Anda di halaman 1dari 13

TUGAS 1

MATA KULIAH
ADMINISTRASI PERTANAHAN
RESUME
“Hak-hak atas Tanah di Indonesia”

DOSEN PENGAMPU :
Dina,M.Si,Dr.

Disusun oleh:
Nama : Nazwa Wifa
Amatillah
NIM : 051715212
Program studi : Ilmu Hukum

UNIVERSITAS TERBUKA
UPBJJ BANDUNG
2023
I. Pendahuluan
A. Latar belakang
Sistem hukum tanah di Indonesia adalah aspek yang sangat penting
dalam memahami hak atas tanah. Tanah memiliki peran yang sangat
penting dalam kehidupan manusia dan masyarakat, dan setiap individu
atau kelompok masyarakat memiliki kepentingan dalam memperoleh hak
atas tanah. Pemerintah, sebagai pelaksana kekuasaan negara, memegang
peranan sentral dalam mengatur dan melaksanakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, terutama di Pasal 33 ayat (3),
ditegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya berada di bawah kepemilikan negara dan harus dimanfaatkan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini menjadikan kekayaan
alam, termasuk tanah, diatur oleh peraturan-peraturan dalam Undang-
Undang Dasar dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA).
Salah satu tujuan utama pembentukan UUPA adalah memberikan
kepastian hukum mengenai hak atas tanah bagi masyarakat Indonesia.
Dengan berlakunya UUPA di Indonesia, hak atas tanah barat dan hak atas
tanah adat dikonversi menjadi hak atas tanah sesuai dengan ketentuan
UUPA.
Dengan hadirnya UUPA dan proses konversi ini, tujuan utamanya
adalah memberikan kepastian hukum mengenai hak atas tanah bagi
masyarakat Indonesia. Semua hal ini berkaitan erat dengan ketentuan Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menekankan bahwa
penggunaan bumi, air, dan kekayaan alam harus mengarah pada
kemakmuran rakyat sebagai tujuan utama.
B. Tujuan resume
Tujuan resume terkait hak-hak atas tanah, yaitu
 Menambah pemahaman terkait hak-hak tanah yang di
Indonesia.
 Mengetahui peran pemerintah dalam merealisasikan UUPA.
 Mengetahui terkait prosedur hak-hak atas tanah dalam UUPA.
 Mengetahui pelanggaran serta hilangnya ha katas tanah.

II. Pengertian Hak atas Tanah


A. Definisi hak atas tanah
Penguasaan tanah adalah hak untuk menguasai tanah yang
mencakup suatu sistem kewenangan, tugas, dan/atau pembatasan yang
mengatur tindakan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh mereka
yang mempunyai hak atas tanah sehubungan dengan tanah yang
dimilikinya. Isi hak atas tanah tersebut sesuai dengan kriteria atau
perbedaan antara berbagai jenis hak atas tanah yang diatur dalam undang-
undang pertanahan. Pemilik tanah mempunyai hak untuk menggunakan
tanahnya untuk tujuan tertentu. Sementara itu, kata "penggunaan"
menunjukkan bahwa hak atas tanah dapat dipergunakan untuk keperluan
lain.
Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
menyatakan bahwa hak atas tanah mengatur mengenai hak pakai dan
urusan peruntukan tanah. Semua undang-undang ini dilaksanakan sesuai
dengan hukum. Hal ini menunjukkan pentingnya peran negara dalam
perencanaan dan pengelolaan penggunaan tanah, sesuai dengan Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menekankan pemanfaatan sumber daya alam, termasuk tanah, untuk
sebesar-besarnya kemajuan masyarakat dan kesejahteraan sosial.

Oleh karena itu, hak atas tanah adalah hak yang memberikan
pemiliknya wewenang untuk menggunakan, memanfaatkan, dan
mengelola tanahnya menurut hukum pertanahan. Proses dan isi hak atas
tanah menjadi pembeda antara hak atas tanah dan hukum hak milik.
B. Arti penting hak atas tanah dalam konteks hukum Indonesia
Dalam konteks hukun Indonesia, hak atas tanah memiliki arti
penting karena memberikan kepastian hukum untuk pemiliki tanh. Dalam
mendapatkan kepastian hukum bagi pemilik tanah, perlu adanya proses
pendaftaran ha katas tanah. Bukti kepemilikan hak atas tanah yang kuat
adalah sertifikat tanah.
Hak atas tanah juga memiliki peran penting untuk perlindungan
masyarakat adat. Hak atas tanah masyarakat adat di Indonesia telah diakui
dan dilindungi oleh negara yang termuat dalam UUD 1945 dan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. Namun, masyarakat adat terus berada di posisi terlemah dalam
upaya memperoleh hak atas tanah dan akses terhadap sumber daya alam.

III. Hak atas Tanah Sebelum UPPA (Undang-Undang Pokok Agraria)


A. Sistem hak atas tanah sebelum adopsi UUPA
Sebelum berlakunya UUPA, kita telah memasuki zaman ketika
pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Indonesia, yaitu zaman hukum
Barat. Namun, jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia, peralihan hak
atas tanah di wilayah Nusantara murni dilakukan dengan menggunakan
hukum adat, yaitu hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat
Indonesia.
Hak-hak atas tanah saat zaman kolonial, menurut Eddy Ruchiyat,
dikenal dengan hak-hak Barat dan diatur dalam Burgerlijk Wetboek. Hak-
hak atas tanah meliputi hak-hak berikut:
1. Hak eigendom, yang memungkinkan seseorang untuk menguasai
tanah seluas-luasnya dan bebas untuk melakukan apapun, asalkan
tidak bertentangan dengan peraturan yang ditetapkan oleh
pemerintah. Diatur dalam Pasal 570 BW.
2. Hak opstal, hak untuk menggunakan tanah orang lain dengan
bangunan di atasnya, berlaku paling lama 30 tahun. Diatur dalam S.
1872 Nomor 124.
3. Hak erfpacht, hak yang memungkinkan tanah orang lain digunakan
oleh pemegang hak untuk jangka waktu tertentu. Diatur dalam Pasal
720 BW.
4. Hak sewa, hak untuk menggunakan tanah untuk perkebunan selama
20 tahun.
5. Hak pakai, hak diberikan kepada badan sosial dan gereja untuk
jangka waktu tertentu. Diatur dalam Pasal 821 BW.
6. Hak pinjam, hak diberikan untuk keperluan rumah sakit yang
mendapat subsidi. Diatur dalam S. 1940 Nomor 427.
Selain hukum Barat, terdapat juga hukum adat di berbagai
wilayah di Indonesia, yang memiliki prinsip-prinsip hukum yang
serupa. Meskipun terdapat perbedaan di tiap wilayah, prinsip-prinsip
hukum adat tersebut memberikan peluang kepada hukum adat untuk
bergerak dinamis, meskipun pergerakannya cenderung lamban,
terutama di masyarakat tradisional. Oleh karena itu, hukum adat
memiliki dua karakter, yaitu karakter yang bersifat netral dan karakter
yang bersifat tidak netral karena sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai
religius tertentu.

B. Perubahan yang dihadirkan oleh UUPA (Undang-Undang Pokok


Agraria)
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) atau Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria adalah undang-undang yang mengatur tentang
pertanahan di Indonesia. UUPA diadakan untuk mengakhiri dualism
hukum yang mengatur hak-hak atas tanah di Indonesia dan menciptakan
hukum tanah nasional yang tunggal.
Menurut Soedikno Mertokusumo,wewenang yang dipunyai oleh
pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagimenjadi 2 sebagai berikut:
1. Wewenang umum yang bersifat umum,yaitu pemegang hak atas
tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan
tanahnya,termasuk juga tubuh bumi,air dan ruang yang ada
diatasnya,sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas
menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih
tinggi (Pasal 4 ayat (2)UUPA).
2. Wewenang yang bersifat khusus adalah pemegang hak atas tanah
yang mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai
dengan macam hak atas tanahnya,misalnya wewenang pada tanah
hak milik,yaitu dapat digunakan untuk kepentingan pertanian atau
pendirian bangunan.
Dalam UUPA, terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang hak atas
tanah, yaitu:
- Pasal 4 ayat (1) dan (2) yang menjelaskan tentang hak atas tanah
dan penggunaan tanah.
- Pasal 16 ayat (1) yang menguraikan berbagai jenis hak atas tanah,
seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-
hak lainnya yang dapat ditetapkan melalui undang-undang.
- Pasal 53 yang berisi tentang hak-hak atas tanah yang bersifat
sementara, seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang,
dan hak sewa tanah pertanian.
Dalam hukum agraria, hak atas tanah dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu hak atas tanah primer dan sekunder. Hak atas tanah primer
adalah hak yang diberikan langsung oleh negara, seperti hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Sementara itu, hak atas tanah sekunder adalah hak yang
bersumber dari pihak ketiga, seperti hak guna bangunan dan hak guna
tanah yang diberikan oleh pemilik tanah, serta hak jaminan, hak bagi hasil
komersial, biaya izin pemasangan, dan biaya sewa. Ini mencerminkan
keragaman hak atas tanah dan penggunaannya dalam hukum agraria
Indonesia.

C. Penguasaan Hak atas Tanah Menurut UUPA


Menurut Boedi Harsono, berdasarkan UUPA dalam hukum tanah
nasional dikenal macam-macam hak penguasaan atas tanah meliputi.
 Hak bangsa Indonesia diatur dalam Pasal 1.
 Hak menguasai dar negara diatur dalam pasal 2.
 Hak ulayat masyarakat hukum adat, diatur dalam Pasal 3.
 Hak individual.

IV. Klasifikasi Hak atas Tanah di Indonesia


Klasifikasi hak-hak atas tanah di Indonesia menurut Undang-undang
pokok agrarianatau disingkat UUPA, terbagi menjadi dua, yaitu.
1. Hak-hak atas tanah yang bersifat tetap yang diatur dalam pasal 16, yaitu
1) Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuhi yang
dapat dipunyai orang atas tanah dengan ketentuan dalam Pasal 6
(Pasal 20 ayat (1)). Dalam ayat 2 diperjelas dengan
disebutkannya bahwa hak milik dapat beralih dan dialihkan
kepada orang lain. Subjek yang memiliki hak milik atas tanah
yaitu warga negara Indonesia (ayat 1), badan hukum yang
memenuhi syarat (ayat 2) serta WNA yang menjadi pewaris tanpa
wasiat serta pencampuran harta karena perkawinan (ayat 3) yang
dijelaskan dalam Pasal 21.
2) Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara, hak guna usaha ini berlaku dalam
jangka waktu tertentu dan diperuntukkan untuk usaha pertanian,
perikanan, atau peternakan seperti yang telah tercantum dalam
Pasal 28 UUPA.
3) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri.
Jangka waktu kepemilikan hak ini paling lama 30 tahun dan
dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun atas
permintaan pemegang haknya dengan mengingat keadaan,
keperluan, dan keadaan bangunannya yang diatur dalam Pasal 35,
subjek pemegang hak gunan bangunan adalah warga negara
Indonesia dan badan hukum menurut 19 PP. Nomor 40 Tahun
1996.
4) Hak pakai adalah hak yang memberikan kewenangan terhadap
seseorang untuk memakai atau menggunakan dan/atau memungut
hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara maupun
tanah milik orang lain yang memberikan wewenang dan
kewajiban yang telah ditentukan dalam keputusan pemberiannya
oleh pejabat yang berwenang. Hak pakai memiliki jangka waktu
paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20
tahun serta dapat diperbaharui untuk waktu paling lama 25 tahun.
Hak ini diatur dalam pasal 39 sampai dengan 58 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 tahun 1996.
5) Hak sewa adalah hak yang memberikan wewenang seseorang
untuk menggunakan tanah milik orang lain dengan membayar
sejumlah uang sebagai tanda menyewa kepada oemiliknya.
Jangka waktu berakhirnya hak sewa ini sesuai dengan
kesepakatan antara pemilik dan penyewa. Hak sewa ini dapat
terhapus sesuai dengan ketentuan perjanjian sewa menyewa
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
6) Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan dalam pasal
46 UUPA menyatakan bahwa
a. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya
dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia dan diatur
dengan peraturan pemerintah. Ini berarti bahwa hak ini
hanya diperuntukkan bagi warga Negara Indonesia dan
aturan lebih lanjut mengenai hal ini akan diatur oleh
pemerintah.
b. Meskipun seseorang memiliki hak memungut hasil hutan
secara sah, hal ini tidak berarti bahwa orang tersebut
otomatis memiliki hak milik atas tanah itu. Dengan kata
lain, memiliki hak untuk mengumpulkan hasil hutan tidak
berarti seseorang memiliki kepemilikan penuh atas tanah
tersebut.

Pengaturan lebih lanjut mengenai hak membuka tanah dan


memungut hasil hutan diatur dalam Lampiran Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1976, tanggal 13 Januari 1976, yang menjelaskan
tentang pedoman sinkronisasi pelaksanaan tugas keagrariaan dalam
hubungannya dengan bidang tugas kehutanan, pertambangan,
transmigrasi, dan pekerjaan umum. Lampiran ini memberikan
panduan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberian hak
pengusahaan hutan dan hak pemungutan hasil hutan.
2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara yang diatur dalam pasal 53,
yaitu
1) Hak gadai adalah hak yang diberikan oleh seorang kreditur
kepada seorang debitur sebagai jaminan untuk utang yang
dimilikinya. Hak gadai ini kemudian dikembalikan kepada
debitur apabila utang tersebut dilunasi.
2) Hak usaha bagi hasil adalah seseorang atau badan hukum yang
disebut pemilik, dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi
dua menurut umbangan yang disetujui bersama.
3) Hak menumpang adalah hak untuk mendirikan rumah atau
mendiami sebuah rumah namun tidak terjadi pembayaran.
4) Hak sewa sawah pertanian adalah menyerahkan tanah pertanian
kepada pihak lain dengan jangka tertentu dan sejumlah uang yang
disepakati kedua pihak.

V. Proses Perolehan Hak atas Tanah


A. Hak Pemberian dan permohonan atas Hukum Adat
Selama hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 50 ayat (1), yang
mungkin merujuk pada hak milik atas tanah, belum diterapkan, maka
wewenang dapat diberikan kepada aturan adat, hukum perdata, atau
peraturan lain yang berkaitan dengan hak atas tanah, selama hal tersebut
tidak bertentangan dengan semangat dan ketentuan undang-undang.
Hak atas tanah yang berdasarkan hukum adat sering terkait dengan
pemakaian dan pembukaan hutan atau tanah ulayat dalam konteks negara.
Tindakan ini harus diatur agar tidak merugikan kepentingan umum, dan
alasan untuk membuka hutan harus sesuai dengan ketentuan hukum.
Peraturan Menteri Negara Agraria/BPN Nomor 5 Tahun 1999
memberikan petunjuk untuk mengatasi masalah hak budaya, dengan
merinci langkah-langkah dan ketentuan yang berlaku dalam UU tersebut.
Dalam hal ini, penetapan hak budaya dan ketentuan lainnya untuk
pelaksanaannya sering diatur dalam peraturan daerah (Perda). Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan tugas kepada pemerintah
daerah, yang termasuk para ahli hukum adat, komunitas hukum tradisional
dan organisasi non-pemerintah yang berperan penting dalam masalah ini,
untuk melakukan analisis dan pengambilan keputusan.
Semua langkah ini dirancang untuk menjaga hak budaya yang
masih ada dan mempengaruhi wilayah tersebut, sesuai dengan peraturan
yang ada dan hukum adat yang berlaku.
B. Hak Pemberian dan Permohonan atas pemerintah
Hak milik atas tanah dapat berasal dari keputusan pemerintah yang
merupakan hasil dari proses yang melibatkan kondisi tertentu dan
kebijakan pemerintah. Keputusan pemerintah ini memberikan hak atas
tanah kepada pihak-pihak tertentu. Proses ini juga bisa melibatkan
perubahan status tanah yang sebelumnya merupakan tanah negara.
Keputusan pemerintah mengenai pemberian hak atas tanah ini
diatur dalam aturan tertentu, seperti Keputusan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang perwakilan kekuasaan.
Keputusan ini memberi wewenang untuk mengabulkan atau mencabut
keputusan pemberian hak atas tanah yang awalnya adalah tanah negara.

C. Hak pemberian dan permohoan karena Undang-undang


Pasal 1 yang direvisi menyatakan bahwa hak khusus negara bagian
yang ada pada saat diundangkannya Undang-undang ini menjadi
kewenangannya pemilik, kecuali pemiliknya memenuhi persyaratan ini dan
pasal 129. Untuk mendapatkan hak milik atas tanah dalam kebijakan
pemerintah, prosesnya diatur dalam Bab 10 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960, yang diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
ketenagakerjaan oleh Pemerintah dan pihak berwenang dalam melakukan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
diatur dalam Pasal 19 ayat (2) undang-undang tersebut. Prinsip-prinsip
agraria dalam laporan ini mencakup:
 Pengukuran, klasifikasi, dan akuntansi tanah;
 Pendaftaran hak atas tanah dan pengalihan hak-hak tersebut;
 Penerbitan surat kuasa, yang berfungsi sebagai alat pembuktian
yang kuat.
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah
yang dilakukan untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek
pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau
kelurahan secara individual atau massal12, sesuai dengan ketentuan Pasal
13 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Pemberian hak milik atas tanah dapat diberikan dalam dua bentuk:

a) Hak milik perseorangan


Hak milik perseorangan adalah hak atas tanah yang dimiliki oleh
orang berkewarganegaraan Indonesia.Persyaratan permohonan hak milik
atas tanah meliputi:
 Mengisi dan menandatangani formulir permohonan di atas meterai yang
cukup.
 Surat kuasa apabila pengajuan dilakukan oleh kuasa.
 Fotokopi identitas Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga pemohon
dan kuasa jika ada, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas
loket.
 Asli bukti perolehan tanah atau alas hak.
 Asli surat-surat yang merupakan bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah,
atau surat-surat yang membuktikan kepemilikan rumah atau rumah yang
dibeli dari pemerintah.
 Fotokopi tanda daftar Surat Pemberitahuan Pajak Tertuang (SPPT), Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), Surat Setoran Bea (SBB), Bea Perolehan Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta bukti pembayaran uang pemasukan
pada saat pendaftaran hak.
 Melampirkan bukti Surat Setoran Pajak (SSP) atau Pajak Penghasilan
(PPh)13, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah tentang jenis dan
tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan
Pertanahan Negara Republik Indonesia (Peraturan Pemerintah Nomor 13
Tahun 2010).
Keterangan yang perlu disertakan dalam formulir permohonan meliputi:
o Identitas diri.
o Luas, letak, dan penggunaan tanah yang diajukan permohonannya.
o Pernyataan bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa.
o Pernyataan bahwa tanah tersebut dikuasai secara fisik.
o Pernyataan bahwa pemohon menguasai tanah dalam jumlah yang tidak
melebihi 5 (lima) bidang untuk permohonan rumah tinggal.
Saat mengajukan permohonan hak milik atas tanah, penting untuk
memastikan bahwa semua persyaratan dan dokumen yang diperlukan telah
disiapkan dan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Selain itu,
pastikan formulir permohonan telah diisi dengan lengkap dan benar, dan
bahwa pembayaran pajak dan uang pemasukan terkait telah dilakukan sesuai
dengan aturan yang berlaku.
Sertifikat tanah adalah bukti tertulis yang menunjukkan kewenangan
atau hak atas tanah yang dimiliki oleh pemegangnya, dan ini digunakan
untuk tujuan retensi hak yang berkaitan dengan data fisik dan hukum terkait
tanah. Dalam proses penerbitan sertifikat, data fisik meliputi karakteristik
dan ukuran tanah yang tercatat dalam dokumen tersebut.
Sertifikat tanah merupakan keistimewaan bagi pemegang hak atas
tanah yang sesuai dengan persyaratan hukum yang berlaku. Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa sertifikasi
disediakan untuk tujuan retensi hak yang sesuai dengan data yang mencakup
data fisik dan hukum tanah. Artinya, sertifikat mencerminkan informasi
mengenai karakteristik fisik tanah dan hak hukum yang dimiliki oleh
pemegangnya.
Penerbitan sertifikat atas hak tanah akan dilakukan apabila
pemegang hak memenuhi ketentuan yang diatur, seperti yang tercantum
dalam pasal 30. Penerbitan sertifikat bertujuan untuk memudahkan
pemegang hak dalam membuktikan dan merespons atas hak yang
dimilikinya. Sertifikat digunakan sebagai alat pembuktian yang kuat
mengenai keberadaan dan kewenangan atas tanah tersebut.
Namun, terdapat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi sebelum
sertifikat dapat diterbitkan. Jika tidak ada catatan atau akun yang relevan
mengenai hak atas tanah yang dimiliki oleh individu atau entitas tertentu,
sertifikat mungkin tidak dapat diterbitkan. Namun, jika data fisik tanah
sudah lengkap dan tidak terstruktur, sertifikat dapat diterbitkan. Data fisik
dikatakan tidak lengkap jika data fisik yang tercatat hanyalah gambar
sementara, seperti yang diatur dalam Pasal 19 ayat (3). Oleh karena itu,
penting untuk memastikan bahwa data fisik yang menjadi dasar sertifikat
adalah lengkap dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Dengan sertifikat tanah yang tepat dan valid, pemegang hak dapat
dengan mudah membuktikan hak dan kewenangan mereka atas tanah
tersebut, yang dapat sangat penting dalam transaksi dan proses hukum yang
melibatkan kepemilikan tanah.

VI. Pelanggaran Hak Atas Tanah


A. Pembatalan Sewa Sendiri untuk Memahami Asas Keadilan
Dalam hal ini, Notaris melanggar Pasal 84 juncto 85 UUJN,
sehingga akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta privat. Terdapat cacat dan kerusakan dalam penyusunan akta tersebut,
sehingga sebagian alat bukti tidak dapat dipenuhi.
B. Pelanggaran Hak Atas Tanah melalui Pewarisan
Dalam situasi ini terjadi pelanggaran hak atas tanah warisan yang
dilakukan oleh mafia tanah yang memanfaatkan ahli waris untuk
melakukan peralihan hak atas tanah. Praktek ini dapat merugikan pemilik
tanah dan melemahkan keabsahan surat-surat jual beli yang terdapat dalam
surat-surat privat karena tidak memenuhi syarat undang-undang atau
peraturan lainnya. Akibatnya, Notaris/PPAT dapat menerima sanksi
administratif, pidana, dan perdata atas pelanggaran yang dilakukan.
C. Penyidikan Penggelapan Pajak dan Penghindaran Pajak
Dalam hal ini, terdapat upaya penghindaran pembayaran pajak
dan/atau Bea Perolehan Perumahan dan Tanah (BPHTB) oleh pengembang
dan pembeli di bidang perumahan. Tindakan seperti ini dapat
mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak.
D. Pertanggungjawaban Pidana Pejabat Pertanahan atas Penipuan Jual
Beli Hak atas Tanah
Dalam contoh ini terdapat kasus di mana PPAT melakukan jual beli
barang yang merugikan pihak lain untuk kepentingan orang lain. Hal ini
dapat merugikan pemilik tanah dan menghambat keabsahan akta jual beli
yang terdapat dalam akta privat tersebut, karena tidak memenuhi syarat
undang-undang atau peraturan lainnya. Notaris/PPAT dapat dikenakan
sanksi administratif, pidana, dan perdata atas pelanggarannya.

E. Sengketa Pertanahan antara Pemilik Tanah dengan Perusahaan


Pertambangan Pemegang Hak Pertambangan
Dalam hal ini terjadi sengketa tanah antara pemilik tanah dengan
perusahaan pertambangan pemegang hak pertambangan. Perselisihan
tersebut bermula dari kegagalan pemilik tanah dalam memenuhi kewajiban
perusahaan pertambangan sesuai perjanjian sewa yang disepakati kedua
belah pihak. Konflik seperti ini dapat merugikan industri pertambangan dan
menimbulkan konflik antara kedua pihak.
Dalam praktiknya, berbagai persoalan terkait pelanggaran hak atas
tanah bisa saja muncul, termasuk persoalan terkait hak ulayat atas tanah,
pelanggaran peralihan hak secara tidak sah, dan persoalan terkait perolehan
hak atas tanah oleh pihak asing. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya
untuk mendukung perlindungan hak atas tanah dan meningkatkan
kesadaran akan pentingnya hak atas tanah.
VII. Contoh Kasus Hak Atas Tanah di Indonesia
A. Kasus
Pembangunan eco city di pulau Rempang, Kota Batam menimbulkan
konflik sengketa tanah antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah.
B. Pelanggaran
Dalam konteks ini, terdapat perbedaan antara klaim masyarakat adat
atas Pulau Rempang berdasarkan sejarah pemukiman mereka yang sudah
berlangsung hampir 200 tahun dan legalitas hukum yang berdasarkan
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973 serta penugasan
kepada otoritas Batam (BP Batam) terkait pengelolaan lahan.
Masyarakat adat di Pulau Rempang telah mendiami pulau tersebut
selama hampir 200 tahun, dan dengan demikian, mereka merasa memiliki
hak historis atas pulau ini. Namun, dari segi legalitas hukum pengelolaan
lahan di Batam dan Pulau Rempang, Keppres Nomor 41 Tahun 1973
memberikan otorisasi kepada BP Batam untuk mengelola lahan di wilayah
tersebut. Keppres ini memberikan BP Batam wewenang penuh untuk
mendistribusikan lahan kepada pihak ketiga yang akan mengelola tanah
tersebut lebih lanjut.
Pihak ketiga yang menerima hak pengelolaan lahan ini kemudian
diwajibkan membayar hak guna lahan kepada pemerintah. Pada tahun
1992, pemerintah memberikan wilayah Rempang dan Galang kepada
otoritas Batam untuk dikelola dan memajukan industri di wilayah Batam.
C. Penyelesaian
Dalam kasus ini, peran pemerintah sangat penting dalam menentukan
keputusan yang dapat menjadi penyelesaian konflik yang muncul. Namun,
penting untuk diingat bahwa hukum di Indonesia tidak hanya terbatas pada
hukum konstitusional; Indonesia juga mengakui hukum adat dan hukum agama
sebagai bagian dari sistem hukumnya.
Pasal 33 ayat (3) dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah salah satu
dasar hukum yang relevan dalam konteks ini. Pasal ini menegaskan bahwa
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya berada di bawah
kepemilikan negara dan harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Namun, Pasal 33 juga mengakui pentingnya hak ulayat dan hak-hak
serupa yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Pasal 33 ayat (3)
menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat
hukum adat harus dilakukan sedemikian rupa hingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan persatuan bangsa, dan
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi.

Dengan kata lain, Pasal 33 ayat (3) mencerminkan prinsip bahwa hak-
hak ulayat dan hak-hak yang serupa yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat
harus dihormati dan dilaksanakan, selama itu tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, undang-undang, dan peraturan-peraturan yang lebih
tinggi.
Dalam konteks konflik yang melibatkan masyarakat adat di Pulau
Rempang dan legalitas hukum yang diatur oleh Keppres Nomor 41 Tahun
1973, pemerintah perlu mempertimbangkan dan menjalankan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) tersebut untuk mencapai penyelesaian
yang adil dan berkelanjutan. Selain itu, kolaborasi dan dialog antara
pemerintah, masyarakat adat, dan pihak-pihak terkait dapat menjadi
pendekatan yang efektif dalam menemukan solusi yang memadukan hak-hak
masyarakat adat dan kepentingan nasional.
VIII. Kesimpulan
Undang-Undang Pokok Agraria mencantumkan berbagai jenis hak atas
tanah, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 16, termasuk hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak
memungut hasil hutan, dan hak-hak yang bersifat sementara, seperti yang
disebutkan dalam Pasal 53, seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak
menumpang, dan hak sewa tanah pertanian. Hak-hak ini memainkan peran
penting dalam hukum agraria di Indonesia.
Namun, meskipun begitu, masih sering terjadi kendala dan konflik terkait
hak atas tanah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk sistem
pendaftaran tanah yang lemah, masalah hukum, dan tindakan yang mungkin
merugikan orang lain demi kepentingan pihak tertentu.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya untuk memperbarui
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepemilikan tanah. Dengan
demikian, keputusan yang dikeluarkan oleh penyelenggara negara terkait sertifikat
kepemilikan tanah dapat diakui kebenarannya. Tujuannya adalah untuk
membentuk sistem pendaftaran tanah yang lebih kuat dan efektif, yang dapat
mencegah konflik dan memberikan perlindungan yang lebih baik kepada pemilik
tanah di Indonesia.
Penting bagi para pemimpin nasional dan penyelenggara negara untuk
memastikan bahwa sistem pendaftaran tanah yang lebih baik ini benar-benar dapat
mencapai tujuan undang-undang agraria. Tujuannya adalah untuk memberikan
legalitas, perlindungan hukum, dan akses yang lebih baik kepada data tanah bagi
seluruh masyarakat. Dengan cara ini, hak atas tanah dapat diterapkan dengan lebih
efektif dan adil di Indonesia.

IX. Daftar Pustaka


Pratiwia, R. N., & Najichab, F. U. Mengenal Macam-Macam Hak Atas
Tanah di Indonesia Sesuai dengan UUPA.
Pratiwia, R. N., & Najichab, F. U. Mengenal Macam-Macam Hak Atas
Tanah di Indonesia Sesuai dengan UUPA.
Sulistiawati, N., & Putri, G. A. P. Y. (2020). Pengaturan Pemberian Hak
Guna Usaha di Atas Tanah Hak Komunal Menurut Hukum Pertanahan di
Indonesia.
Eliana. (2017). Sistem Administrasi Pelayanan Publik: Permohonan Hak
Atas Tanah di Kantor Pertanahan. Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah
Hukum dan Keadilan, 7(1).
Deliarnoor, H. N. A. (2019). ADPU4335 – Administrasi Pertanahan (Edisi
3) (Modul 3). Tangerang.

Anda mungkin juga menyukai