Anda di halaman 1dari 8

A.

Hak Ulayat
1. Pengertian Hak Ulayat
Secara umum, pengertian hak ulayat utamanya berkenaan dengan hubungan hukum antara
masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Hubungan hukum tersebut berisi
wewenang dan kewajiban. Dalam pengertian “tanah dalam lingkungan wilayahnya” itu mencakup
luas kewenangan masyarakat hukum adat yang berkenaa dengan tanah, termasuk segala isinya, yakni
perairan tumbuh-tumbuhan dan binatang dalam wilayah yang menjadi sumber kehidupan dan mata
pencaharianya. Pemahaman ini penting karena pada umumnya pembicaraan mengenai hak ulayat
hanya di fokuskan pada hubungan hukum dengan tanahnya.
Pengertian terhadap hak ulayat di tegaskan dalam Pasal 1 Undang- Undang Nomor 21 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang mengatakan bahwa “Hak Ulayat adalah hak persekutuan
yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta
isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun
1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (salanjutnya
disebut Permen Agraria Nomor 5 Tahun 1999) Pasal 1 memberikan pengertian bahwa “Hak ulayat
dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah
kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya
alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang
timbul dari hubungan secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut
dengan wilayah yang bersangkutan lahiriah dan batiniah.
Menurut Boedi Harsono adalah Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban
suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan
wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang
bersangkutan sepanjang masa.Wewenang dan kewajiban tersebut yang termasuk bidang hukum
perdata, yaitu yang berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut.Ada juga
termasuk hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin
peruntukkan, penggunaan dan pemeliharaannya.
Hak Ulayat merupakan sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat sedangkan
dikalangan masyarakat hukum adat diberbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda. Hak
Ulayat adalah hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat yang meliputi semua tanah
yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan
tanah kepunyaan bersama para warganya.Hak ulayat bersifat Magis Religius artinya hak ulayat
merupakan tanah milik bersama, yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan
merupakan peninggalan nenek moyang dan para leluhur kepada masyarakat adat sebagai unsur
terpenting bagi kehidupan mereka sepanjang masa.
2. Subjek Hak Ulayat
Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat tertentu, bukan orang- perorangan dan bukan kepala
persekutuan adat.Kepala persekutuan adat adalah pelaksana kewenangan masyarakat hukum adat,
dalam kedudukanya selaku petugas masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dengan demikian,
subjek hak ulayat di jabarkan sebagai masyarakat yang terikat oleh hukum adat, baik secara
geneologis (persamaan garis keturunan) maupun teritorial (kesamaan tempat tinggal).Masyarakat
hukum adat memiliki ikatan sosial (geneologis dan teritorial). Persamaan Genealogis (persamaan
garis keturunan) merupakan orang-orang yang memiliki satu nenek moyang atau memiliki hubungan
darah yang sama. Sementara persamaan teritorial (persamaan wilayah) merupakan kelompok
masyarakat hukum adat yang menempati wilayah yang sama dan memiliki kewenangan untuk
mengatur dan memimpin semua aspek kehidupanya.
3. Objek Hak Ulayat
Objek hak ulayat adalah wilayah berupa lingkungan hukum tempat masyarakat hukum adat hidup,
mengusahakan dan mengambil hasil untuk kehidupan sehari-hari. Kewenangan mengatur hubungan
hukum pada masyarakat hukum adat dengan wilayah di dasarkan pada hukum adat yaitu norma-
norma yang hidup di dalam masyarakat hukum adat yang di patuhi dan mempunyai sanksi. Mengenai
objek hak ulayat dapat di bedakan menjadi 3 bagian yaitu :
a. Tanah
b. Air (perairan seperti: kali, danau, pantai serta perairanya) tumbuh-tumbuhan yang hidup
secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan
sebagainya.
c. Binatang liar yang hidup di alam bebas.

4. Ciri-Ciri Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.


Dalam kehidupan persekutuan hukum adat merupakan suatu kehidupan masyarakat di dalam
badan–badan persekutuan bersifat kekeluargaan. Berikut ini akan di uraikan beberapa ciri-ciri
mengenai hak ulayat masyarakat hukum adat yang di kemukakan oleh van vollenhoven:
a. Hanya masyarakat hukum adat itu sendiri beserta warganya yang dapat dengan bebas
mempergunakan tanah liar atau tanah yang belum di kuasai oleh masyarakat setempat yang
terletak dalam wilayahnya.
b. Hak individu di liputi juga oleh hak persekutuan
c. Orang asing (luar masyarakat hukum adat) boleh mempergunakan tanah itu dengan izin.
Penggunaan tanah tanpa izin dipandang sebagai suatu delik. Untuk penggunaan tanah
tersebut, kadang-kadang bagi warga masyarakat dipungut recognisi, tetapi bagi orang luar
masyarakat hukum adat selalu dipungut recognisi.
d. Pemimpin persekutuan dapat menentukan untuk menyatakan dan menggunakan bidang-
bidang tanah tertentu untuk kepentingan umum dan terhadap tanah ini tidak diperbolehkan
hak perseorangan.
e. Masyarakat hukum adat tidak dapat melepaskan, memindahtangankan, ataupun
mengasingkan hak ulayatnya secara menetap.
f. Masyarakat hukum adat masih mempunyai campur tangan (baik inisiatif maupun kurang
inisatif) terhadap tanah-tanah yang sudah diolah.
g. Persekutuan bertanggung jawab atas segalah hal yang terjadi di atas lingkungan ulayat,
h. Larangan mengasingkan tanah yang termasuk tanah ulayat,baik persekutuan maupun para
anggotanya tidak bisa di putuskan bidang tanah ulayat jadi persekutuan hilang sama
swewenangnya atas tanah tersebut.
B. Kedudukan Hak Ulayat Dalam UUPA
Pengakuan terhadap eksistensi/keberadaan hak ulayat bagi masyarakat hukum adat dalam
kerangka hukum tanah nasional secara yuridis telah diakui sebagaimana di tuangkan dalam Pasal 3
UUPA bahwa: ”Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan pelaksanaan hak ulayat
dan hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan
lain yang lebih tinggi.
Masih adanya hak ulayat pada masyarakat hukum adat tertentu antara lain dapat diketahui
dari kegiatan sehari-hari Kepala Adat dan Para Tetua Adat yang dalam kenyataannya masih di akui
sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah
ulayat, yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Selain
mengakui, Hukum Tanah Nasional membatasi pelaksanaannya, dalam arti pelaksanaannya harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan Kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi.Pengakuan terhadap keberadaan Hak Ulayat dapat terlihat dalam hal, jika dalam
usaha memperoleh sebagian tanah ulayat untuk kepentingan pembangunan, dilakukan melalui
pendekatan dengan para penguasa adat serta warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan
menurut adat istiadat setempat.
Dalam rangka Hukum Tanah Nasional tugas kewenangan yang merupakan unsur Hak Ulayat,
telah menjadi tugas kewenangan Negara Republik Indonesia sebagai kuasa dan petugas bangsa.Dalam
perkembangannya, pada kenyataannya kekuatan Hak Ulayat cenderung/melemah, dengan makin
menjadi kuatnya hak pribadi para warga dan anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas
bagian-bagian tanah ulayat yang di kuasainya.
C. Tanah Ulayat
Hukum tanah nasional (UUPA) tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan tanah
ulayat. Namun, dalam Pasal 3 UUPA memang terdapat istilah “hak ulayat dan hak- hak yang serupa
dengan itu”. Dalam penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu"ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut
"beschikkingsrecht”
Mengenai pengertian tanah adat baru di temukan dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri
Agraria /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 yang menyatakan bahwa: “Bidang
tanah di atasnya terdapat hak ulayat dari masyarakat hukum adat tertentu, hak ulayat di kelola oleh
masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adat sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan.”
Menurut Putu Oka Ngakan mendefinisikan tanah ulayat (hak kolektif/beschikkingsrecht)
sebagai “Tanah yang dikuasai secara bersama oleh warga masyarakat hukum adat, di mana
pengaturan pengelolaannya dilakukan oleh pemimpin adat (kepala adat) dan pemanfaatannya
diperuntukan baik bagi warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan maupun orang luar”.
Tanah ulayat dalam masyarakat hukum adat di istilahkan dengan berbagai istilah dan nama.
Hal ini di sesuaikan dengan geografis dan kebiasaan adat setempat, Tanah ulayat mempunyai batas-
batas sesuai dengan situasi alam dan sekitarnya, seperti puncak, bukit atau sungai.Tanah ulayat bagi
masyarakat hukum adat adalah kepunyaan bersama yang di yakini sebagai karunia suatu kekuatan
gaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat.
Tanah ulayat juga sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok
hukum adat sepanjang masa.
D. Penyelesaian Sengketa Pertanahan
1. Pengertian Sengketa tanah
Pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu
timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan hukum)
yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas,
maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai
dengan ketentuan peraturan yang berlaku.12
2. Jenis Sengketa Tanah
Sengketa pertanahan ialah proses interaksi antara dua orang atau lebih atau kelompok yang
masing-masing memperjuangkan kepentingannya atau objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda
lain yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang juga udara yang berada dibatas tanah
yang bersangkutan13. Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu sengketa
tanah antara lain:
a. Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas
tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.
b. Bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar
pemberian hak.
c. Kekeliruan/ kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang
atau tidak benar.
d. Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis.
Alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari sengketa bahwa ada pihak yang lebih
berhak dari yang lain atas tanah yang disengketakan, oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum
terhadap sengketa tanah tersebut tergantung dari sifat permasalahannya yang diajukan dan prosesnya
akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh sesuatu keputusan. Diakui bahwa
permasalahan tanah makin kompleks dari hari kehari sebagai akibat meningkatnya kebutuhan manusia
akan tanah.
Oleh karena itu pelaksanaan dan implementasi UUPA di lapangan menjadi makin tidak
sederhana.Persaingan mendapatkan ruang (tanah) telah memicu konflik baik secara vertikal maupun
horizontal yang makin menajam. Secara garis besar peta permasalahan tanah dikelompokkan 5 yaitu :
1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek perumahan yang
ditelantarkan dan lain-lain.
2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Landerform
3. Akses-akses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan
4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah
5. Masalah yang berkenaan dengan hak Ulayat masyarakat Hukum Adat17.
Sedangkan sengketa yang sering terjadi saat ini adalah:
1. Sengketa tradisional tentang warisan, keluarga dan tanah
2. Sengketa bisnis yang serta berat dengan unsur keuangan, perbankan, peraturan Perundang-
Undangan, etika dan sebagainya
3. Sengketa lingkungan yang rumit dengan masalah pembuktian ilmiah
4. Sengketa tenaga kerja yang diwarnai dengan masalah hak asasi, reputasi, Negara dan
perhatian masyarakat tradisional.
Meski demikian perlu di sadari bahwa sengketa pertanahan bukanlah hal baru. Namun dimensi
sengketa merasa makin meluas di masa kini.Tanah dalam perkembanganya juga telah memiliki nilai
baru, bila mana tidak saja di pandang sebagai alat produksi semata melainkan sebagai alat untuk
berekpekulasi (ekonomi) tanah telah menjadi barang dagangan di mana transaksi ekonomi
berlangsung dengan pengarapan akan margin pandangan komoditas yang di pertukarkan itu.
3.Macam-Macam Upaya Penyelesaian Sengketa Pertanahan Menurut Hukum Nasional
Dalam rangka membangun kepercayaan publik (trust building), salah satu upaya yang dilakukan
oleh BPN adalah melakukan percepatan penanganan dan penyelesaian kasus-kasus pertanahan
sebagaimana diamantkan dalam Tap MPR IX/MPR/2001 yang juga merupakan bagian dari 11
Agenda Prioritas BPN RI dengan berlandaskan 4 (4mpat) prinsip kebijakan pertanahan. Peyelesaian
konflik pertanahan berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan terdiri dari:
1. Penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan untuk melaksanakan putusan pengadilan; BPN
RI wajib melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
terdapat alasan yang sah untuk tidak melaksanakannya, yaitu :
a. Terhadap obyek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan
b. Terhadap obyek putusan sedang diletakkan sita jaminan
c. Terhadap obyek putusan sedang menjadi obyek gugatan dalam perkara lain;
d. Alasan lain yang diatur dalam peraturan perundang- undangan.

2. Penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan di luar pengadilan; dapat berupa perbuatan
hukum administrasi pertanahan meliputi :
a. Pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administrasi;
b. Pencatatan dalam Sertipikat dan/atau Buku Tanah serta Daftar Umum lainnya;
c. Penerbitan surat atau keputusan administrasi pertanahan lainnya karena terdapat cacat hukum
administrasi dalam penerbitannya.
Dalam melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa dan konflik pertenahan, BPN RI
menetapkan beberapa keriteria terhadap kasus pertanahan yang dinyatakan selesai sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 72 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang pengelolahan
pengkajian dan penanganan kasus pertanahan yaitu:
a. Kriteria Satu (K-1) berupa penerbitan Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan
dan pemberitahuan kepada semua pihak yang bersengketa;
b. Kriteria Dua (K-2) berupa Penerbitan Surat Keputusan tentang pemberian hak atas tanah,
pembatalan sertipikat hak atas tanah, pencatatan dalam buku tanah, atau perbuatan hukum
lainnya sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan;
c. Kriteria Tiga (K-3) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang
ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang
lain yang disetujui oleh para pihak;
d. Kriteria Empat (K-4) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang
intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses perkara di
pengadilan, karena tidak adanya kesepakatan untuk berdamai;
e. Kriteria Lima (K-5) berupa Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang
menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk
kewenangan BPN dan dipersilakan untuk diselesaikan melalui instansi lain.
Seiring dengan berjalanya waktu, penyelesaian sengketa pertanahan semakin banyak di lakukan
dengan cara musyawarah. Sengketa pertanahan yang lebih banyak berkaitan dengan masalah
kepentingan atau interes para pihak, relatif lebih mudah dapat di selesaikan melalui cara musyawarah
sepanjang kedua belah pihak saling terbuka dan menginginkan jalan keluar yang terbaik bagi semua
pihak.
Misalnya ada anggota masyarakat yang terlibat pertikaian diupayakan dapat selesai secara
musyawarah atau dibantu penyelesaiannya oleh para orang tua atau yang dituakan, tokoh masyarakat,
tokoh adat untuk mencari jalan keluar dengan menekankan nilai-nilai luhur yang di anut oleh
masyarakat setempat. Kendatipun cara-cara demikian sedikit demi sedikit mengalami erosi akan tetapi
cara-cara demikian masih ada yang tetap berlangsung hingga sekarang. Bentuk suatu penyelesaian
sengketa merupakan serangkaian aktivitas yang diperlukan oleh para pihak yang bersengketa dengan
menggunakan strategi untuk menyelesaikannya.Mekanisme penyelesaian sengketa dapat muncul
dalam berbagai bentuk.Secara umum media penyelesaian sengketa yang tersedia dapat digolongkan
dalam dua bentuk yaitu melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan atau sering
disebut sebagai alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution). Berdasarkan
pengalaman penyelesaian yang lebih efektif adalah melalui jalur di luar pengadilan yang pada
umumnya di tempuh melalui cara perundingan yang di pimpin atau di prakarsai oleh pihak ke tiga
yang netral atau tidak memihak. Pilihan penyelesaian sengketa dengan cara perundingan mempunyai
kelebihan bila di bandingkan dengan berperkara di muka pengadilan yang tidak menarik di lihat dari
segi waktu, biaya, dan tenaga/ pikiran.Disamping itu, kurangnya kepercayaan atas kemandirian
lembaga pengadilan dan kendala administratif yang melingkupinya membuat pengadilan merupakan
pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa. Dengan demikian, penyelesaian sengketa di luar
pengadilan dapat di tempuh dengan berbagai bentuk. Berikut penulis akan menguraikan beberapa
bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti mediasi, negosiasi, arbitrasi .
A. Mediasi
Keberadaan mediasi sebagai salah satu bentuk mekanisme penyelesaian sengketa alternatif
(alternative dispute resolution/ADR) bukan suatu hal yang asing, karena cara penyelesaian konflik itu
merupakan bagian dari norma sosial yang hidup, atau paling tidak, pernah hidup dalam masyarakat.
Hal ini, di telusuri dari kenyataan bahwa kehidupan masyarakat lebih berorientasi pada keseimbangan
dan keharmonisan, yang intinya, adalah bahwa semua orang merasa di hormati, di hargai, dan tidak
ada yang di kalahkan kepentinganya.19 Mediator adalah pihak ketiga atau penengah yang netral dan
independen yang tugasnya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan
masalahnya, tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan baik ditunjuk secara
bersama oleh para pihak atau ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa yang ditunjuk oleh para pihak. Fungsi mediator antara lain adalah membantu para pihak
menyelesaikan sengketa, membingkai persoalan yang ada agar menjadi masalah yang perluh dihadapi
bersama serta merumuskan berbagai pilihan penyelesaiansengketanya itu.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa melalui mediasi memiliki beberapa karakteristik sebagai
berikut:
1. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan perundingan
2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan.
3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.
4. Mediator bersifat pasif dan hanya dan hanya berfungsi sebagai fasilitator dan penyambung
lidah dari para pihak yang bersengketa, sehingga tidak terlibat dalam menyusun dan
merumuskan rancangan atau proposal kesepakatan.
5. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan
berlangsung.
6. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima
pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Peran mediator dalam penyelesaian sengketa adalah sebagai berikut:
1. memanggil para pihak yang bersengketa
2. menyediakan tempat
3. membuat notulen pertemuan
4. merumuskan titik temu atau kesempatan dari para pihak
5. menyusun dan mengusulkan alternative pemecahan masalah
6. membantu para pihak menganalisis alternative memecakan masalah
7. membujuk para pihak untuk menerima usulan tertentu

Proses penyelesaian sengketa dengan cara mediasi memilik beberapa kelebihan dan juga
kelemahan.
Kelebihan mediasi
a. penyelesaian bersifat informal
b. yang menyelesaikan sengketa adalah pihak sendiri
c. jangka waktu penyelesaian singkat
d. biaya ringan
e. tidak perluh aturan pembuktian
f. hasil yang di tuju sama-sama puas
Kekurangan mediasi
a. dari pihak mediatornya sendiri, mediasi ini merupakan tugas yang melelahkan dan sering
tidak memberikan penghargaan yang cukup, serta memerlukan kesabaran ekstra untuk
menghadapi para pihak yang bersengketa.
b. mediasi tidak dapat dipaksakan jika para pihak atau salah satu pihak tidak mau
melakukannya.
c. dengan melakukan mediasi maka telah mengakui masalah tersebut adalah masalah sengketa
internasional sehingga jika ada perselisihan mengenai pertanggungjawaban internasional,
pihak yang bersengketa tidak akan mau dilakukan mediasi.
d. jika salah satu pihak merasa yakin untuk memenangkan persengketaan maka tidak akan mau
untuk dilakukan mediasi, sebab dalam mediasi selalu dicari jalan win- win solution.

B. Negosiasi
Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa
menempatkan negosiasi sebagai cara penyelesaian tersendiri. Dalam Pasal 6 ayat (2) dinyatakan :
"Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung para pihak"
Negosiasi adalah bentuk interaksi sosial yang berfungsi untuk menetapkan keputusan di antara
pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda.Kedua belah pihak dalam negosiasi ini
memiliki hak atas hasil akhir.Hasil akhir dalam negosiasi ini memerlukan persetujuan kedua belah
pihak sehingga terjadi proses saling memberi dan menerima sesuatu untuk mencapai kesepakatan
bersama. Negosiasi bertujuan untuk mendapatkan atau mencapai kata sepakat yang mengandung
kesamaan persepsi, saling pengertian dan persetujuan untuk mencapai kondisi saling
menguntungkan dimana masing-masing pihak merasa menang (win-win solution). Upaya
penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi tentu memiliki beberapa kelebihan dan juga kekurangan.
Kelebihan Negosiasi
a. mengetahui pandanga pihak lawan
b. kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar pihak lawan;
c. memungkinkan sengketa secara bersama-sama
d. mengupayakan solusi terbaik yang dapat diterima oleh kedua belah pihak;
e. tidak terikat kepada kebenaran fakta atau masalah hukum;
f. dapat diadakan dan diakhiri sewaktu-waktu.
Kelemahan Negoisasi
a. tidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan dari keduabelah pihak;
b. tidak efektif jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang mengambil
kesepakatan;
c. sulit berjalan apabila posisi para pihak tidak seimbang;
d. memungkinkan diadakan untuk menunda penyelesaian untuk mengetahui informasi yang
dirahasiakan lawan;
e. dapat membuka kekuatan dan kelemahan salahsatu pihak;
f. dapat membuat kesepakan yang kurang menguntungkan.

Dari uraian di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa berdasarkan pengalaman, masyarakat
lebih memilih menyelesaikan sengketa di luar pengadilan di banding berperkara di pengadilan.Hal ini
di karenakan, penyelesaian sengketa di pengadilan sangat berbelit-belit artinya membutuhkan waktu
yang lama, biaya yang banyak, serta menguras tenaga/pikiran sehingga para pihak yang bersengketa
lebih memilih menyelesaiakan di luar pengadilan. Dalam penyelesaian sengketa dengan bentuk
mediasi, negoisasi, konsiliasi, dan arbitrase seperti yang telah dijelaskan di atas, tentunya masing-
masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Walaupun demikian, upaya penyelesaian di luar
pengadilan tersebut lebih berorientasi pada keseimbangan dan keharmonisan, yang intinya adalah
bahwa semua orang merasa di hormati, di hargai, dan tidak ada yang di kalahkan
kepentingannya.Penyelesaian sengketa seperti ini, memberikan kepada para pihak kesamaan
kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan yang di capai menurut kesepakatan bersama
tanpa ada tekanan atau paksaan.Dengan demikian, solusi yang di hasilkan mengarah kepada win-win
solution.

Anda mungkin juga menyukai