Pasal tersebut tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan
melakukan kejahatan (poging). Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang
pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan:
Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de
door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen. (Dengan
demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan
suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak
untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan
pelaksanaan).[3]
Pasal 53 KUHP hanya menentukan kapan percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau
dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut[4]:
a. Adanya suatu maksud atau voornemen, dalam arti bahwa orang itu haruslah mempunyai suatu
maksud atau suatu voornemen untuk melakukan suatu kejahatan tertentu;
b. Telah adanya suatu permulaan pelaksanaan atau suatu begin van uitvoering, dalam arti bahwa
maksud orang tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan
yang ia kehendaki;
c. Pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki itu kemudian tidak selesai
disebabkan oleh masalah-masalah yang tidak bergantung pada kemauannya, atau dengan
perkataan lain tidak selesainya pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang telah ia mulai
haruslah disebabkan oleh masalah-masalah yang berada di luar kemauannya sendiri.
Oleh karena itu, agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan
kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan kata lain suatu percobaan
dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut.
Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini menentukan, bahwa
yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan,
sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, sebagaimana dalam Pasal 54
KUHP yang menyatakan bahwa mencoba melakukan pelanggaran tidak pidana, hanya saja
percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga dihukum.
Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba melakukan
pelanggaran) terhadap hal-hal yang telah diatur dalam Undang-Undang (drt) Nomor 7 Tahun
1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat dipidana. Selain itu ada juga beberapa kejahatan
yang percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5)
KUHP), percobaan menganiaya binatang (Pasal 302 ayat (3) KUHP), dan percobaan perang
tanding (Pasal 184 ayat (5) KUHP).
Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan menurut KUHP
adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku.
Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika seseorang yang semula telah berkeinginan
untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk
perbuatan permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul dari dalam diri
orang tersebut yang secara suka rela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak terlaksananya
tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan dari luar diri
orang tersebut, yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula.
Dalam hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang benar tidak selesainya
perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari kehendak pelaku dengan sukarela. Suatu hal yang
dapat dilakukan dalam pembuktian adalah dengan menentukan keadaan apa yang menyebabkan
tidak selesainya perbuatan itu. Apakah tidak selesainya perbuatan itu karena keadaan yang
terdapat di dalam diri si pelaku yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena ada
faktor lain di luar dari dalam diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan atau perkiraannya
dapat membahayakan dirinya sehingga memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu.
Loebby Loqman[5] memberikan contoh sebagai berikut:
a. Putusan Pengadilan Arnhem tanggal 31 Juli 1951. N.J. 1952 No. 670 tentang percobaan
pembunuhan atau percobaan penganiayaan berat.
A pada tanggal 5 Mei 1951 ingin membunuh B. Untuk itu A dengan menarik pisau yang telah
dipersiapkan memasuki ruangan dimana B pada waktu itu berada. Dengan berjalan membungkuk
dan dengan pisau di tangan A menuju ke arah B berada. Akan tetapi perbuatan A sempat ditahan
oleh beberapa orang yang berada di dalam ruangan, sedangkan B lari meninggalkan ruangan
tersebut.
Terdakwa dalam kasus di atas dituduh melakukan percobaan pembunuhan, dan subsidair
melakukan percobaan penganiayaan berat. Dalam surat dakwaan dikatakan bahwa tidak
selesainya pembunuhan atau penganiayaan berat oleh karena “setidak-tidaknya hanya karena
satu atau lebih keadaan di luar kehendaknya”.
Terdakwa dalam pembelaannya mengatakan sebenarnya orang yang hadir pada saat perbuatan
dilakukan bukanlah sebagai penyebab tidak terlaksananya kejahatan yang semula
dikehendakinya. Akan tetapi yang menyebabkan tidak selesainya kejahatan itu karena A melihat
adanya perubahan wajah B pada saat itu dan karena jeritan orang banyak sehingga A tidak “tega”
meneruskan perbuatan yang dikehendaki semula.
Meskipun demikian Pengadilan Arnhem dalam pertimbangannya memberikan putusan bahwa
kasus tersebut tetap sebagai percobaan. Pengunduran diri dalam kasus di atas meskipun ada
faktor yang datang dari dalam diri pelaku, akan tetapi kadang-kadang dari luar memaksanya
untuk mengundurkan diri.
b. Adakalanya bahwa seseorang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengundurkan diri dari
niatnya secara sukarela. Percobaan seperti ini disebut sebagai voltooide artinya meskipun
seseorang telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan, akan tetapi timbul niatnya untuk
secara sukarela mengundurkan diri dari kehendak semula, namun ternyata hal tersebut tidak
dapat lagi dilakukan.
Sebagai contoh:
Seseorang dalam suatu pemeriksaan di pengadilan sedang memberikan keterangannya. Karena
dianggap memberikan kesaksian yang tidak benar, Hakim memperingatkan dapat dipidananya
orang yang memberikan keterangan tidak benar karena delik “kesaksian palsu”. Dalam hal
demikian dianggap orang tersebut telah melakukan delik. Yakni delik kesaksian palsu terhadap
keterangan sebelumnya yang telah diberikan dalam sidang itu. Meskipun dikaitkan dengan
percobaan, sebenarnya orang tersebut ingin menarik diri secara sukarela terhadap perbuatan
memberikan keterangan yang tidak benar di depan sidang pengadilan.
Putusan Hoge Raad tahun 1889 dalam menghadapi kasus seperti di atas, dianggap sebagai
pengunduran secara sukarela. Jadi dianggap bukan merupakan percobaan, karena dengan
sukarela orang tersebut menarik kembali keterangan yang tidak benar.
Akan tetapi melihat putusan Hoge Raad tahun 1952 memutuskan bahwa telah melakukan suatu
delik selesai (delik kesaksian palsu) terhadap seseorang yang menarik kembali keterangannya
setelah penundaan sidang.
c. Di samping peristiwa yang diuraikan di atas terdapat pula suatu keadaan seorang yang
melakukan suatu percobaan kejahatan, sementara itu telah terjadi delik lain yang telah selesai.
Peristiwa ini disebut dengan guequalificeerde poging (percobaan yang dikwalifikasi).
Sebagai contoh :
Seorang yang berniat melakukan pencurian terhadap barang-barang dalam sebuah rumah. Untuk
itu orang tersebut telah memasuki halaman rumah tersebut. Akan tetapi sebelum memasuki
rumah sudah tertangkap. Dalam hal ini orang tersebut disamping dianggap melakukan percobaan
pencurian (jika dilihat dari teori subjektif) juga telah melakukan delik yang selesai. Yakni delik
memasuki halaman tanpa izin (Huisvredebruik) seperti yang diatur dalam Pasal 167 KUHP.
Menurut Barda Nawawi Arief[6] tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju
bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya penghalang fisik.
Contoh: tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang sehingga
tembakan menyimpang atau pistolnya terlepas. Termasuk dalam pengertian ini ialah jika ada
kerusakan pada alat yang digunakan misal pelurunya macet / tidak meletus, bom waktu yang
jamnya rusak.
b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya
penghalang fisik.
Contoh: takut segera ditangkap karena gerak-geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang
lain.
c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor / keadaan-keadaan khusus pada objek
yang menjadi sasaran.
Contoh: Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati atau yang tertembak
bagian yang tidak membahayakan; barang yang akan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri
telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga.
Jika tidak selesainya perbuatan itu disebabkan oleh kehendaknya sendiri, maka dapat
dikatakan bahwa ada pengunduran diri secara sukarela. Sering dirumuskan bahwa ada
pengunduran diri sukarela, jika menurut pandangannya, ia masih dapat meneruskan
perbuatannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya. Tidak selesainya perbuatan karena kehendak
sendiri secara teori dapat dibedakan antara :
a. Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan
yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan; dan
b. Penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi
dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut. Misal: orang memberi
racun pada minuman si korban, tetapi setelah diminumnya ia segera memberikan obat penawar
racun sehingga si korban tidak jadi meninggal.
Adapun dapatnya perbuatan seseorang dianggap terlibat bersama peserta lainnya dalam
mewujudkan tindak pidana, disyaratkan sebagai berikut:
1. Dari sudut subjektif; ada dua syaratnya, yaitu :
a. adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang
hendak diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak
pidana. Disini, sedikit atau banyak ada kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana;
b. adanya hubungan batin (kesengajaan,seperti mengetahui) antara
dirinya dengan peserta lainnya,dan bahkan dengan apa yang di perbuat peserta lainnya.
2. Dari sudut objektif, ialah bahwa perbuatan orang itu ada hubungannya dengan terwujudnya
tindak pidana, atau dengan kata lain wujud perbuatan orang itu secara objektif ada perannya atau
pengaruh positif baik besar atau kecil, terhadap terwujudnya tindak pidana.
Bentuk-bentuk Penyertaan :
Pada dasarnya KUHP Indonesia ada dua bentuk penyertaan, ialah yang disebut :
1. Pembuat (dader) dalam Pasal 55 KUHP;
2. Pembantu dalam Pasal 56 KUHP.
Berdasarkan rumusan Pasal 55 dan 56 KUHP maka terdapat lima peranan pelaku yaitu:
1. Orang yang melakukan (dader)
Orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana di rumuskan oleh undang- undang,
baik unsur subjektif maupun objektif. Umumnya pelaku dapat diketahui dari jenis delik yakni
delik formil dan delik materil.
2. Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger)
Seseorang berkehendak melakukan suatu delik tapi tidak melakukannya sendiri melainkan
menyuruh orang lain yang tidak dapat di pertanggung jawabkan karena berdasarkan Pasal 44
KUHP.
3. Orang yang turut melakuakan (mededader)
Syarat mededader ada 2, yaitu :
a. harus ada kerja sama secara fisik; dan
b. harus ada kesadaran kerja sama.
4. Orang yang sengaja membujuk (uitlokker)
Hal ini diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Sub 2 (ke 2) KUHP yang berbunyi,
Mereka yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau derajat (martabat)
dengan paksaan, ancaman, atau tipu, atau dengan memberikan kesempatan,ikhtiaratsau
keterangan dengan sengaja membujuk membujuk supaya perbuatan itu dilakukan.
Menurut doktrin, orang yang menggerakkan orang lain disebut actor intelectualis atau
intelektual dader atau provocateur atau uitlokker.
5. Orang yang membantu melakukan (medeplichtige)
Mengenai pembantuan diatur dalam tiga pasal ialah Pasal 56, 57 dan 60 KUHP. Pasal 56
KUHP merumuskan tentang unsur subjektif dan unsur objektif, Pasal 57 KUHP memuat tentang
batas luasnya pertanggung jawaban bagi pembuat pembantu, sedangkan Pasal 60 KUHP
mengenai penegasan pertanggungjawaban pembantuan itu hanyalah pada pembantuan
dalam hal kejahatan tidak dalam hal pelanggaran.
Menurut Pasal 56 KUHP, bentuk pembantuan atau pembuat pembantu dibedakan antara
lain :
a. Pemberi bantuan sebelum dilaksanakannya kejahatan; dan
b. Pemberi bantuan pada saat berlangsungnya pelaksanaan kejahatan.
Dalam Pasal 57 KUHP memuat tentang sejauh mana luasnya tanggung jawab bagi
pembuat pembantu, yang rumusannya sebagai berikut :
a. Dalam hal pembantuan, maksimum diancam dengan pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi
sepertiga;
b. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan
pidana paling lama 15 tahun;
c. Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri; dan
d. Dalam menentukan pidana bagi pembantu yang diperhitungkan hanya
perbuatan yang sengaja dipermudah atau di perlancar olehnya beserta
akibatnya.