Anda di halaman 1dari 15

Asas Legalitas Dan Perbuatan Pidana

MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana

Disusun Oleh :

Bayu Rizky Wirawan (0203203010)

Rahimah khan (0203202111)

Fadhil arrahman (0203202103)

Atmaja Oloan (0204202119)

PRODI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN
2021

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Indonesia sejak merdeka telah menyadari urgensi pembaharuan hukum
pidana peninggalan pemerintah kolonial dengan hukum pidana yang sesuai
dengan kebutuhan dan kesadaran hukum negera dan masyarakat Indonesia
yang sudah merdeka. Langkah pertama adalah dengan menetapkan UU No. 1
tahun 1946 tentang Pemberlakuan Wetbook van Strafrech Nederland Indie
(WvS NI yang sekarang dikenal dengan KUHP dengan beberapa
perubahannya). Langkah ini setidaknya untuk menghindari adanya
kekosongan hukum di bidang pidana, sebelum dibuat hukum pidana baru
yang memang benar-benar produk dari negara merdeka Indonesia, yang lebih
sesuai dari aspek filosofi, nilai, asas, dan normanya dengan nilainilai
Pancasila dan ke-Indonesia-an lainnya.

2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Asas Legalitas ?
2. Apa Definisi Asas Legalitas ?
3. Apa Yang Terkandung Dalam Asa Legalitas?
4. Bagaimana Asas Legalitas Dalam Konteks Hukum Pidana Nasional ?
5. Bagaiamana Asas Legalitas Dalam Konteks Hukum Pidana Internasional ?
6. Penafsiran dan analogi dalam hukum pidana
7. Pengertian perbuatan hukum pidana
8. Elemen elemen perbuatan Pidana
9. Unsur unsur dan Jenis jenis delik
BAB II

PEMBAHASAN

1. Sejarah dan Landasan Filsafati Asas Legalitas


Pada awalnya asas legalitas berhubungan dengan teori Von Feurbach,
yang disebut dengan teori Vom Psycologischen Zwang. Teori ini berarti
anjuran agar dalam penentuan tindakan-tindakan yang dilarang, tidak hanya
tercantum macam-macam tindakannya, tetapi jenis pidana yang dijatuhkan.
Asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan terkenal
dengan adagium legendaris Von Feuerbach yang berbunyi nullum delictum
nulla poena sine praevia lege poenali. Secara bebas, adagium tersebut dapat
diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa
(didasari) peraturan yang mendahuluinya”. Secara umum, Von
Feuerbach membagi adagium tersebut menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Tidak ada hukuman, kalau tak ada ketentuan Undang-undang (Nulla


poena sine lege);
2. Tidak ada hukuman, kalau tak ada perbuatan pidana (Nulla poena sine
crimine);
3. Tidak ada perbuatan pidana, kalau tidak ada hukuman yang
berdasarkan Undang-undang (Nullum crimen sine poena legali).
Adagium tersebut merupakan dasar dari asas bahwa ketentuan pidana
tidak dapat berlaku surut (asas non-retroaktif) karena suatu delik hanya dapat
dianggap sebagai kejahatan apabila telah ada aturan sebelumnya yang
melarang delik untuk dilakukan, bukan sesudah delik tersebut dilakukan.
Eddy O.S. Hiariej (2012) memberikan makna dalam adagium tersebut,
sebagai asas yang memiliki dua fungsi: (i) Fungsi melindungi yang berarti
Undang-Undang pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan Negara yang
sewenang-wenang; (ii) Fungsi instrumentasi, yaitu dalam batas-batas yang
ditentukan Undang-Undang, pelaksanaan kekuasaan oleh Negara tegas-tegas
diperbolehkan. Fungsi melindungi lebih pada hukum pidana materil (hukum
pidana) yang mengacu pada frasa pertama (nulla poena sine lege) dan kedua
(nulla poena sine crimine), sementara fungsi instrumentalis lebih pada hukum
pidana formil (hukum acara pidana) yang mengacu pada frasa ketiga (nullum
crimen sine poena legali).
Satu dan lain dalam perkara-perkara pidana, untuk pemecahan kasus-
kasus perbuatan pidana, penting untuk diketahui; empat makna asas legalitas
yang dikemukakan oleh Jeschek dan Weigend (Machteld Boot: 2001)
diantaranya:
1. Terhadap ketentuan pidana, tidak boleh berlaku surut
(nonretroaktif/nullum crimen nulla poena sine lege praevia/lex
praevia);
2. Ketentuan pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan
hukum kebiasaan (nullum crimen nulla poena sine lege scripta/lex
scripta);
3. Rumusan ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen nulla poena sine
lege certa/lex certa);
4. Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi
(nullum crimen poena sine lege stricta/lex stricta).

Berdasarkan keempat makna asas legalitas di atas, menjadi dasar


dalam menganggap, kemudian membuktikan sejelas-jelasnya, dari setiap
orang yang telah melakukan perbuatan pidana, sehingga patut
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.
2. Definisi Asas Legalitas
Jonkers yang dikutip oleh Edddy O.S, menyatakan bahwa Pasal 1 ayat
(1) KUHP, tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan
Undang undang pidana yang ada sebelum perbuatan dilakukan adalah suatu
pasal tentang asas. Berbeda dengan asas hukum lainnya, asas legalitas ini
tertuang secara eksplisit dalam undang-undang. Padahal, menurut pendapat
para ahli hukum, suatu asas hukum bukan merupakan peraturan hukum
konkrit.
Selanjutnya menurut Tongat, Pasal 1 ayat (1) KUHP, mengandung
pengertian bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang hanya dapat
diberlakukan terhadap suatu tindak pidana yang terjadi sesudah ketentuan
pidana dalam undang-undang itu diberlakukan, dengan kata lain, ketentuan
pidana dalam undang-undang itu hanya berlaku untuk waktu kedepan.
Menurut Moeljatno, asas legalitas (Principle of legality), asas yang
menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan.
Biasanya ini dikenal dalambahasa latin sebagai nullum delictum nulla poena
sine praevia lege. (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih
dahulu).
Menurut Wirjono Prodjodikoro, bahasa latin yang berbunyi nullum
delictum, nulla puna sine praevia lege punali diartikan tiada kejahatan, tiada
hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan para sarjana atau ahli
hukum di atas, terdapat kesamaan pandangan di antara para ahli hukum
pidana bahwa asas legalitas yang dikenal dengan bahasa latin sebagai nullum
delictum , nulla puna sine praevia lege punali adalah memiliki pengertian,
yaitu tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan pidana
menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu. Ketentuan ini
sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah defenisi
baku dari asas legalitas.

3. Makna Yang Terkandung Dalam Asas Legalitas


Banyak dari para ahli hukum pidana memberikan makna yang berbeda
dari defenisi asas legalitas. Seperti yang telah diutarakan diatas, terhadap asas
legalitas terdapat kesepahaman diantara para ahli hukum pidana, namun
perihal makna yang terkandung dalam asas legalitas kiranya terdapat
perbedaan pendapat diantara para ahli hukum pidana.
Menurut Enschede hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas
legalitas:
Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam
perundang-undangan pidana (... wil een feit strafbaar zijn, dan moet het vallen
onder een wettelijke strafbepaling...). Kedua, kekuatan ketentuan pidana tidak
boleh diberlakukan surut (... zo'n strafbepaling mag geen terugwerkende
kracht hebben...f''. Makna asas legalitas yang dikemukakan oleh Enschede ini
sama dengan makna asas legalitas yang dikemukakan oleh Wirjono
Prodjodikoro yaitu bahwa sanksi pidana hanya dapat ditentukan dengan
undang-undang dan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Sudarto yang juga mengemukakan ada dua hal yang terkandung dalam
asas legalitas. Pertama, suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan. Kedua, peraturan perundang-undangan ini harus ada
sebelum terjadinya tindak pidana.
Selanjutnya Muljatno, asas legalitas mengandung makna tiga
pengertian, yaitu: Pertama, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu
aturan undang-undang. Kedua, untuk menentukan adanya perbuatan pidana
tidak boleh digunakan analogi. Ketiga aturan-aturan hukum pidana tidak
berlaku surut.
Sementara menurut Groenhuijsen seperti yang dikutip Komariah
Emong Sapardjaja, ada empat makna yang terkandung dalam asas ini. Dua
dari yang pertama ditujukan kepada pembuat undang-undang dan dua yang
lainnya merupakan pedoman bagi hakim. Pertama, bahwa pembuat undang-
undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur.
Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan
delik yang sejelasjelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa
terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis
atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang
diterapkan analogi.
Dari beberapa perbedaan makna dari asas legalitas sebagai mana
tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya makna asas
legalitas: pertama, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana sebelum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang; kedua. Semua
perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik yang sejelas-
jelasnya; ketiga, aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Makna sebagaimana tersebut diatas merupakan asas legalitas formil, seperti
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas ini menekankan, bahwa dasar
untuk menentukan dapat tidaknya suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan
yang diancam dengan pidana harus terlebih dahulu diatur dalam undang-
undang.

4. Asas Legalitas Dalam Konteks Hukum Pidanan Nasional


Asas legalitas ini pertama tama mempunyai bentuk sebagai undang
undang adalah dalam Konstitusi Amerika 1776 dan sesudah itu dalam pasal 8
Declaration de droits de I’homme et du citoyen 1789: “nul ne peut etre puni
qu’en vertu d’une loi etabile et promulguee anterieurement au delit et
legalement appliquee.
Asas ini selanjutnya dimasukkan ke dalam pasala 4 Code Penal
Perancis yang disusun oleh NAPOLEON BONAPARTE, “nulle
contravention, nul delit, nul crime, ne peuvent etre punis de peines qui’n
etaient pas prononcees par la loi avant qu’ils fussent commis”. Dari code
penal perancis inilah, asas tersebut kemudian dimasukkan dalam pasal 1 ayat
(1) wetboek van starfrecht di negeri belanda yang dengan tegas menyatakan,
“geen feit is straafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane
wettelijke strafbepaling”. Selanjutnya asas tersebut di muat dalam pasal 1 ayat
(1) KUHP Indonesia.

5. Asas Legalitas Dalam Konteks Hukum Pidana Internasional


Terhadap asas legalitas dalam konteks hukum pidana internasional,
terdapat perbedaan di antara para ahli hukum pidana. Antonio
Cassese dengan mengambil perbandingan pelaksanaan asas legalitas di negara
negara civil law yang sangat demokratis, menyatakan bahwa ada empat hal
yang terkandung dalam asas legalitas.

 Pertama, makna asas legalitas terkandung dalam pstulat nullum


crimen sine lege scripta. Postula ini mempunyai makna bahwa
pelanggaran hukum pidana hanya ada dalam hukum tertulis yang di
buat oleh legislatif atau parlemen dan tidak berdasarkan aturan aturan
kebiasaan.
 Kedua, makna asas legalitas terkandung dalam postulat nullum crimen
sine lege stricta. Artinya, kebijkana kriminal harus berdasarkan prinsip
spesifik melalui aturan aturan yang mengkriminalisasikan suatu
kelakuan manusia secara khusus dan sejelas mungkin sehingga tidak
diinterpretasikan lain.
 Ketiga, makna asas legalitas terdapat dalam postulat nullum crimen
sine praevia lege. Artinya aturan aturan pidana tidak boleh berlaku
surut sehingga seseorang tidak boleh dipidana berdasarkan ketentuan
ketentuan yang belum ada pada saat ia melakukannya.
 Keempat, maknas asas legalitas adalah larangan menerapkan aturan
aturan pidana secara analogi

6. Penafsiran dan Analogi Dalam Hukum Pidana


Penafsiran Analogi yaitu memberi penafsiran pada sesuatu peraturan
hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai
dengan azas hukumnya sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak
termasuk kedalamnya dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
Penafsiran analogi telah menimbulkan perdebatan di antara para yuris
yang terbagi ke dalam dua kubu, menerima dan menentang penafsiran
analogi. Secara ringkas, penafsiran analogi adalah apabila terhadap suatu
perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak merupakan tindak pidana,
diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain
yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut,
sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan lainnya.
Menurut Prof. Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu: gesetz analogi
dan recht analogi. Gesetz analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang
sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan pidana. Sementara recht analogi
adalah analogi terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan
perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum pidana.
Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya analogi, di antaranya
adalah karena perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga
hukum pidana harus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat
itu. Sementara yang menentang mengatakan bahwa penerapan analogi
dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam
masyarakat. Dalam perkembangannya, pembatasan dan penggunaan analogi
ini tergantung pada sistem hukum yang dianut suatu negara.
Menurut Jan Remmelink, inti dari penafsiran analogi, singkatnya, bagi
pendukung pendekatan ini tidak membatasi pengertian suatu aturan hanya
dalam batas-batas polyseem kata-kata. Bila diperlukan, mereka akan siap
sedia mengembangkan dan merumuskan aturan baru (hukum baru), tentu
tidak dengan sembarang melainkan dalam kerangka pemikiran, rasio
ketentuan yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, karena trauma pada
saat pemerintahan Nazi, timbul keengganan yang besar terhadap penggunaan
metode ini di seluruh Eropa dan Belanda.

7. Pengertian Perbuatan Pidana


Moeljatno memakai istilah perbuatan pidana dalam hukum pidana,
tetapi adapun istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak
pidana”. Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari pada “perbuatan” tapi kata
tersebut tidak menunjukan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi
hanya menyatakan keadaan konkret. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana
adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
yang melanggar larangan tersebut. Simons menerangkan, bahwa perbuatan
pidana adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan
hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang
yang mampu bertanggung jawab.
Tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah Bahasa Belanda
yaitu Strafbaar feit. Dalam Bahasa Indonesia terdapat beberapa terjemahan
Strafbaar feit yaitu diantaranya sebagai peristiwa pidana, tindak pidana,
perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan pidana. Tindak pidana pada
hakikatnya adalah perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal
maupun secara material. Pengertian tindak pidana itu sendiri ialah perbuatan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana

8. Elemen – elemen Perbuatan Pidana

elemen-elemen perbuatan pidana (tindak pidana) menurut Moeljatno


adalah:10

1. Kelakuan dan akibat (= perbuatan),


2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan,
Hal ikhwal oleh van hamel dibagi kedalam dua golongan, yaitu
mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di
luar diri si pelaku.
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana,
Contohnya seperti penganiayaan menurut Pasal 351 Ayat 1 KUHP
yang diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan. Tetapi jika perbuatan menimbulkan luka-luka berat, ancaman
pidana diberatkan menjadi lima tahun dan jika mengakibatkan mati,
menjadi tujuh tahun
4. Unsur melawan hukum objektif,
Sebagai contohnya dapat dilihat dalam Pasal 406 yaitu mengenai
menghancurkan atau merusak barang, sifat melawan hukumnya
perbuatan dari hal bahwa barang bukan miliknya dan tidak dapat izin
dari berbuat demikian. Unsur melawan hukum tersebut menunjuk
kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan.
5. Unsur melawan hukum subjektif..
Disamping itu, sifat melawan hukumnya perbuatan tidak terletak pada
keadaan objektif, tetapi pada keadaan subjektif yaitu terletak didalam
hati sanubari terdakwa sendiri. Sifat melawan hukumnya perbuatan
tergantung kepada bagaimana sikap batinnya terdakwa. Meskipun
perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas
elemen-elemen lahir, namun dalam perumusan juga diperlukan elemen
batin yaitu unsur melawan hukum yang subjektif

9. Unsur – unsur dan jenis – jenis Delik

Kata delik berasal dari bahasa Latin, yaitu dellictum, yang didalam Wetboek
Van Strafbaar feit Netherland dinamakan Strafbaar feit. Dalam Bahasa Jerman
disebut delict, dalam Bahasa Perancis disebut delit, dan dalam Bahasa Belanda
disebut delict. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai
berikut “perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang; tindak pidana.” Pemakaian istilah peristiwa pidana karena
istilah peristiwa itu meliputi suatu perbuatan (handelen atau doen) atau suatu
melalaikan (verzuin atau nalaten) maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh
karena perbuatan atau melalaikan itu), dan peristiwa pidana adalah suatu peristiwa
hukum, yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh
hukum

Mengenai delik dalam arti strafbaar feit, para pakar hukum pidana masing
masing memberiikan Definisi berbeda, menurut Vos mendefinisikan delik adalah feit
yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang. Van Hammel
mendefiniskan delik sebagai suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang
lain, sedangkan Prof. Simons mengartikan delik sebagai suatu tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang
yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum .

Macam-Macam Delik
1. Delik kejahatan adalah rumusan delik yang biasanya disebut delik
Hukuman, ancaman Hukumannya lebih berat;
2. Delik pelanggaran adalah biasanya disebut delik Undang-Undang yang
ancaman Hukumannya memberii alternative bagi setiap pelanggarnya;
3. Delik formil yaitu delik yang selesai, jika perbuatan yang dirumuskan
dalam peraturan pidana itu telah dilakukan tanpa melihat
akibatnya.Contoh: Delik pencurian Pasal 362 KUHP, dalam Pasal ini yang
dilarang itu selalu justru akibatnya yang menjadi tujuan si pembuat delik;
4. Delik materiil adalah jika yang dilarang itu selalu justru akibatnya yang
menjadi tujuan si pembuat delik.Contoh: Delik pembunuhan Pasal 338,
Undang-undang Hukum pidana, tidak menjelaskan bagaimana cara
melakukan pembunuhan, tetapi yang disyaratkan adalah akibatnya yakni
adanya orang mati terbunuh, sebagai tujuan si pembuat/pelaku delik;
5. Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan
diberlakukan secara umum.Contoh: Penerapan delik kejahatan dalam buku
II KUHP misalnya delik pembunuhan Pasal 338 KUHP;
6. Delik khusus atau tindak pidana khusus hanya dapat dilakukan oleh orang
tertentu dalam kualitas tertentu dalam kualitas tertentu, misalnya tindak
pidana korupsi, ekonomi, subversi dan lain-lain;
7. Delik biasa adalah terjadinya suatu perbuatan yang tidak perlu ada
pengaduan, tetapi justru laporan atau karena kewajiban aparat negara
untuk melakukan tindakan;
8. Delik dolus adalah suatu delik yang dirumuskan dilakukan dengan
sengaja.Contoh: Pasal-pasal pembunuhan, penganiayaan dan lain-lain;
9. Delik kulpa yakni perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaiannya,
kealpaannya atau kurang hati-hatinya atau karena salahnya seseorang yang
mengakibatkan orang lain menjadi korban.Contoh: Seorang sopir yang
menabrak pejalan kaki, karena kurang hati-hati menjalankan
kendaraannya;Seorang buruh yang membuang karung beras dari atas
mobil, tiba-tiba jatuh terkena orang lain yang sementara berjalan kaki;
10. Delik berkualifikasi adalah penerapan delik yang diperberat karena suatu
keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu.Contoh: Pasal 363 KUHP,
pencurian yang dilakukan pada waktu malam, atau mencuri hewan atau
dilakukan pada saat terjadi bencana alam dan lain-lain, keadaan yang
menyertainya itulah yang memberiatkan sebagai delik pencurian yang
berkualifikasi;
11. Delik sederhana adalah suatu delik yang berbentuk biasa tanpa unsur dan
keadaan yang memberiatkan.Contoh: Pasal 362 KUHP, delik pencurian
biasa;
12. Delik berdiri sendiri (Zelfstanding Delict) adalah terjadinya delik hanya
satu perbuatan saja tanpa ada kelanjutan perbuatan tersebut dan tidak ada
perbuatan lain lagi.Contoh: Seseorang masuk dalam rumah langsung
membunuh, tidak mencuri dan memperkosa;
13. Delik berlanjut (Voortgezettelijke Handeling) adalah suatu perbuatan yang
dilakukan secara berlanjut, sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan yang dilanjutkan;
14. Delik komisionis adalah delik yang karena rumusan Undang-undang
bersifat larangan untuk dilakukan.Contoh: Perbuatan mencuri, yang
dilarang adalah mencuri atau mengambil barang orang lain secara tidak
sah diatur dalam Pasal 362 KUHP;
15. Delik omisionis adalah delik yang mengetahui ada komplotan jahat tetapi
orang itu tidak melaporkan kepada yang berwajib, maka dikenakan Pasal
164 KUHP, jadi sama dengan mengabaikan suatu keharusan;
Delik aduan adalah delik yang dapat dilakukan penuntutan delik
sebagai syarat penyidikan dan penuntutan apabila ada pengaduan dari
pihak yang dirugikan/korban.Contoh: Pencurian Keluarga Pasal 367
KUHP;Delik Penghinaan Pasal 310 KUHP;Delik Perzinahan Pasal 284
KUHP.
Dalam ilmu hukum pidana dikenal adanya delik formil dan delik
materil, yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang
perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana oleh undang-undang, disini rumusan dari perbuatan jelas.
Adapun delik materil adalah delik yang perumusannya menitikberatkan
pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-
undang, dengan kata lain, hanya disebut rumusan dari akibat perbuatan.

BAB 111

Kesimpulan

Berdasarkan asas legalitas, hakim memutus suatu perkara pidana sesuai dengan
ketentuan.

sanksi pidana yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009


tentang Narkotika

Anda mungkin juga menyukai