Anda di halaman 1dari 16

PATRIOT

Volume 12 Nomor 2 Desember 2019


P-ISSN: 1979-7052
Diterbitkan oleh: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN


SENGKETA TANAH ADAT

Wellem Hendra Balubun, Christiforus Skukubun, Yohanes Renyaan,


Cornelis Yennu, Rosalia Rumnyan
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bintuni
E-mail: balubunivan@gmail.com

ABSTRAK

Munculnya tanah adat pada awalnya dikarenakan masyarakat sebagai peramu


hutan yang membuka hutan dan menggarapnya lalu diklaim sebagai tanah adat.
Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian penulis maka dapat diketahui faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah adat di Kabupaten Manokwari,
yakni adanya penjualan ganda, pelepasan hak atas tanah diluar kewenangnnya, adanya
tuntutan ganti rugi atas penjualan tanah oleh marga atau kelompok lain, tanah adat
yang sudah dilepaskan tidak dapat didaftarkan ataupun disertifikatkan karena adanya
keberatan dari pihak lain. Masalah tumbuhan yang turnbuh diatas tanah bisa diklaim
oleh pihak lain, masalah status tanah dan nilai ekonomis tanah.
Setiap munculnya sengketa tanah adat pada dasarnya peneyelesaiannya diutamakan
melalui jalur musyawarah ataupun melalui mediasi dengan perantaraan pihak
Pertanahan setempat dan melibatkan dewan adat setempat. Namun ada pula sengketa
tanah adat yang penyelesaiannye melalui jalur pengadilan. Dan biasanya yang
melalui jalur pengadilan selalu kalah dikarenakan tidak adanya referensi yang kuat
untuk dijadikan afat bukti dalam persidangan bahwa tanah tersebut merupakan
tanah adat mereka.
Pemerintah daerah harus terus berkordinasi dengan Dewan Adat sebagai wadah untuk
mengatur hubungan antar masyarakat adat. Untuk pemberian jaminan kepastian hukum
atas tanah adat yang telah dilepaskan pemerintah kuamg bersikap tegas sehingga masalah
tanah adat terus saja terjadi.
Kata kunci: Sengketa, Tanah Adat.

I. PENDAHULUAN

Sebelum berlakunya Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 tahun


1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di Indonesia berlaku dua
macam hukum yang menjadi dasar bagi hukum pertanahan yaitu hukum adat dan
hukum barat. Namun dengan adanya Undang-Undang ini yang telah meletakan
dasar hukum Agraria nasional sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum
UUPA bahwa tujuan pokok UUPA adalah:
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional untuk
membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat,
terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan.

100
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

3. Meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas


tanah bagi rakyat seluruhnya.
Maka dengan adanya UUPA ini telah menghapuskan dualisme hukum dan
terciptanya suatu kesatuan hukum di bidang agraria.
Masalah tanah merupakan masalah yang senantiasa menarik perhatian oleh
karena masalah tanah menyangkut berbagai aspek kehidupan dan penghidupan
masyarakat. Namun dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan tanah dan
tanah sebagai ruang Iingkup yang tetap, sementara manusia setiap saat bertambah
jumlahnya, menimbulkan keinginan manusia untuk memiIiki dan menikmatinya
guna memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya tersebut maka tidaklah mengherankan jika dalam kenyataan masih sering
terjadi hal - hal yang pelaksanaannya tidak sesuai dan tidak mengikuti aturan-aturan
yang berlaku. Hal ini dapat kita lihat pada masalah pengalihan hak atas tanah
dimana masyarakat pada umumnya kurang memperhatikan tata cara dan peraturan
mengenai bagaimana seharusnya mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang iain.
Di sisi lain masalah pertanahan tersebut muncul apabila kepastian hukum
atas tanah disangkal keberadaannya oleh pihak lain. Dan sehubungan dengan hal
ini maka perhatian terhadap suatu proses teriadinya suatu hak atas tanah memegang
peranan yang amat penting dan sering pula terjadi penyalahgunaan hak, antara lain
dengan adanya penguasaan tanah tanpa penguasaan alas hak yang sah.
Bertambahnya jumlah penduduk dan adanya kecenderungan berkurangnya
tanah untuk digarap akan menimbulkan permasalahan permasalahan di bidang
Sosial ekonomi dan politik.
Kebutuhan tanah untuk keperluan pembangunan harus pula mendapat
perhatian dalarn rangka mencapal masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila, dan karena itu harus pula diusahakan adanya keseimbangan antara
keperluan tanah untuk kepentingan perorangan dan kepentingan orang banyak.
Selain dari permasalahan-permasalahan tersebut yang diatas, masih terdapat
permasalahan-permasalahan dibidang pertanahan sebagai akibat dari peninggalan
zaman kolonial Belanda yaitu belum diperolehnya jaminan dan kepastian hak atas
tanah adat yang dikuasai clan perorangan atau keluarga/kaum sebagai akibat dari
tanah-tanah adat yang tidak rnempunyai bukti tertulis, maka dalam proses
pansertifikatannya sering terjadi masalah-masalah berupa sengketa, baik dalam hal
batas tanah maupun sengketa mengenai siapa-siapa yang sebenarnya berhak atas
tanah tersebut.
Masalah tanah seperti ini, tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia
terutama di daerah yang masih kuat hukurn adat pertanahannya. Hal ini tidak
terkecuali di daerah Papua Barat khususnya di daerah Kabupaten Manokwari yang
mempunyai unsur yang khas dimana permasalahan tanah adat di daerah ini yang
rnempunyai sedikit perbedaan dengan daerah lain: Perbedaan tersebut jika ditinjau
dari segi pemilikan tanah dan penguasaan tanah yakni berdasarkan asas pemilikan
atas nama marga dan asas pewarisan yang bersifat patrilineal.
Pandangan masyarakat adat mengenai hak atas tanah terutama hak milik,
sebagai hak yang paling kuat dan dipergunakan dengan anggota masyarakat adat
yang berada dalam lingkungan wilayah masyarakat tersebut. Pemilikan tanan sesuai
dengan nilai-nilai adat yang hidup dan berkembang dalam kebudayaan masyarakat

101
P-ISSN: 1979-7087

adat. Hak ulayat di Papua pada umumnnya dan di Kabupaten Manokwari pada
khususnya merupakan hak milk dari masyarakat adat atas bumi. air dan ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk keberadaan
masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 UUPA
Nomor 5 tahun 1960 yang menyatakan bahwa:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan
hak ulayat den hak-hak serupa itu dari masyarakat hukurn adat sepanjang
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi.
Sehubungan dengan hal ini bahwa belum diperolehnya jaminan dan
kepastian hak atas tanah adat yang dikuasai oleh perorangan atau keluarga sebagai
akibat dari tanah-tanah adat yang tidak mempunyai bukti yang dapat dipertanggung
jawabkan. Maka dalam proses pensertifikatannya sering terjadi masalah-masalah
berupa sengketa, baik dalam hal batas tanah maupun sengketa yang melibatkan
orang-orang yang mengaku memiliki tanah tersebut.
Sehubungan dengan hak milik, perlu dijabarkan tentang hak milik
masyarakat hukum adat yang tidak terbatas pada sumber daya tanah tetapi meliputi
sumber daya alam lainnya seperti kelautan, pertambangan, perairan, pertanian,
perkebunan, kehutanan dan lingkungan hidup secara keseluruhan dalam berbagai
ekosistem yang berkaitan dengan keberadaan persekutuan masyarakat hukum adat.
Lebih lanjut mengenal hak milik atas tanah adat, terdapat pandangan dalam
masyarakat adat di Biak bahwa hak. milik atas tanah adat tidak dapat diperjual
belikan. Hak tersebut hanya dapat dialihkan fungsinya kepada orang lain dan tidak
menghapuskan hak kepemiiikan atas tanah tersebut. Menurut pandangan
masyarakat adat di Biak bahwa kepemilikan atas tanah hanya dapat beralih kepada
keturunan dari mereka. Peralihan fungsi penggunaan tanah tanpa harus memiliki
tanah tersebut karena dalam pandangan masyarakat adat setempat bahwa
kepernilikan atas tanah adat mereka merupakan hak yang paling tinggi. Namun
pada kenyataannya banyak dari tanah adat yang telah beralih hak kepemilikannya
pada orang iain. Hal inilah yang memunculkan sengketa, karena ada tanah adat yang
telah dijual kepada orang lain oleh salah satu marga ataupun anggota dari marga
tersebut namun dilain pihak ada anggota lain dari marga yang sama ataupun
keturunannya yang mengaku masih memiliki tanah tersebut. Banyak dari tanah adat
yang dikuasai oleh perorangan dan marga yang dijual kepada orang lain, dan yang
biasanya yang menjual tanah adat tersebut yakni orang atau anggota masyarakat
adat yang merasa memiliki tanah adat tersebut ataupun orang yang paling dituakan
dalarn suatu marga, dan hal inilah biasanya muncul sengketa tanah adat yang
bersifat horizontal yang menyangkut sengketa mengenai kepemilikan tanah.
Berdasarkan uraian dan kenyataan di atas maka formulasi rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya sengketa tanah adat di
Kabupaten Manokwari?
2. Upaya upaya apa sajakah yang ditempuh oleh para pihak yang bersengketa
dalam penyelesaian sengketa tanah adat di kabupaten Manokwari?

102
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

3. Sejauh mana upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum bagi


masyarakat adat dan bagi tanah adat yang telah dilepaskan?

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Peradilan di Indonesia

1. Sistem Peradilan di Indonesia


Peradilan merupakan suatu proses yang ditempuh dalam mencari dan
menemukan keadilan dengan perantaraan hakim. Prosedur dari peradilan kita kenal
dengan nama hukum acara. Yang mana hukum acara meliputi hukum acara perdata
dan hukum acara pidana. Badan yang mewadahinya disebut dengan lembaga
pengadilan.
Di Indonesia sendiri, sistem peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan
Eropa Kontinental. Hal ini dikarenakan Indonesia sebagai negara bekas jajahan
Belanda yang juga menganut sistem peradilan yang sama. Sementara itu sementara
itu dikenal pula sistem peradilan yang lain yakni sistem peradilan Anglo Saxon.
Pada prinsipnya sistem peradilan Indonesia berdiri sendiri atau bersifat
independent. Hal ini sesuai dengan pasal 1 UU no 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman bahwa:
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyefenggarakan peradifan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Kekuasaan kehakiman yank merdeka ini mengandung pengertian didalamnya
bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan
negara lainnya atau pihak - pihak diivar kekuasaan kehakiman terkecuali ditentukan
lain oleh UU. Sedangkan dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi seperti yang termuat dalam pasal 2 UU nomor 4 tahun 2004.
Sistem peradilan di Indonesia dibedakan atas peradilan umum dan peradilan
khusus. Peradilan urnum menangani masafah mengenai pidana dan perdata untuk
orang-orang pada umumnya sedangkan peradilan khusus mefiputi Peradilam Agama,
Peradifan Mifiter, Peradilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi.
Dulunya banyak terdapat pengadilan adat yang tersebar hampir di seluruh
wilayah Indonesia, tidak terkecuali pengadilan adat atau swapraja di Irian. Namun
setelah ditetapkannya peratuuan presiden no 6 tahun 1966 yang telah diundangkan
menjadi UU no 5 tahun 1966 maka pengadilan adat atau swapraja di Irian di bubarkan
dan dibentuk Pengadilan Negeri di Irian barat.
2. Lingkungan Peradilan Umum
Peradilan Umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan umumnya (pasal 2 UU no.2 tahun 2004 tentang Peradilan Umum).
Peradilan umum disini yakni meliputi Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.

103
P-ISSN: 1979-7087

Namun ada peradilan umum tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan


seperti pengadilan falu fintas dan pengadilan ekonorni.
Pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan Negeri pada
tingkat pertama yang mewadahi wilayah kabupaten atau kotamadya dan
Pengadilan Tinggi pada tingkat banding yang sebuah Mahkamah Konstitusi
seperti yang termuat dalam pasal 2 UU Nomor r 4 tahun 2004.
Sistem peradilan di Indonesia dibedakan atas peradilan umum dan peradilan
khusus. Peradilan urnum menangani masafah mengenai pidana dan perdata untuk
orang-prang pada umumnya sedangkan peradilan khusus meliputi Peradilam Agama,
Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi.
Dulunya banyak terdapat pengadilan adat yang tersebar hampir di seluruh
wilayah Indonesia, tidak terkecuali pengadilan adat atau swapraja di Irian. Namun
setelah ditetapkannya peraturan presiden no 6 tahun 1966 yang telah diundangkan
menjadi UU no 5 tahun 1966 maka pengadilan adat atau swapraja di Irian di bubarkan
dan dibentuk Pengadilan Negeri di Irian barat.
3. Lingkungan Peradilan Umum.
Peradilan Umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan4 pada umumnya (pasal 2 UU No,2 tahun 2004 tentang Peradilan
Umum). Peradilan umum disini yakni meliputi Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi. Namun ada peradilan umum tidak menutup kemungkinan adanya
pengkhususan seperti pengadilan falu lintas dan pengadilan ekonorni.
Pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan Negeri pada
tingkat pertama yang mewadahi wilayah kabupaten atau kotamadya dan
Pengadilan Tinggi pada tingkat banding yang berkedudukan di ibukota propinsi
yang mewadahi wilayah propinsi, yang mana semuanya berpuncak pada
Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung sebagai peradilan negara tertinggi dan sebagal puncak dart semua
peradilan, Mahkamah Agung metakukan pengavvasan tertinggi atas pengaciiian
dibawahnya, menurut ketentuan yang di tetapkan oleh UU.

B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Mengenai tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa hukum ini telah diatur
secara konkret, oleh karena itu penyelesaian kasus perkasus biasanya dilakukan dengan
pola penyelesaian yang seragam yakni melalui jalur litigasi dan ada jalur lainnya yang
berbeda prosedurnya yakni melalui jalur non litigasi.
Lazimnya penanganan sengketa diselenggarakan dengan pola yakni adanya
permohonan dari pihak yang merasa berhak atas tanah sengketa, laiu dilanjutkan
dengan penelitian olah pihak yang berwenang apakah pengaduan tersebut beralasan
atau tidak untuk ditindak lanjuti. jika ditemukan bahwa pengaduan tersebut
beralasan lalu dilanjutkan dengan pencegahan mutasi. Dalarn hal ini yakni untuk
menghentikan untuk sementara segala bentuk perubahan atas objek sengketa.
Kemudian dilanjutkan dengan musyawarah oleh para pihak. Disini para pihak
memillh menyelesaikan sengketa tersebut melalui jalur pengadilan atau jalur
alternatif lainnya.

104
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

1. Penyelesaian sengketa secara altematif


a. Mediasi yakni salah satu bentuk penyelesaian sengketa secara alternatif yang
mana suatu proses negosiasi untuk memecahkan masatah melalui pihak tuar yang
tidak memihak dan netral yang akan bekerja dengan pihak yang bersengketa
untuk membantu menemukan solusi dalam penyelesaian secara memuaskan bagi
kedua pihak.
b. Konsiliasi; salah satu bentuk penyelesaian sengketa altematif dengan mana
mempertemukan para keinginan para pihak yang berselisih untuk mencapai
persetujuan dan menyelesaikan perselisihan, atau dapat pupa diartikan
sebagai upaya membawa para pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak secara negosiasi.
c. Negosiasi; salah satu bentuk penyelesaian sengketa dengan jalan proses tawar
menawar dengan japan berunding untuk memberi atau rnenerima pendapat guna
mencapai kesepakatan bersama diantara para pihak.
d. Arbitrase; cara penyelesaian sengketa perdata diluar pengadifan umum uyang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa (pasal 1 (i) UU Arbitrase 30 tahun 1999);
e. Musyawarah; merupakan cara penyelesaian sengketa yang dilakukan
dengan jalan perundingan bersama pihak pihak yang berkepentingan guna
mencapai keputusan atas penyelesaian masaiah.
2. Penyelesaian sengketa secara litigasi atas tanah
Apabila usaha-usaha yang ditempuh oleh para pihak yang bersengketa
mengalami jaian buntu atau ternyata rnasalah masalah prinsipil yang haws
diselesaikan oleh institusi lain yang berwenang misalnya pengadilan, maka
kepada yang bersengketa disarankan mengajukan masalahnya ke pengadilan.
Namun tidak menutup kemungkinan bagi pihak agraria untuk dapat
memutuskan sengketa den'an mengeluarkan suatu keputusan administrasi atau
memberikan solusi lain sesuai dengan kewenangan yang ada berdasarkan
ketentuan perundang undangan yang berlaku.
Jadi pada umumnya, sifat dari sengketa ini adalah karena adanya pengaduan yang
mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak hak lain atas suatu kesempatan /
prioritas atas padanya suatu ketetapan yang merugikan dirinya. Pada akhirnya
penyelesaian tersebut, senantiasa harus memperhatikan ataupun selaiu
berdasarkan kepada peraturan yang berlaku, memperhatikan keseirnbangan
kepentingan-kepentingan para pihak, menegakkan keadiian hukumnya serta
penyefesaian diusahakan harus tuntas.

C. Landasan Hukum Penyelesaian Sengketa Tanah

Sebagaimana diketahui dalam UUPA nomor 5 to can 1960 dalam pasal 2 ayat 2,
mengenai hak menguasal negara atas tanah telah diuraikan bahwa kewenangan-
kewenangan tersebut dart negara berupa:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan
pemetiharaan burnt, air dan ruang angkasa.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan
bumf, air dan ruang angkasa.

105
P-ISSN: 1979-7087

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan


perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Dari wewenang tersebut diatas, walaupun secara tegas tidak diatur, akan tetapi
wewenang untuk memberikan sesuatu hak atas tanah adalah ditangan negara Republik
Indonesia yang diwakili oleh pemerintah Indonesia dalam hal ini Direktur Jenderal
Agraria.
Akibat dari keadaan itu, maka lengkaplah wewenang pemberian hak tersebut
diJakukan oieh pemerintah, sehingga setiap perselisihan maupun persengketaan hakim
atas tanah merupakan pula sebagian dart tugas pemerintah didalam fungsi administrasi.
Sesuai dengan maksud dan tujuan UUPA, khususnya mengenai usaha meletakkan dasar-
dasar dalam rangka mengadakan hukum atas tanah sebagaimana diatur dalam pasal 19,
23, 32 dan 38 UUPA yang menghendaki agar pemerintah menyelenggarakan
pendaftaran tanah yang bersifat "recht kadaster” dengan asas bahwa penguasaan saja
terhadap suatu bidang tanah belum merupakan jaminan bahwa orang tersebut
berhak atas tanahnya.
Dan hal tersebut maka bukan tidak mungkin memunculkan persengketaan hak balk
materill maupun secara formal.
Beberapa ketentuan peraturan yang digunakan sebagi landasan operasionaf dari
fungsf penyetesaian sengketa hukum atas tanah yakni antara lain Peraturan Pemerintah
No. 24 tahun 1997 mengenai pendaftaran tanah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.6 tahun 1972 (pasal 12 dan 14) serta SK Menteri Dalam Negeri No.72 tahun 1981 Jo.
No.133 tahun 1978.
Disamping beberapa petunjuk teknis mengenai penanganan sengketa yakni antara
lain edaran Dirjen Agraria tanggal 4 juti 1968 no.dda 8/4/7/1968 yang ditegaskan kembali
melalui surat edaran tanggai 14 oktober 1981 mengenai penanganan perkara di pengaditan
dan surat edaran tanggal 21 maret 1974 mengenai kebijaksanaan terhadap proses
penelitian, permohonan dan gugatan terhadap surat keputusan pemberian hak. Disamping
itu terdapat pula Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
tentang Pedoman penyelesaian masafah hak ulayat masyarakat hukum adat yang lebih
dikenal dengan Permeneg Agraria / Kepata BPN no. 5 tahun 1999.
Dan hal tersebut rnaka penyelesaian sengketa hukum yang merupakan sebagian dari
tugas-tugas yang hams dipikul oleh Direktorat Jenderal Agraria dalam hal ini Direktorat
pengurusan hak-hak atas tanah, bukan hanya sekedar kewajiban melainkan sudah
merupakan kebutuhan teknis bagi aparatnya yang mernedukan penanganan secara
sungguh-sungguh melalui cara-cara, prosedur dan pola yang konsisten.

D. Kedudukan Tanah Menurut Hukum Adat

Tanah sebagai tempat untuk benaung dalam melaksanakan segala kegiatan


manusia sangatlah panting artinya tidak terkecuali dalam masyarakat hukum adat.
Dikarenakan terdapat pandangan dalam masyarakat hukum adat atas hak atas tanah
yang di pandang secara keseluruhan. Keberadaan ini hubungan erat dengan prinsip
sating ketergantungan. Keberadaan ini memiliki nilai-nilai yang terpusat pada tanah
sebagai kekuatan pangkatan hidup masyarakat adat. Pandangan masyarakat adat atas tanah
adalah hak miliknya yang sifatnya tidak dapat dijual.

106
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

Menurut Soerojo Wignjodipoero (1994:197) ada dua hal yang menyebabkan


tanah memiliki kedudukan yang sangat panting dalam hukum adat yakni:
a. Karena sifatnya; yang mana merupakan satu satunya benda kekayaan yang
meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, tapi masih
bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang menjadi lebih
menguntungkan.
b. Karena faktanya; yakni suatu kenyataan bahwa tanah itu:
1. Merupakan tempat tinggal persekutuan.
2. Memberikan penghidupan kepada persekutuan.
3. Merupakan tempat dirnana para warga persekutuan yang meninggal
dunia di kebumikan.
4. Merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung
persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Tanah Adat

Keberadaan tanah adat di Kabupaten Manokwari lahir pada saat masyarakat


hukum adat membuka hutan dan menggarapnya maka disitulah mereka akan
mengklaim bahwa tanah itu merupakan tanah adat rnereka. Namun pengakuan
tanah tersebut tidak dilengkapi dengan batas tanah dengan jelas dan tegas. Dari
sinilah biasanya muncul perselisihan diantara para anggota masyarakat adat itu
sandiri, dan biasanya tanah adat tersebut dimiliki oleh salah satu marga dan
selanjutnya dibagikan kepada keturunan mereka. Pada saat itu tanah masih bernilai
ekonomis rendah.
Terdapat pula pandangan bahwa generasi tua dan masyarakat adat setempat
tidak ada keinginan untuk menjual tanah adatnya kepada siapapun karena ada niatan
batin antara dirinya dengan tanah. Tetapi di lain pihak generasi rnuda dan
masyarakat adat setempat yang menjual tanah adat tersebut dengan alasan ekonomi.
Hal inilah yang biasanya yang menjadi pertentangan kedalam antara masyarakat
adat setempat sehingga muncui perseiisihan mengenai siapa yang iebih berhak atas
tanah adat tersebut.

B. Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Tanah Adat

Sejak diadakan program transmigrasi oleh pemerintah, banyak transmigran


yang masuk kedalam wilayah Manokwari sebagai tempat untuk mengadu nasib dan
untuk mencari pekerjaan, serta banyaknya proyek yang memerlukan sumber daya
manusia untuk pelaksanaan jalannya pemerintahan dan roda kehidupan ekonomi.
Sejak itu pula muncul keinginan dari para warga pendatang untuk memiliki tanah
sebagai tempat mereka menetap.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan beberapa faktor yang
menyebabkan sengketa tanah adat sebagai berikut:

107
P-ISSN: 1979-7087

1. Nilai ekonomis tanah


Kebutuhan tanah dewasa ini yang dimaksud sebagai rangkaian perluasan
pembangunan nasional baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh
swasta, seperti untuk pembangunan sekolah, pelebaran jalan raya, pembangunan
gedung perkantoran dan lain-lain. Hal ini menyebabkan harga tanah semakin mahal,
sehingga mendorong orang yang beritikad buruk untuk melakukan suatu tindakan
yang seharusnya tidak perlu dilakukan, dengan jalan mengklaim tanah milik orang
lain yang teleh disertifikatkan sebagai tanah adat dari leluhur mereka.
Seperti yang dialami oleh penulis bahwa tanah yang sekarang dimilikinya
dipersoalkan atau dipermasalahkan dari salah seorang warga setempat, yang mengaku
bahwa tanah tersebut merupakan tanah adat, sekarang ini mendapatkan masalah
dikarenakan ada pihak lain yang mengaku memiliki tanah tersebut sebagai tanah adat
dari leluhur mereka. Kondisi ini sering terjadi di Manokwari. Dan tujuan utama dari
pengakuan atas tanah tersebut biasanya untuk meminta ganti rugi atas tanah
yang dikarenakan semakin tingginya nilai jual tanah.

2. Masalah status tanah


Status tanah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sengketa tanah adat
di kabupaten Manokwari. Dalarn hal ini menyangkut pertentangan mengenai
penguasaan dan atau pemilikan atas tanah adat yang oleh salah satu pihak merasa
tanah adat tersebut masih milik mereka karena merupakan warsan leluhur mereka.
Menurut Kepala Badan Pertanahan Nasionai Kabupaten Manokwari
(wawancara tanggal 11 November 2017) bahwa:
"Setiap munculnya sengketa tanah adat kebanyakan dikarenakan status tanah
tersebut yang diakui oleh pihak lain meskipun tanah tersebut telah berpindah
tangan kepada orang lain"
Dan pendapat diatas jelaslah yang menjadi penyebab terjadinya sengketa
tanah adat salah satunya disebabkan oleh masalah status tanah tersebut.
Ada anggota masyarakat adat yang merasa memitiki tanah adat dan menjualnya
kepada prang lain. Setelah itu orang yang telah membeli tanah adat tersebut
mensertifikatkan tanah itu. Setelah beberapa lama mernanfaatkan tanah tersebut maka
akan timbul pengakuan lain dari anggota masyarakat adat lainnya yang mengaku
memiliki tanah tersebut dengan dalih bahwa tanah tersebut merupakan tanah adat. Hal
inilah yang menimbulkan sengketa tanah adat akibat adanya pengakuan pihak
ketiga mengenai status tanah tersebut.

3. Adanya penjualan ganda.


Keberadaan tanah adat di Kabupaten Manokwari memang dianggap oleh
masyarakat adat setempat sebagai ternpat yang memiliki nilai-nilai yang sakral serta
dianggap mempunyai nilai religius karna dapat dijadikan sebagai alat pendamai antara
masyarakat adat yang bersengketa maupun sebagai alat perjanjian diantara dua
karnpung.
Pada dasarnya tanah adat yang mereka miliki berupa tanah adat yang
dikuasai oleh marga tidak dapat dialihkan. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Ketua Dewan Adat Kabupaten Manokwari, Bapak Semuel
Mandacan (wawancara tanggat 10 November 2017) bahwa:

108
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

Keberadaan tanah adat di Kabupaten Manokwari merupakan hal yang sakral dan
tidak dapat dipindah tangankan kepemilikannya kepada siapa pun. Yang dapat
dialihkan dari Tanah adat yakni hanya fungsi dari tanah adat tersebut".
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Ketua Dewan Adat Kabupaten Manokwari
jelaslah sangat berbeda dengan kenyataan yang terjadi. Dalam kenyataannya banyak
tanah-tanah adat yang telah dijual oleh anggota keluarga dan masyarakat adat
setempat, yang mengaku memiliki tanah adat tersebut dan menjualnya kepada orang
lain yang biasanya merupakan warga pendatang tanpa diketahui oleh para
anggota masyarakat adat yang lain. Namun di lain pihak ada anggota masyarakat
adat yang lain yang menjual kembali tanah adat tersebut kepada warga pendatang
lainnya. Biasanya setelah dijual kepada orang lain hasil dari penjualan tersebut hanya
dipergunakan sendiri oleh anggota masyarakat adat yang menjual tanah adat tersebut
untuk keperluannya sendiri. Dan tidak jarang penjualan tanah adat dilakukan lebih
dari dua kali atas objek tanah adat yang sarna. Seperti yang dikatakan oleh salah
seorang responden di Kelurahan Sanggeng Manokwari, Bapak Darwis yang
membeli sebidang tanah adat di Distrik Manokwari Timur, namun ternyata tanah
tersebut telah dijual oleh orang yang sama kepada orang lain sebelumnya. Meskipun
pembelian tanah adat tersebut dilengkapi dengan bukti pembayaran yang sah seperti
kwitansi, namun tetap saja hal ini tidak dapat dihindari karena ketidaktahuan dari
warga alas status tanah tersebut.
Disinilah yang menjadi sumber terjadinya sengketa tanah adat sehingga
penjualan ganda atas tanah adat menjadi salah satu penyebab terjadinya
sengketa tanah.

4. Terjadinya pelepasan hak atas tanah adat diluar kewenangannya.


Keberadaan tanah adat sebagai sesuatu yang sangat bernilai sakral bagi
masyarakat adat di Kabupaten Manokwari merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri
lagi. Tanah adat yang mereka miliki secara marga banyak yang telah dialihkan
kepemilikannya kepada orang lain. Meskipun menurut hukum adat seternpat hal
tersebut sangat dilarang, namun kenyataannya tetap terjadi.
Seringkali sebidang tanah adat yang telah dirniliki oleh masyarakat adat yang
mengatasnamakan marga dialihkan kepemilikannya kepada orang lain oleh kepala
marga dengan bermusyawarah dengan anggota lainnya. Namun di lain pihak sering
pula terjadi pengalihan kepemilikan hak milik atas tanah adat yang bukan oleh kepala
marga tetapi oleh keturunan dari marga tersebut dan mengaku memiliki tanah adat
tersebut tanpa mempedulikan anggota masyarakat adat yang lain dan hal ini biasanya
tanpa sepengetahuan dari kepala adat yang dalam hal ini yakni kepata marga. Iniah
yang meyebabkan pelepasan (pengaiihan) tanah adat diluar kewenangannya
menjadi saiah satu faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah adat.

5. Adanya tuntutan ganti rugi atas penjualan tanah oleh marga ataupun
keturunannya.
Tanah adat yang telah dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain banyak yang
telah di buatkan kepemilikan ataupun sertifikat oleh orang yang telah membeli tanah
tersebut. Namun hal tersebut tidak menjamin terhindar dari segala macam hambatan

109
P-ISSN: 1979-7087

yang muncul setelah diadakannya peralihan tersebut meskipun peralihan dengan jual
beli diadakan didepan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan akta jual beli.
Hal ini dikarenakan seringnya pengalihan tanah adat oleh suatu marga, namun
dikemudian hari muncul pengakuan dari anggota marga lainnya ataupun
keturunan dari marga tersebut yang mengaku masih memiliki tanah tersebut.
Disinilah yang memunculkan persoalan baru mengenai kepemilikan tanah
tersebut. Pada awalnya telah diadakan pengalihan tanah adat. Meskipun pemilik
tanah tersebut telah membuat sertifikat atas tanah yang telah dimilikinya, namun
tidak berarti orang tersebut akan dengan mudah menyelesaikan persoalan ini.
Karena pada umumnya masyarakat adat yang mengaku masih memiliki tanah adat
tersebut meminta tanah tersebut di kembalikan pada mereka ataupun meminta ganti
rugi atas tanah tersebut.
Dan apabila tuntutan dari masyarakat tadi tidak direalisasikan maka tanah
yang menjadi objek persoalan tadi akan mereka dikuasai kembali dengan jalan
memaksa, baik itu berupa pemagaran tanah tersebut maupun pembekuan atas
segala kegiatan yang ada di atas tanah tersebut. Tidak dapat disertifikatkannya
tanah adat yang sudah dialihkan karena adanya keberatan dari pihak tertentu.

6. Tanah adat yang telah dialihkan kepada pihak lain dengan jalan jual beli
Pada urnumnya didaftarkan ataupun disertifikatkan kepada pihak Pertanahan
setempat. Narnun jika hal ini mendapat keberatan darn pihak lain ataupun dari
masyarakat adat lainnya maka sering kali menimbulkan masalah. Hal ini tentu saja
berdampak pada objek tanah itu sendiri karena dengan adanya keberatan dari pihak
lainnya maka segaia macam kegiatan yang akan ditakukan diatas tanah tersebut akan
mengalami hambatan.
Hambatan tersebut dapat berupa pemblokiran jalan masuk menuju tanah
tersebut ataupun penutupan segala aktivitas diatas tanah tersebut. Dan selama
hambatan ini tidak diatasi maka selama itu pula tanah tersebut t idak dapat
dimanfaatkan. Biasanya hambatan ini berupa permintaan ganti rugi atas tanah yang
telah dilepaskan. Hal inilah yang menjadi penyebab terjadinya sengketa tanah adat
akibat dari tidak dapat disertifikatkannya tanah adat yang telah dilepaskan karena
adanya keberatan dari pihak tertentu.

7. Masalah tanaman yang tumbuh diatas tanah bisa diklaim oleh pihak lain
Selain dari persoalan tanah yang dapat diklaim lebih dari dua pihak yang
mengatasnamakan tanah tersebut sebagai tanah adat terdapat pula masalah yang
muncul dari tanaman yang tumbuh diatas tanah tersebut.
Tanah adat yang telah dimiliki oleh masyarakat adat yang mengaku memiliki
tanah tersebut pada umumnya memang memiliki segala yang ada diatas tanah
tersebut. Namun tidak jarang pula dikemudian hari muncul pengakuan dari pihak
lain yang mengaku memiliki tanaman tersebut. Hal ini seperti yang dikatakan oleh
salah seorang responden dari pihak Pertamina Manokwari bahwa ada tanah adat
yang telah dialihkan kepada pihak Pertamina melalui proses juai beli, dimintakan
ganti rugi atas tanaman yang tumbuh diatas tanah tersebut, padahal dalam
kesepakatan sebelumnya, penjuaian tanah tersebut sudah termasuk apa yang ada
di atasnya termasuk tanaman.

110
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

Disinilah yang menimbuikan persoalan baru. Dikarenakan ada pengakuan lain


menyangkut tanaman diatas tanah tersebut, yang bukan merupakan pengakuan dari
penjual tanah itu. Dan persoalan baru akan selesai bila ada pemberian ganti kerugian
atas tanaman yang ada diatas tanah tersebut diluar harga tanah yang telah di
bayarkan. Dan bila tanaman diatas tanah tersebut belum dibayar ganti kerugiannya
maka akan berakibat dibekukannya segala kegiatan diatas tanah tersebut dan tentu
saja hal ini merugikan pemilik tanah tersebut, karena akan terhambatnya aktivitas
yang ada hubungannya dengan tanah tersebut. Sehingga masalah tanaman yang
tumbuh diatas tanah adat tersebut menjadi salah satu penyebab terjadinya sengketa
tanah adat.

C. Upaya yang ditempuh para pihak dalam penyeiesaian sengketa tanah


adat.

Setiap sengketa tanah adat selalu saja merugikan masyarakat itu sendiri. Entah itu
masyarakat adat setempat ataupun masyarakat lainnya yang telah membeli tanah adat
tersebut. Dalam setiap penyelesaian sengketa tanah adat masyarakat yang terlibat
didalamnya menyelesaikannya melalui jalur pengadilan (litigasi) maupun melalui jalur
diluar pengadilan (non litigasi). Namun kadang kala sering masyakat adat setempat
sendiri menyelesaikan sengketa tanah adat mereka. Hal ini disebabkan tidak jelasnya
pemahaman-pemahaman masyarakat adat di Kabupaten Manokwari mengenai sengketa
tanah adat yang kadang kadang bertindak sebagal penyidik yang bertugas menyelesaikan
sengketa tersebut dan kadang sebagai lembaga peradilan yang berfungsi sebagai lembaga
penyelesaian sengketa tersebut dan tidak adanya koordinasi diantara para anggota Dewan
adat.
Berikut ini penulis akan menguraikan upaya yang ditempuh para pihak yang
bersengketa dalam menyelesaikan sengketa tanah adat.
1. Melalui jalur Litigasi Pengadilan
Munculnya sengketa tanah adat di Kabupaten Manokwari seringkali
penyelesaiannya melalui jalur Pengadilan. Hai ini berkaitan erat dengan keyakinan
akan pemilikan tanah yang sesungguhnya oleh pihak tersebut. Narnun pada
kenyataannya sering sengketa tanah adat yang mereka ajukan ke Pengaditan Negeri
selalu kalah disebabkan tidak adanya referensi alat bukti di persidangan sehingga
sulit untuk membuktikan jika benar-benar adanya pelepasan.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ketua Pengadilan Negeri
Manowkari, Bapak (wawancara tanggal 15 November 2017):
"Banyak dari sengketa tanah adat yang diajukan ke Pengadilan Negeri
Manokwari oleh para pihak yang rnerasa memifiki tanah adat tersebut
seringkali kafah jika diperhadapkan ke persidangan dikarenakan tidak adanya
alai bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa tanah adat tersebut betul-
betul miiik mereka dengan alas hak yang sah".
Sehubungan dengan hal tersebut bahwa tidak adanya alas hak yang sah alas
tanah tersebut maka pihak yang merasa memiliki tanah adat tersebut seharusnya
membuatkan suatu surat yang menyatakan bahwa tanah tersebut rnerupakan tanah
adat kepunyaan mereka. Disamping itu dalam pelepasan tanah adat yang telah
dilakukan kepada pihak lain oleh pihak yang merasa memiliki tanah adat tersebut

111
P-ISSN: 1979-7087

seharusnya dibuatkan surat pemyataan bahwa tanah tersebut beserta isinya betel milik
mereka.
Berdasarkan keadaan jumlah perkara tanah dan perkara tanah adat yang masuk ke
Pengadilan Negeri Manokwari maka lebih dominan perkara tanah adat. Jika suatu
sengketa tanah adat dilimpahkan ke Pengadilan Negeri maka dalam cara
mengajukan gugatan harus diperhatikan dengan seksama oleh penggugat, bahwa
gugatannya harus ditujukan kepada badan peradilan yang benarbenar berwenang
untuk mengadili persoalan tersebut karena hukum acara perdata mengenal dua
macam kewenangan yaitu:
a. Wewenang mutlak
Yakni wewenang badan Pengadilan dalarn memeriksa jenis perkara tertentu
secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh pengadilan lain, baik dalam lingkungan
peradilan yang sama maupun dalam lingkungan peradilan lain.
b. Wewenang relative
Yakni wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu
yang secara relative dapat diperiksa oleh pengadilan lain sepanjang masih
dalam lingkungan peraditan yang sama. Biasanya wewenang relative
menyangkut tempat tinggai dimana tergugat itu tinggat.
Disamping memperhatikan tentang kewenangan pengadilan, selanjutnya
diperhatikan pula mengenai isi dari gugatan itu. Isi gugatan pada pokoknya
harus memuat
a. Identitas para pihak. Yang dimaksud dengan identitas para pihak yakni ciri-ciri
pada penggugat dan tergugat, yaitu nama serta tempat tinggalnya, umur serta status
perkawinannya.
b. Fundamentum petendi atau dasar tuntutan
yakni bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau pertstiwa dan
bagian yang menguraikan tentang hukumnya. Uraian tentang kejadian merupakan
penjelasan duduknya perkara, sedang uraian tentang hukum ialah uraian tentang
adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis daripada tuntutan.
c. Petitum atau tuntutan yakni apa yang oleh penggugat diminta atau diharapkan
agar diputuskan oleh hakim.
2. Melalui jalur non litigasi (alternative)
Setiap munculnya sengketa tanah adat para pihak yang bersengketa sebaiknya
menempuh; Nur penyeiesaian sengketa lain diluar jalur pengadilan agar lebih
menghemat waktu serta tenaga dan juga tidak merugikan siapapun. Begitu pula untuk
sengketa tanah adat yang terjadi di Kabupaten Manokwari yang penyelesaiannya
melalui jalur diluar pengadilan tersebut.
Hal ini terjadi pada beberapa kasus sengketa tanah adat yang mefibatkan
pihak terkait sebagai perantara guna mempertemukan para pihak yang
bersengketa guna mencapai kesepakatan yang menguntungkan para pihak. Dan
biasanya jalur alternative yang dipakai untuk penyelesaian sengketa tanah adat
tersebut dengan jalan musyawarah diantara para pihak ataupun melalui jalur
mediasi dengan melibatkan mediator.
Penyelesaian sengketa tanah adat melalui jalur mediasi selalu melibatkan
pertanahan dengan tujuan agar diadakan pengukuran guna mengetahui asal usul
dan luas tanah tersebut. Guna menghindari munculnya sengketa dikemudian hari

112
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

menyangkut batas tanah tersebut dan mengenai siapa-siapa yang berhak atas tanah
tersebut maka pihak Pertanahan sebagai mediator mempertemukan para pihak yang
mengaku memiliki tanah tersebut dengan jalan bermusyawarah serta pula melibatkan
dewan adat setempat. Biasanya penyelesaian melalui jalur ini menghadirkan saksi dari
marga lainnya yang tidak terlibat datam sengketa tersebut.
Dan setelah ditemukan titik temu yang menguntungkan para pihak, maka
dibuatkan suatu surat pernyataan mengenai hasil dari pertemuan ini dan ditanda tangani
oteh ke empat betas marga tersebut agar dikemudian hari tidak rnuncul sengketa bare
menyangkut keberadaan tanah tersebut.
Setelah diketahui batas-batas tanah yang sesungguhnya maka setiap saat dapat
dilakukan pelepasan tanah adat tersebut kepada orang lain. Adapun mekanisme
pelepasan tanah adat yakni:
a. Lokasi tanah dibuatkan sket dasar lalu kemudian diterbitkan surat
keterangan luran atau kepaia desa yang menerangkan kepemilikan
tanah.
b. Kesepakatan pemilik tanah dan pembelinya dan dihadapkan kepada
Kepala Dsitrik setempat dengan dibuatkan berita acaranya.
c. Seteiah itu diajukan permohonan pengukuran ke BPN untuk didaftarkan
dan dibuatkan sertifikat.
Selanjutnya setelah diadakan pelepasan maka dapat dilanjutkan dengan
permohonan pensertifikatan tanah adat tersebut. Dan mekanisme pensertifikatan
tanah dapat meliputi:
a. Secara rutin
Yakni pensertifikatan tanah melalui prosedur yang biasa yakni melalui
permohonan, pemeriksaan sket, pengecekan lokasi, pengukuran,
pemeriksaan, proses SK, diterbitkan sertifikat.
b. Secara Prona Proyek Operasional Nasional Agraria
Yakni suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah dibidang
pertanahan pada umumnya dan di bidang pendaftaran tanah pada
khususnya yang berupa pensertifikatan tanah secara massal dan
penyelesaian tanah yang sifatnya strategis. Prosedurnya biasanya
diajukan oleh lurah secara kolektif.
c. Secara P3HT (Peningkatan Penertiban Pemberian Hak Atas Tanah)

D. Upaya Pemerintah dam Memberikan Perlidungan Hukum bagi


masyarakat adat dan bagi Tanah Adat yang telah dilepaskan.

Setiap munculnya sengketa tanah adat kadang pemerintah daerah


setempat kurang memberikan perlindungan bagi masyarakat yang telah
membeli tanah adat yang teiah dilepaskan oleh masyarakat adat yang memiliki
tanah adat tersebut. Hal inilah yang biasa rnenjadi akar muncul sengketa tanah
adat. Pemerintah perlu berkordinasi dengan Dewan Adat untuk mewadahi segala
macam yang berhubungan dengan adat mereka termasuk didalamya penyelesaian
sengketa tanah adat. Namun keberadaannya terasa kurang optimal kinerja dari
Dewan Adat tersebut. Di satu pihak Dewan Adat hanya sebagai penengah jika
muncul sengketa tanah adat yang melibatkan dua atau lebih marga.

113
P-ISSN: 1979-7087

Seharusnya pemerintah memberikan jaminan akan tanah yang telah


dilepaskan kepada orang lain agar tidak muncul sengketa tanah yang
mengatasnamakan tanah tersebut sebagai tanah adat. Dan hendaknya jaminan dari
pemerintah ini tidak hanya bersifat wacana namun dapat diwujudkan dengan
tindakan nyata agar dikemudian hari tidak ada lagi sengketa tanah yang
mengatasnamakan bahwa tanah tersebut merupakan tanah adat.
Seharusnya setiap ada sengketa tanah adat, pihak Pertanahan melalui pihak
kepolisian dapat mencegah terjadinya hal tersebut, namun pada kenyataannya tidak
ada yang dapat dilakukan. Hal ini terus saja terjadi dikarenakan tidak adanya
ataupun kurangnya upaya dari Pemerintah Daerah setempat untuk memberikan
jaminan atas kepemilikan tanah yang telah dimiliki seseorang yang merupakan
tanah dari hasil pelepasan tanah adat. Salah satu yang menyebabkan hal tersebut
terus saja terjadi disebabkan oleh rnasih tingginya rasa kebersamaan antara sesama
dari mereka dan juga karena pandangan yang sama akan nilai pada tanah adat milk
leluhur mereka. Dan secara tidak langsung pemerintah daerah setempat sepertinya
terus saja mengabulkan apa yang menjadi tuntutan dari masyarakat adat setempat
untuk memberikan ganti kerugian ataupun memberikan kepada pemilik tanah
yang baru agar membayar ganti kerugian tersebut.
Sudan pastilah apabila hal ini terus saja dibiarkan tanpa ada upaya yang nyata
dari pemerintah daerah setempat untuk menghindari terjadinya hal ini berulang-
ulang maka dibutuhkan jalan keluar yang kiranya tidak merugikan pihak. manapun.

IV. PENUTUP

Munculnya tanah adat pada awalnya dikarenakan masyarakat sebagai


peramu hutan yang membuka hutan dan menggarapnya lalu diklaim sebagai tanah
adat.
Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian penulis maka dapat diketahui
factor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah adat di Kabupaten
Manokwari, yakni adanya penjualan ganda, pelepasan hak atas tanah diluar
kewenangnnya, adanya tuntutan ganti rugi atas penjualan tanah oleh marga atau
kelompok lain, tanah adat yang sudah dilepaskan tidak dapat didaftarkan ataupun
disertifikatkan karena adanya keberatan dari pihak lain. Masalah tumbuhan yang
turnbuh diatas tanah bisa diklaim oleh pihak lain, masalah status tanah dan nilai
ekonomis tanah.
Setiap munculnya sengketa tanah adat pada dasarnya peneyelesaiannya
diutamakan melalui jalur musyawarah ataupun melalui mediasi dengan perantaraan
pihak Pertanahan setempat dan melibatkan dewan adat setempat. Namun ada pula
sengketa tanah adat yang penyelesaiannye melalui jalur pengadilan. Dan biasanya
yang melalui jalur pengadilan selalu kalah dikarenakan tidak adanya referensi yang
kuat untuk dijadikan afat bukti dalam persidangan bahwa tanah tersebut merupakan
tanah adat mereka.
Pemerintah daerah harus terus berkordinasi dengan Dewan Adat sebagai
wadah untuk mengatur hubungan antar masyarakat adat. Untuk pemberian jaminan

114
PATRIOT Volume 12 Nomor 2 Desember 2019

kepastian hukum atas tanah adat yang telah dilepaskan pemerintah kuamg bersikap tegas
sehingga masalah tanah adat terus saja terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Nasution S. 1992. Metode, Penelitian Naturalistik – Kualitatif. Transito, Bandung.
Soerjono Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta
Sudikno Mertokusumo. 2006. Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar). Liberty,
Yogyakarta.
Sumardjono Maria SW.1996. Pedoman Pembuatan Usulan Peneltian, Sebuah
Panduan Dasar. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA
Undang-Undang No 30 Tahun 1999 Tentang Penyelesaian Sengketa Alternatif
Arbitrase.
Undang-Undang No 2. Tahun 2004 tentang Peradilan Umum
Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 mengenai Pendaftaran tanah
Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999
tentang Pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum
adat

115

Anda mungkin juga menyukai