Anda di halaman 1dari 5

Rezhma Trie Husnadhia Ardhini

11000119120134

Hukum Agraria (B)

TUGAS II

1. Agrarische Wet 1870 (dimuat dalam pasal. 51 IS)

Adalah sebuah undang-undang yang dibuat dibelanda yang kemudian diberlakukan di Indonesia
sebagai ayat-ayat tambahan dari pasal 62 Regerings Reglement Hindia Belanda tahun 1854.
Pasal 62 Regerings Reglement tersebut kemudian menjadi pasal 51 Indische Staatsregeling pada
tahun 1925. Dengan tujuan untuk memberikan jaminan hukum kepada pengusaha swasta agar
dapat berkembang di hindia belanda.

Hak erfpacht (75 tahun), ialah semacam HGU menurut peraturan agrarian di pasal 720 dan 721
KUHPerdata, hak ini merupakan hak kebendaan yang diberikan kewenangan paling luas kepada
pemegangnya untuk menikmati manfaat tanah milik pihak lain. Pemegang hak erfpacht dapat
menggunakan semua kewenangan yang terkandung dalm hak eigendom atas tanah, seperti
mewariskan hak jika dia meninggal dunia atau menjadikannya sebagai agunan.

2. Agrariscbe Besluit 1870 (S.1870-118)

Merupakan pelaksanaan dari ketentuan Agrarische Wet 1870 no. 55. Dalam ketentuan pasal 1
Agrariscbe Besluit 1870, no 118 disebutkan dalam artian tanah-tanah yang tidak dapat
dibuktikan kepemilikannya demi hukum menjadi milik pemerintah hindia belanda.

Peraturan ini merupakan suatu pernyataan yang menjadi dasar kewenangan pemberian hak atas
semua bidang tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai eigendom pihak lain, adalah milik
(domein) negara. Agrarische belsuit 1870 hanya berlaku untuk jawa dan madura, sedangkan
untuk daerah lain ditetapkan dalam besluit yang dikeluarkan di kemudian hari. Agrarische
Besluit mempunyai tiga bab, yaitu

a. Pasal 1-7 tentang hak atas tanah


b. Pasal 8-8b tentang pelapasan tanah
c. Pasal 19-20 tentang peraturan campuran
3. Vervreemdingsverbod (S.1870-179)

Kebijakan yang dikeluarkan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap tanah-tanah milik
orang bumiputra dari pembelian orang-orang belanda atau eropa lainnnya. Untuk istilahnya
vervreemdingsverbod adalah hak milik (adat) atas tanah tidak dapat dipindahkan oleh orang
Indonesia asli kepada bukan Indonesia asli dan oleh karena itu semua perjanjian yang bertujuan
untuk memindahkan hak tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah batal
karena hukum.

Vervreemdingsverbod ini melarang pelepasan hak atas tanah secara langsung kepada orang asing
misalnya penjualan , penghibahan, pewarisan, penunjuk tanah pada orang/legaat, atau
menunjukan dengan surat wasiar, dan secara tidak langsung melalui pembelian dengan
menggunakan perantara/kedok (strooman).

4. KUHPerdata buku ke II

Sistem yang dianut dalam Buku II tentang kebendaan adalah sistem tertutup dan bersifat mutlak,
artinya orang tidak dapat mengadakan atau membuat hak-hak kebendaan yang baru selain yang
sudah ditetapkan dalam undang-undang. Jadi hak-hak kebendaan yang diakui itu hanya hal-hak
kebendaan yang sudah diatur oleh undang-undang.

Pengertian benda secara hukum dapat kita lihat dalam Pasal 499 KUHPerdata yang berbunyi
sebagai berikut “Menurut paham Undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap
barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik”. Didalam KUHPerdata kita
temukan dua istilah yaitu benda (zaak) dan barang (goed).

Pada umumnya yang diartikan dengan benda baik itu berupa benda yang berwujud, bagian
kekayaan, ataupun yang berupa hak ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai manusia dan dapat
dijadikan obyek hukum.

Selain daripada itu di dalam KUHPerdata terdapat istilah Zaak yang tidak berarti benda tetapi
dipakai untuk arti yang lain, yaitu misalnya:

- Pasal 1792 KUHPerdata: Lastgeving ialah suatu perjanjian yang disitu seseorang
memberikan kuasa kepada seorang lain danorang ini menerimanya untuk melakukan
suatu zaak lastgever itu.
Zaak disini berarti perbuatan hukum

- Pasal 1354 KUHperdata: apabila seseorang dengan sukarela tanpa mendapat pesanan
untuk itu untuk menyelenggarakan zaak seorang lain dengan atau tanpa diketahui orang
lain dan sebagainya

Zaak disini berarti kepentingan.

- Pasal 1263 KUHPerdata : perutangan dengan syarat menunda ialah perutangan yang
tergantung daripada suatu kejadian yang akan datang dan tidak pasti atau daripada suatu
zaak yang sudah terjadi tetapi belum diketahui oleh para pihak.

Zaak disini mempunyai arti kenyataan hukum

5. Overschrijvings ordonnantie (1834-27)

Permohonan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 73 ayat (2) huruf c harus disertai dengan
dokumen asli yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan bagaimana di maksud dalam
pasal 24 ayat (1) peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997, yaitu :

“Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-
27), yang telah dibubuhi catatan bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi
hak milik atau sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut
peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1961 di daerah yang bersangkutan.”

6. Grondhuur Ordonnantie 1918

Peraturan persewaan tanah rakyat kepada perusahaan perkebunan besar dan orang-orang bukan
Indonesia asli diatur dala 2 peraturan; Grondhuur Ordonnantie Stb.1918 No.88 (daerah
pemerintahan langsung) dan Voerstenlands Grondhuurreglement Stb. 1918 No.20 (daerah
swapraja).

Jaminan untuk keperluan diadakan lagi undang-undang sewa tanah yaitu Grondhuur Ordonnantie
di jawa dan madura, kecuali untuk daerah Surakarta dan jogyakarta yang mempunyai undang-
undang Vorstenlandesh Grondhuur Raglement.

Dengan Grondhuur ordonnantie ini maka onderneming mendapat jaminan dan bantuan
pemerintah dalam mengusahakan tanah dan bantuan pemerintah dalam mengusahakan tanah
dengan uang sewa yang murah. meskipun teorinya sewa tanah ini berdasarkan suka rela, namun
dalam prakteknya penduduk dipaksa untuk menyewakan.

7. Onteigenings Ordonantie 1920

Hak ini memberikan hak seluas-luasnya kepada si pemilik tanah untuk memajukan keberatan-
keberatan, juga sebelum dikeluarkan pencabutan haknya. Jika segala usaha mendapatkan tanah
untuk keperluan itu menurut ketentuan dalam Bijblad gagal, maka usaha untuk mendapatkan
tanah yang diperlukan dapat disalurkan melalui ketentuan pengambilan tanah dalam
Onteigenings Odonantie (Stbl.1920 Nomor 574 jo. Stbl 1947 Nomor 96), ini benar-benar
memberi perlindungan terhadap para anggota masyarakat yang terkena pencabutan haknya oleh
pemerintah, kalua dalam Bijblad, para anggota masyarakat masih dapat mempertahankan haknya
kepada pencabutan yang dilakukan oleh pemerintah.

Maka menurut onteigenings ordonantie ini, anggota masyarakat yang bersangkutakn tidak lagi
dapat bertaha. Tetapi bila mana anggota masyarakat yang bersangkutan tidak setuju dengan
harga daripada hak yang dicabut itu, yang telah ditentukan besarnya oleh pemerintah kepada
hakim sebagai instansi yang tidak memihak guna memberikan pertimbangannya.
DAFTAR PUSTAKA

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok


Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2005.

Dianto Bachriadi, Anton Lucas, Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan, Jakarta:
KPG, 2001.

Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Kencana, 2015.

Gamin, Resolusi Konflik Kawasan Hutan: Antara Peran Negara dan KPH, Yogyakarta:
Deepublish, 2019.

Sri Hajati, Sri Winarsi, Agus Sekarmadji, Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan, Surabaya:
Airlangga University Press, 2017.

Urip Santoso, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Jakarta: Kencana, 2012.

Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum di Dalam Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 2020.

Aartje Tehupeiory, Makna Konsinyasi Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Jakarta:
Raih Asa Sukses, 2017.

Anda mungkin juga menyukai