Anda di halaman 1dari 4

Nama : Achmad Ridwan

NIK : 043451679

Program Studi : Ilmu Hukum

Mata Kuliah : Hukum Tata Negara

Presidensial dan Parlementer 

Merujuk pada pendapat Shugart dan Carey, W. Joseph Robbins (Ibid: 179) lebih jauh menjabarkan


atribut esensial yang melekat di dalam sistem presidensial sebagai karakteristik yang sering kali ada
(sekaligus membedakannya dengan sistem parlementer), yaitu: 

Pertama, adanya pemisahan kekuasaan diantara cabang-cabang pemerintahan. Pemisahan


kekuasaan disini merujuk pada pemisahan yang jelas di dalam pertanggungjawaban, sebagaimana
eksekutif bergerak dalam wilayah kerja administrator atau pelaksana hukum, legislatif yang membuat
hukum, serta lembaga kehakiman yang berwenang menafsirkan dan memutuskan hukum. 

Hal ini tentunya berbeda jika melihat pada sistem parlementer yang terjadi peleburan antara lembaga
eksekutif merupakan bagian dari legislatif. 

Kedua, Presiden dipilih secara langsung dengan beberapa varian pemilihan di seisi negara. Bukan
semata-mata ditentukan formasinya oleh parlemen. Tentunya banyak mekanisme berbeda-beda yang
digunakan oleh masing-masing negara penganut presidensial dalam menentukan presiden. 

Ada yang simple hanya dengan kandidat yang memperoleh suara lebih banyak dari yang lain, atau harus
mendapatkan suara lebih dari 50% sebagaimana diterapkan di Prancis. Beda lagi dengan Amerika Serikat
dalam pemilihan presiden menggunakan model electoral college. 

Ketiga, masa jabatan presiden tidak bergantung pada dukungan legislatif. Bervariasi antara 4-5 tahun.
Jika ingin menjadi presiden lagi, maka dia harus mengikuti pemilihan pada periode berikutnya. Terkait
penurunan presiden di tengah jalan, memang tidak memutus kemungkinan bisa terjadi, namun sistem
presidensial sangat mengamankan posisi presiden, sebab salah satunya presiden memiliki sumber
legitimasi tersendiri yang terpisah dari parlemen. 

Sedangkan di dalam sistem parlementer, masa jabatan presiden dan juga kabinet tergantung pada
kepercayaan legislatif. Parlemen bisa mengajukan mosi tidak percaya yang berakibat pada penurunan
kepala pemerintahan dan juga kabinetnya. 

Kelima, eksekutif memiliki otoritas untuk membuat hukum. Meskipun di beberapa negara, misalnya di
Amerika Serikat, sebetulnya eksekutif tidak memiliki kewenangan untuk membuat hukum. Implikasi dari
kewenangan pembuatan hukum bagi eksekutif terkadang membuat tumpang tindih dengan lembaga
eksekutif, terlebih lagi jika eksekutif memiliki ambisi besar dalam mempersempit wilayah kerja
pembuatan hukum bagi eksekutif. 

Kasus penerapan sistem presidensial di Rusia dan Ukraina bisa menjadi contoh yang baik, hal itu
disebabkan karena presiden memanfaatkan considerably power yang dimilikinya. Sedangkan di dalam
sistem parlementer, eksekutif hanyalah pelaksana dari garis besar halauan yang telah ditentukan oleh
parlemen. 

Di sisi lain, ada sistem yang bernama parlementer, atau banyak yang menyebutnya dengan
istilah Westminster model, yang diawali dari sistem pemerintahan di Inggris. Defisini mendasar dari
karakteristik sistem parlementer adalah “peleburan cabang eksekutif dan legislatif, dimana biasanya
kepala negara dan kepala pemerintahan dijabat oleh orang yang berbeda, lain dengan sistem
presidensial yang kerap kali dipegang oleh orang yang sama” (Ibid: 180). 

Tahapan pemilihannya kira-kira ringkasnya begini: para pemilih memilih partai atau perwakilian mereka
yang duduk di parlemen, kemudian parlemen yang terbentuk, setelah mendapatkan hasil dari alokasi
kursi, merancang atau membentuuk pemerintah. Legislatif lah yang menentukan siapa yang akan
melayani sebagai kepala pemerintahan, pemerintahan disini juga meliputi menteri dan cabinet. 

Di dalam sistem parlementer, jika memang ada suara mayoritas partai, maka biasanya akan lebih mudah
dan cepat dalam menyusun formatur pemerintahan dan tidak membutuhkan koalisi. Sebaliknya, jika
tidak ada partai yang memiliki mayoritas suara di parlemen, maka partai akan mencari mitra koalisi di
dalam mengusung formatur pemerintahan. 

Di sinilah nanti pembagian kursi di dalam kabinet pemerintahan yang akan datang sangat jelas.
Bagaimanapun juga, kerjasama antar politisi di dalam sistem parlementer sangat penting. 

Dalam buku “Demokrasi Elektoral: Sistem dan Perbandingan Pemerintahan” (2015) dijelaskan, dalam
sistem parlementer, eksekutif disebut sebagai eksekutif ganda, yang berisi kepala negara dan kepala
pemerintahan. 

Yang telah disinggung sebelumnya bahwa sistem parlementer berakar dari tradisi kerajaan
Inggris. Dimana kepala negara dijabat oleh raja atau ratu dan secara formal mengangkat Perdana
Menteri, yang biasanya merupakan ketua partai pemegang kursi terbesar di parlemen. 

Semi 

Di antara sistem presidensial dan parlementer, ada pula sistem semi presidensial. Istilah “sistem
“semi presidensialisme merupakan term dari Maurice Duverger yan telah melakukan penelitian di
Republik ke V Perancis sejak 1958. 

Menurut Duverger, semi presidensialisme adalah “sistem yang memadukan tiga eleman, yaitu presiden


dipilih langsung melalui pemilu seperti sistem presidensial, yang mempunyai kekuasaan yang berarti
(seperti di Amerika Serikat), lalu berhadapan dengan menteri dan perdana menteri yang mengelola
eksekutif dan memiliki kekuasaan yang memerintah, serta tergantung pada mayoritas parlemen
sebagaimana di dalam sistem parlementer” (Ibid: 181). 

Sistem semi presidensialisme sendiri masih diperdebatkan, sebagian menyatakan bahwa sistem ini


adalah sistem dalam fase alternatif, tergantung bagaimana kondisi di parlemen. “Jika
mayoritas dibelakang presiden, presidensial, namun jika bersebarangan, parlementer”. 

Sebagaimana yang telah dikatakan di awal tulisan, memang secara praktik sukar ditemukan banyak
negara yang menganut sistem pemerintahan baik presidensial maupun parlementer secara murni. 

Konsep in between atau semi ini bisa menjadi suatu penjembatan ketika ada suatu negara yang
menjalani beberapa model yang ada di presidensial sekaligus parlementer. Meskipun, beberapa
ilmuwan menyatakan tinggal lebih banyak mengadopsi karakter yang mana, sehingga bisa disebut
penganut presidensial atau parlementer. 

1. Apakah sistem pemerintahan parlementer hanya digunakan pada negara yang berbentuk
monarki?  

Seluruh negara yang berbentuk monarki menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Raja
atau ratu dipertahankan sebagai kepala Negara sedangkan kepala pemerintahannya adalah
perdana mentri, contohnya adalah Inggris dan Belanda. Akan tetapi apabila sebuah Negara tidak
berbentuk monarki dan tidak melakukan pemisahan kekuasaan ( separation of powers) maka
sistem pemerintahan yang digunakan juga adalah sistem pemerintahan palementer seperti yang
terjadi pada Republik Federal Jerman.

2. Berikan analisis anda mengapa sistem pemerintahan presidensial memiliki stabiltas tinggi?


Berikan alasannya.  

Karena dalam sistem pemerintahan Presidensial dipilih dalam masa jabatan yang tetap. Masa
jabatan Presiden bervariasi, di Indonesia ditentukan menjabat selama 5 ( lima ) tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan. Di Amerika Serikat masa jabatan
Presiden adalah 4 (empat) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan
sedangkan di Filipina masa jabatan seorang Presiden adalah 6 tahun dam tidak dapat dipilih
kembali.

Dalam sistem pemerintahan presidensial, kedudukan eksekutif dan legislative adalah terpisah
dan mendapat legitimasi oleh rakyat. Maka oleh sebab itu, kedudukan eksekutif dan legislative
mempunyai kedudukan yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat. Presiden tidak bisa
membubarkan parlemen dan sebaliknya kabinet yang terdiri dari mentri-mentri tidak dapat
dibubarkan oleh parlemen termasuk presiden. Presiden tidak bisa diberhentkan oleh parlemen
kecuali apabila presiden melanggar huku yang sudah diatur dala UUD.

3. Berikan analisis anda sistem pemerintahan semi apa yang pernah diterapkan di Indonesia.  


Indonesia pernah menggunakan sistem pemerintahan semi presidensial dan sistem
pemerintahan semi parlementer .UUD 1945 (sebelum perubahan ) menggunakan sistem
pemerintahan semi presidensial ,sedangkan konstitusi RIS dan UUDS RI menggunakan ssistem
pemerintahan semi perlementer. UUD 1945 (sesudah perubahan) dapat dikelompokkan
kedalam sistem pemerintahan presidensial yang khas Indonesia,karena hanya dalam sistem
presidensial di Indonesia yang mengatur bahwa eksekutif yang memmiliki kewenangan
membahas dan menyetujui undang –undang, bersama-sama dengan legislatife.

Berdasarkan Bab II hingga Bab VII,UUD 1945 (sebelum perubahan ) merupakan konstitusi sistem
pemerintahn semi presidensial, sebab terdapat kriteria sistem pemerintahan presidensial,
Dalam UUD 1945,karakteristik sistem pemerintahan presidensial lebih dominan, sehingga yang
di gunakan dalam UUD 1940,adalah sistem pemerintahan presidensial.Sistem pemerintahan
semi parlementer dalam Konstitusi RIS di dasarkan Bab III tentang perlengkapan RIS dan Bab IV
tentang pemerintahan .sistem semi parlementer dalam konstitusi RIS (menurut penulis dapat
juga di sebut sebagai sistem sendiri karena kekhasannya) karena terdapat karakteristik sistem
pemerintahan presidensial dan karakteristik sistem pemerintahan parlementer,karena
karekteristik sistem pemerintahan parlementer lebih dominan,sehingga yang di gunakan dalam
konstitusi RIS adalah sistem pemerintahan semi parlementer.

Sumber :

1. Buku Materi Pokok Hukum Tata Negara, HKUM4201/3sks/Modul1 - 9

Anda mungkin juga menyukai