Petunjuk
1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE
pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan
soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik
yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
07 Juli 2021
B. Menurut saya kasus sendal jepit AAL tidak layak dilanjutkan ke proses meja hijau pengadilan.
Menurut Gustav Radbruch bahwa hukum itu bertumpu pada tiga nilai dasar, yaitu kepastian,
keadilan dan kemanfaatan. Pada kasus pencurian sandal jepit oleh AAL sangat tidak
mencerminkan suatu keadilan seperti makna keadilan yang ada dari beberapa teori hukum. AAL
diputus oleh pengadilan secara formal terbukti bersalah walaupun sandal yang menjadi barang
bukti itu bukan sandal merk “edger” sesuai yang ditudukan oleh Briptu Rusdi. Mengaju pendapat
Gustav Radbruch tentang nilai dasar hukum, dari ketiga aspek ini yang menjadi prioritas pertama
adalah keadilan terlebih dahulu, baru diikuti dengan kemanfaatan lalu baru kepastian. Akan
tetapi pada kasus AAL ini hanya kepastian hukum yang diprioritaskan dan mengenyampingkan
keadilan dan kemanfaatannya. Seharusnya putusan hakim tidak hanya mementingkan
kepastian hukumnya saja akan tetapi rasa keadilan yang ada dalam masyarakat seperti yang
dinyatakan pada Pasal 5 (1) dan dalam Pasal 6 (2) menyebutkan bahwa seseorang tidak dapat
dipidana kecuali ada alat bukti yangsah dan dianggap harus bertanggungjawab atas
perbuatannya. Dalam kasus Aal ini nyata-nyata bahwa fakta dipersidangan alat buktinya sudah
berbeda yaitu sandal merk ANDO sedangkan yang dituduhkan Briptu Rusdi Harahap bermerk
EDGER, sehingga alat buktinya sudah tidak sah.
B. Asas teritorial menetapkan bahwa yurisdiksi negara berlaku bagi orang,perbuatan dan benda
yang ada di wilayahnya.Berlakunya yurisdiksi teritorial itu berdasarkan kedaulatan negara
tersebut atas wilayahnya. Yurisdiksi teritorial suatu negara dapat juga dipersempit karena
sampai pada taraf tertentu, berlakunya yurisdiksi itu dikecualikan bagi pihak-pihak tertentu.
Pihak-pihak tertentu tersebut adalah Negara asing dan kepala negara asing, perwakilan
diplomatik dan konsul asing, kapal publik negara asing, angkatan bersenjata asing dan lembaga
internasional. Berdasarkan penjelasan singkat diatas dapat disimpulkan bahwa pengecualian
yang dilakukan hukum internasional hanya diberikan kepada pihak-pihak yang memiliki
kepentingan negara, untuk perdamaian atau kerjasama antar negara atau bisa dikatakan untuk
kepentingan yang baik dan tidak merugikan negara yang dilewati dan dikunjungi.
3. A. Menurut saya kasus agung diatas termasuk dalam Sistem pemidanaan yang bersifat tunggal
sebagaimana di anut K.U.H Pidana dapat dilihat dalam pasal 489 ayat (1) Buku ke III K.U.H
Pidana tentang pelanggaran terhadap keamanan umum bagi orang dan barang. Dan dalam
menjatuhkan putusannya harus sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam Pasal tersebut.
Dalam kasus diatas sesuai KUH Pidana tersangka dijerat pasal 338 KUHP sub pasal 170 ayat
2 ke 3 KUHP lebih sub ke pasal 354 ayat 2 KHUP dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.
4. A.Gabungan tindak pidana dibagi menjadi dua jenis, perbarengan ketentuan pidana berupa
concursus idealis dan perbarengan perbuatan pidana yang terdiri dari concursus realis dan
voorgezette handeling. Concursus idealis diatur dalam Pasal 63 KUHP. Ayat (1) berbunyi, “Jika
suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah
satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman
pidana pokok yang paling berat.” Ayat 2, “Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan
pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus
itulah yang dikenakan.” Sedangkan concursus realis diatur dalam Pasal 65 dan 66 KUHP. Pasal
65 Ayat (1) berbunyi, “Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang
sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang
diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan satu pidana. Ayat (2),
“Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap
perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.”
Untuk voorgezette handeling, diatur dalam Pasal 64 KUHP. Ayat (1), “Jika antara beberapa
perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada
hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut
(voorgezette handeling), maka hanya dikenakan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang
dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok paling berat.” Ayat (2), “Begitu juga hanya
dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan salah melakukan pemalsuan atau
perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu.” Ayat 3,
“Akan tetapi, jika orang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam Pasal 364, 373, 379 dan
407 Ayat (1), sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya lebih
dari Rp 25,- maka ia dikenai aturan pidana tersebut dalam Pasal 362, 372, 378 dan 406.”
Pada kasus Yuyun di atas, tindakan yang dilakukan pelaku berupa pemerkosaan disertai
pembunuhan terhadap seorang anak di bawah umur (14 tahun). Karena itu, pasal yang tepat
diterapkan kepada para pelaku adalah Pasal 287 Ayat (1) KUHP tentang pemerkosaan anak di
bawah umur lima belas tahun dengan ancaman pidana paling lama sembilan tahun, juga Pasal
338 KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa dengan ancaman paling lama 15 tahun penjara.
Peristiwa Yuyun ini masuk ke dalam teori perbarengan perbuatan pidana voorgezette handeling
atau perbuatan berlanjut. Sesuai Pasal 64 Ayat (1) KUHP, pemerkosaan dan pembunuhan
sama-sama merupakan kejahatan dan dipandang sebagai perbuatan berlanjut, karena pelaku
memperkosa Yuyun terlebih dahulu dan kemudian membunuhnya. Karena itu, pelaku hanya
bisa dikenakan satu aturan pidana. Sebaiknya pelaku dikenakan pasal pembunuhan dengan
ancaman maksimal 15 tahun penjara.
B. Tiga kemungkinan yang dapat terjadi pada kasus yuyun antara lain:
a) Dasar peringan pidana yang diatur pada Pasal 47 Ayat (1) KUHP, yang berbunyi, “Jika
hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap perbuatan
pidananya dikurangi sepertiga.” Pasal ini berhubungan dengan Pasal 45 yaitu menuntut
orang yang belum cukup umur karena melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun. Bila
dikaitkan dengan kasus Yuyun di atas, apabila ada pelaku perkosaan dan pembunuhan
yang berumur kurang dari 16 tahun, maka apabila hakim menjatuhkan hukuman
kepadanya, hukuman tersebut harus dikurangi sepertiga. Peringan pidana ini dapat
terjadi dikarenakan pelaku yang terlibat masih dibawah 18 tahun dimana masih dianggap
anak-anak dan maksimal pencara untuk anak dibawah umur adalah 10 tahun kurangan.
b) Pada kasus Yuyun di atas, para pelaku dapat dikenakan Pasal 55 Ayat (1) KUHP tentang
turut serta melakukan, yaitu ke-14 pelaku melakukan perbuatan memperkosa dan
membunuh Yuyun. Meskipun yang melakukan tindakan pembunuhan misalnya Faisal
(plegen), namun para pelaku lainnya yang tidak membunuh maupun tidak turut
memperkosa Yuyun tetap bisa dikenakan pasal penyertaan ini karena dari awal
semuanya terlibat dalam rencana pemerkosaan Yuyun tersebut. Secara teori, syarat turut
serta (medeplegen) ada dua, yaitu kerjasama secara sadar dan kerjasama secara fisik.
Kerjasama secara sadar tidak perlu ada kesepakatan rinci tentang pembagian tugas dulu,
yang penting semua pelaku secara sadar sengaja untuk bekerjasama dengan tujuan
terjadinya tindak pidana. Sedangkan kerjasama secara fisik, maksudnya perbuatan
pelaksanaan dilakukan secara bersama-sama dan semua pelaku bertujuan
menyelesaikan delik pemerkosaan dan pembunuhan yang sudah direncanakan terhadap
Yuyun. Pada kasus di atas, para pelaku pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun
melakukan perbuatan itu secara sadar dan secara bersama-sama, jadi bisa dikenakan
pasal turut serta.
c) Berdasarkan Pasal 10 KUHP, pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan.
Pidana pokok berupa pidana mati, penjara, kurungan, denda, dan tutupan. Pidana
tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu,
dan pengumuman putusan hakim.
Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada anak, pada orang yang setelah dihukum
menjadi gila, dan wanita hamil. Untuk orang gila, eksekusi dapat dilakukan jika orang gila
itu sembuh dan untuk wanita hamil, setelah wanita tersebut melahirkan. Pada kasus
Yuyun di atas, para pelaku yang belum cukup umur tidak bisa divonis hukuman mati oleh
hakim. Pidana penjara tidak boleh lebih dari 20 tahun. Ini sesuai dengan bunyi Pasal 12
Ayat (4) KUHP. Pada kasus Yuyun di atas, pelaku yang melakukan kegiatan
pemerkosaan dan pembunuhan bisa diancam penjara maksimal 15 tahun.
Mengenai pidana tambahan tentang pencabutan hak, para pelaku kasus Yuyun di atas
bisa saja dikenakan pidana tambahan tersebut. Ini diatur dalam Pasal 35-38 KUHP.
Lamanya masa pencabutan hak untuk pidana penjara yang dikenakan pada para pelaku
kasus Yuyun (Pasal 38 Ayat (1) ke-2 KUHP), yakni paling sedikit dua tahun dan paling
banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya. Para pelaku kasus Yuyun dipenjara
10 tahun, maka lamanya masa pencabutan hak paling sedikit 12 tahun dan paling banyak
15 tahun.