TINDAK
PIDANA
ITE
Thalia Asyifa Shalsabila
(1903101010152)
Kekhususan UU ITE
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang secara khusus mengatur
tentang cyber crime. Dua materi muatan yang cukup besar diatur didalam UU ITE ialah
mengenai pengaturan transaksi elektronik dan mengenai tindak pidana siber (cyber
crime). (
Di dalam undang- undang ini, juga diatur acara pidana yang bersifat khusus. Ditentukan
bahwa penyidikan terhadap tindak pidana, sebagaimana yang dimaksud dalam undang-
undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan
dalam undang-undang ini.
a) Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten illegal, yang terdiri dari:
• Kesusilaan (Pasal 27 ayat (1) UU ITE);
• Perjudian (Pasal 27 ayat (2) UU ITE);
• penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3) UU ITE);
• pemerasan dan/atau pengancaman (Pasal 27 ayat (4) UU ITE);
• berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat (1) UU ITE);
• menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat (2) UU ITE);
• mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara
pribadi (Pasal 29 UU ITE).
b) Dengan cara apapun melakukan akses illegal (Pasal 30 UU ITE);
c) intersepsi atau penyadapan illegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan Sistem Elektronik
(Pasal 31 UU 19/2016);
a) Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference - Pasal 32 UU ITE).
b) Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference –Pasal 33 UU ITE);
1. Penyidik yang menangani tindak pidana siber ialah dari instansi Kepolisian Negara RI atau Pejabat
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Komunikasi dan Informatika;
3. Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak
pidana harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana;
4. Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sistem elektronik, penyidik wajib menjaga
terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
Ketentuan penyidikan dalam UU ITE dan
perubahannya berlaku pula terhadap
penyidikan tindak pidana siber dalam arti
luas. Sebagai contoh, dalam tindak pidana
perpajakan,sebelum dilakukan
penggeledahan atau penyitaan terhadap
server bank, penyidik harus memperhatikan
kelancaran layanan publik, dan menjaga
terpeliharanya kepentingan pelayanan
umum sebagaimana diatur dalam UU ITE
dan perubahannya.
Ancaman pidana dalam UU ITE ini lebih tinggi daripada KUHP. Ketentuan pidana dalam UU ITE ini
termaktub di dalam Pasal 45 ayat (3), yakni pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Perbandingan UU ITE dan KUHP
Selain Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 28 juga dianggap pasal karet. Berikut bunyi Pasal 28:
(1) Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pelanggaran terkait dengan pencemaran nama baik, baik di dunia maya maupun di luar wilayah siber,
setidaknya ada unsur sengaja, menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, menuduh melakukan
suatu perbuatan tertentu, dan dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum.Tidak pelak lagi jika
ada wacana penghapusan pasal karet di dalam UU ITE dengan alasan pasal di dalam KUHP sudah cukup
untuk urusan pencemaran nama baik.
Perbandingan UU ITE dan KUHAP
Melakukan sinkronisasi ketentuan hokum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan
hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:
1. Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan
Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP
2. Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri
setempat dalam waktu 1×24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
Agustini, Pratiwi. 2019. “Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik”, https://aptika.kominfo.go.id/2019/08/undang-undang-ite/,
Pasal 2 UU ITE tidak hanya menegaskan prinsip-prinsip teritorialitas yaitu bahwa undang-undang ini berlaku untuk setiap
orang yang melakukan perbuatan hukum dalam wilayah indonesia, tetapi juga memperluas ruang lingkup pengaturan prinsip
ekstrateritorial yang diatur dalam KUHP dan dapat dikatakan memeperluas cakupan asas ekstrateritorial nasionalitas pasif
dalam KUHP dengan menambahkan kepentingan-kepentingan nasional yang dilindungi berdasarkan UU ITE. (Josua Sitompul
2012 : 139)
Daftar Pustaka
• Renggong, Ruslan. Hukum pidana khusus: memahami delik-delik di luar KUHP. Indonesia, Kencana, 2016
• Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta : PT Tatanusa
• Agustini, Pratiwi. 2019. “Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik”,
https://aptika.kominfo.go.id/2019/08/undang-undang-ite/, diakses pada 11 September 2021 pukul 13.04
• Sitompul, Josua. 2018. “Landasan Hukum Penanganan Cybercrime di Indonesia”,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5960/landasan-hukum-penanganan-icybercrime-i-di-indonesia/ ,
diakses pada 11 September 2021 pukul 13.30
• Kliwantoro, D. Dj. 2021. “Menyandingkan UU ITE dan KUHP”, https://
www.antaranews.com/berita/2008369/menyandingkan-uu-ite-dan-kuhp, diakses pada 11 September 2021 pukul
14.00
THAN Thalia Asyifa Shalsabila
(1903101010152)