Anda di halaman 1dari 66

Modul 2

Edisi Tahun 2022

Sumber Hukum Acara Perdata Dalam Sejarah dan


Sistem Peradilan Di Indonesia

Disusun oleh:
Dr. Saharuddin Daming, S.H., M.H.

Editor:

Disajikan untuk Mahasiswa Fakultas Hukum


Universitas Ibn Khaldun

Bogor
A. Sumber Hukum Acara Perdata
Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 UUDar 1/1951 Hukum acara perdata pada
pengadilan negeri dilakukan dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang
Darurat 1951-1 tersebut menurut peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang
telah ada dan berlaku untuk pengadilan negeri dalam daerah Republik Indonesia.
Adapun yang dimaksud oleh Undang-Undang Darurat tersebut tidak lain adalah
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau reglemen Indonesia yang diperbarui:
S. 1848 Nomor 16, S. 1941 Nomor 44) untuk daerah Jawa dan Madura serta
Rechtsglement voor de Buitengewesten (RBg atau reglemen daerah seberang: S. 1927
Nomor 227) untuk daerah luar Jawa dan Madura.
Jadi, untuk acara perdata, yang dinyatakan resmi berlaku adalah HIR untuk Jawa
dan Madura serta RBg untuk luar Jawa dan Madura. Reglement op de Burgerlijke
rechtsvordering (BRv atau reglemen acara perdata, yaitu hukum acara perdata untuk
golongan Eropa: S. 1847 Nomor 19 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata
Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990), hlm. 7—15.52, 1849 Nomor 63),
merupakan sumber juga dari hukum acara perdata.
Supomo berpendapat bahwa dengan dihapuskannya raad van justitie dan
hooggerechtshof, Rv sudah tidak berlaku lagi sehingga dengan demikian hanya HIR
dan RBg sajalah yang berlaku.
Keadaan tersebut menimbulkan pertanyaan, hukum acara perdata manakah yang
diberlakukan apabila seorang yang tunduk pada BW (kitab undang-undang hukum
perdata) mengajukan gugatan cerai? Dalam praktik, acara yang diatur dalam Rv akan
diterapkan.
Kecuali itu, dapat disebutkan Reglement op de Rechterlijke Organisasie in het
beleid der justitie in Indonesie (RO atau Reglemen tentang Organisasi Kehakiman: S.
1847 Nomor 23) dan BW buku IV sebagai sumber dari hukum acara perdata dan
selebihnya terdapat dalam BW,WvK (Wetboek van Koophandel; Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang) dan Peraturan Kepailitan.
1. UU Nomor 48 Tahun 2009
Tidak boleh dilupakan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157) tentang Kekuasaan Kehakiman
yang diundangkan pada 29 Oktober 2009 yang memuat beberapa ketentuan tentang
hukum acara perdata.
2. UU Nomor 3 Tahun 2009

1
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang undang tersebut mengatur susunan Mahkamah Agung; kekuasaan
Mahkamah Agung; serta hukum acara Mahkamah Agung, termasuk pemeriksaan
kasasi, pemeriksaan tentang sengketa kewenangan mengadili, dan peninjauan
kembali. Undang-undang ini memuat ketentuan hukum acara perdata.
3. UU Nomor 49 Tahun 2009
Kiranya perlu juga diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009
tentang Peradilan Umum yang mengatur susunan serta kekuasaan pengadilan di
lingkungan peradilan umum juga sebagai sumber hukum acara perdata.
20 Sudikno Mertokoesoemo, Hukum Acara Perdata Indonesia
(Yogyakarta:Liberty, 1993), hlm. 6—7. 5.Yurisprudensi Sebagai perbandingan, perlu
diketahui juga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Lembaran Negara 77) tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang penerapannya selambat-lambatnya lima tahun
sesudah diundangkannya.
Yurisprudensi21 merupakan sumber pula dari pada hukum acara perdata, antara
lain dapat disebutkan putusan Mahakamh Agung tertanggal 14 April 1971 Nomor 99
K/Sip/197122 yang menyeragamkan hukum acara dalam.
Perceraian bagi mereka yang tunduk pada BW dengan tidak membedakan antara
permohonan untuk mendapatkan izin guna mengajukan gugat perceraian dan gugatan
perceraian itu sendiri yang berarti bahwa hakim harus mengusahakan perdamaian di
dalam persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 HOCI.
4. Adat Kebiasaan Hakim dalam Memeriksa Perkara
Wirjono Prodjodikoro (1975)23 berpendapat bahwa adat kebiasaan yang dianut
oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata juga sebagai sumber
dari hukum acara perdata. Adat kebiasaan yang tidak tertulis dari hakim dalam
melakukan pemeriksaan itu akan beraneka ragam.
Tidak mustahil adat kebiasaan seorang hakim berbeda, bahkan bertentangan
dengan adat kebiasaan hakim yang lain dari pengadilan yang sama dalam melakukan
pemeriksaan.
Mengingat bahwa hukum acara perdata dimaksudkan untuk menjamin
dilaksanakannya atau ditegakkannya hukum perdata materiil yang berarti
mempertahankan tata hukum perdata, pada asasnya hukum acara perdata bersifat
mengikat dan memaksa.

2
Sementara itu, adat kebiasaan hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara
perdata yang tidak tertulis dalam melakukan pemeriksaan tidak akan menjamin
kepastian hukum.
5. Perjanjian Internasional
21 Dengan yurisprudensi di sini, diartikan putusan-putusan pengadilan. Menurut
S.J. Fockema Andreae dalam Rechtsgeleerd Handwoordenboek, yurisprudensi dapat
berarti juga peradilan pada umumnya dan ajaran hukum yang diciptakan dan
dipertahankan oleh peradilan.22 J.I. Pen.III/71, hlm. 16 23 Wirjono Prodjodikoro,
op.cit, hlm. 9 Salah satu sumber hukum acara perdata ialah perjanjian
internasional,misalnya ”perjanjian kerja sama di bidang peradilan antara Republik
Indonesia dan Kerajaan Thailand”.
Di dalamnya, terdapat kesepakatan mengadakan kerja sama dalam
menyampaikan dokumen-dokumen pengadilan dan memperoleh bukti-bukti dalam hal
perkara-perkara hukum perdata dan dagang. Warga negara kedua belah pihak akan
mendapat keleluasaan beperkara dan menghadap ke pengadilan di wilayah pihak yang
lainnya dengan syarat-syarat yang sama, seperti warga negara pihak itu.
Masing-masing pihak akan menunjuk satu instansi yang berkewajiban untuk
mengirimkan dan menerima permohonan penyampaian dokumen panggilan.
Instansi untuk Republik Indonesia adalah Direktorat Jendral Pembinaan Badan
Peradilan Umum Departemen Kehakiman, sedangkan Kerajaan Thailand adalah
Office of Judicial Affairs of the Ministry of Justice.
6. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan
Doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara perdata juga
atau sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata.
Akan tetapi, doktrin itu sendiri bukanlah hukum. Kewibawaan ilmu pengetahuan
karena didukung oleh para pengikutnya serta sifat objektif dari ilmu pengetahuan itu
menyebabkan putusan hakim bernilai objektif juga.
7. Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung
Bagaimanakah dengan instruksi dan surat edaran Mahkamah Agung? Instruksi
dan surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) sepanjang mengatur hukum acara
perdata dan hukum perdata materiil tidaklah mengikat hakim sebagaimana halnya
undang-undang.
Akan tetapi, instruksi dan surat edaran MA merupakan sumber tempat hakim
yang dapat menggali hukum acara

3
perdata ataupun hukum perdata materiil.
24 Sehubungan dengan ini, marilah kita perhatikan surat edaran Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 1963 yang pada umumnya dianggap membatalkan BW.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif dengan Surat Edaran
Nomor 3 Tahun 1963 tersebut tidak wenang
membatalkanBW atau undang 24 Bandingkan dengan
Subekti, Hukum Acara Perdata.
Maksud Mahkamah Agung dengan SEMA Nomor 3 Tahun 1963 yang
merupakan instruksi kepada para hakim memang baik, yaitu agar hakim
menyesuaikan BW dengan perkembangan masyarakat, tetapi SEMA Nomor
3 Tahun 1963 itu sendiri secara yuridis teoretis tidak
mempunyai kekuatan membatalkan BW.
Kalau Mahkamah Agung dengan SEMA Nomor 3 Tahun1963 bermaksud
untuk membatalkan BW, Mahkamah Agung Melanggar ajaran tentang pembagian
kekuasaan. Atas dasar kebebasannya, hakim cukup berwenang untuk menyesuaikan
isi undang-undang dengan perkembangan masyarakat, tanpa menunjuk pada SEMA
Nomor 3 Tahun 1963.
Seperti juga halnya dengan doktrin, instruksi dan surat edaran bukanlah
hukum, melainkan sumber hukum. Ini bukan dalam arti tempat kita menemukan
hukum, melainkan tempat kita dapat menggali hukum.
Dapat juga hakim menggunakan lembaga-lembaga hukum acara perdata yang
disebut dalam instruksi atau surat edaran, asal saja sebagai ciptaan sendiri tanpa
menunjuk instruksi atau surat edaran yang bersangkutan. (bandingkan dengan putusan
Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 17 Januari 1955, H 1966 Nomor 1—2 hlm. 77)

B. Sejarah dan Perkembangan Sistem Peradilan Pada Masa Kolonial


Belanda
Hukum acara perdata Indonesia yang berlaku saat ini berasal dari zaman
Pemerintahan Hindia Belanda yang hingga saat ini ternyata masih dipertahankan
keberadaannya.
Oleh karena itu, membicarakan hukum Reglement op de Buergerlijke
rechtsvordering (Rv) Adalah hukum acara perdata bagi golongan orang Eropa di masa

4
Belanda yang digunakan dulu di lembaga peradilan Raad van Justitie,
Residentiegerecht, dan Hoogerechtshof.
Herziene inlandsch reglement (HIR) adalah reglemen Indonesia yang
diperbaharui sejak tahun 1941. Isi dari HIR adalah hukum acara perdata dan hukum
acara pidana, juga peradilan-peradilan kabupaten (regenschapsgerecht), pengadilan
distrik (districtsgerecht), dan pengadilan negeri yang bersifat tidak formalistis.
HIR masih menjadi acuan hukum acara perdata hingga saat ini. Rechtsreglement
Buitengewesten (RBG) Adalah diberlakukan untuk daerah-daerah di luar jawa dan
Madura.
Retnowulan Soetantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek(Bandung:
Mandar Maju, 2002), hlm. 1.6 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di
Indonesia (Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1975), hlm. 14.7 Riduan Syahrani,
Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum(Pustaka Kartini, 1988), hlm.
5.8 Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (Jakarta: Pradnja Paramita
1993), hlm. 13.
Perdata ini dimulai sejak lahirnya hukum acara perdata itu sendiri. Berbicara
mengenai sejarah hukum acara perdata di Indonesia, tidak dapat terlepas dari
membicarakan sejarah peradilan di Indonesia.
Hal ini disebabkan dari definisi hukum acara perdata yang telah dikemukakan di
atas, diketahui bahwa hukum acara perdata hanya diperlukan apabila seseorang
hendak berperkara di muka pengadilan.
Deskripsi mengenai hukum acara perdata maupun lembaga perdilan pada zaman
kolonial Hindia Belanda, tentu kita tidak bisa melepaskan dari kebijakan hukum oleh
penguasa Hindia Belanda yang terjadi pada masa itu. Hal paling mencolok adalah
kebijakan politik diskriminasi yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang
melakukan pengklasifikasian masyarakat yang ada di Hindia Belanda menjadi 3 (tiga)
golongan, yaitu golongan eropa, timur asing, dan bumiputera (pribumi). Hal ini
berakibat pada perbedaan hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan
tersebut.
Adapun bentuk kebijakan politik hukum tersebut tercermin dalam Indische
saatsregeling yaitu undang-undang dasar yang mengatur tata negara dan
pemerintahan Hindia Belanda. IS mulai berlaku pada 1 Januari 1926 sebagai
pengganti dari Regeringsreglement 1854 (Stbld 1855-1 jo 2).

5
Pada pasal 131 IS (Indische Staats Regeling) yang mengambil alih pasal 75 RR.
Pasal 131 IS yang merupakan “Pedoman Politik Hukum” pemerintah Belanda
memuat ketentuan-ketentuan antara lain:
1. Hukum Perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara
pidana, harus diletakkan dalam kitab Undang-undang atau dikodifisir (ayat 1).
2. Terhadap golongan Eropa, harus diperlakukan perundang-undangan yang ada di
negeri Belanda dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang (ayat 2 sub a).
ayat ini sering disebut sebagai ayat yang memuat asas konkordansi.
3. Bagi orang Indonesia asli dan Timur Asing, ketentuan Undang-undang Eropa
dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang dapat diperlakukan apabila
kebutuhan mereka menghendakinya (ayat 2 sub b).
4. Orang Indonesia asli dan Timur Asing diperbolehkan menundudukkan dirinya
kepada hukum yang berlaku bagi orang Eropa, baik sebagian maupun seluruhnya
(ayat 4).
5. Hukum adat yang masih berlaku bagi orang Indonesia asli dan Timur Asing tetap
berlaku sepanjang belum ditulis dalam Undang-undang (ayat 6).
Berdasarkan isi pasal-pasal tersebut tampak aroma politik pecah belah (devide et
impera) pemerintah Hindia Belanda yakni :
a. Membedakan hukum yang berlaku untuk orang Eropa, Bumi Putera dan Timur
Asing yang ada Hindia Belanda pada waktu itu.
b. Membagi penduduk di Hindia Belanda atas golongan Eropa, Bumi Putera dan
Timur Asing.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, penduduk Indonesia dibagi dalam 3
golongan dan masing-masing golongan penduduk tersebut mempunyai Hukum
Perdata sendiri-sendiri.
Pada jaman Hindia Belanda, dibidang Hukum Perdata pada umumnya dan
Hukum Perdata Waris pada khususnya di jumpai pluralisme hukum. Hal ini terjadi
karena pemerintah Hindia Belanda menurut pasal 163 ayat (1) I.S (Indische Staats
Regeling), penduduk Indonesia dibagi dalam 3 golongan penduduk yaitu:
1. Golongan Eropa
Menurut pasal 163 ayat (2) I.S, yang termasuk golongan Eropa adalah:
a. Semua warga negara Belanda
b. Orang Eropa
c. Warga negara Jepang

6
d. Orang-orang yang berasal dari negara lain yang hukum kekeluargaannya sama
dengan hukum keluarga Belanda, terutama azas monogami
e. Keturunan mereka yang tersebut di atas.
2. Golongan Pribumi
Menurut pasal 163 ayat (3) I.S, yang termasuk golongan pribumi adalah :
a. Orang Indonesia asli
b. Mereka yang semula termasuk golongan lain, lalu membaurkan dirinya kedalam
orang Indonesia asli.
3. Golongan Timur Asing
Menurut pasal 163 ayat (4) I.S, yang termasuk golongan Timur Asing adalah mereka
yang tidak termasuk dalam golongan Eropa atau Indonesia asli yaitu :
a. Golongan Timur Asing Tionghoa (Cina)
b. Golongan Timur Asing bukan Tionghoa
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, terdapat berbagai Hukum Perdata yang
berlaku bagi golongan – golongan warga negara di Indonesia. Penggolongan hukum
perdata tersebut adalah :
- Golongan bangsa Indonesia asli (bumiputera)
Bagi Bumi Putera berlaku hukum adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah
berlaku di kalangan masyarakat tetapi hukum ini masih berbeda-beda sesuai dengan
daerahnya masing-masing. Disamping hukum adat, terdapat beberapa peraturan
undang-undang yang secara khusus dibuat oleh pemerintah Belanda bagi golongan
Bumi Putera, yaitu antara lain :
a. Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia kristen (Stb 1933 No. 74)
b. Ordonansi tentang Maskapai Andie Indonesia atau IMA (Stb 1939 No. 509 jo
717)
c. Ordonansi tentang perkumpulan bangsa Indonesia (Stb 1939 No. 570 jo 717)
- Golongan Eropa
Bagi golongan Eropa, berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab
UndangUndang Hukum Dagang yang diselaraskan dengan Burgelijk Wetbook dan
Wetbook Van Koophandel yang berlaku di negara Belanda.
- Golongan Tionghoa (Cina)
Bagi golongan Tionghoa, berlaku KUHPerdata dan KUHD dengan beberapa
pengecualian, yaitu mengenai pencatatan sipil, cara-cara perkawinan, dan
pengangkatan anak (Adopsi).

7
- Golongan Timur Asing yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa
Bagi golongan Timur Asing yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa
(seperti: Arab, India, Pakistan, Mesir dan lain-lain) berlaku sebagian dari
KUHPerdata dan KUHD, yaitu mengenai hukum harta kekayaan, sedangkan hukum
waris (tanpa wasiat), hukum kepribadian dan hukum keluarga berlaku hukum negara
mereka sendiri.1
Sejarah singkat lembaga peradilan Pada zaman Pemerintah Hindia Belanda
dahulu, terdapat beberapa lembaga peradilan yang berlaku bagi orang-orang atau
golongan yang berbeda, yaitu
1) peradilan gubernemen, lembaga peradilan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Hindia Belanda
2) peradilanswapraja (zelfbestuurrechtspraak), yaitu suatu peradilan yang
diselenggarakan oleh sebuah kerajaan, diatur dalam suatu peraturan Swapraja tahun
1938 (Zelfbestuursregelen 1938);
3) peradilan adat (inheemse rechtspraak) diatur dalam Staatsblaad 1932—80 yang
dalam Pasal 1-nya menyebut tidak kurang dari tiga belas karesidenan yang ada
peradilan adat;
4) peradilan agama (godienstigerechtspraak) diatur dalam Pasal 134 ayat (2) Indische
Staatsregeling diatur lebih lanjut dalam S. 1882-152, kemudian diubah dalam S. 1937-116;
dan
5) peradilan desa (dorpsjustitie) diatur dalam S. 1935-102 yang dalam Pasal 3a RO
(reglement op de rechterlijke organisatie) disebut hakim-hakim perdamaian desa
(dorpsrechter).
Kebijakan kebijakan politik hukum diskriminatif oleh pengusa colonial Belanda,
juga berimbas pada lembaga peradilan yang berlaku pada masa itu, antara lain :
1. Pribumi Indonesia
a. Districtgerecht
Districtgerect terletak di kecamatan dan dipimpin oleh Camat sebagai hakim.
Perkara-perkara yang disidangkan di districtgerecht adalah:
1) Perkara perdata dengan nilai objek kurang dari 20 (dua puluh) gulden;
a) Perkara pidana yang diancam maksimal pidana denda 3 (tiga) gulden;

1 http://eprints.ums.ac.id/20763/2/BAB_I.pdf

8
b) Putusan perdata dari districtgerecht dapat dimintakan banding ke
regentschapgerecht, sedangkan putusan pidananya bersifat final dan langsung
mengikat (tidak dapat dimintakan banding).
b. Regentschapgerecht
Regentschapgerecht terletak di kabupaten dan dipimpin oleh Bupati atau
deputinya sebagai hakim. Perkara-perkara yang disidangkan di regentschapgerecht
adalah:
1) Perkara perdata dengan nilai objek 20-50 gulden;
2) Perkara pidana yang diancam maksimal pidan penjara 6 hari atau denda 3-10
gulden;
3) Regentschapgerecht adalah pengadilan tingkat banding atas putusan
districtgerecht. Putusan regentschapgerecht sendiri dapat dimintakan banding ke
landraad.
c. Rechtspraak fer Politierol/Politierol
Politierol terletak di Kabupaten dengan asisten gubernur sebagai hakim
tunggal. Lembaga pengadilan ini hanya mengadili perkara pidana yang diancam
pidana denda maksimal 25 gulden. Lembaga pengadilan ini dibubarkan pada tahun
1901 dan digantikan oleh landgerecht pada tahun 1914.
d. Landraad
Landraad adalah lembaga pengadilan yang memiliki yurisdiksi se-kabupaten
dimana hakim yang bertugas di landraad adalah hakim-hakim professional.
Perkara-perkara yang disidangkan di landraad adalah:
1) Perkara perdata dengan nilai objek lebih dari 50 gulden atau di bawah 50 gulden
untuk golongan eropa;
2) Perkara pidana di luar kewenangan districtgerecht, regentschapgerecht, dan
politierol, salah satunya adalah pidana yang diancam pidana denda maksimal
lebih dari 25 gulden.

Putusan landraad dapat dimintakan banding ke Raad van Justitie dan


Hooggerechtschof. Untuk putusan perdata dengan nilai objek di atas 100 gulden
dan putusan pidana berupa putusan bebas, dapat dimintakan banding ke Raad van
Justitie, sedangkan untuk putusan perdata dengan nilai objek di atas 500 gulden
dan putusan pidana dengan pemidanaan selain bebas, dapat dimintakan banding ke
Hooggerechtschof.

9
2. Golongan Eropa
a. Residentiegerecht
Residentiegerecht berada di semua kota yang memiliki landraad dan memiliki
wilayah yurisdiksi hukum sama dengan landraad. Persidangan di
residentiegerecht dipimpin oleh hakim tunggal, yang adalah hakim dari landraad.
Perkara-perkara yang dapat disidangkan di residentiegerecht adalah sebagai
berikut:
1) Klaim yang nilainya tidak melebihi 500 gulden pada kewajiban pribadi,
pembayaran untuk hak guna usaha, memperoleh kepemilikan properti pribadi.
2) Klaim pada kerusakan yang diakibatkan manusia atau perilaku hewan atas
tanah, semak-semak, pohon atau taman buah atau umbi-umbian, perbaikan dan
kerusakan untuk properti nyata disewa, yang berada di bawah penguasaan
penyewa.
3) Klaim atas tindakan sewenang-wenang terhadap perencanaan penggunaan
tanah, pohon, pagar, sungai, bendungan, saluran air atau yang mengakibatkan
kerusakan pada hal-hal tersebut, yang sah di bawah hukum adat indonesia.
4) Klaim dalam penyewaan property, yaitu pengosongan properti karena
berakhirnya jangka sewa, terlepas dari harga sewa, kecuali bahwa di
persidangan, penyewa dengan bukti tertulis membuktikan bahwa jangka sewa
telah diperbaharui dan harganya melebihi 600 gulden per tahun.
5) Klaim atas pemutusan kontrak sewa dan pengosongan properti yang disewa,
dalam kasus penyewa diabaikan untuk membayar dan kemudian menyewa
kecuali tidak melebihi 600 gulden.
6) Permohonan (putusan yang besifat deklaratoir) mengenai penyitaan properti
yang telah dilakukan adalah sah selama dilakukan atas dasar klaim di bawah
yurisdiksi residentiegerecht.
7) Permohonan (putusan yang bersifat deklaratoir) mengenai pengosongan atau
pelegalan tawaran pembayaran atau pembayaran agar barang disimpan di
pengadilan, jika harga barang yang ditawarkan atau jumlah uang yang
disetorkan tidak melebihi 500 gulden.
8) Perlawanan klaim atas suatu hal yang mana hal tersebut berada di bawah
yurisdiksi residentiegerecht.

10
9) Penyelesaian perselisihan eksekusi hukuman jika para pihak adalah orang
pribumi Indonesia atau timur asing non-cina, asalkan para pihak secara
sukarela menundukkan diri pada hukum Eropa.
10) Sengketa ketenagakerjaan terlepas dari berapa nilai sengketa nya dan
golongan yang menjadi para pihak.
11) Tidak semua putusan residentiegerecht dapat diajukan banding ke
Raad van Justitie. Hanya putusan atas perkara no. 9 di atas yang dapat
dimintakan banding ke Raad van Justitie sebagai pengadilan tinggi.
b. Raad van Justitie
Raad van Justitie (RvJ terletak di 6 (enam) kota, yaitu Jakarta, Surabaya,
Semarang, Padang, Medan, dan Makassar. Wilayah hukum RvJ Jakarta meliputi
Jawa Barat, Lampung, Palembang, Jambi, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat.
Wilayah hukum RvJ Surabaya meliputi Jawa Timur dan Madura, Bali, Lombok,
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Wilayah hukum RvJ Semarang
meliputi Jawa Tengah. Wilayah hukum RvJ Padang meliputi Sumatera Barat,
Tapanuli, dan Bengkulu. Wilayah hukum RvJ Medan meliputi Sumatera Timur,
Aceh, dan Riau. Dan wilayah hukum RvJ Makassar meliputi Sulawesi, Timor, dan
Maluku.
RvJ adalah pengadilan untuk orang golongan eropa, baik untuk perkara
pidana, maupun perkara perdata. Untuk golongan chinese, pengadilan ini adalah
pengadilan untuk perkara perdata. Pengadilan ini juga berwenang mengadili
perkara perdata yang diajukan oleh orang-orang di luar golongan eropa dan
chinese, selama hal yang diperkarakan adalah masuk ke dalam hukum eropa dan
para pihak tersebut menundukkan diri secara sukarela pada hukum eropa.
Selanjutnya, terlepas dari golongan masyarakat, RvJ berwenang untuk mengadili
kasus perdata atas barang yang ditemukan dari laut dan teluk.
Untuk perkara pidana, tanpa memperhatikan asal golongan masyarakat, RvJ
berwenang mengadili perkara pidana mengenai perdangan budak (slave trade),
tindak pidana ekonomi, pembajakan, perampokan barang ketika transit di pantai,
perampokan barang di sungai, dan tindak pidana lainnya. RvJ juga berwenang
mengadili sengketa kewenangan mengadili dari pengadilan-pengadilan yang
berada di bawah nya. Disamping itu, RvJ merupakan pengadilan tingkat banding
atas putusan-putusan landraad dan residentiegerecht.

11
Sejak tanggal 1 Januari 1983, RvJ Jakarta, sebagai pengadilan tingkat banding,
memiliki panel khusus untuk mengadili perkara banding atas putusan landraad se-
Jawa dan Madura. RvJ Surabaya dan Semarang tidak dapat lagi menjadi
pengadilan banding atas putusan-putusan landraad tersebut. Untuk putusan-putusan
landraad di wilayah lainnya, apabila para pihak bersepakat, maka dapat langsung
diajukan banding ke RvJ Jakarta, tanpa melalui RvJ yang seharusnya menjadi
pengadilan banding atas perkara tersebut. Putusan banding RvJ Jakarta tidak dapat
diajukan banding lagi.
Dalam perkara perdata, putusan RvJ sebagai pengadilan tingkat pertama dapat
dimintakan banding apabila nilai klaim/objek lebih dari 500 gulden. Sedangkan,
dalam perkara pidana, putusan RvJ yang dapat dimintakan banding (sebagai
pengadilan tingkat pertama) adalah seluruh putusan kecuali putusan yang
menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah. Pengadilan banding atas putusan RvJ
adalah Hooggerechtshof.
c. Hooggerechtshof
Hooggerechtshof, atau Mahkamah Agung Kolonial, terletak di Jakarta dengan
wilayah yurisdiksi seluruh Hindia Belanda. Hooggerechtshof dipimpin oleh “chief
justice”, atau yang sekarang disebut sebagai Ketua Mahkamah Agung. Selain
sebagai pengadilan tingkat banding terakhir, Hooggerechtshof adalah pengadilan
tingkat pertama untuk perkara pidana dimana tindak pidana dilakukan oleh pejabat
tinggi lembaga yudisial dan administratif, seperti anggota volksraad (DPR masa
Hindia Belanda). Putusan Hooggerechtshof bersifat final dan mengikat.
Hooggerechtshof memiliki kekuasaan untuk me-review putusan-putusan
pengadilan yang sudah dijatuhkan sebelumnya. Selain itu, fungsi utama
hooggerechtshof adalah men-supremasi implementasi kekuasaan kehakiman oleh
pengadilan di bawah nya.
Selain lembaga-lembaga pengadilan di atas, ada beberapa lembaga peardilan
yang memiliki keistimewaan, yang dibentuk pada masa kolonial Hindia Belanda,
yaitu Landgerecht. Landgerecht adalah lembaga pengadilan umum berdiri
menggantikan Politierol sejak tahun 1914. Keistimewaan dari Landgerecht adalah
lembaga pengadilan ini dapat mengadili perkara untuk semua golongan.
Landgerecht dijalankan oleh hakim professional.
Pemeriksaan di landgerecht dilakukan dengan hakim tunggal. Jenis perkara
yang dapat disidangkan di landgerecht adalah perkara pidana yang diancam

12
maksimal dengan 3 (tiga) bulan pidana penjara atau denda 500 gulden. Putusan
landgerecht tidak dapat diajukan banding.
Walaupun mengadili dari semua golongan masyarakat (eropa, timur asing, dan
pribumi), namun hukum acara yang dipakai untuk masing-maisng golongan
masyarakat adalah berbeda. Kalau tindak pidana tersebut dilakukan oleh golongan
pribumi dan eropa, maka hukum acara yang digunakan adalah hukum acara untuk
golongan eropa.
Hal yang menarik dari sistem pengadilan pada masa kolonial Hindia Belanda
ini adalah apabila suatu perkara melibatkan 2 atau lebih orang dari golongan yang
berbeda, maka apabila perkara tersebut adalah perkara pidana, akan diadili di Raad
van Justitie, sedangkan apabila perkara tersebut adalah perkara perdata, akan
diadili di residentiegerecht.
Selain lembaga-lembaga pengadilan yang tersebut di atas, yang lazim disebut
“lembaga peradlan umum”, pada masa kolonial Hindia Belanda juga dibentuk
beberapa lembaga pengadilan lain, yaitu:
d. Inheemsche Rechtspraak
Inheemsche Rechtspraak adalah lembaga pengadilan yang dibentuk untuk
golongan bumiputera/pribumi Indonesia yang tidak dilaksanakan berdasarkan “In
Naam des Konings” (Atas Nama Raja/Ratu). Pengadilan ini dilaksanakan oleh
seorang hakim yang bukan hakim pemerintah Belanda, melainkan diserahkan
kepada penguasa adat setempat. Ada 3 bentuk Inheemsche Rechtspraak ini, yaitu:
1) Inheemsche Rechtspraak di daerah swapraja, yaitu daerah yang tidak langsung
berada di bawah Pemerintah Hindia Belanda (Indirect Gebeid), yang dikenal
dengan istilah “Pengadilan Swapraja”;
2) Inheemsche Rechtspraak di daerah yang langsung di bawah Pemerintah
Hindia Belanda (Direct Gebeid), yang dikenal dengan istilah “Pengadilan
Adat”. Pada tahun 1935, untuk daerah ini, dibentuk suatu pengadilan
bumiputera yang disebut “Pengadilan Desa” (Dorpsrechtspraak), yang
memutus perkara dengan hukum adat, tidak boleh menjatuhkan pidana
menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pengadilan ini tidak dikenal di
Batavia (Jakarta), dan hanya terdapat di Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Sumatera Selatan, dan Irian Jaya (Papua).
3) Godsdienstige Rechtspraak (Pengadilan Agama) yang menurut hukum yang
hiduo dalam masyarakat merupakan bagian tersendiri dari Pengadilan

13
Swapraja dan Pegadilan Adat. Pada masa kolonial Hindia Belanda, dikenal
adanya 2 bentuk Pengadilan Agama, yaitu:
a) Pengadilan Agama yang dihubungkan dengan Gouvernement Rechtspraak
(Pengadilan Pemerintah), yang diatur secara resmi dengan Staatsblad
Hindia Belanda 1929 Nomor 221 Nomor 487. Pengadilan Agama untuk
Pulau Jawa dan Madura diatur dalam Staatsblad Hindia Belanda 1937
Nomor 119, yang dimasukkan menjadi Pasal 2a Koninklijk Besluit
Staatsblad Hindia Belanda 1882 Nomor 152 jo. 152, yang kemudian
disebut sebagai “Raad Agama”. Sebagai pengadilan banding atas putusan
Raad Agama, dibentuklah Mahkamah Islam Tinggi (Hof voor Islamietische
Zaken) di Batavia (Jakarta). Untuk Pengadilan Agama di Kalimantan diatur
berdasarkan staatsblad Hindida Belanda 1937 Nomor 638.
b) Pengadilan Agama yang tidak diatur dengan undang-undang (staatsblad)
pengaturannya diserahkan kepada tata pemerintahan adat setempat.
e. Krygsraad
Krygsraad adalah Pengadilan Militer. Pengadilan Militer pada masa kolonial
Hindia Belanda terdiri dari Krygsraad sebagai Pengadilan Militer Tingkat Pertama
dan Hoogmilitair Gerechtshof sebagai Pengadilan Militer Tingkat Banding.
3. Peradilan gubernemen Peradilan gubernemen terdiri atas dua lembaga peradilan.
Pertama, lembaga peradilan yang diperuntukkan bagi golongan Eropa dan yang
dipersamakan, terdiri atas raad van justitie dan residentiegerecht sebagai pengadilan
tingkat pertama atau hakim sehari-hari (dagelijkse rechter) dan hoggerechtshof
sebagai lembaga pengadilan tertinggi yang berkedudukan di Batavia (sekarang
Jakarta).
Kedua, lembaga peradilan yang diperuntukkan bagi golongan bumiputra yang
dilaksanakan oleh sebuah landraad sebagai pengadilan tingkat pertama didampingi
oleh beberapa badan pengadilan untuk perkara-perkara kecil, misalnya pengadilan
kabupaten, pengadilan distrik, dan beberapa lagi, sedangkan tingkat banding
dilaksanakan oleh raad van justitie.
Adapun yang dimaksud pengadilan kabupaten dan pengadilan distrik hanya
menyelesaikan perkara-perkara kecil, yaitu perkara-perkara perdata yang tuntutannya
di bawah nilai seratus gulden menjadi wewenang dari kedua pengadilan tersebut
untuk menyelesaikannya.
4. Peradilan swapraja

14
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pengadilan-pengadilan swapraja di
Jawa, Madura, dan Sumatra dengan resmi dihapuskan oleh Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1947, kemudian dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
yang mulai berlaku pada 14 Januari 1951,9 dan menyusul penghapusan pengadilan-
pengadilan swapraja di daerah-daerah lain, misalnya Sulawesi dan Nusa Tenggara.
Ukuran tentang kekuasaan peradilan swapraja terletak pada permasalahan apakah
tergugat adalah seorang kaula (onderhoogerige) dari swapraja di mana ia berada atau
dari pemerintah pusat. Adapun mereka yang termasuk kaula pemerintah pusat
menurut Pasal 7 ayat (3) dan (4) Peraturan Swapraja tahun 1938 adalah orang Eropa;
timur asing (vreemde osterlingen), kecuali keturunan raja; pegawai-pegawai
pemerintah pusat; dan buruh dari beberapa macam perusahaan.
Sementara itu, orang-orang Indonesia asli yang bukan pegawai negeri dan bukan
buruh semacam itu adalah kaula swapraja.
5. Peradilan adat
Peradilan adat hanya berada di daerah-daerah di luar Jawa dan Madura. Pada
zaman Hindia Belanda, Pasal 130 Indische Staatsregeling memberi kemungkinan
bahwasanya di beberapa daerah di Indonesia, ada peradilan adat, di samping peradilan
yang diatur dalam reglement rechterlijke organisatie (RO), reglemen indonesia yang
diperbarui untuk jawa dan madura yang mulai berlaku pada 1848 kemudian RBG
(rechtreglement voor de buitengewesten) yaitu reglemen diluar jawa dan madura,
mulai berlaku 1927 herziene inlandsch reglement (HIR), rechtsreglement
buitengewesten, dan yang disebut gouvernments-rechtspraak.
Kemungkinan pada zaman Pemerintahan Balatentara Dai Nippon dan setelah
Republik Indonesia merdeka, di beberapa daerah dari 13 karesidenan tersebut, secara
de facto peradilan adat dihapuskan dan kekuasaan mengadili diserahkan kepada
pengadilan negeri.
Pasal 1 ayat 2 UU Darurat 1951 menentukan, “Pada saat yang berangsur-angsur
akan ditentukan oleh menteri kehakiman dihapuskan a) segala pengadilan swapraja
(zelfbestuurrechtspraak) dalam Negara Sumatera Timur dahulu, residensi Kalimantan
Barat dahulu, dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali peradilan agama, jika
peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari
peradilan swapraja;) segala pengadilan adat (inheemsche rechtspraak in rechtsteek
bestuurd gebied), kecuali peraturan agama, jika peradilan itu menurut hukum yang
hidup merupakan bagiam tersendiri dari peradilan adat Akan tetapi, pada waktu itu, di

15
beberapa daerah masih ada dua macam pengadilan sebagai hakim sehari-hari, yaitu
pengadilan negeri dan pengadilan-pengadilan dari peradilan adat atau dari peradilan
swapraja.
Di Palembang, peradilan adat ini pada tingkat pertama dilakukan oleh kerapatan
besar dan kerapatan kecil yang diketuai oleh seorang pasirah atau wedana, sedangkan
peradilan-peradilan yang dilakukan oleh kerapatan tinggi di Kota Palembang yang
ketuanya dijalankan oleh ketua Pengadilan Negeri Palembang.
Pada akhirnya, pengadilan adat di Palembang ini pada tahun 1961 telah
dihapuskan. Di Jambi, peradilan adat pada tingkat pertama dilakukan oleh pasirah dan
pada tingkat banding pemeriksaan perkaranya dilakukan oleh kepala daerah swatantra
tingkat I (gubernur Provinsi Jambi).
Pengadilan adat di Jambi ini kemudian dihapuskan mulai 15 Oktober 1962. Pasal
4 sampai 9 Staatsblad 1932-80 mengatur pemberian kekuasaan (atributie van
rechtsmacht) kepada pengadilan-pengadilan dari peradilan adat dan peradilan umum.
Peradilan adat dalam peraturan disebut inheemsche bevolking, yang in het genot
gelaten van haar eigen rechtspleging (diizinkan untuk memiliki peradilan sendiri)
yang biasanya diartikan bahwa segala perkara perdata terhadap orang-orang Indonesia
asli sebagai tergugat masuk kekuasaan pengadilan adat dengan tidak memperhatikan
siapa yang menggugat.
Ini berarti pengadilan adat hanya mengenai atau diperuntukkan bagi orang-orang
Indonesia asli. Oleh karena itu, apabila dalam suatu perkara perdata tergugatnya
bukan orang Indonesia asli, yang berwenang mengadili adalah pengadilan negeri.
Pasal 7 Peraturan Peradilan Adat (Staatsblad 1932-80) menentukan, apabila
tergugat lebih dari satu orang dan orang-orang itu sebagian adalah orang-orang
Indonesia asli dan sebagian bukan orang Indonesia asli; yang berwenang mengadili
adalah pengadilan negeri, kecuali apabila salah satu dari orang-orang itu adalah
penjamin dalam perjanjian utang-piutang (borg) dan orang lainnya adalah peminjam.
Dalam hal demikian, perkara harus dipecah menjadi dua, yang satu diajukan
kepada pengadilan dari penjamin (borg) dan yang lain diajukan kepada pengadilan
dari orang yang meminjam uang.
Pasal 5 dari peraturan peradilan adat memberi kemungkinan kepada kepala
daerah (hoofd van gewestelijk bestuur) menetapkan bahwa orangorang Indonesia
yang terlibat dalam beberapa macam perjanjian perburuhan dan perjanjian pada

16
umumnya, jika ada alasan-alasan mendesak, orang-orang Indonesia tertentu tidak
dapat digugat di pengadilan adat.
6. Peradilan agama Islam
Baik pada zaman Pemerintahan Balatentara Dai Nippon maupun setelah
kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah tidak pernah mempermasalahkan
lembaga yang satu ini.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keadaan peradilan agama Islam masih
tetap seperti pada zaman Hindia Belanda. Asal muasal dari peradilan agama Islam
adalah Pasal 134 ayat 2 Indische Staatregeling yang menentukan bahwa perkara-
perkara perdata antara orangorang yang beragama Islam, apabila hukum adat
menentukannya, masuk kekuasaan pengadilan agama Islam, kecuali apabila
ditetapkan lain dalam suatu ordonansi.
Bagi Jawa dan Madura, menurut Pasal 2a Staatsblad 1937-116, pengadilan-
pengadilan agama Islam memutuskan perkara-perkara perdata antara orang-orang
Islam mengenai nikah, talak, rujuk, perceraian, menetapkan pecahnya perkawinan,
dan pemenuhan syarat dari taklik.
Dari putusan-putusan pengadilan agama Islam ini dapat dimintakan pemeriksaan
banding kepada mahkamah Islam tinggi yang dahulu berkedudukan di Jakarta,
kemudian dipindahkan ke Surakarta. Mahkamah Islam tinggi ini menurut Pasal 7g
dari Staatsblad 1882-152 juga berkuasa untuk mengadili sengketa antara pelbagai
pengadilan agama Islam di Jawa dan Madura mengenai kewenangan mengadili.
Ketentuan semacam itu termuat dalam Pasal 3 Staatsblad 1937-638 bagi daerah
Banjarmasin dan daerah Hulu Sungai di Kalimantan Selatan, kecuali daerah-daerah
Pulau Laut dan Tanah Bumbu. Di daerah tersebut, terdapat hakim kadi yang
merupakan pengadilan tingkat pertama dan hakim kadi tinggi yang memeriksa dalam
tingkat banding.
Bagi daerah-daerah yang masih terdapat peradilan adat, Pasal 12 Staatsblad 1932-
80 menentukan bahwa peradilan agama Islam dilakukan apabila menurut hukum adat
peradilan itu merupakan sebagian dari peradilan adat, sedangkan hakim-hakim dari
peradilan agama Islam tersebut akan ditentukan oleh hukum adat atau oleh kepala-
kepala daerah yang bersangkutan.
Oleh karena dalam peraturan ini tidak menentukan kekuasaan pengadilan agama
Islam, dapatlah disimpulkan bahwa hukum adatlah yang harus menentukan hal

17
tersebut. Dan perjanjian pada umumnya, jika ada alasan-alasan mendesak, orang-
orang Indonesia tertentu tidak dapat digugat di pengadilan adat.
a. Peradilan agama Islam
Baik pada zaman Pemerintahan Balatentara Dai Nippon maupun setelah
kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah tidak pernah mempermasalahkan
lembaga yang satu ini.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keadaan peradilan agama Islam masih
tetap seperti pada zaman Hindia Belanda. Asal muasal dari peradilan agama Islam
adalah Pasal 134 ayat 2 Indische Staatregeling yang menentukan bahwa perkara-
perkara perdata antara orang orang yang beragama Islam, apabila hukum adat
menentukannya, masuk kekuasaan pengadilan agama Islam, kecuali apabila
ditetapkan lain dalam suatu ordonansi.
Bagi Jawa dan Madura, menurut Pasal 2a Staatsblad 1937-116, pengadilan-
pengadilan agama Islam memutuskan perkara-perkara perdata antara orang-orang
Islam mengenai nikah, talak, rujuk, perceraian, menetapkan pecahnya perkawinan,
dan pemenuhan syarat dari taklik. Dari putusan-putusan pengadilan agama Islam ini
dapat dimintakan pemeriksaan banding kepada mahkamah Islam tinggi yang dahulu
berkedudukan di Jakarta, kemudian dipindahkan ke Surakarta.
Mahkamah Islam tinggi ini menurut Pasal 7g dari Staatsblad 1882-152 juga
berkuasa untuk mengadili sengketa antara pelbagai pengadilan agama Islam di Jawa
dan Madura mengenai kewenangan mengadili. Ketentuan semacam itu termuat dalam
Pasal 3 Staatsblad 1937-638 bagi daerah Banjarmasin dan daerah Hulu Sungai di
Kalimantan Selatan, kecuali daerah-daerah Pulau Laut dan Tanah Bumbu.
Di daerah tersebut, terdapat hakim kadi yang merupakan pengadilan tingkat
pertama dan hakim kadi tinggi yang memeriksa dalam tingkat banding. Bagi daerah-
daerah yang masih terdapat peradilan adat, Pasal 12 Staatsblad 1932-80 menentukan
bahwa peradilan agama Islam dilakukan apabila menurut hukum adat peradilan itu
merupakan sebagian dari peradilan adat, sedangkan hakim-hakim dari peradilan
agama Islam tersebut akan ditentukan oleh hukum adat atau oleh kepala-kepala
daerah yang bersangkutan.
Oleh karena dalam peraturan ini tidak menentukan kekuasaan pengadilan agama
Islam, dapatlah disimpulkan bahwa hukum adatlah yang harus menentukan hal
tersebut.

18
Dipergunakan saat itu hanyalah beberapa pasal yang terdapat dalam Stb. 1819-20.
Dalam praktik selanjutnya, Stb. 1819-20 ini mengalami perubahan yang tidak begitu
berarti. Sementara itu, di beberapa kota besar di Jawa, pengadilan gubernemen yang
memeriksa perkara perdata bagi golongan bumiputra menggunakan peraturan acara
perdata yang berlaku bagi pengadilan yang diperuntukkan golongan Eropa, tanpa
berdasarkan perintah undang-undang.
Setelah diperjuangkan keberadaannya, lahirlah HIR dan RBg yang berlaku bagi
lembaga peradilan yang diperuntukkan bagi golongan bumiputra.

B. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Acara Perdata Masa Kolonial Belanda


1. Sejarah lahirnya HIR dan perkembangannya
Mr. H.L. Wichers yang ditugaskan oleh Pemerintah Belanda untuk memangku
jabatan presiden hoogerechtshof (ketua pengadilan tertinggi di Indonesia pada zaman
Hindia Belanda di Batavia (sekarang Jakarta)) tidak membenarkan praktik pengadilan
yang demikian, tanpa dilandasi perintah undang-undang.
Maka, dengan beslit dari Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) Jan Jacob
Rochussen pada 5 Desember 1846 Nomor 3, Mr. H.L. Wichers ditugaskan merancang
sebuah reglemen tentang administrasi polisi dan acara perdata serta acara pidana bagi
pengadilan yang diperuntukkan golongan bumiputra (Soepomo, 1985).
Setelah rancangan reglemen dengan penjelasannya dirampungkan, pada 6
Agustus 1847 rancangan tersebut disampaikan kepada Gubernur Jenderal Jan Jacob
Rochussen. Dia mengajukan beberapa keberatan atas rancangan tersebut, terutama
ketentuan Pasal 432 ayat 2 yang membolehkan pengadilan yang memeriksa perkara
perdata bagi golongan bumiputra menggunakan peraturan hukum acara perdata yang
diperuntukkan bagi pengadilan golongan Eropa.
Gubernur jenderal menghendaki supaya peraturan hukum acara perdata yang
diperuntukkan pengadilan bagi golongan bumiputra pada dasarnya harus bulat
(volledig) sehingga kemungkinan menggunakan peraturan-peraturan yang berlaku
untuk golongan orang Eropa itu dianggap melanggar prinsip tersebut.
Hanya bagi landraad di Jakarta, Semarang, dan Surabaya, Gubernur Jendral
Rouchussen tidak berkeberatan apabila badanbadan pengadilan itu memakai hukum
acara yang berlaku bagi golongan Eropa 11 Supomo, Hukum Acara Perdata
Pengadilan Negeri (Jakarta: Pradnya Paramita, (Soepomo, 1985). 12

19
Keberatan lain terhadap rancangan tersebut adalah adanya kekhawatiran bahwa
dengan menggunakan peraturan hukum acara perdata yang diperuntukkan pengadilan
bagi golongan Eropa sebagaimana diatur dalam rancangan reglemen tersebut akan
mempertinggi kecerdasan orang bumi putra yang sedikit banyak akan merugikan
kepentingan Pemerintah colonial Belanda.
Perancang HIR adalah Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara
tahun 1946 di Bataviayang bernama Jhr.Mr.H.L Wichers.Pada tanggal 6 Agustus
1947 Wicher selesar dengan rancangannya serta peraturan penjelasnnya, padasaat itu
Hakim Agung ada yang setuju dengan rancangan itu dan ada yang berpendapat bahwa
rancanganitu terlalu sederhana dan mereka ingin ditambah dengan penggabungan,
penjaminan, intervensi dan rekessipil seperti yang terdapat dalam RV.Oleh karena itu
ditambahkan ketentuan penutup yang bersifat umum, yang kini menjadi pasal
yangterpenting dari HIR yaitu pasal 393 H.I.R yang didalamnya dengan tegas
menyatakan bahwa HIR yang berlaku akan tetapi apabila dirasa perlu dalam perkara
perdata dapat dipergunakan peraturan lain yangsesuai yaitu yang mirip dengan
peraturan yang terdapat dalam RV.
Setelah dilakukan perubahan dan penyempurnaan, baik isi maupun susunan dan
redaksinya, antara lain adanya perubahan dan penambahan suatu ketentuan penutup
yang bersifat umum, yang setelah diubah dan ditambah kini menjadi pasal yang
terpenting dari H.I.R, yaitu Pasal 393, Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen
menerima rancangan karya Mr. H.L. Wichres itu, kemudian diumumkan dengan
publikasi pada 5 April 1848 St. 1848-16 dan dinyatakan berlaku pada 1 Mei 1848
dengan sebutan reglement op deuitoefening van de politie, de burgerlijke
rechtspleging en de strafordering onder de Inlanders, de Vreemde Osterlingen op Java
en Madura dengan singkat lazim disebut inlandsch reglement (IR).
Inlandsch reglement ini kemudian disahkan dan dikuatkan oleh Pemerintah
Belanda dengan firman raja pada 29 September 1849 N.93 Stb. 1849-63 (Tresna,
1972).
Berdasarkan riwayat lahirnya Pasal 393 HIR, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut.
a. Dilarang oleh pembentuk undang-undang untuk menggunakan bentuk bentuk acara
yang diatur dalam reglemen op de burgerlijk rechtsvordering (BRv).
b. Dalam hal reglemen Indoneisa (HIR) tidak mengatur, hakim wajib mencari
penyelesaian dengan mencipta bentuk-bentuk acara yang ternyata dibutuhkan

20
dalam praktik. Dengan cara demikian, HIR dapat diperluas dengan peraturan-
peraturan acara yang tidak tertulis, yang dibentuk dengan putusan-putusan hakim
berdasarkan kebutuhan dalam praktik.
c. HIR sebagai hukum acara, hukum formil, merupakan alat untuk menyelenggarakan
hukum materiil sehingga hukum acara itu harus dipergunakan sesuai dengan
keperluan hukum materiil dan hukum acara itu tidak boleh digunakan apabila
hukum itu bertentangan dengan hukum material
d. Dalam sejarah perkembangan selanjutnya selama hampir seratus tahun semenjak
berlakunya, Inlandsch Reglement ini ternyata telah mengalami beberapa kali
perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan praktik peradilan
terhadap hal-hal yang belum diatur dalam reglemen itu.
Dengan demikian, ketentuan-ketentuan dalam Inlands Reglement itu hanya
merupakan sebagian saja dari ketentuan-ketentuan hukum acara yang tidak tertulis.
Adapun yang paling banyak mengalami perubahan dan penambahan itu sebenarnya
adalah bagian hukum acara pidananya. Karena itu, pemerintah Hindia Belanda
mengundangkan kembali reglemen itu secara lengkap.
Adapun kronologis dari perubahan itu sebagai berikut.
a. Perubahan dan penambahan sampai tahun 1926 setelah mengalami beberapa kali
perubahan perubahan dan penambahan maka Pemerintah Hindia Belanda
mengumumkan kembali isi Inlandsch Reglement itu dengan Stb. 1926-559 jo 496.
b. Perubahan dan penambahan dari tahun 1926 sampai tahun 1941 Dilakukan secara
mendalam, terutama menyangkut acara pidananya.Karena itu, pemerimntah Hindia
Belanda mengundangkan kembali isi Inlandsch Reglement secara keseluruhan.
Perubahan itu dilakukan dengan Stb.1941-32 jo.98. Dalam Stb. 1941-32 ini,
sebutan Inlandsch Reglement digantidengan sebutan Het Herziene Indonesisch
Reglemen disingkat HIR. Yang kemudian menjadi sumber utama hukum acara
perdata pasca kemerdekaan RI.
2. Sejarah lahirnya RBg dan perkembangannya
Uraian di atas itu mengenai hukum acara perdata yang berlaku bagi wilayah Jawa
dan Madura (HIR).Bagaimanakah keadaan peraturan hukum acara perdata untuk
daerah luar Jawa dan Madura?
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 firman raja Belanda Stb. 1847-23, dapat diketahui
bahwa apabila gubernur jenderal memandang perlu, dapat dibuat peraturanperaturan
tentang pengadilan di daerah-daerah luar Jawa dan Madura untuk menjamin

21
berlakunya kitab undang-undang hukum dagang di daerah-daerah secara tertib
(Tresna, 1972).
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 6 firman raja tersebut dan juga untuk menjamin
adanya kepastian hukum acara tertulis di muka pengadilan gubernemen bagi golongan
bumiputra di luar Jawa dan Madura (daerah seberang), pada tahun 1927 gubenur
jenderal Hindia Belanda pada waktu itu mengumumkan sebuah reglemen hukum
acara perdata untuk daerah seberang dengan Stb.
1927-227 dan dengan sebutan Rechtsreglement voor de Buitengewesten yang
disingkat dengan RBg. Ketentuan hukum acara perdata dalam RBg ini adalah
ketentuan-ketentuan hukum acara perdata yang sudah ada dalam Inlandsch Reglement
yang sudah ada untuk golongan bumiputra dan timur asing di Jawa dan Madura
ditambah ketentuan hukum acara perdata yang telah ada dan berlaku di kalangan
mereka sebelumnya.
Rbg yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ordonansi 11 Mei 1927 adalah pengganti
berbagai peraturan yang berupa reglemen yang tersebar dan berlaku hanya dalam
suatu daerah tertentu saja. RBg berlaku untuk di luar Jawa dan Madura.
Dengan terbentuknya RBg ini, di Hindia Belanda terdapat tiga macam reglemen
hukum acara untuk pemeriksaan perkara di muka pengadilan gubernemen pada
tingkat pertama seperti berikut.
(Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum. Subekti R.
Hukum Acara Perdata )
a. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (BRv) untuk golongan Eropa yang
berperkara di muka raad van justitie dan residentie gerecht.
b. Inlandsch Reglement (IR) untuk golongan bumiputra dan timur asing di Jawa dan
Madura yang berperkara di muka landraad, reglemen kemudian setelah beberapa
kali mengalami perubahan dan penambahan disebut Het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR).
c. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) untuk golongan bumiputra dan
timur asing di daerah luar Jawa dan Madura, yang berperkara di muka landraad.
d. Lembaga peradilan dan hukum acaranya pada zaman Hindia Belanda
Dari uraian di atas tentang lembaga peradilan dan hukum acaranya, dapat
dirangkum sebagai berikut.
a. Peradilan gubernemen terdiri atas berikut ini.

22
b. Peradilan yang berlaku bagi orang-orang Eropa dan yang dipersamakan Raad van
justitie dan residentiegerecht sebagai pengadilan tingkat pertama atau hakim
sehari-hari, hukum acara perdata yang dipergunakan adalah Reglement op de
Burgerlijk Rechtsvordering.
c. Peradilan yang berlaku bagi golongan bumiputra dan yang dipersamakan Landraad
yang dalam perkara-perkara kecil dibantu oleh pengadilan kabupaten dan
pengadilan distrik sebagai pengadilan tingkat pertama (hakim sehari-hari).
Hukum acara perdata yang dipergunakan sebagai berikut.
a. Untuk Jawa dan Madura: Herziene Indonesisch Reglement(HIR).
b. Untuk luar Jawa dan Madura: Rechts Reglement voor de Buitengewesten
(reglemen tanah seberang).
c. Peradilan-peradilan lainnya yang berlaku bagi golongan bumiputra,seperti
peradilan adat, peradilan swapraja, dan peradilan agama Islam,mempergunakan
hukum acara yang diatur pada reglemen yang mengatur masing-masing lembaga
peradilan tersebut.
d. Zaman Pendudukan Jepang.
Bagaimanakah keadaan hukum acara perdata pada zaman pendudukan Jepang?
Apakah ada perubahan atau melanjutkan peraturan yang sudah ada pada zaman
Hindia Belanda? Untuk mengetahui keadaan tersebut, marilah kita meninjau
peraturan yang dikeluarkan oleh balatentara
1) Dai Nippon.
Setelah penyerahan kekuasaan oleh Pemerintah Belanda kepada Pemerintah
Balatentara Dai Nippon pada Maret 1942, pada 7 Maret 1942 untuk daerah Jawa
dan Madura pembesar balatentara Dai Nippon mengeluarkan Undang-Undang
1942-1 yang pada Pasal 3 mengatakan, semua badan pemerintah dan
kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui
sah dan untuk sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan
pemerintah militer. Atas dasar undangundang ini, peraturan hukum acara perdata
di Jawa dan Madura masih tetap diberlakukan HIR.
Untuk daerah di luar Jawa dan Madura, badan-badan kekuasaan dari
Pemerintah Balatentara Dai Nippon pada dasarnya juga mengeluarkan peraturan
yang sama seperti di Jawa dan Madura.

23
Dengan demikian, untuk peraturan hukum acara perdata di luar Jawa dan
Maduramasih tetap diberlakukan RBg.18 Kemudian, pada April 1942, Pemerintah
Balatentara Dai Nippon mengeluarkan peraturan baru tentang susunan dan
kekuasaan pengadilan, untuk semua golongan penduduk, kecuali orang-orang
bangsa Jepang, hanya diadakan satu macam pengadilan sebagai pengadilan sehari
hari, yaitu pengadilan tinggi alias kootoo hooin dalam pemeriksaan perkara
tingkatankedua. Mula-mula, ada saikoo hooin sebagai ganti hooggerechtshof,
tetapi dengan undang-undang Panglima Bala Tentara Dai Nippon pada 1944,
pekerjaan saikoo hooin dihentikan dan sebagian diserahkan kepada pengadilan
tinggi.
Berdasarkan peraturan tentang susunan dan kekuasaan pengadilan tersebut,
semua golongan penduduk, termasuk juga golongan Eropa, tunduk pada satu
macam pengadilan untuk pemeriksaan tingkat pertama, yaitu tihoohooin
menggantikan landraad, sedangkan raad van justitie dan residentiegerecht
dihapuskan.
Dengan demikian, BRv sebagai hukum acara perdata yang diperuntukkan bagi
golongan Eropa juga tidak belaku lagi. Ketentuan hukum acara perdata yang
berlaku untuk pemeriksaan perkara di muka tihoo hooin adalah HIR untuk Jawa
dan Madura, sedangkan RBg untuk daerah luar Jawa dan Madura (daerah
seberang).
Sementara itu, bagi mereka semua yang hukum materiilnya termuat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 18 Wirjono Prodjodikoro (1962: 9) (KUH
Perdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) masih dapat
mengikuti ketentuan dari BRv sepanjang itu dibutuhkan, ketentuan yang di dalam
HIR dan RBg tidak diatur.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Bagaimana keadaan hukum acara
setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945? Pada
dasarnya, keadaan yang telah ada pada zaman Pemerintahan Balatentara Dai
Nippon diteruskan berlakunya.
Hal ini didasarkan pada ketentuan Aturan Peralihan Pasal II dan IV Undang
Undang Dasar Republik Indonesia tertanggal 18 Agustus 1945 jo Peraturan
Pemerintah 1945-2 tertanggal 10 Oktober 1945.

24
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa HIR dan RBg masih tetap berlaku
sebagai peraturan hukum acara di muka pengadilan negeri untuk semua golongan
penduduk(semua warga negara Indonesia).
Dengan diundangkannya Undang-Undang Darurat 1951-1 tentang tindakan-
tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan, dan acara
pengadilan-pengadilan sipil, pada 14 Januari 1951 dengan Lembaran Negara 1951-
9, mulailah dirintis jalan menuju asas unifikasi dalam bidang pengadilan dan
peraturan hukum cara yang sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Pemerintahan
Balatentara Dai Nippon. Menurut ketentuan undang-undang ini, untuk semua
warga negara Indonesia di seluruh Indonesia, hanya ada tiga macam pengadilan
sipil sehari-hari:
a) pengadilan negeri yang memeriksa dan memutus perkara perdata dan pidana
untuk tingkat pertama;
b) pengadilan tinggi yang memeriksa dan memutus perkara perdata dan pidana
untuk tingkat kedua atau banding;
c) Mahkamah Agung yang memeriksa dan memutus perkara perdata dan pidana
dalam tingkat kasasi Menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Darurat 1951-
1, acara pada pengadilan negeri dilakukan dengan mengindahkan peraturan-
peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk
pengadilan negeri.
Adapun yang dimaksud dengan ”peraturan-peraturan Republik Indonesia
dahulu yang telah ada dan berlaku” adalah tidak lain daripada HIR untuk Jawa dan
Madura serta RBg untuk luar Jawa dan Madura. Selanjutnya,dalam Pasal 6 ayat 1
Undang-Undang Darurat 1951-1, ditentukan bahwa HIR seberapa mungkin harus
diambil sebagai pedoman tentang acara perkara (KUH Perdata) dan Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (KUHD) masih dapat mengikuti ketentuan dari BRv
sepanjang itu dibutuhkan, ketentuan yang di dalam HIR dan RBg tidak diatur.

C. Perkembangan Hukum Acara Perdata dan Sistem Peradilan Masa


Pendudukan Jepang dan Kemerdekaan RI.
Setelah wilayah nusantara diduduki dan dijajah oleh Belanda dengan
mendirikan perusahaan dagang hingga pemerintahan colonial yang bernama Hindia
Belanda kurang lebih 337 tahun, penjajahan Belanda akhirnya menghadapi ancaman

25
serius dengan kehadiran balatentara Jepang sebagai salah satu kekuatan militer
terbesar dunia pada masa itu. Panglima balatentar Jepang : Jenderal Hitoshi Imamura
menyampaikan ultimatum kepada Belanda agar segera menyerah tanpa syarat kepada
balaentara Jepang.
Pada 8 Maret 1942, GUbernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van
Starkenborgh dan Panglima Abgkatan Perang Hindia Belanda Letnan Jenderal Ter
Poorten berunding dengan Panglima Tertinggi Balatentara dai Nippon Jenderal
Imamura di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Setelah perundingan berlansung dengan
sangat a lot dan menegangkan dimana Imamura hanya mengajukan dua hal yaitu
menyerah atau melanjutkan perang, maka prerundingan sempat dihentikan sebagai
kesempatan bagi deleagasi Belanda untuk mengambil keputusan.Keesokan harinta, 9
Maret, Ter Poorten tanpa disertai Tjarda, menghadp Imamura untuk bersumpah
menyatakanpenyerahan tanpa syarat pemerintah Hindia Belanda kepada Dai Nippon.
Sejak itulah tentara Dai Nippon menduduki dan menjajah Indonesia dengan gaya
pemerintahan yang lebih menindas daripada Belanda. Padahal para pejuang nasionalis
kita masa itu sangat gembira dengan kedatangan Dai Nippon dengan harapan mampu
mengusir Belanda dari bumi nusantara meski cita cita itu terwujud namun penderitaan
rakyat masih terus berlangsung di bawah kekuasaan Dai Nippon.
Pada masa penjajahan jepang, yang berlangsung pada tahun 1942-1945 tidak
banyak perubahan hukum maupun sistem yang terjadi pada hukum acara perdata
maupun lembaga peradilan karena pada dasarnya hukum acara perdata dan lembaga-
lembaga pengadilan yang ada di masa pendudukan Jepang, merupakan lanjutan dari
hukum acara perdata dan lembaga-lembaga peradilan peninggalan Hindia Belanda.
Kekuasaan penjajahan Jepang di Indonesia yang berlangsung sangat singkat selama
3,5 tahun akibat kalah dalam perang dunia kedua melawan sekutu, mengakibatkan
tidak banyak pengaruh yang terjadi dari sistem hukum dan peradilan Jepang ke sistem
hukum dan peradilan Indonesia.
Meski demikian, pemerintah balatentara Jepang di Indonesia, masih sempat
melakukan penyesuaian hukum acara perdata dan sistem peradilan di Indoensia,
yaitu :
1. Jepang mengeluarkan Undang-undang Balatentara Jepang tanggal 8 Maret
No.1 yang menyatakan bahwa segala undang-undang dan peraturan-peraturan
dari pemerintah Hindia-Belanda dulu terus berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang.

26
2. Pemerintahan Jepang menghapuskan dualisme peradilan sesuai asas peradilan
Jepang, sehingga hanya ada satu macam peradilan untuk semua golongan
penduduk, walaupun dengan beberapa pengecualian bagi orang-orang Jepang
di Indonesia. Misalnya, untuk Tiho Hoin (sebelumnya landraad), yang
merupakan pengadilan sehari-hari bagi semua golongan penduduk, kecuali
orang jepang yang ada di Hindia Belanda/Indonesia tetap berlaku hukum dan
peraturan perundang-undangannya sendiri. Penyidikan, penuntutan, dan
pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh opsir-opsir Jepang pada
Gunsei Hooin;
3. Pemerintah balatentara Jepang juga melakukan perubahan istilah atau nama
dan bahasa yang tadinya menggunakan istilah dan bahasa Belanda diganti
menjadi istilah dalam bahasa Jepang. Perubahan yang dimaksud adalah:
- Districtgerecht menjadi Gun Hoin
- Regentschapgerecht menjadi Ken Hoin
- Landgerecht menjadi Keizai Hoin
- Landraad menjadi Tiho Hoin
- Raad Agama menjadi Sooryoo Hooin
- Hof voor Islamietische Zaken menjadi Kaikyo Kootoo Hooin
- Raad van Justitie menjadi Koto Hoin
- Hooggerechtshof menjadi Saiko Hoin
4. Untuk proses peradilan Jepang menetapkan UU 1942 No. 14 tentang Peraturan
Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai-Nippon, dimana dengan UU ini
didirikan pengadilan-pengadilan yang sebenarnya merupakan lanjutan dari
pengadilan–pengadilan yang sudah ada.
Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno dan
pemimpin bangsa pada masa itu memberikan arahan kepada para pembantunya,
termasuk badan peradilan agar mengisi kekosongan hukum dengan tetap
memberlakukan badan maupun aturan hukum peinggalan colonial Belanda dan
Jepang. Adapun pertimbangan digunakannya peninggalan hukum Belanda pascca
kemerdekaan antara lain :

1. Pemerintah yang baru saja terbentuk, masih mengutamakan konsolidasi


nasional untuk memantapkan jiwa kebangsaan pada semua elemen bangsa.

27
2. Adanya gangguan dari pihak Belanda yang terus menerus melakukan terror,
bahkan agresi ke wilayah RI untuk membubarkan dan membatalkan
proklamasi kemerdakaan karena itu pemerintah lebih focus mengatasi
gangguan tersebut.
3. Mengingat Indonesia yang baru merdeka belum mempunyai perangkat
kelembagaan seperti DPR untuk membuat UU, maka semua tata
penyelanggaran negara maupun hukum terpaksa masih mengdopsi badan
maupun sisten hukum peninggalan Belanda.
4. Arahan presiden Soekarno hal ini merupakan amanat ketentuan dalam Pasal 2
Peraturan Peralihan UUD 1945 pra amandemen yang berbunyi : “Segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”

Berdasarkan hal tersebut, maka hukum acara perdata yang telah ada dan
berlaku pada zaman Pemerintahan Balatentara Dai Nippon diteruskan berlakunya.

Hal ini didasarkan pada ketentuan Aturan Peralihan Pasal II UndangUndang.


Dasar Republik Indonesia tertanggal 18 Agustus 1945 jo Peraturan Pemerintah 1945-
2 tertanggal 10 Oktober 1945.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa HIR dan RBg masih tetap
berlaku sebagai peraturan hukum acara di muka pengadilan negeri untuk semua
golongan penduduk (semua warga negara Indonesia).

Dengan diundangkannya Undang-Undang Darurat 1951-1 tentang tindakan-


tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan, dan acara
pengadilan-pengadilan sipil, pada 14 Januari 1951 dengan Lembaran Negara 1951-9,
mulailah dirintis jalan menuju asas unifikasi dalam bidang pengadilan dan peraturan
hukum cara yang sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Pemerintahan Balatentara
Dai Nippon.

Menurut ketentuan undang-undang ini, untuk semua warga negara Indonesia


di seluruh Indonesia, hanya ada tiga macam pengadilan sipil sehari-hari:

a. Pengadilan negeri yang memeriksa dan memutus perkara perdata dan


pidana untuk tingkat pertama;

28
b. Pengadilan tinggi yang memeriksa dan memutus perkara perdata dan
pidana untuk tingkat kedua atau banding;
c. Mahkamah Agung yang memeriksa dan memutus perkara perdata dan
pidana dalam tingkat kasasi.

Menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Darurat 1951-1, acara pada


pengadilan negeri dilakukan dengan mengindahkan peraturan-peraturan Republik
Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk pengadilan negeri. Adapun yang
dimaksud dengan ”peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan
berlaku” adalah tidak lain daripada HIR untuk Jawa dan Madura serta RBg untuk luar
Jawa dan Madura.

Selanjutnya,dalam Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Darurat 1951-1, ditentukan


bahwa HIR seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara
pidana sipil.

Untuk perkara perdata tidak disinggung-singgung. Ini berarti bahwa untuk


perkara perdata HIR dan RBg bukanlah sebagai pedoman saja, melainkan sebagai
peraturan hukum acara perdata yang harus diikuti dan diindahkan.

Walaupun ada dua peraturan hukum acara perdata untuk pengadilan negeri,
yaitu HIR untuk Jawa dan Madura serta RBg untuk luar Jawa dan Madura; isinya
sama saja sehingga secara material sudah ada keseragaman untuk peraturan hukum
acara perdata bagi semua pengadilan negeri di seluruh Indonesia.

Karena itu, asas unifikasi yang dikehendaki oleh Pasal 6 ayat 1 Undang-
Undang Darurat 1951-1 dalam bidang hukum acara pidana dan acara perdata sudah
tercapai. Kemudian, peraturan hukum acara perdata yang ada tersebut diperkaya
dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Kita patut menyesalkan perhatian pemerintah dan DPR yang kurang begitu
peduli dengan keberadaan hukum acara perdata yang masih berganung penuh kepada
materi hukum peningalan Belanda, padahal zaman sudah sangat berubah dengan
tuntutan kebutuhan yang tentu sudah sangat dinamis. Apalagi HIR dalam bidang
pidana telah dicabut melalui UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAPidana, maka
seharusnya hukum acara perdatapun segera diupayakan terbitnya undang undang baru
yang mengakomodasi tatanan nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat

29
Indonesia sendiri. Kita menunggu komitmen pemerintah dan DPR unuk segera
memprakarsai upaya penggantian semua aturan hukum peninggalan belanda
mengenai hukum acara perdata demi terpenuhinya rasa keadilan para pencari keadilan
melalui pemberlakuan hukum acara perdata asli Indonesia.

Itulah sebabnya pada awal kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia


mempertahankan susunan pengadilan umum yang ada, namun dengan perubahan
penyebutan, yaitu:

1. Districtgerecht/Gun Hoin menjadi Pengadilan Distrik


2. Regentschapgerecht/Ken Hoin menjadi Pengadilan Kabupaten
3. Landgerecht/Keizai Hoin menjadi Pengadilan Kepolisian
4. Landraad/Tiho Hoin menjadi Pengadilan Negeri
5. Raad van Justitie/Koto Hoin menjadi Pengadilan Tinggi
6. Hooggerechtshof/Saiko Hoin menjadi Mahkamah Agung

Baru kemudian, seiring berjalannya waktu, Pengadilan Distrik, Pengadilan


Kabupaten, dan Pengadilan Kepolisian, berdasarkan Pasal 71 Undang-undang Nomor
19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan
Kejaksaan, secara tersirat, dilebur kekuasaannya ke Pengadilan Negeri. Sehingga,
seperti yang diatur dengan jelas pula dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 19 Tahun
1948, susunan lembaga pengadilan umum terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi, dan Mahkamah Agung, yang merupakan susunan lembaga pengadilan umum
yang berlaku sampai sekarang.
Pengundangan secara keseluruhan isi Het Herziene Indonesisch Reglement itu
dilakukan dengan Stb. 1941-44. Setelah itu, tidak ada perubahan lagi, kecuali
beberapa penyesuaian setelah Indonesia merdeka,yaitu dengan berlakunya Undang-
Undang Darurat 1951-1 tentang tindakan-tindakan sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan susunan,kekuasaan, dan acara pengadilan sipil
(Lembaran Negara 1951-9).Dapat dikemukakan di sini, perubahan atau pembaruan
yang dilakukan terhadap IR menjadi HIR pada tahun 1941 sebenarnya hanya
dilakukan terhadap ketentuan mengenai acara pidananya, yaitu mengenai
pembentukan aparatur kejaksaan atau penuntut umum (openbaar ministerie) yang
berdiri sendiri. Maksudnya, anggota-anggotanya, para jaksa, dan yang dahulunya
ditempatkan di bawah pamong praja diubah menjadi di bawah jaksa tinggi atau jaksa

30
agung. Perubahan IR pada tahun 1941 tersebut sama sekali tidak mengenai acara
perdata (Syahrani, 1988).15 Sebelum pembaruan tersebut dalam Inlandsch
Reglement, jaksa pada hakikatnya adalah bawahan dari asisten residen yang adalah
pamong praja (Subekti, 1977).

D. SEJARAH dan PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA

1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda

Sudah terkenal dalam sejarah, bahwa Sunan Kalijaga adalah seorang hakim di
kerajaan Demak, yang pernah menjatuhkan hukuman mati terhadap syekh Siti Jenar.2
Peradilan pada waktu itu dilakukan dengan sangat sederhana, dimana seorang kepala
masjid biasa melakukan tindakan mengadili di Serambi-serambi masjid.

Peradilan tidak dilakukan secara formal seperti sekarang ini. Setiap orang
yang datang dan minta diadili, sekaligus dilakukan pemeriksaan dengan bukti-bukti
tertentu dan meyakinkan hakim, maka keputusan langsung diberikan tanpa harus
ditulis secara formal seperti sekarang. Kewenangan di dalam masalah peradilan ada
pada pemerintah. Oleh karena itu, tidak terdapat pemisahan antara kekuasaan
pemerintahan dan kekuasaan peradilan. Seorang Wedana yang bernama Raden
Demang Urawan, seorang keponakan Sultan, menjadi pemimpin peradilan di Tuban.3
Tentang tidak adanya pemisahan kekuasaan pemerintahan dan peradilan ini, Crawfurd
memberikan gambaran peradilan agama di Yogyakarta sebagai berikut:

“The supreme court of justice, at the seat of government; nominally consists of the
four following persons, called, from their importance “the nails which fix the
kingdom”. Patih nagoro- the sovereign - his minister - the high - priest, and the judge
of common law. The sovereign never administers justice in person, but interferes
when he thinks propcrs, as well on the general principle of his authority as an
arbitrary prince, as because he is the head of the church, Panoto Amaga, Law and
religion in the east being always inseparable. His Minister oslo is too much occupied
to devote much time to the administration of justice, the consequence of which is, that
it is left nearly all together to the penghulu or high priest and to the Jaksa or native
judge. The first presumed to the learned in the mohammedan Law of take range of the
second, who is employed in minor customess of mere drudgery, and the presumed to
be familiar with those peculiar customes and usages which are seviations from the

31
mohamedan law. The court is and open one, and, to give solemity to the proceedings
is held in the protico, sarambi, of the principle mosque”.4

2. Pada Masa Penjajahan Belanda

Kerajaan-kerajaan Islam yang memberlakukan hukum Islam dengan sistem


peradilannya, satu demi satu jatuh-runtuh ke tangan kolonialis-imperialis Belanda,
yang dengan membawa sistem peradilannya, berusaha mendesak peradilan yang
sudah berjalan dan mapan tersebut.

Sampai akhir abad ke 19, kalangan ahli hukum Belanda berpendapat bahwa
hukum yang berlaku bagi orang Indonesia adalah mendasarkan hukum Islam.5
Pendapat demikian adalah tidak eksklusif. Banyak para ahli hukum sependapat
dengan Marsden, Crawfurd serta Raffles, tentang banyaknya percampuran antara
Ajaran Islam dengan adat yang berbeda-beda, yang keduanya tidak banyak
bertentangan.6

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian


Van Den Berg mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar tidak menghapuskan
berlakunya hukum Islam beserta peradilannya. Penduduk yang beragama Islam agar
diberlakukan hukum Islam dan mendapat perlindungan secara baik. Semua itu
mencegah agar tidak terjadi aksi-aksi anti Belanda. Untuk itu pemerintah Belanda
mengeluarkan peraturan yang pertama tentang peradilan agama di Jawa, yaitu pada
tanggal 7 Desember 1835 No.6 (stb 1835 no. 58). Peraturan ini pada prinsipnya
menyatakan bahwa kalau di antara orang jawa timbul perkara tentang perkawinan,
warisan dan sebagainya, yang harus diputuskan menurut hukum Islam, maka kiai,
penghulu atau ulama harus memutuskan menurut hukum islam. Inilah yang kemudian
disebut teori Receptio In Complexu.

Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, berarti pemerintahan penjajah


untuk pertama kalinya secara formal mengakui berlakunya hukum Islam dan
peradilan islam. Mulai saat itu, jika di dalam masyarakat timbul masalah-masalah
yang menyangkut peradilan agama, Belanda mulai ikut mengatur dan mengawasi
secara aktif.

Beberapa saat kemudian teori Receptio In Complexu yang menyatakan bahwa


bagi orang Islam sepenuhnya berlaku hukum Islam, untuk pertama kalinya ditentang

32
oleh Prof. Mr. Snouck Hurgronje Hurgonye. Snouck Hurgronje mengajukan argumen
bahwa yang berlaku didalam masyarakat bukanlah hukum Islam, tetapi hukum Adat.
Hukum islam baru berlaku jika telah diterima oleh hukum adat. Teori Snouck
Hurgronje ini terkenal dengan Teori Receptie. Dengan gigihnya Snouck Hurgronje
yang didukung oleh Van Vollenhoven secara terus menerus menentang teori receptio
in Complexu dan Van Den Berg yang telah menjadi kebijaksanaan penjajah. Akhirnya
Snouck Hurgronje menyarankan kepada pemerintah penjajah untuk merubah
kebijaksanaan tersebut.

Atas saran Snouck Hurgronye, dibentuklah Commissie Voor priesterraad,


suatu komisi yang bertugas memberikan pernyataan Snouck Hurgronje tersebut.
Sesuai dengan politik penjajah untuk mementingkan dirinya sendiri tanpa
mempertimbangkan kepentingan masyarakat Indonesia, komisi tersebut menghasilkan
rancangan ordonansi yang membatasi kewenangan peradilan agama dalam mengadili
suatu perkara. Sebagai pelaksanaan dari hasil komisi, maka pada tanggal 31 Januari
1931 keluarlah secara resmi ordonansi yang membatasi peradilan agama tersebut,
yaitu termuat dalam stb. 1931 No. 153.7

3. Pada Masa Penjajahan Jepang

Sebegitu jauh, pendudukan jepang di Indonesia tidak membawa banyak


pengaruh terhadap lembaga-lembaga islam, termasuk di dalamnya peradilan agama.
Sedikit membawa kemajuan Islam di satu atau beberapa daerah saja, yang ternyata
hanya sebagai dalih saja, demi kepentingan Jepang.8

Para pemimpin Islam pada waktu itu melihat adanya kesempatan untuk
memulihkan hak-hak Islam, termasuk di dalamnya peradilan agama, yang selama
penjajahan Belanda dibatasi perkembangannya. Kesempatan yang diharap-harapkan
ternyata tidak muncul. Ini disebabkan karena penasehat hukum untuk Jepang,
Supomo, seorang ahli hukum Adat, menyampaikan laporannya tentang peradilan
Agama dan masalah warisan.

Laporan itu memuat sejarah yang panjang-panjang tentang peradilan agama di


Indonesia, terutama di Jawa, yang dibuat sedemikian rupa sehingga merupakan
sebuah saran yang menentang kembali pemulihan kewenangan peradilan agama yang
telah dikurung selama penjajahan Belanda.9 Di dalam dokumen yang bersifat rahasia
tanggal 10 Februari 1945, supomo mengajukan berbagai pertanyaan antara lain

33
apakah peradilan agama dalam negara Indonesia dikemudian hari tidak sebaiknya
dihapuskan. Memang pertanyaan Supomo tersebut didukung oleh pemikiran yang
sekuler, bahwa negara modern tidak perlu mendasarkan pada agama.10

Pendapat yang demikian itu mendapat tantangan yang berat dari Abikusno,
yang tidak saja menuntut tetap didirikannya peradilan yang menurutnya harus ada,
tetapi harus juga diperkuat dengan disediakan tenaga yang terdidik dan terlatih serta
digaji pemerintah. Selain itu kompetensi masalah waris harus dikembalikan.
Begitulah pembahasan dalam sanyo kaigi (Dewan Pentimbangan) tanggal 16 dan 17
Pebruari 1945.11

a. Peradilan Agama Dalam Negara Republik Indonesia

1. Peradilan Agama Sebagai Peradilan Negara

Kalau peradilan agama masa sebelum penjajahan telah berjalan secara


mandiri, penuh dengan wewenang yang luas, seperti peradilan umum sekarang, dan
semasa penjajahan kewenangan mengadilinya dikurangi dan dibatasi, maka setelah
Indonesia merdeka sampai sekarang, terdapat kecenderungan adanya usaha-usaha
untuk memperbaiki dan mengembangkannya.

Menurut Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan- ketentuan


pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal 10 ayat (1) dinyatakan:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:

a. Peradilan Umum;

b. Peradilan Agama;

c. Peradilan Militer;

d. Peradilan Tata usaha Negara.”

Dengan demikian peradilan agama mempunyai kedudukan yang sama dan


sejajar dengan peradilan lainnya. Ini menghilangkan anggapan yang mulai ada sejak
jaman penjajahan, bahwa peradilan agama dianggap rendah dan kedudukannya di
bawah peradilan umum.

Keempat macam peradilan tersebut masing-masing berdiri sendiri-sendiri dan


tidak ada kaitannya satu dengan yang lain. Dalam menjalankan tugasnya, secara

34
organisatoris, finansial dan administratif di bawah masing-masing departemen yang
bersangkutan. Sedang kekuasaan mengadili nya masing-masing berdiri sendiri-sendiri
dibawah Mahkamah Agung, baik sebagai peradilan terakhir maupun sebagai
pengawas.

Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974, Peraturan


Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan proyek-proyek kompilasi tentang peraturan
peradilan Agama serta kompilasi hukum Islam dan lain sebagainya, memberikan
isyarat tentang semakin membaiknya eksistensi peradilan agama dalam Negara
Republik Indonesia.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah di masa-masa mendatang


kecenderungan membaiknya kedudukan peradilan agama tersebut terus berlangsung
dan lebih mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang sebagian besar memeluk
agama Islam. Masalah ini adalah komplek dan tidak mudah, tetapi setidak-tidaknya
dapat ditinjau dari tiga sudut.

Pertama, harus dikembalikan kepada hukum islamnya sendiri dalam kontek


negara Republik Indonesia. Kalau hukum islam oleh para ahli dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, dan lebih dirasakan sebagai perlindungan masyarakat,
maka peradilan sebagai lambang kekuasaan berlakunya hukum islam akan lebih
banyak mendapat tempat.

Kedua, menyangkut kekuasaan kaum elit politik. Kalau kaum elit politik tetap
konsisten dengan Pancasila dan UUD 1945, yang menurut Dekrit Presiden 5 Juli 1959
dijiwai oleh piagam Jakarta, maka perkembangan peradilan agama yang sesuai
dengan perkembangan masyarakat tidak akan dihambat dan dibatasi.13

Ketiga, adalah kesadaran hukum masyarakat pemeluk agama Islam Jika


pemeluk tetap konsisten dengan keislaman dan komitmennya kuat, maka peradilannya
pun akan lebih berkembang dengan baik.
Berkembangnya peradilan agama yang terjadi sebagai pendukung
berkembangnya hukum Islam, sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, secara
sosiologis adalah dibenarkan. Tentang masalah ini Prof. Hazairin menyatakan tentang
mutlak berlakunya syariat Islam di Indonesia bagi pemeluknya.14

Selanjutnya Bismar siregar menulis:

35
“Sebagai seorang guru besar dalam setiap kata-ucapannya seperti terbaca dan ceramah
berjudul HUKUM BARU DI INDONESIA secara jelas dikutip dalam cukilan sub. A
diatas menggambarkan cetusan pergolakan dan getaran jiwa yang tak merasa puas
bilamana syariat agama umumnya atau hukum Islam khususnya sebagai konsekuensi
dan pasal 29 ayat 1 U.U.D. 1945 yang secara tegas menyatakan negara RI bertuhan,
tidak diperlakukan sebagai hukum yang hidup bagi orang dan golongan penganutnya,
setidak tidaknya dimasukkan dalam prinsip hukum nasional. Membiarkan hal
demikian itu menurut kesimpulan beliau adalah pengkhianatan terhadap Pancasila
sendiri, menyalahgunakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa disebut sebagai munafik.
Suatu cap yang sangat dimurkai tuhan.15

2. Hubungan Peradilan Agama dengan Peradilan Lainnya

Dimuka telah disinggung bahwa sekarang, kedudukan peradilan agama adalah


sejajar dengan peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Semuanya dibawah dan atas pengawasan Mahkamah Agung. Oleh karena itu
peradilan agama hanya mempunyai hubungan vertikal dengan Mahkamah Agung
dalam proses peradilannya dan tidak mempunyai hubungan horizontal dengan
peradilan lainnya.

Pada masa penjajahan Belanda, kedudukan peradilan agama dianggap lebih


rendah dari peradilan umum. Pemikiran Snouck Hurgronje yang berusaha
membendung Islam, banyak menjadi policy pemerintah Belanda. Pemikiran ini
berdasarkan perhitungannya sendiri, bahwa Islam akan terus berkembang di
Indonesia, dan sifat universal yang ada padanya akan merugikan pemerintah Belanda.
Membendung fanatisme Islam tergantung pada kemampuan Belanda untuk
menaklukan pikiran Islam ke arah kebudayaan Belanda.16

Salah satu akibatnya adalah timbulnya anggapan bahwa peradilan agama


dianggap rendah dan di bawah peradilan umum. Di dalam stb.1882 No.152 antara lain
dapat disimpulkan bahwa keputusan peradilan agama tidak mempunyai kekuatan
untuk dilaksanakan, sehingga untuk dapat mempunyai kekuatan untuk dapat
dilaksanakan, harus dimintakan Eksekutoir Verklaring dari pengadilan Negeri.17

Terlalu amat disayangkan, bahwa paham yang dianggap rendahnya peradilan


agama masih mewarnai alam pemikiran sebagian besar ahli hukum. Ini terbukti di

36
dalam pasal 63 ayat (2) disebutkan: “Setiap keputusan pengadilan Agama dikukuhkan
oleh pengadilan Umum.”

Secara teoritis, ketentuan demikian adalah bertentangan dengan Undang


Undang No. 14 tahun 1970, tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, yang
menggariskan tidak adanya hubungan antara peradilan agama dengan peradilan
umum. Asas peradilan yang sederhana, cepat dan murah yang selalu
didengungdengungkan tidak terwujud, sebab dengan pengukuhan oleh peradilan
umum, berarti proses peradilan akan berbelit-belit, waktunya lebih lama serta
menambah biaya.

b. Kewenangan Peradilan Agama

1. Tentang Orang

Pengertian tentang “orang yang termasuk di dalam kekuasaan peradilan


Agama pada waktu penjajahan, sesuai dengan politik pembedaan penduduk, adalah
orang Indonesia asli (Bumi Putra) yang beragama Islam, Jika perkara perkawinan
misalnya, maka suami-Isteri kedua-duanya haruslah beragama Islam, peradilan agama
tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan
kepadanya.

Memang agak mengalami kesulitan. Peradilan umum dalam hal ini pengadilan
negeri tidak berhak memutus perkawinan yang pencatatannya berdasarkan Undang-
Undang No. 22 tahun 1946, baik dengan jalan merusak maupun menyatakan tidak
syah. Oleh karena itu Peradilan Agama dalam menghadapi suami Isteri yang salah
satu tidak beragama Islam, tetapi waktu melangsungkan perkawinan tunduk pada
hukum Islam, menganjurkan kembali kepada agamanya semula (Islam), sehingga
peradilan Agama dapat menerima perkaranya.

Dalam hal suami atau istri yang tidak beragama Islam lagi tersebut, karena
keyakinannya tidak mau kembali kepada agamanya semula, maka salah satu dapat
mohon tentang status nikahnya kepada pengadilan agama.18 Pengadilan Agama tidak
mempunyai wewenang memeriksa dan memutuskan perkara yang kedua-duanya
beragama Islam, tetapi mereka tunduk kepada BW.

Oleh karena itu orang-orang golongan Eropa, Tionghoa, yang walaupun


memeluk agama islam, tetapi karena mereka tunduk kepada BW, tidak dapat

37
mengajukan perkaranya ke Peradilan Agama. Sekaligus orang Eropa dan orang
Tionghoa memeluk agama Islam dan telah menjadi warga negara Republik Indonesia,
mereka tunduk kepada BW., sehingga peradilan agama tidak berhak memeriksa dan
memutuskan perkaranya.19

Menurut Undang-undang No. 22 tahun 1946, orang timur asing selain


Tionghoa dan Jepang, jika suami Istri pada waktu perkawinannya tunduk kepada
hukum islam, maka peradilan agama mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan
memutus perkaranya.

Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974, tentang perkawinan,


terjadilah perubahan yang besar tentang kewenangan peradilan Agama dalam
memeriksa dan memutuskan perkara. pasal 63 ayat (1) menyatakan: “Yang dimaksud
dengan pengadilan dalam Undang-Undang ini adalah:

e. Pengadilan Agama Bagi mereka yang beragama islam;

f. Pengadilan Umum bagi yang lainnya.”

Berdasarkan peraturan ini kekuasaan peradilan Agama menjadi lebih luas,


yaitu berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang berhubungan dengan
perkawinan, bagi setiap orang yang beragama Islam. Setiap Warga negara RI yang
beragama Islam peradilannya adalah peradilan Agama tanpa membedakan golongan
penduduk dan keturunan. Keturunan Indonesia Asli Tionghoa, Eropa, Jepang dan
lain-lain, asal beragama Islam, peradilannya adalah peradilan Agama.

2. Tentang Perkara

Berdasarkan Stb. 1937 No. 116 yo. Sib. 1882 No. 152 dan Sib. 1937 No. 638,
yang sampai sekarang masih berlaku maka perkara-perkara yang menjadi
kewenangan peradilan agama untuk daerah jawa dan madura serta sebagian
kalimantan selatan adalah:

1. Perkara tentang nikah, talak rujuk

2. Perkara tentang perceraian.

3. Perkara tentang mahar.

4. Perkara tentang nafkah yang menjadi kewajiban suami.

38
Sedangkan untuk daerah diluar dari apa yang disebutkan di atas ditambah
dengan perkara perkara:

1. Hodlonah.

2. Warisan.

3. Wakaf.

4. Baitul maal.

5. Sodaqoh.

Setelah adanya Undang-undang No, 1 tahun 1974, maka kewenangan


peradilan agama lebih luas, yaitu selain kewenangan seperti tersebut di atas (menurut
daerah tertentu) ditambah dengan kewenangan tentang:

1. Izin poligami.

2. Izin melakukan perkawinan jika belum berusia 21 tahun sedangkan orang tuanya,
wali, keluarga garis ke atas ada perbedaan pendapat.

3. Izin untuk tidak bertempat tinggal serumah bagi suami istri selama berlangsungnya
gugatan perceraian.

4. Dispensasi perkawinan bagi orang yang belum cukup umur.

5. Pencegahan perkawinan.

6. Penolakan perkawinan oleh pencatat perkawinan.

7. Pembatalan perkawinan.

8. Kelalaian kewajiban suami-siteri.

9. Gugatan cerai oleh isteri.

10. Harta kakayaan dalam perkawinan.

11. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak.

12. Biaya penghidupan bekas isteri.

13. Syak tidaknya adak.

14. Pencabutan kekuasaan orang tua selain kekuasaan sebagai wali nikah.

39
15. Pencabutan dan penggantian wali.

16. Kewajiban ganti rugi wali yang menyebabkan kerugian.

17. Penetapan asal-usul anak sebagai pengganti akte kelahiran.

18. Penolakan pemberian surat keterangan oleh pegawai pencatat perkawinan dalam
perkawinan campuran.

Walaupun di dalam Undang-undang perkawinan hal tersebut diutarakan secara


jelas dalam pasal-pasalnya, akan tetapi mahkamah Agung dalam suratnya tertanggal
20 Agustus 1975 No.MA/Pemb/0807/75 mengemukakan bahwa: berhubung peraturan
pelaksanaan yang tertuang di dalam PP. 10 tahun 1975 hanya mengatur tentang
pencatatan perkawinan, tata cara perkawinan, akta perkawinan, perceraian,
pembatalan perkawinan, iddah dan poligami, maka kewenangan peradilan agama
hanya terbatas dalam perkara yang ada hubungannya dengan perkara yang diatur
dalam PP. No. 10 tahun 1975 tersebut. Perkara-perkara yang ada hubungannya
dengan harta kekayaan, misalnya harta benda dalam perkawinan, karena belum ada
peraturan pelaksanaannya, maka belum menjadi kewenangan peradilan Agama.

Dengan demikian yang perlu diusahakan sampai taraf ini, bagi pengembangan
peradilan Agama, adalah agar terus diusahakan untuk terciptanya peraturan
pelaksanaan yang lain, guna dapat mengambil kewenangan yang diberikan oleh
Undang-Undang Perkawinan (UU. No. 1 tahun 1974). Jika usaha ini berhasil maka
eksistensi peradilan Agama akan lebih baik dimata masyarakat dan menampakkan
kekuasaannya. Ini adalah penting, perkara-perkara yang belum ada peraturan
pelaksanaannya itu adalah merupakan satu sistem di dalam hukum kekeluargaan
Islam. Jangan sampai kewenangan yang diberikan oleh Undang Undang Perkawinan
tersebut akhirnya dicabut dari kewenangan peradilan agama. Kalau ini yang terjadi,
maka harapan tentang membaiknya peradilan Agama akan menjadi hilang.

Peradilan Agama Di Jawa dan Madura dalam Perkara Pewarisan Telah


dikupas dimuka bahwa dengan Stb. 1937 No. 116, wewenang mengadili perkara
warisan dipindahkan dan peradilan agama ke Peradilan umum, dalam hal ini
pengadilan negeri. Pengalihan wewenang tersebut tidak dapat dibuktikan bahwa
pengadilan negeri lebih mampu dan lebih baik dalam mengadili masalah warisan.20
Walaupun menurut hukum pengadilan Agama di Jawa tidak boleh memeriksa dan

40
memutuskan masalah warisan, tetapi pengadilan tersebut. Masih terus memeriksa
masalah warisan secara mengesankan. secara nyata peradilan Agama menyisihkan
waktu sehari atau dua hari secara khusus menerima masalah-masalah warisan. Ini
terjadi di kebanyakan peradilan Agama. Di beberapa kabupaten, peradilan Agama
lebih banyak menerima perkara warisan dibanding pengadilan negeri.21 Semua itu
disebabkan karena pengalihan wewenang mengadili masalah warisan tersebut tidak
sesuai, bahkan bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat yang makin kuat
komitmennya kepada Islam.

Berdasarkan kenyataan tersebut, menteri agama mengeluarkan surat edaran


tanggal 8 Januari 1952 No. B/III/227, yang berusaha merintis jalan guna mengatasi
masalah-masalah yang timbul akibat diajukannya masalah-masalah warisan ke
pengadilan Agama, yang sebenarnya dilarang oleh hukum tersebut. Surat Edaran
tersebut berisi antara lain ketua pengadilan Agama maupun anggotanya boleh
memberikan fatwa tentang ahli waris dan pembagiannya menurut hukum Islam.

Usaha-usaha mengatasi masalah tersebut dilanjutkan, yaitu dengan Keputusan


Menteri Agama No. 35 tahun 1966, Keputusan Menteri Agama No.127 tahun 1968
dan Keputusan Direktorat Peradilan Agama No. 6 tahun 1968. Kesemuanya mengatur
sedemikian rupa, sehingga penyelesaian masalah warisan di pengadilan agama telah
ditentukan juga biaya-biaya yang harus dilunasi oleh pihak-pihak yang
mengajukannya.

Khusus untuk DKI Jakarta, ada instruksi Kepala Jawatan Peradilan Agama
DKI Jakarta Raya No. C/1/1966 tanggal 23 Maret 1968. Instruksi ini berisi penertiban
tata usaha dalam rangka penyelesaian masalah warisan oleh pengadilan Agama, yaitu
Pengadilan Agama hanya dapat mengeluarkan Ketetapan atau fatwa.

Peraturan-peraturan tersebut diatas memberikan kewenangan kepada


pengadilan agama untuk menyelesaikan masalah warisan. Bentuk penyelesaian
tersebut hanya boleh berwujud ketetapan (fatwa), dan bukan keputusan. Walaupun
demikian, ketetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan Agama ini telah diterima oleh
Notaris, para hakim pengadilan negeri dan kantor pendaftaran tanah, sebagai alat
bukti yang syah atas hak milik dan tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan itu.22

Perkembangan yang sangat mengesankan ini adakah merupakan perwujudan


kesadaran hukum masyarakat pemeluk agama Islam akan pentingnya hukum waris

41
Islam bagi dirinya, yang dirasakan sebagai bagian dan ibadah.23 Kesadaran hukum
demikian tidak bertentangan dengan dasar negara Indonesia, justru sesuai dan yang
diinginkan oleh Pancasila dan UUD 1945.24 Kalau kesadaran Hukum pemeluk agama
Islam makin hari makin menunjukkan ketaatannya kepada Islam, maka tidak
diragukan lagi, peradilan agama akan lebih menampakkan kekuasaannya yang
kokoh.2

E. Eksistensi Peradilan Adat dalam Ketatanegaraan Indonesia

Pengakuan keberadaan masyarakat adat (dan hak tradisionalnya) memiliki


dinamika dalam sejarah hukum di Indonesia. Sebelum 1945, pemerintah Kolonial
Belanda menerapkan politik pluralisme hukum dengan membagi sistem hukum ke
dalam tiga stelsel hukum, yaitu: hukum perdata barat, hukum untuk bangsa timur
asing, serta hukum adat untuk penduduk pribumi. Kemudian, proses unifikasi hukum
diupayakan Pemerintah Indonesia mulai dari perumusannya dalam konstitusi (UUD
NRI 1945) sampai pada pemberlakuan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).

Dalam sidang BPUPKI, 10-17 Juli 1945, Muh. Yamin mengemukakan bahwa
ia mengusulkan Undang-Undang Dasar mengubah sifat pemerintahan bawahan
memenuhi kemauan zaman baru. Sekalipun demikian, Yamin menegaskan, “.... tetapi
yang perlu ditegaskan di sini, yaitu bahwa desa-desa, negeri-negeri, marga-marga dan
lainnya tetaplah menjadi kaki Pemerintahan Republik Indonesia.”8

Secara khusus, istilah ‘peradilan adat’ telah pula diakui keberadaannya


sebelum Indonesia merdeka, setidaknya melalui peraturan perundang-undangan masa
Pemerintahan Hindia Belanda. Saat itu dikenal lima jenis peradilan, yaitu Peradilan
Gubernemen (Gouvernementsrechtspraak), Peradilan Pribumi atau Peradilan Adat
(Inheemsche Rechtspraak), Peradilan Swapraja (Zelfbestuurrechtspraak), Peradilan
Agama (Godsdienstige Rechtspraak) dan Peradilan Desa (Dorpjustitie).9 Keberadaan
pengadilan adat telah ada sejak jaman Kolonial Belanda. Pengadilan tersebut diatur
dalam pasal 130 Indische Staatsregeling, sebuah peraturan dasar dalam pemerintah
Belanda yang menentukan di samping ada pengadilan-pengadilan oleh pemerintah
Belanda, diakui dan dibiarkan berlakunya pengadilan-pengadilan asli baik berbentuk

2 Muhyidin, “Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia”, Jurnal Gema Keadilan Volume 7 Edisi 1,
2020.

42
pengadilan adat di sebagian daerah yang langsung ada di bawah pemerintah Hindia
Belanda dan pengadilan Swapraja.10

Diakuinya peradilan untuk orang pribumi, yaitu peradilan adat dan peradilan
desa karena Belanda menyadari bahwa mereka tidak bisa menyelesaikan sendiri
seluruh persoalan yang dihadapi oleh penduduk Hindia Belanda (Indonesia) sendiri
dengan menggunakan peradilan Eropa. Pembagian penggolongan penduduk oleh
Belanda dipandang sebagai solusi atas masalah tersebut, oleh sebabnya Pasal 163
Indische Staatsregeling menegaskan golongan penduduk di Hindia Belanda dibagi
menjadi tiga yaitu: golongan Penduduk Eropa, golongan Penduduk Timur Asing dan
golongan Penduduk Pribumi. Tiap golongan penduduk tersebut menerapkan aturan
hukum yang sesuai dengan golongan masing-masing apabila terjadi perkara, kecuali
melakukan penundukan diri ke hukum yang digunakan oleh pemerintah Belanda.

Saat itu, Inheemsche Rechtspraak merupakan peradilan yang dilaksanakan


oleh para Hakim Eropa dan juga Hakim Indonesia, tidak mengatasnamakan Raja atau
Ratu Belanda dan tidak berdasarkan tata hukum Eropa, melainkan didasarkan atas tata
hukum adat yang ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan Direktur Kehakiman di
Batavia.11

Kewenangan mengadili dari peradilan ini adalah terhadap orang-orang


pribumi yang berdomisili di daerah peradilan, yang dijadikan Tergugat atau
Tersangka. Penggugat atau pihak yang menyengketakan boleh saja yang bukan
penduduk setempat, termasuk orang Eropa atau non-pribumi yang merasa dirugikan.

Peradilan ini menggunakan hukum acara atau formal sendiri yang khusus
berupa peraturan peradilan dari Residen, misalnya: Peraturan Musapat Aceh Besar
dan Singkel (1934), Peraturan Kerapatan Kalimantan Selatan dan Timur (1934),
Peraturan Gantarang, Matinggi dan Laikan (Sulawesi Selatan 1933).12 Pengakuan
terlihat pula dalam Pasal 9 ayat 3 ‘Kontrak Politik’ yang dibuat dengan pemerintah-
pemerintah Swapraja dalam Negara Sumatera Timur dahulu, karesidenan Kalimantan
Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu (Staatsblad 1939 No. 146, 612 dan
613), pula pasal 9 ayat 3 “Peraturan Swapraja 1938” (Staatsblad 1938 No. 529) yang
sekedar mengenai daerah-daerah Swapraja dalam Negara Sumatera Timur dahulu
karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu yang

43
hubungannya dengan Pemerintah Republik Indonesia diperintahkan oleh yang disebut
“Korte Verklaring”.13

Politik hukum peradilan adat masa kolonial yang demikian, menunjukkan


terjadinya proses pengakuan yang sekaligus pengawasan yang harus tunduk dari
sistem hukum modern, khususnya di bawah sistem kolonial pemerintahan Hindia
Belanda.

Keberadaan peradilan adat yang demikian, bertahan hingga masa awal


kemerdekaan dan masa pemerintahan Soekarno. Sejak itu, dinyatakan bahwa putusan-
putusan peradilan formal menjadi salah satu sumber hukum adat dalam kurun
Indonesia merdeka.14

Di awal tahun 1950 an, eksistensi peradilan peradilan di Indonesia mengalami


sejumlah penataan dalam rangka unifikasi. Hal tersebut bisa terlihat dari sejumlah
ketentuan. Pertama, Undang-Undang tentang Penghapusan PengadilanRaja
(Zelfbestuursrechtspraak) di Jawa dan Sumatera (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1947 No. 23) juncto Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang No. 1 Tahun 1950 tentang Peraturan Daerah Pulihan, setelah diubah dengan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1950. Kedua, melalui Undang-Undang Darurat Nomor
1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan
Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil (UU Drt No 1
Tahun 1951).

Dalam UU Drt No 1 Tahun 1951, menegaskan dalam pasal 1 ayat (2) bahwa
Menteri Kehakiman diberi mandat untuk menghapus secara berangsur angsur dua
peradilan, yakni segala Pengadilan Swap Raja (Zelf Bestuursrechtspraak) dan segala
Pengadilan Dat (Inheemse rechtspraak in rechtstreeks bestuurd gebied).15

Aturan Peralihan dalam Pasal 20 huruf H UU Drt No 1 Tahun 1951, pula


mengatur transisi upaya penghapusan tersebut, khususnya terkait kasus-kasus pidana
yang sedang ditangani baik oleh pengadilan swapraja maupun pengadilan adat.
Berikut kutipan pasal terkait transisi tersebut:

(1) Terhadap segala perkara pidana yang pada saat peraturan ini mulai berlaku telah
diputuskan oleh Pengadilan Swapraja atau Pengadilan Adat, maka ketentuan dalam
aturan peralihan bab B yuncto ketentuan dalam pasal 5 bab 3 huruf b berlaku juga.

44
(2) Segala perkara yang pada saat peraturan ini mulai berlaku telah ada pada
Pengadilan Swapraja atau Pengadilan Adat - melainkan perkara yang dikecualikan
berdasar atas ketentuan dalam pasal 1 ayat (2) bab a dan b - , dijalankan putusannya
atau diteruskan perjalanan putusannya atau dilanjutkan pemeriksaannya dan
diputuskan oleh Pengadilan Negeri yang dimaksudkan dalam pasal 5 bab 3 huruf a,
menurut hukum acara yang berlaku untuk Pengadilan Negeri itu.

(3) Untuk dapat melakukan ketentuan dalam bab 1, Pemimpin swapraja dan
Pemimpin Pengadilan Adat harus mengirimkan selekas-lekasnya segala perkara
tersebut beserta segala surat pemeriksaan sidang dan segala surat pembukti perkara itu
kepada Panitera pengadilan Negeri yang dimaksudkan dalam pasal 5 bab 3 huruf a.

(4) Arsip Pengadilan Swapraja dan segala barang bukti yang ada padanya, dan arsip,
uang dan barang-barang Pengadilan Adat beserta segala barang bukti yang ada
padanya, oleh Pemimpin pengadilan-pengadilan itu harus diserahkan selekas-lekasnya
kepada Panitera Pengadilan Negeri yang dimaksudkan dalam pasal 5 bab 3 huruf a.

(5) Kepala alat Penuntutan Umum pada Pengadilan Swapraja harus menyerahkan
selekas-lekasnya segala perkara pidana yang ada padanya untuk diperiksa beserta
segala barang bukti dan arsip Kantornya, dan Kepala alat Penuntutan Umum pada
Pengadilan Adat harus menyerahkan selekasselekasnya segala perkara pidana yang
ada padanya untuk diperiksa beserta segala barang bukti, dan arsip, uang dan barang-
barang Kantornya, kepada Kepala Kejaksaan Pengadilan Negeri yang dimaksudkan
dalam pasal 5 bab 3 huruf a.

Perkembangan unifikasi kedudukan dan hukum acara dalam aturan UU Drt


1951 yang secara berangsur-angsur menghapus keberadaan pengadilan swapraja dan
pengadilan adat yang pernah diakui sebelumnya dalam sistem hukum kolonial.
Pembatasan atau penghapusan keberadaan pengadilan swapraja dan pengadilan adat
semakin kuat dengan lahirnya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 19/1964). Dalam
Penjelasan Umum dinyatakan tegas, “…bahwa peradilan adalah peradilan Negara.
Dengan demikian tidak ada tempat bagi peradilan swapraja atau peradilan Adat.
Apabila peradilan-peradilan itu masih ada, maka selekas mungkin mereka akan
dihapuskan, seperti yang secara berangsurangsur telah dilakukan. Ketentuan itu
tidaklah bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis yang disebut hukum adat.

45
melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada
Pengadilan-pengadilan Negara.” Selain itu, Penjelasan Pasal 1 UU No. 19/1964 pula
menyatakan, “Tidak ada tempat bagi peradilan Swapraja yang bersifat feodalistis, atau
peradilan Adat yang dilakukan bukan alat perlengkapan Negara.”

Kebijakan penghapusan peradilan adat tersebut diikuti di masa Soeharto,


melalui Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Hal ini diatur dalam bagian Penutup UU tersebut,
“Penghapusan Pengadilan Adat dan Swapraja dilakukan oleh Pemerintah”. Dalam
Penjelasan Umumnya, dinyatakan bahwa penghapusan tersebut “…sekali-kali tidak
bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis, melainkan hanya akan
mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada Peradilan-peradilan
Negara.”

Sekalipun demikian, dengan undang-undang itu, praktis, yang tersisa hanya


peradilan formal. Sekalipun demikian, kebijakan tersebut lebih ‘kebijakan di atas
kertas’, karena faktanya pengadilan adat tak mudah hapus begitu saja. Pembatasan
atau bahkan penghapusan dalam konstruksi hukum tertulis negara berbeda dengan
kenyataan di lapangan yang menunjukkan eksistensi peradilan itu masih ada dan
masih hidup. Ada atau tiadanya pengakuan (negara atau hukum nasional),
sesungguhnya eksistensi peradilan adat di Indonesia telah berlangsung lama,
dipertahankan secara turun temurun oleh komunitas lokal dan atau masyarakat adat.
Hukum dan masyarakatnya, telah menyatu, mengakar, dan tak mudah terpisahkan
sejak sebelum republik lahir.

Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, melalui sejumlah peraturan


perundang-undangan, Pemerintah Daerah pula memberikan ‘pengakuan’ hukum.
Misalnya, di Tanah Batak khususnya di Tapanuli telah diterbitkan Peraturan Daerah
Nomor 10 Tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Na Tolu. Perda lembaga adat
yang dibentuk Pemda Tingkat II (Kabupaten), sebagai lembaga musyawarah
mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan
menghayati adat istiadat di lingkungannya. (Pasal 5 dan 8). Keberadaan lembaga adat
Dalihan Na Tolu diharapkan dapat memberikan solusi terkait konflik yang timbul di
masyarakat Adat Tapanuli. Di Kalimantan, ditemukan sejumlah peraturan perundang-
undangan yang memberikan pengakuan atas eksistensi itu, seperti pengukuhan

46
lembaga Kedamangan, melalui Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor
14 Tahun 1998. Selain itu, disusul dengan dengan berbagai peraturan daerah tingkat
kabupaten, yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Barito Selatan Nomor 17 Tahun 2000;
Peraturan Daerah Kabupaten Kapuas Nomor 5 Tahun 2001; dan Peraturan Daerah
Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 15 Tahun 2001.16

Pasca Suharto, situasi ‘pengakuan daerah’ (pengakuan melalui hukum


pemerintah daerah) tersebut berlanjut dan kian meluas.17 Di Papua salah satu
contohnya, yang dulu pernah dihapus, kini lahir Peraturan Daerah Khusus Papua
Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua. Peradilan adat dalam Perda
ini (sebagai tindak lanjut berlakunya UU Otonomi Khusus Papua) adalah peradilan
adat pada kesatuan masyarakat hukum adat, bukan tipologi peradilan adat
(inheemsche rechtspraak) yang dihapus berdasar UU Drt 1951. Konsep peradilan adat
dalam UU Otonomi Khusus Papua dan Perdasus Nomor 20 Tahun 2008 lebih mirip
peradilan desa (Drop Justitie).

Begitu pula penegasan soal adat Dayak kembali diatur melalui Peraturan
Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 tahun 2008 tentang Kelembagaan
Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Pula aturan yang sifatnya ‘memandu’ peradilan
adat melalui Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 42 tahun 2013 tentang
Pedoman Peradilan Adat di Sulawesi Tengah.18

Di tengah keragaman pengakuan hukum tersebut atas peradilan adat,


pertanyaan relevan dalam konteks ketatanegaraan, sekaligus dalam sistem hukum
Indonesia, adalah sejauh mana hubungan antara hukum negara dengan hukum adat
dalam konteks keberlakuan (gelding atau geltung) peradilan adatnya?

Banyak dijumpai bahwa yurisdiksi peradilan adat memiliki karakter tersendiri


yang membedakannya dengan peradilan negara, karena peradilan adat bisa mencakup
publik, privat, dan atau kombinasi keduanya dalam satu persidangan. Dalam
prakteknya, bisa berlangsung sangat informal, cukup dengan mekanisme mediasi,
dengan kemungkinan ruang negosiasi atas prosesnya.19 Itu sebab, mendefinisikan
atau bahkan mendeterminasi yuridiksi peradilan adat, khususnya menyangkut urusan
privat atau publik, sungguh bukan semata hal yang tak mudah, atau bahkan tidak
mungkin atau pula berbahaya dalam arti bisa mengubur eksistensi peradilan adat itu

47
sendiri. Peradilan adat, yang mendayagunakan hukum dan atau sistem hukum adat,
sesungguhnya memiliki logika sistem dan prinsip tersendiri.20

Keberadaan masyarakat adat dan hak tradisionalnya, termasuk pula


keberlakuan peradilan adat, menjadi dilematis. Pada satu sisi karena membutuhkan
positivisasi (pengakuan hukum negara), maka keberadaan dan hak tradisionalnya
hanya akan diakui apabila diatur di dalam hukum tertulis yang dibuat oleh institusi
negara. Secara a contrario, dapat dikatakan bahwa, jika tidak diakui secara hukum
maka eksistensi peradilan adat itu dianggap lenyap atau tidak ada.21 Padahal
keberadaan masyarakat adat dan hak tradisionalnya sebagaimana hak asasi yang lain
adalah hak yang melekat pada diri masyarakat adat.

Dengan penjelasan di atas, elemen yang mendasar sifatnya soal “sumber


otoritas” penyelenggaraan peradilan adat, yang memungkinkan tiga variannya: (1)
sumber otoritas penyelenggaraan peradilan adat berasal dari sistem hukum lokal adat
setempat, dalam arti ada penegasan dari dan oleh struktur otoritatif di level
masyarakat adat; (2) sumber otoritas penyelenggaraan peradilan adat berasal dari non-
sistem hukum lokal adat setempat, yang bisa berasal dari pemerintah daerah
(Gubernur, Bupati, Kepala Desa, dll.). (3) ada kemungkinan, sumber otoritasnya
berasal dari kombinasi keduanya, melalui ruang dialog tertentu yang melahirkan
persepakatan soal penyelenggaraan peradilan adat tertentu. Hal ini berbasis pada riset
BPHN yang mencoba membedahkan dari sisi bagaimana peradilan adat berhubungan
dengan kasus-kasus yang melibatkan pihak luar.22

a. KEBERLAKUAN PERADILAN ADAT

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara telah mempublikasikan sejumlah


pemikiran melalui buku ‘Sistem Peradilan Adat dan Lokal di Indonesia, Peluang dan
Tantangan’ (AMAN, 2003). Salah satu dalam kajian itu, menegaskan ada keinginan
perlunya memperluas dan memperkuat jaminan penyelenggaraan peradilan adat
dalam konteks sistem hukum Indonesia.

Begitu juga, dalam konteks kelembagaan negara yang menjalankan fungsi


kekuasaan yudisial, seperti Mahkamah Agung Republik Indonesia, telah
mencanangkan sejumlah program pembaruan peradilan dalam Cetak Biru 2010-2035.
Sayangnya, dokumen tersebut kurang memberikan perhatian terhadap relasi
kekuasaan kehakiman dengan peradilan adat, atau sama sekali tidak ada. Sekalipun

48
demikian, kini Mahkamah Agung telah membuka ruang untuk menjajaki dialog untuk
mendiskusikan soal peradilan adat, sebagaimana diinisiasi bersama antara
Perkumpulan HuMa dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Mahkamah Agung,
di Royal Kuningan, 10 Oktober 2013.23 Dalam catatan riset BPHN, ada beberapa
alasan perlunya didorong proses penyelesaian sengketa non-litigasi melalui peradilan
adat dalam penyelesaian sengketa. Pertama, di Indonesia tata cara penyelesaian
sengketa damai telah lama dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia. Beberapa
studi juga menunjukkan hal tersebut.24 Penyebabnya, antara lain:25

(a) Terbatasnya akses masyarakat terhadap sistem hukum formal yang ada;

(b) Masyarakat tradisional di daerah terisolasi pada dasarnya masih memiliki tradisi
hukum yang kuat berdasarkan hukum tradisionalnya dalam memecahkan
permasalahan hukum yang terjadi. Hal ini merupakan realitas dimana tradisi atau
custom (kebiasaan) masih berlaku di banyak tempat. Ini juga merupakan realitas
dimana perubahan masyarakat kadangkala terbentur batas wilayah, dan bahwa hal ini
juga merupakan kenyataan dimana terdapat daerah daerah yang masih ‘steril’ atau
belum tersentuh dengan keberlakukan sistem hukum formal.

(c) Tipe pemecahan masalah yang ditawarkan sistem hukum formal terkadang
memperoleh pandangan yang berbeda dan dianggap kurang memadai dan kurang
memenuhi rasa keadilan masyarakat yang masih memegang tradisi hukum mereka
sendiri;

(d) Kurang memadainya infrastruktur dan sumberdaya yang dimiliki oleh sistem
hukum formal menyebabkan kurangnya daya adaptasi dalam menyerap kebutuhan
rasa keadilan masyarakat setempa.

Kedua, pada sebagian besar masyarakat Indonesia terdapat kecenderungan


menyelesaikan sengketa dengan cara damai. Cara ini diakui efektif dalam
menyelesaikan pertikaian atau persengketaan. Sekaligus mampu menghilangkan
perasaan dendam26, serta berperan menciptakan keamanan ketertiban dan
perdamaian. Ketiga, keberadaan peradilan adat menjadi semakin penting ditengah
situasi negara yang belum sepenuhnya mampu menyediakan layanan penyelesaian
perkara melalui jalur formal sampai ke desa-desa terpencil. Selain itu, kapasitas
peradilan formal yang juga berat karena terjadi penumpukan perkara yang yang
sangat serius. Sebagai catatan, bila dilihat pada institusi tertinggi peradilan negara,

49
data Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) menunjukkan bahwa “setiap
tahun ada 13 ribu perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. Jumlah sebanyak itu
harus diselesaikan oleh 54 Hakim Agung yang selalu menyisakan 8 ribu kasus tiap
akhir tahun”.27 Tentunya, beban tumpukan kasus demikian berkonsekuensi atas
upaya akses keadilan bagi publik. Atas dasar itu, penting untuk mempertimbangkan
keberlakuan peradilan di tingkat lokal yang memberi pemaknaan sosial lebih dan
menguatkan kearifan-kearifan lokal, seperti sejumlah contoh yang dikutip dari kajian
SAJI, yakni tradisi penyelesaian konflik di komunitas Dalihan Na Tolu (Tapanuli),
Rumah Betang (Kalimantan Tengah), Menyama Braya (Bali), Saling Jot dan Saling
Pelarangan (NTB), atau Peradilan Adat Clan Selupu Lebong (Bengkulu).28

Menariknya, salah satu faktor penting dalam mendiskusikan keberlakuan


peradilan adat adalah sejauh mana peradilan adat tersebut dipenuhi para pihak yang
sedang berkonflik.Dari sudut keberlakuan hukum, apakah para pihak mematuhinya
dalam konteks bekerjanya peradilan adat. Secara sosiologi, kajian-kajian mengenai
kepatuhan hukum pada dasarnya melibatkan dua variabel, masing-masing adalah
hukum dan manusia yang menjadi objek pengaturan hukum tersebut. Kepatuhan
terhadap hukum tidak hanya dilihat sebagai fungsi peraturan hukum, melainkan juga
fungsi manusia yang menjadi sasaran pengaturan. Kepatuhan hukum tidak hanya
dijelaskan dari kehadiran hukum semata, melainkan juga dari kesediaan manusia
untuk mematuhinya.29 Bila posisi hukum yang dimaksud adalah hukum adat dan
mekanismenya adalah peradilan adat, apakah posisi manusia manusia yang
diidentifikasi kepatuhannya menjadi problematis posisinya, karena satu menjadi
bagian dari masyarakat adat, dan di sisi lain ada pula yang tidak terkait atau bukan
bagian dari masyarakat adat (pihak luar).

Keberlakuan hukum tersebut dalam konteks bekerjanya peradilan adat sangat


berkaitan dengan bukan semata soal hukum dan manusianya, melainkan pula
pertimbangan soal ekonomi, politik dan budaya, dan sistem yang melatari situasinya.

Misalnya dalam konteks peradilan adat yang berkaitan dengan soal eksploitasi
sumberdaya alam, tambang, kelapa sawit, atau pelibatan permodalan/ investasi besar,
kecenderungannya adalah ‘ketidakpatuhan hukum’ atas berlakunya hukum adat dan
peradilan adatnya. Ada sejumlah kasus kasus konflik agraria dan sumber daya alam
yang sama sekali tak bisa terselesaikan secara hukum adat atau melalui peradilan adat,

50
sebagaimana kita saksikan atas kasus Tambang Mangan di Manggarai, atau kasus
Tambang Semen di komunitas Samin.

Oleh sebab itu, keberlakuan peradilan adat sesungguhnya lebih


mengedepankan harmoni, terutama penciptaan penerimaan yang lebih
mengakomodasikan kebutuhan para pihak’. Karakter harmoni, mengutip Slaats dan
Portier dari Simarmata (2013) menyatakan, “… Di mata anggota masyarakat adat,
signifikansi proses penanganan sengketa bukan terletak pada isi putusan melainkan
pada proses menemukan solusi yang bisa diterima oleh para pihak yang bersengketa
dan yang memulihkan harmoni atau menciptakan keseimbangan baru dalam relasi
sosial antar anggota komunitas’. 30

Selain soal harmoni sebagai suatu proses mengembangkan keberlakuannya,


penting juga untuk memberi perhatian atas prinsip-prinsip mendasar terselenggaranya
peradilan adat, yang sama sekali tak boleh diabaikan dalam proses
penyelenggaraannya, sebagaimana dalam kajian BPHN.31

Prinsip tersebut terdiri dari tiga: prinsip kearifan lokal, keadilan sosial, dan
hak asasi manusia. Pertama, prinsip kearifan lokal. Prinsip ini melandaskan
penyelenggaraannya atas dasar tradisi yang telah dipertahankan dan dapat diterima
luas di tengah masyarakat adat itu, secara turun temurun. Kearifan lokal dikenali
sebagai bagian kehidupan masyarakat yang sangat penting sebagai landasan interaksi
sosial sekaligus penanda moralitas yang diakui sebagai keyakinan setempat.
Contohnya, kearifan untuk ‘mengistirahatkan tanah’ di masyarakat adat Kaili
Sulawesi Tengah, atau kearifan yang sama di Desa Bika, yang mayoritas warganya
berasal dari suku Dayak Kantuk. Namun, tanah yang ‘diistirahatkan’ tersebut
dianggap lahan tidur, sehingga dalam prakteknya seringkali dijual atau dilepas untuk
perusahaan-perusahaan.

Kedua, prinsip keadilan sosial. Prinsip ini mengedepankan terwujudnya rasa


keadilan yang dirasakan sangat penting di tengah masyarakat keberlakuannya, atau
suatu yang memiliki kebermaknaan sosial (social significance). Keadilan sosial ini
memandang sisi ‘adil’ dari perspektif tak semata ‘hukum’ dan ‘penegakan hukumnya,
melainkan pula jangkauan rasa keadilan bagi masyarakat luas, yang pertimbangannya
mencerminkan cita-cita sosial.

51
Ketiga, prinsip hak asasi manusia (HAM). Prinsip ini meliputi cara pandang
universalitas hak asasi manusia, non-diskriminasi, kesetaraan, pemartabatan manusia,
tidak memisahkan hak asasi yang satu dengan hak asasi lainnya (indivisibel dan
interdependensi), serta menempatkan tanggung jawab negara dalam upaya
memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Tentu, ukurannya menjadi tak semata
hukum hak asasi manusia sebagai telah diundangkan dalam peraturan atau hukum
negara, maupun hukum internasional, melainkan lebih mengedepankan pada falsafah
moralitas hak.

b. Peradilan Adat dalam Diskursus Kuasa Ekonomi Politik 32

Konteks pembangunan hukum masa reformasi, wacana peradilan adat kembali


‘meng hangat’. Bergeliatnya komunitas akademik, orgaisasi non pemerintah dan
bahkan lembaga donor serta pemerintah sendiri mulai memberikan perhatian atas
keberadaan peradilan adat. Suatu perkembangan menarik, dan memang sudah
sewajarnya dalam konteks Indonesia yang majemuk, baik dari sisi sosial, hukum dan
kelembagaan hukum lokal, termasuk peradilan adat, merupakan upaya menguatkan
kehidupan kemasyarakatan yang berbasis pada nilai-nilai lokal menjadi perlu.

Masalahnya, ia hadir dengan sejumlah konteks politik hukum. Konteks itu,


antara lain, pertama, bergulirnya draft Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan
Perlindungan Hak atas Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMA) yang kini masuk ke
ruang politik legislasi di parlemen. Peradilan adat, tentunya, menjadi satu topik
pembahasan cukup sengit mengingat isunya akan menjangkau wilayah kekuasaan
politik otoritas penyelesaian atas kasus kasus yang berdimensi politik ekonomi sangat
kuat, utamanya mencakup isu sumberdaya alam dan pemosisian kekuasaan politik
formal negara.

Kedua, sekalipun telah menyejarah dalam konteks sistem politik lokal,


memperlihatkan kian maraknya peradilan adat dipraktekkan untuk merespon relasi
kewenangannya yang berurusan dengan kasus-kasus hukum yang melibatkan ‘pihak
luar’. Ada sejumlah kasus yang cukup menarik sekaligus kontroversial dari sudut
pandang sejauh mana otoritas peradilan adat bersinggungan dengan mekanisme
formal peradilan negara. Selain menjadi lebih terkenal, kasusnya itu sendiri
melibatkan tokoh masyarakat, pejabat atau aparat negara, ilmuwan, atau orang-orang

52
yang berstrata sosial lebih tinggi. Seperti kasus persidangan bagi dosen Thamrin Amal
Tamagola melalui ‘peradilan adat’.33

Ketiga, posisi peradilan formal negara yang tidak cukup kuat nan efektif
dalam menjangkau secara lebih berkeadilan dan menyeluruh serta memberikan
kemanfaatan secara sosial-politik. Tumpukan kasus di Mahkamah Agung, serta tidak
kokohnya independensi peradilan di tingkat daerah, panjang prosesnya dan berbiaya
mahal, apalagi masih begitu mudahnya ditemui praktik suap dan mafia yang
melahirkan perluasan ketidakpercayaan publik.34 Sekalipun dua dekade reformasi
hukum berlangsung, pengadilan belum banyak alami perubahan, khususnya tatkala
menjadi mata rantai tak terpisahkan dengan bekerjanya mafioso dan makelar kasus
hukum, yang jamak diketahui publik begitu mudahnya memperdagangkan putusan
hakim. Agenda pembersihan mafia hukum di Mahkamah Agung adalah mendasar
karena ada di pucuk institusi peradilan, dilanjutkan di jajaran lebih rendah, sayangnya
agenda tersebut belumlah selesai.35

Oleh sebab itu, penting untuk memahami bahwa bekerjanya sebuah peradilan,
khususnya peradilan adat yang dekat dengan komunitas sosial dalam konteks politik
ekonominya. Tentu, basis pemikirannya berkaitan dengan bahwa hukum sendiri, tak
terkecuali hukum adat dan institusi peradilan adatnya, tumbuh dan berkembang di
tengah masyarakat, termasuk berada dalam pusaran kekuasaan ekonomi dan politik
yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakatnya. Acapkali, hukum dalam bentuk
aturan-aturan (formal ataupun yang non-formal) merupakan refleksi dari kontestasi
kepentingan yang melahirkan rumusan-rumusan yang menjelaskan kehendak dan
perjumpaan kepentingan politik yang terepresentasi ‘secara formal’ atau ‘terlegitimasi
sosial-politik’. Tentunya, keberadaan aturan demikian bisa merupakan sejumlah
kehendak dan ekspresi, baik itu berupa keadilan, kearifan sosial-lokal, imajinasi
ketertiban dan harmoni masyarakat, kepastian hukum, kemanfaatan sosial-ekonomi,
bangunan politik, dan resolusi konflik atas pertumbuhan dan atau persinggungan
kepentingan.

Peradilan, dalam pandangan yang demikian, merupakan mekanisme


pemenuhan, campur tangan dan atau pemaksaan atas upaya peneguhan kehendak dan
ekspresi. Lantas, bagaimana membaca perkembangan situasi ‘kebangkitan’ diskursus
peradilan adat di Indonesia yang kian mengemuka belakangan ini, serta bagaimana

53
menjelaskan dari sudut pandang ekonomi politik peradilan adat dalam konteks sistem
hukum nasional Indonesia. Peradilan adat sebagai mekanisme alternatif yang
diharapkan lebih diterima nan efektif dibandingkan mekanisme peradilan formal
negara. Apalagi, akan banyak memberikan manfaat tatkala kasus yang sedang
dihadapi merupakan kasus-kasus yang lokal yang berkaitan dengan pelanggaran
hukum adat tertentu.

Hal demikian, dimungkinkan karena mekanisme peradilan adat yang


memungkinkan memberikan ‘ruang terdekat’ secara sosial-politik untuk penyelesaian
dan/atau penuntasan kehendak dan ekspresi masyarakat. Peradilan adat secara sosial
mampu memberikan rasa keadilan yang substantif, ketenangan, kedamaian,
ketertiban. Proses itu, tentu akan lebih memiliki efektifitas fungsinya bila tersemat
kekuasaan yang legitimasinya, baik itu dalam bentuk yang paling formal, misal
pengakuan negara melalui peraturan di daerah (Peraturan Daerah, Surat Keputusan,
Perjanjian, dan lainnya), hingga yang sifatnya tidak tertulis namun cukup baik
diketahui luas (semacam struktur maupun sistem sosial budaya lokal yang turun
temurun dipertahankan), relasi kuasa politik yang kuat (seperti pengakuan adanya
eksistensi komunitas dengan tetua adatnya), hingga dimensi legitimasi ekonomi
(memberikan kontribusi pendanaan atas penyelenggaraan peradilan, pembayaran pada
hakim, dan biaya lain yang diperlukan).

Sekalipun demikian, ada pula kemungkinan peradilan tersebut memiliki


kedigdayaan [baca: daya penggentar yang memberikan rasa takut untuk kepatuhan
tertentu] karena keberadaan instrumentasi penegak hukum adat, seperti ‘satgas adat’
(atau semacam keamanan dari pihak masyarakat adat,) atau kelompok khusus dalam
komunitas adat yang setiap waktu bisa dikerahkan merepresi atau memaksakan
tindakan ‘atas nama adat’.

Dengan mengetengahkan mekanisme alternatif yang berupa peradilan adat


dengan keragaman semacam itu, maka proses [ber]hukum dan penegakan hukumnya
tak terlepas dengan konteks politik yang ada. Eksistensi peradilan adat mengalami
pergeseran dan berbeda posisi kebermaknaan sosialnya, dari masa otoritarian militer
Soeharto, hingga pasca kejatuhannya, menjadi lebih kuat posisi hukum dan
sosiologisnya. Peradilan adat pasca Soeharto hadir dengan konteks politik
desentralisasi yang sesungguhnya memperlihatkan adanya perpindahan model relasi

54
yang lebih berkaitan dengan modal dan sumberdaya yang lebih bertumpu di daerah
(‘shifting capital’), bukan semata perpindahan otoritas legitimasi politik pusat-daerah
(‘shifting authority’). Dengan model relasi yang demikian, tidak begitu mengherankan
bila muncul kekuatan politik ekonomi yang demikian kuat dan meluas di daerah,
dengan kepentingan yang demikian korup serta menguras sumberdaya alam secara
masif untuk kepentingan aliansi kelompok kepentingan itu. Kekuatan ini, sebutlah
saja sebagai aliansi predatoris, kelompok oligarki yang menguasai secara dominan
posisi dan kepentingan ekonomi politik. Kekuatan aliansi predatoris yang demikian
begitu mudah ditemukan di berbagai daerah, apalagi konteks politik elektoral di level
lokal keraf disertai dengan pengorganisasian preman atau gangsters (‘privatized
gangsters’) untuk merawat kepentingan dan kekuasaan aliansi tersebut.

Desentralisasi, pada gilirannya, menghadirkan adanya kemungkinan situasi


dimana komunitas adat dan institusi peradilan adat akan bersinggungan realitas tidak
tahannya godaan politik kekuasaan dalam konteks bekerjanya aliansi predatoris
tersebut. Bila hal tersebut terjadi, maka tidak mengherankan bila peradilan adat
menjadi lemah dan dilemahkan posisinya. Peradilan adat dalam konteks tersebut
sesungguhnya secara kelembagaan adat justru mewakili kepentingan elit-elit yang
berafiliasi dengan aliansi predatoris tersebut.

Peradilan adat, sebagai instrumen hukum yang mekanisme kerjanya pula


berinteraksi dengan situasi tersebut, maka peradilan-peradilan adat tersebut justru
melayani kekuasaan formal yang sebenarnya dilahirkan dari instrumentasi demokrasi
elektoral yang sarat dengan bayang bayang kekuasaan oligarkis. Tidaklah
mengherankan, sebagaimana terjadi dalam kasus sidang peradilan adat Thamrin Amal
Tamagola, pada akhirnya banyak fakta ditemukan bekerjanya peradilan adat justru
memelihara atau merawat kepentingan tersebut, menampilkan sosok kelas sosial
tertentu yang secara eksesif hadir dengan supremasi etnisitas tertentu.

Politik hukum peradilan adat dalam konteks politik-ekonomi yang


dideskripsikan di atas, bukan tak mungkin menjadikannya suatu tatanan hukum atau
mekanisme politik hukum yang bercorak represif, bukan responsif terhadap kehendak
dan ekspresi yang berdimensi keadilan sosial dan jaminan perlindungan hak asasi
manusia Politik hukum peradilan adat dalam konteks politik-ekonomi yang
dideskripsikan di atas, bukan tak mungkin menjadikannya suatu tatanan hukum atau

55
mekanisme politik hukum yang bercorak represif, bukan responsif terhadap kehendak
dan ekspresi yang berdimensi keadilan sosial dan jaminan perlindungan hak asasi
manusia.

Konteks politik ekonomi, memungkinkan praktik peradilan adat pula


memperlihatkan konfigurasi sistem dan relasi politik kekuasaan di level lokal.
Hukum, tak saja hukum negara, tetapi juga hukum lokal, sangat berpotensi mewakili
kepentingan kelas elit tertentu. Salah satu penandanya adalah diam atau tak
berkutiknya mekanisme peradilan adat untuk menyidangkan kasus-kasus yang
berhadapan dengan kekuatan ekonomi perkebunan ekstraktif atau perluasan perluasan
areal pertambangan.

Penjelasan kritis, mengapa peradilan adat yang diselenggarakan oleh suatu


komunitas masyarakat tampil begitu perkasa dan digdaya di saat menyidangkan kasus
pernyataan yang dianggap suatu penghinaan atas komunitas adat tertentu, sementara
persoalan penghancuran sumber daya alam hutan secara sistematik, atau bahkan jelas
jelas menghancurkan sistem sosial budaya setempat yang berdampak terhadap
komunitas adat tertentu, justru fungsi dan institusi peradilan adat tersebut
mendiamkan saja dan terkesan sama sekali tak berkutik?

Mengapa pula Gubernur atau kepala daerah dalam kebijakannya tidak


mengupayakan penguatan sidang-sidang adat lokal yang berkaitan dengan persoalan
eksploitasi sumberdaya alam atau penghancuran lingkungan karena penyingkiran hak
hak masyarakat adat? Padahal, dalam kasus-kasus tersebut memperlihatkan betapa
masyarakat adat berupaya menjaga dan merawat hak-hak masyarakat adat dan
lingkungan, sebagaimana terjadi dalam kasus peradilan adat yang menyidangkan
kasus penebangan dan pencurian kayu di hutan adat Kulawi di Boya Marena,
Sulawesi Tengah (2010), kasus peradilan adat Dayak Limbai Ketemenggungan Pelaik
Keruap menghadapi PT. Mekanika Utama (perusahaan tambang batu bara) (2009)36,
dan kasus Peradilan Adat Dayak Jalai Kendawangan, Silat Hulu Ketapang, di
Kalimantan Barat yang menghadapi perusahaan Bangun Nusa Mandiri (kasus Vitalis
Andi dan Japin) (2009).

56
Penyingkapan kepentingan bekerjanya peradilan adat dalam diskursus kuasa
ekonomi politik menjadi penting untuk tidak secara mudah memberi ruang legitimasi
kuasa oligarki melalui aliansi predatoris dalam konteks desentralisasi di Indonesia. 3

3 Herlambang P. Wiratraman, “Perkembangan Politik Hukum Peradilan Adat”, Mimbar Hukum


Volume 30 Nomor 3, 2018, hal 409-505

57
DAFTAR PUSTAKA

Abdearacf, S.H., Al Quran dan Ilmu Hukum. jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Agmides, Nichilas P, Dr., Pengantar Ilmu Hukum Islam (The Packrsound


Introduction to Koharnmnedan Law), terjemahan Roesli DKB. Solo: Ramadhani,
1984.

Ali, Daud Muhammad, Prof. S.H., Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Indonesia. jakarta: Yayasan Risalah, 1983.

Anshari, Endang Saefuddin, M.A., Piagam jakarta 22 Juni 1945 Jakarta: CV.
Rajawali, 1983.

___Wawasan Islam pokok-pokok pikiran tentang islam dan ummatnya. Jakarta: CV.
Rajawali, 1986.

Penda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam di Indonesia pada masa
pendudukan Jepang (The Crescent of the Rising Sun Indonesian islam Under the
Japanese Occupation), terjemahan Daniel Dakidae. jakarta: Pustaka jaya, 1985.

Haryono, Anwar, Dr., hukum islam Keluasan dan Keadilannya, jakarta: Bulan
Bintang, 1987.

______, Hukum Kekuasaan dan Keadilannya dalam Cahaya islam. jakarta, Bulan
Bintang 1982.

Indonesia. undang-Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

U.U. No. 14, L.N. No. 75 tahun 1970, T.L.N. No. 2951.

Hazairin, Prof. Dr., Mr., Hukum Kekeluargaan Nasional Jakarta: Tintamas, 1982.

________, Tujuh Serangkai Tentang Hukum. Jakarta: Bina Aksara, 1985.

Latif, Djamil M. H, S.H., Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia.


Jakarta: Bulan Bintang, 1983.

Lev, Daniel S. Peradilan Agama islam di Indonesia suatu studi tentang Landasan
Politik Lembaga-Lembaga hukum (Islamic Court in Indonesia A Study in The

58
Political Bases of Legatinstution), terjemahan H Zaini Ahmad Noeh. Jakarta:
Intermasa, 1986.

Mahmassani, Sebhi, Dr., Filsafal Hukum Dalam Islam (Ralsafatul Tasrii fit islam)
Terjemahan Ahmad Sudjono.

Noeh, Zaini Ahmad, H., Sebuah Perspektif Sejarah lembaga islam di Indonesia.
Bandung: Al Maarif, 1980.

Noeh, Delliar, Dr., Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900- 1942 Jakarta LP3ES,
1985.

Radhie, Teuku Mohammad. Peranan Hukum Islam Dalam Pembinaan Hukum


Nasional. Yogyakarta: Bina Usaha, 1983.

Siregar, Bismar, S.H., Renungan Hukum dan Iman. jakarta: Fikata, 1988.

Steenbrink, karl A., Dr., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19.
Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Suny, Ismail, Prof. Dr., M.C.L., SH, Mencari Keadilan. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1981.

Suminto, Aqib, Dr., Politik islam hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1986.

Thalib, Sayuti, S.H., Receprio A Contrario. Jakarta: Bina Aksara, 1985.

_________, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Badan Peradilan Agama,


jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama, 1986.

_________, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: UI Pres, tanpa Tahun

------------------------------------------------------

A. Buku

Hadikusuma, Hilman, 1989, Peradilan Adat di Indonesia, Miswar, Jakarta.

Hooker, M.B., 1978, Adat Law in Modern Indonesia, Oxford University Press, Kuala
Lumpur.

Laudjeng, Hedar, 2003, Mempertimbangkan Peradilan Adat, HuMa, Jakarta.

P. Wiratraman, Herlambang, et al., 2010, Antara

59
Teks dan Konteks: Dinamika PengakuanHukum terhadap Hak Masyarakat Adat atas

Sumber Daya Alam di Indonesia, Huma, Jakarta.

R. Hadiz, Vedi, 2010, Localising Power in PostAuthoritarian Indonesia: A Southeast


Asia Perspective, Stanford University Press, Stanford.

Rahardjo, Satjipto, 2010, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan


Masalah,

Genta Publishing, Yogyakarta

Risalah Sidang Badan Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-


Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Sekretariat Negara Republik Indonesia,

Jakarta, 1995: 179-180.

Simarmata, Rikardo, 2006, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di


Indonesia,

UNDP, Jakarta.

Tresna, 1978, Peradilan di Indonesia dari Abad Ke Abad, Pradnya Paramita, Jakarta.

B. Artikel Jurnal

Hasan, Ahmadi, 2007, “Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya (Non Ligitasi)


Menurut Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal ALBANJARI, Vol. 5, No. 9,
Januari-Juni 2007.

Steny, Bernadinus, “Politik Pengakuan Masyarakat Adat: dari Warisan Kolonial


Hingga Negara

Merdeka”, Jurnal Jentera Edisi Lingkungan, 2009.

Zulfa, Eva Achjani, “Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat Di


Indonesia”,

Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 6, No.II, Agustus 2010, hlm. 182-203.

C. Hasil Penelitian/Tugas Akhir

60
Hasan, Ahmadi, 2007, Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai
Pada

Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, Disertasi, Program


Doktor

Ilmu Hukum Pasasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

P. Wiratraman, Herlambang, et al., 2013, Peluang dan Tantangan Peradilan Adat


dalam Sistem Hukum Indonesia: Studi Kasus Peradilan Adat yang ‘Melibatkan Pihak
Luar’,

Laporan Pengkajian Badan Pengkajian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN),

BPHN, Jakarta.

P. Wiratraman, Herlambang, 2013, Peradilan Adat dan Utopia Kekuasaan?, Bulletin


HuMa,

Jakarta.

P. Wiratraman, Herlambang, et al., 2014, Politik Hukum Nasional terhadap


Perlindungan

Hukum Masyarakat Hukum Adat, Analisis Harmoni Perundang-undangan Berkaitan

Sumberdaya Alam (Studi Kehutanan, Perkebunan, Pesisir dan Kelautan), Laporan

Pengkajian Badan Pengkajian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN),

BPHN, Jakarta.

D. Makalah

Abdurrahman, 2002, “Peradilan Adat dan Lembaga Adat dalam Sistem Peradilan
Indonesia”, makalah, disampaikan dalam Sarasehan Peradilan Adat Kongres Aman II,
Mataram,

20 September 2002.

Arizona, Yance, 2012, “Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Nasional”,

Makalah, disampaikan pada Diskusi tentang Memperkuat Peradilan Adat di


Kalimantan

61
Tengah untuk Penguatan Akses terhadap Keadilan, 11 Juni 2013.

Mulyadi, Lilik, 2013, “Hukum dan Putusan Adat dalam Peradilan Negara”, Makalah,
untuk

Dialog Nasional Bersama Perkumpulan HuMa dan Mahkamah Agung, Royal


Kuningan, 10 Oktober 2013.

Rato, Dominikus, 2013, “Prinsip, Mekanisme dan Praktek Peradilan Adat dalam
Menangani

Kasus Hukum dengan Pihak Lain”, Makalah, Focus Group Discussion, BPHN,
Jakarta.

Simarmata, Rikardo, 2013. “Merumuskan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan


Nasional”,

Makalah, disampaikan dalam Dialog Nasional Bersama Perkumpulan HuMa dan

Mahkamah Agung, Royal Kuningan, 10 Oktober 2013

E. Antologi

Hardiman, F. Budi, “Posisi Struktural Suku Bangsa dan Hubungan antar Suku Bangsa
dalam

Kehidupan Kebangsaan dan Kenegaraan di Indonesia (Ditinjau dari Perspektif


Filsafat)”,

dalam Ignas Tri, Hubungan Struktural Masyarakat Adat, Suku Bangsa, Bangsa, dan

Negara (Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia), 2006, Komnas HAM, Jakarta.

Koesnoe, Muhammad, “Musyawarah”, dalam Miriam Budiardjo, 1971, Masalah

Kenegaraan, tanpa penerbit, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, “Hukum Adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia


(Perspektif

Sosiologi Hukum)”, dalam Hilmi Rosyida dan Bisariyadi, 2005, Inventarisasi dan

Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi


RI,

62
dan Departemen Dalam Negeri, Jakarta.

F. Artikel Koran

P. Wiratraman, Herlambang, 2009, “Ganyang Mafia?”, Kompas, 10 Oktober 2009.

G. Internet

Detik News, “Tunggakan 8 Ribu Perkara Tiap Tahun Jadi Tantangan Ketua MA
Baru”,

http://news.detik.com/read/2012/02/06/190613/1835694/10/tunggakan-8-ribuperkara-
tiap-tahun-jadi-tantangan-ketuama-baru?nd992203605, diakses 10 Agustus 2018.
Lihat juga catatan dari SAJI Project, Pedoman Peradilan Adat Sulawesi Tengah, 2013.

Bawor, Tandiono, (ND), “Dayak Limbai Pelaik Keruap Melawan Tambang”, paper,
https://docs.google.com/document/d/1GiouOWZlSJ2jRPxFihVcyh7afItK_j0Agm
eO7mAV9rg/edit, diakses 10 Oktober 2013.

H. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan


Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara
Pengadilan-Pengadilan Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951,
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 81).

I. Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUUVIII/2010 perihal Pengujian Undang-


Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisisr dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945

—-

Abdearacf, S.H., Al Quran dan Ilmu Hukum. jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Agmides, Nichilas P, Dr., Pengantar Ilmu Hukum Islam (The Packrsound


Introduction to Koharnmnedan Law), terjemahan Roesli DKB. Solo: Ramadhani,
1984.

63
Ali, Daud Muhammad, Prof. S.H., Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Indonesia. jakarta: Yayasan Risalah, 1983.

Anshari, Endang Saefuddin, M.A., Piagam jakarta 22 Juni 1945 Jakarta: CV.
Rajawali, 1983.

—— .Wawasan Islam pokok-pokok pikiran tentang islam dan ummatnya. Jakarta:


CV. Rajawali, 1986.

Penda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam di Indonesia pada masa
pendudukan Jepang (The Crescent of the Rising Sun Indonesian islam Under the
Japanese Occupation), terjemahan Daniel Dakidae. jakarta: Pustaka jaya, 1985.

Haryono, Anwar, Dr., hukum islam Keluasan dan Keadilannya, jakarta: Bulan
Bintang, 1987.

______, Hukum Kekuasaan dan Keadilannya dalam Cahaya islam. jakarta, Bulan
Bintang 1982.

Indonesia. undang-Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

U.U. No. 14, L.N. No. 75 tahun 1970, T.L.N. No. 2951.

Hazairin, Prof. Dr., Mr., Hukum Kekeluargaan Nasional Jakarta: Tintamas, 1982.

________, Tujuh Serangkai Tentang Hukum. Jakarta: Bina Aksara, 1985.

Latif, Djamil M. H, S.H., Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia.


Jakarta: Bulan Bintang, 1983.

Lev, Daniel S. Peradilan Agama islam di Indonesia suatu studi tentang Landasan
Politik Lembaga-Lembaga hukum (Islamic Court in Indonesia A Study in The
Political Bases of Legatinstution), terjemahan H Zaini Ahmad Noeh. Jakarta:
Intermasa, 1986.

Mahmassani, Sebhi, Dr., Filsafal Hukum Dalam Islam (Ralsafatul Tasrii fit islam)
Terjemahan Ahmad Sudjono.

Noeh, Zaini Ahmad, H., Sebuah Perspektif Sejarah lembaga islam di Indonesia.
Bandung: Al Maarif, 1980.

64
Noeh, Delliar, Dr., Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900- 1942 Jakarta LP3ES,
1985.

Radhie, Teuku Mohammad. Peranan Hukum Islam Dalam Pembinaan Hukum


Nasional. Yogyakarta: Bina Usaha, 1983.

Siregar, Bismar, S.H., Renungan Hukum dan Iman. jakarta: Fikata, 1988.

Steenbrink, karl A., Dr., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19.
Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Suny, Ismail, Prof. Dr., M.C.L., SH, Mencari Keadilan. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1981.

Suminto, Aqib, Dr., Politik islam hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1986.

Thalib, Sayuti, S.H., Receprio A Contrario. Jakarta: Bina Aksara, 1985.

_________, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Badan Peradilan Agama,


jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama, 1986.

_________, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: UI Pres, tanpa

tahun

65

Anda mungkin juga menyukai