Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan


manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Mereka hidup
diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan
tanah. Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat
mendasar.Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga
setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir
semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung
selalu memerlukan tanah.Pada saat manusia meninggal dunia masih
memerlukan tanah untuk penguburannya. Begitu pentingnya tanah bagi
kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan
menguasainya.1

Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan


terlepas dari segala tindak tanduk manusia itu sendiri sebab
tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan
kelanjutan kehidupannya. Oleh karena itu tanah sangat
dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat, sehingga sering
terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama yang
menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaedah kaedah
yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah.

Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan masalah


yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan
tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan diatas,
bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan
melanjutkan kehidupannya. Tanah sebagai tempat mereka
berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah dimana
1 G. Kartasapoetra. Hukum Tanah Jaminan UUPA bagi Keberhasilan
Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Melton Putra, 1991), hlm.1

1
mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman orang
orang halus pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah
dimana meresap daya daya hidup, termasuk juga hidupnya
umat dan karenanya tergantung dari padanya.2

Ketergantungan akan tanah inilah yang menjadi alasan


penulis untuk membahas hukum tanah adat yang ada di
Indonesia. Untuk mengetahui sejarah hukum pertanahan,
pengaturan hukum tanah adat, dan sebagainya, yang akan
dibahas dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah hukun pertanahan di Indonesia?
2. Bagaimana kedudukan tanah dalam hukum adat?
3. Apa saja hak-hak atas tanah dalam hukum adat?
4. Bagaimana transaksi tanah dalam hukum adat?
5. Bagaimana transaksi yang ada hubungannya dengan
tanah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah hukum pertanahan di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui kedudukan tanah dalam hukum adat.
3. Untuk mengetahui hak-hak atas tanah dalam hukum adat.
4. Untuk mengetahui transaksi tanah dalam hukum adat dan
transaksi yang ada hubungannya dengan tanah.
D. Manfaat
Hasil dari makalah ini diharapkan dapat memberikan
manfaat kepada semua pihak yang membaca khususnya
kepada mahasiswa/mahasiswi untuk menambah wawasan
dan pemahaman tentang hukum tanah adat di Indonesia.

2 Syaiful Azam. 2003, Eksistensi hukum tanah dalam mewujudkan


tertib hukum agraria.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1485/1/perdata-
syaiful2.pdf, (diakses pada tanggal 24 Oktober 2016)

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum Pertanahan di Indonesia


Sejarah hukum pertanahan di Indonesia diawali pada
masa kolonial dengan dibentuknya perkumpulan dagang
Belanda yang di sebut VOC (Verenidge Oost Indische
Compagnie) antara tahun 1602 sampai dengan tahun 1799.
Pada prinsipnya perkumpulan dagang ini bertujuan untuk
mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Sejak saat itu,
VOC oleh pemerintah Belanda diberi hak yang seluas-luasnya
dan seolah-olah merupakan badan yang berdaulat.3
VOC yang berdiri tahun 1602 diberikan kekuasaan
penuh untuk bertindak selaku penguasa sekaligus pedagang.
Cara yang dilakukan adalah dengan menaklukkan raja-raja
dan kerajaan-kerajaan kecil di Hindia-Belanda, raja-raja
tersebut harus menandatangani perjanjian bahwa mereka
harus tunduk dan patuh kepada VOC dengan system
perdagangan verplichte leverantie dan contingenten, yaitu
menyerahkan hasil bumi dengan harga yang sudah dipatok
atau ditentukan, dan hasil bumi yang diserahkan dipandang
sebagai pajak tanah.
Di kurun waktu VOC pula, diterapkan kebijakan politik
pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia, dengan
kebijakan-kebijakan sebagai berikut.
a. Contingenten. Pajak atas hasil tanah pertanian harus
diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani
harus menyerahkan sebagian dari hasil pertaniannya
kepada kompeni tanpa dibayar sepeserpun.
b. Verplichte leveranten. Suatu bentuk ketentuan yang
diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang

3 Darwin Ginting. Hukum Kepemilikan Hak atas Tanah Bidang Agraria,


(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm.33

3
kewajiban menyerahkan seluruh hasil panen dengan
pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara
sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar
tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas
apa yang mereka hasilkan.
c. Roerdiensten. Kebijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi,
yaitu system kerja paksa yang dibebankan kepada rakyat
yang tidak mempunyai tanah pertanian.

Dalam perjalanan sejarah pemerintah Hindia-Belanda di


Indonesia, terdapat dualisme hukum yang menyangkut
Hukum Agraria (tanah) Barat, dan pihak lain berlaku Hukum
Agraria (tanah) Adat. Akhirnya, system tanam paksa yang
merupakan pelaksanaan politik pertanahan kolonian
konservatif dihapuskan, dan dimulailah system liberal. Politik
pertanahan liberal adalah kebalikan dari politik pertanahan
konservatif. Prinsip politik pertanahan liberal adalah prinsip
tidak adanya campur tangan pemerintah dibidang usaha dan
modalnya di Indonesia.

B. Kedudukan Tanah dalam Hukum Adat


Ada dua hal yang menyebabkan tanah memiliki
kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, yaitu
karena sifat dan fakta dari tanah itu sendiri. Bila dilihat
dari sifatnya, tanah merupakan satu-satunya harta kekayaan
yang bagaimanapun keadaanya, tetapi masih seperti dalam
keadaannya semula, bahkan tidak jarang karena kejadian
alam tertentu tanah memberikan keuntungan yang lebih baik
dari keadannya semula; seperti karena dilanda banjir, tanah
setelah air surut menjadi lebih subur. Jika tanah dengan

4
benda diatanya dibakar atau terbakar setelah apinya padam,
keadaan tanah akan kembali seperti semula.4
Hal itulah yang membuat tanah dalam hukum adat
memiliki arti yang sangat penting. Begitu juga apabila kita
lihat faktanya, tanah merupakan tempat tinggal, memberikan
penghidupan serta tempat bagi anggota persekutuan
dikebumikan kelak setelah ia meninggal dunia dan juga
tempat tinggal roh para leluhur.

C. Hak-Hak atas Tanah dalam Hukum Adat


Sehubungan dengan adanya hukum tanah dalam
hukum adat kemudian timbullah hak-hak yang berkenaan
dengan tanah tersebut yang dalam hukum adat terbagi
menjadi dua yaitu:5
a. Hak Persekutuan atas Tanah
Yang dimaksud dengan hak persekutuan atas tanah adalah hak
persekutuan (hak masyarakat hukum) dalam hukum adat terhadap
tanah tersebut; misalnya hak menguasai tanah, memanfaatkan tanah
itu, memungut hasil dari tumbuhan-tumbuhan yang hidup diatasnya,
atau berburu binatang-binatang yang hidup di atas tanah itu. Hak
masyarakat hukum atas tanah ini disebut juga hak ulayat atau hak
pertuanan.
Memungut hasil dari segala sesuatu yang ada didalam tanah dan
yang tumbuh dan hidup di atas tanah ulayat ini.
1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.
2. Pimpinan persekutuan dapat menentukan untuk menyatakan dan
menggunakan bidang-bidang tanah tertentu ditetapkan untuk
kepentingan umum dan terhadap tanah ini tidak diperkekankan
diletakkan hak perseorangan.
3. Orang asing yang mau menarik hasil dari tanah-tanah ulayat ini
haruslah terlebih dahulu meminta izin dari kepada persekutuan

4 Dewi Wulansari. Hukum Adat Indonesia suatu Pengantar, (Bandung:


Refika Aditama, 2010), hlm. 80

5 Wulansari. Hukum Adat Indonesia, hlm. 80-81.

5
dan harus membayar uang pengakuan, setelah panen harus
membayar uang sewa.
4. Persekutuan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di
atas lingkungan ulayat.
5. Larangan mengasingkan tanah yang termasuk tanah ulayat,
artinya baik persekutuan maupun para anggota-anggotanya tidak
diperkenankan memutuskan secara mutlak sebidang tanah ulayat
sehingga persekutuan sama sekali hilang wewenangnya atas tanah
tersebut.
Tentang perubahan hak ulayat menjadi hak perseorangan baru
dapat terjadi apabila ditempuh cara-cara sebagai berikut:
1. Apabila seorang pimpinan lingkungan ulayat menyatakan dirinya
sebagai pendukung hak ulayat dan akibatnya pimpinan
lingkungan ulayat yang biasanya raja, menyatakan dirinya karena
kekuasaannya; misalnya desa minjem di jawa dimana kepala
desanya menjadi pemilik dari tanah ulayat.
2. Apabila anggota-anggota ulayat mencari orang-orang luar untuk
mengusahakan tanah-tanah hutan yang kosong dengan
mengadakan pembayaran lebih dahulu.
3. Apabila anggota-anggota ulayat ditarik biaya jika mereka ingin
mengusahakan tanah tersebut.

b. Hak Perseorangan atas Tanah6


Dengan berlakunya hak ulayat ke dalam, maka setiap anggota
persekutuan berhak mengadakan hubungan hukum dengan tanah serta
dengan semua isi yang aa di atas tanah ulayat tersebut. Apabila
anggota-anggota ulayat mengadakan hubungan hukum dengan tanah
tersebut atau dengan isi tanah ulayat, maka dengan sendirinya anggota
ulayat yang demikian memiliki hubungan tertentu dengan tanah ulayat
seperti yang juga telah dijelaskan di atas. Hubungan tertentu ini dapat
berupa hak-hak atas tanah, jika yang mengadakan hubungan hukum
tersebut adalah perseorangan maka kemudian timbullah hak
perseorangan atas tanah itu.

6 Wulansari. Hukum Adat Indonesia, hlm. 86-89.

6
Adapun hak-hak perseorangan yang diberikan atas tanah ataupun
isi tanah ulayat adalah berupa:
1. Hak milik atas tanah
Yang dimaksud dengan hak milik atas tanah adalah hak yang
dimiliki setiap anggota ulayat untuk bertindak atas kekuasaannya
atas tanah ataupun isi dari lingkungan atau wilayah ulayat. Hak
milik ini terdiri dari hak milik terikat dan hak milik tidak terikat.
Yang dimaksud dengan hak milik terikat adalah semua hak milik
yang dibatasi oleh hak-hak lain yang terdapat dalam lingkungan
masyarakat adat sepeti hak milik komonal atas tanah dimana
sebidang tanah menjadi milik bersama dari penduduk desa.
kenyataan seperti ini di bali disebut draw desa, manado kintal
kalakeran, dan di minagkabau harto pusako. Sedangkan yang
dimaksud dengan hak milik tidak terikat adalah hak milik dari
perseorangan yang tidak ada campur tangan dari hak-hak desa. Di
jawa barat sawah yang merupakan hak milik perseorangan yang
tidak terikat pada hak ulayat disebut sawah milik atau sawah
yasa.
2. Hak Menikmati Atas Tanah
Hak menikmati atas tanah mengandung arti bahwa hak yang
diberikan kepada seseorang merupakan haknya untuk menikmati
hasil tanah berupa memungut hasil panin tidak lebih dari satu kali
saja. Sebenarnya hak ini biasanya diberikan kepada orang luar
lingkungan ulayat yang diizinkan untuk membuka sebidang tanah
dalam lingkungan ulayat; setelah panen selessai tanah harus
dikembalikan kepada hak ulayat. Dijawa barat hak ini disebut
hak memungut huma, yaitu meliputi wewenang untuk
menanami tanah satu kali panin; tanahnya sendiri disebut huma
geblogan. Orang-orang yang mengusahakan tanah ini harus
membayar sewa pada pemerintah setelah panin tanah itu tidak
ditanami lagi dan kembali pada pemerintah.
3. Hak Terdahulu
Tentang hak terdahulu (vooorkeursrecht) adalah hak yang
diberikan kepada seseorang untuk mengusahakan tanah itu

7
dimana orang tersebut didahulukan dari orang lain. Ini dapat
terjadi misalnya tentang sebidang tanah belukar yang berupa
tanah dari ulayat atau berupa tanah ulayat.
4. Terdahulu Untuk Dibeli
Begitu pula mengenai hak terdahulu untuk dibeli; dimana
seseorang untuk memperoleh hak sebidang tanah dengan
mengesampingkan orang lain. Hak ini sering disebut hak
wewenang beli dan hal ini dapat terjadi karena pembeli adalah
sanak saudara si penjual, anggota masyarakat atau ulayatnya,
tetangga dari si penjual tanah itu sendiri.
5. Hak Memungut Hasil Karena Jabatan
Mengenai hak memungut hasil karena jabatan (ambtelijk
profijtrecht) bisa terjadi karena seorang sedang menjadi pengurus
masyarakat, dan hak ini ia proleh selama menduduki jabatan itu,
setelah tidak menduduki jabatannya maka hak itu tidak diberikan
lagi kepadanya. Tanah yang demikian disebut tanah bengkok, di
jawa barat disebut tanah carik atau tanah kajaroan.
6. Hak Pakai
Sedangkan yang dimaksud dengan hak pakai (gebruiksryecht)
adalah hak atas tanah yang diberikan kepada seseorang atau
sekelompok orang untuk menggunakan tanah atau memungut
hasil dari tanah tersebut. Misalnya di minangkabau dikenal
adanya sawah yang disebut sawah pusako. Sawah ini dapat
dibagi-bagikan kepada anggota kerabat yang sifatnya hanya
diberikan sebagai hak pakai saja dan sawah yang dibagi-bagikan
ini disebut ganggambautik.
7. Hak Gadai dan Hak Sewa
Selanjutnya yang dimaksud dengan hak gadai dan hak sewa
dalam hubungan ini timbul karena adanya satu ikatan perjanjian
antara kedua belah pihak atas tanah tersebut. Selama belum
ditebus oleh pemilik tanah, maka selama itu pula hak atas tanah
menjadi hak milik yang memberi gadai, begitu pula tentang hak
sewa, bahwa hak milik itu berlangsung hingga putusnya
perjanjian sewa menyewa atas tanah tersebut.

D. Transaksi Tanah dalam Hukum Adat

8
Transaksi tanah dalam hukum adat pada hakikatnya terdiri dari dua
aspek, yaitu:7
1. Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum sepihak.
2. Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum dua pihak.

Sebagai contoh dari transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum


sepihak adalah pendirian suatu desa dan pembukaan tanah oleh seorang
warga persekutuan. Sedangkan mengenai transaksi tanah yang bersifat
perbuatan hukum dua pihak contohnya adalah pengoperan atau penyerahan
sebidang tanah yang disertai oleh pembayaran kontan dari pihak lain pada
saat itu juga kepada pihak penerima tanah dan pembayaran tanah. perbuatan
hukum ini dalam hukum tanah disebut transaksi jual dalam bahasa jawa
disebut adol atau sade.

Transaksi jual ini menurut isinya dapat dibedakan dalam tiga macam
yaitu sebagai berikut:

1. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan bahwa


yang menyerahkan tanah dapat memiliki kembali tanah tersebut dengan
pembayaran sejumlah uang (sesuai dengan perjanjian yang disepakati).
2. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat, jadi untuk
seterusnya atau selamanya dimiliki oleh pembeli tanah, di riua disebut
menjual lepas.
3. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai perjanjian bahwa
apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain, sesudah satu dua tahun
atau beberapa kali panin, tanah itu kembali lagi kepada pemilik tanah
semula yang dalam bahasa jawa disebut : menjual tahunan, adok ayodan.

Lebih dalam lagi macam transaksi di atas di sebut sebagai berikut:

1. Menjual gadai
Dalam hal ini yang menerima tanah berhak untuk mengerjakan tanah
serta untuk memungut hasil dari tanah itu dan ia hanya terikat oleh
janjinya bahwa tanah hanya dapat di tebus oleh yang menjual gadai. Bila
ia sangat membutuhkan uang, hanya dapat menjual lagi gadai tanah itu

7 Wulansari. Hukum Adat Indonesia, hlm. 89-92.

9
kepada orang lain, tetapi tidak boleh menjual lepas tanah tersebut. Begitu
pula ia tidak dapat meminta kembali uang yang di berikannya kepada
yang menjual gadai, tetapi dalam transaksi yang demikian biasanya di
sertai pula dengan berbagai tambahan perjajian seperti:
a. Jika tidak di tebus dalam masa di janjikan maka tanah tersebut
menjadi milik yang membeli gadai
b. Tanah tidak boleh di tebus selama satu tahun, dua atau beberapa tahun
dalam tangan pembeli gadai.
2. Menjual lepas
Dalam hal ini yang membeli lepas memperoleh hak milik atas tanah
yang membelinya, sedangkan pembayaran di lalakukan di hadapan kepala
persekutuan.
3. Menjual tahunan
Ini merupakan satu bentuk menyewakan tanah. Transaksi tanah yang
seperti ini di luar jawa tidak begitu di kenal, mengenai lamanya waktu
transaksi ini tidak tentu.

Dalam UU No 5 Tahun 1960 (UU Pokok Agraria), Pemerintah RI


menetapkan suatu kebijaksanaan baru terhadap masalah jual gadai. Dalam
pasal 16 ayat (1) poin a dan Pasal 53 ayat (1) undang-undang di atas di
tetapkan bahwa hak gadai bersifat sementara. Artinya, dalam waktu yang
akan datang di usahakan di hapuskan. Dan pada saat itu mengingat keadaan
masyarakat Indonesia masi belum dapat di hapuskan dan di beri sifat
sementara yang akan di atur lebih lanjut dengan undang-undang, kemudia
ternyata undang-undang yang mengatur masalah gadai ini adalah PERPU No
56 Tahun 1960 yang menetapkan ketentuan tersebut dalam Pasal 7 sebagai
berikut:

(a) Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan gadai yang pada mulai
berikutnya peraturan ini (yaitu pada tanggal 1-1-1961) sudah
berlansung 7 tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada
pemiliknya dalam waktu sebulan sesudah tanaman-tanaman yang ada
selesai di panen dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran
uang tebusan.
(b) Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum
berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk

10
memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai di
panen dengan membayar uang tebusan yang besarnya di hitung
menurut rumus berikut:
7+1/2- waktu berlangsungnya hak gadai x uang gadai di bagi 7
Pelaksaan pengembaliannya adalah dalam waktu sebulan setelah
panen yang bersangkutan.
(c) Ketentuan dalam ayat (2) ini berlaku juga terhadap hal gadai yang di
adakan sesudah mulai berlaku peraturan ini.

Dalam Penjelasan Umum PERPU tersebut, Pasal 9 di uraikan bahwa


transaksi jual gadai di adakan oleh pemilik tanah hanya bila ia berada dalam
keadaan yang mendesak dan kalau tidak terdesak oleh kebutuhan-kebutuhan
yang mendesak sekali, biasanya orang lebih suka menyewakan tanahnya.
Oleh karena itu, dalam transaksi jual gadai terdapat imbangan yang sangat
merugikan pejual gadai serta sangat menguntungkan pihak pelepas uang.
Dengan demikian jelas sekali bahwa transaksi ini mudah menimbulkan
praktek-praktek pemerasan, yang bertentangan dengan asas-asas pancasila.

Mengingat hal di atas, maka dalam UU No. 5 Tahun 1960 gadai


ditetapkan bersifat sementara yang harus di usahakan agar suatu saat
waktunya di hapuskan. Sementara sebelum dapat di hapuskan harus di atur
sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur bersifat pemerasan bisa di hilangakan.
Hak gadai baru dapat di sediakan kredit jika mencukupi keperluan petani.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Sejarah Hukum pertanahan di Indonesia, diawali pada
masa kolonial dengan dibentuknya perkumpulan dagang
Belanda yang di sebut VOC (Verenidge Oost Indische
Compagnie) antara tahun 1602 sampai dengan tahun
1799. Dalam perjalanan sejarah pemerintah Hindia-
Belanda di Indonesia, terdapat dualisme hukum yang
menyangkut Hukum Agraria (tanah) Barat, dan pihak lain
berlaku Hukum Agraria (tanah) Adat.
2. Kedudukan tanah dalam Hukum Adat, ada dua hal yang
menyebabkan tanah memiliki kedudukan yang sangat
penting dalam hukum adat, yaitu karena sifat dan
faktanya.
3. Hak-hak atas tanah dalam Hukum Adat, ada dua yaitu:
Hak persekutuan atas tanah dan Hak perseorangan atas
tanah.
4. Transaksi tanah dalam Hukum Adat, terdiri dari dua aspek
yaitu: Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum
sepihak dan transaksi tanah yang merupakan perbuatan
hukum dua pihak.
5. Transaksi-transaksi yang ada hubungannnya dengan
tanah, ada enam yaitu: Memperduai (Minangkabau),
Sewa, Numpang/ Magersari (Jawa), Memperduai atau
Sewa bersama-sama dengan gadai, dan titip.

B. Saran

12
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ginting, Darwin. Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah Bidang


Agribisnis, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Kartasapoetra, G. Hukum Tanah Jaminan UUPA bagi Keberhasilan


Pendayagunaan Tanah. Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Santoso, Urip. Hukum Agraria: Kajian Komperhensif. Jakarta: Kencana,


2012.

Wulansari, Dewi. Hukum Adat Indonesia suatu Pengantar, Bandung:


Refika Aditama, 2010.

Jurnal

Azam, Syaiful. 2003, Eksistensi hukum tanah dalam


mewujudkan tertib hukum
agraria.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1
485/1/perdata-syaiful2.pdf, diakses pada tanggal 24
Oktober 2016.

13

Anda mungkin juga menyukai