Anda di halaman 1dari 7

Tugas 2

Nama : Randi Evan Saputra


Nim : 041625496
Jurusan/Semester : Ilmu Hukum/ 4
Mata Kuliah : Hukum Pidana

1. Jelaskan perkembangan asas legalitas dalam hukum pidana dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, berikan contoh kasus dan berikan pula analisis atas kasus
tersebut!

Jawab :

Perkembangan asas legalitas dalam hukum pidana :

- Asas legalitas diciptakan oleh seorang ahli hukum Jerman bernama Paul Johan
Anslem Von Feuerbach (1775 – 1833)
- Asas legalitas berdasarkan adagium nullum delictum,nulla poena sine praevia
legi poenali yang berarti tidak ada perbuatan pidana,tidak ada pidana tanpa
undang-undang sebelumnya.
- Asas legalitas lahir untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-
wenangan negara sesuai dengan tujuan hukum pidana menurut aliran klasik
- Teori asas legalitasnya Paul Johan Anslem Von Feuerbach ini kemudian dikenal
dengan psycologische dwang yang berarti untuk menentukan perbuatan-
perbuatan yang dilarang dalam suatu undang-undang pidana, tidak hanya
perbuatan tersebut dituliskan dengan jelas dalam undang-undang pidana tetapi
juga mengenai macamnya pidana yang diancamkan.
- Pada hakikatnya ruh dari asas legalitas terdapat dalam ajaran agama.
- Dalam perkembangannya tuntutan keadilan, asas legalitas ini disimpangi di
beberapa negara.

Faktor-faktor yang mempengaruhinya :


- Asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan pada perlindungan individu
untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum
- Asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan pada dasar dan tujuan
pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi
masyarakat sehingga tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
masyarakat.
- Asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan tidak hanya pada ketentuan
tentang perbuatan pidana saja agar orang menghindari perbuatan tersebut tetapi
juga harus diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-
wenang dalam menjatuhkan pidana.
- Asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan pada perlindungan hukum
kepada negara dan masyarakat.

Contoh :

Rafi yang memakai narkotika katinona atau cathinone, tetapi jenis maupun golongannya
belum/tidak disebutkan dalam UU No. 35 Tahun 2009.

Analisis

Disebutkan bahwa barang bukti zat narkoba yang ditemukan dalam kasus Raffi belum
terdaftar dalam Lampiran UU Narkotika. Kasus diatas erat kaitannya dengan salah satu
asas hukum pidana, yakni asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi : “Suatu perbuatan hanya
merupakan tindak pidana, jika ini ditentukan lebih dulu dalam suatu ketentuan
perundang-undangan.”

Dari uraian tersebut jelas bahwa proses hukum terhadap Raffi tidak dapat dilanjutkan
karena katinona atau cathinone tidak terdapat dalam lampiran UU Narkotika. Artinya,
Raffi tidak bisa dituntut secara pidana karena tidak ada dasar hukum terhadap status zat
kationa atau cathinone yang tidak terdapat dalam UU Narkotika tersebut.
Sumber :

BMP 4203 Modul 4. S. Hiariej, Eddy O. (2020). Hukum Pidana. (Edisi ke-1).
Tangerang Selatan : Universitas Terbuka.

2. Jelaskan perkembangan pembatasaan asas legalitas di Indonesia sesuai dengan


RUU KUHP!

Jawab :

Selama ini asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang menentukan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana,
kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah
ada.2 Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP draft tahun 2010 masih
mempertahankan asas legalitas sebagai asas fundamental. Pasal 1 ayat (1) RUU
KUHP menentukan bahwa tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan
tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan. Selanjutnya ayat (2) dari Pasal tersebut menentukan bahwa dalam
menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.

Namun asas legalitas tersebut mengalami perluasan dalam ketentuan selanjutnya.


Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP menentukan konsep yang berbeda dari adagium nullum
delictum nulla poena sine praevia lege. Ayat (3) menentukan bahwa ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang
hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya Ayat (4) menentukan bahwa berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-
nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa. Dengan adanya ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) RUU KUHP
tersebut maka seseorang dapat dituntut dan dipidana atas dasar hukum yang hidup
dalam masyarakat meskipun perbuatan tersebut tidak dilarang dalam perundang-
undangan. Penjelasan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP menyebutkan: suatu kenyataan
bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan
hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum
di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana
yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar
hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut
mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini.
Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut
untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.

Perluasan asas legalitas tersebut menggambarkan adanya pertentangan antara


ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) dengan ayat (3) dan ayat (4) RUU KUHP.
Pertentangan tersebut terjadi karena Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP menghendaki
adanya peraturan sebelum tindakan yang dianggap melanggar hukum itu terjadi.
Dengan demikian ketentuan ini menghendaki adanya kepastian hukum. Sedangkan
ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP mengesampingkan kepastian hukum dengan
mengedepankan keadilan (untuk memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam
masyarakat tertentu). Di satu sisi, melalui asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) RUU
KUHP, hukum pidana menghendaki aturan yang tertulis dan cermat. Sementara
hukum yang hidup dalam masyarakat tidak tertulis (untuk menunjuk hukum selain
hukum yang dibentuk oleh negara). Larangan penggunaan analogi dalam Pasal 1
ayat (2) RUU KUHP juga kontradiktif dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP.
Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana
merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti
bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu
tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk
tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua
perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain.

Sumber :

BMP 4203 Modul 4. S. Hiariej, Eddy O. (2020). Hukum Pidana. (Edisi ke-1).
Tangerang Selatan : Universitas Terbuka.

3. Apakah sifat melawan hukum dalam hukum perdata sama dengan melawan hukum
dalam hukum pidana, cantumkan dasar hukumnya, buat contoh kasus dan berikan
pula analisia atas kasus perbuatan melawan hukum yang saudara buat!

Jawab :

Pasal 1365 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (BW), bahwa dijelaskan pihak
yang dirugikan oleh pihak lain berhak menuntut ganti rugi tetapi ini bukan dalam
lapangan perjanjian. Sedangkan dalam konteks pidana perbuatan melawan hukum
adalah perbuatan yang melanggar undang-undang, perbuatan yang dilakukan di luar
kekuasaan atau kewenangannya serta perbuatan yang melanggar asas-asas umum
dalam lapangan hukum.

Dalam hukum pidana,untuk perbuatan melawan hukum atau yang disebut dengan
istilah perbuatan pidana mempunyai arti,konotasi dan pengaturan hukum yang
berbeda sama sekali dengan perbuatan melawan hukum secara perdata.

Yang membedakan perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana dan hukum
perdata :
- Perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana sering disebut dengan
Wederrechtelijk dan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata sering di
sebut dengan Onrechtmatige daad.
- Dasar hukum pengaturannya, perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sedangkan perbuatan
melawan hukum dalam hukum perdata di atur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata/ KUHPer (BW) khususnya di Pasal 1365 BW.
- Sifat perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana bersifat publik artinya ada
kepentingan umum yang dilanggar (disamping juga kepentingan individu),
sedangkan perbuatan hukum dalam konteks perdata bersiffat privat yang
dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.
- Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana adalah perbuatan
yang melanggar Undang-Undang, perbuatan yang dilakukan di luar batas
kewenagannya atau kekuasaannya dan perbuatan yang melanggar asas-asas
umum yang berlaku di lapangan hukum sedangkan unsur-unsur dari perbuatan
melawan hukum dalam konteks perdata adalah adanya suatu perbuatan,
perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan dari pihak pelaku,
adanya kerugian bagi korban dan adanya hubungan kausal antara perbuatan dan
kerugian.

Contoh :

Kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor: 04/Pdt.G/2010/PN.Jr. Dalam


putusan tersebut diketahui bahwa penggugat merasa dirugikan akibat tower
yang dimiliki tergugat roboh saat hujan disertai angin kencang. Perlu diketahui bahwa
tower tersebut juga dipergunakan untuk menyangga beban antena milik pihak lain
beserta perlengkapannya. Hal ini menyebabkan beban yang disangga oleh tower
menjadi jauh lebih berat dan melebihi kapasitasnya. Sehingga kemudian mengakibatkan
tower tersebut miring ke arah barat.
Hakim dalam putusannya menyatakan robohnya tower adalah akibat dari kelalaian
Para Tergugat dalam melakukan perawatan terhadap tower tersebut. Untuk itu,
tergugat dinyatakan melakukan PMH dan dihukum untuk membayar kerugian materiil
dan immateriil yang menimpa penggugat.

Sumber :

BMP 4203 Modul 6. S. Hiariej, Eddy O. (2020). Hukum Pidana. (Edisi ke-1).
Tangerang Selatan : Universitas Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai