang melakukan (pleger) yaitu orang yang pada dasarnya karena perbuatannya
melahirkan tindak pidana, tanpa adanya perbuatan dari pembuat pelaksana tindak
pidana itu tidak akan terwujud (pelaku material);
- Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger), yaitu orang yang menyuruh orang
lain melakukan suatu tindak pidana. Dalam hukum pidana, biasanya disebtu pelaku
tidak langsung;
- Orang yang turut serta melakukan (mede pleger), yaitu terdapat seorang pelaku dan
seorang atau lebih pelaku yang turut melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh
pelakunya;
- Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dan
sebagainya dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan itu (uitlokker).
2. Orang yang disebut sebagai pembantu kejahatan, yaitu:
- Pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan; dan
- Pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat saya simpulkan masing-masing terhadap status
dari pelaku:
a. Paku
Status: Pelaku Materil (Pelaksana Kejahatan)
Unsur-unsur yang terpenuhi: perbuatan dilakukan dengan sengaja, terencana,
menghilangkan nyawa,
b. Palu
Status: Pelaku Utama (Penggerak/Penganjur)
Unsur-unsur yang terpenuhi: dengan sengaja menjanjikan sesuatu kepada seseorang
untuk melakukan sesuatu perbuatan tindak pidana yang dilarang yaitu menghilangkan
nyawa orang lain (pembunuhan)
c. Skrup
Status: Pembantu Kejahatan
Unsur-unsur yang terpenuhi: Skrup sudah mendapatkan informasi dan tujuan atas
rencana tindak pidana tersebut, dan kemudian memberikan sarana atau keterangan
kepada pelaku material (ada unsur kesengajaan).
b. Mengingat domisili penggugat dan tergugat dari berbagai daerah, maka pengadilan negeri
manakah yang akan menjadi kompetensi relatif untuk perkara Tuan Anggur? dan berikan alasan
yang menjadi dasar anda menentukan kompetensi relatif tersebut..!
Kompetensi relatif merupakan kewenangan pengadilan untuk menangani kasus/perkara yang
berkaitan dengan tempat/lokasi/domisili pihak-pihak yang berperkara atau barang yang
menjadi objek sengketa. Dengan kata lain, kompetensi relatif adalah kewenangan pengadilan
untuk menangani perkara sesuai dengan wilayah hukum (yurisdiksi teritorial) yang
dimilikinya.
Berdasarkan pasal 118 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) terdapat asas-asas yang berkaitan
dengan kompetensi relatif tersebut, yaitu:
1. Gugatan diajukan di Pengadilan dimana Tergugat berdomisili (Actor sequitur forum rei);
2. Gugatan diajukan di mana benda tetap yang menjadi objek sengketa itu berada (Forum rei
sitae);
3. Gugatan diajukan di salah satu pengadilan tempat tinggal Tergugat jika Tergugat lebih dari
satu orang;
4. Gugatan diajukan di salah satu pengadilan yang dipilih/disepakati;
5. Eksepsi pada kompetensi relatif diajukan pada sidang pertama, atau setidak-tidaknya
sebelum menggunakan eksepsi lain. Jika waktu eksepsi tersebut telah lewat, maka hakim
tidak perlu memperhatikan eksepsi tersebut;
Melihat dari asas-asas diatas terdapat beberapa kemungkinan langkah yang diambil Tuan
Anggur untuk mengajukan gugatan perdata tersebut.
- Tuan Anggur dapat mengajukan gugatan sesuai dengan domisili tergugat yaitu Pengadilan
Negeri Medan, Pengadilan Negeri Riau dan Pengadilan Negeri Bukittinggi;
- Apabila para pihak sepakat untuk menunjuk salah satu pengadilan negeri untuk
menyelesaikan sengketa, maka kesepakatan tersebut dituangkan dalam sebuah akta otentik
(perjanjian)
Namun selain hal tersebut diatas, berdasarkan pasal 118 ayat (3) HIR, Tuan Anggur juga
berhak mengajukan gugatan sesuai domisilinya (Pengadilan Negeri Padang) sesuai dengan
syarat-syarat yang harus dipenuhi. Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah:
a. Apabila tempat tinggal/kediaman Tergugat tidak diketahui;
b. Penerapan ketentuan ini tidak boleh dimanipulasi Penggugat, artinya harus
didukung dengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang.
Artinya apabila Tuan Anggur bisa membuktikan bahwa tempat tinggal Tergugat
tidak diketahui maka Tuan Anggur dapat mengajukan gugatan sesuai domisili
Penggugat.
Jika melihat dalam contoh kasus tersebut diatas, maka saya berpendapat bahwa:
- Domisili para Tergugat diketahui tetapi berpencar yaitu Medan, Pekanbaru dan
Bukittinggi
- Para pihak bebas untuk memilih tempat penyelesaian sengketa, tetapi belum ada
kesepakatan untuk itu.
sehingga merujuk pada asas actor sequitur forum rei yang ada pada Pasal 118 ayat (1)
HIR dimana yang menentukan bahwa yang berwenang mengadili suatu perkara adalah
Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat, maka Tuan Anggur dapat mengajukan
gugatan perkara perdatanya di Pengadilan Negeri Bukittinggi yang notabene domisili
dari Tergugat Tuan Durian. Disamping itu pula Kota Bukittinggi dan Padang bagian
dari Provinsi Sumatera Barat, sehingga dilihat dari jarak, bisa meringankan Tuan
Anggur dalam melaksanakan proses hukumnya.
Soal:
1. Dalam penyusunan norma hukum, secara umum dikenal dua metode yakni kodifikasi dan
modifikasi. Secara sederhana, kodifikasi dapat dimaknai sebagai penyusunan dan penetapan
peraturan-peraturan hukum dalam kitab undang-undang secara sistematis mengenai bidang
hukum yang agak luas. Sedangkan modifikasi adalah penyusunan norma hukum yang dapat
merangsang pembangunan dan perkembangan kehidupan di dalam negara. T. Koopmans
menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dewasa ini tidak lagi berusaha ke arah
kodifikasi, melainkan modifikasi. Pertanyaan:
1. Coba analisis pernyataan T Koopmans tersebut dan menghubungkannya dalam konteks
Indonesia, mengapa pembentukan undang-undang dewasa ini lebih mengarah kepada
modifikasi, bukan kodifikasi!
2. Dalam beberapa waktu terakhir, di Indonesia sedang ramai membicarakan omnibus law
sebagai salah satu metode dalam pembentukan norma hukum. Apakah metode omnibus law
tersebut sama atau tidak dengan metode kodifikasi. Berikan analisis Saudara!
Jawaban:
1.1
Modifikasi adalah pembentukan norma hukum oleh pihak penguasa, yang akan
menghasilkan norma-norma baru dengan tujuan untuk mengubah kondisi yang ada dalam
masyarakat. Modifikasi yang cenderung visioner dan dinamis akan mengarahkan
masyarakat ke arah perkembangan yang diinginkan. Van der Vlies menyatakan bahwa
undang-undang kini tidak lagi terutama berfungsi memberi bentuk kristalisasi kepada nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat, melainkan membentuk bagi tindakan politik yang
menentukan arah perkembangan nilai-nilai tertentu.Undang-undang bertujuan untuk
mengubah pendapat hukum yang berlaku, dan peraturan Perundangundangan yang
mengubah hubungan-hubungan sosial. Dengan adanya modifikasi, diharapkan hukum
tidaklah ketinggalan karena selalu berada di belakang masyarakat layaknya metode
kodifikasi serta untuk menghadapi perubahan dan perkembangan kebutuhan masyarakat
yang semakin cepat
1.2
Metode Omnibus tidaklah sama dengan Metode kodifikasi yang biasa digunakan di
Indonesia, metode ini merupakan metode modifikasi. Diharapkan modifikasi penyusunan
RUU dengan metode ini, jangan sampai merusak sistem hukum dan perundang-undangan
indonesia. Jadi, penyusunannya tetap harus mengacu teknis pembentukan yang diatur dalam
UU 12 Tahun 2011. metode omnibus yang saat ini digunakan dalam RUU Cipta Kerja
bukan merupakan contoh awal yang baik untuk dijadikan pedoman dalam pembentukan
RUU omnibus yang lainnya. seharusnya pemerintah lebih fokus melanjutkan agenda
reformasi regulasi di periode pertama, seperti yang disebutkan oleh Jokowi dalam sesi debat
Calon Presiden 2019-2024 dulu, yang akan membentuk Pusat Legislasi Nasional. Jadi,
solusi hiperregulasi dan disharmoni/tumpang-tindih regulasi bukan Omnibus tetapi
ketiadaan lembaga yang khusus menangani permasalahan peraturan perundang-Undangan di
Indonesia.
Soal:2.
Pertanyaan:
Peraturan menteri berada diatas peraturan daerah. Dasar pemberlakuan peraturan mengenai
pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia ialah UU Nomor 12 Tahun 2011
PPP. Pada Pasal 7 ayat (1) disebutkan sebagai berikut:
Pasal 8
Rumusan pasal 8 ayat (1) dan (2) tersebut menyebutkan bahwa salah satu jenis peraturan
perundang-undangan lain selain yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) tetap diakui dan
mengikat dengan syarat diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Salah satunya ialah peraturan yang ditetapkan
menteri.
2.b
Hal yang kemudian dikombinasikan dengan Pasal 4 ayat (1) serta Pasal 17 ayat (1)
UUD 1945 sehingga dijadikan suatu kesimpulan bahwa Presiden yang merupakan kepala
negara dan kepala pemerintahan serta dibantu oleh menteri dalam menjalankan tugasnya di
pemerintahan pusat merupakan “induk” dari setiap provinsi, kabupaten, dan kota serta
provinsi, kabupaten, dan kota harus senantiasa berada dalam kesatuan tak terpisahkan
dengan pelaksana pemerintahan pusat yang berada dalam komando seorang Presiden, serta
menteri yang merupakan pembantu Presiden di tingkat pusat. Salah satu bentuk kesatuan
komando tersebut diukur melalui produk hukum yang harmonis, termasuk antara Permen
dengan Perda. Apabila terdapat Perda yang terindikasi tidak berkesesuaian dengan Permen,
maka dapat mengajukan untuk dilakukannya judicial review. Judicial review merupakan
proses pengujian yang dilakukan oleh suatu lembaga yudikatif tentang konsistensi UU
terhadap UUD 1945 atau peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Di Indonesia, pengujian Perda terhadap Permen merupakan
kewenangan Mahkamah Agung menurut ketentuan Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung. Bila dalam pengujian tersebut terbukti bahwa Perda
bertentangan dengan Permen, maka konsekuensi bagi Perda tersebut dapat dinyatakan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat serta putusan tersebut wajib dimuat dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
2.c
Bisa,
Peraturan Menteri yang berlaku di Indonesia ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan
kewenangan dan bidangnya, serta umumnya merupakan upaya penderivasian dari suatu UU
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) UU PPP, maka dapat diklasifikasikan bahwa
Permen merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia.
Contohnya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang
Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar serta Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam rangka Pencegahan Penyebaran
Covid-19.
Soal:
3. Pasal 15 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undnagan mengatur bahwa materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat
dalam UndangUndang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Namun, dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor
1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk
Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka
Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
Sistem Keuangan diatur mengenai ketentuan sanksi pidana.
Pertanyaan:
a. Apakah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dapat memiliki materi
muatan ketentuan pidana?
b. Berikan argumentasi dan ketentuan hukum yang bisa dijadikan sebagai dasar jawaban
Saudara!
Jawaban:
3.a
Marida Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., dalam bukunya Ilmu Perundang-undangan –
Proses dan Teknik Pembentukannya (hal. 80) juga menjelaskan bahwa PERPPU
mempunyai hierarkhi, fungsi, dan materi muatan yang sama dengan UU, hanya di dalam
pembentukannya berbeda denganUU.
Ini artinya, ketentuan pidana yang merupakan materi muatan dalam UU juga dapat
dimuat dalamPERPPU
3.b
Sebagai contoh PERPPU yang di dalamnya memuat sanksi pidana dapat kita lihat dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (“PERPPU 1/2002”). PERPPU 1/2002 itu
sendiri kemudian ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2003. Ketentuan Pidana dalam PERPPU 1/2002 diatur khusus dalam Bab III yang
salah satu pasalnya (Pasal 6 PERPPU 1/2002) berbunyi:
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan
harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-
obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Soal:
4. Kasus:
Bupati dan DPRD Kabupaten Samosir sedang menyusun Rancangan Peraturan Daerah
(Ranperda) tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Ranperda ini diharapkan dapat
mengubah sekaligus menyempurnakan beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Samosir Nomor 5 Tahun 2005 tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan.Penyusunan perda yang baru ini bertujuan agar setiap perusahaan dapat
menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan
budaya mayarakat Samosir sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan kata
lain, setiap perusahaan yang ada di Kabupaten Samosir harus mampu memberikan
kemanfaatan dan kontribusi, baik di bidang sosial, ekonomi, pendidikan dan Hal ini tidak
terlepas dari pesatnya perkembangan Perusahaan di Samosir, namun belum memberi
kontribusi positif secara maksimal, periodik, berkelanjutan dan berkeadilan terhadap
lingkungan sosial di wilayah perusahaan tersebut melakukan kegiatan usaha.Walaupun
sebelumnya sudah ada ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Samosir Nomor 5 Tahun
2005 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, namun keberadaan Perda tersebut
dirasakan belum cukup ampuh mengatur tentang penegakan hukum tanggung jawab sosial
perusahaan di Kabupaten Samosir. Selain ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 yang
memberikan kewenangan kepada pemerintahan daerah untuk membentuk Peraturan Daerah,
beberapa peraturan perundangundangan yang dijadikan sebagai acuan dalam pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan tersebut adalah:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2003 Tentang Badan Usaha
Milik Negara;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun
2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal;
Pertanyaan:
Jawaban:
Bupati dan DPRD Kabupaten Samosir sedang menyusun Rancangan Peraturan Daerah
(Ranperda) tentangTanggung Jawab Sosial Perusahaan. Ranperda ini diharapkan dapat
mengubah sekaligus menyempurnakan beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Samosir Nomor 5 Tahun 2005 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Penyusunan perda yang baru ini bertujuan agar setiap perusahaan dapat menciptakan hubungan
yang serasi, seimbang, sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya mayarakat Samosir
sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan kata lain, setiap perusahaan yang ada
di Kabupaten Samosir harus mampu memberikan kemanfaatan dan kontribusi, baik di bidang
sosial, ekonomi, pendidikan dan Hal ini tidak terlepas dari pesatnya perkembangan Perusahaan
di Samosir, namun belum memberi kontribusi positif secara maksimal, periodik, berkelanjutan
dan berkeadilan terhadap lingkungan sosial di wilayah perusahaan tersebut melakukan kegiatan
usaha.
Walaupun sebelumnya sudah ada ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Samosir Nomor 5
Tahun 2005 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, namun keberadaan Perda tersebut
dirasakan belum cukup ampuh mengatur tentang penegakan hukum tanggung jawab sosial
perusahaan di Kabupaten Samosir. Selain ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 yang
memberikan kewenangan kepada pemerintahan daerah untuk membentuk Peraturan Daerah,
beberapa peraturan perundangundangan yang dijadikan sebagai acuan dalam pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan tersebut adalah:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik
Negara;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal;
4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
Pertanyaan:
Jawaban: