Anda di halaman 1dari 4

Nama : Anandhitya Wardhani

NIM : 021164543
Prodi : 311 / Ilmu Hukum
UPBJJ : 21 / Jakarta

1. Konsep Keadilan dalam filsafat hukum


a. Keadilan menurut Plato
Plato berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa. Sumber ketidak adilan
adalah adanya perubahan dalam masyarakat.
Untuk mewujudkan keadilan masyarakat harus dikembalikan pada struktur aslinya, domba menjadi
domba, penggembala menjadi penggembala. Tugas ini adalah tugas negara untuk menghentikan
peruubahan. Dengan demikian keadilan buka nmengenai hubungan antara individu melainkan hubungan
individu dan negara. Bagaimana individu melayani negara.
Keadilan juga dipahami secara metafisis keberadaanya sebagai kualitas atau fungsi makhluk super
manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia. Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan
digeser ke dunia lain, di luar pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan tunduk
pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan Tugan yang tidak dapat diduga.
Dengan demikian Plato mengungkapkan bahwa yang memimpin negara seharusnya manusia super, yaitu the
king of philosopher.

b. Keadilan menurut Aristoteles


Plato berusaha untuk mendapatkan konsep mengenai keadilan dari ilham, sementara Aristoteles
mengembangkannya dari Analisa ilmiah atas prinsip-prinsip rasional dengan latar belakang model-model
masyarakat politik dan undang-undang yang telah ada.
Doktrin-doktrin Aristoteles tidak hanya meletakkan dasar-dasar bagi teori hukum, tetai juga kepada
filsafat barat pada umumnya. Kontribusi Aristoteles bagi filsafat hukum adalah formulasinya terhadap
masalah keadilan, yang memberdakan antara: keadilan “distributive” dengan keadilan “korektif” atau
“remedial” yang merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan. Keadilan
distributive mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepad setiap orang sesuai dengan kedudukannya
dalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan diahadapan hukum (equality before
the law).
Keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika sesuatu pelanggaran dilanggar atau
kealahan dilakukan, maka keadilan korektif memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang
dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si
pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan mengakibatkan terganggungnya “kesetaraan” yang sudah mapan atau
telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini
nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributive merupakan
bidangnya pemerintah.
Aristoteles dalam mengartikakn keadilan sangat dipengaruhi oleh unsut kepemilikan benda tertentu.
Keadilan ideal dalam pandangan Aristoteles adalah ketika semua unsur masyarakat mendapat bagian yang
sama dari semua benda yang ada di alam. Manusia oleh Aristoteles dipandang sejajar dan mempunyai hak
yang sama atas kepemilikan suatu barang.

c. Keadilan menurut John Rawls


John Rawls menyatakan bahwa keadilan pada dasarnya merupakan prinsip dari kebijakan rasional yang
diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari kesejahteraan seluruh kelompok dalam masyarakat. Untuk
mencapai keadilan tersebut, maka rasional jika seseorang memaksakan pemenuhan keinginannya sesuai
dengan prinsip kegunaan, karena dilakukan untuk memperbesar keuntungan bersih dari kepuasan yang
diperoleh oleh anggota masyarakatnya.
Terdapat dua tujuan dari teori keadilan menurut John Rawls, yaitu:
• Teori ini mau mengartikulasikan sederet prinsip-prinsip umum keadilan yang mendasari dan
menerangkan berbagai keputusan moral yang sungguh-sungguh dipertimbangkan dalam keadaan-
keadaan khusus kita. Yang dia maksudkan dengan “keputusan moral” adalah sederet evaluasi moral
yang telah kita buat dan sekiranya menyebabkan tindakan sosial kita. Keputusan moral yang
sungguh dipertimbangkan menunjuk pada evaluasi moral yang kita buat secara refleksif.
• Rawls mau mengembangkan suatu teori keadilan sosial yang lebih unggu atas teori utilitarianisme.
Rawls memaksudkannya “rata-rata”. Maksudnya adalah bahwa institusi sosial dikatakan adil jika
diabdiakan untuk memaksimalisasi keuntungan dan kegunaan. Sedang utilitarianisme rata-rata
memuat pandagan bahwa institusi sosisal dikatakan adil jika hanya diandikan untuk memaksimilasi
keuntungan rata-rata perkapita. Untuk kedua versi utilitarianisme tersebut “keuntungan”
didefinisikan sebagai kepuasan atau keuntungan yang terjadi melalui pilihan-pilihan. Rawls
mengatakan bahwa dasar kebenaran teorinya membuat pandangannya lebih unggul dibanging
kedua versi utilitarianisme tersebut. Prinsip-prinsip keadilan yang ia kemukakan lebih unggul dalam
menjelaskan keputusan moral etis atas keadilan sosial.
Oleh karena itu, perbedaan menuntut pengaturan struktur masyarakat sehingga kesenjangan prospek
mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukan bagi keuntungan orang-orang
yang kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan dalam dua hal. Pertama melakukan
koreksi dan perbaikan terhadap ketimpangan yang dialami oleh kaum lemah dengan menghadirkan institusi-
institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memposisikan diri
sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidakadilan yang dialami
kaum lemah.

Menurut saya, tuduhan yang diberikan kepada pak Krisbayudi tidak mencerminkan konsep keadilan
sebagai salah satu cita hukum. Pak Krisbayudi disiksa untuk mau mengakui skenario cerita pembunuhan versi
polisi walaupun sebenarnya pak Krisbayudi tidak melakukan tindak kejahatan tersebut, bahkan pak
Krisbayudi telah ditahan selama 8 bulan hingga temannya mengakui kesalahannya. Menurut saya pak
Krisbayudi harus mendapatkan kompensasi atas tindakan tersebut untuk biaya perawatan karena telah
disiksa dan biaya kehidupan pak Krisbayudi dikarenakan selama 8 bulan ditahan pak Krisbayudi tidak dapat
mencari nafkah untuk keluarganya. Pak Krisbayudi juga harus meminta pertanggung jawabkan untuk
membersihkan nama baiknya di mata publik.
Seharusnya sebelum polisi melakukan tidak penyiksaan agar tersangka mau mengakui kesalahannya,
pihak polisi sudah mempunyai bukti yang kuat bahwa yang melakukan tindak kejahatan tersebut adalah
tersangka tersebut. Lebih baik lagi jika polisi mempunyai cara lain agar para tersangka dapat mengakui
kesalahannya tanpa penyiksaan, misalnya dengan memainkan psikologi tersangka.

2. Konsep pemaknaan terhadap pemenuhan HAM


Dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pengatusan mengenai Hak Asasi
Manusia ditenttukan dengan berpedoman pada deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang hak-hak anak dan berbagai instrument internasional lain yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia.
Materi Undang-Undang ini tentu saja harus disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan
pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sedangkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, masalah mengenai Hak Asasi
Manusia dicantumkan secara khusus dalam bab XA pasal 28A sampai dengan 28J yang merupakan hasil
amandemen kedua tahun 2000. Pemerintah dalam hal untuk melaksanakan Amanah yang telah diamanatkan
melalui TAP MPR tersebut di atas, di bentuklah Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang mengatur beberapa hal penting yang menyangkut Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Ada beberapa hal yang harus dicermati oleh pemerintah dalam hal ini sebagai pembuat kebijakan eksekutif
dan sebagai aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat harus menerapkan asas “good foverment”,
masyarakat sebagai “public actor” di lapangan, aparat keamanan sebagai petugas keamanan di wilayah dan
lapisan masyarakat lainnya yang dapat menjadi faktor kendala-kendala terhadap penegakan Hak Asasi Manusia
disana yang disesbabkan oleh diantaranya:
a. Pemerintah selaku “policy obligation”
b. TNI POLRI sebagai petugas keamanan
c. Masyarakat selaku “civil/actor”
d. Kelompok dalam masyarakat
Pemerintah adalah salah satu penyebab dapat terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh karena itu
memunculkan kendala-kendala yang mengakibatkan tidak dapat terselesaikannya permasalahan di Indonesia
seperti dalam hal pengambilan kebijakan-kebijaan yang dilakukan oleh pemerintah tidak mengenai dan
menyentuh dasar permasalahan yang ada di wilayah daerah rawan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Didalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sarana penyelesaian terhadap pelanggaran Hak Asasi Mansua yang ebrat adalah
sebagai berikut:

Pasal 4:
Pengadilan Hak Asasi Manusia bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkasa pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat. Yang dimaksud dengan memeriksa dan memtuskan dalam ketentuan ini adalah
termasuk penyelesaian perkara yang menyangkut kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pelanggaran Hak Asasi Manusia berat terdiri dari kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan, sesuai dengan “Roma stalute of the international criminal count”. Kejahatan
genosida adalah setiap pembuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagaian kelompok bangsa, ras, etnis, agama dengan cara:
• Pembunuhan anggota kelompok.
• Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.
• Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik
seluruh atau sebagiannya.
• Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok.
• Memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke kelompok yang lain.

Kejahatan terhadap kemanusaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, berupa:
• Pembunuhan.
• Pemusnahan.
• Perbudakan.
• Pengusiran atua pemindahan penduduk secara paksa.
• Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang dan yang
melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional.
• Penyiksaan.
• Pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, kemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
• Penganiyaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang di dasari persamaan paham
politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lainnya yang telah diakui
secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
• Penghilangan orang secara paksa.
• Kejahatan apartheid.

3. Hubungan hukum dengan kekuasaan


Kekuasaan merupakan konsep hubungan sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, negara, dan
umat manusia. Konsep hubungan sosial itu meliputi hubungan personal di antara dua insan yang berinteraksi,
hubungan institusional yang bersifat hierarkis, dan hubungan dengan subjek dan obkel yang dikuasainya. Karena
kekuasan memiliki banyak dimensi, maka tidak ada kesepahaman di antara ahli pollitik, sosilologi, hukum dan
kenegaraan mengenai pengertian kekuasaan.
Max Weber, dalam bukunga Wirtschaft und Gesellschaft (1992) mengemukakan bahwa, “kekuasaan adalah
kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami
perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini”.
Menurut Talcot Parsons, kekuasaan adalah kemampuan umum untuk menjamin pelaksanaan dari kewajiban-
kewajjiban yang mengikat oleh unit-unit organisasi kolektif dalam suatu sistem yang merupakan kewajiban-
kewajiban yang diakui dengan acuan kepada pencapaian tujuan-tujuan kolektif mereka dan bila ada
pengingkaran terhadap kewajiban-kewajiban dapat dikenai oleh sanksi negative tertenu, siapapyn yang
menegakkannya. Pengertian ini menitikberatkan kepada kekuasaan publik untuk menegakkan aturan-aturan
masyarakat yang bersifat memaksa demi untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Di samping pengertian kekuasaan sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendak atau kemauan kepada
pihak lain, beberapa pakar mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk membatasi tingkah laku pihak
lain. Harold D. Laswl, dan Abraham Kaplan mengatakan bahwa “kekuasaan adalah suatu hubungan dimana
seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai tujuan
dari pihak pertama.
Kekuasaan dalam kaitannya dengan masalah kenegaraan, dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu
kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat. Kekuasaan negara berkaitan dengan otoritas negara untuk
mengatur kehidupan masyarakat secara tertib dan damai. Kekuasaan masyarakat adalah kekuatan/kemampuan
masyarakat untuk mengelola dan mengorganisasikan kepentingan individu-individu dan kelompok-kelompok
masyarakat yang menjadi anggotanya sehingga interaksi sosial dapat berjalan secara lancar.
Pola hubungan hukum dan kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum adalah kekuasaan itu sendiri.
Menurut lassalle, dalam pidatonya yang termahsur Uber Verfassungswessen, “konstitusi suatu negara bukanlah
undang-undang dasar tertulis yang hanya merupakan ‘secarik kertas’, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan
yang nyata dalam suatu negara”.
Keduam kekuasan tunduk kepada hukum. Artinya, kekuasaan berada di bawah hukum dan hukum yang
menentukan eksistensi kekuasaan. Dalam pemikiran hukum, tunduknya kekuasaan kepada hukum merupakan
konsep dasar dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Konsep itu dirumuskan dalam terminology supremasi
hukum.
Ketiga, ada hubungan timbal balik (simbiotik) anta hukum dan kekuasan. Dalam hal ini hubungan hukum dan
kekuaasaan tidak bersifat dominative dimana yang satu dominan atau menjadi faktor feterminan terhadap yang
lain, tapi hubungan itu dilihat dari sudut fungsi-fungsi tertentu dan dapat dijalankan di antara keduanya. Dengan
demikian, kekuasaan memiliki fungsi terhadap hukum, dan sebaliknya hukum mempunyai fungsi terhadap
kekuasaan.
Hubungan simbiotik hukum dan kekuasaan melahirkan hubungan fungsional di antara keduanya, dimana
kekuasaan mempunyai fungsi teretentu terhadap hukum, dan hukum juga mempunyai fungsi tertentu terhadap
kekuasan. Kekuasaan mempunyai fungsi sebagai alat untuk membentuk hukum, menegakkan hukum, dan
melaksanakan hukum. Sedangkan fungsi hukum terhadap kekuasaan meliputi alat untuk mengontrol kekuasaan,
dan alat untuk mengawasi dan mewadahi pertanggungjawaban kekuasaan.

Referensi:

Helmi, Muhammad. (2015). Konsep Keadilan Dalam Filsafat Hukum Dan Filsafat Hukum Islam. Jurnal Pemikiran
Hukum Islam. 95(2). 133-144.

Supriyanto, Bambang Heri. (2014). Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) Menurut Hukum Positif di
Indonesia. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial. 2(3). 151-168.

Luthan, Salma. (2007). Hubungan Hukum Dan Kekuasaan. Jurnal Hukum. 2(14). 166-184

Anda mungkin juga menyukai