Anda di halaman 1dari 14

Tugas 2

Mata Kuliah Hukum Lingkungan

A. Jelaskan Perbedaan Hak Gugat Masyarakat Dan Hak Gugat Organisasi


Lingkungan Hidup Dan Contoh Keduanya!
Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menempatkan hukum di atas semua urusan, baik
kaitannya dengan kehidupan bernegara ataupun bermasyarakat. Sederhananya, semua aktivitas
yang dilakukan oleh negara dan masyarakat diatur dan diikat oleh hukum. Pun penguasa beserta
kekuasaannya harus mematuhi hukum yang berlaku. Inilah konsekuensi menjadi sebuah negara
hukum.
Salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya badan peradilan yang menjadi tempat
terbaik untuk melakukan semua tindakan sebagai upaya untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam perkembangannya, perlindungan hukum yang dilakukan melalui gugatan
perwakilan/masyarakat atau class action dan hak gugatan organisasi atau legal standing sedang
sangat ramai dibicarakan oleh para pengamat sekaligus ahli hukum.
Tak sedikit dari praktisi hukum yang beranggapan bahwa class action memiliki definisi yang
sama dengan legal standing. Padahal, keduanya memiliki pengertian dan pemahaman yang
cukup berbeda. Kondisi ini terjadi karena konsep class action di Indonesia masih terbilang baru,
sehingga membutuhkan riset dan pemahaman yang lebih mendalam. Lalu, apa yang menjadi
pembeda di antara kedua perlindungan hukum ini? Berikut ulasan lengkapnya.

Legal Standing
Legal standing atau yang juga disebut dengan ius standi (hak gugatan organisasi) merupakan
perseorangan, organisasi ataupun kelompok yang berperan sebagai pihak Penggugat di
pengadilan. Sederhananya, legal standing berarti hak seseorang, organisasi, atau sekelompok
orang untuk menjadi Penggugat dalam proses peradilan perdata (civil proceding) di pengadilan.
Adapun kepentingan hukum yang berkaitan dengan hak gugatan organisasi adalah tentang
kepemilikan atau munculnya kerugian yang langsung dialami oleh Penggugat. Pada dasarnya,
aturan mengenai legal standingi telah tercatat dalam hukum nasional secara materiil. Namun,
hukum acara yang berperan sebagai hukum formil untuk mempertahankan hukum materiil ini
belum diatur oleh negara.
Secara materiil, aturan mengenai hak gugatan organisasi ada pada Undang-Undang No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 37, Undang-Undang No. 41 tahun 1999
tentang Kehutanan Pasal 71 ayat (1), dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 46.
Dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengakuan yang tegas
juga dimasukkan dalam perubahan Undang-Undang tersebut, yakni UU No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 92 ayat (1) UU PPLH
menegaskan ‘Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup”.
Dalam penerapannya, organisasi lingkungan yang dapat mengajukan gugatan adalah
organisasi yang memenuhi syarat: berbentuk badan hukum; menegaskan di dalam Anggaran
Dasarnya bahwa organisasi itu didirikan untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup; dan
telah melaksanakan kegiatan sesuai anggaran dasarnya paling singkat dua tahun. Persyaratan
inilah yang diuji hakim dalam perkembangan gugatan legal standing pasca pengakuan terhadap
konsep ini sejak 1997.
Pemberian hak gugat bagi organisasi lingkungan hidup untuk beracara di pengadilan sebagai
wali bagi lingkungan hidup, berarti bahwa lingkungan hidup secara implisit telah diakui memiliki
hak. Legal standing organisasi lingkungan hidup penting kaitannya bagi perlindungan ligkungan
karena banyak faktor. Misalnya faktor kepentingan masyarakat luas, faktor penguasaan sumber
daya alam oleh negara, serta organisasi lingkungan hidup menguasai dan memiliki pengetahuan
dan wawasan tentang apa yang menjadi fokus kegiatannya.
Contoh penerapan legal standing dapat dilihat pada kasus gugatan Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi) terhadap PT Inti Indorayon Utama (IIU), Menteri Perindustrian, Menteri
Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, dan Gubernur Sumatera Utara.
Dalam putusan perkara ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengakui legal
standing Walhi. Setelah putusan itu, Pemerintah dan DPR akhirnya mengadopsi konsep legal
standing dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Class Action
Gugatan perwakilan atau class action merupakan salah satu cara untuk suatu kelompok yang
memiliki kepentingan dalam suatu permasalahan, baik satu orang anggotanya atau lebih sebagai
pihak Penggugat atau yang Digugat sebagai wakil dari kelompok tanpa harus berpartisipasi dari
masing-masing kelompok tersebut. Pada intinya, class action menjadi cara untuk seseorang yang
memiliki kepentingan atau permasalahan yang sama untuk saling bergabung untuk pengajuan
tuntutan agar lebih efekti dan efisien.
Adapun syarat-syarat yang harus ada dalam class action adalah cakupan anggota kelompok
cukup banyak, tuntutan yang dikeluarkan bersifat lebih praktis, dan memiliki perwakilan yang
jujur dan layak. Perwakilan tersebut harus disetujui oleh anggota kelompok yang lain serta
mempunyai kepentingan hukum juga berbagai fakta dari pihak yang ia wakili.
Berdasarkan penelusuran yang pernah dilakukan, belasan Undang-Undang di Indonesia
mengakomodasi hak warga negara mengajukan class action. Bahkan mungkin di luar perkiraan.
Sekadar contoh, Gugatan permintaan ganti rugi dengan menggunakan mekanisme class action
sudah banyak diajukan. Bukan hanya kasus kerusakan lingkungan hidup, tetapi juga kasus
kecelakaan kereta api. Salah satu yang berhasil adalah gugatan korban tabrakan kereta api (KA)
Empu Jaya dengan KA Gaya Baru Malam di Brebes. Kecelakaan yang menewaskan lebih dari 31
orang itu mendorong korban dan ahli waris menggugat secara class action PT KAI, Kementerian
Perhubungan, Kementerian BUMN dan Menteri Keuangan untuk membayar ganti rugi kepada
para korban. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan itu, dan tergugat membayar ganti rugi
sesuai putusan pengadilan.
Contoh lain di bidang antariksa. Pasal 29 ayat (2) huruf h UU No. 21 Tahun 2013 tentang
Keantariksaan menyebut peran serta masyarakat untuk melaksanakan gugatan perwakilan
terhadap kegiatan keantariksaan yang mengganggu, merugikan, atau membahayakan
kepentingan umum. Class action sendiri di Indonesia diatur lebih dalam pada PERMA No. 1 Tahun
2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Simpulan Perbedaan Legal Standing Dan Class Action
Secara garis besar, perbedaan mendasar dari kedua jenis perlindungan hukum bisa terlihat
dari pihak Penggugat, dengan class action mencakup keseluruhan anggota kelompok, sementara
dalam legal standing, pihak Penggugat tidak mencakup semua anggota.
Di sisi lain, pihak Penggugat dalam legal standing dapat berupa badan hukum atau organisasi
non-profit (NGO atau LSM) dengan Tergugat adalan pemerintah, perusahaan, badan hukum, dan
perseorangan dengan bentuk tuntutan berupa pemulihan. Sementara itu, pihak Penggugat
dalam class action adalah individu atau kelompok masyarakat dengan Tergugat adalah
pemerintah, perusahaan, badan hukum, maupun individu dengan bentuk tuntutan berupa ganti
rugi dan pemulihan. Class action di Indonesia menjadi salah satu cara terbaik untuk menghindari
munculnya putusan berulang kali.

B. Uraikan Dalam Hal Apa Saja Sanksi Pidana Diterapkan Sebagai Ultimum
Remidium Dalam Penegakan Hukum Lingkungan!
Penegakan hukum lingkungan di Indonesia mencakup penataan dan penindakan
(compliance and enforcement) yang meliputi bidang hukum administrasi negara, bidang hukum
perdata dan bidang hukum pidana, artinya dalam penegakan hukum lingkungan harus ditempuh
terlebih dahulu melalui bidang hukum administrasi, adapun penyelesaian melalui bidang hukum
pidana adalah merupakan upaya terakhir.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dikenal dengan asas ultimum remedium, namun sebelum berlakunya Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
sebelumnya berlaku Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikenal asas subsidaritas kemudian asas subsidaritas ini
dihapus dan diganti dengan asas ultimum remedium sebagaimana tercantum pada penjelasan
umum angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, alasan penghapusan asas subsidaritas dapat ditinjau lebih lanjut pada naskah
akademik RUU UUPPLH, bahwa asas subsidaritas merupakan salah satu masalah pada penerapan
atau praktek hukum lingkungan karena ketidakjelasan makna asas tersebut, oleh karena itu kata
asas subsidaritas dihapus dan diganti dengan asas ultimum remedium dengan dipertegas bahwa
asas tersebut hanya dapat diterapkan pada delik formil tertentu yaitu pelanggaran terhadap baku
mutu air limbah, emisi dan gangguan.
Asas ultimum remedium diatur dalam penjelasan angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang berbunyi: “Penegakan
hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di
samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu,
keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan
hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan
penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan
hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya
berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu
air limbah, emisi, dan gangguan”.
Pada intinya asas ultimum remeidum mengatur tentang penegakan hukum pidana
lingkungan sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap
tidak berhasil. Namun asas ultimum remedium jika dikaitkan dengan prinsip umum dalam hukum
pidana terdapat pertentangan, yaitu: Asas Legalitas. Asas legalitas tercantum dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP, dengan penjabaran bahwa: “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana, selain
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”. Ini berarti
bahwa ketika terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang suatu tindak
pidana, maka terhadap orang yang melanggar aturan tersebut berdasarkan asas legalitas harus
dipidana, demikian pula dengan yang diatur dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu:
1. Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu
gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila
sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan
lebih dari satu kali.
Dalam Pasal 100 ayat (1) tersebut sudah jelas rumusan tindak pidana dan hukuman yang
diterima bagi orang yang melanggar pasal tersebut, dan jika dikaitkan dengan asas legalitas maka
ketika terdapat pihak yang melanggar pasal tersebut seketika itu pula pidana berjalan, ditambah
dengan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah merupakan kejahatan, sebagaimana diatur dalam Pasal
97, yaitu: “Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan”, maka sedikit keliru
penulisan kata “pelanggaran” dalam Pasal 100 ayat (2) diatas, yang seharusnya berdasarkan Pasal
97 tindak pidana ini merupakan kejahatan.
Meoljatno, menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian, yaitu:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu undang-udang;
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi;
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Artinya dalam pengaturan Pasal 100 ayat (1) tersebut diatas, sudah jelas adanya perbuatan
yang dilarang, unsur-unsurnya sudah jelas yang seharusnya tidak diperlukan lagi Pasal 100 ayat
(2) tersebut. Sehingga dengan berlakunya asas legalitas tersebut pada Pasal 100 ayat (1), maka
muncul tiga aturan menurut Von Feurbach, yaitu:
1. Setiap pengenaan pidana didasarkan hanya pada undang-undang (nulla poena sine lege);
2. Pengenaan pidana hanya mungkin, jika perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana
(nulla poena sine crimine);
3. Perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan undang-undang mempunyai akibat
hukum bahwa oleh undang-undang ada pidana untuk itu (nullum crimen sine poena
legali).
Dengan demikian, ketika asas legalitas melekat pada Pasal 100 ayat (1) tersebut, maka
pengenaan pidana terhadap pelanggaran pasal tersebut hanya didasarkan pada pasal itu, yaitu
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah), sehingga dalam Pasal 100 ayat (1) sudah jelas bahwa pasal tersebut terdapat
ancaman pidana, yang pada akhirnya mempunyai akibat hukum oleh Pasal 100 ayat (1) tersebut
ada pidana untuk itu, sehingga tidak mungkin dikesampingkan pidana yang diatur dalam Pasal
100 ayat (1) tersebut oleh Pasal 100 ayat (2), yang berujung tidak adanya kepastian hukum jika
pidana tersebut dijadikan sebagai upaya terakhir terhadap pelanggaran Pasal 100 ayat (1).
Sehingga Pasal 100 ayat (2) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang didalamnya terdapat asas ultimum remedium, yaitu upaya
pidana sebagai upaya terakhir, sangat bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum pidana,
yang seharusnya pidana tersebut berjalan, namun dilanggar oleh Pasal 100 ayat (2), karena jika
seseorang telah melanggar Pasal 100 ayat (1) telah memenuhi konsep pertanggungjawaban
pidana, yaitu adanya unsur melawan hukum (actus reus) dan unsur kesalahan (mens rea),
sehingga orang yang melanggar pasal tersebut mempunyai tannggungjawab pidana.
Jika dilihat dari sumber peniadaan pidana, maka dasar peniadaan pidana dibagi atas dua
kelompok, yaitu yang tercantum dalam undang-undang dan yang lain terdapat diluar undang-
undang diperkenalkan oleh yurisprudensi dan doktrin. Yang tercantum dalam undang-undang
dapat dibagi lagi atas: yang umum (terdapat didalam ketentuan umum buku 1 KUHP) dan berlaku
atas semua rumusan delik. Yang khusus, tercantum dalam pasal tertentu yang berlaku untuk
rumusan-rumusan delik itu saja.
Adapun jika dikaitkan dengan pelanggaran Pasal 100 ayat (1) UndangUndang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang terdapat pidana
didalamnya, maka jika Pasal 100 ayat (1) tersebut akan ditiadakan pidananya harus ada dasar
yang kuat, sebagaimana diatur dalam hukum pidana umum yaitu KUHP, adapun rincian dasar
peniadaan pidana yang umum itu terdapat didalam:
1. Pasal 44: tidak dapat dipertanggungjawabkan;
2. Pasal 48: daya paksa;
3. Pasal 49: ayat (1) pembelaan terpaksa;
4. Pasal 49: ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampau batas;
5. Pasal 50: menjalankan peraturan yang sah;
6. Pasal 51: ayat (1) menjalankan perintah jabatan yang berwenang;
7. Pasal 51: ayat (2) menjalankan perintah jabatan yang tidak berwenang jika bawahan itu
dengan itikad baik memandang atasan yang bersangkutan sebagai berwenang.
Dasar-dasar tersebut diatas adalah merupakan dasar umum terhadap peniadaan suatu
tindak pidana, sehingga jika dikaitkan dengan asas ultimum remedium yang menjadikan pidana
sebagai upaya terakhir sangat tidak sesuai dengan dasar peniadaan pidana.
Dalam asas ultimum remedium sesuai yang diatur dalam penjelasan angka 6 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mewajibkan
penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan
hukum administrasi dianggap tidak berhasil, selain itu disebutkan juga dalam Pasal 100 ayat (2)
yang berbunyi: Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan
apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih
dari satu kali.
Sedangkan menurut dasar peniadaan pidana tersebut, tidak mencantumkan setelah
menjalani sanksi adminsitrasi kemudian sanksi pidana menjadi gugur/ tiada, perlu dibedakan
antara aturan pidana dan aturan administrasi, keduanya merupakan ranah hukum yang berbeda
dari segi pengaturannya, sanksi administrasi dikenakan jika ada pelanggaran administrasi,
demikian juga dengan sanksi pidana dikenakan terhadap perbuatan seseorang yang melawan
hukum dan mempunyai kesalahan. Maka tidak serta merta ketika sanksi administrasi dijalankan,
kemudian seseorang yang melakukan tindak pidana lepas dari pertanggungjawaban pidana,
demikian pula sebaliknya, ketika seeorang yang melakukan tindak pidana kemudian dijatuhi
hukuman pidana, tidak serta merta pula bebas dari sanksi administrasi.
Sehingga dalam hal ini asas ultimum remedium yang diatur dalam dalam penjelasan angka 6
kemudian diatur dalam Pasal 100 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sangat tidak mendasar untuk meniadakan
pidana dalam Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, karena bertentangan dengan dasar peniadaan pidana dalam
prinsip hukum pidana.
C. Uraikan Dalam Hal Apa Saja Sanksi Pidana Diterapkan Sebagai Primum
Remidium Dalam Penegakan Hukum Lingkungan!
Kerusakan Lingkungan hidup di Indonesia, semakin hari semakin memprihatinkan. Bahkan,
telah membahayakan hidup dan kehidupan setiap makhluk hidup di dalam dan sekitarnya.
termasuk kehidupan generasi di masa datang. Padahal, hakekat lingkungan hidup merupakan
kehidupan yang melingkupi tata dan nilai-nilai kehidupan yang ada di dalamnnya. Tata dan nilai
yang menjaga keberlanjutan lingkungan hidup dan sumberdaya alam dan keadilan sosial bagi
kehidupan manusia atas HAL (Hak Atas Lingkungan) saat ini dan generasi yang akan datang.
Demikian pula yang perlu dipertegas adalah Lingkungan hidup harus dipandang dan diperlakukan
sebagai subyek, dikelola untuk kehidupan berkelanjutan bukan semata-mata untuk
pertumbuhan pembangunan.
Permasalahan lingkungan di Indonesia saat ini merupakan sebuah tanda tanya besar, karena
bangsa ini sedari dulu dikenal karena beragamnya budaya yang sangat menghargai dan
menjunjung tinggi adat dan warisan leluhurnya, dimana pada masyarakat berbudaya tersebut,
penghargaan terhadap alam dan lingkungan diletakkan pada tingkat yang tertinggi. Seperti
masyarakat adat Baduy misalnya yang mempunyai budaya Pikukuh untuk menjaga alam dan
lingkungannya dengan cara memberlakukan peraturan adat yang tidak tertulis dan tabu untuk
dilanggar. Masyarakat-masyarakat adat seperti ini yang sering dikucilkan ternyata justru lebih
menghargai lingkungan dan alamnya dibanding masyarakat modern, karena berbagai peraturan
adat yang ditetapkan benar-benar ditaati dan berlaku efektif walaupun sanksi tidak seberapa
tegas dan berat, sehingga lingkungan pun tetap terjaga.
Kini Indonesia hidup di tengah budaya dan hal-hal yang berbau pembaharuan yang mengaku
lebih maju dan beradab dalam hal berpikir, bekerja dan bertindak dibanding dengan masyarakat
adat pada masa dahulu. Sejatinya dengan segala kemajuan tersebut maka tingkat kesadaran
untuk menghargai alam dan lingkunganpun harusnya semakin tinggi. Namun kenyataan justru
berbicara lain, keadaan alam dan lingkungan yang ada saat ini justru semakin parah dengan
adanya kejahatan-kejahatan di bidang lingkungan seperti pembakaran hutan, penambangan liar,
pengerukan pasir (reklamasi), penebangan liar, dan lainnya yang kesemuanya menimbulkan
kerugian sangat besar baik dari segi materiil maupun non materiil. Ironisnya lagi, pelaku-pelaku
kejahatan tersebut sulit untuk dijerat hukum. Hukum seakan tidak mampu untuk berbicara.
Perkembangan permasalahan lingkungan yang semakin parah dari waktu ke waktu seakan
tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang memadai, walaupun segala peraturan telah
dibuat mulai dari undang-undang dasar yang menjamin hak atas lingkungan. Kaidah dasar yang
melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia bahkan terdapat
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada Alinea ke-4 yang berbunyi: “Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”.
Pembukaan UUD 45 tersebut menegaskan kewajiban negara dan tugas pemerintah untuk
melindungi segenap sumber-sumber alam Indonesia guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia
dan segenap umat manusia. Pemikiran tersebut lebih dijabarkan lagi dalam Pasal 33 ayat (1)
sebagai berikut: “.................Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Ketentuan tersebut membawa konsekuensi sebagai titik awal ketetapan konstitusional
dalam sistem kenegaraan Indonesia yang menjadi dasar acuan untuk perlindungan terhadap
lingkungan hidup di Indonesia. Pemerintah pun mulai mengambil langkah dengan membuat
kebijakan untuk penegakan hukum lingkungan hidup ini. Dimulai dengan lahirnya UU No 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memuat prinsip-
prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang berfungsi memberikan arahan (direction) bagi sistem
hukum lingkungan nasional, dan setelah 15 tahun akhirnya undang-undang ini pun dicabut
karena dianggap kurang sesuai agar terwujud pembangunan berkelanjutan seperti apa yang
dicitakan. Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU. No 4 Tahun 1982 yang
telah diganti oleh UU No 23 Tahun 1997 dengan alasan menyesuaikan perkembangan zaman
demi terciptanya sustainable development, hingga ke peraturan daerah masing-masing propinsi
maupun kabupaten seluruh Indonesia mengatur mengenai masalah lingkungan, tidak tanggung-
tanggung bahkan terdapat pula penjatuhan sanksi pidana yang cukup berat di dalamnya, pidana
yang seharusnya merupakan ultimum remedium dalam penegakan hukum dalam kasus hukum
lingkungan ini pun dikedepankan fungsinya menjadi primum remedium karena dianggap paling
efektif dalam menangkal kasus-kasus perusakan lingkungan. Perlunya penggunaan sanksi pidana
menjadi primum remedium karena pada saat penggunaan sanksi pidana menjadi sampingan
atau ultimum remedium dalam penyelesaian masalah pencemaran lingkungan hidup, telah
menimbulkan beberapa kelemahan diantaranya:
1. Pada umumnya proses perkara perdata memerlukan waktu yang cukup lama, karena
besar kemungkinan pencemar akan mengulur-ulur waktu sidang atau pelaksanaan
eksekusi dengan cara mengajukan banding atau kasasi, sementara pencemaran terus
berlangsung.
2. Jangka waktu pemulihan sulit dilakukan dengan segera, memerlukan waktu yang cukup
lama.
3. dengan tidak menerapkan sanksi pidana, tidak ada deter effect (efek pencegahan) dari
sanksi-sanksi lain tidak dapat diharapkan dengan baik.
4. Penerapan sanksi administarsi dapat mengakibatkan penutupan perusahaan industri
yang membawa akibat pula kepada para pekerja, pengangguran bertamabah dan
menimbulkan bahaya dan kerwanan kejahatan lainnya.
Primum remedium sendiri diartikan sebagai asas yang merupakan kebalikan dari ultimum
remedium, yakni hukum pidana diberlakukan sebagai pilihan utama. M. Jasman, Jaksa Penuntut
Umum (JPU) dalam artikel JPU Tepis Eksepsi DL Sitorus menjelaskan antara lain bahwa premium
remedium merupakan suatu teori hukum pidana modern yang menyatakan hukum pidana
sebagai sarana hukum yang diutamakan.
Penegakan hukum di bidang lingkungan menurut Keith Hawkin, sebagaimana dikutip oleh
Koesnadi Hardjasoemantri, bahwa penegakan hukum lingkungan pada dasarnya dapat dilihat
dari dua sistem atau strategi yang berkarakter pembenahan peraturan dan pemberian sanksi
(sanctioning dengan penal style). Oleh karena itu merupakan suatu keharusan dalam pengaturan
mengenai lingkungan dimasukkan ketentuan pidana di dalamnya agar penegakan hukum
lingkungan itu sendiri dapat berjalan secara efektif. Walaupun sanksi pidana telah dimasukkan,
namun penegakan hukum di bidang lingkungan ini belum juga mencapai hasil yang optimal.
Potret penegakan hukum lingkungan di Indonesia pada kenyataannnya tidak menunjukkan
kecenderungan semakin membaik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya.
Berdasarkan laporan ICEL (Indonesian Centre of Environmental Law) indikator makin
suramnya penegakan hukum lingkungan, antara lain, diperlihatkan dengan gagalnya berbagai
upaya penegakan hukum lingkungan yang diprakarsai pemerintah ataupun mayarakat. Krisis
ekonomi yang terjadi serta kebijakan investasi yang tidak dilengkapi dengan upaya perwujudan
prinsip-prinsip good sustainable development governannce justru melahirkan kebijakan yang
mendukung dilakukannya eksploitasi sumber daya alam. Kebijakan pertambangan di areal hutan
lindung misalnya, justru melahirkan prinsip transgenetik yang mengabaikan “prinsip kehati-
hatian”.
Terdapat empat hal yang dicermati oleh ICEL mengenai gagalnya penegakan hukum
lingkungan di Indonesia, yaitu:
1. Pertama, politik pembangunan ekonomi yang mengacu pada paradigma pertumbuhan
(growth) dan ketiadaan komitmen untuk mewujudkan prinsip pembangunan
berkelanjutan (good sustainable development governance), telah menyebabkan semakin
terpuruknya penegakan hukum lingkungan dan melanggengkan proses eksploitasi
sumber daya alam.
2. Kedua, peraturan perundang-undangan di bidang Pengelolaan Lingkungan yang telah
ada tidak memiliki kemampuan untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan
lemahnya penegakan hukum lingkungan serta eksploitasi sumber daya alam.
3. Ketiga, aparat penegak hukum tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman serta
keutuhan atau kesatuan yang cukup untuk menangani kasus-kasus lingkungan.
4. Keempat, tidak adanya peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan rendahnya
akses masyarakat terhadap keadilan sangat berpotensi terjadinya amuk massa dalam
penyelesaian kasus lingkungan.
I.S Susanto menyimpulkan, bahwa terdapat minimal empat dimensi yang dapat
mempengaruhi kualitas penegakan hukum lingkungan yaitu adanya Undang-undang lingkungan
secara nyata, pelanggar hukumnya sendiri, korban (masyarakat), dan aparat penegak hukum,
dimana keempat dimensi tersebut bersifat saling mempengaruhi dan berlangsung dalam satu
wadah struktur politik, sosial, ekonomi, dan budaya pada keadaan tertentu. Pada dasarnya
(basic), pengertian pemidanaan dalam suatu peraturan perundang-undangan sangat penting. Hal
ini telah dimasukkan dalam undang-undang penegakan hukum lingkungan dengan adanya
ketentuan pidana yang tercakup dalam undang-undang tentang pengelolaan lingkungan hidup.
Lebih lanjut lagi, pengertian filosofis suatu peraturan perundang-undangan harus dapat
tercermin dalam hukum secara nyata, terlebih dalam konsep pemidanaan seperti disebut di atas.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) telah
memasukkan ketentuan-ketentuan pidananya dalam Bab IX, yang terdiri dari 8 (delapan) pasal,
dimulai dari Pasal 41 sampai dengan Pasal 48 UUPLH. Ketentuan-ketentuan pemidanaan ini jauh
lebih lengkap dan rinci bila dibandingkan dengan pengertian pemidanaan dalam Pasal 22 UU.
Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup yang lama.
Dengan demikian dalam hukum modern, kebijakan hukum pidana dalam penegakan hukum
lingkungan hidup perlu akan berangsur mengarah kepada:
1. Pola Pendekatan pemidanan lingkungan mendatang adalah penjeraan (deterrence
approach) atau lazim disebut dengan pendekatan penegakan hukum atau stick approach.
Pendekatan ini paling banyak digunakan dalam kebijakan penegakan hukum lingkungan.
2. Upaya pembuktian diarahkan kepada delik formal dimana pembuktian hanya melihat
pada unsur kelakuan yang dapat dilihat dengan unsur panca indera, misalnya tindakan
pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.
3. Hukuman pidana sebagai premium remidium.
4. Pemidanaan diarahkan pada sanksi kumulatif, artinya Hakim dapat menjatuhkan seluruh
ketentuan pemidanaan dalam undang-undang lingkungan tersebut, baik digabung
seluruhnya atau digabung 2 (dua) atau 3 (tiga) saja dan seterusnya.

Sumber:

http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/hkum4210-hukum-lingkungan/

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a255f2b2ff59/layar-terkembang-untuk-hak-
gugat-organisasi--class-action--dan-citizen-lawsuit/

https://media.neliti.com/media/publications/25280-ID-perkembangan-legal-standing-dalam-
hukum-lingkungan-suatu-analisis-yuridis-dalam.pdf

http://digilib.unila.ac.id/26114/3/SKRIPSI%20TANPA%20BAB%20PEMBAHASAN.pdf

https://bplawyers.co.id/2018/10/16/gugatan-legal-standing-cara-lingkungan-melawan/

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt53b7be52bcf59/arti-ultimum-remedium/

https://media.neliti.com/media/publications/10656-ID-sinkronisasi-penegakan-hukum-pidana-
lingkungan-hidup-dengan-undang-undang-yang-t.pdf

https://jurnal.uns.ac.id/recidive/article/download/32002/21376

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt54e830a05d044/hukuman-mati-
termasuk-iultimum-remedium-i-atau-ipremium-remedium-i/

https://jurnal.uns.ac.id/recidive/article/download/32002/21376

http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=819887&val=12610&title=PENERA
PAN%20AZAS%20PREMIUM%20REMEDIUM%20%20DALAM%20%20PERKARA%20PENCEMARA
N%20LINGKUNGAN%20HIDUP%20AKIBAT%20LIMBAH%20B3%20DI%20BATAM

Anda mungkin juga menyukai