Anda di halaman 1dari 4

Tanah Ulayat di Minangkabau

Menurut Sjahmunir, perkataan ulayat berasal dari Bahasa Arab yang diartikan dengan “diurusi
dan diawasi”. Dengan demikian menurut Sjahmunir, hak ulayat adalah kekuasaan untuk
mengurus, mengatur dan juga mengawasi. Berbeda dengan Sjahmunir, Warmanberpendapat,
secara sosiologis istilah ulayat bagi orang Minangkabau pemakaiannya ditujukan untuk
menyatakan tanah milik, baik milik pribadi maupun milik bersama.
Dalam hukum adat Minangkabau, ruang lingkup hak ulayat itu tidak bisa dipisahpisahkan antara
tanah, air, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pepatah
adat Minangkabau yang menyatakan, sekalian nego hutan tanah, mulai dari batu/pasie nan
saincek, rumpuik nan sahalai, jirek nan sabatang, ka atehnyo taambun jantan, ka bawah sampai
takasiak bula, pangkek penghulu punyo ulayat (sekalian yang ada di tanah hutan, mulai dari
batu/pasir sebutir, rumpuik sehelai, pohon jarak yang sebatang, ke atasnya sampai ke angkasa, ke
bawahnya sampai ke dalam bumi adalah ulayat). Atas dasar demikian, berbicara mengenai hak
ulayat berarti berbicara mengenai tanah beserta dengan seluruh isinya. Walaupun ruang lingkup
hak ulayat dalam Hukum Adat Minangkabau meliputi segala sumberdaya alam yang terdapat di
atas dan di dalam bumi, namun tanah merupakan penyebutan yang paling lazim. Penyebutan
istilah “tanah” seakan-akan dijadikan sebagai representasi dari seluruh sumberdaya agraria yang
terdapat di lingkungan masyarakat hukum adatnya
Dalam hal ini, tanah ulayat di Minangkabau dapat diklasifikasikan dalam: (a) tanah ulayat kaum,
dibawah pengawasan mamak kepala waris; (b) tanah ulayat suku, terpegang pada penghulu suku;
(c) tanah ulayat nagari, dibawah pengawasan penghulu-penghulu yang bernaung dalam
kerapatan nagari. Tanah ulayat suku biasanya sudah terbagi menjadi ulayat masing-masing kaum.
Jikalau tanah ulayat suku sudah habis terbagi menjadi ulayat kaum, maka bisa saja pada suatu
nagari tidak dikenal adanya ulayat suku. Walaupun demikian, masih tetap ada sebidang atau
beberapa bidang tanah yang masih berstatus tanah ulayat suku yang bisa dimanfaatkan oleh
seluruh anggota suku.
Tanah ulayat nagari dapat dibedakan atas: 1. Rimbo dalam arti yang sebenarnya, yang belum
pernah dikerjakan atau didiami manusia. Biasanya terletak jauh dari tempat pemukiman. Rimbo
terbagi atas: rimbo tua, rimbo gadang, rimbo rajo, rimbo nan dalam, rimbo nan lapeh, rimbo nan
aguang, rimbo piatu, dsb. 2. Biluka, yakni tanah yang dulu dikerjakan dan kemudian
ditinggalkan lagi hingga kembali menjadi rimbo. Ada biluka tua yang keadaannya begitu rupa,
hingga tidak terlihat lagi tanda-tanda bekas dikerjakan manusia. Dibanding dengan rimbo, maka
biluka letaknya lebih dekat dengan pemukiman penduduk. 3. Sasok, berupa tanahtanah yang
dulu dikerjakan dan kemudian tidak dikerjakan lagi tetapi tanda-tanda masih dipakai masih jelas
kelihatan. Kalau ditumbuhi semak-semakbiasanya disebut utan. Bisa juga ditumbuhi rumput atau
alang-alang, atau pernah dijadikan persawahan. Dalam mencermati pembagian klasifikasi tanah
ulayat tersebut di atas, Kurnia Warman mengemukakan pendapat: secara teknis yuridis yang
relevan disebut dengan hak ulayat hanyalah ulayat nagari, mungkin juga ulayat suku (pada
kelarasan Bodi Caniago), sedangkan ulayat kaum lebih tepat dikatakan sebagai tanah milik
komunal. Pembagian 3 jenis hak ulayat yang populer selama ini dikalangan banyak penulis,
secara teknis yuridis tidak bisa dipegang sepenuhnya karena bisa menimbulkan kekeliruan
interpretasi.

Pengaturan tanah ulayat telah disebutkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi dengan mengingat ketentuan-
ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi.

Dalam tingkat peraturan pelaksananya telah disahkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961, akan tetapi dalam Peraturan Pemerintah ini tanah ulayat tidak termasuk obyek
pendaftaran tanah, hal ini dikaitkan dengan Pasal 9 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah ini
yaitu ayat (1) bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi: a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai
dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, b. Tanah hak pengelolaan,
c. Tanah wakaf, d. Hak milik atas satuan rumah susun, e. Hak tanggungan, f. Tanah negara. Ayat
(2) bahwa dalam tanah negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan
tanah negara dalam daftar tanah.

Selang 2 tahun kemudian, pada tanggal 24 Juni 1999 telah disahkan Peraturan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa tanah
ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat
tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat sesuai pasal 1 ayat (3)
adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa tanah ulayat bukan merupakan obyek
pendaftaran tanah, akan tetapi berdasarkan ketentuan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 pada Pasal 4 ayat (1) dan (2) ini menyebutkan tanah
ulayat dapat dikuasai oleh perseorangan dan badan hukum dengan cara didaftar sebagai hak atas
tanah apabila dikehendaki oleh pemegang haknya yaitu warga masyarakat hukum adat menurut
kententuan hukum adatnya yang berlaku. Kemudian oleh instansi pemerintah, badan hukum atau
perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan bisa menguasai tanah
ulayat setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya
sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
Dari paparan diatas, secara jelas dapat diketahui tanah ulayat bisa dikuasai oleh perseorangan
dan badan hukum, padahal tanah ulayat merupakan hak ulayat masyarakat hukum adat yang
tidak bisa dibagi dan harus dihormati demi persatuan bangsa sesuai amanat UUPA Pasal 3. Hal
ini tentu membuat bingung masyarakat hukum adat dengan tidak adanya kepastian hukum bagi
perlindungan hak mereka.

Selanjutnya Pemerintah Daerah Sumatera Barat telah mensahkan Peraturan Daerah Nomor 6
Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Sebagai daerah yang masih banyak
tanah ulayatnya tentu dibutuhkan peraturan daerah agar tidak terjadi konflik antar masyarakat
mengenai tanah ulayat ini.

Masyarakat minangkabau mempunyai tataran hukum adat yang berbeda dengan daerah lain atau
suku lainnya. Di Sumatera Barat ada wilayah yang disebut nagari, berdasarkan ketentuan perda
ini pasal 1 ayat (5) yang dimaksud dengan nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam
Provinsi Sumatera Barat yang terdiri dari suku dan kumpulan suku mempunyai wilayah dengan
batas-batas tertentu.

Oleh karena itu, jenis tanah ulayat bagi masyarakat minangkabau dibagi 4 sesuai dengan Pasal 5
Perda ini yaitu tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku tanah ulayat kaum dan tanah ulayat rajo.
Dalam Pasal 1 perda ini diterangkan bahwa Tanah ulayat nagari adalah tanah ulayat beserta
sumber daya alam yang ada diatas dan didalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik
mamak kerapatan adat nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan
masyarakat nagari, sedangkan pemerintahan nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk
pemanfaatannya. Tanah ulayat suku adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya
alam yang berada diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota suku
tertentu yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh penghulu-penghulu suku. Tanah
ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada
diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari
jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh mamak jurai/mamak kepala waris.
Tanah ulayat rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada
diatasnya dan didalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari
garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup disebagian nagari di Provinsi Sumatera Barat.

Dalam hal ini, kepastian hukum bagi tanah ulayat dalam pendaftaran tanah tidak ada. Haknya
dihormati akan tetapi dalam tataran pelaksananya berupa bukti sertifikat sebagai proses
pendaftaran tanah tidak diakui. Sehingga tanah ulayat masyarakat adat antara hidup dan mati.
Hal ini tentu amat disayangkan karena masih banyak tanah ulayat masyarakat adat diberbagai
daerah di Indonesia apalagi di daerah Provinsi Sumatera Barat.

Daftar Pustaka :
Ali, Achmad, 2008, Menguak Tabir Hukum, Cetakan ke-2, Ghalia Indonesia, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai