Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar


Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada dasarnya tidak dijelaskan secara jelas apa
arti dari tanah, namun dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yang berbunyi “Atas dasar
hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan0badan hukum.”

Hal ini memiliki arti bahwa yang dipunyai dengan hak atas tanah itu
adalah tanahnya, dalam arti sebagain tertentu dari permukaan bumi (Sebidang
tanah). Hak atas tanah sendiri adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi,
yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.

Perbedaan sistem hukum tiap tiap negara menyebabkan pula munculnya


perbedaan aturan yang mengatur mengenai tanah di tiap tiap negara, maka
dilakukanlah perbandingan hukum antara Indonesia dengan Nigeria dalam hal
tanah yang memiliki tujuan untuk menemukan persamaan dan/atau perbedaan
yang terdapat dalam kedua hukum tanah negara tersebut dan mencari
faktor-faktor yang menjadi persamaan dan/atau perbedaan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Beberapa permasalahan yang timbul dari latar belakang tersebut adalah


sebagai berikut ;

1. Bagaimana sistem hukum Indonesia dalam mengatur mengenai tanah dan


penguasaannya?
2. Bagaimana sistem hukum Nigeria dalam mengatur mengenai tanah dan
penguasaannya?
3. Persamaan dan perbedaan apa yang terdapat dalam kedua sistem hukum
yang dianut oleh Indonesia dan Nigeria

1.3 Tujuan Penilitian

Adapun tujuan penilitian ini adalah sebagai berikut ;

1. Agar dapat mengetahui sistem pengaturan tanah dan penguasaannya


berdasarkan sistem hukum yang dianut oleh Indonesia;
2. Agar dapat mengetahui sistem pengaturan tanah dan penguasaannya
berdasarkan sistem hukum yang dianut oleh Nigeria;
3. Agar dapat mengetahui persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam
kedua sistem hukum yang dianut oleh Indonesia dan Nigeria mengenai
pengaturan tentang tanah dan penguasaannya.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sistem Hukum Indonesia Mengenai Tanah dan Penguasannya

Konsepsi Hukum Tanah Nasional Indonesia tidak lepas dari pengaruh


Hukum Adat. Dalam Hukum Adat dikenal konsepsi Komunalistik Religius, yaitu
konsepsi yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan
hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur
kebersamaan.1

Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota


masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan hukum disebut Hak
Ulayat, sedangkan sifat religius menunjuk kepada Tanah Ulayat merupakan tanah
kepunyaan bersama, yang diyakini sebagai karunia suatu Kekuatan Gaib atau
peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat
hukum adat. 2

Perwujudan dari konsepsi Komunalistik Religius dapat dilihat dalam


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria yang disingkat menjadi UUPA.

Sifat religius tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) UUPA yang berbunyi “
Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
nasional.”

Sedangkan sifat komunalistik dapat dilihat dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA
yang berbunyi “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta
badan-badan hukum.”

1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2018), hal. 181.
2
Ibid
Individual yang dimaksud dalam konsepsi Komunalistik Religius adalah
tidak adanya kewajiban untuk menguasai dan memggunakannya secara kolektif,
karena itu penguasaan tanahnya dirumuskan dengan sifat indiviual.

Hak penguasaan yang individual tesebut merupakan hak yang bersifat


pribadi, karena tanah yang dikuasinya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan
pribadi dan keluarganya, hal ini menunjukkan adanya sifat pribadi.

Namun hak individual tersebut bukanlah bersifat pribadi semata, namun


juga mengandng unsur kebersamaan karena dalam penggunaannya tidak boleh
hanya berpedoman pada kepentingan pribadi semata, melainkan juga harus
dengan kepentingan bersama, yaitu kepentingan kelompoknya.

Dalam Hukum Tanah Nasional, yang dimaksud dengan Hak Penguasaan


atas Tanah adalah serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi
pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang di haki. “Sesuatu”
yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang nerupakan isi hak
penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak pembeda di antara hak-hak
penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah. 3

Penguasan atas Tanah dapat dilihat dari 2 segi, yaitu :

a. Segi Perdata
- Penguasaan Yuridis
- Penguasaan Fisik
b. Segi Publik
- Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
- Pasal 2 UUPA

Dalam tiap Hukum Tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai “hak


penguasaan atas tanah”. Dalam UUPA, diatur dan sekaligus ditetapka tata jenjang
atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, yaitu
:
1. Hak Bangsa Indonesia, yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik.
✔ Hak Bangsa Indonesia adalah hubungan hukum antara Bangsa
Indonesia dengan tanah di seluruh wilayah Indonesia yang
memberi kewenangan untuk berbuat sesuatu

3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2018), hal. 24.
✔ Kewenangan perdata → bersifat abadi
✔ Kewenangan publik → diserahkan kepada negara

2. Hak Menguasai dari Negara, yang disebut dalam Pasal 2 UUPA, hanya
beraspek publik
✔ Hak Menguasai Negara adalah hubungan hukum antara Negara
dengan tanah di seluruh wilayah Indonesia yang memberi
wewenang kepada Negara untuk berbuat sesuatu
✔ Hak menguasasi negara ini memberikan kewenangan kepada
negara untuk :
- Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan tanah bersama.
- Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bagian-bagian tanah bersama.
- Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai tanah.

3. Hak Ulayat Masyrakat Hukum Adat, yang disebut dalam Pasa l 3, yang
beraspek perdata dan publik
✔ Dalam Pasal 3 UUPA, tanah dan masyarakat hukum adat
mempunyai hubungan erat satu sama lain. Hubungan hukum antara
masyrakat hukum adat dengan tanahnya menciptakan hak yang
memberikan masyarakat sebagai suatu kelompok hukum, hak
untuk menggunakan tanah bagi keuntungan masyrakat. Van Vollen
Hoven memperkenalkan istilah “Beschiking Recht” diterjemahkan
sebagai “hak ulayat” untuk hubungan hukum ini yang sejak saat itu
istilahnya diterima oleh umum.
✔ Di lingkungan suatu masyarakat hukum adat terdapat dua macam
tanah, ditinjau dari :
● Tanah Ulayat sebagai tanah bersama;
● Tanah Pribadi anggota masyarakat hukum adat.
✔ Pemegang Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat yang
bersangkutan, terdiri atas orang-orang yang merupakan warganya.
✔ Pelaksana Hak Ulayat adalah Penguasa Adat masyarakat hukum
adat yang bersangkutan, yaitu Kepala Adat sendiri atau
bersama-sama dengan para tetua adat masing-masing.

4. Hak-hak perorangan/individual
✔ Hubungan hukum antara perorangan (orang atau badan hukum)
dengan sebidang tanah, yang memberi kewenangan untuk berbuat
sesuatu.
✔ Semuanya beraspek perdata, terdiri atas :
a. Hak-hak atas Tanah sebagai hak-hak indivisual yang
semuanya secara langsung ataupun tidak langsung
bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut dalam Pasal 4,
16, 20-45 dan 53.
- Hubungan hukum dengan sebidang tanah yang
memberi wewenang untuk menggunakan tanahnya.
- Bersifat pribadi
- Mengandung unsur kebersamaan
- Isinya :
● Kewenangan;
● Kewajiban;
● Pembatasan/Larangan.
b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan dalam
Pasal 49 UUPA (UU No. 41/200 Tentang Wakaf; PP No
42/2006 Tentang Pelaksanaan UU No 4/2004 Tentang
Wakaf.)
- Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadan dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.
c. Hak Jaminan atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan”
dalam Pasal 25, 33, 39 dan 51 UUPA.
- Hubungan hukum Kreditur dengan sebidang tanah
kepunyaan pihak lain yang ditunjuk sebagai
jaminan kredit yang memberi kewenangan untuk
melelang (eksekusi) tanah hak tersebut manakala
Debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya
(melunasi pinjamannya).

Dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa adanya macam-macam


hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang-orang lain serta badan-badan hukum. Yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) UUPA itu dijelaskan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu :
(1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah :
a. hak milik,
b. hak guna usaha,
c. hak guna bangunan,
d. hak pakai,
e. hak sewa,
f. hak membuka tanah,
g. hak memungut hasil-hutan,
h. hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

2.2 Sistem Hukum Nigeria Mengenai Tanah dan Pengaturannya

Nigeria merupakan negara persemakmuran Inggris yang bergabung pada


tanggal 1 Oktober 1960. Inggris sendiri dalam hukum tanahnya menggunakan
konsepsi Feodal, yaitu hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah hak untuk
Raja, semua tanah di seluruh wilayah negara adalah hak milik Raja.

Disebutkan dalam Pasal 1 Land Use Act Chapter 202 Laws of the
Federation of Nigeria 1990, bahwa “Subject to the provisions of this Act, all land
comprised in the territory of each State in the Federation are hereby vested in the
Governor of that State and such land shall be held in trust and administered for
the use and common benefit of all Nigerians in accordance with the provisions of
this Act.” Yang artinya, seluruh tanah yang ada di wilayah masing-masing Negara
Bagian adalah menjadi hak Gubernur Negara Bagian itu.

Hal tersebut menunjukkan bahwa Nigeria juga menganut konsepsi Feodal,


karena seluruh tanah yang ada di wilayah Nigeria menjadi hak Gubernurnya dan
hak-hak penguasaan atas tanah yang lain bersumber pada hak milik Gubernur
tersebut dan dengan sendirinya tidak ada yang setingkat dengan hak milik.

Dalam konsepsi Feodal, dikenal dengan yang namanya doktrin tenure,


yaitu semua tanah adalah milik Raja dan siapa pun hanya menguasai dan
menggunakan tanah milik “Lordnya” sebagai tenant. Namun disamping doktrin
tenure, dikenal juga doktrin mengenai estates yang saat ini berkembang, doktrin
ini menyatakan bahwa tanah tidak dapat dimiliki, tetapi ada hal lain yang dapat
dijadikan obyek pemilikannya yaitu hak-hak penguasaan atas tanah yang disebut
‘estates’.4

Dalam Undang-Undang ini tidak dikenal kepemilikan tanah secara


individu, melainkan dikenal adanya yang dinamakan right of occupancy, yaitu
hak hunian.

Hak hunian diberikan kepada siapapun untuk semua tujuan oleh Gubernur
dan dengan kemudahan yang sesuai dengan hak hunian menurut Undang-Undang
yang dapat dimiliki dengan cara sewa. Sebagai bukti, adanya sertifikat yang
membuktikan hak hunian seseorang yang disebut dengan sertifikat hunian.

Sewa dibayarkan oleh orang yang namanya ada pada sertifikat hunian, di
dalam sertifikat hunian itu terdapat biaya yang telah ditentukan untuk dibayarkan.
Jika orang yang namanya tertera dalam sertifikat menolak atau lalai dalam
menerima dan membayar sertifikat, Gubernur dapat membatalkan sertifikat dan
mencabut segala beban biaya yang terkait dengannya dengan syarat bahwa
sertifikat tersebut membuktikan hak huni dan hak huni tersebut diberikan sesuai
dengan aturan yang berlaku.

Perubahan sewa dapat dilakukan sesuai dengan yang diperjanjikan dalam


sertifikat, jika tidak diperjanjikan dalam sertipikat hunian, maka dapat dilakukan
kapan saja selama jangka waktu hak hunian berdasarkan aturan yang sesuai
dengan Undang-Undang.

Hak hunian dapat dialihkan haknya, dialihkan kepemilikannya, dijadikan


mortgage, selama mendapat izin dari Gubernur, jika tidak maka hal-hal tersebut
tidak sah.

Faktor-faktor pencabutan hak oleh Gubernur :


- pemindah tanganan oleh penghuni dengan pengalihan hak, hipotek,
pengalihan kepemilikan, menyewakan hak hunian yang bertentangan
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
- persyaratan tanah oleh Pemerintah Pemerintah Negara Bagian atau oleh
Pemerintah Lokal di Negara Bagian, baik dalam kasus untuk tujuan umum
di dalam Negara, atau persyaratan tanah oleh Pemerintah Federasi untuk
tujuan publik dari Federasi;
- kebutuhan tanah untuk tujuan pertambangan atau jaringan pipa minyak
atau untuk tujuan apapun yang berhubungan dengannya;

4
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti, 2018), hal. 47.
- persyaratan tanah oleh Pemerintah Negara Bagian atau oleh Pemerintah
Lokal di Negara Bagian baik dalam kasus untuk tujuan umum di dalam
Negara Bagian, atau persyaratan tanah oleh pemerintah Federasi untuk
tujuan umum Federasi;
- persyaratan tanah untuk ekstraksi bahan bangunan;
- pemindah tanganan hak hunian oleh penghuni melalui penjualan, hipotek,
pengalihan kepemilikan, menyewakan, mewariskan atau sebaliknya tanpa
persetujuam atau persetujuan yang diperlukan
- apabila dikeluarkan pemberitahuan oleh Kepala Pemerintah Militer
Federal bahwa tanah tersebut diperlukan oleh Pemerintah untuk
kepentingan umum.

2.3 Perbandingan Hukum Tanah Indonesia dan Nigeria

Indonesia Nigeria
Dasar Hukum Undang-Undang No. 5 Land Use Act Chapter
Tahun 1960 tentang 202 Laws of the
Peraturan Dasar Pokok- Federation of Nigeria
Pokok Agraria 1990
Konsepsi Komunalistik Religius Feodal
Hak Penguasaan atas Hak Penguasaan atas Hak Penguasaan atas
Tanah Tanah tertinggi adalah Tanah tertinggi ada pada
Hak Bangsa Indonesia Gubernur
Pemilikan Tanah Tanah dapat dimiliki Tanah tidak dapat
secara individu dengan dimiliki secara individu,
HM, HGU, HGB, HP, namun dengan hak
HPL hunian melalui sewa
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tiap-tiap negara
memiliki sistem hukum yang berbeda dalam pengaturan tanahnya, tak terkecuali
Indonesia dan Nigeria yang pada keseluruhannya memiliki sistem hukum yang
sangat berbeda.

Dimulai dari konsepsi, Indonesia menganut konsepsi Komunalistik Religius, yaitu


yaitu konsepsi yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan
hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur
kebersamaan. Sedangkan Nigeria menganut konsepsi Feodal, yaitu menempatkan
hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah hak untuk Raja, semua tanah di
seluruh wilayah negara adalah hak milik Raja.

Perbedaan dari konsepsi tersebut memebuat timbulnya perbedaan dalam hak


penguasaan atas tanahnya, di Indonesia setiap orang ataupun badan hukum
memiliki hak untuk menguasai suatu tanah secara individu dengan hak-hak
penguasaan atas tanah yang tersedia, sedangkan di Nigeria tidak ada, melainkan
adanya yang dinamakan hak hunian yang didapatkan dengan cara sewa.

Hak hunian pun tidak secara langsung dapat dimiliki dan dikuasai secara pribadi,
karena pada dasarnya Gubernur masih memiliki kekuasaan penuh atas tanah hak
hunian tersebut.

Menurut saya setelah membandingkan kedua sistem hukum yang dianut oleh
Indonesia dan Nigeria, dapat dilihat bahwa sistem hukum yang dianut oleh
Indonesia mengenai tanah dan penguasaannya lebih bebas daripada Nigeria,
karena Indonesia menempatkan tiap-tiap warga negaranya untuk dapat menguasai
dan menggunakan seluruh wilayah Indonesia secara bebas. Sedangkan di Nigeria,
penguasaan atas tanahnya untuk warga negaranya sangat dibatasi.

Anda mungkin juga menyukai