Anda di halaman 1dari 3

Izin menanggapi diskusi diatas.

Sejarah dan Landasan Filsafati Asas Legalitas

• Asas legalitas diciptakan oleh seorang ahli hukum jerman bernama Paul Johan Anslem von
Feuerbach (1775-1833).

• Asas legalitas berdasarkan adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali
yang berarti tidak ada perbuatan pidana, tidk ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya.

• Asas legalitas lahir untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan


negara sesuai dengan tujuan hukum pidana menurut aliran klasik.

• Sejarah perkembangan asas legalitas dalam hukum pidana dengan segala faktor yang
mempengaruhinya terdapat empat macam sifat ajaran yang dikandung oleh asas legalitas,
yakni 1) asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan pada perlindungan individu
untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum, 2) asas legalitas hukum pidana yang
menitikberatkan pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum
pidana bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh masyarakat, 3) asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan tidak hanya pada
ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang menghindari perbuatan tersebut tetapi
juga harus diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-wenang
dalam menjatuhkan pidana, 4) asas legalitas hukum pidana yang menitikberatkan pada
perlindungan hukum kepada negara dan masyarakat. Asas legalitas disini bukan hanya
kejahatan yang ditetapkan oleh undang-undang saja akan tetapi menurut ketentuan hukum
berdasarkan ukuran dapat membahayakan masyarakat.

Definisi Asas Legalitas

• Asas legalitas adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan
undang-undang pidana yang ada sebelum perbuatan dilakukan.

• Kata ‘perbuatan’ dalam asas legalitas dapat bersifat positif maupun negatif. Perbuatan
bersifat positif berarti melakukan sesuatu yang dilarang, sedangkan perbuatan bersifat
negatif mengandung arti tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang.

Makna yang terkandung dalam asas legalitas

• Nullum crimen, noela poena sine lege praevia, artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada
pidana tanpa undang-undang sebelumnya. Konsekuensi dari makna ini adalah ketentuan
hukum pidana tidak boleh berlaku surut.

• Nullum crimen, nulla poena sine lege certa, artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada
pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. Konsekuensi selanjutnya dari makna ini
adalah bahwa rumusan perbuatan pidana harus jelas sehingga tidak bersifat multi tafsir yang
dapat membahayakan bagi kepastian hukum.
• Nullum crimen, nulla poena sine lege scripta, artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada
pidana tanpa undang-undang tertulis. Konsekuensi dari makna ini adalah semua ketentuan
pidana harus tertulis secara eksplisit.

• Nullum crimen, noela poena sine lege stricta, artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada
pidana tanpa undang-undang yang ketat. Atau tidak memperbolehkan analogi, supaya tidak
menimbulkan perbuatan pidana baru.

Pembatasan terhadap asas legalitas

• Pembatasan terhadap asas legalitas disebut dengan istilah pembatasan terhadap asas lex
termporis delicti.

• Pembatasan terhadap asas legalitas terkait perubahan peraturan perundang-undangan


maka harus diterapkan aturan yang paling menguntungkan.

Dalam hukum pidana Indonesia di KUHP lama, asas legalitas diatur dengan jelas
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menentukan bahwa suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana
yang telah ada. Pasal 1 ayat (1) KUHP ini memuat dua hal penting yaitu: pertama,
perbuatan pidana harus ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan.
Kedua, perundang-undangan harus ada sebelum terjadinya perbuatan pidana
tersebut. Asas legalitas (principle of legality) menentukan bahwa tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu
dalam perundang-undangan.

Dalam KUHP Baru, Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP menentukan bahwa tiada seorang
pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah
ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. Selanjutnya ayat (2) dari Pasal tersebut
menentukan bahwa dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan
analogi. Selanjutnya dalam KUHP baru asas legalitas tersebut mengalami perluasan
dalam ketentuan selanjutnya. Pasal 1 Ayat (3) menentukan bahwa ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang
hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya Ayat (4) menentukan bahwa berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-
nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa.

Dengan adanya ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) RUU KUHP tersebut maka
seseorang dapat dituntut dan dipidana atas dasar hukum yang hidup dalam
masyarakat meskipun perbuatan tersebut tidak dilarang dalam perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP menyebutkan: suatu kenyataan bahwa
dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang
tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah
tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang
biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang
mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat
pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan
pada ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk
lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.

Menurut analisa saya, Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP yg menyatakan bahwa
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, sehingga bisa diartikan bahwa hal tersebut merupakan hukum
tidak tertulis. Dengan kata lain hal ini bertentangan dengan asas legalitas yang
mengharuskan ketentuan diatur dalam perundang-undangan dengan asas lex
certa. Asas legalitas menghendaki adanya pengaturan yang bersifat rinci dan cermat
(lex certa). Hukum yang hidup dalam masyarakat bukanlah hukum yang dituliskan.
Oleh karena itu, tidak ada perumusan mengenai perbuatan yang dilarang.
Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum. Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP dengan tegas menentukan
larangan penggunaan analogi sebagai konsekuensi dari asas legalitas. Namun
dengan adanya perluasan asas legalitas justeru terjadi pertentangan karena untuk
memidana suatu perbuatan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan
maka hakim pasti akan menggunakan analogi atau setidak-tidaknya interpretasi
ekstensif. Sehingga mengandung potensi penyalahgunaan atau ambigu dalam
menafsirkan hukum pidana. Sebagai konsekuensinya, terdapat potensi terjadinya
ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi terdakwa,

Menurut saya pengaturan mengenai perluasan asas legalitas perlu ditinjau ulang
agar justeru tidak bertentangan dengan makna asas legalitas itu sendiri.

Sumber referensi :

1. Modul 4 Hukum Pidana Randy Pradityo, S.H, M.H.

2. BMP Hukum Pidana (HKUM4203). Modul 3-4 Eddy O.S Hiariej

3. https://dokterlaw.com/post/perbedaan-mendasar-kuhp-lama-vs-kuhp-baru

Anda mungkin juga menyukai