Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanah merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat

Indonesia, terlebih-lebih dilingkungan masyarakat hukum adat Sumatra Barat yang sebagian

besar penduduknya menggantungkan hidup dan penghidupannya dari tanah. Di Provinsi

Sumatera Barat dalam kenyataannya masih diakuinya tanah-tanah dalam lingkungan

masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaa dan penggunaannya didasaarkan pada

ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang

bersangkutan sebagai tanah ulayatnya, sehingga dikenal adanya tanah ulayat Nagari, tanah

ulayat suku, tanag ulayat kaum dan tanah ulayat Rajo yang diatur menurut adat yang berlaku

pada tiap Nagari yang ada di Sumatra Barat.

Dalam hidup, setiap orang mempunyai hak yang sama, sepertihalnya dijelaskan pada

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menjelaskan

bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, dukungan dan kepastian hukum yang

adil serta sama dihadapan hukum”. Disana jelas bahwa setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, dukungan dan kepastian hukum, terutama Warga Negara Indonesia (selanjutnya

disebut WNI) terhadap tanah yang dipunyai di Indonesia, dalam bentuk hak milik pribadi dan

hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun (Pasal 28H

ayat (4) UUD 1945) karena seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari rakyat

Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia, Hubungan antara bangsa Indonesia dan

bumi, air serta ruang angkasa merupakan hubungan yang bersifat abadi, dijelaskan dalam Pasal

1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.05 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA).


Sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masyarakat hukum adat mencakup tanah-tanah

di wilayah masyarakat hukum adat tersebut (desa, marga, hutan dan dusun) yang meliputi

tanah-tanah hak maupun tanah-tanah ulayat yaitu tanahtanah yang belum dikuasai dan

dipergunakan oleh warga setempat.8 Sejak berlakunya UUPA, sepanjang mengenai tanah-

tanah hak secara yuridis dikonversikan menjadi salah satu hak baru menurut UUPA, sedangkan

terhadap tanah-tanah ulayat termasuk tanah Negara yang tercakup dalam lingkup hak bangsa

Indonesia atas tanah.

Menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Tanah Ulayat

Masyarakat Hukum Adat, hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila:

a. Terdapat sekolompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya

sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan

menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-

hari;

b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan

hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan;

c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah

ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 dan Pasal 8 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat

Nomor: 16 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, Untuk meningkatkan

kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat adat. Adapun tujuan pengaturan tanah ulayat dan

pemanfaatannya adalah untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat

minangkabau serta mengambil manfaat dari tanah termaksuk sumber daya alam, untuk

kelangsungan hidup dan kehidupannya secara turun-menurun dan tidak terputus antar

masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan. Lebih lanjut dinyatakan juga
bahwa untuk menjamin kepastian hukum dan keperluan penyediaan data/informasi pertanahan,

tanah ulayat dapat didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Tanah ulayat merupakan bidang tanah pusaka beserta sumber daya alam yang ada di

atasnya dan didalamnya diperoleh secara turun menurun merupakan hak masyarakat hukum

adat di Provinsi Sumatra barat yakni garis keturunan ibu (matrilineal). Tanah ulayat kaum

berkedudukan sebagai tanah garapan dengan status ganggam bauntuak pagang bamansiang

oleh anggota kaum yang pengaturannya dilakukan oleh ninik mamak kepala waris sesuai

dengan hukum adat minangkabau. Karena dalam sertifikat hak atas tanah yang dapat menjadi

subjek pemegang hak adalah anggota kaum dan mamak kepala waris dengan status hak milik

(Pasal 8 huruf c Perda Provinsi Sumbar Nomor 6 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan

Pemanfaatannya). Jika dikaitkan dengan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menjadi obyek pendaftaran tanah meliputi:

a. Bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan

dan Hak Pakai;

b. Tanah Hak Pengelolaan;

c. Tanah Wakaf;

d. Hak milik atas satuan rumah susun;

e. Hak Tanggungan

f. Tanah Negara.

Jelas bahwa tanah ulayat tidak termasuk kedalam obyek untuk pendaftaran tanah,

sedangkan menurut Pasal 8 huruf c Perda Provinsi Sumbar Nomor 6 tahun 2008 tentang Tanah

Ulayat dan Pemanfaatannya:

“Untuk menjamin kepastian hukum dan keperluan penyedian data/informasi

pertanahan, tanah ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat didaftarakan pada

kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dengan ketentuan lebih lanjut.”


Adapun dalam Pasal 3 UUPA juga menjelaskan: “hak ulayat diakui sepanjang menurut

kenyataannya masih ada” dan UUPA juga mengakui adanya hak ulayat dengan syarat

Mengenai Eksistensinya dan mengenai Pelaksanaannya. Oleh karena itu, penulis ingin

memaparkan bagaimana pengaturan dan Penyelesaian sengketa tanah ulayat di Sumatera Barat.

1.2 Rumusan Masalah :

1. Bagaimana Tanah Ulayat Menurut Hukum Adat Minangkabau di Sumatera Barat?

2. Apa penyebab terjadinya sengketa tanah hak ulayat?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa tanah hak ulayat dalam adat minangkabau?

4. Bagaimana penyelesaian sengketa tanah hak ulayat oleh pemerintah Sumatera Barat?

1.3 Tujuan :

1. Untuk mengetahui bagaimana Tanah Ulayat Menurut Hukum Adat Minangkabau di

Sumatera Barat.

2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya sengketa tanah hak ulayat.

3. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa tanah hak ulayat dalam adat

Minangkabau.

4. Untuk Mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa tanah hak ulayat oleh pemerintah

Sumatera Barat.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tanah Ulayat Menurut Hukum Adat Minangkabau

Menurut Sjahmunir, perkataan ulayat berasal dari Bahasa Arab yang diartikan dengan

“diurusi dan diawasi”. Dengan demikian menurut Sjahmunir, hak ulayat adalah kekuasaan

untuk mengurus, mengatur dan juga mengawasi. Berbeda dengan Sjahmunir, Warman

berpendapat, secara sosiologis istilah ulayat bagi orang Minangkabau pemakaiannya

ditujukan untuk menyatakan tanah milik, baik milik pribadi maupun milik bersama.

Dalam hukum adat Minangkabau, ruang lingkup hak ulayat itu tidak bisa dipisah-

pisahkan antara tanah, air, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini

sesuai dengan pepatah adat Minangkabau yang menyatakan, sekalian nego hutan tanah,

mulai dari batu/pasie nan saincek, rumpuik nan sahalai, jirek nan sabatang, ka atehnyo

taambun jantan, ka bawah sampai takasiak bula, pangkek penghulu punyo ulayat (sekalian

yang ada di tanah hutan, mulai dari batu/pasir sebutir, rumpuik sehelai, pohon jarak yang

sebatang, ke atasnya sampai ke angkasa, ke bawahnya sampai ke dalam bumi adalah

ulayat). Atas dasar demikian, berbicara mengenai hak ulayat berarti berbicara mengenai

tanah beserta dengan seluruh isinya. Walaupun ruang lingkup hak ulayat dalam Hukum

Adat Minangkabau meliputi segala sumberdaya alam yang terdapat di atas dan di dalam

bumi, namun tanah merupakan penyebutan yang paling lazim. Penyebutan istilah “tanah”

seakan-akan dijadikan sebagai representasi dari seluruh sumberdaya agraria yang terdapat

di lingkungan masyarakat hukum adatnya.

Dalam hal ini, tanah ulayat di Minangkabau dapat diklasifikasikan dalam: (a) tanah

ulayat kaum, dibawah pengawasan mamak kepala waris; (b) tanah ulayat suku, terpegang

pada penghulu suku; (c) tanah ulayat nagari, dibawah pengawasan penghulu-penghulu yang
bernaung dalam kerapatan nagari. Tanah ulayat suku biasanya sudah terbagi menjadi ulayat

masing-masing kaum. Jikalau tanah ulayat suku sudah habis terbagi menjadi ulayat kaum,

maka bisa saja pada suatu nagari tidak dikenal adanya ulayat suku. Walaupun demikian,

masih tetap ada sebidang atau beberapa bidang tanah yang masih berstatus tanah ulayat

suku yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh anggota suku.

Tanah ulayat nagari dapat dibedakan atas: 1. Rimbo dalam arti yang sebenarnya, yang

belum pernah dikerjakan atau didiami manusia. Biasanya terletak jauh dari tempat

pemukiman. Rimbo terbagi atas: rimbo tua, rimbo gadang, rimbo rajo, rimbo nan dalam,

rimbo nan lapeh, rimbo nan aguang, rimbo piatu, dsb. 2. Biluka, yakni tanah yang dulu

dikerjakan dan kemudian ditinggalkan lagi hingga kembali menjadi rimbo. Ada biluka tua

yang keadaannya begitu rupa, hingga tidak terlihat lagi tanda-tanda bekas dikerjakan

manusia. Dibanding dengan rimbo, maka biluka letaknya lebih dekat dengan pemukiman

penduduk. 3. Sasok, berupa tanahtanah yang dulu dikerjakan dan kemudian tidak

dikerjakan lagi tetapi tanda-tanda masih dipakai masih jelas kelihatan. Kalau ditumbuhi

semak-semak biasanya disebut utan. Bisa juga ditumbuhi rumput atau alang-alang, atau

pernah dijadikan persawahan.

2.2 Sengketa Tanah Hak Ulayat di Sumatera Barat

Istilah konflik berarti perselisihan atau, atau pertentangan yang terjadi diantara dua

orang atau lebih. Pada umumnya konflik dapat terjadi dimana saja sepanjang terjadi

interaksi atau hubungan antara sesama manusia, baik antara individu dengan individu

maupun antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya.

Sengketa pada umumnya terjadi dalam hal tanah hak ulayat atau tanah pusaka tinggi

dari kaum atau suku, karena banyaknya yang merasa berhak dalam pengelolaan tanah

tersebut. Terhadap tanah hak milik pribadi atau pusaka rendah dan tanah Negara tidak
begitu banyak menimbulkan sengketa, karena tanah-tanah tersebut masih begitu jelas

riwayatnya dan pada umumnya telah didaftarkan atau disertifikatkan, sehingga pemiliknya

telah mempunyai kekuatan hukum dan alat bukti yang kuat.

Tanah yang berstatus tanah pusako tinggi atau tanah ulayat, pada umumnya belum

didaftarkan sebagaimana bunyi pasal 19 ayat (1) UUPA, untuk menjamin kepastian hukum

oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia

menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Walaupun tanah pusako

tinggi atau tanah ulayat ini dimiliki oleh seluruh anggota kaum, namun dapat didaftarkan

atas nama kaum oleh mamak kepala waris. Tujuannya adalah dalam rangka mencapai

sasaran yang diperlukan, sebagaimana himbauan pemerintah untuk kesadaran hukum

masyarakat didalam pendaftaran tanah.

Secara garis besar kemunculan sengketa tanah bisa dikateriksasikan sebagai berikut,

Pertama, karena kesalahan melihat ranji dan pewarisan harta. Kedua, sistem pegang gadai

yang terlalu lama, sering berpindah tangan, dan mulai diabaikannya sistem adat Matriliniel,

sehingga harta pusaka dialihkan keharta pencarian. Ketiga, adanya keirian sosial dan

ekonomi dari individu atau kelompok tertentu terhadap individu atau kelompok lain.

Keempat, karena hilangnya pembatas tanah secara alami. Kelima, menyimpangkan tanah

pusaka. Lain halnya dengan tanah yang berstatus tanah pusako tinggi atau tanah ulayat,

pada umumnya tidak didaftarkan. Sesuai dengan bunyi pasal 19 ayat (1) UUPA untuk

menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah

Repuplik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Walaupun tanah pusako tinggi atau tanah ulayat ini dimiliki oleh seluruh anggota kaum,

namun dapat didaftarkan atas nama kaum oleh mamak kepala waris. Tujuannya untuk

mencapai sasaran kesadaran hukum masyarakat didalam pendaftaran tanah. Sebab lain

terjadinya sengketa tanah ulayat juga disebabkan tidak berfungsi lagi mamak kepala waris
dalam kaumnya, misalnya membimbing kemenakan, mengajarkan seluk beluk adat istiadat

Minangkabau, memberitahukan hak-hak ulayat dalam masyarakat hukum adat dan

sebagainya.

2.3 Penyelesaian Sengketa Tanah Hak Ulayat dalam adat Minangkabau

Pola Penyelesaian Sengketa Dalam perspektif Hukum Adat Minang Kabau, segala

sengketa yang terjadi diselesaikan melalui mekanisme musyawarah para pihak yang

bersengketa, dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan. Dalam menyelesaikan sengketa

menurut hukum adat Minangkabau meletakan kebenaran pada strata yang tertinggi dengan

menempatkan pemangku adat sebagai pelaksana dari kebenaran yang memposisikan

musyawarah mufakat; kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu

barajo ka mufakat, mufakat barajo ka alue, alue barajo ka patuik dan mungkin, patuik dan

mungkin barajo ka nan bana. Bana ituai klah nan manjadi rajo.

Dari kronologis sengketa dan upaya yang sudah ditempuh, para pihak merasakan bahwa

upaya tersebut dirasakan belum mampu untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Dari

penelitian yang sudah dilakukan ternyata satu-satunya cara yang diinginkan oleh

masyarakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi adalah dengan melakukan

musyawarah langsung (negosiasi) antara masyarakat dengan pihak perusahaan (investor)

dalam hal ini adalah pimpinan perusahaan atau pengambil keputusan di perusahaan

tersebut, sehingga masyarakat bisa menyampaikan keinginannya. Dan keputusan yang

dihasilkan harus punya kekuatan mengikat diantara para pihak yang bersengketa dengan

mendaftarkannya ke kantor notaris dan ke pengadilan sehingga memiliki kekuatan

eksekutorial. Selama ini pihak perusahaan enggan untuk mendaftarkan keputusan atau

kesepakatan yang sudah dilakukan didaftarkan ke kantor notaris apalagi ke pengadilan.


2.4 Penyelesaian Sengketa Tanah Hak Ulayat oleh pemerintah Sumatera Barat

Dalam hal penyelesaian sengketa dilakukan dengan bantuan pihak ketiga, maka pihak

ketiga disini yang paling tepat adalah pihak dari Pemerintah Daerah, karena disamping bisa

mengambil keputusan, pihak Pemerintah Daerah sejak awal sangat mengetahui kronologis

penyerahan tanah ulayat tersebut, sehingga Pemerintah Daerah paham betul apa yang sudah

terjadi sejak tanah ulayat tersebut diserah terimakan dari ninik mamak kepada investor

karena mereka lah yang memfasilitasi proses penyerahan tanah ulayat. Disamping itu

Pemerintah Daerah memiliki fasilitas lengkap untuk berlangsungnya proses penyelesaian

sengketa, dan hal itu juga merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Daerah sendiri

sehingga untuk penyelesaian sengketa tidak memerlukan biaya yang besar

Adanya sengketa-sengketa yang berkaitan tanah ulayat kaum tersebut menghendaki

adanya penyelesaian secara adat pula sesuai dengan asas musyawarah untuk mufakat yang

dikandungnya. Sengketa di dalam kaum diselesaikan oleh para ninik mamak yang ada di

dalam kaum tersebut. Orang minang tidak mau secara langsung melibatkan pihak lain

dalam menyelesaikan sengketa dalam kaumnya, karena hal ini akan dapat memberikan rasa

malu kepada mereka. Ketika persengketaan ini tidak terselesaiakan di dalam kaum, maka

berikutnya permasalahan diminta penyelesaiannya kepada ninik mamak ampek jinih dalam

suku, apabila juga tidak terselesaikan maka akan dibawa kepada Kerapatan Adat Nagari

untuk membantu menyelesaikan.

Pemerintah Daerah Sumatera Barat telah mensahkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun

2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Sebagai daerah yang masih banyak tanah

ulayatnya tentu dibutuhkan peraturan daerah agar tidak terjadi konflik antar masyarakat

mengenai tanah ulayat ini.


Perda ini secara jelas menyebutkan adanya pendaftaran atas tanah ulayat bahkan

menjadi Bab khusus dalam perda ini yaitu Bab V Pasal 8 dengan menerangkan siapa-siapa

yang menjadi pemegang hak tanah ulayat dimasing-masing nagari, suku, kaum dan rajo.

Menurut Pasal 1 angka 15 Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya,

Kerapatan Adat Nagari merupakan Lembaga Perwakilan Permusyawaratan dan

Permufakatan Adat tertinggi nagari yang telah ada dan diwarisi secara turun-temurun

sepanjang adat di tengah-tengah masyarakat nagari di Sumatera Barat. Lembaga Kerapatan

Adat Nagari merupakan himpunan dari para ninik mamak atau penghulu yang mewakili

suku atau kaumnya yang dibentuk berdasarkan atas hukum adat nagari setempat. Ninik

mamak atau penghulu yang terhimpun dalam lembaga ini mempunyai kedudukan dan

wewenang serta mempunyai hak yang sama untuk menentukan hidup perkembangan

hukum adat. Semua hasil mufakat yang didapat melalui Kerapatan Adat Nagari ini

disampaikan kepada anggota sukunya.

Salah satu tugas Kerapatan Adat Nagari adalah menyelesaikan perkara-perkara perdata

adat dan istiadat, termasuk salah satunya menyelesaikan sengketa tanah ulayat. Dalam

Pasal 12 ayat (1) Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya diuraikan

bahwa sengketa tanah ulayat di nagari diselesaikan oleh KAN menurut ketentuan sepanjang

adat yang berlaku, bajanjang naiak batanggo turun dan diusahakan dengan jalan

perdamaian melalui musyawarah dan mufakat dalam bentuk keputusan perdamaian.

Ketentuan pasal ini mengisyaratkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan

proses non litigasi. Kedudukan Kerapatan Adat Nagari tidak bersifat sebagai pihak yang

memutus perkara tetapi untuk meluruskan persoalan-persoalan adat yang terjadi dari

sengketa tersebut. Peradilan adat yang dimiliki oleh Kerapatan Adat Nagari dimaknai

sebagai proses, yaitu cara untuk menyelesaikan suatu sengketa adat oleh suatu lembaga

adat.
Secara yuridis, peradilan adat tidak diakui oleh undang-undang. Dalam Pasal 18

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Terhadap Undang-undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut dengan Undang-

Undang Kekuasaan Kehakiman) menguraikan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dan dalam Pasal 2 ayat

(3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menguraikan bahwa semua peradilan di

seluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-

undang. Arti yang terkandung dari kedua pasal di atas adalah selain dari lembaga peradilan

negara maka lembaga peradilan lain yang tidak diatur dengan undang-undang tidak diakui

keberadaannya.

Apabila ditelaah ketentuan Pasal 12 ayat (1) Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan

Pemanfaatannya di atas, sebenarnya keberadaan Kerapatan Adat Nagari dalam

menyelesaikan sengketa adat dan istiadat adalah untuk melakukan mediasi adat, yang dituju

dari proses tersebut adalah mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. Kerapatan

Adat Nagari hanya memfasilitasi, sedangkan penyelesaian tetap diserahkan kepada kedua

belah pihak, sehingga keputusan yang diterbitkan oleh Kerapatan Adat Nagari adalah

menyatakan tercapai atau tidaknya perdamaian bagi kedua belah pihak.

Kemudian pada Pasal 12 ayat (2) Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan

Pemanfaatannya menguraikan bahwa apabila keputusan perdamaian tidak diterima oleh

pihak yang bersengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka pihak-pihak yang

bersengketa dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan negeri. Jika uraian ayat (1) dan

ayat (2) dari Pasal 12 Perda Sumbar tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya dikaitkan

dengan proses pengambilan keputusan perdamaian oleh Kerapatan Adat Nagari


sebagaimana telah diuraikan di atas, maka uraian pada ayat (2) menjadi tidak sejalan

dengan uraian pada ayat (1) Perda Sumbar tersebut, karena apabila tercapainya perdamaian

maka kedua belah pihak yang bersengketa tidak akan pernah melanjutkan perkaranya ke

pengadilan negeri, sebab dengan tercapainya perdamaian maka kedua belah pihak dibebani

untuk melaksanakan perdamaian yang telah mereka sepakati. Sebaliknya, apabila

perdamaian tidak tercapai maka pihak yang merasa dirugikan atas sengketa tersebut dapat

mengajukan perkaranya ke pengadilan negeri. Dengan demikian menurut pendapat penulis

seharusnya kalimat “apabila keputusan perdamaian tidak diterima oleh pihak yang

bersengketa……..” pada ayat (2) tersebut berbunyi “apabila perdamaian tidak tercapai

sebagaiman dimaksud pada ayat (1) maka pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan

perkaranya ke pengadilan negeri”.


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tanah ulayat di Minangkabau dapat diklasifikasikan dalam: (a) tanah ulayat kaum,

dibawah pengawasan mamak kepala waris; (b) tanah ulayat suku, terpegang pada penghulu

suku; (c) tanah ulayat nagari, dibawah pengawasan penghulu-penghulu yang bernaung dalam

kerapatan nagari.

Pola penyelesaian sengketa tanah ulayat yang terbaik yang dapat dilakukan adalah

penyelesaian sengketa di luar proses peradilan. Dalam menyelesaikan sengketa menurut hukum

adat Minangkabau meletakan kebenaran pada strata yang tertinggi dengan menempatkan

pemangku adat sebagai pelaksana dari kebenaran yang memposisikan musyawarah mufakat.

Jika penyelesaian sengketa dilaksanakan melalui proses negosiasi, maka penyelesaian sengketa

dilakukan antara masyarakat dengan pimpinan perusahaan atau pengambil kebijakan, dan

keputusan yang dihasilkan didaftarkan ke kantor notaris atau ke pengadilan supaya mempunyai

kekuatan eksekutorial.

Adanya sengketa-sengketa yang berkaitan tanah ulayat kaum tersebut menghendaki adanya

penyelesaian secara adat pula sesuai dengan asas musyawarah untuk mufakat yang

dikandungnya. Sengketa di dalam kaum diselesaikan oleh para ninik mamak yang ada di dalam

kaum tersebut. Orang minang tidak mau secara langsung melibatkan pihak lain dalam

menyelesaikan sengketa dalam kaumnya, karena hal ini akan dapat memberikan rasa malu

kepada mereka. Ketika persengketaan ini tidak terselesaiakan di dalam kaum, maka berikutnya

permasalahan diminta penyelesaiannya kepada ninik mamak ampek jinih dalam suku, apabila

juga tidak terselesaikan maka akan dibawa kepada Kerapatan Adat Nagari untuk membantu

menyelesaikan.
Pemerintah Daerah Sumatera Barat telah mensahkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008

tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Sebagai daerah yang masih banyak tanah ulayatnya

tentu dibutuhkan peraturan daerah agar tidak terjadi konflik antar masyarakat mengenai tanah

ulayat ini.

3.2 Saran

Pemerintah Daerah harus lebih kooperatif lagi dalam menanggapi setiap persoalan

tanah ulayat yang terjadi. Sebagai pihak ketiga harus netral atau tidak memihak kepada salah

satu pihak dan hendaknya bisa memfasilitasi setiap sengketa yang terjadi sehingga tidak

berlarut-larut karena pemerintah daerah yang mengetahui sejak awal bagaimana proses

penyerahan tanah ulayat terjadi.

Dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat, maka Pemerintah Daerah harus memiliki

peranan untuk memfasilitasi penyelesaian konflik horizontal yang terjadi antar nagari berkaitan

dengan penentuan tapal batas. Membuat mekanisme penyelesaian sengketa yang terjadi dalam

pengelolaan tanah ulayat antara masyarakat adat dengan investor dan instansi pemerintah.

Menghidupkan kembali Peradilan Adat ditingkat Nagari untuk memperkuat resolusi sengketa

internal yang substansi dan struktur kelembagaannya sesuai dengan aturan adat yang

dikukuhkan melalui Perda Provinsi atau Kabupaten/Kota.


DAFTAR PUSTAKA

http://pta-jambi.go.id/11-artikel/2013-kepastian-hukum-bagi-tanah-ulayat-masyarakat-

minangkabau-di-sumatera-barat-10-12-2014

http://kabar24.bisnis.com/read/20170418/78/646188/ini-pemicu-sengketa-tanahulayat-di-

sumbar

http://literasi.co/negara-adat-dan-pendisiplinan-ulayat-nagari-sumatera-barat/

https://badilum.mahkamahagung.go.id/artikel-hukum/2453-peran-kerapatan-adat-nagari-kan-

dalam-menyelesaikan-sengketa-tanah-ulayat-kaum.html

https://www.harianhaluan.com/news/detail/62565/masalah-tanah-ulayat-di-sumbar-rumit
TUGAS KEBIJAKAN PERTANAHAN
Makalah
“Pengaturan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat
di Sumatera Barat.”

Oleh :
VEGI CANTIKA WANNDA
NPP. 28.0215
KELAS G-1

FAKULTAS POLITIK PEMERINTAHAN


INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
T.P 2018/2019

Anda mungkin juga menyukai