Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Tentang Eigendom Verponding

Dahulu sebelum Undang-undang pokok agrarian diberlakukan, hak milik

(khususnya yang tunduk pada hukum barat) penyebutannya lebih sering

menggunakan Bahasa Belanda yang berarti Eigendom atau hak milik. Hal ini

sesuai dengan dasar hukum pengaturannya yang bersumber dari hukum

Belanda,yakni Burgelijk Wetboek (BW), tepatnya dalam buku II Bab 3. Definisi

hak Eigendom sendiri terdapat dalam Pasal 570 BW yang menentukan bahwa Hak

milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk

berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan

dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang

berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak

mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan

penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-

undangan.

Istilah Verponding dalam Undang-Undang Nomor 72 Tahun 1958 tentang

Pajak Verponding Untuk Tahun 1957 dan Berikutnya digunakan untuk menyebut

salah satu jenis pajak yang dikenakan terhadap benda-benda tetap (tanah). Selain
itu, dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2082 K/Pdt/2013 istilah Eigendom

Verponding digunakan untuk menunjuk suatu hak milik terhadap suatu tanah.1

Pada masa Eigendom Verponding, golongan pribumi menggunakan hukum

adat sehingga pada saat itu terdapat dualisme hukum kepemilikan tanah, yakni

Hukum Tanah Barat dan Hukum Tanah Adat. Pemberlakuan konversi terhadap

hak-hak barat dilakukan dengan pemberian batas jangka waktu sampai 20 tahun

sejak pemberlakuan UUPA. Artinya, mensyaratkan terhadap hak atas tanah

eigendom, Erfpacht, Opstal,dan sebagainya dilakukan konversi menjadi hak milik

selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980.2

1. Hak Eigendom (Recht van Eigendom)

Dalam pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyebutkan

bahwa hak eigendom adalah hak untuk menikmati suatu kebendaan dengan

leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan

sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undanga atau peraturan

umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan

tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu tidak mengurangi akan

pencabutan atas kebenda hak itu demi kepentingan umum berdasarkan atas

ketentuan Undang-Undang dan dengan pembayaran ganti rugi.

1
Parlindunga A.P, Konversi Hak-Hak Atas Tanah. (Bandung: Mandar Maju 1991), hlm
1.
2
Yamin Lubis et.al. Hukum Pendaftaran Tanah. (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm
218.
2. Hak Erfpacht (Recht van Erfpacht)

Hak Erfacht, menurut Pasal 720 KUHPerdata adalah suatu hak kebendaan

untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik

orang lain, dengan kewajiban akan membayar upeti tahunan kepada sipemilik

sebagai pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa uang maupun pendapatan

lainnya. Disebutkan di dalamnya pula bahwa pemegang erfpacht mempunyai hak

untuk mengusahakan dan merasakan hasil benda itu dengan penuh. Hak ini bersifat

turun-temurun, banyak diminta untuk keperluan pertanian. Di Jawa dan Madura,

hak erfpacht diberikan untuk pertanian besar, tempat-tempat kediaman di

pedalaman, perkebunan, dan pertanian kecil. Sedangkan di daerah luar Jawa hanya

untuk pertanian besar, perkebunan, dan pertanian kecil.

3. Hak Opstal (Recht van Opstal)

Hak Opstal adalah suatu hak kebendaan (zakelijk recht) untuk mempunyai

rumah-rumah, bangunan-bangunan dan tanaman diatas tanah milik orang lain. Hak

Opstal menurut Pasal 711 KUHPerdata merupakan hak numpang karang yaitu

suatu hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan dan

penanaman diatas pekarangan orang lain.

Pada Tahun 1960 semua jenis hak atas tanah termasuk hak eigendom bukan

dihapus,namun di ubah atau dikonversi menjadi jenis-jenis hak atas tanah tertentu,

dengan suatu persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Misalnya, hak eigendom
menjadi hak milik, hak erfpacht menjadi hak guna usaha, hak opstal menjadi hak

guna bangunan.3

Kaidah-kaidah pengaturan tanah hak barat bukanlah hanya hukum Belanda

kuno dan hukum perdata (BW) saja, tetapi juga hukum administrasi. Hukum tanah

barat yang berupa hukum tanah administratif adalah peraturan yang memberi

wewenang kepada penguasa/Pemerintah kolonial Belanda untuk melaksanakan

politik pertanahannya, yang diwujudkan dalam Agrarische Wet 1870 sebagai

ketentuan dasar, dengan peraturan pelaksanannya yakni Agrarische Besluit

(Staatsblad Nomor 118 tahun 1870)

yang mana dalam pasal 1 diatur tentang domeinverklaring yang intinya

menyatakan bahwa semua tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan hak

eigendomnya adalah milik Negara. Domeinverklaring menyimpulkan bahwa

tanah di sini bukanlah merupakan bagian dari hukum publik melainkan hukum

perdata, dimana Negara boleh mempunyai hak milik atas tanah dan bahkan hak

milik Negara ini justru diutamakan.4

3
Ibid: hlm 221.
4
Prof Aminuddin et.al, Hukum Agraria, ( Makassar: AS Publish, 2011), hlm 34.
B. Tinjauan Kepemilikan Hak Atas Tanah

1. Hak-hak Atas Tanah

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang

haknya untuk menggunakan tanah dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang

dihendakinya. Perkataan “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak

atas tanah itu digunakan untuk kepentingan bangunan (non-pertanian),

sedangkan perkataan “mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak

atas tanah itu digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, dan

perkebunan.

Dasar hukum pemberi hak atas tanah kepada perseorangan atau badan

hukum dimuat dalam pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu:

Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal

2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang

disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang,

baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-

badan hukum.5

Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional

membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk. Yakni hak-hak atas tanah yang

bersifat primer dan hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder.

5
Ibid: hlm. 102
Pengertian hak-hak atas tanah bersifat primer adalah hak-hak atas tanah

yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan

hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang

lain atau ahli warisnya.

Sedangkan pengertian hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah

hak atas tanah yang berasal dari pihak lain.Macam-macam hak atas tanah ini

adalah Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan

atas Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai atas tanah Hak

Milik, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi

Hasil (perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.6

Hak-hak atas tanah sebagaimana dikemukakan di atas dapat dijelaskan

sebagai berikut :

a. Hak Milik

Hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun temurun,

terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat

ketentuan dalam pasal 6. Turun-temurun artinya Hak Milik atas tanah dapat

berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya

meninggal dunia, maka Hak Miliknya dapat dilanjutkan oleh warisnya sepanjang

memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik. Terkuat artinya Hak Milik atas tanah

lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai

6
Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika 2007),.hlm 64
batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain,dan tidak

mudah dihapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang

kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang

lain,dapat menjadi induk bagi hakatas tanah yang lain, tidak berinduk pada

hakatas tanah yang lain,dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan

dengan hak atas tanah yang lain.7

b. Hak Guna Bangunan

Hak guna bangunan merupakan salah satu hak-hak atas tanah yang bersifat

primer, selain Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai atas

tanah.Perkembangan HakGuna Bangunan merupakan hak primer yang

mempunyai peranan penting kedua, setelah Hak Guna Usaha. Hal ini disebabkan

Hak Guna Bangunan merupakan pendukung sarana pembangunan perumahan

yang sementara ini semakin berkembang dengan pesat.8

Dalam Pasal 35 UUPA dinyatakan bahwa: Hak Guna Bangunan adalah hak

untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan

miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama tiga puluh tahun atas

permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan

bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat

diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Pasal 37 UUPA menegaskan

7
Urip Santoso, Hukum Agraria, (Jakarta: Prenada Media Group 2012), hlm 92
8
Supriadi, op.cit. hlm 116
bahwa “Hak guna Bangunan terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh

Negara atau tanah milik orang lain”.9

Salah satu yang paling mendasar dalam pemberian Hak Guna Bangunan

adalah menyangkut adanya kepastian hukum mengenai jangka waktu

pemberiannya. Sehubungan dengan pemberian perpanjangan jangka waktu

apabila Hak Guna Bangunan telah berakhir, maka Hak Guna Bangunan atas

tanah Negara, atas permintaan pemegang haknya dapat diperpanjang atau

diperbarui.

c. Hak Guna Usaha

Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun atau 35 tahun

yang bila diperlukan masih dapat diperpanjang lagi dengan 25 tahun, guna

perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan, luasnya paling sedikit 5 hektar

(Pasal 28 ayat 1,2 dan Pasal 29 UUPA).10

Menurut pasal 28 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan Hak Guna Usaha

adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara,

dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan

pertanian, perikanan, atau peternakan. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun

1996 menambahkan guna perusahaan perkebunan Luas tanah Hak Guna Usaha

adalah untuk perseorangan luas minimal 5 hektar dan luas maksimalnya 25

9
Urip Santoso, op.cit. hlm 109
10
K. Wantjik Saleh, Hak anda atas tanah, (Jakarta: Ghalia Indonesia 1985). hlm 38
hektar. Adapun untuk badan hukum luas minimalnya 5 hektar dan luas

maksimalnya ditetapkan oleh Kepala Badan Pertahanan Nasional.

d. Hak Pakai

Menurut Pasal 41 ayat (1) UUPA yang dimaksud dengan Hak Pakai

adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang

dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi

wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh

pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan miliki

tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan

tanah.11

Berkaitan dengan jangka waktu Hak Pakai baik yang berasal dari tanah

Negara dan tanah Hak Milik, maka khusus untuk Hak Pakai atas tanah

Hak Pengelolaan dapat diperpanjang atau diperbarui atas usul pemegang Hak

Pengelolaan. Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai pembaruan

diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak

Pakai tersebut.

Yang dapat mempunyai hak pakai adalah:

1. Warganegara Indonesia

2. Orang asing yang berdomisili di Indonesia

3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

11
Prof Aminuddin et.al, op.cit hlm 132
berkedudukan di Indonesia

4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilannya di Indonesia12

e. Hak Sewa Untuk Bangunan

Menurut Pasal 44 ayat 1 UUPA, seseorang atau suatu badan hukum

mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik

orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya

sejumlah uang sebagai uang sewa. Hak Sewa Untuk Bangunan adalah hak yang

dimiliki seseorang atau badan hukum untuk mendirikan dan mempunyai

bangunan di atas tanah Hak Milik orang lain dengan membayar sejumlah uang

sewa tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik

tanah dengan pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan. Objek Hak Sewa Untuk

Bangunan adalah hak milik dan objek yang disewakan oleh pemilik tanah kepada

pihak lain (pemegang Hak Sewa Bangunan) adalah tanah bukan bangunan.

Menurut Pasal 45 UUPA, yang yang dapat mempunyai Hak Sewa Untuk

Bangunan yaitu:

1. Warga Negara Indonesia (WNI)

2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia

12
Bachsan Mustafa, Hukum Agraria dalam Perspektif , (bandung: remaja karya, 1984).
hlm 42
3. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia.

4. Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

f. Hak Atas Tanah yang Bersifat Sementara

Hak-hak atas tanah ini diatur dalam UUPA dan diberi sifat sementara,

dalam waktu yang singkat diusahakan akan dihapus dikarenakan mengandung

sifat-sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Kenyataannya

sampai saat ini tidak dapat dihapuskan dan yang dapat dilakukan adalah

mengurangi sifat-sifat pemerasan.

2. Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah

Dalam rangka pemberian jaminan kepastian hukum, kepada yang

mendaftarkan tanahnya akan diberikan satu dokumen tanda bukti hak yang

berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat. Dalam ketentuan Hukum Tanah

Nasional dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah hanya sertipikat hak atas tanah yang diakui secara hukum

sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah yang menjamin kepastian hukum dan

dilindungi oleh hukum. Penerbitan sertipikat dan diberikan kepada yang berhak

dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya.13

a. Sertifikat

13
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta, Djambatan, 2003), hlm 482
Salah satu tujuan pendaftaran tanah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal

3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang PendaftaranTanah adalah

untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain

yang terdaftar agar dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak

yang bersangkutan. Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum,

kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya menghasilkan surat tanda

bukti hak, yang berupa sertifikat. Pegertian sertifikat menurut Pasal 1 angka 20

Peraturan Pemeritah Nomor 24 Tahun 1997 ialah surat tanda bukti hak

sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas

tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak

tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang

bersangkutan.14

Dalam hal pembuktian hak atas tanah, sertifikat tanah berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat. Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku

sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang

termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan

data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Hal ini berarti

14
Ali Achmad Chomzah. Hukum Pertanahan-I Pemberian Hak Atas Tanah Negara dan
Seri Hukum Pertanahan II- Sertifikat dan Permasalahannya. (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002).
hlm 123
bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, maka data fisik dan data yuridis

yang tercantum di dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, baik

dalam melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di

pengadilan.15

b) Alas Hak

Alas Hak adalah merupakan alat bukti dasar seseorang dalam

membuktikan hubungan hukum antara dirinya dengan hak yang melekat atas

tanah. Oleh karenanya sebuah alas hak harus mampu menjabarkan kaitan hukum

antara subjek hak (individu atau badan hukum) dengan suatu objek hak (satu atau

beberapa bidang tanah) yang ia kuasai. Artinya dalam sebuah alas hak sudah

seharusnya dapat menceritakan secara lugas, jelas dan tegas tentang detail

kronologis bagaimana seseorang dapat menguasai

suatu bidang tanah sehingga jelas riwayat atas kepemilikan terhadap tanah

tersebut.

Apabila Anda mempunyai tanah yang tidak bersertifikat maka untuk

memeriksa tanah tersebut adalah benar dikuasai oleh pihak yang berwenang

mengklaimnya haruslah diperiksa ada atau tidaknya dokumen-dokumen yang

membuktikan penguasaan tersebut.

15
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, (Jakarta: PT
Raja Grafindo, 2003), hlm. 163
C. Sistem Pewarisan Berdasarkan Hukum Adat, Islam, dan Perdata

1. Sistem Pewarisan Berdasarkan Hukum Adat


Dibawah ini ada tiga sistem Pewarisan menurut hukum Adat Indonesia yaitu:
a. Sistem Pewarisan Individual

Ciri Sistem Kewarisan Individual, ialah bahwa harta peninggalan itu terbagi-

bagi pemilikannya kepada para waris, sebagaimana berlaku menurut KUHPerdata

(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), dan Hukum Islam, begitu pula berlaku

di lingkungan masyarakat adat seperti pada keluarga-keluarga Jawa, atau juga pada

keluarga-keluarga Lampung yang patrilineal. umumnya sistem ini cenderung

berlaku di kalangan masyarakat keluarga mandiri, yang tidak terikat kuat dengan

hubungan kekerabatan. belakangan ini dikalangan masyarakat adat yang modern,

di mana kekuasaan penghulu-penghulu adat sudah lemah, dan tidak ada lagi milik

bersama, sistem ini banyak berlaku.16

b. Sistem Pewarisan Kolektif


Ciri sistem kewarisan kolektif, ialah bahwa harta peninggalan itu diwarisi /

dikuasai oleh sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi-bagi, yang seolah-

olah merupakan suatu badan hukum keluarga kerabat (badan hukum adat). Harta

peninggalan itu di sebut hartou menyayanak di Lampung, dalam bentuk bidang

tanah kebun atau sawah, atau rumah bersama (di Minangkabau-Gedung).17

c. Sistem Kewarisan Mayorat

16
I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, (Semarang: UNDIP, 1995), hlm. 11

17
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003),hlm. 16
Ciri sistem kewarisan mayorat, adalah bahwa harta peninggalan orangtua

atau harta peninggalan leluhur kerabat tetap utuh tidak dibagi-bagi kepada para

waris, melainkan dikuasai oleh anak tertua laki-laki(mayorat laki-laki)

dilingkungan masyarakat patrilineal Lampung dan juga Bali, atau tetap dikuasai

anak tertua perempuan (mayorat wanita)di lingkungan masyarakat matrilineal

semendo di Sumatera Selatan dan Lampung.18

2. Sistem Pewarisan Berdasarkan Hukum Islam


Dalam sistem Pewarisan Hukum Islam, baik laki-laki maupun perempuan

sama-sama dapat menjadi pewaris dan ahli waris dari harta warisan ibu, bapak dan

kaum kerabatnya, dengan tidak mengadakan pembedaan dari segi usia dan asal-

usul silsilah kekerabatan bagi ahli waris. Pembedaan kedua jenis ahli waris ini,

terletak pada jumlah perolehan mereka masing- masing, yakni bagian seorang anak

laki- laki sama besar dengan bagian dua orang anak perempuan.19

3. Sistem Pewarisan Berdasarkan Hukum perdata (KUHPerdata)

Sistem hukum pewarisan menurut KUHPerdata tidak membedakan antara

anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua

mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian

seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak. Apabila dihubungkan dengan

sistem keturunan, maka KUHPerdata menganut sistem keturunan bilateral, dimana

18
Ibid: hlm. 28
19
Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam Dalam Dimensi KHI, ( Bandung: CV.
Mandar Maju, 2009), Cet. I Hlm.37.
setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah maupun ibunya,

artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak

mewaris dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum

Islam.

Persamaannya apabila dihubungkan antara sistem hukum waris menurut

Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata

maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut sistem kewarisan

individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris) harta warisan

dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut

bagian warisan yang menjadi haknya.20

20
Subekti, Pokok-pokok hukum perdata, (Jakarta: Intermasa, 1992), hlm. 11.

Anda mungkin juga menyukai