Anda di halaman 1dari 60

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah

dikuasai sejak dahulu kala. Tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan

melanjutkan kehidupannya. Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang

memberi makan mereka, tanah di mana mereka dimakamkan dan terjadi tempat

kediaman orang-orang halus pelindung beserta arwah leluhurnya.

Masalah pertanahan tidak hanya masalah implementasinya, tetapi juga

munculnya kembali persoalan lama yang terpendam dan persoalan baru yang

diakibatkan oleh perkembangan kebutuhan atas tanah. Masalah yang terpenting

banyak terjadi sekarang ini adalah masyarakat yang memiliki hak atas tanah belum

memiliki sertifikat atas tanahnya.1

Berbicara mengenai tanah adat tidak dapat dipisahkan dengan sejarah

tanah adatnya juga tidak bisa dilepaskan dengan masyarakat hukum adat selaku

pemilik dari tanah adat. Masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 18B ayat (2)

UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang". Pasal 33

Undang-Undang dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam

yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergurnakan sebesar-

1
Bushar Muhammad, 1985. Pokok-Pokok Hukum Adat hal. 103
2

besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hak bangsa Indonesia atas tanah ini

merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah

yang ada dalam wilayah Negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi

dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5

Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,

Pasal 1 angka 3 menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok

orang-orang yang terikat oleh hukum adatnya sebagai warga bersama suatu

persekutuan hukum karena persamaan tempat tinggal ataupun berdasarkan atas

keturunan.2

Persekutuan masyarakat hukum adat berhak atas tanah adat dan

mempunyai hak-hak tertentu atas tanah adat. Pengakuan pemerintah akan

keberadaan dari masyarakat hukum adat diatur dalam Undang-Undang Pokok

Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 3 yaitu :

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak

ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,

sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga

sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas

persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan


3
peraturan peraturan lain yang lebih tinggi.

2
Tar Haar, 1874. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K.Ng. Soebekti
Poesponoto, Pradnya Paramita Jakarta.hal.87
3
Boedi Harsono, 1999. Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan hal 62
3

Berdasarkan atas berlakunya hak tersebut ke luar, maka persekutuan

masyarakat hukum adat itu sebagai kesatuan yang berkuasa, memungut hasil dan

tanah itu dengan membatasi adanya orang-orang lain yang melakukan hal yang

serupa itu.

Hak yang sangat penting bagi masyarakat hukum adat adalah hak milik

dengan keadaan dan sifat dari pada haknya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat

dan pemiliknya secara :

1. Turun temurun adalah hak milik tidak hanya berlangsung selama hidup si

pemilik akan tetapi di lanjutkan pada ahli waaris.

2. Terkuat adalah hak milik jangka waktunya tidak terbatas.

3. Terpenuh adalah memberikan wewenang kepada pemilik tanah yang paling

luas di bandingkan dengan hak-hak lain, menjadi induk hak-hak lain,

teruntukanya tidak terbatas karena hak milik dapat di gunakan untuk pertanian

dan bangunan.

4. Pemberian hak milik tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak,

tidak terbatas dan tidak dapat di ganggu gugat.

Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidak dapat dibenarkan

akan dipergunakan ( atau tidak dipergunakan ) semata-mata untuk kepentingan

pribadi, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan

tanah harus disesuaikan dengan keadaanya dan sifat dari hak atas tanah tersebut,

sehingga bermanfaat baik kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya

maupun masyarakat dan Negara. Kalau dilihat dari ketentuan ini bukan lantas

berarti kepentingan perorangan akan terdesak oleh kepentingan umum


4

( masyarakat ), karena UUPA juga memperhatikan kepentingan masyarakat dan

kepentingan perorangan harus saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan

tercapai tujuan pokok kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat

seluruhnya.4

Konsepsi atau falsafah yang mendasari hukum adat mengenai tanah adalah

konsepsi komunalistik religius. Hal itu sejalan dengan pandangan hidup

masyarakat Indonesia asli dalam memandang hubungan antara manusia pribadi

dengan masyarakat yang selalu mengutamakan/mendahulukan kepentingan

masyarakat. Soepomo menjelaskan bahwa di dalam hukum adat, manusia bukan

individu yang terasing bebas dari segala ikatan dan semata-semata mengingat

keuntungan sendiri, melainkan adalah anggota masyarakat.

Konsep tanah dalam hukum adat juga dianggap merupakan benda berjiwa

yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah dan manusia,

meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun merupakan suatu kesatuan yang

saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam (cosmos), besar

(macro cosmos), dan kecil (micro cosmos). Tanah dipahami secara luas meliputi

semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat, maupun

roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh.5

Di dalam hukum adat, yang primer bukanlah individu, melainkan

masyarakat. Karena itu, menurut tanggapan hukum adat, kehidupan individu

4
Aminudin saleh, 2007. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, total
media, Jakarta, hal, 2.
5
Herman Soesangobeng, 2003, Kedudukan Hakim dalam Hukum Pertanahan dan
Permasalahannya di Indonesoa, Yogyakarta: Pusdiklat Mahkamah Agung, hlm. 12-14
5

adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat.

Oleh karena itu, maka hak-hak yang diberikan kepada individu adalah berkaitan

dengan tugasnya dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi itu pulalah, maka tanah

ulayat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat

dipandang sebagai tanah-bersama.

Tanah bersama sebagai pemberian atau anugerah dari suatu kekuatan gaib,

bukan dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan atau karena

kekuatan daya upaya masyarakat adat tersebut. Oleh karena hak ulayat yang

menjadi lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat adat dipandang sebagai

tanah bersama, sehingga semua hak-hak perorangan bersumber dari tanah bersama

tersebut. Mengacu pada pemahaman konsepsi di atas, berarti sesungguhnya hak

atas tanah menurut hukum adat terdiri dari dua bentuk, yaitu hak ulayat (komunal)

dan hak individu.6

Hal inilah sangat berhubungan erat dengan keberadaan tanah dalam

kehidupan masyarakat adat Negeri Lisabata. Masyarakat adat Negeri Lisabata

memiliki tanah adat yang disebut sebagai tanah Budel. Tanah budel ini merupakan

tanah warisan secara turun temurun dari setiap marga-maraga dengan batas-batas

tanah yang telah di tentukan.

Tanah Budel dikenal masyarakat Lisabata sebelum terbentuknya Negeri

Lisabata. Pada awalnya, tanah budel besal dari seseorang atau marga tertentu

kemudian diwariskan secara turun temurun oleh marga-marga dengan penguasaan

bersama. Sehubungan dengan hal ini, maka dengan adanya pengaruh


6
Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, 1983, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Jakarta:
Ghalia Indonesia, hlm. 25-26.
6

perkembangan jaman dan jumlah penduduk semakin bertambah sehingga dapat

mengakibatkan terjadinya perselisihan antar sesama kelompok masyarakat adat

yang bersangkutan.

Objek permasalahanya berawal dari terjadinya perbedaan pendapat dalam

pembagian tanah dan penguasaan tanah tersebut. Perbedaan pendapat ini berasal

dari dua kalangan yakni kalangan muda dan kalangan tua. Kalangan muda yang di

maksud adalah kalangan yang mulai berumur dari dua puluhan sampai pada umur

tigapuluhan tahun, mereka berbendapat bahwa tanah-tanah budel ini seharusnya

dibagi-bagikan karena mengingat jumlah penduduk bertambah , pemikiran

manusia berkembang, silsilah keterunan bertambah dan berkembang pulalah sistem

, pola, struktur dan tata cara manusia menentukan sikapnya terhadap tanah maka

perlu dibagi-bagikan sehingga tidak lagi menimbulkan konflik dalam hal

penguasaan tanah tersebut. Sementara dalam pendapat dari kalangan tua bahwa

tanah budel ini tidak pelu dibagikan karena jika dibagikan maka tanah tersebut

akan berubah menjadi hak milik secara individu. Dengan demikian maka hilangnya

tanah adat yang telah akan diwarisikan secara turun temurun. Hal inilah yang

menjadi suatu permasalahan dalam proses kepemilikan tanah-tanah adat yang ada

di Negeri Lisabata Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan

Penelitian dengan judul Analisis Tentang Status Kepemilikan Tanah Budel Di

Negeri Lisabata Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat


7

B. RUMUSAN MASALAH

Merujuk dari permasalahan di atas maka penulis mengkaji masalah yaitu :

Bagaimanakah Status Kepemilikan Tanah Budel Di Negeri Lisabata.?

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang status kepemilikan tanah Budel

yang ada di Negeri Lisabata.

2. Sebagai salah satu prasyarat akademik untuk menyelesaikan studi pada

Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

D. MANFAAT PENULISAN

Adapun manfaat serta menjadi harapan penulis dari penulisan ini adalah

sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Penulisan ini di harapkan dapat memberikan kontribusi di bidang ilmu

hukum pada umumnya, dalam memahami tentang permasalahan yang

terjadi terkait dengan status kepemilikan tanah Budel di Negeri Lisabata

Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat.

2. Secara praktis

Hasil penulisan ini di harapkan dapat menjadi bahan masukan bagi

pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten dalam status

kepemilikan tanah budel.


8

E. KERANGKA KONSEPTUAL

Tanah merupakan salah satu asset masyarakat hukum adat yang sangat

mendasar, karena masyarakat hidup dan berkembang di atas tanah. Masyarakat

adat memposisikan tanah pada kedudukan yang sangat penting karena merupakan

faktor utama . Masyarakat memandang tanah sebagai sumber kehidupan manusia

dari lahir sampai meninggal dunia. Begitu pentingnya arti tanah bagi kehidupan

manusia, tanah juga memiliki peranan yang sangat penting bagi Bangsa Indonesia

untuk melaksanakan dan melanjutkan pembangunan Nasional untuk mewujudkan

suatu masyarakat yang adil dan makmur,sesuai dengan apa yang terkandung di

dalam Pancasila dan juga UUD 1945.

Penguasaan tanah secara yuridis dilandasi oleh hak, yang dilindungi oleh

hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk

menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Dalam UUPA telah diatur dan

ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum

Tanah Nasional adalah :

1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam pasal 1, sebagai hak penguasaan

atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik.

2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam pasal 2, semata-mata beraspek

publik.

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam pasal 3, beraspek

perdata dan publik.

4. Hak-hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas:


9

a. Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara

langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang

disebut dalam pasal 16 dan 53`

b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan , pasal 49.

c. Hak Jaminan atas tanah yang disebut Hak tanggungan dalam pasal

25, 33, 39 dan 51 Undang-Undang Pokok Agraria.

Pengakuan hukum adat dalam UUPA dapat dicermati sejak awal, yaitu

melalui Konsiderans dinyatakan, bahwa perlu adanya hukum agraria nasional,

yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah.

Dalam pandangan hukum adat menurut Herman Soesangeng disebutkan,

bahwa tanah dan manusia mempunyai hubungan sedemikian erat, dan dalam

jalinan pikiran ( participerend denken ), sehingga hubungan antara manusia dan

tanah merupakan suatu hubungan magis religius yang sedikit banyak mengandung

unsur kekuatan gaib (mistik) sebagai suatu perwujudan daripada dialog antara

manusia dengan alam gaib, yaitu roh-roh yang dihargainya.7

Sebagai konsekuensi pengakuan negara terhadap hak atas tanah yang

dimiliki oleh orang atau badan hukum, maka negara berkewajiban memberikan

jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut,sehingga setiap orang

atau badan hukum yang memiliki hak tersebut dapat mempertahankan haknya.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5

Tahun 1999 Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pasal 1

angka 3 menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang-

7
Herman Soesang Obeng, 1975, Pertumbuhan Hak Milik Individual Menurut Hukum
Adat Dan Menurut UUPA. di Jawa Timur, hal 27
10

orang yang terikat oleh hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan

hukum karena persamaan tempat tinggal ataupun berdasarkan atas keturunan.

Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh

Cornelis Van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van

Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat Ter

Haar memberikan pengertian sebagai berikut:

Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur,

menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai

kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat,

dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam

masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun

diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk

membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti

melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.8

Salah satu bentuk hak masyarakat hukum adat adalah hak atas tanah adat

secara umum,hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indoensia

dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu: "hak ulayat" dan "hak pakai". Hak ulayat

merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu.

Pada hak ulayat yang bersifat komunal ini, pada hakekatnya terdapat pula hak

perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut.

Untuk sementara waktu, seseorang berhak mengolah serta menguasai sebidang

tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat atas tanah

8
Tar Haar, 1874, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K.Ng. Soebekti
Poesponoto, Pradnya Paramita Jakarta, hal. 87
11

tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak

pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang

bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah ulayat tersebut.9

Sementara Van Dijk membagi tiga bentuk hak-hak atas tanah adat yaitu:

hak persekutuan atau pertuanan, hak perorangan, dan hak memungut hasil tanah.

Perbedaannya adalah sebagai berikut:

1. Hak persekutuan atau hak pertuanan mempunyai akibat keluar dan kedalam.

Akibat ke dalam antara lain memperbolehkan anggota persekutuan (etnik, sub

etnik, atau fam) untuk menarik keuntungan dari tanah dengan segala yang ada

di atasnya, misalnya mendirikan rumah, berburu, maupun menggembalakan

ternak. Izin hanya sekedar dipergunakan untuk keperluan hidup keluarga dan

diri sendiri, bukan untuk diperdagangkan. Akibat keluar ialah larangan

terhadap orang luar untuk menarik keuntungan dari tanah ulayat, kecuali

setelah mendapat izin dan sesudah membayar uang pengakuan (recognitie),

serta larangan pembatasan atau berbagai peraturan yang mengikat terhadap

orang-orang untuk mendapatkan hak-hak perorangan atas tanah pertanian.

2. Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari hak milik adat (inland bezitrecht),

dimana yang bersangkutan tenaga dan usahanya telah terus menerus

diinvestasikan pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan

diakui oleh anggota lainnya. Kekuasaan kaum atau persekutuan semakin

menipis sementara kekuasaan perorangan semakin kuat. Hak milik ini dapat

9
Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, 1993. Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia
Indonesia ,Jakarta, hal. 16
12

dibatalkan bila tidak diusahakan lagi, pemiliknya pergi meninggalkan tanah

tersebut, atau karena tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan.

3. Hak memungut hasil tanah (genotrecht) dan hak menarik hasil. Tanah ini secara

prinsip adalah milik komunal kesatuan etnik, namun setiap orang dapat

memungut hasil atau mengambil apapun yang dihasilkan tanaman di atas tanah

tersebut.10

Pasal 18B ayat (2) (Amandemen kedua) menyebutkan bahwa Negara

mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-

hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

undang-undang. Dan juga pada Pasal 28i ayat (3) (Amandemen Kedua)

menyebutkan bahwa Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati

selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.11

Konsepsi atau falsafah yang mendasari hukum adat mengenai tanah adalah

konsepsi komunalistik religius. Hal itu sejalan dengan pandangan hidup

masyarakat Indonesia asli dalam memandang hubungan antara manusia pribadi

dengan masyarakat yang selalu mengutamakan/mendahulukan kepentingan

masyarakat. Soepomo menjelaskan bahwa di dalam hukum adat, manusia bukan

individu yang terasing bebas dari segala ikatan dan semata-semata mengingat

keuntungan sendiri, melainkan adalah anggota masyarakat.

10
Merza Gamal, 2006. Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam: Pembangunan
Kesejahteraan Berkeseimbangan dan Berkeadilan, Badan Penerbit Universitas Riau
Unri Press , Pekanbaru; hal. 21
11
Maria S.W. Sumardjono, 2005. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan
Implrmentasi, kompas, Jakarta, hal. 7
13

Konsep tanah dalam hukum adat juga dianggap merupakan benda berjiwa

yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah dan manusia,

meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun merupakan suatu kesatuan yang

saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam (cosmos), besar

(macro cosmos), dan kecil (micro cosmos). Tanah dipahami secara luas meliputi

semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat, maupun

roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh 12

Di dalam hukum adat, yang primer bukanlah individu, melainkan

masyarakat. Karena itu, menurut tanggapan hukum adat, kehidupan individu

adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat.

Oleh karena itu, maka hak-hak yang diberikan kepada individu adalah berkaitan

dengan tugasnya dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi itu pulalah, maka tanah

ulayat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat

dipandang sebagai tanah-bersama.

Tanah bersama sebagai pemberian/anugerah dari suatu kekuatan gaib,

bukan dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan atau karena

kekuatan daya upaya masyarakat adat tersebut. Oleh karena hak ulayat yang

menjadi lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat adat dipandang sebagai

tanah bersama, sehingga semua hak-hak perorangan bersumber dari tanah bersama

tersebut. Mengacu pada pemahaman konsepsi di atas, berarti sesungguhnya hak

12
Herman Soesangobeng, 2003, Kedudukan Hakim dalam Hukum Pertanahan dan
Permasalahannya di Indonesoa, Yogyakarta: Pusdiklat Mahkamah Agung, hlm. 12-14.
14

atas tanah menurut hukum adat terdiri dari dua bentuk, yaitu hak ulayat (komunal)

dan hak individu.13

F. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian

yuridis normative. Peter Muhammad mengatakan bahwa penelitian hukum adalah

suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun


14
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang di hadapi.

2. Tipe Penelitian

Adapun sifat penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah

deskriptif analisis yang di maksudkan yaitu dengan menggunakan pendekatan

yuridis normative dirumuskan dengan hasil penelitian kepustakaan, dimungkinkan

untuk dapat mendeskripsikan berbagai temuan, baik melalui penelitian sosiologis

maupun penelitian kepustakaan dan bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis

dan dikaji dalam suatu sistem penulisan yang terstruktur.

3. Sumber bahan Hukum

Dalam penulisan ini sumber bahan hukum yang di gunakan yaitu bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier antara lain :

13
Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, 1983, Sendi-Sendi Hukum Agraria,
Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 25-26.
14
Peter Mahmud Marjuki, 2008. Penelitian Hukum, Pranada Media Grup, Edisi Pertama,
Cetakan Ke Empat, Jakarta, Hal 35
15

a. Bahan Hukum Primer

Mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah

yang ditulis seperti Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat 2, Pasal 33

UUD 1945, Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok

Agraria, dan peraturan perundang-undangan lainya yang berkaitan dengan

tanah adat.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer berupa Buku-buku, hasil penelitian, karya ilmiah, dan makalah-

makalah yang relevan dengan penulisan ini.

4. Teknik Pengumpulan Dan Analisis Bahan Hukum

a. Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum primer dikumpulkan dengan cara melakukan inventarisasi

terhadap peraturan perundang-undangan, setelah itu diambil peraturan atau

ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan permasalahan hukum yang

akan dibahas. Sedangkan bahan hukum sekunder yaitu bahan pustaka yang

berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas, dikumpulkan melalui

studi kasus.

b. Analisis Bahan Hukum

teknik analisis yang bersifat prespektif, dimana setelah semua bahan hukum

terkumpul, maka dilakukan pengolahan, pengkonstruksian dan

penganalisaan bahan hukum secara menyeluruh dan pada akhirnya dapat

memberikan jawaban atas permasalahan yang di angkat dalam penulisan ini


16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. HUKUM TANAH ADAT

1. Pengertian tanah adat

Tanah adat atau tanah ulayat ini bagi masyarakat hukum adat adalah tanah

kepunyaan bersama. Dan diyakini sebagai karunia suatu kekuatan gaib atau

peninggalan nenek monyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat

hukum adat. Dan juga sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan

penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Lebih lanjut hak kepunyaan

bersama atas tanah inilah yang dikenal dalam kepustaklaan dan akademik hukum

adat dengan hak ulayat.

Beberapa ahli hukum adat ada juga memberikan nama yang berbeda-beda

terhadap hak atas tanah ulayat masyarakat hukum adat tersebut. Van Vollenhoven

mengistilahkannya dengan beschikkingsrecht (hak pertuanan) yaitu hak

penguasaan yang berada ditangan komunitas desa berdasarkan hukum adat atas

suatu teritori tertentu , Djojodigoeno dengan hak purba, Soepomo dengan hak

pertuanan, Hazairin dengan hak bersama dan hak ulayat dalam Undang-Undang

Pokok Agraria (UUPA). 15

Tanah bagi kehidupan manusia sangatlah penting. Hal ini dikarenakan

hampir seluruh aspek kehidupan terlebih lagi bagi masyarakat indonesia yang

agraris. Tanah tidak hanya dipahami sebagai sumber ekomomi saja. Namun bagi

15
Imam Sudiyat, 1999, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet 3 Yogyakarta: Liberty, hal 2
17

pihak lain memandang tanah sebagai sesuatu yang sakral dan harus dijaga. Salah

satunya adalah masyarakat adat. Mereka memandang tanah khususnya tanah

ulayat karena merupakan peninggalan nenek moyang ataupun sebagai lambang

identitas mereka.

Konstitusi Negara kita-pun melihat tanah sebagai sesuatu yang harus

dimanfaatkan dan dijaga untuk kepentingan bersama. Ini tergambar dalam

Undang-Undang Dasar Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi ; Bumi, air dan kekayaan

yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-

besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Sebagai tindak lanjut dari pasal 33 ayat (3) undang-undang Dasar 1945

yang berkaitan demgam bumi atau tanah, maka dikeluarkanlah undang-undang no

5 tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok Dasar Agraria yang lebih dikenal dengan

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Yang lebih kurang mempunyai azaz

yang mendukung kepentingan umum lebih tinggi daripada kepentingan individu.

Bagi negara Indonesia, sebagai negara yang agraris keberadaan tanah

memiliki fungsi yang sangat penting bagi kemakmuran dan kesejahteraan

rakyatnya. Dinegara seperti indonesia fungsi tanah kian meningkat dan mempunyai

nilai ekonomis yang sangat tinggi. Dari sekian banyak bidang yang menyangkut

tanah, bidang ekonomi nampak mendominasi aktivitas manusia atas tanah. Karna

berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia, dimana pertumbuhan penduduk

serta pertumbuhan ekonomi yang melaju pesat.

Begitu juga dengan masyarakat adat, penjelasan mengenai tanah asal

mereka-tanah ulayat- amatlah dirasa perlu untuk diperjelas. Dan kemudian ketika
18

kita juga melihat adanya hubungan antara masyarakat adat dengan

masyarakat/individu diluar adat, maka akan ada kemungkinan kesempatan bagi

mereka yang diluar adat untuk memanfaatkan tanah adat.

Sifat masyarakat adat itu sendiri adalah masyarakat komunal-sosil-religius, maka

adanya tanah ulayat pada masyarakat adat mengisyaratkan kegunaan tanah ulayat

adalah untuk kepentingan komunal masyarakat adat, namun kemungkinan untuk

meningkatnyak hak ulayat kepada hak milik tentu masih ada. Dalam UUPA juga

diatur kepemilikan pribadi sebagaimana tertuang dalam pasal 16 UUPA. Dan

kemudian ketika berbicara UUPA dan tanah ulayat, ketika negara disatu sisi dan

masyarakat adat disisi lain akan dilihat bertemunya dua kepentingan. Sebagaimana

yang disebutkan tadi, bahwa tanah sangat penting untuk perekonomian.16

2. Hukum tanah adat sebelum berlakunya UUPA

Tanah adat masih merupakan milik dari suatu persekutuan dan

perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuat dengan kebutuhan

mereka dalam memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para anggota persekutuan

berlangsung secara tertulis. Selain itu dalam melakukan tindakan untuk

menggunakan tanah adat, harus terlebih dahulu diketahui atau meminta izin dari

kepala adat. Dengan demikian sebelum berlakunya UUPA ini tanah adat masih

tetap milik anggota persekutuan hukum, yang mempunyai hak untuk mengolahnya

tanpa adanya pihak yang melarang.17

16
Ter Haar, 1999, Asas-asas dan susunan hukum adat, Soebakti Poesponoto penerjemah,
Jakarta: Pradny Panata, hal 63
17
Ahmad Fauzie Ridwan,1982, Hukum Tanah Adat Multi disiplin Pembudayaan
Pancasila; Dewaruci Press; Jakarta; hal. 12
19

Hukum agraria sebelum adanya UUPA mempunyai sifat dualisme hukum,

dikarenakan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat, disamping

peraturan-peraturan dari hukum adat yang didasarkan atas hukum barat. Hal mana

selain menimbulkan pelbagai masalah antara golongan yang serba sulit, juga tidak

sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa. Hal inipun terjadi dalam sejarah

pemberlakuan hak hak atas tanah di Indonesia.

Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaidah-kaidah hukum. Keseluruan

kaidah hukum yang tumbuh dan berkembang didalam pergaulan hidup antara

sesama manusia sangat berhubungan erat dengan pemamfaatan antara sesama

manusia sekaligus guna menghindari perselisihan dan pemamfaatan tanah dengan

sebaik-baiknya. Hal inilah yang di atur dalam hukum tanah adat.

Dengan demikian banyak peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai

mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam

masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan

kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan

bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan

oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif, dan

aplikatif ketika dihadapkan dengan masyarakat modern dewasa ini. Namun,

kenyataan ini tidak dengan sendirinya membuat hukum adat bebas dari

permasalahan dalam penerapan, khususnya apabila kita melihat dalam bidang

hukum tanah adat.


20

Perihal UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak

ulayat merupakan salah satu dari lembaga-lembaga hukum adat dan kemudian

dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak-hak atas tanah. Pasal 5 UUPA

mengatur bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa

ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan

negara , yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia

serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini, dan

dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini , dan denga

peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur

yang bersandar pada hukum agama.

Lebih dari pada itu, dalam mukadimah UUPA 1960 menyatakan bahwa

berhubungan dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas

perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang

tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat

Indonesia, denga tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum

agama.14 Dengan demikian, dengan berlakunya UUPA 1960, kita meniadakan

dualisme hukum pertanahan dengan menundukkan kembali hukum adat pada

tempatnya sebagai landasan utama hukum agraria nasional. Namun. Perli diingat

bahwa hukum agraria nasional itu, berdasarkan atas hukum adat tanah, yang

bersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional.

Artinya, untuk menciptakan hukum agraria nasional, maka hukum adat yang ada di

seluruh penjuru nusantara, dicarikan format atau bentuk yang umum dan berlaku
21

bagi seluruh persekutuan adat. Tentu saja, tujuannya adalah untuk meminimalisir

konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat. 18

3. Hukum tanah adat setelah berlakunya UUPA

Seperti yang telah dijelaskan dalam konsepsi UUPA, menurut konsepsi

UUPA maka tanah, sebagaimana halnya juga dengan bumi, air dan ruang angkasa

termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang ada di wilayah

Republik Indonesia , adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa pada Bangsa Indonesia

yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan

tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi.

Dalam Pasal 5 UUPA ada disebutkan bahwa Hukum Agraria yang berlaku

atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat sepanjang tidak bertentangan

dengan kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa,

dengan sosialisme Indonesia serta peraturan peraturan yang tercantum dalam

undang undang ini dengan peraturan perundangan undangan lainya, segala

sesuatu dengan mengindahkan unsur unsur yang bersandar pada hukum agama.

Adanya ketentuan yang demikian ini menimbulkan dua akibat terhadap hukum

adat tentang tanah yang berlaku dalam masyarakat Indonesia, dimana di satu pihak

ketentuan tersebut memperluas berlakunya hukum adat tidak hanya terhadap

golongan Eropa dan Timur Asing. Hukum Adat di sini tidak hanya berlaku untuk

18
Ter Haar Bzn, 1981, Asas Asas Dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita;
Jakarta. Hal. 78
22

tanah tanah Indonesia saja akan tetapi juga berlaku untuk tanah tanah yang

dahulunya termasuk dalam golongan tanah Barat.19

Setelah berlakunya ketentuan tersebut di atas, maka kewenangan berupa

penguasaan tanah tanah oleh persekutuan hukum mendapat pembatasan

sedemikian rupa dari kewenangan pada masa masa sebelumnya karena sejak saat

itu segala kewenangan mengenai persoalan tanah terpusat pada kekuasaan negara,

kalau demikian bagaimana kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah yang

disebut hak ulayat tersebut, apakah juga masih diakui berlakunya atau mengalami

perubahan sebagaimana halnya dengan ketentuan ketentuan hukum adat tentang

tanah.

Mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa ketentua dari UUPA,

antara lain :

a. Pasal 2 ayat (4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya

dapat dikuasakan kepada daerah seantanra dan masyarakat hukum adat,

sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional,

menurut Peraturan Pemerintah.

b. Pasal 3 Dengan mengugat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2

pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat

sepanjang menurut kenyataan masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai

dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan

A.P. Parlindungan, 1998. Komentar Atas Undang Undang Pokok Agraria, Mandar
19

Maju; Bandung, hal 56.


23

bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang undang dan peraturan

peraturan yang lebih tinggi.

c. Pasal 22 ayat (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan

peraturan Pemerintah.

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa setelah berlakunya UUPA ini,

tanah adat di Indonesia mengalami perubahan. Maksudnya segala yang

bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak ulayat, tentang jual beli tanah dan

sebagainya mengalami perubahan.

Jika dulu sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masih milik persekutuan

hukum adat setempat yang sudah dikuasai sejak lama dari nenek moyang mereka

dahulu. Namun setelah berlakunya UUPA, hak ulayat masih diakui, karena hal ini

dapat dilihat dari pasal 3 UUPA, hak ulayat dan hak hak yang serupa dari

masyarakat hukum adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat

masih ada. Andaikata karena terjadinya proses individualis sering hak ulayat ini

mulai mendesak, yang memberikan pengakuan secara khusus terhadap hak hak

perorangan. Dengan tumbuh dan kuatnya hak hak yang bersifat perorangan

dalam masyarakat hukum adat mengakibatkan menipisnya hak ulayat. Hak ulayat

ini diakui oleh Pemerintah sepanjang kenyataanya masih ada. Kalau sudah ada

tidaklah perlu untuk membuat adanya hak ulayat baru.

Hak ulayat yang diakui dalam pasal tersebut bukanlah hak ulayat seperti

dengan masa sebelumnya dengan kepentingan Nasional dan negara perbatasan


24

dengan bahwa hak ulayat yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan

undangundang dan Peraturanperaturan lainya.

B. KEPEMILIKAN HAK TANAH ADAT

Konsepsi atau falsafah yang mendasari hukum adat mengenai tanah adalah

konsepsi komunalistik religius. Hal itu sejalan dengan pandangan hidup

masyarakat Indonesia asli dalam memandang hubungan antara manusia pribadi

dengan masyarakat yang selalu mengutamakan/mendahulukan kepentingan

masyarakat. Soepomo menjelaskan bahwa di dalam hukum adat, manusia bukan

individu yang terasing bebas dari segala ikatan dan semata-semata mengingat

keuntungan sendiri, melainkan adalah anggota masyarakat.

Konsep tanah dalam hukum adat juga dianggap merupakan benda berjiwa

yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah dan manusia,

meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun merupakan suatu kesatuan yang

saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam (cosmos), besar

(macro cosmos), dan kecil (micro cosmos). Tanah dipahami secara luas meliputi

semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat, maupun

roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh.

Di dalam hukum adat, yang primer bukanlah individu, melainkan

masyarakat. Karena itu, menurut tanggapan hukum adat, kehidupan individu

adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat.

Oleh karena itu, maka hak-hak yang diberikan kepada individu adalah berkaitan

dengan tugasnya dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi itu pulalah, maka tanah
25

ulayat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat

dipandang sebagai tanah-bersama.

Tanah bersama sebagai pemberian/anugerah dari suatu kekuatan gaib,

bukan dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan atau karena

kekuatan daya upaya masyarakat adat tersebut. Oleh karena hak ulayat yang

menjadi lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat adat dipandang sebagai

tanah bersama, sehingga semua hak-hak perorangan bersumber dari tanah bersama

tersebut. Mengacu pada pemahaman konsepsi di atas, berarti sesungguhnya hak

atas tanah menurut hukum adat terdiri dari dua bentuk, yaitu hak ulayat (komunal)

dan hak individu.20

1. Hak-Hak Tanah Adat

Pengertian Hak Ulayat atau Hak Purba adalah hak yang dipunyai oleh

suatu suku, sebuah serikat desa-desa atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk

menguasai seluruh tanah dan seisinya dalam lingkungan wilayahnya. Dalam

redaksi lain disebutkan bahwa hak persekutuan atas tanah adalah hak persekutuan

(hak masyarakat hukum) dalam hukum adat terhadap tanah tersebut. Hak Ulayat

adalah pengakuan bersama oleh seluruh anggota masyarakat dan didalamnya juga

terkandung hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh

mempunyai tanah di lingkungan hak ulayat tersebut.21

20
Herman Soesangobeng, 2003, Kedudukan Hakim dalam Hukum Pertanahan dan
Permasalahannya di Indonesoa, Yogyakarta: Pusdiklat Mahkamah Agung, hlm. 12-14.
21
Imam Sudiyat, Hukum Adat, 2010 Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, hal. 1
26

Van Vollenhoven menyebutkan lima ciri hak ulayat adalah sebagai berikut:

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.

2. Pimpinan persekutuan dapat menentukan untuk menyatakan dan menggunakan

bidang-bidang tanah tertentu ditetapkan untuk kepentingan umum dan terhadap

tanah ini tidak diperkenankan diletakkan hak perseorangan.

3. Orang asing yang mau menarik hasil tanah-tanah ulayat ini haruslah terlebih

dulu meminta izin dari kepada persekutuan dan harus membayar uang

pengakuan, setelah panen harus membaar uang sewa.

4. Persekutuan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di atas

lingkungan ulayat.

5. Larangan mengasingkan tanah yang termasuk tanah ulayat.22

Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai

karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok

yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi

kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.

Apabila dipandang dari sudut bentuk masyarakat hukum adat, maka

lingkungan tanah mungkin dikuasai oleh suatu masyarakat hukum adat atau

beberapa masyarakat. Oleh karena itu biasanyanya lingkungan tanah adat

dibedakan antara :

1. Lingkungan tanah sendiri.


22
Van Vollenhoven, 2013, Hukum Adat Eksistensi Dalam Dinamika Perkembangan
Hukum Di Indonesia, hal. 21
27

2. Lingkungan tanah bersama.

Menurut Ter Haar hubungan antara kepentingan perseorangan dan

kepentingan persekutuan adalah timbal balik dan memiliki kekuatan yang sama.

Selanjutnya hak ulayat juga juga berlaku terhadap orang-orang luar. Apabila

orang-orang di luar hendak memasuki persekutuan mereka harus terlebih dahulu

mendapatkan izin dari kepala persekutuan dan sebelum permohonan mereka

dikabulkan terlebih dahulu harus memberi sesuatu kepada persekutuan.

2. Hubungan Tanah Ulayat dan Hak Perorangan

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwasanya Tanah ulayat dimiliki

secara komunal dan dimanfaatkan untuk keperluaan kekerabatan dan komunal

pula. Hak-hak yang berlaku dalam tanah ulayat secara garis besar diberlakukan

kedalam dan keluar dan secara langsung akan melahirkan hak dan kewajiban bagi

masyarakat adat.23 Hak berlaku kedalam meliputi Masyarakat adat berkewajiban

menyediakan serta menempatkan tanah untuk keperluan masyarakat hukum adat

untuk keperluan bersama, misalnya tanah kuburan, Mesjid, jalan dan sebagainya.

Secara adat, ada kemungkinan masyarakat adat memberikan haknya kepada pihak

lain diluar hubungan kekerabatannya untuk menikmati dan memanfaatkan tanah

ulayat, seperti mendirikan rumah, mengambil hasil hutan atau sungai dan

keperluan pencari hidup lainnya. Berdasarkan hak ulayat pula, suatu masyarakat

hukum adat menetapkan serta mengatur hubungan antara anggota/warga

masyarakat hukum dengan tanah yang telah dibuka atau diolahnya.

23
B Ter Haar, 1999, Asas-asas dan susunan hukum adat. Soebakti Poesponoto
penerjemahan, Jakarta: Pradny Panata, hal. 50-59
28

Hak berlaku keluar meliputi Berdasarkan hak ulayat ini warga masyarakt hukum

adat bertanggung jawab terhadap perilaku penyelewengan dan pelanggaran yang

terjadi pada tanah ulayat mereka Orang luar dan bukan masyarakat adat, yang pada

dasarnya tidak mempunyai hak untuk menikmati atau menarik hasil dari tanah

ulayat, yang bersangkutan kecuali dengan izin masyarakat hukum adat tersebut

dengan menyerahkan upeti atau syarat lainnya, sebagai bentuk pengakuan atas

kekuasaan dari masyarakat hukum adat terhadap tanahnya.

Hak-hak yang diperoleh orang luar tidak sama dan tidak sekuat hak para

warga masyarakat hukum adat itu sendiri, karena orang luar tidak diperkenankan

untuk mewariskan hak-hak yang telah diperolehnya itu, tidak boleh membeli atau

menerima gadai tanah-tanah pertanian dan sebagainya.

Dan ketika hubungan salah seorang masyarakat adat dengan tanahnya

bersifat tetap dan berlangsung terus menerus, maka hak memfaatkan tanah ulayat

tersebut dapat menjadi hak milik. Namun walupun dapat menjadi hak milik, hak

tersebut tidaklah dilepas begitu saja. Hak milik yang ditingkatkan dari hak ulayat

tersebut tetap dibatasi oleh hak ulayat. Jika orang yang terus-menerus

memanfaatkan tanah ulayat tertentu, kemudian dengan adanya izin dari pemuka

adat untuk menggarapnya sendiri (seperti Hak milik) ketika menelantarkan atau

menyia-nyiakan tanah ulayat tersebut, tanah tersebut menjadi tanah ulayat kembali.

Dan dilihat dari semangat hukum adat itu sendiri yang bersifat komunal dan

bertujuan untuk kepentingan komunal, dan memberikan kemungkinan bagi

individu untuk memanfaatkannya, maka dapat dilihat hak-hak individu atau

perorangan atas tanah ulayat. Hak milik (het inlands bezitsrecht), ketika anggota
29

masyarakt memiliki hubungan perorangan atas tanah yang ikut mendukungnya,

maka haknya tersebut disebut hak milik. Namun hak milik ini terbatas atas

perlakuan kedalam. Hak menikmati (genotrecht), hak ini diperoleh bagi mereka

yang diluar masyarakat adat tanah tersebut, namun mereka telah meminta dan

diizinkan untuk memanfaatkan tanah ulayat tersebut. Namun hak menikmati ini

sesuai dengan kesepatakatan dengan pemuka adat. Hak terdahulu (voorkeursrecht),

yaitu hak yang dimiliki seseorang atas suatu tanah lebih utama dibanding

masyarakat hukum adat yang lain. Hal ini sebelumnya haruslah mendapatkan izin

dari pemuka adat. Biasanya hak ini dapat dilihat dari tanah yang telah tersia-sia

dan pemuka adat memintanya untuk menggarap tanah tersebut. Hak terdahulu

membeli (nooastingsrecht), hak ini dapat dilihat dari beberapa bentuk. Seperti

lebih mengutamakan anggota keluarga dan kerabat dekat untuk terlebih dahulu

memmbeli tanahnya dari pada yang lain, atau lebih mendahulukan masyarakat

seadat membelinya dari masyarakat ada lain.

Hak pungut hasil (ambtelijk profijtrecht) , hak ini dimiliki oleh pemuka-pemuka

adat untuk mendapatkan hasil dari tanah adat. Dan juga ada hasil tanah adat

tersebut diberikan masyarakat adat kepada pemuka adat untuk nafkah pemuka adat

sebagai jabatannya. Hak pakai (gebruiksrecht), yaitu hak yang miliki seseorang

untuk memakai tanah ulayat keluarganya yang seadat. Hak gadai dan sewa (pand

en huurrecht), yaitu hak bagi pemegang gadai untuk memanfaatkan suatu tanah

sesuai dengan perjanjian dengan pemilik tanah, setelah memberika pinjaman

terlebih dahulu. 24

24
Imam Sudiyat, 1999, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet III, Yogyakarta; Liberty, hal 3
30

3. Hak-hak Atas Tanah Menurut Undang-Undang

Hak-hak perorangan dan badan hukum atas tanah memperoleh pengakuan

yang kuat dalam sistem dan tata hukum di Indonesia. Hak milik atas tanah adalah

bagian dari hak-hak kebendaan yang dijamin dalam konstitusi. Dalam Undang-

Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 sebagai hasil dari amandemen

kedua, dinyatakan sebagai berikut :

Pasal 28 g

a. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,

martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas

rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau

tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

b. pasal 28 h

Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut

tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun.

Selanjutnya dalam UUPA, dinyatakan antara lain sebagai berikut :

Pasal 4 ayat (2)

Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi

wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula

tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan

untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah

itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-

peraturan hukum lain yang lebih tinggi.


31

Berdasarkan pengertian pada pasal 4 ayat (2) tersebut, hak atas tanah

adalah hak atas permukaan bumi, tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu

permukaan bumi yang terbatas, yang disebut bidang tanah. Hak atas tanah tidak

meliputi tubuh bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya25

Asas yang hanya mengakui hak atas tanah adalah terbatas pada hak atas

permukaan bumi saja disebut dengan asas pemisahan horisontal. Asas pemisahan

horisontal adalah asas dimana pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu

yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Asas pemisahan horisontal

memisahkan tanah dan benda lain yang melekat pada tanah itu. Asas pemisahan

horisontal adalah asas yang didasarkan pada hukum adat dan merupakan asas yang

dianut oleh UUPA.26

Berbeda dengan asas yang dianut oleh UUPA, KUHPerdata menganut asas

perlekatan, baik yang sifatnya perlekatan horisontal maupun perlekatan vertikal,

yang menyatakan bahwa benda bergerak yang tertancap atau terpaku pada benda

tidak bergerak, berdasarkan asas ini maka benda-benda yang melekat pada benda

pokok, secara yuridis harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari

benda pokoknya. 27

25
Boedi Harsono, 2007. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Penerbit
Universitas Trisakti, ed. 3 Jakarta, hal. 63
26
Djuhaendah Hasan, 1996. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain
yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 76
27
Ibid, hal. 70
32

Hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepemilikan atas

segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah.

Sedangkan dalam UUP dibedakan berbagai hak atas tanah sebagai berikut :

1. hak milik

2. hak guna usaha

3. hak guna bangunan

4. hak pakai

5. hak sewa

6. hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan.

Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat

dipunyai orang atas tanah , memiliki fungsi sosial serta dapat dialihkan dan beralih.

Pasal 20 UUPA menyatakan : Dalam pasal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak

milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hk yang

terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini

tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak

dapat diganggu-gugat sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli

dulu. Sifat yang demikian akan terang bertentangan dengan sifat hukum-adat dan

fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata terkuat dan terpenuh itu bermaksud

untuk membedakannya dengan hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai dan

lain-lainnya, yaitu untuk menunjukkan, bahwa diantara hak- hak atas tanah yang

dapat dipunyai orang hak miliklah yang ter (artinya : paling)-kuat dan terpenuh.
33

Sedangkan hak-hak penguasaan atas tanah, menurut Boedi Harsono,

dikelompokkan menjadi hak bangsa, hak menguasai dari negara, hak ulayat, hak

perorangan dan hak tanggungan. 28

C. PENGUASAAN HAK ATAS TANAH ADAT

Pengertian penguasaan terhadap suatu tanah berarti dikuasai atau dalam

penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik maupun juga dalam arti yuridis serta

beraspek privat dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah

penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi hukum dan pada umumnya

memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah

yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan tanah miliknya untuk

mengambil manfaat dari tanah tersebut, pemilik tanah menjual tanah dengan tanda

bukti segel sebagai pernyataan jual beli tanah antara pemilik (penjual) dengan

pembeli29.

Penguasaan" yang berarti dapat dipakai dalam arti fisik atau dalam arti

yuridis, beraspek privat dan beraspek publik, penguasaan dalam arti yuridis adalah

penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya

memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk mengusai secara fisik tanah

yang dimilikinya.

Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara termuat dalam Pasal 33

ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Bumi air dan kekayaan

28
Ibid, hal. 76

29
Boedi Harsono, Hukum Agrarian Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2008, Hal 23.
34

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kemudian dijabarkan dalam Pasal 2

ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan:

Hak menguasai dari Negara tersebut dalam ayat 1 Pasal ini memberikan

wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

perorangan dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

perorangan dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan

ruang angkasa.

Menurut Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Hak

Menguasai Negara hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur

hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah, hubungan antara

negara dengan tanah sangat mempengaruhi dan menentukan isi peraturan

perundang-undangan yang mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan

tanah dan masyarakat hukum adat dengan tanah ulayat serta pengakuan dan

perlindungan hak-hak yang timbul dan hubungan-hubungan hukum tersebut.30

Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat

diperlukan untuk pemberian jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar

30
Urip Santoso, 2010, Hukum Agraria Dan Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta : Prenada
Media Grup, Hal 73-74
35

hak-hak atas tanah mereka tidak dilanggar oleh siapa pun. Hak penguasaan atas

tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang

hak tersebut dalam berbuat, bertindak sesuatu mengenai tanah yang menjadi

haknya. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat ini menjadi tolak

ukur dan kriteria pembeda antara hak-hak penguasaan atas tanah.

Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak mengusai

tanah oleh negara. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah

ulayatnya melahirkan hak ulayat dan hubungan antara perorangan dengan tanah

melahirkan hak-hak perorangan atas tanah dan ketiga hak tersebut menjalin secara

harmonis dan seimbang sehingga sama kedudukan dan kekuatannya dan tidak

saling merugikan.31

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan peraturan bidang

pertanahan, mengandung dua dimensi, yaitu :

a. Hak Publik, yang merupakan kewenangan negara berupa hak "menguasai"

dari negara,

b. Hak perorangan, berupa hak-hak yang dapat dipunyai/ dimiliki seseorang

untuk menjual, menghibahkan, dan lain-lain.

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang

yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambii manfaat atas tanah

tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah32.

Hak atas tanah termasuk salah satu hak-hak perseorangan atas tanah. Hak-

31
Anonim. http:www.//id.wikipedia.org/wiki/Hak_atas_tanah. Diakses Desember, 2016
32
Anonim. http:www.//id.wikipedia.org/wiki/Hak_atas_tanah. Diakses Desember 2016
36

hak perseorangan atas tanah, adalah hak yang memberikan wewenang kepada

pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara besama - sama, badan

hukum) untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan, dan atau mengambil

manfaat dari bidang tanah tertentu.33

Selanjutnya, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah

terhadap tanahnya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :

a. Wewenang Umum

Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai

wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan

air dan ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan

yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-

batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi

(Pasal 4 ayat (2) UUPA).

b. Wewenang Khusus

Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah

mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan

macam hak atas tanahnya, misalka wewenang pada tanah hak milik adalah

dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan.

Macam-macam hak atas tanah termuat dalam Pasal 16 jo Pasal 53 Undang-

Undang Pokok Agraria, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bidang, yaitu :

a. Hak atas tanah yang bersifat tetap

Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku

33
Urip Santoso. 2006. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Prenada Media.
Hal : 82
37

atau belum dicabut dengan Undang-Undang yang baru.

Macam-macam hak atas tanah ini adalah : Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak membuka tanah, dan Hak

memungut hasil hutan.

1. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

2. Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan

dalam undang-undang`

3. Hak atas tanah yang bersifat sementaraYaitu hak atas tanah ini sifatnya

sementara dan dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan

mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feodal, dan

bertentangan dengan jiwa Undang-Undang Pokok Agraria.

Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas

tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang

menjadi haknya. Hak-hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 jo

Pasal 53 UUPA, antara lain:

a. Hak Milik

b. Hak Guna Usaha

c. Hak Guna Bangunan

d. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang

ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 Undang-Undang Pokok Agraria.

Dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan adanya dua hak

yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan
38

hak memungut hasil hutan karena hak-hak itu tidak memberi wewenang untuk

mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut

tetap dicantumkan dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria sebagai hak

atas tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum

adat. Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak

ulayat.34

Hak Ulayat adalah pengakuan bersama oleh seluruh anggota masyarakat

dan didalamnya juga terkandung hak kepunyaan perorangan yang berarti orang

perorangan boleh mempunyai tanah di lingkungan hak ulayat tersebut. Sementara

menurut Budi Harsono hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat

atas lingkungan tanah wilayahnya, yang memberi wewenang-wewenang tertentu

kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah wilayah

masyarakat hukum tersebut.

Lebih jelasnya tentang hak ulayat ini, Siregar menguraikan ciri-ciri hak

ulayat sebagai berikut:

1. Masyarakat hukum dan para anggota-anggotanya berhak untuk dapat

mempergunakan tanah hutan belukar di dalam lingkungan wilayahnya dengan

bebas, yaitu bebas untuk membuka tanah, memungut hasil, berburu,

mengambil ikan menggembala ternak dan lain sebagainya.

2. Bukan anggota masyarakat hukum dapat pula mempergunakan hak-hak

tersebut hanya saja harus mendapat izin terlebih dahulu dari kepala masyarakat

34
Ibid, 2006, Hal. 96
39

hukum dan membayar uang pengakuan atau recognite (diakui setelah

memenuhi kewajibannya).

3. Masyarakat hukum beratnggungjawab atas kejahatan-kejahatan yang terjadi

dalam lingkungan wilayahnya apabila pelakunya tidak dapat dikenal.

4. Masyarakat hukum tidak dapat menjual atau mengalihkan hak ulayat untuk

selama-lamanya kepada siapa saja.

5. Masyarakat hukum mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah yang

digarap dan dimiliki oleh para anggota-anggotanya seperti dalam hal jual beli

tanah dan sebagainya.

Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai

karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok

yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi

kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.Disinilah sifat

religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama

dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam

hal ini oleh kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat,

misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar,

penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi

keperluan bersama.

Selanjutnya, anggota persekutuan masyarakat itu juga memiliki hak untuk

membuka tanah (ontginningsrecht), yaitu adanya penyelenggaraan suatu hubungan

sendiri terhadap sebidang tanah sebagai bagian dari lingkungan hak pertuanan. Hak

membuka tanah itu menurut hukum adat adalah hanya salah satu dari pada tanda -
40

tanda munculnya hak persekutuan atau beschikingsrecht dan hanya ada pada

anggota-anggota masyarakat atau tanah-tanah di lingkungan hak pertuanan itu

sendiri. 35

Hak membuka tanah ini tidaklah terjadi atau dilakukan begitu saja. Sering

kali ini menuntut adanya dilakukan acara acara khusus yang dihadiri oleh para

tokoh adat atau masyarakat setempat dan perlunya membuat tanda tanda tertentu

yang menunjukkan bahwa lahan atau tanah tersebut telah ada perseorangan yang

sedang mengolahnya. Hal hal seperti ini akan mempertegas adanya hubungan

hukum perseorangan tersebut terhadap tanah yang dibukanya. Apabila hal itu tidak

ada, maka hubungan hukum antara tanah yang dibukanya dengan dirinya akan

begitu lemahnya, sehingga membuka peluang bagi pihak lain (perseorangan atau

individu) untuk juga mengklaim bahwa itu juga lahan yang dibukanya. Hal seperti

inilah yang akan menimbulkan permasalahan tentang tanah.

Hal lain yang dapat menimbulkan konflik di bidang pertanahan adalah

karena tidak jelasnya pembatasan daerah atau tanah persekutuan atau

beschikkingsrecht. Artinya, ukuran yang digunakan dalam bidang pertanahan

menurut hukum adat adalah konstruksi yuridis yang abstrak. Sehingga batas

batas pertanahan antara persekutuan hukum adat yang satu dengan yang lainnya

yang bertetangan dan sering kali tidaklah jelas adanya. Sehingga, ketika satu

persekutuan hukum adat mengklaim batas tertentu tanahnya, bisa jadi itu sudah

dianggap melampaui batas yang telah diklaim oleh persekutuan hukum adat

tetangganya.

35
Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria.., Op.Cit., hlm. 215.
41

Hal lain yang membuat aspek sedemikian itu rawan konflik , adalah karena

adanya prinsip bahwa tanah persekutuan atau pertuanan tersebut tidak dapat

dipindahtangankan (onvervreemdbaarheid ). Artinya pada waktu terjadi perbedaan

pendapat tentang kepemilikan hak antar persekutuan hukum tentang batas batas

tanah tersebut, masing masing persekutuan hukum akan membela haknya dengan

segala cara. Mereka tidak akan pernah mengizinkan haknya atas tanah yang telah

mereka klaim, yang mungkin telah terjadi untuk waktu yang cukup lama, lepas

begitu saja. Ada nilai magis-religi yang terdapat antara tanah persekutuan dengan

masyarakat persekutuan yang membuat prinsip itu berlaku dengan kuat di antara

mereka.

Di sinilah letak perlunya peran pemerintah atau penguasa yang lebih tinggi

untuk membuat peraturan yang memiliki atau menjamin kepastian hukum dalam

bidang pertanahan, menghindari konflik pertanahan di antara persekutuan hukum

adat.

Keterkaitan hukum dan tanah adat di Indonesia

Menurut hukum adat di Indonesia, ada 2 (dua) macam hak yang timbul atas tanah,

antara lain yaitu:

1. Hak persekutuan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati,

diusahai oleh sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu

yang disebut dengan masyarakat hukum (persekutuan hukum). Lebih lanjut,

hak persekutuan ini sering disebut dengan hak ulayat, hak dipertuan, hak purba,

hak komunal, atau beschikingsrecht.


42

2. Hak Perseorangan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati,

diusahai oleh seseorang anggota dari persekutuan tertentu.

Hukum Tanah Adat sebelum berlakunya UUPA Sebelum berlakunya

UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu persekutuan dan

perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuai dengan kebutuhan

mereka dalam memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para anggita persekutuan

berlangsung secara tertulis. Selain itu dalam melakukan tindakan untuk

menggunakan tanah adat, harus terlebih dahulu diketahui atau meminta izin dari

kepala adat. Dengan demikian sebelum berlakunya UUPA ini tanah adat masih

tetap milik anggota persekutuan hukum, yang mempunyai hak untuk mengolahnya

tanpa adanya pihak yang melarang.36

36
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2006.
Hal. 66
43

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. GAMBARAN UMUM NEGERI LISABATA

1. Letak Geografis

Negeri Lisabata secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan

Taniwel, terletak di arah utara Kabupaten Seram Bagian Barat. Jarak Negeri

Lisabata ke Kota Kecamatan sekitar 11 Km sedangkan jarak antara Negeri

Lisabata ke Kota Kabupaten sekitar 150 Km. Waktu tempuh dari Negeri Lisabata

ke Kota Kecamatan sekitar 20 menit dengan menggunakan Kenderaan Roda 2

sedangkan waktu tempuh dari Negeri Lisabata ke Kota Kabupaten ditempuh

sekitar 2 jam. Batasbatas Negeri sebagai berikut.

- Sebelah Utara : Laut Seram

- Sebelah Selatan : Hutan

- Sebelah Barat : Desa Nuniali

Sebelah Timur : Desa Wakolo.

Negeri Lisabata secara topografi berupa dataran rendah dan pegunungan

dengan ketinggian antar 0 s/d 700 m di atas permukaan laut, sehingga tergolong

dataran rendah. Suhu di daerah ini cukup bervariasi antara 25 Derajat saat paling

dingin dan 3 derajat saat paling panas. Jenis tanah yang ada di wilayah sebagian

besar adalah tanah Top Soil. Sifat tanah ini hitam yang kaya kandungan

organiknya sehingga cocok dikembangkan untuk lokasi pertanian baik daratan

rendah maupun pegunungan. Sebagian kecil di daerah pegunungan bersifat karang.


44

Iklim merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan

tanaman. Iklim Negeri Lisabata termasuk dalam daerah dengan tife iklim sedang

dengan perbandingan antara bulan basah dengan bulan kering hampir sama. Nilai

Q antara 60% - 100%. Nilai Q adalah perbandingan antara banyaknya bulan basah

dibagi dengan bulan kering kali 100%.

Berdasarkan data yang peroleh dari lokasi penelitian maka dapat diketahui

jumlah usiah produktif berjumlah 565 jiwa lebih besar dibandingkan dengan usia

anak-anak dan lansia yang berjumlah 969 jiwa. Kenyataan ini menunjukan bahwa

usia produktif yang tersedia biasa mengisi berbagai lapangan kerja diberbagai

sector usaha.

2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Data mengenai jumlah penduduk Masyarakat Negeri Lisabata di rinci

menurut jenis kelamin, dapat di lihat pada table berikut ini.

Tabel : Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah

1 Laki-Laki 781

2 Perempuan 753

jumlah 1534

Sumber Data Dari Kantor Desa Lisabata


45

3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Masyarakat Negeri Lisabata memiliki mata pencaharian yang berbeda-

bada. Berbagai macam ragam masyarakat Lisabata memiliki mata pencaharian

berupa nelayan, petani, pengusaha, buruh bangunan, pegawai negeri dan ABRI.

Hal ini dapat di lihat berdasarkan tabel berikut ini :

Data Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No Jumlah Pekerjaan Banyak Orang

1 Petani 425

2 Nelayan 10

3 Pengusaha 20

4 Buruh bangunan 25

5 Pedagang 35

6 Pegawai Negeri ( Sipil dan 50


ABRI )

Jumlah 560

Sumber Data Dari Kantor Desa Lisabata

Pada umnya di negeri Lisabata mata pencaharian yang paling menonjol

adalah sebagai petani, karena dengan berbagai macam hasil kebun ( dusun ) mulai

dari hasil kelapa, coklat dan cengke yang merupakan hasil yang paling baik demi

memenuhi kebutuhan mereka dalam kehidupan sehari-hari.


46

Oleh karena itu bagi masyarakat Negeri Lisabata tanah merupakan suatu

hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, tanah yang merupakan

warisan dari para leluhur terdahulu, selain karena jumlahnya yang terbatas dan

tidak bertambah, namun orang yang membutuhkan tanah terus bertambah. Hal

inilah yang menjadikan tanah mempunyai nilai ekonomis sehingga orang berebut

mendapatkanya sehingga terjadinya kesalah pahaman antara sesama kelompok

keluarga seperti Tanah Budel yang ada di Negeri Lisabata.37

3. Hubungan Kekerabatan

Hubungan kekerabatan adalah salah satu prinsip mendasar untuk

mengelompokan tiap orang ke dalam kelompok sosial, peran kategori dan silsilah.

Hal ini sangat berkaitan erat dengan silsilah dan asal-usul pembetukan Negeri

Lisabata dan penguasaan tanah secara turun temurun.

Negeri Lisabata terbentuk, berawal dari empat mata rumah adat yang

biasanya di sebut dalam bahasa adat masyarakat Lisabata yaitu ( SOA ). Soa-soa

ini terbentu dari beberapa marga yang merupakan anak adat asli dari Negeri

Lisabata tersebut.

Marga-marga yang tergabung dalam Soa ini antara lain :

1. Soa Pulu

Soa Pulu merupakan Soa dengan kebesarannya sebagai Kapitan terbesar

sekaligus sebagai Tuan Tanah di Negeri Lisabata. Soa Pulu terbentuk

secara turun temurun dan tergabung dari Marga-Marga yakni Marga Pulu

dan marga Pattilow.


37
Hasil wawancara bersama bapak oyang kaisuku dan bapak raja negeri lisabata.6
desember 2016.
47

2. Soa Kanawai

Soa Kanawai ini merupakan Soa yang cenderung kepada marga lohy

dengan kebesaranya sebagai Panglima Perang sekaligus di berikan gelarnya

yang dalam bahasa adatnya di sebut sebagai Makahity yang artiya siap

mengangkat dan di angkat. Maksudnya bahwa jika dalam pemerintahan

Negeri Lisabata terbentuk maka yang mengatur sistim pemerintahan

tersebut adalah Soa Kanawai. Dan Soa Kanawai ini terbentuk secara turun

temurun antara lain adalah marga Lohy dan marga lohy cenderung

mempunyai peran yang sangat penting dalam mengatur sistim

pemerintahan di Negeri Lisabata.

3. Soa Rumarai

Soa Rumarai ini terbentuk dari marga Assel secara turun temurun yang

dalam gelarnya sebagai Tukang besar yang dalam bahasa adat disebut

sebagai ( Tukang Elake ).

4. Soa Kaisuku

Sedangkan Soa kaisuku ini terbentu secara turun temurun dari marga

kaisuku itu sendiri.

Penguasaan atas tanah Negeri Lisabata pada awalnya terjadi sebelum

terbentuknya Negeri sebagai satu kesatuan masyarakat, wilayah dan pemerintahan.

Marga yang pertama kali datang sebelum Negeri Lisabata terbentuk adalah marga

Pulu. Sebagai marga yang pertama kali datang, marga Pulu Kemudian menguasai

tanah dan menjadi Tuan Tanah, kemudian menguasai tanah sebagai tempat

bermukim dan bercocok tanam. Selanjutnya datanglah marga-marga lain di


48

wilayah tersebut dan membentuk Soa baru, dimana setiap marga di dalam Soa

tersebut terdiri dari beberapa marga, kemudian membuka hutan untuk menjadikan

bangunan tempat tinggal dan bercocok tanam. Demikian seterusya, datanglah

marga-marga lainnya dan membentuk Soa, dan juga membuka hutan untuk

bermukim dan bercocok tanam. Tanah yang digunakan baik untuk tempat tinggal

maupun untuk bercocok tanam, kemudian di kuasai secara bersama-sama oleh

marga-marga didalam keempat Soa tersebut. Dari sejarah singkat kedatangan

marga-marga yang kemdian membentuk dalam empat Soa tersebut maka

terbentuklah Hena Lisabata, ( Negeri Lisabata).

Dengan demikian, Hena merupakan satu kesatuan masyarakat, wilayah dan

pemerintahan serta harta kekayaan yang terkandung didalamnya. Pada jaman

dahulu kala belum dikatakan sebagai Negeri, tetapi masih dikatan sebagai Hena.

Kemudian dari pada itu, Hena bagi Masyarakat Lisabata dalam bahasa adat yang

artinya Negeri. Selain Hena, untuk Lisabata sendiri dalam bahasa adat yaitu Iha,

jadi Hena Iha adalah Negeri Lisabata.

Negeri Lisabata merupakan Negeri dengan kekuasaan yang begitu besar.

Negeri Lisabata disebut sebagai Negeri penguasa pesisir pantai. Dikatakan sebagai

penguasa pesisir pantai karena, pada saat itu Negeri Lisabata menguasai tanah

karena menang dalam peperangan antara Kapitan-Kapitan. Salah satu pembuktian

Negeri Lisabata menguasai tanah pesisir pantai melalui perang adalah Perang

Pasanea.

Perang Pasanea, berawal dari adanya perang Huamual dengan Portogis dan

Runtuhnya Huamual, mengakibatkan Masyarakat yang ada di Huamual semuanya


49

melarikan diri dari tanjung sial menuju suatu tempat untuk menjadi tempat

persembunyian, namun di tempat tersebut sudah di duduki oleh Negeri Lisabata,

Masyarakat Lisabata tidak mengizinkan mereka tinggal di situ akhirnya Kapitan

Latu dari Tala datang ke Lisabata ingin merubah tatanan dan adat istiadat yang ada

di Negeri Lisabata dan berusaha untuk berkuasa di atas Patti Sapalewa karena

menurut Kapitan Latu pada zaman itu belum adanya Hukum yang mengatur,

perkataan tersebut di dengar oleh Kapitan Lisabata Elake Punue dan Pattilouw

Laene mencoba mengusir Kapitan Latu dari Negeri Lisabata.

Kapitan Latu merasa dihina akhirnya Kapitan Latu mengangkat parang

untuk melawan Kapitan Lisabata Elake Punue dan Pattilouw Laene, dan disitulah

terjadi peperangan besar-besaran namu dengan mudahnya Kapitan Elake Punue

mengusir Kapitan Latu dengan bala tentaranya dari Negeri Lisabata sampai di

kampung Hurale (Pasanea Lama).

Masyarakat Lisabata memasang Pos di suatu tempat untuk memasang

starategi agar bisa membunuh Kapitan Latu atau di sebut Kapitan Mata Empat.

Pada zaman itu tidak satu Kapitanpun yang bisa membunuh Kapitan Latu (Kapita

Mata Empat) akhirnya Kapitan Lisabata Elake Punue mencoba menduduki kapitan

Latu, pada waktu itu Kapitan Latu sedang mandi dan semua jimat yang ada pada

Kapitan Latu (Kapitan Mata Empat) semuanya dilepaskan. Pada saat itupun juga

Elake Punue berusaha melompat untuk memotong Kapitan Latu dan Kapitan Latu

mencoba mengangkat tombaknya namun salah mengambil tombaknya akhirnya

Kapitan Elake Punue membunuhnya. Karena salah mengambil tombaknya

masyarakat Lisabata menamakanya dengan bahasa Lisabata Sala Puta. Kapitan


50

Elake Punue mengubur Kapitan Latu (Kapitan Mata Empat) di sungai tersebut dan

pada waktu mengubur Kapitan Latu (Kapitan Mata Empat) kukunya Keluar

akhirnya masyarakat Lisabata menamakan sungai tersebut Air Kuhu.

Perang sudah berakhir lalu Perintah dari Kapitan Elake Punue Untuk balik

Ke Lisabata tetapi ada yang tidak mau balik ke Lisabata, karena mereka berfikir

sudah lama tinggal dan menetap di tempat tersebut atau Lisabata Timur. Akhirnya

Kapitan Elake Punue mengadakan musyawarah untuk mengangkat raja yaitu dari

marga Sitania, namun ada yang marga Sitania lainnya melakukan pemberontakan

antara marga Sitania Raja dengan Sitania bukan keturunan Raja, akhirnya marga

sitania lainnya lari dari Lisabata Timur ke suatu tempat yaitu Sukaraja.

Penduduk yang ada di Pasanea lama di bawa oleh masyarakat Lisabata dan

ditempatkan di suatu tempat, akhirnya penduduk yang ada di Pasanea Lama

diterimah dengan baik oleh masyarakat Lisabata dan diberikan Lokasi

penampungan sementara sehingga masyarakat Pasanea tinggal dan menetap di

daerah tersebut. Di namakan Pasanea karena orang Lisabata menamakan yang

artinya (Gupasa Sadepa) Pasa itu Pohon Gupasa dan Nea itu Depa karena mereka

di tempatkan oleh masyarakat Lisabata di bawa Pohon Gupasa. Demikian sejarah

singkat Perang Pasanea.38

Hal ini yang mengakibatkan Negeri Lisabata merupakan Negeri penguasa

pesisir pantai. Kemudian dengan adanya Perang Pasanea ini sangat berkaitan erat

dengan penguasaan tanah-tanah yang ada di Negeri Lisabata khususnya

38
Hasil Wawancara Dari Para Petua Adat Negeri Lisabata, 6 Desember 2016
51

penguasaan tanah Budel di Negeri Lisabata Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram

Bagian Barat.

B. KEDUDUKAN DAN KEPEMILIKAN TANAH ADAT DALAM

MASYARAKAT HUKUM ADAT NEGERI LISABATA

1. Kedudukan Tanah Adat Negeri Lisabata

Pada umumnya kehidupan Masyarakat Lisabata bergantung pada tanah

karena tanah memiliki kedudukan dan manfaat sangat penting dalam kehidupan

sehari-hari. Hal ini sangat berhubungan erat dengan tanah-tanah di Negeri Lisabata

Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat. Ada hal-hal yang

menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan dan manfaat yang sangat penting

karena sifatnya yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan peninggalan para

leluhur yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, akan tetapi

masi bersifat tetap dalam keadaanya bahkan kadang-kadang menjadi lebih

menguntungkan. Faktanya adalah sebagai tempat bermukim dan bercocok tanam,

selain itu juga tanah dapat digunakan sebagai tempat penguburan ketika manusia

meninggal dunia dan dapat dijadikan sebagai bangunan bagi pembangunan

perumahan dan lain-lain.

Dengan demikian dalam hukum adat ada dua hal yang menyebabkan tanah

itu memiliki kedudukan yang sangat penting yaitu :

a. Karena Sifatnya

Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meski mengalami keadaan

yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-

kadang malah menjadi lebih menguntungkan.


52

b. Karena Fakta

Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu :

1. merupakan tempat tinggal persekutuan

2. memberikan penghidupan kepada persekutuan

3. merupakan tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung persekutuan

kepada roh para leluhur persekutuan.

4. merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia.

Mengingat akan fakta yang dimaksud diatas, maka persekutuan dengan

tanah yang didukunginya terdapat hubungan yang sangat erat sekali, hubungan

yang mempunyai sumber serta yang bersifat Religio-magis. Hubungan yang erat

dan bersifat Religio-magis ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk

menguasai dan memanfaatkan tanah dimaksud.39

Hal ini sangat berkaitan erat dengan tanah-tanah yang ada di Negeri

Lisabata Kecamatan Tanwel Kabupaten Seram Bagian Barat. Untuk itu dengan

adanya kemajuan teknologi dan informasi, jumlah penduduk semakin bertambah

dan persaingan ekonomi semakin tinggi maka nilai tanah bukan lagi sekedar

bersififat Religio-magis, tetapi sudah berubah menjadi lahan bisnis untuk

kepentingan bagi setiap individu. Hal ini sangat membawa dampak negatif bagi

setiap tanah-tanah adat yang ada di Negeri Lisabata. Sementara dilihat dari segi

kedudukan dan manfaatnya bahwa tanah di Negeri Lisabata mempunyai

kedudukan dan manfaat yang sangat besar bagi lahan pertanian karena dilihat dari

data jumlah penduduk dari mata pencaharian bahwa sebagian besar dari

39
Suriyaman Mustari Pide, 2014. Hukum Adat Dahulu, kini dan akan datang, (Kencana,
Jakarta: hlm.75
53

masyarakat Lisabata, bermata pencaharian yaitu bercocok tanam, sebagai mata

pencaharian pokok. Dengan demikian bahwa tanah adat di Negeri Lisabata perlu

dijaga dan dilestarikan sebaik mungkin sehingga jauh dari pengaru teknologi dan

persaingan ekonomi yang semakin tinggi, sehingga tanah adat yang diberikan dari

para leluhur tetap akan terjaga dengan baik.

2. Kepemilikan Tanah Budel Di Negeri Lisabata

Masyarakat Negeri Lisabata mengenal tanah Budel ini sejak dahulu kala

setelah datangnya marga-maraga di wilayah persekutuan sebelum terbentuknya

Negeri Lisabata. Tanah Budel merupakan tanah penguasaan bersama yang di

kuasai oleh setiap marga dan dapat di lestarikan secara turun temurun. Tanah budel

di Negeri Lisabata awalnya berasal dari tanah perorangan kemudian diberikan

kepada sekelompok orang ( Marga-Maraga ) dalam penguasaan bersama.

Budel dalam bahasa adat Lisabata itu sendiri tidak ada, namun orang-orang

Lisabata mengartikan Budel itu merupakan warisan keluarga. Hanya saja arti dari

pada tanah itu sendiri, yang dalam bahasa adat Negeri Lisabata disebut sebagai (

Tapen ) yang artinya Tanah, dalam penyebutanya biasanya di bilang tapen budel (

tanah budel ).

Berbicara mengenai tanah adat tidak dapat dipisahkan dengan sejarah tanah

adatnya juga tidak bisa dilepaskan dengan masyarakat hukum adat selaku pemilik

dari tanah adat tersebut.

Dalam hal Status Kepemilikan Tanah Budel Di Negeri Lisabata Kecamatan

Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat, maka seringkali terjadinya perbedaan

pendapat dalam hal penguasaan dan pembagian atas tanah tersebut. Perbedaan
54

pendat ini berasal dari dua kalangan yakni kalangan Muda dan kalangan Tua.

Kalangan Muda yang di maksud adalah kalangan yang mulai berumur dari dua

puluhan sampai pada umur tiga puluhan, mereka berpendapat bahwa tanah-tanah

budel ini seharusnya dibagi-bagikan karena dilihat dari segi silsilah keturunan

semakin hari semakin bertambah, persaingan ekonomi semakin tinggi sehingga

jangan sampai menimbulkan konflik dalam hal penguasaan tanah budel

berlangsung lama. Sementara pendapat dari kalangan tua bahwa tanah budel ini

tidak perlu di bagi-bagikan karena jika dibagi-bagikan maka tanah tersebut beralih

kepemilikan sebagai tanah dengan hak milik perorangan bukan lagi hak milik

bersama. Hak milik menurut Pasal 20 Undang-Undaang Pokok Agraria adalah :

1. hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas

tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.

2. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Demikian secara tidak langsung tanah adat ( budel ) yang telah diwariskan

dari para leluhur akan menjadi hilang. Sementara undang-undang menjamin

adanya hukum adat. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18B menjamin

adanya masyarakat adat beserta hak-hak milik atas tanah adat. demikian pulah

dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 serta peraturan Perundang-Undangan

lainnya. Hal inilah yang menyebabkan permasalahan dalam hal kepemilikan tanah

budel di Negeri Lisabata.

Selain tanah Budel, jenis hak atas tanah adat lainnya di Negeri Lisabata

antara lain Tanah Negeri, Tana Parusa dan Tanah perorangan ( individu ). Tanah

Negeri ini merupakan tanah bersama yang di kuasai oleh Negeri demi kepentingan
55

masyarakat Negeri. Tanah Negeri ini di gunakan untuk menanam tanaman umur

panjang ( cengkih ), sebagai modal untuk kepentingan Negeri. Dalam penguasaan

tanah serta hasil tanaman umur panjang ( cengkih ), maka ada kesepakatan yang

dibuat, antara Raja dan masyarakat Negeri Lisabata pada umumnya, bahwa dalam

hal pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan tanah hasil hutan lainnya diberikan

kewenangan kepada Raja sebagai kepala persekutuan hukum adat. Dalam hal ini

Raja hanya mengatur pemanfaatan dan pengelolaan atas tanah dan hasil tanaman

umur panjang diatas lahan tersebut secara turun-temurun.

Tanah parusa di Negeri Lisabata berasal dari tanah hutan yang diperoleh

dengan ijin Negeri secara perorangang ( individu ) diwilayah tertentu dengan

membuka hutan baru dengan hak pakai atas tanah dan digunakan untuk menanam

tanaman umur panjang berupa kelapa, cengkih, pala, dan coklat. Tanaman-tanaman

ini kemudian dikelolah secara terus menerus oleh pemilik tanah untuk

dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup anggota keluarga. Tanah parusah yang

tidak dikelola atau dikelola secara terus menerus dalam pengertian tidak dipelihara

dan dikelola dengan baik sehingga tanaman-tanaman yang berada dilahan tersebut

musnah dan hilang tanpa bekas, dan kembali menjadi hutan, maka dengan

sendirinya hak pakai atas tanah tersebut kembali kepada petuanan (negeri).

Sebaliknya jika diusahakan secara terus menerus hak pakai menurut hukum adat

dapat menjadi hak perorangan.

Tanah perorangan ( individu ) di Negeri Lisabata merupakan tanah hak

milik yang bebas dimiliki oleh seseorang kemudian dikuasai sepenuhnya. Tanah

perorangan ini berasal dari pemberian tanah warisan yang diberikan kepada
56

seseorang ( individu ) dengan penguasaanya secara hak milik yang bersifat tetap.

Tanah yang diberikan kemudian digunakan untuk tempat mendirikan bangunan,

berkebun, beternak dan lain-lain.

Dengan demikian dari tiga jenis tanah adat diatas khususnya tanah parusa,

menurut hemat penulis tanah tersebut sewaktu-waktu akan berubah dan beralih

kepada tanah hak bersama karena tanah ini dalam waktu lama jika pemilik tanah

tersebut meninggal dunia maka tanah tersebut diberikan kepada ahliwarinya ( anak

dari pemilik tanah ) kemudian akan berlangsung secara turun temurun. Dengan

banyaknya keturunan dari pemilik tanah tersebut, kemudian keterbatansan tanah

yang dimiliki sehingga tanah tersebut dengan sendirinya akan berubah menjadi

tanah hak bersama ( budel ).

Kenyataan tersebut di atas menunjukan bahwa tanah dalam kehidupan

masyarakat Lisabata sangat penting. Hal ini seperti yang terjadi pada tanah-tanah

masyarakat adat di Negeri Lisabata Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian

Barat. Dalam kehidupan masyarakat Lisabata lebih cenderung pada polah

kehidupan bercocok tanam, maka pemanfaatan tanah di pergunakan sebaik

mungkin sehingga hasil tanah yang digunakan dapat berguna bagi kelangsungan

hidup dalam kehidupan masyarakat hukum adat.

Oleh karena itu peran Raja Negeri Lisabata sangat diperlukan untuk

mengatasi persoalan-persoalan hak atas tanah adat, khususnya tanah Budel di

Negeri Lisabata, setidaknya ada kebijakan secara aturan hukum adat yang berlaku

di Negeri Lisabata, sehingga persoalan tentang kepemilikan tanah Budel ini

mencapai hasil yang menguntungkan bagi kedua belah pihak ( kalangan muda dan
57

kalangan tua ). Dengan demikian tercapainya masyarakat adil dan makmur, dan

jauh dari masalah sengketa terkait dengan hak atas tanah dalam kehidupan

masyarakat hukum adat Negeri Lisabata khususnya tanah Budel.

Dalam hal Status Kepemilikan Tanah Budel Di Negeri Lisabata Kecamatan

Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat, yang timbul dari adanya perbedaan

pendapat antara kalangan muda dan kalangan tua, dimana kalangan muda

berpendapat bahwa dalam hal tanah budel seharusnya dibagi-bagi diantara anggota

kerabat yang menguasai tanah budel tersebut. Hal ini disebabkan karena dilihat

dari segi silsilah keturunan dari kerabat semakin hari semakin bertambah,

persaingan ekonomi semakin tinggi, sehingga dikhawatirkan jangan sampai

menimbulkan konflik dalam hal penguasaan tanah budel tersebut. Sementara itu

dari kalangan tua berpendapat bahwa tanah budel ini tidak perlu di bagi-bagikan

karena jika dibagi-bagikan maka hak tanah tersebut menjadi berubah sebagai tanah

hak milik perorangan bukan lagi hak bersama ( budel ).

Dengan melihat perbedaan pendapat di atas maka menurut hemat penulis

bahwa tanah budel sebaiknya tidak dibagi-bagi menjadi milik perorangan. karena

dengan melihat fakta yang terjadi didalam kehidupan masyarakat adat Negeri

Lisabata bahwa dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan tanah adat ( budel )

banyak membawa manfaat bagi setiap anggota keluarga (marga-marga). Sebagai

contoh : Misalnya tanaman-tanama di atas tanah budel seperti durian dan kelapa,

yang merupakan tanaman umur panjang yang ditanam oleh orang tua, pada setiap

musim sehingga dapat dinikmati sendiri atau dijual, untuk keperluan kehidupan
58

keluarga. Demikian pula tanaman-tanaman umur panjang lainnya yang berada di

atas tanah budel tersebut dibagi-bagi secara adil diantara anggota marga.

Hal ini menurut hemat penulis akan membawa dampak positif bagi setiap

anggota keluarga ( marga-marga ) selaku pemilik tanah bersama ( budel ) karena

dapat mempererat hubungan silaturahmi dan hubungan kekerabatan bagi setiap

anggota keluarga (marga-marga) dan jauh daripada kecemburuan sosial. Dengan

demikian maka terwujudnya masyarakat yang hidup rukun, damai serta adil dan

makmur.

Sebaliknya jika tanah dibagi-bagi menjadi hak milik perorangan maka si

pemilik hak atas tanah mempunyai kewenangan untuk berbuat dan bebas memiliki

kedudukanya, atau bagianya, baik untuk di manfaatkan sendiri, dialihkan (dijual) ,

dan disewakan kepada masyarakat lain. Hal ini bukan saja menyebabkan

terpecahnya kekayaan kerabat ( budel ), tetapi juga dapat menyebabkan putusnya

hubungan kekerabatan. Menurut hilman hadikusuma dalam hal ini berarti

lemahnya asas hidup kekeluargaan dan tolong menolong atau keluarga yang satu

dengan keluarga lainnya.40 Lebih dari itu menurut hemat penulis kehidupan yang

berupah kebersamaan ( komunal) akan berubah menjadi keluarga yang bersifat

individualistik.

40
Hilman Hadikusuma, 1999, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundang-Undangan
Hukum Adat, Hukum Agama, Hukum Islam, Penerbit, Citra Aditya Bakti., Bandung, Hal.
16
59

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ini maka penulis menarik

kesimpulan bahwa dalam hal penguasaan dan pembagian tanah Budel di Negeri

Lisabata Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat, seringkali menjadi

perdebatan dan perbedaan pendapat dari dua kalangan yakni kalangan muda dan

kalangan tua.

Kalangan tua berpendapat bahwa tanah budel ini tidak perlu dibagikan

karena dikhawatirkan tanah adat akan menjadi tanah dengan hak milik perorangan

sehingga tanah adat akan menjadi hilang. Sementara kalangan muda berpendapat

bahwa tanah budel harus dibagikan karena mengingat keturunan yang semakin

bertambah, persaingan ekonomi semakin tinggi dan pola pikir masyarakat mulai

berubah dari pola pikir komunal ke pola pikir individualistik. sementara jumlah

tanah yang begitu terbatas sehingga dikhawatirkan menimbulkan konflik diantara

anggota kerabat.

Oleh karena itu peran Raja Negeri Lisabata sangat diperlukan Untuk

mengatasi persoalan-persoalan hak atas tanah adat, khususnya atas tanah Budel,

setidaknya ada kebijakan aturan hukum yang menegaskan bahwa tanah budel tidak

boleh dibagikan dan tetap sebagai hak bersama.


60

B. SARAN

Disarankan bahawa untuk Tanah budel tidak perlu dibagikan karena jangan

sampai hilangnya tanah adat. Dalam hukum tanah adat, undang-undang masih

menjamin dan menjujung tinggi nilai adat istiadat. Kemudian perlu adanya

penyuluhan dan sosialisasi serta informasi kepada masyarakat secara umum dan

secara khusus untuk masyarakat Lisabata akan pentingnya tanah adat dalam

masyarakat hukum adat dan hah-hak atas tanah adat, sehingga tanah-tanah adat

yang ada di Negeri Lisabata Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat

khususnya tanah Budel dapat terjaga dan dilestarikan secara turun temurun dengan

bijaksana.

Anda mungkin juga menyukai