Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Hukum materiel, baik yang tertulis di dalam peraturan perundang-


undangan yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis merupakan pedoman bagi
setiap warga negara untuk bagaimana seharusnya bertindak atau tidak bertindak
di dalam kehidupan sosial masyarakat. Tata peraturan perundang-undangan ini
pada hakikatnya dibuat dengan tujuan untuk menjamin kepastian
hukum,mencari keadilan,dan manfaat dari undang-undang bagi setiap warga
negara sehingga terciptanya ketertiban,keseimbangan dan kedamaian di dalam
kehidupan warga masyarakat.

Pelaksanaan hukum perdata materiel,umumnya berada dalam kekuasaan


masing-masing individu yang melakukan hubungan keperdataan tanpa melalui
pejabat atau instansi yang berwenang. Hal ini berbeda dengan hukum pidana
materiel yang pelaksanaannya dapat dilaksanakan dan dipaksakan oleh negara
melalui pejabat atau instansi yang berwenang. Adapun untuk mempertahankan
dan menjalankan hukum perdata materiel diperlukan suatu aturan yang dapat
melaksanakan aturan-aturan atau kaidah-kaidah yang telah diatur di dalam
hukum materiel dalam hal ada yang melakukan pelanggaran dan adanya
tuntutan hak diperlukan serangkaian peraturan hukum lain di samping hukum
perdata materiel sendiri. Peraturan hukum ini disebut dengan hukum perdata
formal atau hukum acara perdata.

Hukum acara perdata adalah sekumpulan peraturan yang membuat


bagaimana caranya pihak yang terserang kepentingannya mempertahankan
diri,bagaimana hakim bertindak sekaligus memutus perkara dengan adil,
bagaimana melaksanakan keputusan hakim yang kesemuanya bertujuan agar
hak dan kewajiban yang telah diatur dalam hukum perdata materiel itu dapat
berjalan dengan semestinya sehingga keadialan dan kepastian hukum dapat
terwujud.

1
Dengan demiikian,hukum acara perdata memiliki kedudukan yang sangat
penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Dengan adanya hukum acara
perdata masyarakat dapat dengan jelas merasakan adanya kepastian hukum
bahwa setiap orang dapat mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-
baiknya dan setiap orang yang melakukan pelanggaran terhaadap hukum
perdata yang mengakibatkan kerugian pada orang lain dapat dituntut melalui
pengadilan. Selain itu hukum perdata formil atau hukum acara perdata juga
berfungsi untuk menegakkan ,mempertahankan,dan menjamin ditaatinya
peraturan hukum perdata materiel dalam praktik melalui perantaraan
peradialan. Dengan adanya hukum acara perdata diharapkan akan terciptanya
ketertiban dan kepastian hukum di dalam masyarakat.

Di dalam makalah ini akan membahas mengenai istilah dan pengertian


hukum acara perdata,sejarah ringkas badan peradilan yang ada di Indonesia dan
Hukum Acara Perdata yang berlaku. Sejarah badan peradilan dan hukum acara
perdata yang ada di Indonesia dibagi menjadi empat (4) periodesasi yaitu:

1. Semenjak 1 Mei 1848 – 8 Maret 1942


2. Semenjak 8 Maret 1942 – 17 agustus 1945
3. Semenjak 17 Agustus 1945 – 14 Januari 1951
a. Dalam daerah yang dikuasai Republik Indonesia
b. Dalam daerah pendudukan Belanda
c. Dalam Negara Republik Indonesia Serilkat
4. Semenjak 14 Januari 1951 – sekarang 1

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui


secara mendetail tentang Hukum Acara Perdata di Indonesia,khususnya
pengertian dan peristilahan hukum acara perdata, sejarah singkat hukum acara
perdata di Indonesia,serta sumber dan perbedaan yang ada di antara hukum
acara perdata dan hukum acara pidana. Sedangkan manfaat dari penulisan
makalah ini adalah untuk menambah referensi mengenai mata kuliah Hukum

1
Bulkhaini,S.H,Hukum Acara Perdata Indonesia,(Padang:Universitas Andalas),hlm8-21

2
Acara Perdata dan bidang lain yang ingin mengaitnya dengan topik yang
diangkat di dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dan perustilahan hukum acara perdata?


2. Bagaimana sejarah badan peradilan di Indonesia dan Hukum Acara
Perdata yang berlaku?
3. Apa saja sumber-sumber dari Hukum Acara Perdata?
4. Apa perbedaan di antara Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana?

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Istilah dan Pengertian Hukum Acara Perdata

2.2 Sejarah Ringkas Badan Peradilan Di Indonesia dan Hukum Acara


Perdata yang Berlaku

I.Sejarah Singkat Hukum Acara Perdata Di Indonesia

Pada mulanya Pemerintah Hindia Belanda idak mempunyaim peraturan


khusus tentang Hukum Aca ra yang diperuntukkan bagi rakyat Bumi Putera yang
berperkara di Pengadilan,tetapi karena kebutuhan yang sangat mendesak
akhirnya Pemerintah Hindia Belanda mempergunakan Soh,1119 No.20 dengan
sedikit penambahan yang tidak begitu berarti. Sementara itu Mr.H.L.Wichers
yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda
(Hooggerechtsshof) yang berkedudukan di Batavia (Jakarta) melarang dalam
praktek pengadilan menggunakan Hukum Acara Perdata yang dipergunakan
golongan Eropa kepada rakyat Bumi Puteratanpa dilandasi dengan aturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan hal tersebut terjadilah kekosongan
hukum acara dalam praktek peeradilan untuk golongan Bumi Putera. Sehingga
pemerintah Hindia Belanda merasa perlu membuat hukum acara khusus yang
diberlakukan untuk golongan Bumi Putra agar dipergunakan oleh hakim dalam
melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.

Dengan Beslit Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen No.3 Tahun 1846
tanggal 5 Desember 1846,Mr.H.L.Wichers ditujuk dan ditugaskan untuk
menyusun sebuah Reglement tentang administrasi,polisi,acara perdata dan acara
pidana bagi golongan Bumi Putra yang pada waktu itu berlaku Stb.1819 No.20
yang memuat 7 (tujuh) Pasal yang berhubungan dengan Hukum Acara Perdata.
Tugas tersebut dilaksanakan dengan baik oleh Mr.H.Lwitchers dalam waktu 8
(delapan) bulan lamanya. Pada tanggal 6 Agustus 1847 rancangan itu
disampaikan kepada Gubernur Jenderal Jacob Rochussen untuk dibahas lebih

4
lanjut dengan pakar hukum yang bertugas di Mahkamah Agung Hindia Belanda
pada waktu itu.

Dalam sidang pembahasan di Mahkamah Agung Hindia Belanda tersebut,


berkembang pikiran bahwa rancangan yang disusun oleh Mr.H.L.Witchers itu
terlalu sederhana,mereka mengkehendaki agar dalam rancangan tersebut supaya
ditambah dengan lembaga penggabungan jaminan,interventie dan request civil
sebagaimana pada Rv yang diperuntukkan pada golongan
Eropa.(Supomo:1963:5 dan Abdul Kadir Muhammad,SH:1978:20)2

Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen tidak setuju atas penambahan


sebagaimana tersebut di atas terutama hal yang tersebut dalam pasal 432 ayat
(2). Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen hanya memperbolehkan Hukum
Acara Perdata yang digunakan untuk golongan Eropa diperguakan oleh
Pengadilan Gubernemen yang ada di Jakarta,Semarang dan Surabaya saja dalam
mengadili orang-orang Bumi Putra,selebihnya dilarang dipergunakan untuk
golongan Bumi Putera. Sikap Gubernur ini didukung penuh oleh
Mr.H.Lwitchers,beliau mengemukakan bahwa kalau dalam rancangan yang
dibuat itu ditambah lagi dengan hal-hal yang dianggap tidak begitu
penting,dikhawatirkan konsep rancangan itu bukan akan bertambah jelas tetapi
malah akan menjadi kabur dan tidak terang lagi rancangannya.

Setelah menerima masukan-masukan dari berbagai pihak,terutama atas


saran dari Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen ,ketentuan yang tersebut
dalam 432 ayat (2) dirubah,kemudian ditambah dengansuatu ketentuan penutup
yang bersifat umum yang mengatur berbagai aturan termuat dalam Pasal 393
ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana tersebut dalam HIR sekarang ini. Pasal ini
merupakan pasalyang sangat penting karena di dalam Pasal tersebut dinyatakan
dengan tegas bahwa HIR diberlakukan untuk golongan Bumi Putera,tetapi
apabila benar-benar dirasakan perlu dapat dipergunakan ketentuan lain dalam
perkara perdata meskipun sedikit mirip dengan ketentuan yang tersebut dalam
Rv.

2 http://seramoeprintstasion.blogspot.co.id,dikunjungi 21/08-2016

5
Setelah mengalami perubahan dan penambahan sebagaiman tersebut
diatas,akhirnya Gubernur Jederal Jan Jacob Rochusssen pada tanggal 5 April
1848 menerima rancangan Mr.H.L.Witchers dengan menerbitkan Stb.1848 No.16
dan dinyatakan berlaku secara resmi pada tanggal 1 Mei 1848 dengan sebutan
“Reglement op de Uitoefening Van de Polite,de Vreemde Osterlingen op Java en
Madura” disingkat dengan “Inlandsch Reglement” (IR). Ketentuan ini akhirnya
disahkan dan dikutkan oleh Pemerintah Belanda dengan firan rajatanggal 29
September 1849,No.93 Stb.1849 No.63. Reglement ini selain diperuntukkan bagi
golongan Bumi Putra juga diperuntukkan bagi golongan Timur Asing di Jawa dan
Madura karena dianggap bahwa orang-orang Timur Asing itu kecerdasannya
disamakan dengan Bumi Putra.(Abdul Kadir Muhammad,SH:1978:21)3

Dalam perkembangan lebih lanjut Inlandsch Reglement (IR) ini beberapa


kali terjadi perubahan. Perubahan pertama dilaksanakan pada tahun 1926 yang
merubah dan menambah beberapa ketentuan baru dalam IR tersebut yang
dirumuskan dengan Stb.1926 No.559 jo.496. Perubahan kedua dilaksanakan
pada tahun 1941. Perubahan ini sangat mendasar sehubungan dibentuknya
Lembaga Penuntut Umum yang anggota-anggotanya tidak lagi dibawah Pamong
Praja,melainkan langsung di bawah Kejaksaan Tinggi dan Jaksa Agung yang
berdiri sendiri yang tidak terpecah-pecah (Ondeelbaar) dan tugas Lembaga
tersebut menyangkut soal-soal pidana sehingga perlu diatur hukum acara
pidananya. Oleh karena adanya perubahan yang sangat mendasar ini yang di
dalam Bahasa Belandanya disebut “Herzien”, maka sebutan yang semula
“Wandsch Reglement” diganti namanya dengan “Het Hetziene Inlandsch
Reglement´disingkat HIR. Setelah Indonesia merdeka HIR disebut juga RIB
sigkatan dari Reglement Indonesia yang diperbaharui yang dilakukan dengan
Stb.1941 No.44.

Pada zaman penjajahan Jepang,berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun


1942 Pemerintah Belatentara dai Nippon mulai tanggal 7 Maret 1942 di Jawa dan
Madura memberlakukan ketentuan yang mengatakan bahwa Badan Pemerintah
dan kekuasaannya serta Hukum dan Undang-Undang dari Pemerintah yang

3
ibid

6
dahulu tetap diakui sah asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah
Militer. Atas dasar UU ini HIR masih tetap berlaku. Kemudian pada bulan April
1942 Balatentara Dai Nippon mengeluarkan peraturan baru tentang susunan dan
kekuasaan Badan Pengadilan yaitu membentuk suatu Pengadilan untuk tingkat
pertama yaitu Hooin dan Kootoo Hoon untuk pemeriksaan tingkat banding.
Kedua macam Peradilan tersebut diperuntukkan untuk semua golongan
penduduk tanpa membeda-bedakan orang,kecuali bagi orang-orang Jepang yang
diadili dengan Pengadilan sendiri. Dengan itu hapusnya Raad Van Justitie dan
Residentie Gerech,dengan sendirinya Hukum Acara yang termuat dalam BR
kecuali untuk mengisi kekosongan hukum sepanjang diperlukan sedangkan
dalam HIR dan R.Bg juga tidak diatur.

Ketika Indonesia merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945 kondisi pada


zaman Jepang tetap berlaku berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II dan IV UUD
1945 dan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945.
Dengan demikian HIR dan R.Bg masih tetap berlaku sebagai hukum Acara di
lingkungan Pengadilan Negeri,Pengadilan Tinggi,dan Mahkamah Agung RI.
Kemudian dengan Pasal 5 Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang
tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan,susunan,kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil yang
diberlakukan tanggal 14 Januari 1951 Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1951
ditentukan bahwa HIR dan R.Bg sebagai aturan yang harus dipedomani dalam
pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri,Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung RI.

II.Sejarah Ringkas Badan Peradilan Indonesia

Sejak berlakunya Undang-Undang No. 19 tahun 1994(L.N. tahun 1954


No. 107) yang diundangkan pada dan mulai berlaku tanggal 31 Oktober 1964
yaitu Undang-Undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan
Kehakiman, kemudian Undang-Undang ini dengan Undang-Undang No. 6 tahun
1969 L.N. R.I. tahun 1969 No. 37 yaitu Undang-Undang tentang Pernyataan
Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang pasal 2 (lampiran III), dinyatakan tidak berlaku mulai

7
saat berlakunya Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang baru sebagai pengganti, yaitu Undang-Undang No. 14 tahun
1970 L.N. R.I. tahun 1970 No. 74 mulai berlaku tanggal 17 Desember 1970, kita
mengenal 4 lingkunga hukum pengadilan:

1. Pengadilan Umum
2. Pengadilan Agama
3. Pengadilan Militer
4. Pengadilan Tata Usaha Negara
dan Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negeri tertinggi, (pasal 10
Undang-Undang No. 14 tahun 1970, pasal 7 Undang-Undang No. 19
tahun 1964

UU No. 14 tahun !970, UU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok


Kekuasaan Kehakiman ini, tidak menyebutkansecara tegas tentang Badan-Badan
Peradilan itu, sungguhpun demikian dalam penjelasan atas UU tersebut
mengenai pasal 10 dinyatakan bahwa:

“Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan Peradilan


khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu, atau mengenai
golongan rakyat tertentu, sedangkan Pengadilan umum adalah peradilan
bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata maupun
perkara pidana.”

dan pasal 12 UU No. 14 tahun 1970 ini menjanjikan suatu peraturan tersendiri
yang merupakan anak dari UU No. 14 tahun 1970 dengan pernyataan bahwa:

“Susunan kekuasaan, serta acara dari Badan-Badan Peradilan seperti


tersebut dalam pasal 10 ayat 1 diatur dalam UU tersendiri.”

Pada saat ini maupun sebelum berlakunya UU No. 14 tahun 1970, dalam
Negara Republik Indonesia, kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan
Umum dilaksanakan oleh:

1. Pengadilan Negeri
2. Pengadilan Tinggi

8
3. Pengadilan Agung

Maka disini timbul pertanyaan yaitu UU atau Peraturan-Pearturan


manakah yang menetapkan tentang Badan-Badan Peradilan dalam lingkungan
peradilan umum dalam tiga rangkaian susunan Pengadilan tersebut, karena pasal
12 UU No. 14 tahun 1970 belum lagi menelorkan UU untuk itu. Memng
berdasarkan penetapan dan pernyataan UU No. 14 tahun 1970 dalam pasal 10
(2) berbunyi:

“Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.”

Pasal 10 ayat (3):

“ Mahkamah Agung tempat minta kasasi dari putusan tingkat terakhir dari
Keputusan-Keputusan Pengadilan-Pengadilan lain dari Mahkamah Agung.”

Pasal 10 ayat (4) berbunyi:

“ Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan


Pengadilan-Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan
dengan UU.”

akan tetapi mengenai Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi oleh UU


No. 14 tahun 1970 itu tidak disebut-sebut sehinga tetap tinggal menjadi
pertanyaan, kapankah ketiga bentuk Badan-Badan Peradilan tersebut ditetapkan.

Unruk memcahkan persoalan diatas, yaitu UU atau Peraturan-Peraturan manakah


yang menetapkan tentang pembentukan:

1. Pengadilan Negeri
2. Pengadilan Tinggi
3. Mahkamah Agung

maka penulis mencoba meneliti pada UU tentang susunan kekuasaan dan acara
Pengadilan sebelum adanya/terbentunya/berlakunya UU No. 14 tahun 1970.

Akan tetapi dalam melakukan peninjauan tentang Badan-Badan


Pengadilan serta hukum acara yang berlaku padanya tidak dapat dipisahkan

9
dengan peninjauan penggolongan-penggolongan penduduk dan Badan-Badan
Pengadilan serta hukum acara yang berlaku padanya satu sama lain sangat erat
hubungannya. Peninjauan tersebut secara berurutan dimulai dari penggolongan-
penggolongan penduduk, Badan-Badan Peradilan dan sesudah itu hukum acara
yang berlaku.

Menurut pasal 163 Indische Staatsrogeling, rakyat Indonesia dibedakan


menjadi 3 golonagn yaitu:

1. Orang Eropah, ialah:


a. Semua orang Belanda
b. Semua orang tidak termasuk orang Belanda, yang asalnya dari
Eropah
c. Semua orang Jepang
d. Semua orang yang berasal dari tempat lain, tidak termasuk a dan
b, dinegerinya tunduk pada hukum kekeluagaan seas as dengan
orang Belanda
2. Bumi Putra ialah semua orang yang yang termasuk rakyat Indonesia
asli dari Hindia Belanda dan tidak beralij kedalam golongan rakyat
lain. Disebut juga rakyat pribumi yaitu orang-orang Indonesia asli
berdasarkan criteria ke-othologian
3. Orang Timur Asing ialah:
a. Timur Asing Tionghoa
b. Timur Asing selain Tionghoa
c. Semua orang yang bukan Eropah atau Bumi Putra

Menurut pasal 131 Indische Staatsregeling pada tiap-tiap golongan itu


berbeda pula Undang-Undang hukum yang berlaku baginya.

1. Bagi orang Eropah berlaku Undang-Undang Hukum Perdata di dalam


Burgerlijk Wetboek dan Undang-Undang Hukum Dagang.
2. Bagi orang Timur Asing:

10
a. Tionghoa berlaku hukum perdata dalam Burgerlijk Wetboek
dengan kekecualian-kekecualiannya dan Undang-Undang Hukum
Dagang.
b. Timur Asing selain Tionghoa, berlaku hukum perdata Burgerlijk
Wetboek mengenai huku kekayaan sedang mengenai hukum
keluarga berlaku hukum adatnya.
3. Bumi Putra, berlaku baginya hukum adatnya.

Oleh karena penduduk Indonesia (Hindia Belanda) sudah digolong-


golongkan kedalam 3 golongan dan pada tiap-tiap golongan berbeda hukum
perdata materiil yang mengaturnya, dan begitu pula sudah ditentukan,
Pengadilan-Pengadilan mana yang berhak mengadili orang yang termasuk tiap-
tiap golongan itu, maka dibawah ini diuraikan satu persatu secara garis besar
Badan-Badan Peradilan mana yang berhak mengadili tiap-tiap goalongan itu.

Pada zaman Hindia Belanda kita mengenal 5 buah tata susunan Badan-
Badan Peradilan:

1. Peradilan Gubernemen (Gouvernementsrechspraak) yang meliputi


seluruh daerah Hindia Belanda.
2. Peradilan Bumi Putra (Inheemsche Rechtspraak), terdapat dibagian-
bagian Hindia Belanda, diamana rakyatnya dibiarkan
menyelenggarakan peradilan sendiri, yaitu diluar Jawa dan Madura.
3. Peradilan Swapraja (Zelfbestuursrechtspraak), terdapat didaerah-
daerah Swapraja, disamping Peradilan Gubernement, kecuali daerah
Swapraja Paku Alaman dan Pontianak.
4. Peradilan Dea (Borsrechters) yang didapati didalam masyarakat desa.
5. Peradilan Agama (Priesterraden) terdapat baik didaerah-daerah Hindia
Belanda dimana semata-mata ada Pengadilan Gubernement maupun
didaerah-daerah dimana peradilan Agama merupakan bahagian dari
peradilan Bumi Putra ataupun didaerah Swapraja yang merupakan
bagian dari peradilan Swapraja itu.

11
Kelima tata susunan Badan-Badan Peradilan tersebut itulah yang
menampung maslah persengketaan perdata pada zaman Hindia Belanda, dan
tata susunan Badan-Badan Peradilan tersebut baru dikenal semenjak tahun 1848
(tapatnya tanggal 1 Mei 1848) yang disebutkan tahun Codifikasi
Hukum/Perundang-undangan di Indonesia.

Berhubung terjadinya perubahan-perubahan politik di Indonesia, dari


penjajahan Belanda ke penjajahan Jepang dari penjajahan Jepang ke
kemerdekaan Indonesiadan semenjak merdeka terdapat pula variasi-variasi
keadaan polotik, yaitu adanya daerah-daerah pendudukan Belanda dan
kemudian terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat, semuanya itu
membawa perubahan-perubahan pada situasi perundang-undangan dan
berpengaruh pula pada susunan Badan-Badan Peradilan.

Untuk menggambarkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam tata


susunan badan-badan peradilan, tugas dan kekuasaannya serta hukum acara
yang berlaku padanya sehubungan dengan peralihan perdata semenjak saah
Codifikasi hukum di Indonesia dari 1 Mei tahun 1848 sampai sekarang.4

Badan-Badaan Peradilan yang mengadili perkara Perdata

1.Pada Masa 1 Mei 1848 sampai tanggal 8 Maret 1942

A. Di Jawa dan Madura

1. Pengadilan Gubernement Eropah


a. Residentiegerecht,terdapat disemua kota dimana terdapat
Landraat, terdiri dari Hakim Tunggal dibantu oleh Panitera
Landraat sekaligus menjadi hakim dan Panitera dari
Residentiegerecht serat mempunyai daerah hukum yang sama
dengan daerah hukum Landraat. Hukum Acara yang berlaku
Reglement op de Burgelijk Rechtsvordering.

4
Bulkaini, SH. Hukum Acara Perdata Indonesia, Universitas Andalas. Padang,1979, hal
1-8

12
b. Road van Justitie, terdapat di Jakarta (Batavia), Searang,dan
Surabaya,dan daerah hukumnya:Jakarta,meliputi Jawa
Barat,Lampung,Palembang,Jambi,Bangka Belitung dan Kalimanan
Barat. Semarang,meliputi Jawa Tengah, Lombok, dan Kalimantan
Selatan.
c. Hoggerechtshof (Mahkamah Agung),berkedudukan di Jakarta
yang merupakan Majelis Kehakiman Tertinggi di Hindia Belanda
dengan daerah hukum meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda.
Hukum Acara Perdatanya Reglement op de Burgelijk
rechtsvordaring.
2. Pengadilan Gubernament Bumi Putera
a. Districtsgerecht,terdapat dalam tiap-tiap District,sebagai Hakim
Tunggal adalah Kepala District,dan dibantu oleh Pegawai
Pemerintahan bawahannya sebagai penasihat (R.O Pasal 78 dan
86) dengan daerah hukum meliputi seluruh districtnya. Hukum
Acara Perdatanta Indische Reglament (HIR Stb.1941-44)
b. Regentschapsgerecht, terdapat pada tiap-tiap ibukota
Kabupatendengan daerah hukum meliputi Kabupaten
bersangkutan dan Bupati sebagai Hakim Tunggal. Hukum Acara
Inlands (HIR Stb. 1941-44)
c. Landraat,terdapat pada tiap-tiap kabupaten dan beberapa tempat
lain. Daerah hukum meliputi daerah hukum daerah hukum
Kabupaten dan jika dalam satu Kabupaten berkedudukan dua
Landraat atau lebih,daerah hukumnya ditetapkan oleh Gubernur
Jenderal. Landraat bersidang dengan suatu Majelis,seorang ahli
Hukum sebagai ketua dan dibantu oleh anggota-anggota. Hukum
Acara Inlands (HIR Stb. 1941-44)
3. Pengadilan Swapraja
a) Pengadilan Daerah Swapraja Surakarta terdiri dari :
1.a Pengadilan Pradoto,mengadili dalam instansi pertama dan
terakhir. Hukum Acara Hukum Adat.
2.a Pengadilan Surambi,adalah pengadilan Agama

13
3.a Pengadilan Pradoto Gede,mengadili dalam instansi
tertinggi dan sebagai Pengadilan Bandingan dari Surambi.
Hukum Acara : Hukum Islam
b) Pengadilan Daerah Sultan Yogyakarta,terdiri atas:
1.b Pengadilan Kraton Daerah Dolen,yaitu Putra Mahkota
sebagai Ketua. Hukum Acara: Hukum Adat.
2.b Pengadilan Sultan sendiri.
3.b Pengadilan Surambi (Acara). Hukum Acara :Hukum Islam
c) Pengadilan Daerah Mangkunegaran
1.c Pengadilan Pradato. Hukum Acara tidak tertulis.
2.c Pengadilan Surambi. Hukum Acara tidak tertulis.
d) Pengadilan Agama
Hakim Pengadilan Agama ini dilakukan oleh Pemimpin Mesjid yang
disebut Penghulu, hukum acara hukum Islam.5

B.Diluar Jawa dan Madura

1. Pengadilan-Pengadilan Gubernement Eropah

a. Residentiegerecht, terdapat di ibukota Keresidenan dan di


beberapa kota lain.

b. Raad van Justitie,berkedudukan di:


1.a di Padang,dengan daerah hukum meliputi Keresidenan
Sumatera Barat,Tapanuli,dan Bengkulu.
2.a di Medan,dengan daerah hukum meliputi Keresiden
Sumatera Timur,Aceh dan Riau.
3.a di Makassar,dengan daerah hukum meliputi Keresidenan
Sulawesi dan daerah teluknya,Manado Timur,dan Maluku.
Hukum Acaranya Reglement op de Burgelijk
Rechtsvordering.
2. Pengadilan Gubernement Bumi Putra

5
Bulkhaini,S.H,Hukum Acara Perdata Indonesia,(Padang:Universitas Andalas),hlm8-11

14
a. Districtsgerech ( pengadilan Distrik terdapat pada tiap-tiap distrik di
keresidenan.
b. Laandraat, terdapat di Ibukota Keresidenanan dan beberapa tempat
lainnya.
3. Pengadilan Bumi Putra,biasa disebut dengan rapat,Muspat, Kerapatan
Adat.
4. Pengadilan Agama,tugsnya mengadili sengketa di antara orang-orang
Islam,mengenai perkawinan,perceraian,hukum waris,dan wakaf.6

2.Pada Masa 8 Maret 1942 sampai 17 Agustus 1945

Setelah Jepang menduduki Indonesia,dikeluarkanlah UU Balatentara


Jepang tanggal 8 Maret 1942 No.1,dimana untuk sementara UU dan peraturan-
peraturan dari Pemerintah Hndia Belanda masih terus berlaku selama tidak
bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang. Dalam bidang
Peradilan Sipil,diatur denan UU No.34 Tahun 1942 tentang badan-badan
Peradilan Sipil sebagai berikut.

a. Gun Hooin (Pengadilan Kewedanan) lanjutan dari Districhtsgerecht.


b. Ken Hooin (pengadilan Kabupaten) lanjutan Regentschapsgerecht
c. Keizoi Hoin (Pengadilan Kepolisian) lanjutan Landgerecht.
d. Kootoo Hoin (Pengadilan Tinggi) lanjutan Raad van Justitie.
e. Soikoo Hoin (Pengadilan Agung) lanjutan dari Hooggerechshof.
f. Sooryo Hoin (Rapat Agama) lanjutan Priesterroad.
g. Kaikyo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam Tinggi) lanjutan Hof voor
Islamietsche zaken.

Sistem Peradilan Indonesia pada masa Jepang


merupakanpenyederhanaan dari sistem Peradilan Hindia Belanda tetapi berlaku
untuk semua golongantanpa ada lagi pemisahan antara peradilan Gubernment
dan Bumi Putra. Hukum Acara yang berlaku pada zama Jepang juga merupakan
hukum Acara Hindia Belanda.

6
Ibid hal11-12

15
3.Pada Masa 17 Agustus 1945 sampai 14 Januari 1941

Menurut Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 segala peraturan yang


masih ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD.
Semenjak Proklamasi sampai sekarang ada empat kotak-kotak Badan Peradilan
Umum di Indonesia yang diakibatkan oleh pendudukan sebagian dari wilayah RI
oleh Belanda (NICA) sehingga terbentuklah kotak-kotak badan Peradilan di dalam
RI,yaitu :

a. Dalam Wilayah yang Dikuasai Republik Indonesia


1. Pengadilan District atau Kewedanan
1. Pengadilan Kabupaten
2. Pengadilan Kepolisian
3. Pengadilan Negeri
4. Pengadilan Tinggi
5. Mahkamah Agung yang berkedudukan di Yogyakarta (UU No.7
Tahun 1947)
b. Badan-badan Peradilan Umum dalam daerah pendudukan Belanda
(NICA)
Peraturan Pokok yang mengatur organisasi Kehakiman dalam
Pemerintahan Pendudukan Belanda tercantum dalam Verordening No.11
tanggal 32 Desember 1945 dari CCOAMACAD (Chief Commanding Officer
Allied Military Administration Civil Affairs Branch) kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh :
1. Landgerecht,mengantikan Landgerecht lama tanpa membedakan
golongan.
2. Appelraad,yang diberi tugas dan wewenag seperti Raad van
Justitie dahulu dan berkedudukan di Jakarta.
3. Hoggerechtshof,melakuakn kasasi dari putusan-putusan
Landgerecht dan Appelraad dan mengawasi peradialn yang
dilakukan Landgerechts dan Appelraad.
Daerah-Daerah Negara Bagian

16
a. Negara Bagian Pasundan, Pengadilan Negara di tiap-tiap
kabupaten dan pengadilan Tinggi di Bandung.
b. Negara BagianSumatera Timu, diatur dalam reglement
Pengadilan Sumatera Timur dan Warta resmi Sumatera
Timur 1950 No.49 ada dua macam peradilan yaitu
Pengadilan Negara dan Pengadilan Tinggi di Medan.
c. Negara Indonesia Timur,diatur di dalam Stb.Indonesia
Timur No.26 Tahun 1948 yaitu:
1.a negerjrechtbanken
2.a districtsgerochten
3.a sebuah Mahkamah Justitie di Mkassar
c. Daerah-daerah Peradilan Umum pada zaman Republik Indonesia Serikat
(RIS)
Berdasarkan Pasal 192 Konstitusie Ris badan-badan Peradilan yang
sudah ada masih tetap berlaku. Pada masa ini terdapat dua buah UU
yaitu:
1. UU Mahkamah Agung Indonesia yaitu UU No.1 Tahun `1950
2. UU darurat No.18 tahun 1950

4.Badan-Badan Peradilan Pada Masa Republik Indonesia kesatuan (17 Agustus


1950)

Pada tanggal 17 Agustus 1950 Rebunlik Indonesia kembali terbentuk


setelah kesatuan dan Konstitusi RIS diganti menjadi UUDS.pada tanggal 14
Januari 1951 mulai berlaku UUDS No.1 tahun 1951 LN 1951 No.9. semenjak
tanggal 14 januari itu hanya ada 3 susunan Badan-badan Pengadilan di
Idonesia,yaitu:

1. Pengadilan Negeri
2. Pengadilan Tinggi
3. Mahkamah Agung

17
2.3 Sumber Hukum Acara Perdata

Sumber-sumber hukum acara perdata tersebar dalam berbagai ketentuan


peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang dapat dikemukakan
sebagai berikut:7

1. HIR (Her Herziene Indonesisch Reglement) atau Reglement Indonesia


Diperbarui, S. 1848 No. jo. S. 1941 No. 44. Peraturan ini khusus untuk
daerah Jawa dan Madura.
2. RBg. (Rechtsreglement Buitengewesten) atau Reglement Daerah
Seberang, S. 1927 No. 227. Peraturan ini untuk daerah luar Jawa dan
Madura.
3. Rv. (Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering) S. 1847 No. 52 jo. S.
1849 No. 63. Peraturan ini sebenarnya berlaku untuk pengadilan Raad
van Justitie yang dikhusukan bagi golongan Eropa, sehingga saat ini
sebenarnya sudah tidak berlaku lagi, namun dalam beberapa hal tetap
dijadikan pedoman dalam praktik apabila ketentuan dalam HIR/RBg. tidak
memberikan pengaturan.
4. B.W. (Burgerlijk Wetboek) Buku IV tentang Pembuktian dan Kedaluwarsa.
5. UU No. 20 Tahun 1947 tentang Banding untuk Daerah Jawa dan Madura.
6. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
7. UU No. 3 Tahun 2009 jo. UU No. 5 Tahun 2004 jo. UU No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.
8. UU No. 3 Tahun 2004 jo. UU No. 2 Tahun 1986 tentang Perdilan Umum.
9. Yurisprudensi-yurisprudensi tentang Hukum Acara Perdata.
10. Doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana.

Oleh karena sebagian besar kaidah Hukum Acara Perdata itu termuat
dalam HIR dan RBg. dan memerhatikan, bahwa isi kedua undang-undang
tersebut hampir tidak berbeda, maka selanjutnya pembahasan Hukum Acara
Perdata akan didasarkan kepada pembahasan HIR.

7 Bambang Sugeng A,S, SH, MH. Suyajadi, SH. Pengantar Hukum Acara Perdata, Kencana

Prenadamedia Group. Jakarta, 2012, hal. 2-3

18
2.4 Perbedaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum Acara Pidana

1. Perbedaan pengertian
 Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur
tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam
lingkup hukum perdata.
 Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur
tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam
lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur
dalam UU nomor 8 tahun 1981.
2. Perbedaan mengadili
 Hukum acara perdata mengatur cara mengadili perkara di muka
pengadilan perdata oleh hakim perdata
 Hukum acara pidana mengatur cara mengadili perkara di muka
pengadilan pidana oleh hakim pidana
3. Perbedaan pelaksanaan
 Pada acara perdata inisiatif dating dari pihak yang
berkepentingan/yang dirugikan
 Pada acara pidana inisiatif dating dari jaksa (penuntut umum)
4. Perbedaan dalam penuntutan
 Pada hukum acara perdata yang menuntut tergugat adalah pihak
yang dirugikan. Penggugat berhadapan dengan tergugat. Tidak
ada jaksa/penuntut umum. Timbulnya gugatan atau perkara
karena terjadi pelanggaran hak yang diatur dalam hukum perdata
 Pada acara pidana, jaksa sebagai penuntut umum yang mewakili
Negara menjadi penuntut terhadap terdakwa. Timbulnya gugatan
atau perkara karena terjadi pelanggaran terhadap perintah atau
larangan yang diatur dalam hukum pidana
5. Perbedaan alat bukti
 Pada acara perdata ada 5 alat bukti yaitu tulisan, saksi,
persangkaan, pengakuan dan sumpah.

19
 Pada acara pidana hanya ada 4 alat bukti saja yaitu tulisan, saksi,
persangkaan dan pengakuan. Sedangkan sumpah tidak menjadi
alat bukti.
6. Perbedaan penarikan kembali dalam suatu perkara
 Pada hukum acara perdata, sebelum ada putusan hakim, pihak
yang bersangkutan dapat menarik kembali perkaranya.
 Pada acara pidana perkara itu tidak apat ditarik kembali
7. Perbedaan kedudukan para pihak
 Pada acara perdata pihak-pihak mempunyai kedudukan yang
sama. Hakim bertindak sebagai wasit dan bersifat pasif
 Pada acara pidana jaksa kedudukannya lebih tinggi Dari terdakwa
dan hakim turut aktif
8. Perbedaan dalam dasar keputusan hakim
 Pada hukum acara perdata putusan hakim cukup dengan
mendasarkan diri pada kebenaran formal saja (akta tertulis dll)
 Pada hukum acara pidana putusan hakim harus mencari
kebenaran material (menurut keyakinan, perasaan keadilan hakim
sendiri)

9. Perbedaan macamnya hukuman


 Pada hukum acara perdata tergugat yng terbukti kesalahannya
dihukum denda atau hukuman kurungan sebagai pengganti denda
 Pada hukum acara pidana terdakwa yan terbukti kesalahannya,
dihukum pidana mati, penjara, kurungan atau denda, atau
mungkin ditambah pidana tambahan seperti dicabut hak-hak
tertentu, dll
10. Perbedaan dalam bandingan (pemeriksaan tingkat banding)
 Pada acara perdata bandingan perkara perdata dari Pengadilan
Negeri ke pengadilan tinggi disebut Appel
 Pada acara pidana bandingan perkara pidana dari Pengadilan
Negeri ke pengadilan tinggi disebut Revisi
11. Perbedaan dalam hal perdamaian

20
 Dalam hukum acara perdata dikenal adanya perdamaian
 Dalam hukum acara pidana tidak dikenal adanya perdamaian
12. Perbedaan dalam hal sumpah
 Dalam hukum acara perdata dikenal adanya sumpah decissoire
yaitu sumpah yang dimintakan kepada pihak lawannya tentang
kebenaran suatu dalil atau peristiwa
 Dalam hukum acara pidana tidak dikenal adanya sumpah
decissoire
13. Perbedaan asas
 Asas di dalam hukum acara perdata di Indonesia adalah:
a. Hakim bersifat menunggu.
Maksudnya adalah hakim bersifat menunggu datangnya
tuntutan hak diajukan kepadanya, kalau tidak ada tuntutan
hak atau tidak ada penuntutan maka tidak ada hakim. Jadi
apakah akan diproses ataukah tidak, apakah suatu perkara
atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya
diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. (pasal 118
HIR, 142 RBg.)
b. Hakim pasif.
Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif
dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa
yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya
ditentukan oleh para pihak yang erperkara dan bukan oleh
hakim.
c. Sifat terbukanya persidangan.
Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka
untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang diperbolehkan
hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan.
Tujuannya ialah untuk member perlindungan hak-hak asasi
manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin
obyektifitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan
pemeriksaan yang fair (pasal 19 ayat 1 dan 20 UU No. 4 tahun

21
2004). Apabila tidak dibuka untuk umum maka putusan tidak
sah dan batal demi hukum.
d. Mendengar kedua belah pihak.
Dalam pasal 5 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004 mengandung arti
bahwa di dalam hukum acara perdata yang berperkara harus
sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama
dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk
memberikan pendapatnya.
e. Putusan baru disertai alas an-alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alas an-alasan
putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (pasal 25 ayat
1, 319 HIR, 195, 618 RBg.)
Alas an-alasan atau argument itu dimaksudkan sebagai
pertanggungjawaban hakim daripada putusannya terhadap
masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu
hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif.
f. Beracara dikenakan biaya
Untuk beracara pada asasnya dikenakan biaya (pasal 3 ayat 2
UU No. 4 tahun 2004, 121 ayat 4, 182, 183 HIR, 145 ayat 4,
192-194 RBg.). biaya perkara ini meliputi biaya kepniteraan
dan biaya untuk pengadilan, pemberitahuan para pihak serta
biaya materai.
g. Tidak ada keharusan mewakilkan.
Pasal 123 HIR, 147 RBg. tidak mewajibkan para pihak untuk
mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di
persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang
langsung berkepentingan.
 Asas dalam hukum pidana yaitu asas hukum tidak tertulis, yaitu
segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan
perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
a. Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur dan tidak
memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari

22
penyidikan samapai dengan putusan hakim) dilakukan cepat,
ringkas, jujur dan adil (pasal 50 KUHAP).
b. Asas memperoleh bantuan hukum yaitu setiap orang punya
kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna
pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
c. Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan
secara terbuka untuk untuk umum (pasal 64 KUHAP).
d. Asas pembuktian yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain
oleh UU.

23
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Bulkhaini,S.H.1980.Hukum Acara Perdata Indonesia.Padang:Universitas Andalas

Sugeng,Bambang dan Sujadi.2013.Pengantar Hukum Acara


Perdata.Jakarta:Kencana

24
http://seramoeprintstasion.blogspot.co.id,dikunjungi 21/08-2016

25

Anda mungkin juga menyukai