PENDAHULUAN
Tanah merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat
Indonesia, terlebih-lebih dilingkungan masyarakat hukum adat Sumatra Barat yang sebagian
masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaa dan penggunaannya didasaarkan pada
ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan sebagai tanah ulayatnya, sehingga dikenal adanya tanah ulayat Nagari, tanah
ulayat suku, tanag ulayat kaum dan tanah ulayat Rajo yang diatur menurut adat yang berlaku
Dalam hidup, setiap orang mempunyai hak yang sama, sepertihalnya dijelaskan pada
Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menjelaskan
bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, dukungan dan kepastian hukum yang
adil serta sama dihadapan hukum”. Disana jelas bahwa setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, dukungan dan kepastian hukum, terutama Warga Negara Indonesia (selanjutnya
disebut WNI) terhadap tanah yang dipunyai di Indonesia, dalam bentuk hak milik pribadi dan
hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun (Pasal 28H
ayat (4) UUD 1945) karena seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari rakyat
Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia, Hubungan antara bangsa Indonesia dan
bumi, air serta ruang angkasa merupakan hubungan yang bersifat abadi, dijelaskan dalam Pasal
1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.05 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
di wilayah masyarakat hukum adat tersebut (desa, marga, hutan dan dusun) yang meliputi
tanah-tanah hak maupun tanah-tanah ulayat yaitu tanahtanah yang belum dikuasai dan
dipergunakan oleh warga setempat.8 Sejak berlakunya UUPA, sepanjang mengenai tanah-
tanah hak secara yuridis dikonversikan menjadi salah satu hak baru menurut UUPA, sedangkan
terhadap tanah-tanah ulayat termasuk tanah Negara yang tercakup dalam lingkup hak bangsa
Menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Tanah Ulayat
Masyarakat Hukum Adat, hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila:
a. Terdapat sekolompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan
hari;
b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan
c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah
ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 dan Pasal 8 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat
Nomor: 16 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, Untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat adat. Adapun tujuan pengaturan tanah ulayat dan
pemanfaatannya adalah untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat
minangkabau serta mengambil manfaat dari tanah termaksuk sumber daya alam, untuk
kelangsungan hidup dan kehidupannya secara turun-menurun dan tidak terputus antar
masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan. Lebih lanjut dinyatakan juga
bahwa untuk menjamin kepastian hukum dan keperluan penyediaan data/informasi pertanahan,
Tanah ulayat merupakan bidang tanah pusaka beserta sumber daya alam yang ada di
atasnya dan didalamnya diperoleh secara turun menurun merupakan hak masyarakat hukum
adat di Provinsi Sumatra barat yakni garis keturunan ibu (matrilineal). Tanah ulayat kaum
berkedudukan sebagai tanah garapan dengan status ganggam bauntuak pagang bamansiang
oleh anggota kaum yang pengaturannya dilakukan oleh ninik mamak kepala waris sesuai
dengan hukum adat minangkabau. Karena dalam sertifikat hak atas tanah yang dapat menjadi
subjek pemegang hak adalah anggota kaum dan mamak kepala waris dengan status hak milik
(Pasal 8 huruf c Perda Provinsi Sumbar Nomor 6 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan
Pemanfaatannya). Jika dikaitkan dengan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menjadi obyek pendaftaran tanah meliputi:
a. Bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
c. Tanah Wakaf;
e. Hak Tanggungan
f. Tanah Negara.
Jelas bahwa tanah ulayat tidak termasuk kedalam obyek untuk pendaftaran tanah,
sedangkan menurut Pasal 8 huruf c Perda Provinsi Sumbar Nomor 6 tahun 2008 tentang Tanah
pertanahan, tanah ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat didaftarakan pada
kenyataannya masih ada” dan UUPA juga mengakui adanya hak ulayat dengan syarat
Mengenai Eksistensinya dan mengenai Pelaksanaannya. Oleh karena itu, penulis ingin
memaparkan bagaimana pengaturan dan Penyelesaian sengketa tanah ulayat di Sumatera Barat.
4. Bagaimana penyelesaian sengketa tanah hak ulayat oleh pemerintah Sumatera Barat?
1.3 Tujuan :
Sumatera Barat.
3. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa tanah hak ulayat dalam adat
Minangkabau.
4. Untuk Mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa tanah hak ulayat oleh pemerintah
Sumatera Barat.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Sjahmunir, perkataan ulayat berasal dari Bahasa Arab yang diartikan dengan
“diurusi dan diawasi”. Dengan demikian menurut Sjahmunir, hak ulayat adalah kekuasaan
untuk mengurus, mengatur dan juga mengawasi. Berbeda dengan Sjahmunir, Warman
ditujukan untuk menyatakan tanah milik, baik milik pribadi maupun milik bersama.
Dalam hukum adat Minangkabau, ruang lingkup hak ulayat itu tidak bisa dipisah-
pisahkan antara tanah, air, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini
sesuai dengan pepatah adat Minangkabau yang menyatakan, sekalian nego hutan tanah,
mulai dari batu/pasie nan saincek, rumpuik nan sahalai, jirek nan sabatang, ka atehnyo
taambun jantan, ka bawah sampai takasiak bula, pangkek penghulu punyo ulayat (sekalian
yang ada di tanah hutan, mulai dari batu/pasir sebutir, rumpuik sehelai, pohon jarak yang
ulayat). Atas dasar demikian, berbicara mengenai hak ulayat berarti berbicara mengenai
tanah beserta dengan seluruh isinya. Walaupun ruang lingkup hak ulayat dalam Hukum
Adat Minangkabau meliputi segala sumberdaya alam yang terdapat di atas dan di dalam
bumi, namun tanah merupakan penyebutan yang paling lazim. Penyebutan istilah “tanah”
seakan-akan dijadikan sebagai representasi dari seluruh sumberdaya agraria yang terdapat
Dalam hal ini, tanah ulayat di Minangkabau dapat diklasifikasikan dalam: (a) tanah
ulayat kaum, dibawah pengawasan mamak kepala waris; (b) tanah ulayat suku, terpegang
pada penghulu suku; (c) tanah ulayat nagari, dibawah pengawasan penghulu-penghulu yang
bernaung dalam kerapatan nagari. Tanah ulayat suku biasanya sudah terbagi menjadi ulayat
masing-masing kaum. Jikalau tanah ulayat suku sudah habis terbagi menjadi ulayat kaum,
maka bisa saja pada suatu nagari tidak dikenal adanya ulayat suku. Walaupun demikian,
masih tetap ada sebidang atau beberapa bidang tanah yang masih berstatus tanah ulayat
Tanah ulayat nagari dapat dibedakan atas: 1. Rimbo dalam arti yang sebenarnya, yang
belum pernah dikerjakan atau didiami manusia. Biasanya terletak jauh dari tempat
pemukiman. Rimbo terbagi atas: rimbo tua, rimbo gadang, rimbo rajo, rimbo nan dalam,
rimbo nan lapeh, rimbo nan aguang, rimbo piatu, dsb. 2. Biluka, yakni tanah yang dulu
dikerjakan dan kemudian ditinggalkan lagi hingga kembali menjadi rimbo. Ada biluka tua
yang keadaannya begitu rupa, hingga tidak terlihat lagi tanda-tanda bekas dikerjakan
manusia. Dibanding dengan rimbo, maka biluka letaknya lebih dekat dengan pemukiman
penduduk. 3. Sasok, berupa tanahtanah yang dulu dikerjakan dan kemudian tidak
dikerjakan lagi tetapi tanda-tanda masih dipakai masih jelas kelihatan. Kalau ditumbuhi
semak-semak biasanya disebut utan. Bisa juga ditumbuhi rumput atau alang-alang, atau
Istilah konflik berarti perselisihan atau, atau pertentangan yang terjadi diantara dua
orang atau lebih. Pada umumnya konflik dapat terjadi dimana saja sepanjang terjadi
interaksi atau hubungan antara sesama manusia, baik antara individu dengan individu
Sengketa pada umumnya terjadi dalam hal tanah hak ulayat atau tanah pusaka tinggi
dari kaum atau suku, karena banyaknya yang merasa berhak dalam pengelolaan tanah
tersebut. Terhadap tanah hak milik pribadi atau pusaka rendah dan tanah Negara tidak
begitu banyak menimbulkan sengketa, karena tanah-tanah tersebut masih begitu jelas
riwayatnya dan pada umumnya telah didaftarkan atau disertifikatkan, sehingga pemiliknya
Tanah yang berstatus tanah pusako tinggi atau tanah ulayat, pada umumnya belum
didaftarkan sebagaimana bunyi pasal 19 ayat (1) UUPA, untuk menjamin kepastian hukum
menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Walaupun tanah pusako
tinggi atau tanah ulayat ini dimiliki oleh seluruh anggota kaum, namun dapat didaftarkan
atas nama kaum oleh mamak kepala waris. Tujuannya adalah dalam rangka mencapai
Secara garis besar kemunculan sengketa tanah bisa dikateriksasikan sebagai berikut,
Pertama, karena kesalahan melihat ranji dan pewarisan harta. Kedua, sistem pegang gadai
yang terlalu lama, sering berpindah tangan, dan mulai diabaikannya sistem adat Matriliniel,
sehingga harta pusaka dialihkan keharta pencarian. Ketiga, adanya keirian sosial dan
ekonomi dari individu atau kelompok tertentu terhadap individu atau kelompok lain.
Keempat, karena hilangnya pembatas tanah secara alami. Kelima, menyimpangkan tanah
pusaka. Lain halnya dengan tanah yang berstatus tanah pusako tinggi atau tanah ulayat,
pada umumnya tidak didaftarkan. Sesuai dengan bunyi pasal 19 ayat (1) UUPA untuk
menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah
Walaupun tanah pusako tinggi atau tanah ulayat ini dimiliki oleh seluruh anggota kaum,
namun dapat didaftarkan atas nama kaum oleh mamak kepala waris. Tujuannya untuk
mencapai sasaran kesadaran hukum masyarakat didalam pendaftaran tanah. Sebab lain
terjadinya sengketa tanah ulayat juga disebabkan tidak berfungsi lagi mamak kepala waris
dalam kaumnya, misalnya membimbing kemenakan, mengajarkan seluk beluk adat istiadat
sebagainya.
Pola Penyelesaian Sengketa Dalam perspektif Hukum Adat Minang Kabau, segala
sengketa yang terjadi diselesaikan melalui mekanisme musyawarah para pihak yang
menurut hukum adat Minangkabau meletakan kebenaran pada strata yang tertinggi dengan
barajo ka mufakat, mufakat barajo ka alue, alue barajo ka patuik dan mungkin, patuik dan
mungkin barajo ka nan bana. Bana ituai klah nan manjadi rajo.
Dari kronologis sengketa dan upaya yang sudah ditempuh, para pihak merasakan bahwa
upaya tersebut dirasakan belum mampu untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Dari
penelitian yang sudah dilakukan ternyata satu-satunya cara yang diinginkan oleh
dalam hal ini adalah pimpinan perusahaan atau pengambil keputusan di perusahaan
dihasilkan harus punya kekuatan mengikat diantara para pihak yang bersengketa dengan
eksekutorial. Selama ini pihak perusahaan enggan untuk mendaftarkan keputusan atau
Dalam hal penyelesaian sengketa dilakukan dengan bantuan pihak ketiga, maka pihak
ketiga disini yang paling tepat adalah pihak dari Pemerintah Daerah, karena disamping bisa
mengambil keputusan, pihak Pemerintah Daerah sejak awal sangat mengetahui kronologis
penyerahan tanah ulayat tersebut, sehingga Pemerintah Daerah paham betul apa yang sudah
terjadi sejak tanah ulayat tersebut diserah terimakan dari ninik mamak kepada investor
karena mereka lah yang memfasilitasi proses penyerahan tanah ulayat. Disamping itu
sengketa, dan hal itu juga merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Daerah sendiri
adanya penyelesaian secara adat pula sesuai dengan asas musyawarah untuk mufakat yang
dikandungnya. Sengketa di dalam kaum diselesaikan oleh para ninik mamak yang ada di
dalam kaum tersebut. Orang minang tidak mau secara langsung melibatkan pihak lain
dalam menyelesaikan sengketa dalam kaumnya, karena hal ini akan dapat memberikan rasa
malu kepada mereka. Ketika persengketaan ini tidak terselesaiakan di dalam kaum, maka
berikutnya permasalahan diminta penyelesaiannya kepada ninik mamak ampek jinih dalam
suku, apabila juga tidak terselesaikan maka akan dibawa kepada Kerapatan Adat Nagari
Pemerintah Daerah Sumatera Barat telah mensahkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun
2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Sebagai daerah yang masih banyak tanah
ulayatnya tentu dibutuhkan peraturan daerah agar tidak terjadi konflik antar masyarakat
menjadi Bab khusus dalam perda ini yaitu Bab V Pasal 8 dengan menerangkan siapa-siapa
yang menjadi pemegang hak tanah ulayat dimasing-masing nagari, suku, kaum dan rajo.
Menurut Pasal 1 angka 15 Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya,
Permufakatan Adat tertinggi nagari yang telah ada dan diwarisi secara turun-temurun
Adat Nagari merupakan himpunan dari para ninik mamak atau penghulu yang mewakili
suku atau kaumnya yang dibentuk berdasarkan atas hukum adat nagari setempat. Ninik
mamak atau penghulu yang terhimpun dalam lembaga ini mempunyai kedudukan dan
wewenang serta mempunyai hak yang sama untuk menentukan hidup perkembangan
hukum adat. Semua hasil mufakat yang didapat melalui Kerapatan Adat Nagari ini
Salah satu tugas Kerapatan Adat Nagari adalah menyelesaikan perkara-perkara perdata
adat dan istiadat, termasuk salah satunya menyelesaikan sengketa tanah ulayat. Dalam
Pasal 12 ayat (1) Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya diuraikan
bahwa sengketa tanah ulayat di nagari diselesaikan oleh KAN menurut ketentuan sepanjang
adat yang berlaku, bajanjang naiak batanggo turun dan diusahakan dengan jalan
proses non litigasi. Kedudukan Kerapatan Adat Nagari tidak bersifat sebagai pihak yang
memutus perkara tetapi untuk meluruskan persoalan-persoalan adat yang terjadi dari
sengketa tersebut. Peradilan adat yang dimiliki oleh Kerapatan Adat Nagari dimaknai
sebagai proses, yaitu cara untuk menyelesaikan suatu sengketa adat oleh suatu lembaga
adat.
Secara yuridis, peradilan adat tidak diakui oleh undang-undang. Dalam Pasal 18
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut dengan Undang-
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dan dalam Pasal 2 ayat
seluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-
undang. Arti yang terkandung dari kedua pasal di atas adalah selain dari lembaga peradilan
negara maka lembaga peradilan lain yang tidak diatur dengan undang-undang tidak diakui
keberadaannya.
Apabila ditelaah ketentuan Pasal 12 ayat (1) Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan
menyelesaikan sengketa adat dan istiadat adalah untuk melakukan mediasi adat, yang dituju
dari proses tersebut adalah mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. Kerapatan
Adat Nagari hanya memfasilitasi, sedangkan penyelesaian tetap diserahkan kepada kedua
belah pihak, sehingga keputusan yang diterbitkan oleh Kerapatan Adat Nagari adalah
Kemudian pada Pasal 12 ayat (2) Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan
pihak yang bersengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka pihak-pihak yang
bersengketa dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan negeri. Jika uraian ayat (1) dan
ayat (2) dari Pasal 12 Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya dikaitkan
dengan uraian pada ayat (1) Perda Sumbar tersebut, karena apabila tercapainya perdamaian
maka kedua belah pihak yang bersengketa tidak akan pernah melanjutkan perkaranya ke
pengadilan negeri, sebab dengan tercapainya perdamaian maka kedua belah pihak dibebani
perdamaian tidak tercapai maka pihak yang merasa dirugikan atas sengketa tersebut dapat
seharusnya kalimat “apabila keputusan perdamaian tidak diterima oleh pihak yang
bersengketa……..” pada ayat (2) tersebut berbunyi “apabila perdamaian tidak tercapai
sebagaiman dimaksud pada ayat (1) maka pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tanah ulayat di Minangkabau dapat diklasifikasikan dalam: (a) tanah ulayat kaum,
dibawah pengawasan mamak kepala waris; (b) tanah ulayat suku, terpegang pada penghulu
suku; (c) tanah ulayat nagari, dibawah pengawasan penghulu-penghulu yang bernaung dalam
kerapatan nagari.
Pola penyelesaian sengketa tanah ulayat yang terbaik yang dapat dilakukan adalah
penyelesaian sengketa di luar proses peradilan. Dalam menyelesaikan sengketa menurut hukum
adat Minangkabau meletakan kebenaran pada strata yang tertinggi dengan menempatkan
pemangku adat sebagai pelaksana dari kebenaran yang memposisikan musyawarah mufakat.
Jika penyelesaian sengketa dilaksanakan melalui proses negosiasi, maka penyelesaian sengketa
dilakukan antara masyarakat dengan pimpinan perusahaan atau pengambil kebijakan, dan
keputusan yang dihasilkan didaftarkan ke kantor notaris atau ke pengadilan supaya mempunyai
kekuatan eksekutorial.
Adanya sengketa-sengketa yang berkaitan tanah ulayat kaum tersebut menghendaki adanya
penyelesaian secara adat pula sesuai dengan asas musyawarah untuk mufakat yang
dikandungnya. Sengketa di dalam kaum diselesaikan oleh para ninik mamak yang ada di dalam
kaum tersebut. Orang minang tidak mau secara langsung melibatkan pihak lain dalam
menyelesaikan sengketa dalam kaumnya, karena hal ini akan dapat memberikan rasa malu
kepada mereka. Ketika persengketaan ini tidak terselesaiakan di dalam kaum, maka berikutnya
permasalahan diminta penyelesaiannya kepada ninik mamak ampek jinih dalam suku, apabila
juga tidak terselesaikan maka akan dibawa kepada Kerapatan Adat Nagari untuk membantu
menyelesaikan.
Pemerintah Daerah Sumatera Barat telah mensahkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008
tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Sebagai daerah yang masih banyak tanah ulayatnya
tentu dibutuhkan peraturan daerah agar tidak terjadi konflik antar masyarakat mengenai tanah
ulayat ini.
3.2 Saran
Pemerintah Daerah harus lebih kooperatif lagi dalam menanggapi setiap persoalan
tanah ulayat yang terjadi. Sebagai pihak ketiga harus netral atau tidak memihak kepada salah
satu pihak dan hendaknya bisa memfasilitasi setiap sengketa yang terjadi sehingga tidak
berlarut-larut karena pemerintah daerah yang mengetahui sejak awal bagaimana proses
Dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat, maka Pemerintah Daerah harus memiliki
peranan untuk memfasilitasi penyelesaian konflik horizontal yang terjadi antar nagari berkaitan
dengan penentuan tapal batas. Membuat mekanisme penyelesaian sengketa yang terjadi dalam
pengelolaan tanah ulayat antara masyarakat adat dengan investor dan instansi pemerintah.
Menghidupkan kembali Peradilan Adat ditingkat Nagari untuk memperkuat resolusi sengketa
internal yang substansi dan struktur kelembagaannya sesuai dengan aturan adat yang
http://pta-jambi.go.id/11-artikel/2013-kepastian-hukum-bagi-tanah-ulayat-masyarakat-
minangkabau-di-sumatera-barat-10-12-2014
http://kabar24.bisnis.com/read/20170418/78/646188/ini-pemicu-sengketa-tanahulayat-di-
sumbar
http://literasi.co/negara-adat-dan-pendisiplinan-ulayat-nagari-sumatera-barat/
https://badilum.mahkamahagung.go.id/artikel-hukum/2453-peran-kerapatan-adat-nagari-kan-
dalam-menyelesaikan-sengketa-tanah-ulayat-kaum.html
https://www.harianhaluan.com/news/detail/62565/masalah-tanah-ulayat-di-sumbar-rumit
TUGAS KEBIJAKAN PERTANAHAN
Makalah
“Pengaturan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat
di Sumatera Barat.”
Oleh :
VEGI CANTIKA WANNDA
NPP. 28.0215
KELAS G-1