Anda di halaman 1dari 2

Diskusi 1 Hukum Perdata

Sifat Hukum Acara Perdata Indonesia harus disesuaikan dengan sifat dari masyarakat Indonesia dalam
mencari keadilan di pengadilan. Menurut Anda apakah  hal tersebut dianut oleh Hukum Acara Perdata
yang berlaku saat ini! Jelaskan 

Jawaban :

Hukum acara perdata Indonesia yang berlaku saat ini berasal dari zaman Pemerintahan Hindia Belanda
yang hingga saat ini ternyata masih dipertahankan keberadaannya. Berlakunya hukum perdata di
Indonesia tidak terlepas dari banyaknya pengaruh kekuatan politik liberal di Belanda yang mencoba
berupaya melakukan perubahan-perubahan yang mendasar didalam tata hukum kolonial, kebijakan ini
dikenal dengan sebutan de bewiste rechtspolitiek.

Hukum acara perdata merupakan rangkaian peraturan-peraturan hukum formil yang digunakan untuk
mempertahankan keberlangsungan hukum perdata materiil dalam hal adanya tuntutan hak.[1] Adapun
hukum perdata materiil yang dimaksud meliputi segala peraturan perundang-undangan yang mengatur
kepentingan antarwarga negara perseorangan yang satu dengan warga perseorangan yang lain.[2] Hukum
formil tersebut merupakan peraturan hukum yang berisi ketentuan untuk menjamin ditaatinya hukum
perdata materiil dengan perantaraan hakim. Selain itu, hukum acara perdata juga mengatur tata cara
mengajukan tuntutan hak, memeriksa, memutuskan dan melaksanakan putusan.

Adapun dalam hukum acara perdata terdapat beberapa asas yang berlaku yaitu: 1) hakim bersifat
menunggu, 2) hakim pasif, 3) sifat terbukanya persidangan, 4) mendengar kedua belah pihak, 5) putusan
harus disertai alasan-alasan, 6) beracara dikenakan biaya dan 7) tidak ada keharusan mewakilkan.[2] Asas
yang pertama, hakim bersifat menunggu, berarti bahwa segala ajuan tuntutan hak sepenuhnya diserahkan
pada pihak yang berkepentingan. Apabila tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada hakim
yang mengurus perkara (Wo kein Klager ist, ist kein Richter; nemo judex sine actore).[4] Berikutnya,
dalam memeriksa perkara, hakim harus bersikap pasif yang artinya adalah ruang lingkup atau luas pokok
sengketa yang diajukan ditentukan oleh para pihak yang berperkara, bukan oleh hakim. Hal ini
merupakan ketentuan yang diharuskan dalam asas hakim pasif. Asas hakim pasif juga dikenal sebagai
asas ultra petita non cognoscitur yang menghendaki hakim untuk hanya menimbang hal-hal yang diajukan
para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan padanya. Dengan kata lain, hakim hanya menentukan
hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pihak, sehingga hakim dilarang menambah maupun
memberikan lebih dari yang diminta para pihak.[5] Sebagai contoh, apabila hakim ditugaskan dengan
suatu kasus Wanprestasi yang ternyata disertai penipuan, hakim tersebut hanya diperkenankan mengadili
perkara Wanprestasinya saja. Selain itu, persidangan yang dilaksanakan juga harus terbuka untuk umum,
sehingga setiap orang diperbolehkan untuk hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Adapun
keterbukaan yang dimaksud dalam asas tersebut dilakukan guna memberi perlindungan hak-hak asasi
manusia dalam peradilan dan menjamin objektivitas agar hakim bersikap adil serta tidak memihak.[6]

Selanjutnya, hakim dalam beracara perdata juga harus memperlakukan para pihak dengan sama, tidak
memihak dan mendengarkan mereka bersama-sama. Adapun alur gugatan dalam persidangan meliputi
beberapa tahap yaitu: 1) pembacaan gugatan, 2) jawaban, 3) replik oleh penggugat dan 4) replik dari
tergugat.[7] Asas ini juga dikenal dengan asas audi et alteram partem yang berarti hakim harus
mendengar dan memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak dalam menyampaikan informasi
dan keterangan.[8]Hal ini didukung dengan adanya Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

“(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”

Selain itu, putusan yang diberikan hakim juga harus memuat alasan-alasan sebagai dasar untuk mengadili
agar menjadi pertanggungjawaban hakim pada putusannya terhadap para pihak, masyarakat, pengadilan
yang lebih tinggi dan ilmu hukum.[9] Terlebih lagi, dalam hukum acara perdata, berperkara juga akan
dikenakan biaya kepaniteraan, panggilan, pemberitahuan dan material. Bahkan, jika pihak yang sedang
berperkara meminta bantuan pengacara, pihak tersebut juga harus mengeluarkan biaya untuk jasa
pengacaranya. Terakhir, hukum tidak mewajibkan para pihak untuk mewakili perkaranya kepada orang
lain. Artinya, setiap orang yang berkepentingan dapat melewati dan menjalani pemeriksaan di
persidangan secara langsung. Hal tersebut dapat mempermudah hakim untuk mengetahui lebih jelas
perkara yang sedang diperiksa. Akan tetapi, seorang wakil juga dapat bermanfaat bagi hakim dalam
persidangan karena mereka dianggap beritikad baik dalam memberikan bantuan dan tahu akan hukum
jika wakilnya adalah sarjana hukum. Dengan kata lain, seorang wakil dapat memperlancar jalannya
peradilan hukum.[10]

Sebagai kesimpulan, hukum acara perdata merupakan hukum formil yang menjamin berjalannya hukum
perdata materiil. Adapun dalam beracara perdata, terdapat asas-asas yang berfungsi sebagai pedoman
untuk membantu seluruh kegiatan dan pelaksanaan acara perdata dalam persidangan. Asas-asas tersebut
juga dapat membantu memberikan perlindungan hukum, transparansi dan keadilan bagi pihak-pihak yang
berperkara maupun masyarakat.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076).

Anda mungkin juga menyukai