Anda di halaman 1dari 16

UU

TINDAK
PIDANA
ITE
Thalia Asyifa Shalsabila
(1903101010152)
Kekhususan UU ITE
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang secara khusus mengatur
tentang cyber crime. Dua materi muatan yang cukup besar diatur didalam UU ITE ialah
mengenai pengaturan transaksi elektronik dan mengenai tindak pidana siber (cyber
crime). (

Di dalam undang- undang ini, juga diatur acara pidana yang bersifat khusus. Ditentukan
bahwa penyidikan terhadap tindak pidana, sebagaimana yang dimaksud dalam undang-
undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan
dalam undang-undang ini.

Renggong, Ruslan. Hukum pidana khusus: memahami delik-delik di luar KUHP. Indonesia, Kencana, 2016.


Kekhususan Pengaturan Tindak Pidana Cyber Materiil
di Indonesia
Secara luas tindak pidana siber ialah semua tindak
pidana yang menggunakan sarana atau dengan
bantuan Sistem Elektronik. Itu artinya semua
tindak pidana konvensional dalam KUHP
sepanjang dengan menggunakan bantuan atau
sarana Sistem Elektronik seperti pembunuhan,
perdagangan orang, dapat termasuk dalam kategori
tindak pidana siber dalam arti luas. Demikian juga
tindak pidana dalam UU 3/2011 tentang Transfer
Dana maupun tindak pidana perbankan serta
tindak pidana pencucian uang.
Dalam pengertian yang lebih sempit, pengaturan tindak pidana siber diatur dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sama seperti
Convention on Cybercrimes, UU ITE juga tidak memberikan definisi mengenai cybercrimes, tetapi
membaginya menjadi beberapa pengelompokkan yang mengacu pada Convention on Cybercrimes
(Sitompul, 2012) :

1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas illegal

a) Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten illegal, yang terdiri dari:
• Kesusilaan (Pasal 27 ayat (1) UU ITE);
• Perjudian (Pasal 27 ayat (2) UU ITE);
• penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3) UU ITE);
• pemerasan dan/atau pengancaman (Pasal 27 ayat (4) UU ITE);
• berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat (1) UU ITE);
• menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat (2) UU ITE);
• mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara
pribadi (Pasal 29 UU ITE).
b) Dengan cara apapun melakukan akses illegal (Pasal 30 UU ITE);
c) intersepsi atau penyadapan illegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan Sistem Elektronik
(Pasal 31 UU 19/2016);

2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (Interferensi)

a) Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference - Pasal 32 UU ITE).
b) Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference –Pasal 33 UU ITE);

3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE).

4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (Pasal 35 UU ITE).

5. Tindak pidana tambahan (accessoir Pasal 36 UU ITE).

6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).


Kekhususan Pengaturan Tindak Pidana Cyber Formil
di Indonesia
Selain mengatur tindak pidana siber materil, UU
ITE mengatur tindak pidana siber formil,
khususnya dalam bidang penyidikan.

Pasal 42 UU ITE mengatur bahwa penyidikan


terhadap tindak pidana dalam UU ITE dilakukan
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) dan ketentuan dalam UU ITE.
Artinya, ketentuan penyidikan dalam KUHAP tetap berlaku sepanjang tidak diatur lain dalam UU ITE.
Kekhususan UU ITE dalam penyidikan antara lain:

1. Penyidik yang menangani tindak pidana siber ialah dari instansi Kepolisian Negara RI atau Pejabat
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Komunikasi dan Informatika;

2. Penyidikan dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan,


kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data;

3. Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak
pidana harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana;

4. Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sistem elektronik, penyidik wajib menjaga
terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
Ketentuan penyidikan dalam UU ITE dan
perubahannya berlaku pula terhadap
penyidikan tindak pidana siber dalam arti
luas. Sebagai contoh, dalam tindak pidana
perpajakan,sebelum dilakukan
penggeledahan atau penyitaan terhadap
server bank, penyidik harus memperhatikan
kelancaran layanan publik, dan menjaga
terpeliharanya kepentingan pelayanan
umum sebagaimana diatur dalam UU ITE
dan perubahannya.

Apabila dengan mematikan server bank


akan mengganggu pelayanan publik,
tindakan tersebut tidak boleh dilakukan.
Perbandingan UU ITE dan KUHP
Dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE Pasal 27
ayat (3) menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Ancaman pidana dalam UU ITE ini lebih tinggi daripada KUHP. Ketentuan pidana dalam UU ITE ini
termaktub di dalam Pasal 45 ayat (3), yakni pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Perbandingan UU ITE dan KUHP
Selain Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 28 juga dianggap pasal karet. Berikut bunyi Pasal 28:
(1) Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pelanggaran terkait dengan pencemaran nama baik, baik di dunia maya maupun di luar wilayah siber,
setidaknya ada unsur sengaja, menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, menuduh melakukan
suatu perbuatan tertentu, dan dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum.Tidak pelak lagi jika
ada wacana penghapusan pasal karet di dalam UU ITE dengan alasan pasal di dalam KUHP sudah cukup
untuk urusan pencemaran nama baik.
Perbandingan UU ITE dan KUHAP

Melakukan sinkronisasi ketentuan hokum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan
hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:
1. Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan
Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP
2. Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri
setempat dalam waktu 1×24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

Agustini, Pratiwi. 2019. “Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik”, https://aptika.kominfo.go.id/2019/08/undang-undang-ite/,

diakses pada 11 September 2021 pukul 13.04


Perbandingan Cybercrime dalam Convention on
Cybercrime dan UU ITE
Convention on Cybercrime UU ITE
Article 2 - illegal acess. Distribusi, transmisi, membuat dapat
diaksesnya konten tertentu yang illegal
(Pasal 27 s.d Pasal 29 UU ITE).

Article 3 - illegal interception. illegal access (Pasal 30).


Article 4 - data interference. illegal interception (Pasal 31).
Article 5 - sytem interference. data interference (Pasal 32).
Article 6 - misuse of device. system interference (Pasal 33).
Article 7 - computer-related forgery. misuse of device (Pasal 34).
Article 8 - computer-related fraud. computer related forgery (Pasal 35).
UU ITE menganut asas extra territorial
jurisdiction.
Hal ini terdapat dalam pasal 2 UU ITE. UU ITE
berlaku untuk setiap orang yang melakukan
perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur
dalam UU ITE ini, baik yang berada di wilayah
hukum Indonesia maupun diluar wilayah hukum
Indonesia, yang memiliki akibat hukum di
wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar
wilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan Indonesia.
Asas Ekstrateritorial UU ITE

Pasal 2 UU ITE tidak hanya menegaskan prinsip-prinsip teritorialitas yaitu bahwa undang-undang ini berlaku untuk setiap
orang yang melakukan perbuatan hukum dalam wilayah indonesia, tetapi juga memperluas ruang lingkup pengaturan prinsip
ekstrateritorial yang diatur dalam KUHP dan dapat dikatakan memeperluas cakupan asas ekstrateritorial nasionalitas pasif
dalam KUHP dengan menambahkan kepentingan-kepentingan nasional yang dilindungi berdasarkan UU ITE. (Josua Sitompul
2012 : 139)
Daftar Pustaka
• Renggong, Ruslan. Hukum pidana khusus: memahami delik-delik di luar KUHP. Indonesia, Kencana, 2016
• Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta : PT Tatanusa
• Agustini, Pratiwi. 2019. “Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik”,
https://aptika.kominfo.go.id/2019/08/undang-undang-ite/, diakses pada 11 September 2021 pukul 13.04
• Sitompul, Josua. 2018. “Landasan Hukum Penanganan Cybercrime di Indonesia”,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5960/landasan-hukum-penanganan-icybercrime-i-di-indonesia/ ,
diakses pada 11 September 2021 pukul 13.30
• Kliwantoro, D. Dj. 2021. “Menyandingkan UU ITE dan KUHP”, https://
www.antaranews.com/berita/2008369/menyandingkan-uu-ite-dan-kuhp, diakses pada 11 September 2021 pukul
14.00
THAN Thalia Asyifa Shalsabila
(1903101010152)

KS! Hukum Pidana Khusus


Kelas D - 04
CREDITS: This presentation template was created by
Slidesgo, including icons by Flaticon, infographics &
images by Freepik and illustrations by Stories

Anda mungkin juga menyukai