Anda di halaman 1dari 6

Nama : I Gusti Ayu Agung Intan Liantari

NIM : 2204551286
Kelas :G
Mata Kuliah : Hukum Pidana
TUGAS HUKUM PIDANA
1. Jelaskan disertai dengan contoh, kenapa asas legalitas dikatakan berhubungan dengan
teori Psikologische Zwang dari Paul Johan Anslen Von Feuerbach.
Jawaban:
Asas Legalitas ( Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali),  yaitu tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan pidana dalam perundang-undangan
sebelum perbuatan dilakukan (tidak ada delik dan tidak ada pidana tanpa peraturan
terlebih dahulu). Asas legalitas tersebut sejalan dengan teori Psikologische Zwang  dari
Paul Johan Ansien Von Feuerbach yang menyampaikan agar dalam menentukan
perbuatan – perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya
perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang
diancamkan. Oleh karena itu asas legalitas dan teori Psikologische Zwang dari Paul
Johan Ansien Von Feuerbach dikatakan berhubungan sebab memiliki pernyataan yang
serupa, yakni sebelumnya perbuatan yang dapat dipidana dan pidana yang akan
dijatuhkan kepadanya harus jelas tercantum dalam perundang-undangan agar suatu
perbuatan dapat dijatuhkan pidana.
Contoh: diberlakukannya asas legalitas membuat seseorang yang ingin melakukan
tindakan pencurian yang sebelumnya telah dilarang dalam perundang-undangan juga
telah mengetahui pidana atau sanksi apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika melakukan
pencurian tersebut sesuai dengan yang telah diatur dalam undang-undang yang berlaku
sebelumnya. Dengan begitu didalam batinnya akan ada kesadaran untuk tidak berbuat
dan jika ia melakukan pencurian tersebut maka dianggap sudah menyetujui pidana yang
akan dijatuhi kepadanya.
2. Dilihat dari sejarahnya, asas legalitas pada awalnya berasal dari ketentuan Pasal 39
Magna Charta tahun 1215, Habeas Corpus Act tahun 1679, Bill Of Right Virginia 1776
Declaration Des Droits De L ‘Homme Et Du Citoyen Tahun 1789, yang menentukan
bahwa : Tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang
sudah ada sebelumnya. Dari pernyataan terakhir, menurut saudara, asas apakah yang
terkandung dalam Declaration Des Droits De L ‘Homme Et Du Citoyen Tahun 1789
tersebut.
Jawaban:
Asas yang terkandung dalam Declaration Des Droits De L ‘Homme Et Du Citoyen Tahun
1789 adalah asas legalitas. Asas legalitas memiliki pengertian sebagai asas yang
mengharuskan bahwa tindak pidana dan pidana yang akan dijatuhkan harus terlebih
dahulu terdapat dalam undang-undang sebelum seseorang melakukan pelanggaran atau
perbuatannya, hal ini memiliki persamaan dengan Declaration Des Droits De L ‘Homme
Et Du Citoyen Tahun 1789 yang menyatakan bahwa ”Tidak ada orang yang dapat
dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya”.
3. Pemberlakuan asas retro-aktif, dalam KUHP dimungkinkan dalam hal adanya perubahan
perundang-undangan. Tentang pemberlakuan retro-aktif, dalam KUHP ketentuan Pasal 1
ayat (2) menyebutkan : ”Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah
perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling
menguntungkannya”. Apabila dicermati, rumusan ketentuan tersebut tidak jelas, dalam
artian ruang lingkup perubahan UU yang dimaksud tidak menjelaskan lingkup perubahan
dimaksud. Di samping itu, rumusan Pasal 1 ayat (2), bersifat diskriminatif. Jelaskan apa
yang dimaksud dengan dua hal di atas.
Jawaban:
Maksud dari dua pernyataan tersebut mengenai Pasal 1 ayat (2), yaitu pada pernyataan
pertama rumusan Pasal 1 ayat (2) tidak memiliki penjelasan mengenai ruang lingkup
perubahan UU mana yang bisa membuat para terdakwa mendapatkan ketentuan pasal 1
ayat 2 tersebut, terdapat tiga ruang lingkup perubahan UU yang dimaksud, yaitu:
1. Formil : perubahan perundang-undangan itu terbatas pada perubahan redaksi
rumusan suatu ketentuan dalam perundang-undangan hukum pidana saja, dan
tidak termasuk perubahan di luar hukum pidana, walaupun perubahan dalam
bidang hukum lain itu mempunyai pengaruh terhadap maslah dapat dipidananya
suatu perbuatan. Selain itu perubahan terjadi apabila terjadinya perubahan teks
pada Undang-Undang Pidana itu sendiri.
2. Materiil terbatas : Adanya perubahan keyakinan dalam keyakinan pembuat UU,
sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan. Sedangkan perubahan pandangan
karena keadaan-keadaan atau zaman tidak termasuk kedalam pengertian
perubahan perundang-undangan.
3. Materiil tidak terbatas : Perubahan UU memberikan keuntungan pada terdakwa.
Yang kedua rumusan Pasal 1 ayat (2) bersifat diskriminatif sebab memberlakukan asas
retroaktif, yang dimana asas ini hanya berlaku dalam hal –hal tertentu saja karena
meskipun prinsip dasar dari hukum berpegang pada asas legalitas namun dalam beberapa
ketentuan peraturan perundang-undangan asas legalitas ini tidak berlaku mutlak. Serta
rumusan yang terdapat pada pasal ini dianggap tidak adil bagi tersangka yang sudah
dihukum dengan kasus yang sama sebelum perubahan perundang-undangan terjadi, entah
ia mendapatkan hukuman yang lebih berat atau ringan.
4. Terlepas dari penilaian bahwa asas legalitas memang sangat efektif dalam melindungi
rakyat dari perlakuan sewenangwenang kekuasaan, muncul juga wacana bahwa asas
legalitas ini dirasa kurang efektif bagi penegak hukum dalam merespons pesatnya
perkembangan kejahatan, bahkan ini dianggap sebagian ahli sebagai kelemahan
mendasar, yang oleh E. Utrecht disebutkan sebagai kekurang-mampuan asas legalitas
dalam perlindungan kepentingan-kepentingan kolektif, karena memungkinkan
pembebasan pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum
dalam peraturan perundang-undangan. Dengan kelemahan asas legalitas itu, beberapa
ahli menganggap perlu dimungkinkannya penerapan asas retroaktif (berlaku surut) yang
berperan melakukan penyurutan terhadap impunitas tersangka yang telah secara yuridis
diatur oleh Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yang menentukan : “hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diketahui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Barda Nawawi Arief melihat pelemahan atau
pergeseran asas legalitas dengan menekankan pada perkembangan atau pengakuan ke
arah asas legalitas materiil dengan mendasarkan pada ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2)
ICCPR dan KUHP Kanada, padahal ketentuan dalam ICCPR merupakan pengecualian
terhadap ketentuan non retroaktif dan kovensi tersebut. Bagaimana pendapat saudara
tentang hal tersebut?
Jawaban:
Asas legalitas memiliki tujuan untuk memperkuat kepastian hukum, keadilan, kejujuran,
dan sebagai upaya untuk melindungi Hak Asasi Manusia bagi terdakwa sehingga
mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Keberadaan Asas Legalitas dalam
hukum pidana Indonesia terdapat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP “Tiada suatu perbuatan
dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang
telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Namun, keberadaan dari asas ini menimbulkan
beberapa konsekuensi, yaitu:
1. Perumusan tindak pidana harus dalam bentuk perundang-undangan (lex certa, lex
stricta, lex scripta tidak ada perbuatan yang dapat dihukum tanpa adanya ketentuan
yang tertulis).
2. Tidak boleh berlaku surut
3. Tidak ada analogi
Konsekuensi tersebut yang menjadi kelemahan bagi asas legalitas sebab bersifat kaku,
kurang dinamis, sedangkan masyarakat maupun tekknologi berkembang begitu cepat.
Sehingga hukum yang ada tidak dapat mengakomodir tuntutan masyarakat, selalu
berjalan ditempat dan ketinggalan jaman. Oleh sebab itu, menurut beberapa ahli
diperlukan kemungkinan untuk menerapkan asas retroaktif untuk menghadapi kejahatan
jenis baru yang tidak ada bandingannya dalam KUHP atau pada peraturan pidana khusus
lainnya, sehingga tidak ada pengabaian terhadap kejahatan yang belum tercantum di
dalam undang-undang. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang
berisikan “bilamana sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-
undangan, maka dipakai aturan yang paling meringankan bagi terdakwa” terdapat pada
pemakaian perubahan perundang-undangan yang menguntungkan terdakwa. Namun,
pasal tersebut membatasi pengertian retroaktif hanya pada keadaan transitoir atau
menjadi hukum transitoir (hukum dalam masa peralihan). Asas retroaktif sendiri dalam
hukum pidana internasional diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada
akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau
pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum internasional.
5. Banyak kalangan mengatakan bahwa ”ekstensieve interpretatie” maknanya sama dengan
”Analogie”. Bagaimana pendapat saudara tentang hal tersebut?
Jawaban:
Ekstensieve interpretatie adalah penafsiran yang memperluas arti dari perkataan atau
istilah yang terdapat dalam suatu undang-undang sehingga dapat memasukan suatu
peristiwa kedalamnya, tafsiran ekstensif berpegang pada aturan yang ada, memaknai
sebuah kata dengan makna yang hidup dalam masyarakat sekarang, dan tidak menurut
makna ketika waktu undang-undang dibentuk. Sementara, analogie merupakan perbuatan
yang pada saat dilakukannya bukan tindak pidana namun dijatuhkan hukum pidana yang
berlaku untuk tindak pidana lain yang memiliki sifat dan bentuk yang sama dengan
perbuatan tersebut, tidak berpegang lagi pada peraturan hukum yang ada dan
bertentangan dengan asas legalitas. Dengan begitu, jika dilihat dari pernyataan diatas
maka ekstensieve interpretative dengan analogie dapat dikatakan sebagai dua hal yang
berbeda.
6. Pelajari Kasus-kasus tentang penafsiran
- Keputusan Hooge Raad 23 Mei 1921 tentang “pencurian listrik”
Pada tahun 1921 pengertian kata benda hanyalah diartikan benda yang berwujud saja
karena pada waktu itu tidak ada benda yang tidak berwujud dan dapat diambil,
namun karena perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi kata benda diperluas
maknanya (extensieve interpretatie), sehingga ada benda yang tidak berwujud dan
dapat diambil yaitu aliran listrik. Pada tanggal 23 Mei 1921, Arrest Hoge Raad
memperluas arti kata benda yang tidak berwujud yaitu aliran listrik, sehingga orang
yang melakukan pencurian aliran listrik dapat dijatuhi pidana. Hal tersebut
dinyatakan dalam Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 (N.J. 1921 Halaman 564,
W.10728) “Tenaga listrik termasuk dalam pengertian benda, karena ia mempunyai
nilai-nilai tertentu”. Untuk memperolehnya diperlukan biaya dan tenaga. Tenaga
listrik dapat dipergunakan untuk kepentingan sendiri, akan tetapi juga dapat
diserahkan kepada orang lain dengan penggantian pembayaran.
- Keputusan HR 21 November 1829 tentang “merusak tiang telpon = merusak tiang
tilgraf”
Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) menggunakan metode analogi dalam
menentukan sebuah tindak pidana dikarenakan Mahkamah Agung Belanda
dihadapkan pada sejumlah tindakan jahat yang jika tidak diterapkan analogi terhadap
perbuatan tercela itu, maka petindak tidak dapat dihukum seperti dalam putusan tiang
telegraf yang dimana Mahkamah Agung selanjutnya menyatakan telepon adalah
sejenis telegraf listik, dan merupakan telegraf bunyi; secara esensiil tidak ada beda
antara telepon-telegraf keduanya menggunakan gelombang listrik untuk meneruskan
informasi satu dengan tanda yang satu lagi. Pasal 351 KUHPidana Belanda menyebut
telegraf harus dianggap mencakup telepon; Bahwa juga pembuat undang-undang
akan memaksudkan hal tersebut, karena tidak ada alasan mengapa perlindungan
khusus yang diberikan kepada fasilitas umum telegraf tidak dapat diberikan kepada
infrastruktur telepon yang menunjukkan kesamaan.
- Rechtbank di Leewaarde 10-12-1919 “berdiri di samping” termasuk pengertian
mengambil
Rechtbank di Leewaarde atau Pengadilan Negeri Leeuwarden pada tanggal 10
Desember 1919 memandang bepergian ke pasar dan berdiri di samping sapi yang
tidak diikat lalu menuntun sapi mengikuti jalan petindak kemudian menjualnya
kepada tengkulak, merupakan perbuatan pencurian.

Anda mungkin juga menyukai