Anda di halaman 1dari 12

Nama : Siti Syafa Naila Arsyad

NPM : 110110180144
Mata Kuliah : Hukum Lingkungan / Kelas C
Dosen : Prof. Dr. Hj. Ida Nurlinda, S.H., M.H
Yulinda Adharani, S.H., M.H

ANALISIS KASUS TANAH ULAYAT: SENGKETA TANAH ULAYAT KAUM


OLEH MASYARAKAT ADAT DI NAGARI SUPAYANG KECAMATAN
SALIMPAUNG KABUPATEN TANAH DATAR (SENGKETA TANAH KAUM
DATUK TIANSO DAN KAUM DATUK CUMANO)

PENDAHULUAN
Tanah sebagai sumber daya alam yang dimanfaatkan manusia terkhususnya bagi
masyarakat hukum adat dikarenakan sumber penghasilan terbesar mereka untuk
kebutuhan hidup bersumber dari pemanfaatan tanah.1 Berdasarkan Penjabaran Pasal 33
ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia mengenai tanah diatur
dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria atau Undang – Undang Pokok Agraria. Prinsip yang mendasari UUPA, yaitu
bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
pada tingkat tertinggi dikuasai negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.2
Berkenaan dengan tanah ulayat diatur dalam Undang – Undang Pokok Agraria
Pasal 3 yang berisikan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat – masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
haruslah sesuai dengan kepentingan nasional dan negara serta tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi. Tanah ulayat
sendiri merupakan tanah wilayah hukum adat tertentu dimana tanah persekutuan ini
bukan untuk diperjual belikan melainkan sebagai aset persukuan. Menurut Maria S. W.
Sumardjono, pengakuan hak ulayat merupakan wajar, karena hak ulayat beserta
masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik

1
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2008, hlm.187
2
Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Indonesia.3 Masyarakat hukum adat dan tanah ulayat mempunyai hubungan erat satu
sama lain. Hubungan hukum diantara hukum adat dengan tanah ulaya menciptakan hak
yang memberikan masyarakat hak yang memberikan masyarakat sebagai suatu
kelompok hukum, hak untuk menggunakan tanah bagi keuntungan masyarakat. Hak
tersebut bersifat asli dan utama dalam hukum tanah adat dan meliputi semua tanah di
lingkungan masyarakat adat dan dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat
tersebut.4
Tanah ulayat yang melekat pada masyarakat hukum adat dikelola dengan
berbagai banyak cara yang bergantung pada hasil musyawarah masyarakat ada
setempat, karena menjadi hal wajar apabila keberadaan dan pengolahan tanah ulayat
menjadi konflik dalam masyarakat. Dalam ketentuan hukum ada, hak ulayat tidak dapat
dilepaskan, dipindah tangankan, atau diasingkan secara tetap atau selamanya. Terlebih
lagi, objek dari hak menguasai negara dalam kenyataannya sering mengalami
permasalahan dalam pelaksanaan hak menguasai negara pada tanah – tanah hak ulayat.
Ketidakpastian kedudukan dan eksistensi masyarakat adat menjadi titik pangkal
permasalahan sehingga keberadaan tanah ulayat kerap kali memicu terjadinya konflik di
masyarakat. Sengketa tanah yang muncul ke permukaan sebagian besar akibat dari
pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan infrastruktur, industri, perumahan,
pertanian, maupun perkebunan dengan skala besar. Pengadaan tersebut dengan
menggunakan lokasi tanah masyarakat adat yang dilakukan secara tidak bijaksana
sehingga menimbulkan sengketa tanah yang masih belum terselesaikan. Lebih lanjut,
sengketa atas tanah dapat terjadi disebabkan oleh tumpang tindihnya peraturan
perundang – undangan, khususnya paada Undang – Undang Pokok Agraria yang
memang pada awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di
Indonesia menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial adanya pertentangan
dengan terbitnya berbagai peraturan perundang – undangan sektoral, misalnnya Undang
– Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang – undang sektoral
tersebut memiliki status dan posisi yang sama dan menjadikan tanah sebagai obyeknya.
Sehingga tidak jarang adanya benturan untuk penggunaan dan penafsiran yang berbeda
– beda atas konflik yang terjadi perihal penguasaan tanah.
3
Maria S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Jakarta: Kompas, 2007, hlm. 54
4
Gusliana HB, “Pola Perlindungan Hutan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Melayu Riau di
Provinsi Riau”, Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Riau, Vol. 2, No. 1, Februari 2011,
hlm.115
Berdasarkan Undang – Undang Pokok Agraria sebagai hukum positif tentang
pedoman penyelesaian sengketa hukum adat, hak ulayat masyarakat bisa dipergunakan
menjadi pedoman dalam daerah melaksanakan urusan mengenai tanah terkhususnya
hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat, senyata – nyatanya masih ada di
daerah yang bersangkutan.
Persengketaan tanah ulayat antar kaum dialami masyarakat adat di Nagari
Supayang Kecamatan Salimpaung Kabupaten Tanah Datar adalah perebutan harta
pusataka yaitu tanah rumah yang berakibat pada pertengkaran antara pihak kaum Datuk
Cumano (Suku Parikcancang Piliang) dan Datuk Tianso (Suku Salo Caniago). Sengketa
tersebut didahului oleh berdirinya sebuah rumah dan dahulunya dikuasai oleh Anwar
Zen dan istrinya Liana. Dimana Anwar Zen adalah kaum dari Datuk Rajo Penghullu
Perak dari suku Salo Caniago dan Liana adalah kaum dari Datuk Cumano dari suku
Parikcancang Piliang.5 Setelah Anwar Zen meninggal dunia, tanah tersebut dikuasai
oleh anak Anwar Zen, yaitu Nursida dan adik-adiknya (kaum Datuk Cumano). Mereka
menganggap harta tanah dan rumah tersebut adalah punya orang tua mereka, karena
mereka merasa bahwa orang tuanya telah banyak mengeluarkan biaya untuk rumah
tersebut. Sementara dari pihak Datuk Tianso (Suku Salo Caniago) menyatakan bahwa
tanah rumah tersebut adalah milik kaum suku Salo Caniago dan kedua pihak sama-sama
menyatakan berhak atas rumah tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka selanjutnya penulis akan menjelaskan lebih
lanjut mengenai kedudukan antara pihak kaum suku Salo Caniago dan anak-anak dari
Anwar Zen sesuai dengan asas pengakuan hak ulayat dan hak penguasaan oleh negara.

METODE
Penelitian ini tergolong kedalam jenis penelitian Hukum Yuridis Sosiologis
yaitu penelitian terhadap efektivitas hukum yang sedang berlaku atau penelitian
terhadap identifikasi hukum di tengah masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini
mampu mengungkapkan efektivitas berlakunya hukum adat dalam masyarakat
Minangkabau, yaitu dengan mengidentifikasi hukum adat yang tidak tertulis yang
berlaku pada masyarakat. Penelitian ini dimaksudkna untuk memahami dan mencari

5
Mas’oed Abidin, Adat dan Syarak di Minangkabau, Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM)
Sumatera Barat, Padang, 2004, hlm.144
fakta-fakta yang terjadi pada objek penelitian sehingga dapa memahami arti suatu
peristiwa dan kaitannya dengan orang-orang yang berada dalam situasi tersebut.

PEMBAHASAN
Dalam adat Minangkabau, sebagian besar wilayah memiliki status harta warisan.
Dari tanah ulayat, lahan yang tak dimanfaatkan secara permanen di pertanian dan
sebagian besar lahan hutan yang tidak dikenal yang dalam pengelolaan dewan desa,
selebihnya telah dibudidayakan dari generasi ke generasi dan telah menjadi warisan. 6
Kekayaan dalam bentuk tanah dalam tradisi adat Minangkabau dikategorikan ke dalam
beberapa bentuk, harato pusako (harta pusaka), tanah rajo dan tanah ulayat. Harato
pusako sendiri dimiliki oleh setiap kaum dalam suatu suku dan telah diwariskan melalui
beberapa generasi.
Harato pusako di Minangkabau dibagi menjadi dua macam, yakni:7
a) Harato Pusako Tinggi (Harta Pusaka Tinggi); merupakan hak
milik bersama dari suatu kaum yang memilik tali darah dan diwarisi
secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu, serta berada di
bawah pengolahan mamak kepala waris atau lelaki tertua dalam
kaum
b) Harato Pusako Rendah (Harta Pusaka Rendah); merupakan
warisan yang ditinggalkan oleh seseorang pada generasi pertama,
karena ahli warisnya masih sedikitlah harta ini dipandang masih
rendah. Sehingga dapat dilakukan kesepakatan bersama untuk
memanfaatkannya seperti dijual atau dibagikan di antara mereka

Tanah ulayat dan pemanfaatannya (TUP) diatur dikategorikan dalam Peraturan


Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 yakni:8
a) Tanah Ulayat Nagari adalah tanah ulayat beserta sumber daya
alam yang ada diatas dan didalamnya merupakan hak penguasaan

6
Franz von Benda-Beckann, Keeber von Benda-Beckmann, Property, Politics, and Conflict: Ambon and
Minangkabaru Compare, Law and Society Review, 28 Law & Society Rev. 589, 1994
7
Erwin, “Pemanfaatan Tanah Ulayat yang Menguntungkan Mayarakat”, Jurnal Antropologi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas, Vol. 24, No. 2 2011, hlm. 4
8
Pasal 7 Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatan
Tanah Ulayat
oleh ninik mamak Kerapatan Adat Nagari (KAN) serta dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat Nagari, sedangkan
pemerintahan Nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk
pemanfaatannya.
b) Tanah Ulayat Suku adalah hak milik atas sebidang tanah beserta
sumber daya alam yang berada diatas dan didalamnya merupakan
hak milik kolektif semua anggota suku tertentu yang penguasaan dan
pemanfaatannya diatur oleh penghulu-penghulu suku.
c) Tanah Ulayat Kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta
sumberdaya alam yang berada diatas dandidalamnya merupakan
hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari jurai atau paruik
yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh mamak jurai atau
mamak kepala waris.
d) Tanah Ulayat Rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta
sumber daya alam yang ada diatas dan didalamnya yang
penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari
garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup di sebagian nagari di
Provinsi Sumatera Barat.

Hak ulayat sendiri memiliki sifat ke luar dan ke dalam. Sifat ke dalam artinya
hak tersebut memperbolehkan kepada anggota persekutuan hukum adat menarik
keuntungan dari tanah dan segala yang tumbuh dan hidup di atasnya seperti mengelola
tanah, mendirikan tempat kediaman, menggembalakan ternak, mengumpulkan bahan
makanan serta berburu dan memancing. Hak ini dibatasi hanya untuk kepentingan
keluarga sendiri. Sifat ke luar maksudnya larangan terhadap orang luar atau orang asing
untuk menarik keuntungan dari tanah tersebut kecuali ada izin terlebih dahulu dari
kepala – kepala adat dan diwajibkan dalam membayar uang pengakuan.9 Hak inilah
yang sebenarnya membatasi kebebasan gerak masyarakat adat sebagai perseorangan dan
pembatasan ini dilakukan demi kepentingan persekutuan sehingga kelestarian tanah
ulayat yang dimaksud dapat terjaga.

9
R. Roestandi Ariwilaga, Hukum Agraria Idonesia dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Masa Baru, 1962,
hlm. 53
Dalam hal ini, konflik yang terjadi di Nagari Supayang apabila dilihat dengan
seksama tergolong dalam dua kategori yaitu konflik yang bersifat horizontal dan konflik
yang bersifat vertikal. Secara horizontal berhubungan dengan hak ulayat kaum internal
masyarakat Nagari seperti konflik tapal batas dan berbagai konflik tanah kaum dalam
Nagari. Secara vertikal melibatkan masyarakat Nagari dengan pemerintahan atau
pemilik modal pada konflik tanah ulayat yang terjadi di Nagari Supayang. Keadaan
tersebut akan berpotensi untuk mengubah status hak atas tanah yang dimaksud menjadi
hak perseorangan/individu. Dengan adanya hak pengelolaan bagi setiap anggota
masyarakat terhadap tanah adat tersebut yang berlangsung terus menerus akan
membawa hak orang atau anggota kau dimaksud semakin menebal, yang pada
gilirannya akan menimbulkan hak-hak lain seperti gadai atau hibab, karena hal ini
sangat jarang untuk dikontrol oleh penghulu atau Ninik-Mamak. Dengan menganut asas
terpisah horizontal, yakni terpisahnya antara tanah dengan ulayat, maka terhadap tanah
ini hanya ada Hak Menguasasi dan Hak Menikmati atas tanah ulayat tanpa dapat
memilikinya.

Mekanisme pendaftaran tanah ulayat yang diatur dalam Peraturan Daerah


Nomor 6 Tahun 2008 telah berimplikasi terhadap berubahnya status hukum tanah
ulayat. Kondisi itulah yang jelas bertolak belakang dengan asas utama tanah ulat
sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (1) Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 yakni:
Tanah ulayat tersebut tidak dapat dijual dan digadaikan. Lebih jauh,
tanah ulayat tidak dapat dialihkan pada pihak lain untuk selama-
lamanya.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 9 menjelaskan bahwa


objek Pendaftaran Tanah meliputi:
a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan dan hak pakai
b. Tanah hak pengelolaan
c. Tanah wakaf
d. Hak milik atas atas satuan rumah susun
e. Hak tanggungan
f. Tanah Negara
Hak ulayat tidaklah masuk ke dalam objek pendaftaran tanah, sehingga
sesungguhnya tidak dapat dilakukan. Pendaftaran tanah ulayat hanya merupakan
kewajiban yang dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan Pasal 19 Undang – Undang
Pokok Agraria yang berisi:
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Pasal ini menjelaskan bahwa tanah ulayat hanya diberikan kepastian hukum oleh
Pemerintah bukanlah hak yang dapat didaftarkan.

Suku Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki sistem
kekerabatan yang berbedan dan langka, disebut dengan sistem kekerabatan Matrilineal
atau Matriakhat.10 Artinya garis atau hubungan keturunan berdasarkan kerabata ibu
sehingga dalam segala perbuatan hukum, setiap anak mengutamakan keturunan Ibu dan
menganggap dirinya sebagai keturunan dari nenek moyang perempuang atau tunggal
ibu serta tidak pindah ke kerabat suami.11

Pola kepemilikan tanah di Suku Minangkabau tidak bersifat individual,


melainkan menjadi milik komunal yaitu suku, kaum dan nagari. Dalam kepemilikan
tanah ulayat menjadi pusaka yang diwariskan turun temurun, yang haknya berada pada
perempuan, namun sebagai pemegang hak atas tanah ulayat tersebut adalah Mamak atau
kepala waris. Pengusasaan dan pengelolaan tanah ulayat sebenarnya bertujuan untuk
melindungi dan mempertahankan kehidupan serta keberadaan masyarat atau eksistensi
kultural.12 Tanah ulayat menjadi tanah kepemilikian komunal, yang penggunaan dan
pendistribusian penggunaannya tunduk pada pengaturan menurut hukum adat sehingga
tidak boleh dan tidak dapat didaftarkan atas nama satu atau beberapa pihak saja.13

Gambaran diatas telah jelas terlihat bahwa kepemilikan dan penguasaan tanah
ulaya di Minangkabau bersifat ‘kolektif dan sekaligus tidak mengenal kepemilikan yang
bersifat mutlak’. Konsekuensinya adalah tidak akan mungkin ada pengalihan ha katas

10
Yulfian Azrial, Budaya Alam Minangkabau, Padang: Angkasa Raya, 2003, hlm. 5
11
Yaswirman, Hukum Keluarga Adat dan Islam: Analisis Sejarah, Karakteristik dan Prospeknya dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau, Padang: Universitas Andalas, 2006, hlm. 17
12
Ibid, hlm. 151-152
13
Erizal Jamal et al, Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan pada Komunitas Lokal, Bogor: Laporan
Penelitian PSB, 2001, hlm. 526
tanah dari orang perseorangan kepada orang lain, bahkan pengalihan hak dari satu kaum
kepada kaum yang lain. Hal yang mendasari kenyataan ini dikarenakan tanah
merupakan wujud dari ikatan lahir batin suatu komunitas masyarakat hukum adat da
sekaligus sebagai aset bersama suatu komunitas masyarakat hukum adat di Minagkabau.
Apabila suatu kaum tidak memiliki tanah ulayat lagi, maka runtuh atau hilanglah
keutuhannya, maka dari itu tanah berfungsi sebagai pengikat antara komunitas
masyarakat hukum adat. Dengan kata lain, tanah ulayat dipertahankan oleh masyarakat
hukum adat Minangkabau atas dara sifat hubungan yang ‘religio – magis – kosmis’.

Undang – Undang Pokok Agraria sebenarnya memberi kebebasan kepada warga


negara Indonesia untuk memiliki penguasaan hak – hak atas tanah, salah satunya adalah
hak milik. Hak milik dapat dimohonkan oleh warga negara Indonesia atas tanah yang
dikuasai oleh negara dimana tercantum dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 16 Peraturan
Menteri Agraria / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Negara dan Hak Pengelolaan (Permen Agraria No. 9 Tahun
1999). Kesempatan yang diberikan oleh negara terhadap tanah yang dikuasai oleh
negara, membuat masyarakat adat menginginkan hak milik atas tanah, namun apabila
yang dimintai adalah tanah ulayat yang sebenarnya milik suatu kaum adat menjadi
permasalahan. Dalam adat Minangkabau, tanah ulayat menjadi harta pusaka yang
dikuasai secara komunal atau bersama – sama.

Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara di Indonesia termuat dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat
Penjelasan otentik tentang pengertian tersebut termuat dalam Pasal 2 Undang – Undang
Pokok Agraria dimana makana “dikuasai” dalam pasal tersebut bukan berarti “dimiliki”,
akan tetapi hak yang memberi wewenang kepada negara mengatur hal – hal yang
bersifat publik, yaitu wewenang untuk mengatur atau regulasi. 14 Hubungan hukum
antara negara dengan tanah melahirkan hak menguasai tanah oleh negara. Hubungan

14
A. P. Parlindungan, Komentar Atas Undang – Undang Pokok Agraria, Bandung: Alumni, 1982, hlm.
11
antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak – hak
perorangan atas tanah.15

Menurut ajaran adat Minangkabau, tanah ulayat merupakan ciri khas adanya
Kaum dan Hukum Adat Minangkabau mengakui bahwa hak yang tertingi terhadap
tanah adalah hak ulayat, yang menjadi rangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang termasuk lingkungan
wilayahnya.16

KESIMPULAN

Dari beberapa pembahasan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa


eksistensi tanah ulayat Minangkabau dapat telihat dari masih adanya penghormatan dari
masyarakat hukum adat Minangkabau itu sendiri. Tanah ulayat dalam adat
Minangkabau sendiri telah diatur dalam Peraturan Daerah Sumatera Barat sehingga
secara hukum telah diakui keberadaannya.

Permohonan tanah ulayat menjadi hak milik dalam hukum adat Minangkabau
memang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi dalam peralihan dari
tanah ulayat menjadi milik perseorangan dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu
yang telah disepakati bersama dngan pemuka adat dan instansi pemerintahan, maka dari
itu berpotensi untuk bisa dijadikan sebagai tanah hak milik adalah tanah ulayat kaum.
Dalam sengketa tanah ulayat antara Kaum Datuk Tianso dan Kaum Datuk Cumano
awalnya diselesaikan dengan cara melalui ninik – mamak / penghulu dari masing-
masing kaum dan tokoh masyarakat adat yang ada di Nagari Supayang tersebut dan
mengadakan pertemuan untuk menyelesaiakan permasalahan tersebut. Akan tetapi tidak
mendapatkan mufakat diantara keduanya karena keegoisan masing-masing penghulu
kaum tersebut. Maka dari itu, diselesaikan melalui Kerapatan Adat Nagari (KAN)
sebagai lembaga tertinggi dalam solusi perdamaian yang netral dan tidak berpihak.
Hasilnya adalah Kaum Datuk Tianso yang merupakan pemilik tanah ulayat tersebut

15
Budi Harsono, loc. cit, hlm. 235
16
Syamsul Bahri, Hukum Agraria Selayang Pandang, Padang: Fakultas Hukum Universitas Andalas,
2007 hlm. 28
harus mengganti rugi terhadap modal yang dikeluarkan dari dari anak-anak Alm. Liana
dalam membangun kedai di atas tanah tersebut, sedangkan anak-anak Alm. Liana dari
Kaum Datuk Cumano harus meninggalkan tanah yang telah ditempatinya.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur:
Harsono, Budi 2008 Hukum Agraria Indonesia: Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan
Sumardjono, Maria S. 2007 Kebijakan Pertanahan, Jakarta: Kompas
W.
Ariwilaga, R. 1962 Hukum Agraria Idonesia dalam Teori dan
Roestandi Praktek, Jakarta: Masa Baru
Azrial, Yulfian 2003 Budaya Alam Minangkabau, Padang: Angkasa
Raya
Yaswirman 2006 Hukum Keluarga Adat dan Islam: Analisis
Sejarah, Karakteristik dan Prospeknya dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau, Padang:
Universitas Andalas
Jamal et al, Erizal 2001 Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan
pada Komunitas Lokal, Bogor: Laporan Penelitian
PSB
Parlindungan, A. P. 1982 Komentar Atas Undang – Undang Pokok
Agraria, Bandung: Alumni
Bahri, Syamsul 2007 Hukum Agraria Selayang Pandang, Padang:
Fakultas Hukum Universitas Andalas

Jurnal Ilmiah:
HB, Gusliana Februari 2011 Jurnal Hukum Pola Perlindungan
Hutan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Melayu Riau di Provinsi Riau, Vol. 2, No. 1,
Fakultas Hukum Universitas Riau
Abidin, Mas’oed 2004 Jurnal Adat dan Syarak di
Minangkabau,Padang: Pusat Pengkajian Islam dan
Minangkabau (PPIM) Sumatera Barat
Erwin 2011 Jurnal Antropologi Pemanfaatan Tanah Ulayat
yang Menguntungkan Mayarakat, Vol. 24 No. 22,
Universitas Andalas
Franz von Benda- 1994 Law and Society Review Property, Politics,
Beckann, dkk and Conflict: Ambon and Minangkabaru Compare,
28 Law & Society Rev. 589

Undang-Undang:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria
- Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah
Ulayat dan Pemanfaatan Tanah Ulayat
- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
- Peraturan Menteri Agraria / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Negara dan Hak
Pengelolaan

Anda mungkin juga menyukai