Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum materil, baik yang tertulis sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau bersifat tidak
tertulis, merupakan pedoman bagi setiap warga masyarakat bagaimana mereka berbuat atau tidak berbuat didalam
masyarakat.

Adanya hukum bukan hanya untuk dibaca dan dipelajari saja, melainkan untuk dilaksanakan dan ditaati. Pelaksanaan
hukum perdata materil umumnya diserahkan pada individu-individu karena memang hukum perdata hanya mengatur
hubungan antar individu, akan tetapi ketika dalam perjalanannya tentu saja ada saja bentuk pelanggaran hukum yang
dapat merugikan salah satu pihak maka dari itu hukum perdata materil harus dipertahankan yaitu dengan melalui suatu
proses persidangan maka dari itu adanya hukum acara perdata atau hukum formil adalah suatu keniscayaan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana definisi hukum acara perdata?
2. Bagaimana sejarah hukum acara perdata di Indonesia?
3. Apa saja yang menjadi sumber hukum acara perdata?

C. TUJUA PENULISAN
1. Mengetahui definisi hukum acara perdata.
2. Mengetahui sejarah hukum acara perdata di Indonesia
3. Mengetahui apa saja yang menjadi sumber hukum acara perdata.
BAB II
HUKUM ACARA PERDATA

A. Definisi Hukum Acara Perdata


Untuk melaksanakan hukum perdata materiel terutama dalam hal adanya suatu pelanggaran atau ntuk
mempertahankan keberlangsungan hukum perdata materiel, dalam hal ada tuntutan hak diperlukan serangkaian
peraturan-peraturan hukum laindisamping hukum perdata materiel itu sendiri. Peraturan inilah yang disebut dengan
hukum perdata formil atau hukum acara perdata, Adapun pengertian hukum acara perdata menurut beberapa ahli
ialah:
 R.Subekti, Hukum acara itu mengabdi kepada hokum materiil, maka dengan sendirinya setiap perkembangan
dalam hokum materiil itu sebaiknya selalu diikuti dengan penyesuaian hokum acaranya.
 Abdul Kadir Muhammad, Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian
perkara perdata melalui pengadilan ( hakim) sejak diajukan gugatan sampai dengan putusan hakim.
 Wirjono Prodjodikoro, “Hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara
bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus
bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalanya peraturan-peraturan hokum perdata”
 Sudikno Mertokusumo, Hukum acara perdata merupakan peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan hakim atau peraturan hokum yang menentukan
bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hokum perdata materil. Kongkretnya: Hukum acara perdata mengatur
tentang bagaimana caranya  mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari pada
putusannya.
   MH.Tirtaamidjaja, Hukum acara perdata ialah suatu akibat yang timbul dari hukum perdata materiil.

Dari beberapa pengertian diatas dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa hukum acara perdata adalah suatu
peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, menerima serta memutus dan
pelaksanaan daripada putusannya.

B. Sejarah Hukum Acara Perdata di Indonesia


Berbicara mengenai sejarah hukum acara perdata, maka ada dua hal yang akan diuraikan yaitu tentang sejarah
ketentuan peundang-undangan yang mengatur hukum acara di peradilan dan sejarah lembaga peradilan di Indonesia.

Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan yang mengatur tentang hukum acara di lingkungan peradilan umum adalah
Herziene Indonesisch Reglement (HIR). HIR ini mengatur tentang acara di bidang perdata dan bidang pidana. Dengan
berlakunya UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),   maka pasal-pasal
yang mengatur hukum acara pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku lagi.
Nama semula dari HIR adalah Inlandsch Reglement (IR), yang berarti reglemen Bumiputera. Perancang  IR itu adalah
Mr. HL. Wichers, waktu itu presiden dari Hoogerechtshof, yaitu badan pengadilan tertinggi di Indonesia di zaman
kolonial Belanda. Dengan surat keputusan Gubernur Jendral Rochussen tertanggal 5 Desember 1846 No. 3, Mr.
Wichers tersebut diberi tugas untuk merancang sebuah reglement (peraturan) tentang “administrasi polisi dan proses
perdata serta proses pidana” bagi golongan bumiputera. Dengan uraian yang panjang itu dimaksudkan: hukum acara
perdata dan pidana. Dalam waktu relative singkat, yaitu belum sampai satu tahun, Mr. Wichers berhasil mengajukan
sebuah rencana pengaturan acara perdata dan pidana, yang terdiri atas 432 pasal.

Reglement Indonesia atau IR ditetapkan dengan Keputusan Pemerintah, tanggal 5 April 1848, Staatsblad 1848 No.16
dengan sebutan Reglement op de uitoefening van de politie, de burgerlijke rechtpleging en de strafvordering onder de
Indonesiers de vreemde Oosterlingen op Java en Madura atau lazim disebut HIR. Disingkat IR dan mulai berlaku
tanggal 1 Mei 1848.

Pembaruan IR menjadi HIR dalam tahun 1941 (staatblad 1941) ternyata tidak membawa perubahan suatu apapun pada
hukum acara perdata di muka pengadilan negeri. Adapun yang dinamakan pembaruan pada IR itu sebetulnya hanya
terjadi dalam bidang pidana saja, sedangkan dalam hukum acara perdata tidak ada perubahan. Terutama pembaruan
itu mengenai pembentukan aparatur kejaksaan atau penuntut umum (Openbare Ninisteries) yang berdiri sendiri dan
langsung berada dibawah pimpinan Procureur General, sebab dalam IR apa yang dinamakan jaksa itu pada hakikatnya
tidak lain dan tidak lebih dari pada seorang bawahan dari asisten residen, yang adalah seorang pejabat pamongraja.
Jadi jaksa waktu itu adalah lain sekali dari pada penuntut umum  bagi golongan Eropa yang betul-betul merupakan
suatu aparatur Negara yang merdeka yang terdiri atas Officieren vas justice yang semuanya adalah sarjana hukum.
Keberadaan itu oleh Pemerintah Hindia Belanda sudah lama dirasakan sebagai suatu penghinaan bagi golongan
penduduk asli, maka sewaktu timbul kegoncangan dikawasan Samudera Pasifik dengan pecahnya Perang Belanda
memberikan hadiah berupa kejaksaan (Openbare Ninisteries) yang berdiri sendiri (zelfstanding). Dengan dimulai
dikota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya  secara berangsur-angsur didirikan Parket van de Officer
van justice bij de landraad tahun 1941 ( R Subekti 1982:3-4) .

Pada zaman Hindia Beanda sesuai dengan dualisme hukum, maka pengadilan dibagi atas peradilan gubernemen dan
peradilan pribumi. Peradilan Gubernemen di Jawa dan Madura di satu pihak dan di luar jawa di lain pihak. Dibedakan
peradilan untuk golongan Eropa dan untuk Bumiputera. Pada umumnya peradilan gubernemen untuk golongan Eropa
pada tingkat pertama ialah Raad van Justitie sedangkan untuk golongan Bumiputera ialah Landraad. Kemudian Ran
van Justitie ini juga menjadi peradilan banding untuk golongan pribumi yang diputus oleh Landraad. Hakim-kaim
pada kedua macam peradilan tersebut tidak tentu. Banyak orang Eropa (Belanda) menjadi hakim Landraad. Dan
adapula orang Bumiputera di Jawa menjadi hakim pengadilan keresidenan yang yurisdiksinya untuk orang Eropa.

Orang Timur dipecah dalam urusan peradilan ini.Dalam perkara perdata, orang Cina tunduk pada system peradilan
Eropa sedangkan dalam perkara pidana tunduk kepada peradilan Bumiputera. Orang Timur asing lain, baik dalam
perkara perdata maupun dalam perkara pidana tunduk kepada peradilan Bumiputera. Pada puncaknya, peradilan
Hindia Belanda ada Hoogerechtscof itu ada procureur general (semacam Jaksa Agung). Sebagaimana telah disebutkan
di muka, bentuk peradilan gubernemen itu bervariasi, maka berbeda antara susunan pengadilan gubernemen di Jawa-
Madura di satu pihak dan luar Jawa-Madura di lain pihak. Susunan pengadilan di Jawa-Madura diatur dalam RO yang
mulai berlaku 1Mei 1848, sedangkan susunan pengadilan di luar Jawa dan Madura diatur dalam Rechtsreglement
Buitengewesten, mulai berlaku 1 Juli 1927.
Pada masa pendudukan Jepang pada umumnya tidak terjadi perubahan system peradilan, kecuali hapusnya perbedaan
golongan penduduk, dan oleh karena itu hapuslah Raad van Justitie sebagai peradilan Golongan Eropa. Hal ini diatur
dalam Usama Serei No.1 Tahun 1942.

Sesudah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 keadaan tersebut dipertahankan dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berbunyi “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

Dalam UUD 1945, dasar peradilan terdapat dalam Pasal 24. Sebagai perwujudan Pasal 24 UUD 1945, dibuatlah UU
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan:

·         Peradilan  umum

·         Peradilan Agama

·         Peradilan Militer

·         Peradilan Tata Usaha Negara

C.     Sumber Hukum Acara Perdata

Sumber-sumber hukum acara perdata tersebar dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan
dan yurisprudensi yang dapat dikemukakan sebagai berikut:

1.      HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) atau Reglement Indonesia, S. 1848 No. 16 jo. S. 1941 No. 44. Peraturan
ini khusus untuk daerah Jawa dan Madura.

2.      RBg. (Rechtsreglement Buitengewesten) atau Reglement Daerah Seberang, S. 1927 No. 227. Peraturan ini untuk


daerah luar Jawa dan Madura.

3.      Rv. (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) S. 1847 No 52 jo. S. 1849 No. 63. Peraturan ini sebenarnya
berlaku untuk peradilan Raad van Justite yang dikhususkan bagi golongan Eropa, sehingga saat ini sebenarnya sudah
tidak berlaku lagi, namun dalam beberapa hal tetap dijadikan pedoman dalam praktik apabila ketentuan dalam
HIR/RBg. tidak memberikan pengaturan.

4.      B.W. (Burgerlijk Wetboek) buku IV tentang pembuktian dan daluarsa.

5.      UU No. 20 Tahun 1947 tentang banding untuk Daerah Jawa dan Madura.
6.      UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

7.      UU No. 3 Tahun 2009 jo. UU No. 5 Tahun 2004 jo. UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

8.      UU No. 8 Tahun 2004 jo. UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

9.      Yurisprudensi-yurisprudensi tentang Hukum Acara Perdata.

10.  Doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana.[2]


BAB III KESIMPULAN

A.    Simpulan

hukum acara perdata adalah suatu peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, menerima serta memutus dan pelaksanaan daripada putusannya.

Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan yang mengatur tentang hukum acara di lingkungan peradilan
umum adalah Herziene Indonesisch Reglement (HIR). HIR ini mengatur tentang acara di bidang perdata dan bidang
pidana. Dengan berlakunya UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP),  maka pasal-pasal yang mengatur hukum acara pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku lagi. Sesudah
proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 keadaan tersebut dipertahankan dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berbunyi “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

B.     Saran

Sebagai makhluk social kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan hak yang kita miliki.
Disamping itu kita juga harus bias menghormati dan menjaga hak orang lain karena hak kita dibatasi oleh hak orang
lain. Dan jangan sampai pula hak kita  dilanggar oleh orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Sugeng, Bambang dan Sujayadi, “Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen Litigasi”, Jakarta: Kencana, 2012.

Moh. Taufik Makarso. “Pokok-pokok Hukum Acara Perdata”. Jakarta:PT Asdi Mahasatya. 2004.

Anda mungkin juga menyukai