Anda di halaman 1dari 101

BAB I

PENDAHULUAN

A. Hukum Perdata
Berbicara tentang Hukum Acara Perdata tidak terlepas dari Hukum
Perdata, karena Hukum Perdata merupakan hukum materilnya
sedangkan hukum acara perdata merupakan hukum formilnya.
Hukum perdata pada umumnya dirumuskan sebagai aturan-aturan
hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan
orang yang lain atau hubungan antara badan hukum yang satu dengan
badan hukum yang lain atau antara orang yang satu dengan suatu
badan hukum.
Orang adalah subjek hukum yang terdiri dari manusia pribadi dan
badan hukum. Badan hukum merupakan badan ciptaan manusia
pribadi untuk bergerak dalam bidang harta kekayaan.
Dalam hubungan sebagaimana disebut di atas, diketahui bahwa
suatu hubungan hukum atau suatu perikatan timbul karena adanya
perjanjian dan juga karena ketentuan Undang-Undang. Dalam hal
perjanjian, misalnya perjanjian jual beli atau perjanjian utang piutang
yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan hak dan kewajiban di
antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Bilamana salah
satu pihak ingkar janji, maka pihak yang lainnya tentu dirugikan. Oleh
karena itu, pihak yang dirugikan tersebut mempunyai hak untuk
menuntut ganti rugi sesuai dengan kesepakatan atau perjanjian yang
sudah dibuat.
Disamping itu suatu perbuatan melawan hukum juga menjadi dasar
bagi pihak yang merasa dirugikan untuk menuntut ganti kerugian.
Tuntutan lain muncul dari masalah perkawinan seperti gugat cerai,
nafkah dan lain-lainnya.

1
Penyelesaian awal biasanya dilakukan sendiri oleh para pihak dan
bila tidak berhasil maka diperlukan lembaga penyelesaian yang netral
yaitu melalui Pengadilan agar diputus oleh hakim.
Cara penyelesaian di Pengadilan oleh hakim Pengadilan inilah yang
diatur dalam hukum acara perdata.

B. Pengertian Hukum Acara Perdata


Menurut Wiryono Prodjodikoro (1978 : 13) Hukum Acara Perdata
adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana
orang harus bertindak terhadap dan di muka Pengadilan dan cara
bagaimana Pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Soepomo (1984 : 12)
yang dikaitkan dengan tugas Hakim bahwa dalam peradilan perdata
tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata (“burgerlijke
rechtsorde”) menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu
perkara.
Sudikno Mertokusumo (2002 : 2) juga mengemukakan bahwa Hukum
Acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana
caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materil dengan
perantaraan hakim. Pendapat yang sama namun lengkap
dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad (2000 : 15) bahwa Hukum
Acara Perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur
proses penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak
diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.
Dengan demikian dalam peraturan hukum acara perdata diatur
bagaimana cara orang mengajukan perkaranya kepada hakim
(pengadilan), bagaimana caranya pihak yang terserang itu
mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak terhadap pihak-
pihak yang berperkara, bagaimana hakim memeriksa dan memutus
perkara sehingga dapat diselesaikan secara adil, bagaimana cara
melaksanakan keputusan hakim dan sebagainya, sehingga hak dan

2
kewajiban orang seperti telah diatur dalam hukum perdata itu berjalan
sebagaimana mestinya.
Singkatnya hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya
hukum perdata materil dapat dipertahankan.
Disanping pengertian hukum acara perdata sebagaimana
dikemukakan di atas, ada juga beberapa istilah dalam hukum acara
perdata yaitu perkara, sengketa dan beracara.
Pengertian istilah perkara itu lebih luas dari pada istilah sengketa.
Dengan kata lain sengketa adalah sebagian dari perkara sedangkan
perkara itu belum tentu sengketa.
Jadi dalam pengertian perkara tersimpul 2 (dua) keadaan yaitu:
 ada perselisihan ; dan
 tidak ada perselisihan.
Ada perselisihan artinya ada sesuatu yang menjadi pokok perselisihan,
atau ada yang disengketakan. Perselisihan itu tidak dapat diselesaikan
oleh pihak-pihak yang bersengketa, melainkan memerlukan
penyelesaian lewat hakim sebagai instansi yang berwenang dan tidak
memihak untuk diputuskan. Contohnya adalah gugatan untuk
membayar sejumlah hutang dll. Tugas hakim yang demikian termasuk
“Jurisdiktio Contentiosa”, yaitu kewenangan mengadili dalam arti
sebenarnya untuk memberikan suatu keputusan keadilan dalam suatu
sengketa.
Tidak ada perselisihan artinya tidak ada yang
diperselisihkan/sengketakan karena yang bersangkutan tidak minta
keputusan dari hakim, melainkan minta ketetapan dari hakim tentang
status dari sesuatu hal, sehingga mendapat kepastian hukum yang
harus dihormati atau diakui oleh semua orang. Contohnya
permohonan pengangkatan anak, penggantian nama dll. Tugas hakim
yang demikian ini termasuk, “Jurisdiktio Voluntaria” yaitu suatu
kewenangan memeriksa perkara yang tidak bersifat mengadili
melainkan bersifat administratif saja.

3
Pengertian beracara dalam hukum acara perdata dapat dipakai
dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Dalam arti luas, beracara meliputi segala tindakan hukum yang
dilakukan baik di luar maupun di dalam sidang pengadilan guna
menyelesaikan suatu perkara menurut ketentuan hukum acara
perdata. Di luar persidangan dilakukan somasi atau upaya damai dan
bila tidak berhasil dilanjutkan dengan pengajuan gugatan.
Dalam arti sempit, beracara meliputi tindakan beracara sesungguhnya
di dalam sidang pengadilan yaitu sejak sidang pertama sampai sidang
terakhir hakim menjatuhkan putusan.

C. Sejarah singkat Hukum Acara Perdata di Indonesia


Perkembangan Hukum Acara Perdata di Indonesia, dapat
dilihat dalam 3 zaman yaitu zaman Pemerintahan Hindia Belanda,
Zaman Jepang dan zaman kemerdekaan RI.
1. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda
Indonesia adalah daerah jajahan Belanda, oleh karena itu aturan
yang diterapkan tentu hanya untuk kepentingan penjajah sendiri,
termasuk aturan hukum yang digunakan untuk penyelesaian
masalah.
Pemerintah Hindia Belanda dahulu melalui Pengadilan
Gubernemen memeriksa dan memutus perkara perkara perdata
untuk golongan Bumi putra dengan menggunakan beberapa pasal
saja dalam Stb. No. 20 Tahun 1819. Dalam perkembangan
selanjutnya di beberapa kota besar di Jawa, Pengadilan
Gubernemen yang memeriksa perkara perdata untuk orang
bumiputra menggunakan hukum yang berlaku untuk orang Eropa
tanpa suatu dasar hukum.
Hal ini tidak dibenarkan oleh Mr. H.L. Wichers yang bertugas
sebagai Ketua Hoogerechtshof (Mahkamah Agung) Pemerintahan
Hindia Belanda di Batavia. Berdasar beslit Gubernur Jenderal J.J.
Rochussen No. 3 Tahun 1846 tanggal 5 Desember 1846, Mr. Wichers

4
ditugaskan untuk merancang sebuah Reglement tentang
Administrasi Polisi, dan Acara Perdata serta Acara Pidana bagi
golongan Bumiputra. Setelah rancangan reglement dengan
penjelasannya dirampungkannya, maka pada tanggal 6 Agustus
1847 rancangan tersebut diserahkan kepada Gubernur J.J.
Rochussen. Terhadap rancangan ini dikemukakan beberapa
keberatan terutama ketentuan Pasal 432 ayat (2) yang
membolehkan pengadilan yang memeriksa perkara perdata untuk
golongan Bumiputra menggunakan peraturan Hukum Acara
Perdata yang diperuntukan bagi golongan Eropa. Pasal ini dirubah
dan sekarang menjadi Pasal 393 ayat (1) dan ayat (2) HIR.
Rancangan Reglement ini selain diperuntukkan bagi golongan
Bumi putra di jawa dan Madura, juga diperuntukan bagi golongan
Timur Asing di Jawa dan Madura. Menurut penjelasan Reglement
tersebut dan juga pendapat Gubernur J.J. Rochussen, hal ini
disebabkan oleh faktor tingkat kecerdasan. Orang golongan Timur
Asing itu tingkat kecerdasannya disejajarkan dengan tingkat
kecerdasan orang golongan Bumiputra. Oleh karena itu, Reglement
untuk golongan Bumiputra dapat diperuntukkan juga bagi
golongan Timur Asing (Abdulkadir Muhammad, 2000 : 8).
Reglement tersebut diumumkan dengan publikasi tanggal 5 April
1848 Stb No. 16 Tahun 1848 dan dinyatakan berlaku sejak tanggal 1
Mei 1848 dengan sebutan Reglement op de Uitoefening van de Politie,
de Burgerlijke Rechtspleging en de Straftvordering onder de Inlanders, de
Vreemde Osterlingan op Java en Madura, dengan singkat lasim disebut
Inlandsch Reglement (IR). Reglement ini kemudian disahkan dan
dikuatkan oleh Pemerintah Belanda dengan keputusan Raja No. 93
Tahun 1849 tanggal 29 September 1849 Stb. No. 63 Tahun 1849.
Setelah seratus tahun berlaku IR ini banyak mengalami perubahan
dan penambahan terutama acara pidana, sehingga perlu
diundangkan kembali.
Kronologis perubahannya adalah:

5
1. Perubahan dan penambahan sampai Tahun 1926. Setelah
mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan,
pemerintahan Hindia Belanda mengumumkan kembali isi IR
dengan Stb. No. 559 Tahun 1926 jo. Stb. 496 Tahun 1926.
2. Perubahan dan penambahan dari Tahun 1926 sampai Tahun
1941. Perubahan secara mendalam terutama menyangkut
Hukum Acara Pidana.Perubahan itu dilaksanakan dengan
dengan Stb. No. 31 Tahun 1941 jo. Stb. No. 98 Tahun 1941. Di
dalam Stb. No. 32 Tahun 1941 ini sebutan IR diganti dengan
sebutan Herziene Inlandsch Reglement (HIR).
3. Pengundangan secara keseluruhan isi HIR dilaksanakan dengan
Stb.No. 44 Tahun 1941. Setelah itu tidak ada perubahan.
Penyesuaian baru dilaksanakan setelah Indonsia merdeka
dengan keluarnya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang
tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan
Kesatuan susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-
Pengadilan Sipil, Lembaran Negara No. 8 Tahun 1951.

Pada Tahun 1927 Gubernur Jenderal Hindia Belanda


mengumumkan Reglement Hukum Acara untuk Daerah Seberang
dalam Stb. No. 227 Tahun 1927 dengan sebutan Rechtsreglement voor
de Buitengewesten disingkat RBg. Ketentuan hukum acara perdata
dalam RBg adalah ketentuan Hukum Acara Perdata yang sudah
ada dalam IR untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing di Jawa
dan Madura ditambah ketentuan-ketentuan Hukum Acara perdata
yang telah ada dan berlaku di kalangan mereka sebelumnya.
Dengan terbentuknya RBg ini, maka di Hindia Belanda terdapat 3
macam Reglement Hukum Acara untuk pemeriksaan perkara di
muka Pengadilan Gubernemen pada tingkat pertama, yaitu:
1. BRv untuk golongan Eropa yang berperkara di muka Raad van
Justitie dan Residentiegerecht.

6
2. HIR untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing yang
berperkara di muka Landraad di Jawa dan Madura.
3. RBg untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing yang
berperkara di muka Landraad di luar Jawa dan Madura.

2. Saman Pendudukan Jepang


Pada tanggal 7 Maret 1942 untuk daerah Jawa dan Madura
pembesar Balatentara Dai Nippon mengeluarkan UU No. 1 Tahun
1942. Dalam Pasal 3 ditentukan bahwa: “semua badan pemerintah
dan kekuasaannya, UU dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah
untuk sementara waktu asalkan tidak bertentangan dengan
peraturan Pemerintah Militer”.
Dengan demikian HIR dan RBg masih tetap berlaku.
Pada bulan April 1942 pemerintah Balatentara Dai Nippon
mengeluarkan peraturan baru tentang susunan dan kekuasaan
pengadilan. Dalam peraturan tersebut ditentukan: untuk semua
golongan penduduk kecuali orang-orang bangsa Jepang hanya
diadakan satu jenis pengadilan sebagai pengadilan sehari-hari yaitu
Pengadilan Negeri (Tihoo Hooin) untuk pemeriksaan perkara
tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi (Kootoo Hooin) untuk
pemeriksaan perkara tingkat kedua.
Mula-mula ada Saiko Hooin sebagai ganti Hoogerechthof, namun
pekerjaan Saiko Hooin dihentikan dan diserahkan kepada
Pengadilan Tinggi.

3. Saman Kemerdekaan
Berdasar Pasal II aturan Peralihan UUD 1945 maka HIR dan RBg
masih tetap berlaku tanpa memandang golongan penduduk.
Berdasar UU Drt No. 1 Tahun 1951 mulai dirintis jalan menuju
unifikasi dalam bidang pengadilan. Menurut ketentuan UU ini
untuk semua warga negara Indoinesia di seluruh wilayah
Indonesia hanya ada 3 jenis Pengadilan sipil sehari-hari, yaitu:

7
1. Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus perkara
perdata dan pidana pada tingkat pertama;
2. Pengadilan Tinggi yang memeriksa dan memutus perkara
perdata dan pidana pada tingkat kedua atau tingkat banding;
3. Mahkamah Agung yang memeriksa dan memutus perkara
perdata dan pidana pada tingkat kasasi.

Dengan dikeluarkannya UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,


maka ketentuan HIR/RBg yang mengatur tentang hukum acara
pidana dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Perkembangan pengaturan hukum acara perdata selanjutnya
banyak diatur juga di luar HIR/RBg seperti yang diatur dalam
KUH Perdata, dan UU di bidang Hukum Perdata lainnya misalnya
UU No. 1 Tahun 1974 dan PP 9 Tahun 1975 dll.

D. Sumber-sumber Hukum Acara Perdata


1. H I R
HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement) adalah peraturan Hukum
Acara Perdata yang berlaku bagi golongan Bumi Putra dan
Timur Asing di Jawa dan Madura
2. RBg
RBg (Rehtsreglement Voor de Buitengewesten) adalah peraturan
Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi golongan Bumi Putra
dan Timur Asing di luar Jawa dan Madura (daerah seberang).
3. BRv
BRv (Reglement op de Burgerlijke rechtsvoordering) adalah
peraturan Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi golongan
Eropa.
4. R O
R O (Reglement op de Rechterlijke Organisatie in het beleid in
Indonesia) adalah reglement tentang Organisasi Kehakiman.
5. BW (KUH Perdata) buku ke IV

8
BW (Burgerlijke Wetboek) adalah Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dimana buku ke IV mengatur tentang Pembuktian dan
Daluwarsa.
6. UU No. 20 Tahun 1947
UU ini mengatur tentang Hukum Acara Perdata pada
Perngadilan Tinggi untuk daerah Jawa dan Madura sedangkan
untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam RBg. Pasal
199 sampai dengan Pasal 205.
7. UU No. 37 Tahun 1999 tentang Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran
8. UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
UU ini menggantikan UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakimann yang
kemudian dirubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasan Kehakiman.
9. UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
10. UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang kemudian
dirubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
UU No. No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
11. UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Dalam UU ini ada pengaturan tentang eksekusi dalam Pasal 6,
Pasal 20 dan Pasal 26.
12. Yurisprudensi
Yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim pengadilan atau
Mahkamah Agung yang dijadikan sebagai pedoman oleh hakim
dalam mengambil keputusan, apabila menghadapi perkara
yang sama.
13. Adat Kebiasaan

9
Adat kebiasaan ini sifatnya tidak tertulis (hukum adat), tetapi
diperlukan apabila hukum tertulis ini tidak ditemukan, maka
hakim wajib mencari, menggali dan menemukan dalam hukum
adat.
14. Perma No. 1 Tahun 2000 tentang Paksa Badan.
Lembaga ini dikeluarkan sebagai pengganti lembaga gijzeling
atau sandera yang diatur dalam HIR/RBg..

E. Sifat Hukum Acara Perdata


Sifat hukum acara perdata adalah seperti termuat dalam HIR dan
RBg. mempunyai sifat yang fleksibel dan terbuka, sebab HIR dan RBg
itu diciptakan untuk golongan bumi putra yang hukum perdata
materilnya adalah hukum adat (Abdulkadir Muhammad, 2000 : 26).
Menurut sistim HIR dan RBg. hakim aktif memimpin persidangan
mulai sidang pertama sampai dengan adanya keputusan, walaupun
inisyatif berperkara itu datyang dari para pihak terutama pihak yang
merasa haknya dirugikan atau dilanggar.
Orang yang merasa haknya dilanggar dan kemudian mengajukan
gugatan ke Pengadilan ini disebut “Penggugat”, sedangkan orang
yang ditarik oleh Penggugat ke depan Pengadilan, karena dirasa
melanggar haknya disebut “ Tergugat”.
Bilamana Penggugat lebih dari satu orang, maka disebut Penggugat I,
Penggugat II dan seterusnya. Namun untuk mudahnya biasanya
Penggugat I, Penggugat II dan seterusnya ini disebut Para Penggugat.
Demikian juga dengan Tergugat, bila Tergugatnya lebih dari satu,
maka disebut Tergugat I, Tergugat II dan seterusnya sesuai jumlah
yang digugat. Namun untuk mudahnya setelah penulisan identitas
masing-masing, biasanya ditulis untuk mudahnya Tergugat I dan
seterusnya disebut “Para Tergugat”.
Dalam praktek dikenal istilah Turut Tergugat yang yang biasanya
digunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa

10
atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu tetapi hanya demi
lengkapnya suatu gugatan harus diikut sertakan.
Dalam hukum acara perdata, inisyatif ada pada penggugat,
maka penggugat mempunyai pengaruh yang besar terhadap jalannya
perkara setelah diajukan, ia dalam batas-batas tertentu dapat merubah
atau mencabut kembali gugatannya.

F. Asas-Asas Hukum Acara Perdata


Menurut Sudikno Mertokusumo (2002 : 10), asas-asas Hukum Acara
Perdata adalah Hakim bersikap menunggu; Hakim Pasif; Sifat
terbukanya persidangan; Mendengar kedua belah pihak; Putusan
harus disertai alasan-alasan; Beracara dikenakan beaya dan Tidak ada
keharusan mewakilkan.
1. Hakim bersikap menunggu
Hakim bersikap menunggu maksudnya bahwa hakim baru
menangani suatu perkara di Pengadilan bila diajukan ke
pengadilan oleh pihak yang merasa haknya dilanggar atau
dirugikan ke Pengadilan. Hakim Pengadilan tidak mencari-cari
perkara di dalam masyarakat, tetapi bersikap menunggu di
Pengadilan. Hakim tidak boleh menolak memeriksa suatu
perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan aturan atau
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya (UU 4 /2004 Ps. 16). Hal ini
karena hakim dianggap mengetahui hukum (ius curia novit).
Bila aturan tertulis tidak ditemukan, maka hakim wajib mencari
dan menemukan dalam hukum adat atau hukum tidak tertulis
yang ada dan hidup dalam masyarakat setempat.

2. Hakim Pasif
Hakim pasif artinya ruang lingkup/pokok sengketa yang
diajukan pada hakim untuk diperiksa pada prinsipnya
ditentukan oleh para pihak yang berperkara, bukan hakim.

11
Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya, akan tetapi
tidak berarti hakim sama sekali tidak aktif, karena selaku
pimpinanm sidang, hakim harus aktif memimpin pemeriksaan
perkara dan harus mengatasi segala hambatan dan rintangan
untuk tercapainya peradilan.

3. Sifat terbukanya persidangan


Sidang pemeriksaan perkara di pengadilan pada asasnya
terbuka untuk umum (Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004). Hal ini
berarti bahwa setiap orang boleh hadir untuk mendengar atau
mengikuti jalannya persidangan. Tujuan dari asas ini adalah
untuk memberi perlindungan HAM di bidang peradilan
sehingga menjamin objektivitas peradilan.
Pengacualiannya adalah apabila ada alasan-alasan tertentu
dalam berita acara, maka sidang dilaksanakan dengan pintu
tertutup.

4. Mendengar kedua belah pihak


Dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak harus
diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-
sama. Hal ini dapat terlihat jelas pada saat acara pembuktian.

5. Putusan harus disertai alasan-alasan


Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan
putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Alasan/argumentasi itu dimaksudkan sebagai
pertanggungjawaban hakim dari putusannya terhadap
masyarakat, sehingga mempunyai nilai-nilai objektif.

6. Beracara dikenakan biaya


Berperkara pada prinsipnya dikenakan beaya seperti diatur
dalam Pasal 121 ayat (4) HIR/145 ayat (4) RBg Disamping itu

12
kalau minta bantuan pengacara, maka tentu ada biaya yang
dikeluarkan sebagai balas jasa pengacara/kuasa hukum.

7. Tidak ada keharusan untuk mewakilkan.


Pada prinsipnya para pihak yang berperkara yang harus maju
dalam persidangan, namun demikian HIR/RBg memberi
kemungkinan bagi para pihak untuk dapat diwakilkan (Ps.
123/147 RBg).
Menurut Moh Taufik Makarao (2004 : 6) asas-asas Hukum Acara
adalah :
1. Peradilan bebas dari campur tangan pihak-pihak di luar
Kekuasaan Kehakiman;
2. asas objektivitas;
3. asas sederhana, cepat dan beaya ringan;
4. gugatan/permohonan dapat diajukan dengan surat atau lisan;
5. inisyatif berperkara diambil oleh pihak yang berkepentingan;
6. keaktifan hakim dalam pemeriksaan;
7. beracara dikenakan beaya;
8. para pihak dapat meminta bantuan atau mewakilkan kepada
seorang kuasa;
9. sifat terbukanya persidangan;
10. mendengar kedua belah pihak.

G. Tugas Hakim
Tugas hakim ialah menemukan kebenaran yang sesungguhnya dalam
perkara yang dihadapinya. Dengan demikian berlakunya peraturan
hukum perdata itu dapat dipertahankan sebagaimana mestinya.
Prof. Hapsoro, S.H. mengemukakan bahwa dalam acara perdata
kebenaran yang dicari hakim adalah kebenaran formil, dalam arti
hakim tidak perlu mengorek secara mendalam perihal fakta dan
peristiwanya sebagaimana dalam acara pidana, tetapi hakim terikat
pada apa yang dikemukakan para pihak (M. Djai’s, 1985 : 17).

13
H. Perbedaan Perkara Perdata dan Pidana
Menurut Abdulkadir Muhammad (2000 : 24-26) perbedaan perkara
perdata dan pidana dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu:
1. Dasar timbulnya perkara
Dalam perkara perdata, terjadi pelanggaran terhadap hak
seseorang seperti diatur dalam hukum perdata dan sifatnya
menimbulkan kerugian bagi yang bersangkutan (yang haknya
dilanggar), sedangkan dalam perkara pidana, terjadi
pelanggaran terhadap peraturan pidana yang telah ditetapkan
dalam hukum pidana dan perbuatan pidana itu sifatnya
merugikan negara, mengganggu kewibawaan pemerintah dan
mengganggu ketertiban umum.
2. Inisyatif berperkara
Dalam perkara perdata, inisyatif berperkara datang dari pihak
yang merasa dirugikan (daitu dari pribadi yang bersangkutan
diajukan kepada hakim untuk diselesaikan), sedangkan dalam
perkara pidana, inisyatif berperkara datang dari pihak
penguasa negara/pemerintah (Pemerintah lewat aparaturnya
yaitu Polisi, Jaksa/PU melakukan penyidikan dan penuntutan
terhadap orang yang melakukan kejahatan itu di hadapan
hakim.).
3. Istilah yang dipergunakan
Dalam perkara perdata, pihak yang mengajukan perkara ke
muka hakim disebut penggugat sedangkan lawannya disebut
Tergugat, sedangkan dalam perkara pidana, pihak yang
mengajukan perkara ke muka hakim adalah Jaksa/PU, setelah
dilakukan penyidikan oleh Polisi. Pihak yang disangka
melakukan kejahatan/perbuatan pidana disebut Tersangka.
Apabila setelah penyidikan berkas perkara dilimpahkan ke
Jaksa/PU dan dilimpahkan ke Pengadilan, maka status pelaku
perbuatan pidana ini disebut Terdakwa. Setelah Terdakwa

14
divonis hakim terbukti melakukan suatu perbuatan pidana,
maka ia disebut terpidana (terhukum).
4. Tugas hakim dalam acara
Dalam perkara perdata, kebenaran yang dicari adalah
kebenaran formil yaitu terbatas pada apa yang dituntut dan
kalau ini diakui salah satu pihak, maka dalam memutus perkara
hakim sudah punya keyakinan atau dasar pertimbangan
hukum.
Sedangkan dalam perkara pidana, kebenaran yang dicari adalah
mutlak/materil yaitu tidak terbatas pada apa yang diakui
terdakwa, melainkan lebih dari itu hakim menyelidiki latar
belakangnya.
5. Masalah perdamaian
Dalam perkara perdata, selama belum diputus hakim dapat
ditawarkan perdamaian untuk mengakiri perkara sedangkan
dalam perkara pidana, tidak boleh dilakukan perdamaian,
karena sekalki diproses untuk dituntut, harus diselesaikan
sampai keputusan kecuali yang dideponir.
6. Sumpah decisoire
Dalam perkara perdata, dikenal sumpah decisoire (pemutus)
tentang kebenaran suatu peristiwa dan bila diangkat oleh salah
satu pihak yang berperkara, maka harus dimenangkan
sedangkan dalam perkara pidana, tidak dikenal sumpah
decisoire.
7. Hukuman
Dalam perkara perdata, hukuman yang diberikan kepada pihak
yang kalah berupa kewajiban untuk memenuhi suatu prestasi,
bukan hukuman badan, sedangkan dalam perkara pidana,
hukuman hukuman yang diberikan oleh hakim kepada
terdakwa berupa hukuman badan dan hak, yaitu hukuman
mati, hukuman penjara denda dan hukuman pencabutan hak-
hak tertentu.

15
I. Susunan dan Kekuasaan Badan Peradilan Umum
Di dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
disebutkan dalam Pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggarnya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Kemudian di dalam Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004 disebutkan bahwa
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan Militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 10 ayat 2 kembali menegaskan bahwa Badan Peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan
peradilan tata usaha negara.
Mengenai Badan Peradilan Umum itu sendiri diatur dalam UU No. 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang kemudian dirubah dengan
UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum.
Pasal 2 UU ini menyebutkan bahwa Peradilan Umum adalah salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada
umumnya.
Selanjutnya Pasal 3 menyebutkan bahwa :
(1) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum
dilaksanakan oleh:
a. Pengadilan Negeri;
b. Pengadilan Tinggi.

16
(2) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum
berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan
Negara tertinggi.
Di dalam Pasal 17 UU No. 4 Tahun 2004 disebutkan bahwa :
(1) Semua pengadilan memeriksa, mengadili dan memutus dengan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang
menentukan lain.
(2) Di antara para hakim tersebut pada ayat (1), seorang bertindak
sebagai Ketua, dan yang lain sebagai hakim anggota sidang.
(3) Sidang dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang
ditugaskan melakukan pekerjaan panitera.
Sidang pemeriksaan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-
undang menentukan lain (Ps. 19). Semua putusan pengadilan hanya
sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum (Ps. 20).

1. Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri berkedudukan di setiap ibu kota kabutan/kota dan
wilayah hukum yang menjadi kompetensi/kewenangannya meliputi
seluruh wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. Kompetensi
adalah kewenangan memeriksa dan mengadili perkara dari suatu
Pengadilan
Dalam Hukum Acara Perdata dikenal 2 macam kewenangan
((Retnowulan Sutantio & Iskandar Uripkartawinata, 2002 : 11), ialah:
(a) wewenang mutlak atau absolute
competentie;
(b) wewenang relatif atau relative competentie.
1. Kompetensi relatif yaitu kewenangan mengadili perkara
dari suatu pengadilan berdasarkan pada pembagian daerah
hukum, (distribution of authority). Untuk Pengadilan Negeri
daerah hukumnya meliputi Kabupaten/Kotamadya daerah
Tingkat II di tempat Pengadilan Negeri itu berada

17
(Abdulkadir Muhammad 2000 : 27). Dengan kata lain
wewenang relatif mengatur pembagian kekuasaan
mengadili antara pengadilan yang serupa, tergantung dari
tempat tinggal tergugat. Pasal 118 HIR memenyangkut
kekuasaan relatif yang dalam bahasa Belanda disebut
“distributie van rechtsmacht” (Retnowulan Sutantio &
Iskandar Uripkartawinata, 2002 : 11).

2. Kompetensi absolut, yaitu kewenangan mengadili perkara


dari suatu pengadilan berdasarkan pada pembagian
wewenang/pembagian tugas (attribution of authority). Untuk
Pengadilan Negeri kewenangannya adalah mengadili
perkara perdata dan pidana pada tingkat pertama
(Abdulkadir Muhammad 2000 : 27). Dengan kata lain
wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian
kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari
macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan
untuk mengadili. Dalam bahasa Belanda disebut “attributie
van rechtsmacht). Misalnya perceraian bagi mereka yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
merupakan wewenang Pengadilan Agama sesuai ketentuan
Pasal 63 ayat (1) a UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
(Retnowulan Sutantio & Iskandar Uripkartawinata, 2002 : 11)

2. Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi berkedudukan di setiap ibu kota provinsi dan
wilayah hukum yang menjadi kompetensi/kewenangannya adalah
seluruh wilayah Pengadilan Negeri yang berada dibawahnya dalam
provinsi tersebut.
Tugas dan wewenang Pengadilan Tinggi adalah
1. sebagai pengadilan banding;
2. menyelesaikan sengketa kompetensi Pengadilan Negeri;

18
3. memberikan bimbingan dan pengawasan.

3. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung merupakan organ yudikatif tertinggi yang daerah
hukumnya meliputi seluruh wilayah negara R.I.
M.A. berkedudukan di ibu kota negara dan M.A. merupakan
pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan badan peradilan.
M A mempunyai kekuasaan/wewenang :
1. memberikan bimbingan dan melakukan pengawasan;
2. memutus dalam tingkat pertama dan terakhir mengenai perkara-
perkara seperti sengketa tentang wewenang mengadili.
3. melakukan peradilan kasasi terhadap semua putusan/penetapan
dalam tingkat peradilan terakhir dari semua lingkungan peradilan.

Peradilan kasasi adalah melakukan pemeriksaan terhadap putusan


hakim bawahannya dalam hal :
- apabila dalam melakukanm peradilan itu lalai memenuhi syarat-
syarat yang diwajibkan oleh UU dengan ancaman batal perbuatan
itu.
- Apabila melampaui wewenangnya;
- Apabila salah menerapkan/melaksanakan atau melanggar
peraturan hukum yang berlaku.

19
BAB II
PENGAJUAN GUGATAN

A. Cara menyusun gugatan


Pengajuan gugatan merupakan salah satu cara untuk menuntut hak
agar dipenuhi oleh pihak lainnya. Tuntutan hak adalah tindakan yang
bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan
untuk mencegah “eigenricting” (Sudikno Mertokusumo, 2002 : 48).
Gugatan pada umumnya diajukan secara tertulis, namun dapat juga
diajukan secara lisan, apabila penggugat tidak dapat membaca atau
menulis. Permohonan gugatan secara tertulis disebut surat gugatan.
Di dalam pengajuan surat gugatan ada 3 unsur yang harus
diperhatikan dalam surat gugatan, yaitu:
1. Keterangan lengkap dari pihak-pihak yang berperkara yaitu tentang
nama, alamat, umur, pekerjaan dan agama (identitas).
2. Dasar gugatan (fundamentum petendi) yang memuat uraian tentang
kejadian-kejadian dan uraian tentang hukum yaitu adanya hak dalam
hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari gugatan itu.

20
3. Apa yang dimohonkan atau dituntut oleh penggugat supaya
diputuskan oleh hakim (petitum). Tuntutan itu dapat diperinci menjadi
dua macam yaitu tuntutan primair yang merupakan tuntutan pokok
dan tuntutan subsidair yang merupakan tuntutan pengganti, apabila
tuntutan pokok ditolak oleh hakim.

Identitas disini adalah keterangan mengenai penggugat dan tergugat.


Mengenai dasar gugatan ada 2 (dua) teori terkait dengan penyusunan
gugatan yaitu substantieringstheorie dan individualiseringtheorie.
Menurut substantieringstheorie, didalam gugatan tidak cukup disebutkan
peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan saja, akan tetapi harus
pula disebutkan kejadian-kejadian yang nyata yang mendahului peristiwa
hukum yang menjadi dasar gugatan itu, itu yang menjadi dasar timbulnya
peristiwa hukum tersebut (Sudikno Mertokusumo, 2002 : 50). . Oleh
karena penggugat masih ada kesempatan untuk membuktikan tentang
asal mula diperolehnya hak itu di persidangan, maka dirasakan kurang
perlunya memuat sejarah diperolehnya hak, sehingga teori ini sekarang
boleh dikatakan telah ditinggalkan.
Teori individualisasi menyatakan bahwa kejadian-kejadian yang
disebutkan dalam gugatan harus cukup menunjukkan adanya hubungan
hukum yang menjadi dasar tuntutan, tanpa disebutkan dasar terjadinya
atau sejarah terjadinya, karena hal itru dapat dikemukakan di dalam
persidangan pengadilan dengan disertai pembuktian (Sudikno
Mertokusumo, 2002 : 51).

Contoh surat gugatan


Kepada Yth
Bapak Ketua Pengadilan Negeri
Kelas I A Jayapura
di
Jayapura.
Dengan hormat,

21
Yang bertanda tangan di bawah ini saya bernama: A, tinggal di Jl.
…………………….Jayapura, untuk selanjutnya disebut sebagai pihak
Penggugat.
Bahwa penggugat melalui sepucuk surat ini mengajukan gugatan kepada sdr.
B, tinggal di Jl. …………………………..Jayapura, untuk selanjutnya disebut
pihak Tergugat.
Adapun duduk perkaranya adalah sebagai berikut:
1. Bahwa penggugat dan tergugat adalah anak kandung suami isteri bapak C
dan ibu D.
2. Bahwa bapak C telah meninggal dunia pada tahun 1990, sedang ibu D
meninggal pada tahun 1992.
3. Bahwa almarhum orang tua penggugat dan tergugat selain meninggalkan
ahli waris yaitu A dan B juga telah meninggal harta warisan berupa:
a. Sebuah rumah gedung yang berdiri di atas tanah seluas 1000 m2
dan terletak di Jalan ………. Jayapura, yang kini ditempati oleh
tergugat dan ditaksir seharga Rp…………
b. Sebidang tanah seluas kurang lebih 2 ha tercantum dengan
sertifikat HM atas nama C, No . ……dengan batas-batas
Sebelah Utara : ………………………
Sebelah Selatan : ………………………
Sebelah Timur : ………………………
Sebelah Barat : ………………………
Terletak di ……………........ Desa …………………..
Distrik ……………………. Kabupaten Jayapura dan
ditaksir seharga Rp. ………………………………………
2. Bahwa harta warisan tersebut di atas tersebut merupakan harta warisan
yang belum dibagi dan hingga sekarang dikuasai sepenuhnya oleh pihak
tergugat tanpa menghiraukan hak-hak penggugat.
3. Bahwa penggugat telah berulang kali mohon kepada tergugat agar harta
warisan tersebut dalam butir 3a dan 3b dipecahkan dan dibagi dua, tapi
ditolak oleh penggugat dengan alasan-alasan yang tidak dapat diterima
oleh penggugat.

22
4. Bahwa oleh karena usaha penggugat kepada tergugat agar harta warisan
dipecahkan dan dibagi dua dengan jalan damai tidak berhasil, maka
penggugat mengajukan gugatan ini.
5. Bahwa gugatan dan tuntutan penggugat ini didasarkan pada bukti-bukti
yang cukup kuat, dan berdasarkan Pasal 180 ayat (1) HIR/Pasal 191 ayat
(1) RBg, keputusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu
meskipun Tergugat mengajukan banding, kasasi atau upaya hukum
lainnya.
6. Bahwa penggugat khawatir tergugat akan menjual atau memindahkan
harta warisan tersebut kepada orang lain dan karenanya penggugat mohon
agar atas barang-barang tersebut di atas dilakukan sita jaminan sebelum
dimuilainya pemeriksaan ini.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas penggugat mohon kepada
Pengadilan Negeri kelas I A Jayapura, agar berkenan memutuskan:

Primair:
1. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya.
2. Menyatakan sita jaminan yang telah diletakan sah dan berharga.
3. Menyatakan penggugat dan tergugat adalah ahli waris dari almarhum
suammi isteri C dan D.
4. Menyatakan harta warisan sebagaimana tersebut dalam surat gugatan
butir 3a dan 3b di atas adalah harta warisan almarhum suammi isteri C
dan D yang belum dibagi.
5. Menghukum tergugat untuk bersama-sama dengan penggugat
mengadakan pemecahan dan pembagian harta warisan tersebut, dan
masing-masing berhak mendapat setengah bagian. Apabila harta
warisan tersebut tidak dapat dibagi secara fisik, maka harta warisan
tersebut dilelang/jual dan hasilnya dibagi dua masing-masing
mendapat setengah bagian.
6. menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun
tergugat mengajukan banding, kasasi atau upaya hukum lainnya.
7. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul
dalam perkara ini.

23
Subsidair:
Memberi keputusan lain yang seadil-adilnya.

Jayapura, ………………..2007
Hormat Penggugat

( A )
B. Proses Pengajuan Gugatan
Suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat, diajukan secara
tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri, di wilayah hukum dimana
tergugat bertempat tinggal.
Surat gugat setelah diterima oleh panitera (panitera perdata)
kemudian diregister dalam buku yang sudah tersedia untuk gugatan dan
diberi nomor urut, serta pembayaran uang muka biaya perkara tersebut.
Setelah diregister, maka oleh Panitera Perdata, surat gugatan ini
dinaikkan kepada Ketua Pengadilan Negeri, untuk selanjutnya dipelajari
dan menetapkan Majelis Hakim dan Panitera Pengganti yang akan
menangani perkara tersebut.
Ketua Majelis Hakim setelah menerima surat gugatan tersebut,
kemudian menentukan hari persidangan pertama dengan memerintahkan
kepada jurusita agar memanggil para pihak yang berperkara yaitu
penggugat dan khusus untuk tergugat, panggilan disertai penyerahan
satu salinan surat gugatan.

C. Tempat Pengajuan Gugatan


Pengaturannya dalam Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg.
Ayat (1) menentukan bahwa “tuntutan-tuntutan perdata yang
pada tingkat pertama masuk wewenang Pengadilan Negeri, hendaklah
dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat, atau
menurut yang ditentukan pada Pasal 123 HIR/147 RBg, oleh wakilnya,
dimasukkan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang dalam daerah

24
hukumnya terletak tempat diam si tergugat, atau kalau tidak ada tempat
diam yang diketahui, tempat ia sebenarnya tinggal”.
Dari ketentuan Pasal 118 HIR/142 RBg ini, dapat disimpulkan
bahwa ada 3 hal yang diatur, yaitu:
1. Cara mengajukan gugatan yaitu tertulis.
2. Tempat mengajukan gugatan.
3. Dapat diwakilkan.
Surat permintaan yang dimaksud dalam Pasal 118 HIR/142 RBg di
atas adalah surat gugat. Dalam hukum acara perdata untuk orang Eropa
gugatan harus diajukan dengan Dagvaarding, yaitu fundamentum petendi
dan petitum.
Siapa-siapakah yang dapat menjadi pihak dalam suatu perkara di
Pengadilan?
1. Pihak materil (prinsipal) yaitu pihak yang berkepentingan (penggugat
asli dan tergugat asli).
2. Pihak formil yaitu pihak yang menhadap.
Pihak yang menghadap dapat terdiri dari:
a. Pihak materil sendiri.
b. Kuasa.
c. Wali/Curator.
Pada prinsipnya setiap orang boleh berperkara di depan
pengadilan dengan pengecualian bagi orang yang belum dewasa harus
diwakili orang tua/walinya sedangkan yang sakit ingatan diwakili
pengampunya.
Dalam Pasal 330 KUH Perdata, dapat disimpulkan bahwa usia
dewasa adalah 21 tahun. Pada usia inilah seorang dianggap mampu
melakukan perbuatan hukum.
Seorang isteri menurut Pasal 1330 KUH Perdata tidak cakap dalam
melakukan perbuatan hukum, namun ketentuan ini sudah dicabut dengan
SEMA No. 3 Tahun 1963, sehingga seorang isteri cakap dalam melakukan
perbuatan hukum termasuk menjadi pihak dalam perkara di Pengadilan.

25
Suatu badan hukum dapat juga menjadi pihak dalam perkara dan
biasanya diwakili oleh direkturnya yang bertindak untuk dan atas nama
badan hukum tersebut. Kewenangan bertindak untuk dan atas nama
badan hukum biasanya sudah disebut dalam akta pendirian badan
hukum tersebut.
Apabila yang digugat itu adalah negara, maka gugatan harus
diajukan terhadap Pemerintah R.I. mewakili negara R.I., dalam hal ini
dianggap bertempat tinggal pada Departemen …………………., misalnya
Departemen Dalam Negeri. Biasanya yang menghadapi di muka
pengadilan untuk mewakili negara adalah Kepala Bagian Hukum dari
Departemen yang bersangkutan dengan membawa surat kuasa khusus
dari Menteri (Ny. Retnowulan Sutantio, SH, dan Iskandar
Oeripkartawinata, SH, 2002: 18). Disamping itu juga pemerintah dapat
juga diwakili oleh seorang pengacara negara.
Dalam Pasal 123 ayat 1 HIR/Pasal 147 RBg, antara lain disebutkan
bahwa “jika dikehendaki, para pihak dapat didampingi atau menunjuk
seorang kuasa sebagai wakilnya, untuk ini harus diberikan surat kuasa
khusus untuk itu, kecuali kalau pemberi kuasa hadir. Penggugat dapat
juga memberi kuasa yang dicantumkan dalam surat gugat atau dalam
gugat lisan secara langsung disampaikan, dan harus dicantumkan dalam
catatan ketua.
Di dalam Pasal 1792 KUH Perdata disebutkan bahwa “pemberian
kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan
kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan”.
Cara memberikan kuasa itu dapat dilakukan dengan akta Notaris,
dengan akta yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri, yang dalam
daerah hukumnya pemberi kuasa itu bertempat tinggal, atau dengan akta
dibawah tangan yang dilegalisir serta didaftar menurut ordonansi Stb. No.
46 Tahun 1916, yaitu ordonansi tentang cara menandatangani surat akta
dibawah tangan (Abdulkadir Muhammad, 2000: 71).
Suatu surat kuasa khusus harus memuat 4 hal yaitu:

26
1. Identitas pemberi dan penerima kuasa, yaitu nama lengkap, pekerjaan,
alamat atau tempat tinggal.
2. Apa yang menjadi pokok sengketa perdata.
3. Pertelaan isi kuasa yang diberikan.
4. Memuat hak substitusi.

Contoh:
SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : ………………………………….
Pekerjaan : ………………………………….
Alamat : …………………………………..
Dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor kuasanya tersebut di bawah ini,
menerangkan dengan ini memberi kuasa kepada: ……………….
………………..dst.
Pengacara dan Penasehat Hukum pada Kantor Pengacara…………….., beralamat
di……………………………………., yang bertindak baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama.
--------------- ---------------------------KHUSUS--------------------------------------------
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa:
- Mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri ……………………………..
mengenai perceraian ……………………… terhadap Tn/Ny
……………………................... pekerjaan …………………………….
bertempat tinggal di ……………………...
- Mengajukan permohonan untuk menjadi wali ………………… atas anak laki-
laki/perempuan yang bernama: 1……….. 2. ………..
- Mengajukan tuntutan uang nafkah dan uang alimentasi setiap bulan untuk
penggugat sejumlah Rp. ………….. dan anak-anak 1. …………… 2.
…………..3 ………………… masing-masing sejumlah Rp.
………………………….
Mengenai hal tersebut di atas, untuk dan atas nama pemberi kuasa menghadap di
muka pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain atau pembesar-
pembesar lainnya, mengajukan permohonan-permohonan yang perlu, menjalankan

27
perbuatan-perbuatan atau memberi keterangan-keterangan yang menurut hukum
harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan
menandatangani kuitansi-kuitansi, menerima dan melakukan pembayaran-
pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, naik
banding, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan perdamaian
dengan persetujuan terlebih dahulu dari pemberi kuasa, dan pada umumnya
membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh pemberi kuasa.
Surat kuasa ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi serta tegas
dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum, seperti dimaksud dalam pasal
1812 KUH Perdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam
Undang-Undang.

Jayapura, …………………
Penerima Kuasa Pemberi Kuasa,
Meterai
………………… ……………………
Contoh :
SURAT KUASA SUBSTITUSI

Yang bertanda tangan di bawah ini:


N a m a : …………………
Pekerjaan : Pengacara pada Kantor Pengacara …………………..
Alamat : ………………….
Bertindak selaku kuasa dari: …………………….. berkedudukan hukum di
……………. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor ………………………
tanggal ………………….. adalah Tergugat ( I, II, III ) dalam perkara perdata
(wanprestasi) yang terdaftar di Pengadilan Negeri tanggal ………………… 2002.
Dengan ini memberi kuasa Substitusi kepada:
N a m a : ……………….
Pekerjaan : ……………….
Alama : ……………….
……………………………………..KHUSUS……...……………………………
Mewakili Pemberi Kuasa untuk menghadiri persidangan di Pengadilan Negeri
………….. dalam perkara perdata antara ……………….. selaku tergugat
melawan ………….. selaku Penggugat yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri …………... Nomor …./Pdt. G/2002/PN ……. Tanggal mengenai
wanprestasi.

28
Jayapura, ………………
Penerima Kuasa Substitusi Pemberi Kuasa Substitusi

Meterai
………………………….. ……………………………

Dalam hal seseorang menjadi Tergugat di Pengadilan Negeri, maka setelah


bagian identitas pemberi kuasa dan penerima kuasa dilanjutkan dengan
kekhususannya, misalnya:
………………………………..……….KHUSUS..……….…..……………………
Untuk dan atas nama pemberi kuasa:
- memberi jawaban dan tindakan hukum lainnya atas gugatan dari
………….yang terdaftar di Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura No. …./Pdt.
G/2002/PAN. Jpr., tanggal ……………..mengenai …………….
- Mengajukan gugatan balasan terhadap ……….. alamat ……… serta
mengajukan tuntutan ganti rugi, bunga dan uang paksa.
- Melakukan sita jaminan atas barang milik saudara (Penggugat) yang terletak
di ……………….
.
Kewenangan Relatif
Hukum acara perdata mengenal 2 macam kewenangan, yaitu
kewenangan mutlak dan kewenangan relatif sebagaimana dikemukakan
di atas.
Wewenang relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antar
pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat. Pasal
118 HIR menyangkut kekuasaan relatif (distributie van rechtsmacht).
Asasnya adalah “yang berwenang adalah pengadilan negeri tempat
tinggal tergugat”. Asas ini dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan:
“Actor Sequitur Forum Rei” (Ny. Retnowulan Sutantio, S.H. dan Iskandar
Oeripkartawinata, S.H. , 2002:11).
Terhadap asas ini ada beberapa pengecualian, misalnya yang
terdapat dalam Pasal 118 HIR itu sendiri yaitu:

29
1. gugatan diajukan pada pengadilan negeri tempat kediaman Tergugat,
apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui;
2. apabila tergugat terdiri dari 2 orang atau lebih, gugatan diajukan pada
tempat tinggal salah seorang dari para tergugat, terserah pilihan dari
penggugat.
3. apabila tergugat ada 2, misalnya yang seorang adalah yang berhutang
dan yang lain adalah penjaminnya, maka gugat harus diajukan pada
pengadilan negeri tempat tinggal yang berhutang;
4. apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak diketahui,
gugat diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat tinggal
penggugat atau salah seorang dari penggugat.
5. apabila gugatan adalah mengenai barang tetap, dapat diajukan kepada
ketua pengadilan negeri dimana barang tersebut terletak;
6. apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, gugatan
diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat yang dipilih dalam
akta tersebut.
Disamping pengecualian yang disebut dalam Pasal 118 HIR/142 RBg,
didalam beberapa sumber hukum acara perdata juga mengatur
pengecualian tersebut (Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata, 2002: 13-14) antara lain:
1. apabila dalam hal tergugat tidak cakap untuk menghadap dimuka
pengadilan, gugat diajukan kepada ketua pengadian negeri tempat
tinggal orang tuanya, walinya atau pengampunya (Pasal 21 B. W.).
2. yang menyangkut pegawai negeri, yang berwenang untuk
mengadilinya adalah pengadilan negeri di daerah mana ia bekerja
(Pasal 20 B.W.).
3. buruh yang menginap di tempat majikannya, yang berwenang untuk
mengadilinya adalah pengadilan negeri tempat tinggal majikan (Pasal
22 B.W.)
4. tentang hal kepahilitan yang berwenang untuk mengadilinya adalah
pengadilan negeri yang menyatakan tergugat pailit (Pasal 99 ayat 15
RV).

30
5. tentang penjaminan (Vrijwaring), yang berwenang untuk
mengadilinya adalah pengadilan negeri yang pertama di mana
pemeriksaan dilakukan (Pasal 99 ayat 14 RV).
6. yang menyangkut permohonan pembatalan perkawinan, diajukan
kepada pengadilan negeri dalam daerah hukum dimana perkawinan
dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau
isteri (Pasal 25 juncties Pasal 63 (1) b. UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 38 (1)
dan (2) Peraturan Pemerintah (P.P.) No. 9 Tahun 1975).
7. gugatan perceraian dapat diajukan kepada pengadilan negeri di
tempat kediaman penggugat. Dalam hasil tergugat bertempat tinggal
di luar negeri, gugatan diadakan di tempat kediaman penggugat dan
ketua pengadilan negeri menyampaikan permohonan tersebut kepada
tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat (Pasal 40 jis
Pasal; 63 (1) b. UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 20 (2) dan (3) PP No. 9
Tahun 1975.

D. Gugatan Lisan
Menurut ketentuan Pasal 118 HIR, gugatan harus diajukan tertulis
atau dengan surat gugatan. Oleh karena itu bagi mereka yang tidak dapat
membaca dan menulis, dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatnya
secara lisan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk
mengadili gugatan tersebut dan mohon agar dibuatkan surat gugat
berdasrkan ketentuan Pasal 120 HIR.
Dalam praktek, ketua pengadilan negeri akan mengambil panitera
untuk mencatat omongan si penggugat, yang kemudian dibuat dalam
surat gugatan.

E. Sita
1. Sita jaminan
Sita jaminan (conservatoir beslag) diatur dalam Pasal 227 HIR/Pasal
261 RBg. Ini biasanya dimohonkan oleh penggugat dalam gugatannya,
agar dilakukan oleh pengadilan untuk mengamankan barang yang sedang

31
disengketakan supaya tidak dirusak, dihilangkan, dipindahtangankan
sebelum perkara itu berakhir atau untuk menjamin dibayarnya hutang
tergugat.
Apabila sita itu menjamin dibayarnya suatu hutang, maka barang
tersebut akan dilelang untuk mengembalikan hutang tersebut apabila
penggugat dimenangkan. Untuk itu perlu adanya tindak lanjut yaitu
adanya pelaksanaan putusan dari pengadilan setelah adanya permohonan
dari pihak yang dimenangkan apabila pihak yang kalah tidak secara
sukarela melaksanakan putusan tersebut.
2. Sita revindikatoir
Sita ini diatur dalam Pasal 226 HIR, dengan maksud untuk menyita
barang tertentu milik Penggugat yang berada dalam tangan/kekuasaan
Tergugat agar dapat dikembalikan kepada Penggugat.
3. Sita Marital
Diatur dalam Pasal 823a BRv, dimana sita ini biasanya dimohonkan oleh
isteri terhadap barang-barang milik suami sebagai jaminan untuk
memperoleh bagian yang menjadi haknya, karena gugatan cerai yang
diajukannya.

F. Tuntutan Provisionil
Dalam surat gugatan pada bagian petitum kalau ada hal yang
mendesak maka akan dimohonkan kepada hakim, supaya diputus atas
tuntutan provisionil. Tuntutan ini biasanya ada di bagian atas dari
petitum sebelum tuntutan lain.
Tuntutan provisionil adalah tuntutan yang diajukan oleh
penggugat untuk mengatur sesuatu yang mendesak dan perlu seketika
diatasi, karena sifatnya tidak dapat menunggu sampai keputusan
terakhir.
Apabila beralasan dan dapat diterima oleh hakim, maka hakim
memberikan putusan provisionil yang dapat dilaksanakan sebelum
adanya putusan akhir. Contohnya adalah perkara merek dan penghentian
penggusuran.

32
G. Perubahan Surat Gugatan
Menurut sistem Rv., penggugat boleh merubah surat gugat setelah
dimasukan ke pengadilan. Namun disyaratkan Pasal 125 BRv. Bahwa
perubahan tuntutan diperbolehkan asal bersifat mengurangi atau tidak
menambah. Dengan demikian tergugat tidak dirugikan atau setidak-
tidaknya tergugat tidak diberati.
Menurut Star Busman, perubahan surat gugat itu dilarang apabila
berdasarkan pada keadaan hukum yang sama dikemukakan permohonan
pelaksanaan suatu hak yang lain atau apabila penggugat mengemukakan
keadaan hukum baru dan dengan demikian mohon keputusan hakim
tentang suatu hubungan hukum yang lain dari yang dikemukakan
semula.
HIR dan RBg. tidak mengatur mengenai masalah ini, tapi bukan
berarti suatu gugatan tidak dapat dirubah, karena menurut sistim
HIR/RBg., hakim adalah aktif karena itu ia dapat mengizinkan perubahan
surat gugat. Hal ini dapat diketahui dari adanya pertanyaan dari hakim
kepada penggugat misalnya dengan kata-kata: apakah terhadap gugatan
ini ada perubahan atau penambahan?. Pertanyaan ini biasanya
dikemukakan setelah usaha damai gagal dan dilanjutkan dengan
pembacaan gugatan.

H. Percabulan Surat Gugatan


Percabulan surat gugatan ini juga tidak diatur dalam HIR/RBg.,
namun karena dalam sistim HIR/RBg. hakim aktif, maka dapat
disarankan kepada para pihak yang berperkara agar berdamai di luar
pengadilan. Dengan demikian penggugat boleh mencabut gugatannya,
bila ada kesepakatan damai.
Hal ini berdasar asas bahwa inisyatif berperkara datang dari
penggugat dan hakim berkewajiban mendamaikan kedua belah pihak
yang berperkara.

33
I. Penggabungan Gugatan
Di dalam praktek dapat saja terjadi adanya beberapa gugatan
digabungkan menjadi satu. Terjadinya penggabungan ini karena adanya
koneksitas antara satu dengan lain. Untuk mengetahui apakah ada
koneksitas atau tidak, dapat dilihat dari sudut kenyataan atau fakta.
Apabila ada koneksitas, penggabungan itu akan mempermudah jalannya
acara, dapat menghindarkan kemungkinan putusan yang saling
bertentangan dan dapat menghemat biaya dan tenaga serta waktu.
Penggabungan gugatan itu ada dua macam sifatnya, yaitu
penggabungan yang disebut “perbarengan” (concursus, samenloop,
coincidence) dan penggabungan yang disebut “pengumpulan” (cumulatie,
cumulation). Perbarengan dapat terjadi apabila seseorang mempunyai
beberapa tuntutan yang menuju kepada satu akibat hukum saja. Jika satu
tuntutan dipenuhi, tuntutan lainnya ikut pula terpennuhi (Abdulkadir
Muhamad, 2000:67).
Dalam kumulasi misalnya seseorang ingin mengugat orang lain
untuk 2 hal, misalnya hutang dan barang yang dipinjam, maka gugatan-
gugatan ini dapat dijadikan satu dengan syarat bahwa gugatan ini hanya
terhadap orang yang berhutang dan meminjam barang tadi.

34
BAB III
ACARA ISTIMEWA

A. Gugatan Gugur
Pada hari sidang pertama para pihak baik penggugat maupun
tergugat harus hadir setelah menerima relas panggilan dari jurusita
Pengadilan Negeri. Namun kemungkinan terjadi bahwa pada hari sidang
pertama yang tidak hadir adalah penggugat atau wakilnya, padahal
sudah dipanggil secara patut, maka gugatannya dinyatakan gugur dan ia
dihukum untuk membayar biaya perkara. Walau demikian Penggugat
mempunyai hak untuk mengajukan gugatannya sekali lagi, setelah
membayar lebih dahulu biaya perkara tersebut (Pasal 124 HIR/ Pasal 148
RBg.). Ketua Majelis masih dapat mempertimbangkan agar penggugat
yang tidak hadir itu dipanggil sekali lagi untuk hadir pada hari
persidangan yang ditentukan berikutnya dan bagi pihak tergugat yang
sudah hadir, pemberitahuan hari sidang berikutnya itu merupakan
panggilan (Pasal 126 HIR/ Pasal 150 RBg.). Apabila setelah dipanggil
sekali lagi si penggugat atau wakilnya ternyata belum juga hadir di
persidangan, maka gugatannya dinyatakan gugur dan ia (penggugat)
dihukum untuk membayar biaya perkara.

B. Putusan Verstek
Terjemahan istilah verstek bermacam-macam seperti dikemukakan oleh
M. Yahya Harahap (2005 : 381) dalam penulisan ada yang menggunakan
istilah hukum acara tanpa hadir. Sedangkan Soepomo menyebut “acara

35
luar hadir” (verstek). Di lain pihak, Subekti tetap mempergunakan istilah
aslinya, tetapi tulisannya “perstek” bukan verstek. Istilah acara luar hadir
dijumpai juga dalam kamus Hukum sebagai terjemahan dari verstek
procedure, dan verstekvonnis diberi istilah putusan tanpa hadir atau
putusan di luar hadir tergugat atau penggugat. Sistim Common Law
memberi istilah “default procedure” yang sama maksudnya dengan verstek
procedure, yaitu acara luar hadir, dan untuk verstekvonnis (putusan tanpa
hadir) disebut default judgement.
Kemungkinan terjadi bahwa pada hari persidangan pertama yang
tidak hadir adalah tergugat atau wakilnya, padahal sudah dipanggil
dengan patut, maka gugatannya dapat dikabulkan tanpa hadirnya
tergugat (verstek, devault), kecuali jika gugatan itu melawan hukum atau
tidak beralasan.
Walaupun demikian berdasar Pasal 126 HIR/ Pasal 150 RBg., maka
sidang dapat diundur sekali lagi utnuk memanggil si tergugat, dan bagi
penggugat yang hadir pemberitahuan ini merupakan
panggilan/pemberitahuan resmi.
Sehubungan dengan putusan verstek yang diambil oleh majelis
hakim, maka perlu diperhatikan apakah gugatan itu melawan hukum
atau tidak, beralasan hukum atau tidak. Jika gugatan itu melawan hukum
(onrechtmatige, unlawful), kendatipun tergugat tidak hadir pada sidang
pertama, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard, unreceible declared). Jika gugatan itu tidak beralasan, kendatipun
tergugat tidak hadir pada sidang pertama itu, gugatan harus dinyatakan
ditolak (ontzegd, dismissed) (Abdulkadir Muhamad, SH., 2000: 87).
Gugatan melawan hukum artinya gugatan itu bertentangan dengan
hukum atau tidak berdasarkan hukum yaitu apabila peristiwa-peristiwa
menjadi dasar hukum atau dasar gugatan tidak membenarkan tuntutan
(petitum). Misalnya A menggugat B agar membayas utangnya karena
kalah dalam suatu perjudian. Gugatan A terhadap B ini bertentangan
dengan hukum, karena peristiwa yang menjadi dasar gugatannya yaitu
perjudian tidak membenarkan tuntutannya (Pasal 1788 BW), karenanya

36
gugatan A tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dikatakan
bertentangan dengan hukum apabila kedudukan penggugat tidak
membenarkan mengajukan gugatan, artinya ada perbuatan yang tidak
diperbolehkan atau bertentangan dengan hukum. Misalnya, seorang anak
dibawah umur mengajukan gugatan supaya dikabulkan tuntutannya,
karena menurut hukum seorang anak dibawah umur dalam melakukan
perbuatan hukum harus diwakili orang tua/walinya. Oleh karena itu
gugatan semacam ini harus dinyatakan tidak dapat diterima (Moh. Taufik
Makarao, 2004 : 57).
Gugatan tidak beralasan artinya dasar gugatan yang berupa
kejadian materil (fundamentum petendi, posita) tidak ada hubungan dengan
tuntutannya (petitum). Gugatan semacam ini harus ditolak, karena tidak
ada hubungan antara fundamentum petendi dengan petitumnya, dengan
alasan gugatan tidak sesuai dengan apa yang dituntut (tuntutan tidak
beralasan).
Kesimpulannya bahwa dalam putusan verstek tidak selalu
mengalahkan tergugat, mungkin juga penggugat yang dikalahkan.
Putusan tidak dapat diterima maksudnya bahwa perkara (gugatan)
belum diperiksa sama sekali, sehingga masih dapat diajukan lagi ke
Pengadilan, sedangkan putusan ditolak maksudnya bahwa pada dasarnya
pokok perkara sudah diperiksa, sehingga bila sudah diputus ditolak maka
tidak dapat diajukan lagi untuk kedua kalinya. Bila diajukan lagi berarti
ne bis in idem.
Apabilah tergugat tidak hadir pada persidangan pertama, tetapi
secara tertulis mengajukan jawaban yang berisi tangkisan/eksepsi bahwa
pengadilan negeri yang bersangkutan tidak berwenang memeriksa
perkara tersebut, maka majelis hakim harus memutus lebih dahulu
apakah tangkisan itu dapat diterima atau tidak. Untuk itu majelis
mendengar penggugat terlebih dahulu, setelah itu baru dapat mengambil
kesimpulan tentang wenang atau tidak Pengadilan memeriksa perkara
tersebut.

37
Jika pengadilan negari tidak!wenang memeriksa perkara itu,
(artinya eksepsi tergugat diterima) maka gugatan penggugat dinyatakan
tidak dapat diterima. Jika pengadilan negeri berwenang memeriksa
perkara (artinya eksepsi tergugat ditolak), maka gugatan penggugat
dikabulkan tanpa hadirnya tergugat (verstek), kecuali gugatan melawan
hukum atau tidak beralasan.
Jika tergugat pada sidang pertama hadir, kemudian pada sidang
berikutnya tidak hadir, maka pemeriksaan perkara ini dilakukan seperti
biasa tanpa dihadiri tergugat. Keputusan yang dijatuhkan bukan
keputusan verstek.
Putusan verstek ini harus diberitahukan kepada tergugat dan
kepadanya diterangkan bahwa ia berhak untuk mengajukan perlawanan
terhadap putusan verstek tersebut kepada pengadilan negeri yang sama,
dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam Pasal 129
HIR.

C. Verzet
Dalam Pasal 129 ayat 1 HIR disebutkan bahwa “tergugat yang
diputus dengan verstek, dan tidak menerima putusan itu, dapat
mengajukan perlawanan (verzet) atas keputusan itu”.
Dalam ayat 2 diatur mengenai tenggang waktu mengajukan verzet
terhadap putusan verstek, sebagai berikut:
- 14 hari, apabila diterima sendiri pemberitahuan putusannya oleh
tergugat;
- 8 hari, jika keputusan itu tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri,
setelah ada teguran dari hakim;
- 8 hari, setelah hakim perintahkan sita eksekutorial, apabila ia tidak
datang untuk ditegur.

Perhatikan contohnya masing-masing:


Contoh No. 1:
1-2-07 1-3-07 14 hari 15-2-07

38
--- | --------------------------------- | -- / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / -- | --
1 2 3
Putusan pemberitahuan Batas akhir
verstek jumpa sendiri Verzet

Contoh No. 2:
1-3-07 1-4-07 25-4-07 1-5-07 9-5-07
-- | ------------ | -------------- | -------------- | -/ / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / /- | --
1 2 3 4 8 hari 5

Keterangan:
1. Putusan verstek dijatuhkan;
2. Pemberitahuan putusan kepada Tergugat, tidak jumpa sendiri;
3. Ketua Pengadilan memanggil Tergugat untuk ditegur;
4. Tergugat datang, dan ditegur (Pasal 196 HIR);
5. Hari terakhir mengajukan verzet.

Contoh No. 3:
1-3-07 1-4-07 25-4-07 1-5-07 9-5-07 1-6-07 9-6-07
-- | ---------- | ------------ | ------------- | ------------ | ------------ | --/ / / / / // / / / / /- | --
1 2 3 4 5 6 8 hari 7
Keterangan:
1. Putusan verstek dijatuhkan;
2. Pemberitahuan putusan kepada Tergugat, tidak jumpa sendiri;
3. Ketua memanggil Tergugat untuk ditegur;
4. Waktu akan ditegur tidak datang;
5. Perintah sita eksekutorial,
6. Tergugat datang, dan ditegur (Pasal 196 HIR);
7. Hari terakhir untuk mengajukan verzet.

Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan verstek


adalah perlawanan atau verzet (M. Yahya Harahap, 2005 : 410).

39
Pemeriksaan dilakukan seperti pemeriksaan gugatan biasa, hanya
saja yang mengajukan verzet disebut pelawan (opposant) sedangkan pihak
yang dilawan disebut terlawan (geopposeerde).
Dalam acara perlawanan, pelawan tetap sebagai tergugat dan
terlawan tetap sebagai penggugat. Bila diterima, maka pelawan
dinyatakan sebagai pelawan yang baik dalam diktum putusan, meskipun
dalam pokok perkara dikalahkan.
Jika pelawan setelah mengajukan perlawanan kemudian tidak
hadir lagi, maka dijatuhkan hukuman verstek untuk kedua kalinya.
Dalam keadaan demikian, pelawan dinyatakan sebagai pelawan yang
tidak baik dalam dictum putusannya.

40
]

BAB IV
UPAYA DAMAI DAN JAWAB MENJAWAB

A. Upaya Damai
Di hari pertama persidangan apabila para pihak hadir bersama,
maka majelis hakim wajib memberik kesempatan kepada para pihak
untuk mengupayakan damai. Apabila upaya ini berhasil, maka perkara ini
tidak akan diperiksa lebih lanjut oleh hakim tetapi diakhiri sampai di situ
saja.
Tawaran damai ini dapat dilakukan sepanjang pemeriksaan
perkara, hingga sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Dasar hukumnya adalah: - Pasal 16 (2) UU No. 4 Tahun 2004;
- Pasal 130 HIR/ Pas.al 154 RBg.
Dalam Pasal 130 ayat 1 HIR/154 ayat 1 RBg disebutkan bahwa
apabila pada hari persidangan yang telah ditentukan, kedua belah pihak
hadir, ketua berusaha untuk mendamaikan mereka.
Dapat tidaknya perdamaian itu tercapai, tergantung pada
kebijaksanaan hakim dalam usaha itu dan kesadaran serta kemauan dari
para pihak yang berperkara.
Ratio usaha damai itu adalah:
- untuk mencegah timbulnya suasana permusuhan dikemudian hari
antara pihak-pihak yang berperkara, karena putusan hakim ada yang
kalah dan ada yang menang, apalagi antara mereka itu masih dalam
satu lingkungan keluarga;
- untuk menghindari biaya yang mahal;
- untuk menghindari proses perkara yang berlarut-larut dalam waktu
yang sama.

41
Jika usaha damai tercapai, maka acara pemeriksaan berakhir dan
hakim membuatkan akta perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara
dan hakim perintahkan agar para pihak mematuhi isi perdamaian
tersebut.
Dalam Pasal 130 ayat 2 HIR Pasal 154 ayat 2 RBg. Disebutkan
bahwa akta perdamaian mempunyai kekuatan berlaku dan dijalankan
sama dengan keputusan hakim.
Terhadap keputusan perdamaian itu tidak dapat dimintakan
banding (Pasal 130 ayat 3 HIR/ Pasal 154 ayat 3 RBg), karena perdamaian
ini merupakan kesepakatan para puhak.
Usaha damai dengan menggunakan Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg ini
kurang memadai untuk menyelesaikan bertumpuknya perkara, oleh
karena itu MA mengeluarkan SEMA No. 1 Tahun 2002 yang dikeluarkan
pada tanggal 30 Januari 2002 dengan judul Pemberdayaan Pengadilan
Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR). Pada
tanggal 11 September 2003 MA mengeluarkan PERMA No. 2 Tahun 2003.
dengan judul Prosedur Mediasi di Pengadilan.

B. Jawaban Tergugat
Dalam pemeriksaan perkara perdata, proses jawab menjawab
antara kedua belah pihak merupakan hal yang amat penting. Namun
demikian apa yang dikemukakan oleh Tergugat merupakan hal yang
penting, karena ia merupakan sasaran dari Penggugat. Jawaban itu dapat
diberikan secara tertulis maupun secara lisan. Pada umunya jawaban
Tergugat diberikan secara tertulis, agar datanya tidak hilang.
Jawaban secara tertulis hendaklah disusun dengan baik, supaya
dapat membantu serangan Tergugat dengan berhasil dan bila perlu
tergugat dapat membalikkan jawabannya dengan gugat balik. Dalam
perkara perdata kalah atau menangnya pihak yang digugat tergantung
juga pada kelihaian membela diri, bagaimana cara menjawab gugatan
dengan baik.
Jawaban tergugat dapat berupa: - pengakuan;

42
- bantahan;
- tangkisan/eksepsi;
- referte.
Pengakuan ialah jawaban yang membenarkan isi gugatan artinya
apa yang digugatkan terhadap Tergugat diakui kebenarannya.
Yang mendekati kebenaran ialah referte. Disini tergugat tidak
membantah, tetapi tidak pula membenarkan isi gugatan Penggugat, tetapi
Tergugat menyerahkan segala sesuatunya itu kepada kebijaksanaan
hakim. Jadi Tergugat hanya menunggu putusan saja.
Bantahan ialah pernyataan yang tidak membenarkan atau tidak
mengakui apa yang digugatkan terhadap Tergugat, jika tergugat
mengajukan bantahan, maka bantahan-bantahan ini harus disertai dengan
alasan-alasannya. Kalau tidak ada alasan-alasannya, maka tidak akan ada
artinya, karena dianggap hakim sebagai tidak membantah.
Dalam prakteknya menyusun jawaban berupa bantahan itu
memerlukan uraian tentang kejadian-kejadian secara terperinci sebelum
ditutup dengan kesimpulan dan mohon ditolaknya gugatan.
Bila tergugat mengajukan eksepsi (tangkisan), maka menurut Pasal
136 HIR/ Pasal 162 RBg., kecuali tangkisan tentang tidak wenangnya
pengadilan, tangkisan itu tidak boleh diajukan dan dipertimbangkan
terpisah, melainkan harus diperiksa dan diputuskan bersama-sama
dengan pokok perkara.
Di dalam HHR/ RBg. Tidak diatur mengenai pengertian eksepsi.
Namun dapat disimpulkan bahwa eksepsi adalah jawaban yang tidak
langsung mengenai pokok perkara, tetapi kalau berhasil maka akan
menyudahi perkara.
Menurut Wirjono Projodikoro (1974: 72) bahwa perkataan eksepsi
dalam pasal 136 HIR/ 162 RBg. itu sebagai perlawanan tergugat yang
tidak mengenai pokok perkara, melainkan hanya mengenai soal acara
belaka.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa ketentuan pasal tersebut
sebaiknya diartikan sebagai anjuran saja kepada tergugat, supaya

43
seberapa boleh mengumpulkan segala sesuatu yang ingin diajukan dalam
jawaban pada waktu ia mengajukan jawaban pada permulaan
pemeriksaan perkara.
Menurut ilmu pengetahuan hukum acara perdata, tangkisan atau
eksepsi dibedakan menjadi 3 macam yaitu:
1. Eksepsi tolak (declinatoir exeptie);
2. Ekepsi tunda (dilatoir exeptie);
3. Eksepsi halang (peremptoir exeptie).
Eksepsi tolak adalah eksepsi yang bersifat menolak supaya
pemeriksaan perkara jangan diteruskan.
Termasuk dalam jenis eksepsi ini adalah:
- Eksepsi tidak berwenang memeriksa gugatan;
- Eksepsi perkara telah pernah diputus (ne bis in idem);
- Eksepsi penggugat tidak berhak mengajukan gugatan.
Eksepsi tolak disebut juga eksepsi prosesuil, karena didasarkan pada
ketentuan hukum acara perdata.
Eksepsi tunda adalah eksepsi yang bersifat menunda
diteruskannya perkara.
Termasuk jenis eksepsi ini adalah:
Eksepsi karena ada penundaan pembayaran dari Penggugat, sehingga
tuntutan Penggugat belum dapat dikabulkan.
Eksepsi halang adalah eksepsi yang bersifat menghalangi
dikabulkannya gugatan Penggugat, tetapi telah mendekati pokok perkara.
Termasuk jenis eksepsi ini adalah:
- eksepsi tentang lampau waktu (daluwarsa);
- Eksepsi tentang penghapusan hutang.
Eksepsi tunda dan eksepsi halang ini disebut juga eksepsi materil, karena
didasarkan pada ketentuan hukum materil yaitu hukum perdata.
Eksepsi yang diatur dalam HIR dan RBG., hanya eksepsi tolak yang
bersifat prosesuil yaitu tentang tidak wenangnya hakim memeriksa
perkara (baik relatif maupun absolut).

44
Eksepsi ini diatur dalam Pasal 125 (2), 133, 134, 136 HIR dan Pasal 129 (2),
159, 160, 162 RBg.

C. Rekonvensi (Gugat Balik)


Rekonvensi (gugat balik) diatur dalam Pasal 132 a HIR dan Pasal
132 b HIR, dan dalam RBg. Diatur dalam Pasal 157 dan Pasal 158.
Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat,
berhubung penggugat juga melakukan wamprestasi terhadap tergugat
(Abdulkadir Muhammad, 2000:103).
Rekonvensi ini hanya bersifat identil saja, karena setiap gugatan yang
diajukan penggugat dibatasi dengan rekonvensi oleh tergugat. Tergugat
baru dapat melakukan rekonvensi apabila secara kebetulan penggugat
juga pernah melakukan wanprestasi terhadap tergugat.
Tujuan rekonvensi ini adalah untuk mentralisir atau mengimbangi
gugatan penggugat.
Rekonvensi yang diajukan tergugat itu sebenarnya adalah jawaban
tergugat terhadap gugatan penggugat atas perkara yang sedang diperiksa
oleh pengadilan. Oleh karena itu rekonvensi diajukan bersama-sama
dengan jawaban tergugat baik secara tertulis maupun secara lisan.
Menurut Wirjono Projodikoro, rekonvensi boleh diajukan tidak hanya
pada jawaban pertama melainkan juga pada jawaban-jawaban (duplik),
karena Pasal 132 a HIR/ Pasal 158 RBg. Hanya menyebutkan jawaban
saja, sedangkan duplik adalah sebagian dari jawaban itu. Jika soal jawab
itu sudah selesai dan hakim sudah mulai memeriksa saksi-saksi, tergugat
baru tidak diperbolehkan lagi mengajukan rekonvensi (Wirjono
Projodikoro, 1962: 64).
Apabila dalam persidangan Pengadilan Negeri tergugat tidak
mengajukan rekonvensi, maka dalam pemeriksaan tingkat banding,
rekonvensi tidak boleh diajukan lagi.
Menurut ketentuan Pasal 132 HIR/ Pasal 158 RBg., terhadap setiap
gugatan tergugat dapat mengajukan rekonvensi kecuali dalam (3) hal,
yaitu:

45
1. Rekonvensi tidak boleh diajukan, apabila penggugat bertindak dalam
suatu kwalitas sedangkan rekonvensi ditujukan kepada diri penggugat
pribadi dan sebaliknya.
Contoh: A dalam kwlitas sebagai direktur PT. X mengajukan gugatan
terhadap B pribadi, tapi kemudian dijawab dengan mengajukan
rekonvensi terhadap A pribadi.
2. Rekonvensi tidak boleh diajukan apabila Pengadilan Negeri yang
memeriksa gugatan tidak berwenang memeriksa gugatan rekonvensi.
Contoh: A mantan suami beragama Islam, mengajukan gugatan
terhadap B mantan isterinya yang juga beragama Islam mengenai
sebidang tanah warisan miliknya yang dikuasai B. Kemudian dijawab
oleh B dengan mengajukan jawaban dan rekonvensi kepada penggugat
soal nafkah dan harta bersama yang belum dipenuhinya. Masalah
nafkah dan harta bersama di sini merupakan wewenang dari
Pengadilan Agama.
3. Rekonvensi tidak boleh diajukan apabila mengenai perkara tentang
pelaksanaan putusan hakim.
Contoh: Hakim memerintahkan tergugat yang dinyatakan kalah
supaya melaksanakan putusan yaitu membayar utangnya yang
dijamin dengan sertifikat Hak atas tanah olehnya. Kemudian Tergugat
mengajukan rekonvensi supaya penggugat membayar hutangnya atas
penggunaan rumah milik Tergugat yang pernah disewa namun belum
dibayar lunas.
Gugatan konvensi dan rekonvensi diselesaikan dan diputus sekaligus
dalam satu surat putusan.

B. Intervensi
Dalam suatu perkara yang sedang diperiksa kadang-kadang terjadi
bahwa pihak ketiga melakukan intervensi terhadap perkara yang sedang
diperiksa di Pengadilan dan memang sangat dibutuhkan. Namun

46
demikian HIR dan R,Bg. Tidak mengatur tentang intervensi. Intervensi ini
hanya diatur dalam Pasal 279-282 BRv. Yang sekarang sudah tidak
berlaku lagi. Namun demikian karena hakim mempunyai peranan aktif,
menurut sistim HIR dan R.Bg. tidak ada alasan membolehkan pihak
ketiga melakukan intervensi terhadap perkara yang sedang diperiksa di
pengadilan, apabila praktek membutuhkannya.
Menurut ketentuan Pasal 279 BRv. Barang siapa yang mempunyai
kepentingan dalam suatu perkara yang sedang diperiksa di pengadilan,
dapat ikut serta dalam perkara tersebut dengan jalan menyertai (voeging)
atau menengahi (tussenkomst).
Dari ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa intervensi itu
adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang
berlangsung, apabila ia mempunyai kepentingan (belang, interest). Jadi
syaratnya harus ada kepentingan. Caranya ialah dengan jalan menyertai
salah satu pihak (voeging, join) menengahi melawan kedua belah pihak
(tussenkomst).
Ikut sertanya pihak ketiga itu karena kepentingannya terganggu,
sebab jika ia tidak ikut serta dalam perkara itu kepentingannya akan
dirugikan. Jadi inisyatif ikut serta dalam perkara, harus datang dari pihak
ketiga itu.
a. Menyertai salah satu pihak (voeging)
Menyertai salah satu pihak adalah ikut sertanya pihak ketiga
menjadi pihak dalam perkara dengan jalan menggabungkan diri
dengan salah satu pihak untuk membela kepentingannya. Dengan
adanya perkara, kepentingan pihak ketiga itu secara tidak langsung
ikut disengketakan, sehingga akan menimbulkan kerugian baginya.
Contoh: A memiliki kebun rambutan , yang diserahkan kepada B
untuk dikelolah dengan perjanjian hasilnya akan dibagi dua, karena A
mendapat tugas belajar dari instansinya ke Jakarta. Kebun rambutan
ini kemudian digusur oleh PT. X untuk kepentingan perkebunan
semangka. B kemudia mengugat PT X ke Pengadilan. Kabar ini sampai
kepada A yang kemudian kembali dan mengajukan permohonan

47
kepada pengadilan agar dapat ikut serta dengan alasan membela hak
miliknyajuga ikut bergabung dengan B melawan PT X.
b. Menengahi melawan kedua pihak (tussenkomst)
Menengahi melawan kedua pihak ialah ikut sertanya pihak
ketiga dalam perkara guna membela kepentingannya sendiri karena
apa yang disengketakan oleh kedua belah pihak (penggugat dan
tergugat) itu merupakan hak dari pihak ketiga tersebut dan bukan hak
penggugat ataupun tergugat. Oleh karena itu ia ikut serta dalam
perkara melawan kedua belah pihak.
Contohnya: A memiliki sertifikat hak tanah yang diminta kepada B
agar tolong disimpannya. Oleh B sertifikat ini kemudian dijadikan
jaminan untuk meminjam uang dari C. karena sampai batas waktunya
ternyata B tidak dapat membayar kembali pinjamannya, maka C
menggugat di Pengadilan dengan memohon sita jaminan . A
mengetahui hal ini, maka ia mengajukan permohonan kepada
Pengadilan untuk ikut serta dalam perkara yang sedang diperiksa
guna membela haknya dan ia melawan kedua belah pihak.
c. Penanggunga (Vrijwaring)
Penanggungan (vrijwaring) tidak termasuk intervensi, karena
inisyatif ikut serta dalam perkara itu bukanlah datangnya dari pihak
ketiga, melainkan justru datang dari salah satu pihak yang berperkara.
Turut sertanya pihak ketiga dalam perkara karena terpaksa atas
permintaan salah satu pihak. Biasanya tergugat karena untuk ikut
menanggung atau membebaskan tergugat dari gugatan, yang menurut
hukum penanggungan itu adalah kewajiban pihak ketiga tersebut.
Jadi yang dimaksud dengan penanggungan adalah ikut
sertanya pihak ketiga dalam perkara, karena diminta oleh salah satu
pihak yang berperkara sebagai penanggung atau pembebas menurut
hukum.
d. Exeptio plurium litis consortium
Exeptio plurium litis consortium adalah tangkisan berdasarkan
tergugat tidak semuanya dipanggil kemuka pengadilan.

48
Bentuk ini berlainan dengan intervensi dan penanggungan.
Disini justru pihak yang berperkara ada yang tidak lengkap, sehingga
pihak lawan mengajukan eksepsi bahwa pihak yang digugat tidak
lengkap. Oleh karena tidak lengkap itu lalu diminta supaya pihak
ketiga yang diluar perkara ditarik untuk bergabung kepada pihak
yang tidak lengkap itu. Gugatan semacam ini biasanya terjadi dalam
soal warisan.

BAB V
PEMBUKTIAN

A. Pengertian dan Pengaturan Pembuktian


Pembuktian adalah suatu usaha untuk meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan atau
perkara. Menurut Subekti (1987: 7) membuktikan ialah meyakinkan hakim

49
tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
persengketaan.
Jadi tidak ada pembuktian apabila tidak ada atau tidak terjadi
suatu persengketaan atau perkara yang diajukan ke pengadilan.
Pembuktian ini tidak perlu, apabila salah satu pihak mengakui dalil pihak
lawannya.
Pembuktian ini diatur dalam buku ke empat KUH Perdata tentang
pembuktian dan daluwarsa, juga diatur dalam HIR/RBg.

B. Hal-hal yang dapat dibuktikan


Dalil-dalil yang harus dibuktikan hanyalah hal-hal yang menjadi
perselisihan yaitu dalil yang diajukan oleh pihak yang satu tetapi
disangkal atau dibantah oleh pihak lawannya. Dalil yang dikemukakan
oleh satu pihak dan diakui oleh pihak lawannya tidak perlu dibuktikan,
karena tentang hal ini tidak ada perselisihan. Begitupun dengan hal-hal
yang diajukan oleh salah satu pihak yang tidak secara tegas diakui
kebenarannya atau disangkal oleh pihak lawan. Dalam Hukum Acara
Perdata sikap tidak menyangkal dipersamakan dengan mengakui
(Subekti, 1987: 16).
Ada hal-hal yang dilihat sendiri oleh hakim di depan persidangan
tidak perlu dibuktikan lagi, misalnya: menyangkut merek atau cacadnya
si penggugat (korban) akibat tabrakan mobilnya tergugat.
Ada lagi hal-hal yang tidak memerlukan pembuktian, yaitu segala
apa yang dianggap diketahui umum (fakta-fakta notoir). Misalnya: sudah
diketahui umum bahwa toko-toko di Jayapura sekitar jam 22.00 malam
sudah tutup semua.

C. Pembagian Beban Pembuktian


Sebagai pedoman mengenai apa yang dibuktikan atau beban
pembuktian dapat menunjuk pada Pasal 1865 KUH Perdata, Pasal 163
HIR/ Pasal 283 RBg. Dalam ketentuan pasal ini ternyata yang dapat

50
dibuktikan bukan hanya peristiwa-peristiwa saja, tetapi juga menyangkut
hak-hak yang bersifat abstrak.
Pasal 1865 KUH Perdata menyebutkan bahwa “setiap orang yang
mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan
haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada
suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa
tersebut”.
Soal pembagian beban pembuktian ini sulit, dalam penentuannya
karena itu perlu adanya kebijakan atau kecermatan dalam pemberian
beban pembuktian ini. Namun dalam praktek, biasanya penggugatlah
yang dibebani pertama untuk mengajukan pembuktian, berdasarkan
suatu pertimbangan sebagaimana Pasal 1865 KUH Perdata. Setelah itu
barulah giliran tergugat untuk mengajukan bukti-buktinya.
Pasal 1865 KUH Perdata isinya sama dengan Pasal 163 HIR, yang
mengandung asas bahwa barang siapa mendalilkan ia wajib
membuktikan.

D. Alat-alat Bukti
Menurut Pasal 164 HIR/ Pasal 284 RBg. dan Pasal 1866 KUH
Perdata, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas: 1. bukti surat
2. bukti saksi
3. persangkaan-persangkaan
4. pengakuan
5. sumpah
1. Bukti surat
Alat bukti surat diatur dalam Pasal 165, 167 HIR, Pasal 285
sampai dengan 305 RBg. dan Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1894
KUH Perdata.
Surat merupakan alat bukti tertulis yang memuat tulisan untuk
menyatakan pikiran seseorang sebagai alat bukti (Kurdianto, 1987: 26).
Alat bukti ini merupakan bukti utama dalam lalu lintas bukti
keperdataan, karena berkaitan dengan kebenaran yang dicari hakim.

51
Menurut bentuknya surat dibagi atas surat akta dan surat bukan
akta.
a. Surat Akta
Surat akta adalah surat yang bertanggal dan diberi tanda
tangan, yang memuat keterangan tentang kejadian-kejadian antara
lain hal-hal yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang
digunakan untuk membuktikan atau pembuktian (Abdulkadir
Muhammad, 2002: 119). Surat akta ada 2 macam yaitu:
1. akta otentik dan
2. akta di bawah tangan.
1. Akta otentik
Akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk
yang ditetukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di
tempat dimana akta dibuatnya (Pasal 1968 KUH Perdata, Pasal
165 HIR/ 283 RBg.)
Yang dimaksud dengan pejabat/pegawai unum yang
berkuasa untuk itu dan dinyatakan dengan undang-undang
mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik, misalnya:
Notaris, Pegawai Pencatatan sipil, Hakim dan Panitera.
Akta otentik bila dijadikan alat bukti di persidangan,
maka tiap akta mempunyai 3 macam kekuatan bukti yaitu:
a. kekuatan bukti lahir;
b. kekuatan bukti formil dan
c. kekuatan bukti materil.

Ad.a. Kekuatan bukti lahir.


Suatu akta otentik yang dijadikan alat bukti dipersidangan, dari
tampak luarnya saja, hakim sudah yakin bahwa aktanya adalah
otentik sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya bahwa aktanya
adalah palsu.

52
Hal ini berarti bahwa yang sudah pasti adalah tanda tangan dari
para pihak dan atau pejabat.

Ad.b. Kekuatan Bukti Formil.


Kekuatan bukti formil disini menyangkut soal kebenaran dari
peristiwa yang disebutkan dalam akta otentik itu. Artinya
pejabat dan pihak-pihak yang berkepentingan menerangkan
dan melakukan seperti yang disebutkan dalam akta otentik itu
dan benar demikian adanya. Dalam hal ini telah pasti tanggal
dan tempat akta dibuat serta keaslian tanda tangan.

Ad.c. Kekuatan Bukti Materil.


Kekuatan bukti materil disini menyangkut kebenaran dari isi
akta otentik. Artinya bahwa apa yang dimuat didalam suatu
akta memang sungguh-sungguh terjadi antara para pihak.

2. Akta dibawah tangan


Akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat
untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang
pejabat.
Jadi semata-mata akta ini dibuat oleh para pihak yang
berkepentingan, dan gunanya untuk suatu pembuktian bagi
pihak-pihak yang menandatanganinya.
Mengenai akta dibawah tangan ini diatur dalam Pasal 1874
sampai dengan 1880 KUH Perdata dan dalam RBg Pasal 286
s/d. Pasal 305.
Akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan
pembuktian lahir, karena tanda tangan dapat dibantah
sedangkan kekuatan pembuktian formil dan materil sama
dengan kekuatan bukti pada akta otentik.

53
Menurut ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata, akta
dibawah tangan yang diakui tanda tangannya merupakan bukti
yang sempurna seprti akta otentik.

b. Surat bukan akta


Surat bukan akta adalah bukti tertulis berupa surat-surat lain
sepeti surat-surat pribadi. Surat yang bukan akta ini, memang
sengaja dibuat, tetapi pada asasnya tidak dimaksudkan sebagai alat
pembuktian dikemudian hari. Oleh karena itu surat-surat yang
demikian itu dapat dianggap sebagai petunjuk ke arah pembuktian
(Teguh Samudra, 1992: 54). Kekuatan pembuktiannya diserahkan
pada hakim, apakah mempunyai kekuatan bukti sempurna atau
menganggap sebagai permulaan bukti tertulis atau
dikesampingkan.

2. Bukti Saksi
Pembuktian dengan saksi dalam praktek lazim disebut
kesaksian (RetnowulanSutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2002:
50).
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim
dalam persidangan tentang kejadian-kejadian yang dilihat, dialami
sendiri, mengenai sesuatu yang disingketakan dengan jalan
menerangkan secara lisan dan secara pribadi oleh orang yang bukan
salah satu pihak dalam perkara itu (Kurdianto, 1987: 43).
Alat bukti saksi ini diatur dalam Pasal 1895, 1902 sampai
dengan pasal 1908 KUH Perdata, Pasal 168 s/d Pasal 172 HIR atau
Pasal 306 s/d Pasal 309 RBg.
Di dalam praktek biasanya setelah pengajuan bukti surat akan
dilanjutkan dengan bukti saksi dari pihak yang mengajukan bukti
surat tersebut. Bukti saksi di sini penting untuk mendukung atau
menguatkan dalil-dali yang sudah diajukan dalam persidangan.

54
Dalam pembuktian dengan saksi hendaknya digunakan lebih
dari satu orang saksi, sebab keterangan seorang saksi saja tanpa
didukung oleh alat bukti yang lain, tidak dianggap sebagai bukti.
a. Kewajiban-kewajiban saksi :
1. kewajiban untuk menghadap di persidangan setelah dipanggil
secara patut.
2. kewajiban untuk bersumpah menurut agamanya masing-
masing.
3. kewajiban untuk memberi keterangan.

b. Tidak dapat didengar sebagai saksi :


1. keluarga sedarah dan keluarga semenda karena perkawinan
menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak;
2. suani atau isteri salah satu pihak, meskipun telah bercerai;
3. anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar, bahwa
mereka sudah berumur 15 tahun;
4. orang gila walaupun kadang-kadang ingatannya terang.

c. Dapat mengundurkan diri sebagai saksi :


1. saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan
perempuan dari salah satu pihak.
2. keluarga ssedarah yang menurut keturunan yang lurus dan
saudara laki-laki dan perempuan dari pada salah suami atau
isteri salah satu pihak.
3. orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang
sah, diwajibkan menyimpan rahasia, dalam hal yang semata-
mata tentang hal itu saja yang dipercayakan karena martabat
pekerjaan dan jabatannya itu.

d. Unus Testis Nulus Testis


Unus testis nullus testis maksudnya satu saksi bukan saksi.
Keterangan dari seorang saksi saja tanpa didukung oleh bukti-bukti

55
lain, maka hakim tidak boleh menjatuhkan putusan bahwa dalil-
dali itu telah terbukti (Pasal 169 HIR/ 306 RBg.).
Dengan demikian dalam suatu acara pembuktian dengan
pengajuan saksi baik oleh penggugat maupun tergugat, hendaknya
diajukan lebih dari satu orang untuk menguatkan dalil-dalil yang
telah dikemukakan. Hal ini bagi penggugat merupakan kewajiban
untuk menguatkan atau membuktikan dalil-dalilnya disamping
bukti tertulis.

e. Testimonium de auditu
Testimonium de auditu adalah keterangan saksi yang
diperoleh dari orang lain. Mereka tidak melihat, merasakan atau
mengalami sendiri melainkan hanya mendenganr ceritera dari
orang lain tentang suatu hal yang disengketakan.

3. Persangkaan.
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu
peristiwa yang telah terkenal atau dianggap terbukti kearah suatu
peristwa yang tidak terkenal artinya belum terbukti.
Alat bukti persangkaan diatur mulai Pasal 1914 sampai dengan
Pasal 1922 KUH Perdata.
Ada dua macam persangkaan:
a. Persangkaan menurut UU
Yaitu persangkaan yang didasarkan pada pasal-pasal dalam
undang-undang, misalnya:
- Pasal 1394 KUH Perdata (menyangkut pembayaran berkala),
menyatakan bahwa jika seseorang mempunyai 3 kwitansi terakhir
secara berturut-turut, maka ia telah dianggap membayar rekening
sebelumnya.
- Pasal 1977 ayat 1 KUH Perdata, menyatakan bahwa seseorang
yang menguasai suatu benda bergerak, dianggap sebagai
pemiliknya.

56
- Pasal 250 KUH Perdata, menyatakan bahwa anak yang lahir dari
suatu perkawinan yang sah, maka ia memperoleh suami si ibu
sebagai ayahnya.
b. Persangkaan menurut hakim.
Yang dimaksud adalah hakim menarik kesimpulan dari
tahapan-tahapan peristiwa yang diceriterakan oleh masing-masing
saksi. Misalnya, dalam suatu gugatan cerai karena persinahan.
Saksi pertama menerangkan bahwa ia melihat si isteri pergi dengan
pria lain yang bukan suaminya. Saksi kedua menerangkan bahwa
ia melihat mereka pergi naik sebuah taksi menuju sebuah hotel dan
saksi ketiga menerangkan bahwa mereka telah menyewa sebuah
kamar di hotel tersebut.
Dari rangkaian keterangan para saksi ini, hakim
berkesimpulan bahwa sudah terjadi persinahan, sehingga ada
dasar yang kuat untuk memutus cerai perkara tersebut.

4. Pengakuan
Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak
dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh
pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan pihak lawan.
Alat bukti ini diatur dalam Pasal 1923 sampai dengan Pasal 1928
KUH Perdata. Dari ketentuan Pasal 1923 KUH Perdata, ada dua
macam pengakuan yaitu pengakuan yang dilakukan di depan sidang
dan pengakuan yang dilakukan diatur persidangan.
Di dalam persidangan dapat teradi bahwa salah satu pihak
mengakui (membenarkan) dalil pihak lainnya. Sedangkan di luar
persidangan terjadi pengakuan oleh salah satu pihak akan dalil pihak
lain dan ini didengar oleh pihak ketiga. Oleh karena itu, di
persidangan pihak ketiga inilah yang menerangkan keterangan
mengenai pengakuan salah satu pihak ini.
Pengakuan dianggap sebagai suatu pembuktian yang
sempurna. Dalam proses acara perdata, pengakuan dapat dijadikan

57
sebagai alat bukti. Misalnya, jika pihak yang dituduh berzinah (suami
atau isteri) mengaku bahwa ia memang berbuat zinah, maka
perceraian dapat dikabulkan.

5. Sumpah
Sumpah diatur dalam Pasal 1929 sampai dengan Pasal 1945
KUH Perdata, Pasal 155 s/d Pasal 158, Pasal 177 HIR, Pasal 182 s/d
185, 314 RBg.
Dalam HIR, alat bukti sumpah ini dibedakan menjadi 3 macam
yaitu:
a. sumpah pelengkap (suppletoir).
b. Sumpah pemutus (decisoir).
c. Sumpah penaksir (aestimatoir).
Sumpah pelengkap adalah sumpah yang diperintahkan oleh
hakim kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian
terhadap tuntutan penggugat atau untuk kebenaran bantahan
tergugat, sedangkan dalam tuntutan tidak ada bukti lain untuk
menyempurnakan pembuktian tersebut.
Sumpah pemutus merupakan sumpah yang dimintakan oleh
salah satu pihak yang berperkara untuk mengakhiri suatu perkara.
Sumpah pemutus ini dapat menjadi senjata pamungkas tetapi dapat
juga menjadi bumerang. Senjata pamungkas maksudnya bahwa bila
sumpah ini dimintahkan oleh satu pihak untuk diangkat pihak lain
dan tidak diangkat, maka pihak ini (yang menyuruh) dimenangkan.
Namun bila sumpah ini dikembalikan dan ternyata pihak yang
menyuruh ini tidak mengangkat sumpah, maka dia dikalahkan. Oleh
karena itu penggunaannya harus tepat dan tidak sembarangan.

2. Keterangan ahli
Dalam suatu persidangan kadang-kadang diperlukan adanya
saksi ahli untuk memberikan keterangan berkaitan dengan
pengetahuannya. Saksi ahli dalam bidangnya ini dapat diminta oleh

58
para pihak atau hakim karena jabatannya, agar didengar
pengetahuannya. Hal ini dilakukan untuk mendapat suatu kepastian
mengenai kebenaran suatu hal yang tidak diketahui oleh hakim,
karena hakim bukan ahli dalam segala hal. Misalnya: berkaitan dengan
kwalitas suatu obat, hakim harus mendengar ahli farmasi, kemudian
juga untuk memastikan kehamilan seseorang harus dengar keterangan
dokter ahli kandungan, juga seseorang geger otak karena dipukul
perlu juga didengar keterangan dokter ahli syaraf, atau berkaitan
dengan pelanggaran di bidang HAKI, dapat di dengar ahli di bidang
yang bersangkutan.
Sebelum aksi ahli ini memberikan keterangannya terlebih
dahulu mengangkat sumpah, sehingga keterangan/pendapatnya yang
diberikan itu adalah keterangan dibawah sumpah.
Hakim tidak wajib mengikuti pendapat seorang ahli, bila
keterangannya berbeda dengan keyakinannya (Pasal 154 HIR/ 181
RBg).

3. Pemeriksaan Tempat
Hakim dalam memeriksa suatu perkara kadang-kadang
memutuskan untuk melanjutkan sesuatu pemeriksaan di lapangan
untuk melihat obyek yang jadi sengketa, dengan pertimbangan bahwa
objek ini tidak mungkin dibawa ke muka persidangan.
Pemeriksaan di tempat dilakukan oleh hakim dengan dibantu
panitera yang membuat berita acara, dengan dihadiri kedua belah
pihak.
Data di lapangan ini akan dikaitkan dengan dalil-dalil kedua
belah pihak dan menjadi pertimbangan hakim dalam memutus
perkara tersebut. Misalnya, dalam sengketa tentang batas-batas dari
hak milik atas suatu lokasi tanah. Biasanya sebelum turun ke lokasi,
para pihak harus menyetor uang transport terlebih dahulu ke panitera.

59
Bila obyek sengketa ini ada di wilayah Pengadilan lain, maka
hakim dapat meminta bantuan Pengadilan tersebut untuk memeriksa
dan mengirim hasilnya ke pengadilan yang meminta bantuan tersebut.

BAB VI
PUTUSAN

A. Pengertian putusan
Yang dimaksud dengan putusan hakim adalah suatu pernyataan
yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu,
diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak (Sudikno
Marstokusumo, 2002: 202).

60
Lebih lanjut dikemukakan bahwa putusan hakim bukanlah satu-
satunya bentuk untuk menyelesaikan perkara. Disamping putusan hakim
masih ada penetapan hakim.
Jadi putusan adalah perbuatan hakim sebagai penguasa atau
pejabat negara. Oleh karena itu apabila ada pihak yang dirugikan oleh
adanya suatu putusan, maka disini negara tidak dapat
dipertanggungjawabkan, karena upaya-upaya hukum sudah tersedia.
Di dalam literatur Belanda dikenal istilah “vonnis” dan “Gewijsde”.
Yang dimaksud dengan vonnis adalah putusan yang belum mempunyai
kekuatan hukum yang pasti, sehingga masih tersedia upaya hukum biasa,
sedangkan gewijsde adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan
hukum yang pasti, sehingga hanya tersedia upaya hukum khusus
(Sudikno Mertokusumo, 2002: 205).

B. Macam-macam putusan
Pasal 185 ayat 1 HIR/ Pasal 196 ayat 1 R.Bg. membedakan 2
golongan putusan yaitu:
- putusan akhir, dan
- putusan yang bukan putusan akhir.
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa
atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.
Menurut sifatnya dikenal 3 macam putusan akhir yaitu:
1. Putusan Declaratoir;
2. Putusan Constitutif;
3. putusan Condemnatoir.
Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat
menerangkan atau menyatakan apa yang sah. Misalnya bahwa A, B dan C
adalah ahli waris almarhum X.
Putusan Constitutif adalah putusan yang meniadakan suatu
keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru.
Misalnya: putusan perceraian atau putusan yang menyatakan seorang
jatuh pailit.

61
Putusan Condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman.
Misalnya: menghukum tergugat untuk membayar hutangnya atau
menyerahkan rumah yang dikontrak dalam keadaan kosong.
Pada umumnya dalam suatu putusan hakim memuat beberapa
macam keputusan, dengan lain perkataan merupakan penggabungan dari
putusan declaratoir dan costitutif atau penggabungan antara putusan
declaratoir dan condemnatoir dan sebagainya (Ny. Retnowulan Sutantio, SH
dan Iskandar Oeripkartawinata, 2002: 110).
Menurut Sudikno, bahwa pada hakekatnya semua putusan baik
yang condemnatoir maupun yang constitutif bersifat declaratoir (Sudikno
Mertokusumo, SH., 2002: 222).
Lebih lanjut dikemukakan bahwa disamping putusan akhir masih
dikenal putusan yang bukan putusan akhir atau disebut juga putusan sela
atau putusan antara, yang fungsinya tidak lain untuk memperlancar
pemeriksaan perkara.
Putusan sela ini menurut Pasal 185 ayat 1 HIR (Pasal 196 ayat 1
R.Bg.) sekalipun harus diucapkan di dalam persidangan tidak dibuat
secara terpisah, tetapi dibuat dalam berita acara persidangan.
Mengenai putusan sela ini di dalam Pasal 48 Rv dibedakan juga
antara putusan praeparatoir dan putusan interlucutoir.
Putusan praeparatoir adalah putusan sebagai persiapan putusan
akhir, tanpa mempunyai pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan
akhir, tanpa mempunyai pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan
akhir. Contoh: putusan untuk menggabungkan dua perkara atau untuk
menolak diundurnya pemeriksaan saksi.
Putusan interlucutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan
pembuktian, misalnya pemeriksaan setempat.
Selain pembedaan di atas, dalam Pasal 332 Rv. masih dikenal
adanya putusan insidentil dan putusan provisionil.
Putusan insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan
insident yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa.
Misalnya: Vrijwaring, voeging atau tussenkomst.

62
Putusan provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan
provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara
diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak,
sebelum putusan akhir dijatuhkan.

B. Susunan dan isi surat putusan


Di dalam HIR tidak ada ketentuan yang mengatur tentang
bagaimana putusan hakim harus dibuat. Namun isi minimum tentang apa
yang harus dimuat di dalam putusan akhir diatur dalam Pasal 183, 184,
187 HIR (Pasal 194, 195, 198 R.Bg), Pasal 4 ayat 1, Pasal 25 UU No. 4 Tahun
2004.
Suatu putusan hakim terdiri dari 4 bagian yaitu:
1. Kepala putusan;
2. Identitas para pihak;
3. Pertimbangan;
4. Amar.
Setiap putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala pada
bagian atas putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan berdasarkan
Ketuhanan Ynag Maha Esa”. Kepala putusan ini memberi kekuatan
eksekutorial pada putusan. Apabila kepala putusan ini tidak dibubuhkan
pada suatu putusan pengadilan , maka hakim tidak dapat melaksanakan
putusan tersebut (Pasal 224 HIR/258 RBg).
Suatu gugatan paling tidak mempunyai sekurang-kurangnya dua
pihak, maka di dalam putusan harus dimuat identitas dari para pihak
yaitu: nama, umur, alamat dan nama dari penasehat hukumnya kalau ada.
Pertimbangan atau considerans merupakan dasar dari pada
putusan. Pertimbangan di dalam putusan perdata dibagi dua yaitu
pertimbangan tentang duduknya perkara atau peristiwanya dan
pertimbangan tentang hukumnya.
Apa yang dimuat dalam bagian pertimbangan dari putusan tidak
lain adalah alasan-alasan hakim sebagai pertanggungan jawab kepada
masyarakat, mengapa ia sampai mengambil putusan demikian, sehingga

63
oleh karenanya mempunyai nilai obyektif. Alasan dan dasar dari pada
putusan harus dimuat dalam pertimbangan putusan (Pasal 184 HIR/ 195
RBg., Pasal 25 UU No. 4 Tahun 2004).
Biaya perkara juga harus disebutkan dalam putusan.
Harus disebutkan apakah para pihak hadir atau tidak pada waktu
putusan diucapkan di persidangan oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa putusan dapat diucapkan tanpa hadirnya para pihak. Berbeda
dengan putusan verstek.
Yang merupakan jawaban terhadap petitum dari pada gugatan
adalah amar atau dictum. Ini berarti bahwa dictum merupakan tanggapan
terhadap petitum (Sudikno Mertokusumo, 2002: 215).
Amar (dictum) dibagi menjadi 2 yaitu declaratif dan dictum atau dispositif.
Declaratif merupakan penetapan dari pada hubungan yang menjadi
sengketa. Sedangkan bagian-bagian yang disebut dispositif ialah yang
memberi hukum atau hukumnya yaitu menolak atau mengabulkan.

C. Kekuatan putusan
Di dalam putusan HIR/ RBg. Tidak diatur tentang kekuatan
putusan hakim. Putusan mempunyai 3 macam kekuatan yaitu kekuatan
mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial.
1. Kekuatan mengikat
Suatu putusan pengadilan dimaksud untuk menyelesaikan
suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya.
Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan dan mempercayakan
sengketa kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau diadili,
maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan
akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang
dijatuhkan itu harus dihormati oleh kedua belah pihak. Jadi putusan
hakim mempunyai kekuatan mengikat: mengikat kedua belah pihak
(Pasal 1917 KUH Perdata).

64
2. Kekuatan pembuktian
Dituangkan putusan dalam bentuk tertulis, yang merupakan
akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat
bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk
mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaannya (Sudikno
Mertokusumo, 2002: 230).
Suatu putusan mungkin saja tidak mempunyai kekuatan
mungikat bagi pihak ketiga, namun mempunyai kekuatan pembuktian
terhadap pihak ketiga.
Dalam Pasal 1918 dan Pasal 1919 KUH Perdata diatur tentang
kekuatan pembuktian dari putusan pidana. Putusan pidana yang
isinya menghukum dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dapat digunakan sebagai bukti dalam perkara-perkara perdata
mengenai peristiwa yang telah terjadi, kecuali jika dapat dibuktikan
sebaliknya.
Mengenai kekuatan pembuktian putusan perdata tidak ada
ketentuannya. Namun dapat disimpulkan dari Pasal 1916 ayat 2 nomor
3 KUH Perdata bahwa putusan hakim adalah persangkaan. Putusan
hakim merupakan persangkaan bahwa isinya benar (res judica pro
veritate habetur). Adapun kekuatan pembuktian dari pada putusan
perdata diserahkan kepada pertimbangan hakim.

3. Kekuatan eksekutorial
Kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa
yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara.
Syarat agar suatu putusan mempunyai kekuatan eksekutorial
yaitu bahwa semua putusan pengadilan pada kepala bagian atasnya
berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
(Pasal 433 Rv jo Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 2004).
Suatu akta notarilpun akan mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan, apabila dibubuhi kata-kata:

65
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 224
HIR/Pasal 258 R.Bg., Pasal 440 Rv.).
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kata-
kata”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
memberi kekuatan eksekutorial bagi putusan-putusan pengadilan di
Indonesia.

D. Putusan Uitvoerbaar Bij Voorraad


Ketentuan ini diatur dalam Pasal 180 ayat 1 HIR dan Pasal 191 ayat
1 R.Bg., yang menentukan bahwa “Pengadilan Negeri dapat
memerintahkan supaya putusan itu dijalankan terlebih dahulu, meskipun
ada perlawanan, atau dimintakan banding, jika ada surat sah, tulisan yang
menurut peraturan yang berlaku mempunyai kekuatan bukti, atau sudah
ada putusan pasti demikian juga jika ada putusan terhadap tuntutan-
tuntutan provisionil pula dalam perselisihan dalam hak milik”. Perkataan
“dapat” mengandung pengertian bahwa jika salah satu syarat yang
termuat dalam Pasal 180 ayat 1 HIR telah terpenuhi, maka diserahkan
sepenuhnya kepada hakim untuk menjatuhkan putusan dengan ketentuan
uitvoerbaar bij voorraad dengan atau tanpa menjatuhkan putusan yang
biasa.
Mengenai kemungkinan putusan uitvoerbaar bij voorraad ini, harus
diminta oleh pihak yang bersangkutan dalam surat gugatnya. Seandainya
dikabulkan oleh hakim, maka harus tegas dicantumkan dalam
putusannya. Namun demikian Mahkamah Agung menganjurkan agar
putusan serta merta ini sedapat mungkin dihindari. Hal ini dapat
diketahui dari SEMA No. 3 Tahun 1975 tanggal 17 Mei 1971 angka 4 dan
SEMA No. 06/ 1975 tanggal 1 Desember 1975 pada pokoknya
berpendapat bahwa, oleh karena Pasal 180 (1) H.I.R. hanya memberikan
kewenangan diskretironer kepada hakim yang tidak bersifat imperatif,
agar hakim jangan menjatuhkan putusan dengan uitvoerbaar bij voorraad
meskipun syarat-syarat Pasal 180 (1) HIR terpenuhi, lebih-lebih apabila
ada sita jaminan yang cukup.

66
BAB VII
UPAYA-UPAYA HUKUM

Menurut Sudikno Mertokusumo, SH., bahwa upaya hukum yaitu


upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu
putusan (Sudikno Mertokusumo, 2002: 234).
Oleh karena itu adanya upaya hukum di sini dimaksudkan untuk
memeriksa ulang suatu perkara yang sudah diputus, karena mungkin saja
suatu putusan tidak mungkin luput dari kekeliruan atau kekhilafan bahkan
memihak. Karena itu dengan pemeriksaan ulang suatu perkara diharapkan
akan tercapai kebenaran dan keadilan bagi pencari keadilan.
Menurut sifatnya upaya hukum ini dibedakan menjadi dua yaitu
upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.
A. Upaya hukum biasa
1. Perlawanan (Verzet)
Perlawanan (Verzet) ini merupakan upaya hukum terhadap
putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat, pada hari sidang

67
pertama atau dipanggil sekali lagi dengan patut ternyata tetap tidak
hadir.
Pada prinsipnya upaya hukum ini hanya disediakan bagi pihak
tergugat yang dilaksanakan dengan putusan tersebut, dengan
mengindahkan ketentuan waktunya.

2. Banding
Banding adalah pemeriksaan ulang yang dilakukan oleh
Pengadilan Tinggi terhadap putusan Pengadilan Negeri atas
permohonan pihak yang berkepentingan (Abdulkadir Muhammad,
2000: 165).
Tentang pengaturan masalah banding dalam perkara perdata
dan pidana berbeda peraturannya. Untuk sekarang banding dalam
perkara pidana diatur dalam Pasal 243 KUHP. Sedangkan dalam
perkara perdata diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 1947
untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah luar Jawa dan
Madura diatur dalam R.Bg. Pasal 199 sampai dengan Pasal 205.
a. Syarat banding
Untuk dapat dimintakan banding bagi perkara yang telah
diputus oleh pengadilan Negeri, syaratnya adalah apabila besarnya
nilai gugat dari perkara yang telah diputus itu lebih dari Rp. 100,-
(seratus rupiah).
Jadi kalau nilai gugat Rp. 100,- atau kurang, maka putusan
Pengadilan Negeri itu tidak dapat dimintakan banding (Pasal 6 UU
No. 20 Tahun 1947).
Sekarang ini tidak ada perkara yang nilai gugatannya sekecil
itu, sehingga praktis semua perkara perdata yang diputus oleh
Pengadilan Negeri itu dapat dimintakan banding.
b. Prosedur banding
Apabila putusan Pengadilan Negeri dimintakan banding,
maka permohonan banding tersebut disampaikan kepada Panitera
Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan, baik secara tertulis

68
maupun lisan, dalam tenggang waktu 14 hari terhitung mulai hari
berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang
berkepentingan. Tenggang waktu tersebut dijadikan 30 hari jika
pemohon banding berdiam di luar daerah hukum tempat
Pengadilan Negeri itu. Permohonan banding harus disertai dengan
pembayaran porskot ongkos perkara banding, yang jumlahnya
ditaksir oleh Panitera Pengadilan Negeri tersebut. Bila tenggang
waktu di atas lewat, demikian juga biaya tidak disetor,
permohonan banding itu tidak dapat diterima.
Permohonan banding yang dapat diterima, lalu dicatat oleh
Panitera Pengadilan Negeri dalam daftar yang disediakan untuk
itu.
Sesudah itu panitera menyampaikan pemberitahuan
permohonan banding kepada pihak lawannya. Tiap permohonan
banding disertai dengan surat memori banding yang berisi alasan-
alasan dimintakan banding.
Pada waktu menyampaikan pemberitahuan permohonan
banding, dilampirkan juga surat memori banding. Bagi pihak yang
terbanding dapat juga memasukan juga surat kontra memori
banding. Salinan surat kontra memori banding ini disampaikan
kepada pembanding.
Supaya pihak-pihak leluasa menyusun alasan-alasan
memori dan kontra memori banding, mereka diberi kesempatan
mempelajari berkas perkara di Kantor Pengadilan Negeri selama 14
hari. Kemudian permohonan banding tersebut beserta memori
banding dan surat-surat lainnya yang bersangkutan dengan
perkara tersebut, harus dikirim kepada Ketua Pengadilan Tinggi
yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu 1 bulan
setelah menerima permohonan banding untuk daerah Jawa dan
Madura sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura, selambat-
lambatnya 8 hari sesudah menerima memori atau surat-surat
lainnya yang diajukan oleh terbanding, atau sesudah lewat waktu

69
yang diizinkan pada Pasal 202 ayat 5 dan Pasal 203 R.Bg., yaitu 14
hari apabila terbanding bertempat tinggal di dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri, dan 6 minggu apabila terbanding bertempat
tinggal di luar hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

c. Pemeriksaan dalam tingkat banding


Pemeriksaan dalam tingkat banding dilakukan dengan
memeriksa semua berkas perkara pemeriksaan Pengadilan Negeri
dan surat-surat lainnya yang berhubungan dengan perkara
tersebut. Bila perlu hakim banding dapat mendengar sendiri kedua
belah pihak yang berperkara dan saksi-saksi guna melengkapi
bahan-bahan yang diperlukan. Dalam prakteknya diperintahkan
lewat Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu guna
melengkapinya. Prosedurnya sama seperti biasa dan hasilnya
merupakan hasil pemeriksaan tambahan yang kemudian dikirim ke
Pengadilan Tinggi.
Pemeriksaan perkara dalam tingkat banding dilakukan oleh
Pengadilan Tinggi dengan tiga orang hakim sebagai hakim majelis.
Dalam pemeriksaan banding, hakim banding
mempertimbangkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pemohon
banding dalam memori bandingnya. Apabila dalam memori
banding tidak terdapat hal-hal baru, hakim banding dapat
mengenyampingkan memori banding tersebut dengan alasan tidak
terdapat hal-hal baru.

d. Putusan Pengadilan Tinggi


Setelah pemeriksaan perkara selesai dilakukan, maka hakim
segera menjatuhkan putusannya.
Putusannya dapat berupa:
1. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri;
2. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri;
3. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri.

70
Putusan menguatkan artinya bahwa putusan pengadilan
negeri itu dipandang sudah benar dan adil, karenanya dikuatkan
oleh Pengadilan Tinggi.
Putusan memperbaiki artinya, apa yang telah diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan Negeri itu dipandang kurang tepat
menurut rasa keadilan, karenanya perlu diperbaiki.
Putusan membatalkan artinya apa yang telah diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan Negeri itu dipandang tidak benar dan
tidak adil, karenanya harus dibatalkan. Dalam hal ini Pengadilan
Tinggi atau pengadilan banding memberikan putusan sendiri
(Abdulkadir Muhammad, 2000 : 176-177).
Setelah Pengadilan Tinggi memberikan putusannya, maka
salinan resmi putusan dan berkas perkaranya dikirim kembali
kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Setelah putusan itu
diterima Pengadilan Negeri, Ketua memerintahkan supaya
memberitahukan isi Pengadilan Tinggi itu kepada kedua belah
pihak dengan memperingatkan hak mereka untuk mengajukan
permohonan kasasi kepada Mahkama Agung. Atas dasar perintah
Ketua Pengadilan Negri, maka Panitera memerintahkan juru sita
untuk memberitahukan isi putusan banding dengan surat
pemberitahuan.
Apabila tenggang waktu untuk mengajukan kasasi ini tidak
digunakan, maka putusan ini tidak mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.
3. Kasasi
Menurut R. Subekti lembaga kasasi itu berasal dari Perancis.
Perklataan “kasasi” (dalam bahasa Perancis cassation) berasal dari
perkataan Perancis casser yang berarti “memecahkan” atau
“membatalkan”. Tugas pengadilan kasasi adalah menguji (meneliti)
putusan pengadilan-pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau
tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang
berasngkutan yang duduk perkaranya telah ditetapkan oleh

71
pengadilan-pengadilan bawahan tersebut (Moh. Taufik Makarao,
2004 : 189)
Dalam UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, tidak
ditemukan pengertian kasasi. Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa
Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus :
a) permohonan kasasi;
b) sengketa tentang kewenangan
mengadili;
c) permohonan peninjauan kembali
putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam Pasal 29 UU 14 tahun 1985 Mahkamah Agung memutus
permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau
tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.
Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat kasasi
membatalkan putusan dari semua pengadilan dalam semua lingkup
peradilan karena:
a) tidak berwenang atau melampui batas wewenangnya;
b) karena salah menerapkan, atau melanggar peraturan
hukum yang berlaku;
c) lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman.
Pemeriksaan Kasasi yang dapat dimintahkan kepada Mahkamah
Agung terbatas pada persoalan yang mengenai hukum saja, tidak
mengenai peristiwa dan pembuktiannya. Hakim kasasi bukan judex

72
facti. Judex fecti adalah hakim-hakim pada Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi.
a. Syarat-syarat dan prosedur kasasi
- apabila upaya hukum banding telah dipergunakan kecuali UU
menentukan lain (Pasal 43 UU No. 14 tahun 1985).
- Permohonan kasasi hanya diajukan satu kali
- Diajukan oleh pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara
khusus dikuasakan untuk itu.
- Permohonan kasasi disampaikan secara tertulios atau lisan
melalui panitera pengadilan tingkat pertama dalam tenggang
waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan
diberitahukan kepada pemohon.
- Pembayaran biaya perkara panitera mencatat permohonan kasasi
dalam buku daftar dan membuat akta permohonan kasasi yang
dilampirkan pada berkas perkara.
- Dalam waktu paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi
terdaftar, panitera pengadilan tingkat pertama yang m,emutus
perkara memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan
mengenai permohonan kasasi itu.
- Dalam pengajuan permohonan kasasi, Pemohon Kasasi wajib
menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasan kasasi
dalam tempo 14 hari setelah permohonan tersebut dicatat dalam
buku daftar.
- Panitera pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama
memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi
tersebut dan kemudian menyampaikan salinan memori kasasi
tersebut kepada pihak lawannya paling lambat 30 hari.
- Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasasi kepada
panitera dalam tempo 14 hari sejak diterimanya salinan memori
kasasi tersebut.
- Panitera Pengadilan Negeri (tingkat pertama yang memutus
perkara tersebut) mengirimkan permohonan kasasi, memori

73
kasasi, kontra memori kasasi beserta berkas perkaranya kepada
Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari.
- Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan kasasi tersebut
dalam buku daftar dengan membubuhkan nomor urut tanggal
penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya.
- Permohonan kasasi dapat dicabut oleh pemohon kasasi sebelum
diputus dan bila sudah dicabut tidak dak dapat diajukan lagi.

b. Pemeriksaan dalam tingkat kasasi


Dalam pemeriksaan dan memberikan putusan Mahkamah
Agung harus bersidang dengan sekurang-kurangnya 3 orang
hakim yaitu seorang hakim Ketua, dua orang anggota dan dibantu
seorang panitera/panitera pengganti.
Sidang pemeriksaan kasasi hanya melakukan pemeriksaan
terhadap berkas dan surat-surat perkara yang dimohonkan kasasi.
Mahkamah Agung dalam kasasi hanya memeriksa soal
hukum saja (bukan pembuktian atau duduk
perkara/peristiwanya), karena itu memori kasasi dan kontra
memori kasasi penting bagi Mahkama Agung dalam menentukan
apakah hukum sudah diterapkan dengan benar atau tidak oleh
hakim yang telah memutuskan perkara yang dimohonkan kasasi
itu (judex facti). Karena itu jika memori kasasi tidak disertakan pada
permohonan kasasi, maka kasasi dianggap tidak ada, sebab
dianggap tidak mempunyai alasan hukum.

c. Putusan kasasi
Putusan kasasi dapat berupa:
1. permohonan kasasi tidak dapat diterima;
2. permohonan kasasi ditolak;
3. permohonan kasasi diterima (dikabulkan).

Alasan permohonan kasasi tidak dapat diterima ialah:

74
- apabila jangka waktu yang diperkenankan untuk mengajukan
kasasi telah lewat, dalam jangka waktu mana kasasi tidak
dimintakan atau
- memori kasasi tidak dimasukan atau terlambat dimasukkan atau
- pihak yang memohon kasasi tidak atau belum menggunakan
haknya yang lain seperti verzet, banding dll.

Alasan ditolaknya permohonan kasasi karena:


- keberatan-keberatan yang sekarang diajukan oleh pemohon
kasasi terhadap putusan hakim judexfacti hanya mengenai
kejadian atau peristiwa yang tidak termasuk wewenang hakim
kasasi, sedangkan dulunya keberatan itu tidak pernah diajukan
kepada hakim yang bersangkutan atau
- alasan yang dikemukakan dalam memori kasasi justru
bertentangan dengan hukum, sedangkan judex facti telah benar
menerapkan hukumnya.
Atau mungkin juga:
- alasan hukum yang dikemukakan dalam memori kasasi tidak
mendukung putusan yang telah diambil oleh judex facti artinya
tidak ada sangkut pautnya dengan hukum yang menguasai
pokok perkara itu.
Pemohon kasasi yang diajukan apabila beralasan dan alasan tersebut
dibenarkan oleh hakim kasasi (MA), maka permohonan kasasi dapat
diterima dan MA membatalkan putusan hakim yang dimohonkan
kasasi itu.

B. Upaya Hukum Luar Biasa


1. Peninjauan Kembali
Walaupun putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap bahkan telah selesai dilaksanakan, masih ada
kemungkinan untuk melakukan peninjauan kembali apabila ternyata
ada alasan untuk itu dan dirasakan tidak adil jika terus berpegang

75
pada putusan semacam itu. Putusan peninjauan kembali bukanlah
menghilangkan kepastian hukum putusan pengadilan, melainkan
justru untuk mempertahankan keadilan itu sendiri dan memberikan
kepastian hukum kepada perbuatan yang adil.Peninjauan kembali
hanya bersifat insidental, tidak terus-menerus terhadap setiap
putusasn yang berkekeuatan hukum tetap (Abdulkadir Muhammad,
2000 : 211-212).
Dasar hukum Peninjauan Kembali ini diatur dalam Pasal 23
ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 jo. Pasal 66 sampai dengan Pasal 76 UU
No. 14 Tahun 1985. .
Dari kedua pasal ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap dapat dilakukan peninjauan kembali.
2. Peninjauan kembali dapat dilakukan apabila ada alasan-alasan dan
menurut prosedur yang diatur dengan Undang-Undang.
3. peninjauan kembali dapat dimintakan oleh yang berkepentingan
termasuk ahli waris mereka kepada Mahkamah Agung RI.
Mengenai peninjauan kembali ini di Mahkamah Agung
mengeluarkan peraturan Mahkamah Agung Tahun 1969 No. 1 tanggal
19 Juli 1969 dan kemudian diganti dengan peraturan Mahkamah
Agung tahun 1971 No 1 tanggal 30 November 1971, yang pada
pokoknya menyatakan bahwa peninjauan kembali terhadap putusan
hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap boleh
dilaksanakan berpedoman pada peraturan yang pernah berlaku di
Indonesia dan juga berdasarkan pada yurisprudensi.
Peraturan yang pernah berlaku itu adalah pasal 385-401 BRv.
Yang berlaku untuk golongan Eropa. Lembaga ini disebut Request
Civil (RC). Menurut Sudikno Mertokusumo, request civil yang diatur
dalam Pasal 305 sampai dengan Pasal 401 RV, tidak lain adalah
peninjauan kembali suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap.

76
Menurut ketentuan pasal-pasal BRv. Tersebut dan
yurisprudensi, alasan-alasan untuk melakukan peninjauan kembali
dengan request civil itu adalah:
1. Apabila ada penipuan dalam proses perkara di pengadilan.
2. apabia ada kesalahan atau kekeliruan dalam pemeriksaan.
3. apabila ada pemalsuan alat bukti yang digunakan.
4. apabila ada hal yang luar biasa yang tidak diketahui oleh hakim
waktu ia memutus perkara itu.
Berdasar alasan-alasan di atas, maka permohonan peninjauan
kembali dengan request civil ditujukan kepada Mahkamah Agung
dengan permintaan agar Mahkamah Agung memerintahkan
pengadilan yang memutus perkara yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap untuk melakukan pemeriksaan kembali terhadap
putusannya itu. Dengan adanya putusan yang baru, maka putusan
lama dibatalkan. Permohonan peninjauan kembali dengan request
civil ini dianjurkan kepada Mahkamah Agung dalam tenggang 6 bulan
sejak putusan itu memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Di samping Undang-Undang tersebut di atas, dikeluarkan juga
UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang di dalamnya
mengatur juga tentang Peninjauan kembali atas perkara perdata yang
sudah mempunyai kekuatan tetap. Dengan sendirinya peraturan
Mahkamah Agung No. 1 tahun 1982 jo. UU No. 1 tahun 1980 tidak
berlaku lagi.
Setelah berlakunya UU No. 14 Tahun 1985 ini, maka istilah
request civiel atau rekes sipil tidak dipergunakan lagi dan diganti
dengan istilah “Peninjauan Kembali” (Nawawi, SH, 1990: 166).
Menurut Pasal 67 permohonan peninjauan kembali atas suatu
putusan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat
diajukan atas dasar alasan-alasan sebagai berikut:
a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat dari pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus

77
atau pada suatu keterangan saksi atau surat-surat bukti yang
kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b. Apabila setelah perkara diputus , dikemukakan surat-surat yang
bersifat menentukan , yang pada waktu perkara diperiksa tidak
dapat diketemukan.
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
dari pada yang dituntut.
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya.
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai soal yang sama,
atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama
tingkatannya telah diberikan putusan yang satu dengan yang
lainnya bertentangan.
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat ketentuan-ketentuan yang
bertentangan satu dengan lainnya.
Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh
pihak-pihak yang berkepentingan yaitu:
- para pihak yang berperkara ;
- ahli warisnya;
- seorang walinya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atatu
menghentikan pelaksanaan putusan hakim dan hanya diajukan satu
kali saja. Kalau permohonan peninjauan kembali dicabut, tidak dapat
diajukan lagi.
Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali
yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
adalah 180 hari.
Permohonan PK oleh Mahkama Agung dapat dikabulkan atau
ditolak. Dalam hal Mahkama Agung mengabulkannya, maka
Mahkama Agung membatalkan putusan Pengadilan yang dimintakan
PK tersebut dan selanjutnya Mahkamah Agung akan memeriksa dan
memutus sendiri perkara itu. Putusan Mahkamah Agung tersebut

78
merupakan suatu putusan pengadilan pada tingkat pertama dan
terakhir.

2. Perlawanan Pihak Ketiga (derdenverzet)


Pada asasnya suatu putusan itu hanya mengikat para pihak yang
berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1917 KUH Perdata).
Namun demikian apabila pihak ketiga hak-haknya dirugikan oleh
suatu putusan , maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap
putusan tersebut (Pasal 378 Rv). Perlawanan ini diajukan kepada
hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan
menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa (Pasal
379 Rv).
Pihak ketiga yang hendak mengajukan perlawanan terhadap
suatu putusan tidak cukup hanya mempunyai kepentingan saja, tetapi
harus nyata-nyata telah dirugikan hak-haknya.
Apabila perlawanan itu dikabulkan, maka putusan yang dilawan itu
diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga (Pasal 382 Rv).

BAB VIII

79
PELAKSANAAN PUTUSAN (EKSEKUSI)

A. Pengertian eksekusi
Menurut Wirjono Prodjodikoro (1961 : 102), istilah executie
diterjemahkan dalam arti menjalankan putusan hakim. Pendapat yang
sama juga diikuti oleh M. Yahya Harahap (2005 : 6) yang mengutip
pendapat yang dipergunakan oleh R. Subekti. Beliau mengalihkannya
dengan istilah “pelaksanaan” putusan. Begitu pula Retnowulan Sutantio
mengalihkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah “pelaksanaan”
putusan. Pendapat kedua penulis tersebut, dapat dijadikan sebagai
perbandingan. Bahkan, hampir semua penulis telah membakukan istilah
“pelaksanaan” putusan sebagai kata ganti eksekusi (executi).
Berdasar pembakuan istilah tersebut, R. Subekti (1977 : 128) memberikan
definisi eksekusi sebagai berikut:
Eksekusi atau Pelaksanaan putusan sudah mengandung arti
bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau mentaati putusan itu
secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan
kepadanya dengan bantuan “kekuatan umum”. Dengan
“kekuatan umum:” ini dimaksudkan polisi, kalau perlu militer
(angkatan bersenjata)

Selain definisi di atas, Sudikno Mertokusumo (2002 : 240) juga


memberikan definisi eksekusi sebagai berikut: “Pelaksanaan putusan
hakim atau eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi dari
pada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi
yang tercantum dalam putusan tersebut”
Muncul paham baru yang melihat eksekusi dari sisi hukum eksekusi
yang dikemukakan oleh Mochammad Dja’is (2004 : 17) Menurut
Hukum Eksekusi, istilah eksekusi mengadung makna sebagai suatu
upaya paksa untuk merealisasi hak dan/atau sanksi.

B. Sumber aturan eksekusi

80
Setiap orang yang ingin mengetahui pedoman aturan eksekusi harus
merujuk ke dalam aturan perundangundangan dalam HIR atau RBG.
Cara-cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi tadi
diatur mulai Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal
258 RBG. Tidak semua ketentua pasal-pasal tadi berlaku efektif. Yang
masih betul-betul efektif berlaku terutama Pasal 195 sampai Pasal 208 dan
Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 240 dan Pasal 258 RBG.
Sedangkan Pasal 209 sampai Pasal 223 HIR atau Pasal 242 sampai Pasal
257 RBG yang mengatur tentang “sandera” (gijzeling) tidak lagi
diperlakukan secara efektif (M. Yahya Harahap, 2005 : 1-2).
Pemerintah melalui Mahkamah Agung telah mengeluarkan Perma No.
1 Tahun 2000 tentang paksa badan sebagai ganti dari lembaga sandera
(gijzeling) tersebut.
Disamping itu terkait piutang-piutang negara baik yang berasal dari
perbankan atau non perbankan, eksekusinya diatur dalam UU No. 49 Prp.
Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan SK
Menkeu sebagai pedoman pelaksanaannya.
Peraturan penting lainnya adalah Peraturan Lelang No. 189/1908
Kemudia juga KUH Perdata sebagaimana dikemukakan oleh M. Yahya
Harahap (2005 : 5) bahwa tidak mungkin eksekusi dapat ditangani dengan
tepat tanpa mengaitkannya dengan peraturan hipotek yang diatur dalam
KUH Perdata.
Aturan eksekusi lainya dapat dijumpai juga dalam UU No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan dan UU No. 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia.

C. Asas-Asas Eksekusi
1. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap

81
Suatu perkara perdata itu diajukan oleh pihak yang bersangkutan
kepada pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian.
Pemeriksaan perkara memang diakhiri dengan putusan, akan tetapi
dengan dijatuhkan putusan saja belum selesai persoalannya. Putusan itu
harus dapat dilaksanakan atau dijalankan (Sudikno M ertokusumo, 2002
: 239).
Oleh karena itu menurut M. Yahya Harahap, pada prinsipnya, hanya
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) yang dapat “dijalankan”. Kalau begitu, pada asasnya putusan
yang dapat dieksekusi ialah (M. Yahya Harahap, 2005 : 7) :
 Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (res
judicata);
 Karena hanya dalam putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap terkandung wujud hubungan hukum yang tetap (fixed)
dan pasti antara pihak yang berperkara ;
 Disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara
sudah tetap dan pasti :
- hubungan hukum tersebut mesti ditaati ; dan
- mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak tergugat)
 cara menaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan
dalam amar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap:
- dapat dilakukan atau dijalankan secara “sukarela” oleh
pihak tergugat ; dan
- bila enggan menjalankan secara “sukarela”, hubungan
hukum yang ditetapkan dalam putusan harus
dilaksanakan “dengan paksa” dengan bantuan “kekuatan
umum”.

Dikemukakan juga bahwa, dalam kasus-kasus tertentu, undang-


undang memperbolehkan eksekusi terhadap putusan yang belum
memperoleh kekuatan hukum tetap. Atau eksekusi dapat dijalankan
pengadilan terhadap bentuk produk tertentu di luar putusan.
Adakalanya eksekusi bukan merupakan tindakan menjalankan
putusan pengadilan, tetapi menjalankan pelaksanaan (eksekusi)
terhadap bentuk-bentuk produk yang “dipersamakan” undang-
undang sebagai putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap ( M. Yahya Harahap 2005 : 8-9).

82
Oleh karena itu, ada beberapa bentuk pengecualian yang dibenarkan
undang-undang yang memperkenankan eksekusi dapat dijalankan di
luar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Terhadap pengecualian dimaksud, eksekusi dapat dijalankan sesuai
dengan aturan tata cara eksekusi atas putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Di bawah ini akan dikemukakan
bentuk-bentuk pengecualian yang diatur dalam undang-undang ( M.
Yahya Harahap 2005 : 9-11) :
1) Pelaksanaan Putusan yang Dapat Dijalankan Lebih Dulu
2) Pelaksanaan Putusan Provisi
3) Akta Perdamaian
4) Eksekusi terhadap Grosse Akta
5) Eksekusi atas Hak Tanggungan (HT) dan Jaminan Fidusia (JF)

2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela


Sering terjadi bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan
putusan hakim secara sukarela sehingga diperlukan bantuan
pengadilan untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa
(Sudikno, 2002 : 240). Terkait hal ini, maka menurut Abdulkadir
Muhammad, apabila pihak yang kalah tidak mau atau lalai
melaksanakan putusan pengadilan, pihak yang menang dapat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
memutus perkara, baik secara liasan maupun secara tertulis agar
putusan pengadilan dilaksanakan (Abdulkadir Muhammad, 2000 :
197). Pada umumnya permohonan eksekusi diajukan secara tertulis,
karena ada lampiran-lampiran seperti putusan Pengadilan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap dan syarat-syarat lainnya.

3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnatoir


Tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan dalam arti kata yang
sebenarnya, yaitu secara paksa oleh pengadilan. Hanya putusan

83
condemnatoir sajalah yang dapat dilaksanakan (Abdulkadir
Muhammad, 2000 ; 239).
Dengan demikian, prinsip lain yang mesti terpenuhi, putusan tersebut
memuat amar “kondemnatoir” (condemnatoir). Hanya putusan yang
bersifat kondemnator yang bisa dieksekusi, yaitu putusan yang amar
atau diktumnya mengandung unsur “penghukuman”. Putusan yang
amar atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman, tidak
dapat dieksekusi atau “noneksekutabel” (M. Yahya Harahap 2005 : 7).
Contohnya adalah putusan yang bersifat declaratoir karena hanya
bersifat pernyataan saja.
Putusan condemnatoir (M. Taufik Makarao, 2004 : 216) bisa berupa
penghukuman untuk :
i. menyerahkan suatu barang;
ii. mengosongkan sebidang tanah;
iii. melakukan suatu perbuatan tertentu;
iv. menghentikan suatu perbuatan/keadaan;
v. membayar sejulah uang.

Jenis penghukuman di atas tergantung pada gugatan dan tuntutan


(petitum) yang diajukan pada pengadilan untuk diputus.

4. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan

Negeri

Pelaksanaan putusan dalam perkara pada tingkat pertama diperiksa


oleh pengadilan negeri adalah atas perintah dan atau dengan pimpinan
ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara
itu menurut cara yang diatur dalam pasaal-pasal berikut ini (Pasal 195
(1) HIR/206 (1) RBg) (M. Taufik Makarao, 2004 : 216-217).
Oleh karena itu, sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 195
ayat (1) HIR atau Pasal 206 ayat (1) RBg, menjalankan eksekusi
terhadap putusan pengadilan mutlak hanya diberikan kepada instansi
peradilan tingkat pertama, yakni Pengadilan Negeri. Pengadilan
Tinggi atau Mahkamah Agung tidak mempunyai wewenang

84
menjalankan eksekusi. Tidak menjadi soal apakah putusan yang
hendak dieksekusi itu merupakan hasil putusan Pengadilan Tinggi
atau Mahkamah Agung, eksekusinya tetap berada di bawah
kewenangan Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu dalam
tingkat pertama (M. Yahya Harahap 2005 : 19-20).
Dengan mengaitkan pasal-pasal dimaksud, gambaran konstruksi
hukum kewenangan menjalankan eksekusi dengan singkat dapat
dijelaskan sebagai berikut (M. Yahya Harahap 2005 : 21):
 Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan dan memimpin
jalannya eksekusi ;
 Kewenangan memerintahkan dan memimpin eksekusi yang ada
pada Ketua Pengadilan Negeri adalah secara ex officio ;
 Perintah eksekusi dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri
berbentuk “surat penetapan” (beschikking) atau decree (order) ;
 Yang diperintahkan menjalankan eksekusi ialah “Panitera” atau
“juru sita” Pengadilan Negeri.

Tanggungjawab ada pada Ketua Pengadilan sedangkan pelaksana


di lapangan adalah jurusita yang ditunjuk Panitera.

D. Jenis-jenis Eksekusi
Ada 3 macam eksekusi yang dikenal oleh hukum acara perdata
(Ny. Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, 2002 : 130)
yaitu :
1. Eksekusi yang diatur dalam Pasal 196 H.I.R. dan seterusnya dimana
seorang dihukum untuk membayar sejumlah uang.
2. eksekusi yang diatur dalam Pasal 225 H.I.R., dimana seorang dihukum
untuk melaksanakan suatu perbuatan.
3. eksekusi riil, yang dalam praktek banyak banyak dilakukan akan
tetapi tidak diatur dalam H.I.R.
Eksekusi membayar sejumlah uang diatur dalam Pasal 208 RBg.
Seorang yang dihukum untuk membayar sejumlah uang kepada
lawannya, apabila tidak dilaksanakan dengan sukarela, dan apabila
sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan atas barang-
barang bergerak dan tidak bergerak milik pihak yang kalah, maka setelah

85
sita itu dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial.
Selanjutnya eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang-barang
milik orang yang dikalahkan tersebut, sehingga mencukupi jumlah uang
yang harus dibayarkan dalam putusan dan ongkos-ongkos eksekusi
lainnya.
Eksekusi melakukan suatu perbuatan diatur dalam Pasal 259 RBg.
Pasal ini mengatur tentang seseorang yang dihukum untuk melakukan
suatu perbuatan, misalnya memperbaiki pagar atau pintu rumah yang
dirusaknya. Namun umumnya apa yang harus dilakukan ini dinilai
dengan uang sebagai pengganti melakukan suatu perbuatan, sehingga
cukup dibayar dengan sejumlah uang saja. Disamping itu juga sebagai
sanksi untuk setiap kali terlambat membayar jumlah uang tersebut, maka
diminta juga uang paksa setiap hari untuk keterlambatan memenuhi
prestasi tersebut.
Mengenai eksekusi riil ini tidak diatur dalam HIR. Namun Pasal
200 ayat ke 11 yang mengatur lelang menyebut eksekusi riil bahwa “jika
perlu dengan pertolongan Polisi, barang tetap itu ditinggalkan dan
dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya, serta oleh sanak
saudaranya”.
Contohnya adalah mengenai pengosongan rumah/tanah.
Disamping 3 jenis eksekusi di atas, masih dikenal apa yang disebut parate
eksecutie atau eksekusi langsung. Parate eksekusi terjadi apabila seorang
kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai
titel eksekutorial (Pasal 1155 KUH Perdata).
E. Apa yang dapat dieksekusi
Yang dapat dilaksanakan atau dieksekusi terutama adalah salinan
putusan pengadilan. Selain itu salinan putusan yang dapat dijalankan oleh
Pengadilan Negeri adalah putusan Pengadilan Agama, putusan P4D atau
P4P setelah memperoleh fiat dari pengadilan Negeri setempat. Putusan
arbitrase juga dapat dilaksanakan (Pasal 440 Rv).
Disamping itu salinan atau grosse dari akta hipotik (Sekarang Hak
Tanggungan) dan akta notaril yang memakai kepala akta “Demi Keadilan

86
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 224 HIR/258 RBg), Akta
ini harus berisi kewajiban membayar sejumlah uang.

F. Syarat, Prosedur dan Sanksi Eksekusi (Hak Tanggungan) melalui


Pengadilan Negeri
Dalam hubungan utang piutang yang dijamin maupun tidak dijamin
dengan Hak Tanggungan, jika debitor cidera janji eksekusi dilakukan
melalui gugatan perdata menurut Hukum Acara Perdata yang berlaku.
Perlu diketahui bahwa penyelesaian utang piutang yang bersangkutan
melalui acara ini memerlukan waktu, karena pihak yang dikalahkan
ditingkat Pengadilan Negeri dapat mengajukan banding, kasasi, bahkan
masih terbuka kesempatan untuk meminta peninjauan kembali
(Purwahid Patrik dan Kashadi, : 84-85).
Namun demikian untuk eksekusi Hak Tanggungan tidak perlu melalui
suatu gugatan lagi di Pengadilan Negeri, tetapi cukup memohon eksekusi
saja berdasar Pasal 20 ayat (1) b UUHT jo. Pasal 26 UUHT.
Untuk memohon fiat eksekusi ke Pengadilan Negeri, syarat nya adalah
terjadi cidera janji oleh debitor.
Permohonan eksekusi diajukan kreditor/bank kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang berwenang untuk melaksanakan eksekusi penjualan atas
objek Hak Tanggungan dari debitor sebagai termohon eksekusi.
Pada umumnya dalam permohonan eksekusi Hak Tanggungan ini,
pemohon eksekusi/bank sudah melampirkan perjanjian kreditnya,
perjanjian jaminan Hak Tanggungan, sertifikat Hak Tanggungan,
perhitungan besar hutang termohon eksekusi termasuk di dalamnya
hutang pokok dan bunga serta denda) dan surat-surat somasi kepada
debitor/termohon eksekusi dan surat lain yang dianggap perlu sebagai
syarat pelaksanaan eksekusi.
Setelah permohonan eksekusi Hak Tanggungan dan syarat-syaratnya
diajukan oleh kreditor/bank sebagai pemohon eksekusi, maka Ketua
Pengadilan Negeri akan mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
1. Peringatan (aanmaning)

87
Ketua Pengadilan akan memanggil termohon eksekusi untuk
diberi peringatan pada hari, tanggal, dan jam yang ditentukan.
Peringatan atau aanmaning merupakan tindakan dan upaya yang
dilakukan Ketua Pengadilan Negeri berupa “teguran” kepada tergugat
agar menjalankan isi putusan pengadilan dalam tempo yang
ditentukan oleh Ketua Pengadilan Negeri (M. Yahya Harahap 2005 :
30). Mengenai batas tenggang waktu untuk memenuhi prestasi yang
ditetapkan adalah 8 (delapan) hari sejak diberi teguran oleh Ketua
Pengadilan Negeri, seperti diatur dalam Pasal 196 HIR/ 207 RBg.

2. Surat Perintah Eksekusi


Bila peringatan ini tidak dihiraukan atau tidak dilaksanakan bahkan
tidak datang pada saat yang ditentukan untuk diberi teguran, maka
Ketua Pengadilan Negeri akan mengeluarkan surat perintah eksekusi.
Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat penetapan yang berisi
perintah kepada panitera atau jurusita untuk menjalankan eksekusi
sesuai amar putusan. Demikian ketentuan yang diatur Pasal 197 ayat
(1) HIR atau Pasal 208 ayat (1) RBg (M. Yahya Harahap 2005 : 36).
Berdasar surat penetapan ini, maka jurusita melaksanakan sita atas
barang jaminan Debitor.

3. Sita eksekusi
Sita eksekusi dilakukan untuk memperoleh hasil jika eksekusi
dilaksanakan maupun untuk mencegah yang merasa berkepentingan
atau orang lain untuk mengganggunya (Djazuli Bachar : 57).
Manfaatnya adalah untuk mengamankan barang milik debitor
sebelum dilelang.
Pelaksanaan putusan Pengadilan dilakukan dengan penyitaan harta
kekayaan milik pihak yang kalah. Menurut ketentuan Pasal 197 HIR,
208-212 RBg penyitaan dilakukan oleh panitera atau penggantinya
dengan dibantu oleh 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat

88
menurut undang-undang (Abdulkadir Muhammad 2002: 199).
Demikian juga dengan tanah yang dijaminkan akan disita dan bila
nilainya tidak mencukupi setelah ditaksasi, maka akan dilakukan sita
terhadap barang bergerak milik tereksekusi atau penjamin hutang.
Setelah pelaksanaan sita eksekusi, kemudian dibuat berita acara
penyitaannya oleh panitera yang ditandatanganinya bersama saksi-
saksi.

4. Pelelangan
Dalam Pasal 200 HIR diatur penjualan barang sitaan melalui lelang.
Pada prinsipnya, penjualan di muka umum harus dilakukan dengan
perantaraan kantor lelang seperti yang tercantum dalam reglement
lelang. Bahkan suatu penjualan umum yang tidak lewat kantor lelang
dapat dihukum (RMJ Koesmargono dan M. Dja’is, 2005 : 158).
Pelelangan dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, hanya saja tetap
memakai pejabat lelang dari KP2LN (sekarang KPKNL), sebagai
pejabat yang berwenang untuk pelaksanaan lelang.
Oleh karena itu setelah sita dilaksanakan, maka Ketua Pengadilan
Negeri menyurati kepala KP2LN (KPKNL) untuk memberitahukan
rencana lelang dan sekaligus mengusulkan waktu pelaksanaan lelang,
agar Pejabat Lelang yang ditugaskan mengetahuinya. Disamping itu
jaminan tanah dan benda lain yang akan dilelang sudah ditentukan
nilai limitnya terlebih dahulu.
Sesuai ketentuan dalam Pasal 200 ayat (7) HIR, maka formalitas yang
dilalui adalah sebelum dilakukan pelelangan umum objek Hak
Tanggungan, maka Pengadilan Negeri akan mengumumkan terlebih
dahulu objek Hak Tanggungan yang akan dilelang melalui Harian
atau media setempat 2 (dua) kali dangan selang waktu 15 hari.
Pelelangan akan dilaksanakan di Pengadilan Negeri sesuai hari,
tanggal dan jam yang sudah diumumkan melalui Harian atau media
setempat.

89
Setelah pelelangan dilaksanakan, maka akan dibuat berita acara
eksekusi. Walaupun berita acara hanya disinggung sepintas lalu dalam
Pasal 197 ayat (5) HIR atau Pasal 209 ayat (4) RBg, namun di situ
diperintahkan secara tegas pejabat yang menjalankan eksekusi
“membuat” berita acara eksekusi. Oleh karena itu tanpa berita acara,
eksekusi dianggap tidak sah RBg (M. Yahya Harahap 2005 : 38)
Dengan demikian pembuatan berita acara atau risalah lelang
merupakan keharusan dengan memperhatikan dokumen-dokumen
yang mendasari pelaksanaan lelang.
Surat-surat yang harus dicantumkan dalam Bagian Kepala Risalah
lelang pada setiap lelang eksekusi Pengadilan menurut Kantor Lelang
Negara (Djazuli Bachar : 67-68) adalah :
 surat permintaan lelang;
 salinan putusan/penetapan Pengadilan Negeri mengenai
perkara yang bersangkutan;
 salinan penetapan sita;
 salinan berita acara sita;
 salinan penetapan lelang;
 salinan surat pemberitahuan lelang kepada yang
bersangkutan;
 perincian hutang termasuk biaya-biaya yang harus dibayar
oleh yang bersangkutan;
 untuk barang tidak bergerak diperlukan sertifikat, jika tidak
ada diperlukan keterangan lurah/Kepala Desa yang
diperkuat oleh Camat setempat, memuat antara lain status,
batas-batas, kepunyaan siapa persil tersebut;
 surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) dari Kantor
Agraria (Pendaftaran Tanah) setempat (Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1961);
 bukti pengumuman lelang di surat kabar oleh Pengadilan
khususnya barang tidak bergerak pengumuman dilakukan 2
(dua) kali berulang 15 hari (Pasal 200 ayat (8) HIR/Pasal 217
ayat (3) RBg.);
 surat-surat lelang dari penjual (khususnya barang tidak
bergerak).

Jadi Penjualan/pelelangan ini ada 2 macam yaitu:


1. penjualan dengan perantaraan Kantor Lelang
(Pasal 200 ayat 1 HIR/Pasal 215 ayat 1 RBg).

90
2. penjualan oleh orang yang melakukan penyitaan
atau orang yang ditetapkan secara khusus oleh
Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 200 ayat 2 RBg.
Disamping eksekusi yang dilakukan melalui Pengadilan Negeri, khusus
menyangkut piutang negara ada lembaga PUPN yang bertugas
menangani eksekusinya. Prosedur eksekusinya adalah sebagai berikut :
1. Penyerahan Piutang Negara
Piutang Negara yang telah macet sama sekali, harus segera diserahkan
urusan penyelesaiannya kepada PUPN, jika tidak maka PUPN berhak
mengambil alih persoalannya (Mariam Darus Badrulzaman, 1983 : 154).
Penyerahan pengurusan piutang negara kepada PUPN dapat dilakukan oleh
Kreditor/Bank dengan syarat harus diselesaikan sendiri dengan debitornya
terlebih dahulu, bila tidak berhasil barulah diserahkan ke PUPN Cabang. Jika
upaya-upaya yang telah ditempuh tidak juga berhasil, diserahkan
pengurusannya kepada kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Penyerahan
pengurusan piutang negara tersebut dilakukan secara tertulis oleh Penyerah
Piutang kepada Panitia Urusan Piutang Negara (H.R. Daeng Naja, : 354).
Sutarno juga mengemukakan bahwa bank/kreditor wajib menyerahkan kredit
macet kepada DJPLN dalam hal ini kepada Panitia Pengurusan Piutang Negara
Cabang melalui Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) di
daerah masing-masing sesuai wilayah kerjanya. Penyerahan dilakukan secara
tertulis disertai resume yang memuat berbagai informasi dan dokumen-dokumen
perjanjian kredit dan jaminan. Besarnya kredit macet yang dapat diserahkan
pengurusannya kepada Panitia Cabang (KP2LN) paling sedikit Rp 2.000.000,-
(dua juta rupiah). Namun batas dua juta rupiah ini tidak berlaku bagi piutang
pemerintah dan lembaga negara baik tingkat pusat maupun daerah (Sutarno,
.......: 396).
Dokumen-dokumen yang dilampirkan dalam penyerahan pengurusan
Piutang Negara sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (3) SK Menkeu No.
300/KMK.01/2002 adalah sebagai berikut:
a. Perjanjian Kredit, akta pengakuan hutang, perubahan perjanjian, keputusan
yang diterbitkan pejabat yang berwenang, peraturan, kontrak, surat perintah
kerja, dan atau dokumen lain yang sejenis yang membuktikan besarnya
piutang;
b. Rekening koran, prima nota, faktur, dokumen sejenis yang membuktikan

91
besarnya hutang.
c. Dokumen barang jaminan serta pengikatannya dan Surat Pernyataan
Kesanggupan Penyerah Piutang untuk mengajukan permohonan roya
dalam hal piutang yang diserahkan didukung dengan barang jaminan; dan
d. Surat menyurat antara Penyerah Piutang dengan Penanggung Hutang dan
atau Penjamin Hutang yang berkaitan dengan upaya-penyelesaian
hutang.

Apabila KP2LN menilai informasi yang disampaikan dalam resume


masih belum lengkap dan membutuhkan penjelasan maka KP2LN dapat
meminta Kreditor/penyerah piutang untuk melengkapi data-data dan kalau
perlu dapat memberikan penjelasan/ekspose serta melakukan penelitian
lapangan.

2. Penelitian
Terhadap penyerahan pengurusan piutang dari Kreditor tersebut
diatas, KP2LN mengadakan penelitian dan hasil penelitian dituangkan
dalam Resume Hasil Penelitian Kasus.
Apabila ternyata jumlah hutang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku
pihak Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara akan
mengkomfirmasikan kembali kepada penyerah piutang (H.R. Daeng
Naja, : 346). KP2LN dapat memberikan koreksi tersendiri bila waktu yang
diberikan kepada penyerah piutang sudah lewat.
Bila Panitia Cabang (Ketua PUPN Cabang) menetapkan bahwa berkas
penyerahan Kreditor tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan dan dapat
dibuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara, Panitia Cabang menerima
penyerahan pengurusan Piutang Negara dengan menerbitkan Surat
Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N). Tetapi jika Panitia
cabang menyatakan penyerahan pengurusan Piutang Negara tidak
memenuhi syarat karena tidak dapat dibuktikan adanya dan besarnya
Piutang Negara maka Panitia Cabang menolak penyerahan pengurusan
Piutang Negara dengan menerbitkan Surat Penolakan Pengurusan Piutang
Negara (H.R. Daeng Naja, : 399). Dengan dikeluarkannya SP3N oleh
Panitia Cabang, maka pengurusan Piutang Negara beralih dari
Kreditor/Bank kepada Panitia cabang dan penyelenggaraannya dilakukan
oleh KP2LN. Oleh karena itu Kreditor/Bank wajib menyerahkan

92
dokumen-dokumen asli Barang Jaminan kepada Panitia cabang melalui
KP2LN.
3. Panggilan

Setelah Panitia Cabang menerbitkan SP3N, maka Kantor

Pelayanan melakukan pemanggilan secara tertulis kepada penanggung

hutang dalam rangka penyelesaian hutang (Pasal 33 SK Menkeu No.

300/KMK.01/2002)

Dalam hal Penanggung hutang tidak memenuhi panggilan, Kantor

Pelayanan melakukan panggilan terakhir secara tertulis paling lambat

dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal menghadap yang

ditetapkan dalam surat panggilan (Pasal 38 SK Menkeu No.

300/KMK.01/2002).

Panggilan dapat dilakukan melalui pengumuman lewat media yang ada

bila Penangung Hutang menghilang atau tidak diketahui tempat

tinggalnya di Indonesia.

4. Pernyataan Bersama
Apabila debitor memenuhi panggilan PUPN, maka dilakukan
wawancara mengenai besarnya hutang dan tata cara penyelessiannya. Hasil
wawancara dituangkan dalam Berita Acara Tanya Jawab yang ditandatangani
oleh debitor dan Ketua PUPN atau pejabat yang ditunjuk dengan disaksikan
oleh dua orang saksi. Berdasarkan Berita Acara tersebut kemudian dibuat
Surat Pernyataan Bersama yang ditandatangani debitor, Ketua Panitia Cabang
dan dua orang saksi yang telah dewasa. Pada kepala Surat Pernyataan Bersama
tersebut diberi irah-irah” Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”, sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial (M. Khoidun, : 39-40).
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 55 SK Menkeu/KMK.01/2002 bahwa:
Pernyataan Bersama mempunyai kekuatan yang sama seperti putusan hakim
dalam perkara perdata yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

93
Jika tidak dapat dibuat Surat Pernyataan bersama, PUPN secara
sepihak berwenang menerbitkan Surat Penetapan Jumlah Piutang Negara yang
wajib dilunasi oleh debitor dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh
PUPN (M. Khoidin, : 40). Tindakan penetapan secara paksa ini dilakukan
agar proses pengurusan berjalan terus.

5. Surat Paksa
Debitor yang telah menandatangani Pernyataan Bersama tetapi tidak
menyelesaikan pembayaran Piutang Negara seperti ditetapkan dalam
Pernyataan Bersama atau Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN) telah
diterbitkan maka tindakan yang dilakukan KP2LN adalah mengeluarkan
Surat Paksa yang ditandatangani Ketua Panitia Cabang (Sutarno, : 405).
Surat Paksa adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Ketua Panitia
Cabang kepada Penanggung Hutang untuk membayar sekaligus seluruh
hutangnya dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
terhitung sejak tanggal diberitahukan (Pasal 1 angka 14 SK Menkeu No.
300/KMK.01/2002).
Pemberitahuan Surat Paksa ini dituangkan dalam Berita Acara yang
ditandatangani o!eh Jurusita Piutang Negara, saksi-saksi dan Penanggung
Hutang atau penerima Surat Paksa.
2.6. Penyitaan
Jika debitor tidak dapat memenuhi isi surat paksa, akan dilakukan
penyitaan barang jaminan/harta kekayaan lain yang selanjutnya akan
dijual melalui lelang untuk pelunasan hutang-hutangnya (H.R. Daeng
Naja, : 347). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sutarno bahwa
penyitaan dilaksanakan terhadap barang jaminan milik Debitor dan atau
milik Penjamin Hutang. Bila barang jaminan tidak ada atau ada tetapi
nilainya diperkirakan tidak melunasi sisa hutang, penyitaan dapat
dilakukan terhadap Harta Kekayaan Lain. Penyitaan Barang Jaminan dan
Harta Kekayaan Lain dilakukan oleh Jurusita Piutang Negara berdasarkan
Surat Perintah Penyitaan dan disaksikan sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi. Jurusita dalam melakukan penyitaan akan memberitahukan
kepada Debitor dan atau Penjamin Hutang sebagai pemilik barang/harta
yang disita (Sutarno, : 406). Setelah pelaksanaan penyitaan oleh Jurusita

94
akan dibuat Berita Acara Penyitaan yang ditandatangani Jurusita Piutang
Negara, saksi-saksi dan Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang.
Penyitaan yang telah dilaksanakan didaftarkan kepada instansi yang
berwenang, sepanjang barang yang disita sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku wajib didaftarkan (Pasal 182 SK
Menkeu No. 300/KMK.01/2002).
2.7. Lelang
Peraturan lelang/Vendureglement sudah diberlakukan di Indonesia sejak
tahun 1908 yang kemudian diatur secara khusus dengan SK Menkeu untuk piutang-
piutang negara.
Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum baik secara
langsung maupun melalui media elektronik dengan cara penawaran harga secara
lisan dan atau tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan peminat (Pasal 1
angka 1 SK Mekeu No. 304/KMK.01/2002)
Lelang ini diklasifikasi menjadi dua yaitu lelang eksekusi dan lelang non eksekusi.
Menurut M. Yahya Harahap (2005 : 116-117) lelang eksekusi merupakan penjualan
umum untuk melaksanakan atau mengeksekusi putusan atau penetapan pengadilan
atau dokumen yang dipersamakan dengan putusan pengadilan, seperti Hipotek, Hak
Tanggungan (HT), Jaminan Fidusia (JF). Sedangkan Lelang non eksekusi
merupakan penjualan di muka umum di luar pelaksanaan putusan atau penetapan
pengadilan yang terdiri dari :
(1) lelang barang milik/dikuasai negara;
(2) lelang sukarela atas barang milik swasta.
Lelang eksekusi ini merupakan langkah yang ditempuh oleh Panitia Cabang
dengan cara menerbitkan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan apabila setelah
dilakukan penyitaan Penanggung Hutang tidak menyelesaikan hutangnya.
Dalam Pasal 245 ayat (1) SK Menkeu No. 300/KMK.01/2002
disebutkan bahwa Surat Perintah Penjualan Barang sitaan ini memuat
sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:
a. Pertimbangan hukum diterbitkannya Surat Perintah Penjualan Barang
Sitaan.
b. Dasar hukum penerbitan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan.
c. Perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk melaksanakan
Lelang.
d. Uraian barang sitaan yang akan dilelang.

95
e. Tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Penjualan Barang
Sitaan.
f. Tanda tangan Panitia Cabang.

G. Paksa Badan
Dalam HIR/RBg dikenal adanya lembaga sandera. Penyanderaan
(gijzeling, hostaging) adalah suatu lembaga yang digunakan untuk
memaksa orang yang kalah perkaranya memenuhi prestasi yang
dibebankan kepadanya berdasarkan putusan hakim, dengan jalan
mengurungnya dalam penjara (Abdulkadir Muhammad, SH., 2000: 206).
Lembaga ini diatur dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 242 HIR.
Namun dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1964
tanggal 22 Februari 1964 diminta kepada para hakim supaya tidak
menerapkan lagi peraturan tentang penyanderaan ini, karena
bertentangan dengan perikemanusiaan.
Dengan dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 2000 Pasal 10 mencabut dan
menyatakan tidak berlaku lagi SEMA No. 2 Tahun 1964 dan SEMA No. 4
Tahun 1975. Oleh karena itu, istilah gijzeling perlu disempurnakan
menjadi istilah Paksa Badan, sebagaimana terkandung dalam pengertian
imprisonment for civil debts yang berlaku universal. Jadi, Paksa badan
merupakan tindakan yang ditimpakan kepada jasad atau tubuh debitur
sebagai tekanan atau desakan agar memenuhi kewajiban (liability)
membayar utang yang diperintahkan putusan atau penetapan pengadilan
M. Yahya Harahap, 2005 : 446) .
Yang dapat dikenakan paksa badan :
1. terbatas pada debitor yang beriktikad tidak baik.
2. Debitor yang berusia 75 tahun tidak dapat dikenakan paksa
badan.
3. Paksa badan dapat dikenakan terhadap Penanggung Hutang
atau Penjamin.
4. Paksa Badan dapat dikenakan terhadap ahli waris debitor
5. Paksa Badan dapat dikenakan terhadap ahli debitor yang
mempunyai utang minimal Rp. 1 miliar

96
Lamanya Paksa Badan adalah minimal selama 6 bulan dan maksimal 3
tahun (Pasal 5 Perma). Permintaan Paksa Badan merupakan gugatan
tambahan yang diputus bersama-sama dengan putusan pokok perkara
(Pasal 6 Perma).

H. Perlawanan terhadap eksekusi


Terhadap pelaksanaan putusan hakim yang berupa penyitaan barang
milik pihak yang kalah, dapat diajukan perlawanan apabila ada alasan.
Perlawanan itu dapat diajukan oleh pihak yang kalah dan dapat juga
diajukan oleh pihak ketiga. Apabila perlawanan itu diajukan oleh pihak
yang kalah, ia harus mengemukakan alasan-alasan yang dapat diterima,
misalnya putusan hakim itu sudah dipenuhi.
Pihak ketiga dapat melakukan perlawanan terhadap penyitaan itu
apabila ternyata barang yang disita itu adalah miliknya dan dia dapat
membuktikan hak miliknya itu (Abdulkadir Muhammad, SH., 2000 : 210).
Perlawanan dari pihak yang kalah atau dari pihak ketiga ini diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam wilayah hukum di mana
penyitaan dilakukan. Perlawanan ini dapat diajukan secara lisan atau
tertulis. Perlawanan ini akan diperiksa lebih dahulu oleh Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk diputuskan setelah
mendengar kedua belah pihak. Namun pelelangan atau barang sitaan
tetap dilakukan kecuali Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan supaya
ditangguhkan pelelangan sampai dijatuhkan putusan terhadap
perlawanan itu.

I. Penundaan eksekusi
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan tidak ada alasan untuk penundaan
eksekusi, karena sebagaimana dikatakan diatas, tidak ada alasan untuk menunda
pelaksanaan eksekusi meskipun ada perlawanan. Namun dalam praktek pada
kasus-kasus tertentu terdapat alasan-alasan penundaan eksekusi, antara lain
(Moch. Taufik Makarao, 2004 : 235- 237) :
1. alasan perdamaian yang dibuat para pihak;
2. alasan perikemanusiaan;

97
3. alasan perlawanan pihak ketiga;
4. barang yang menjadi objek eksekusi masih dalam proses perkara lain;
5. adanya Peninjauan Kembali;

J. Eksekusi yang tidak dapat dijalankan (Noneksekutabel)


Ada kemungkinan eksekusi tidak dapat dilaksanakan berdasarkan alasan-
alasan hukum dan fakta-fakta yang terdapat dalam praktek (Moch. Taufik
Makarao, 2004 : 239).
M. Yahya Harahap (2005 : 335) mengemukakan bahwa alasan-alasan yang
dapat dijadikan dasar noneksekutabel yang diambil dari pengamatan
praktek, dan telah menjadi patokan dalam menghdapi kasus-kasus non
eksekutabel. Alasan yang disebutkan antara lain :
1. harta kekayaan tidak ada;
2. putusan bersifat deklaratoir;
3. barang objek eksekusi di tangan pihak ketiga;
4. eksekusi terhadap penyewa, noneksekutabel;
5. barang yang hendak dieksekusi, dijaminkan kepada pihak ketiga;
6. Tanah yang hendak dieksekusi tidak jelas batasnya;
7. perubahan status tanah menjadi milik negara;
8. barang objek eksekusi berada di luar negeri;
9. dua putusan yang saling berbeda;
10. eksekusi terhadap harta kekayaan bersama.

98
DAFTAR PUSTAKA

Bachar Djazuli. Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum dan Penegakan
Hukum. Jakarta: Akademika Presindo.

Daud. A. Wahab, 2000. Praktek Hukum Perdata. Jakarta : Pusbakum.

Fauzan, Achmad. 2004. Himpunan Undang-Undang Lengkap tentang Badan


Peradilan. Bandung : Yrama Widya.

Harahap, M. Yahya. 2005. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang


Perdata. Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

-----------------------. 2005. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,


Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan.
Jakarta: Sinar Grafika.

Khoidun, M.2005. Problematika Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan.


Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

---------------------. Dimensi Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah. Yogyakarta:


LaksBang.

99
Koosmargono, RMJ. Dan Mochammad Djai’s. 2005. Membaca dan Mengerti
HIR. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Makaro, Moh. Taufik. 2004. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta:


Rineka Cipta.

Mertokusumo, Sudikno. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:


Liberty.

Muhammad, Abdulkadir. 2000. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: PT.


Citra Aditya Bakti.

Muljono Eugelina Liliawati dan Amin Widjaja Tunggal. 1996. Eksekusi Grosse
Akta Hipotik Oleh Bank. Jakarta: Rineka Cipta.

Patrik, Purwahid dan Kashadi. 2002. Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan
UUHT. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Prodjodikoro, Wirjono. 1961. Hukum Atjara Perdata Di Indonesia. Bandung:


Sumur

--------------------------. 2000. Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang dari


sudut Hukum Perdata. Bandung: Mandar Maju.

Rasaid, M. Nur. 2003. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika

Sasangka Hari dan Ahmad Rifai. 2005. Perbandingan HIR dengan RBG
Disertai dengan Yurisprudensi MARI dan Kompilasi Peraturan
Hukum Acara Perdata. Bandung: Mandar Maju.

Setiawan Rachmat. 1982. Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum.


Bandung: Alumni.

Situmorang, Victor M. Dan Cormentyna Sitanggang. 1993. Grosse Akta dalam


Pembuktian dan Eksekusi Jakarta: Rineka Cipta.

Soemitro, H. Rochmat. 1987. Peraturan Dan Instruksi Lelang. Bandung:


Eresco.

Soeroso, R. 1994. Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara Dan Proses
Persidangan. Jakarta: Sinar Grafika.

Soepomo, R. 1989. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya


Paramita.

Subekti. R. 1977. Hukum Acara Perdata. Bandung: Binacipta

100
------------. 1995. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita.

Suparni, Niniek. 2000. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Rineka


Cipta

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. 2002. Hukum Acara


Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.

Syahrani, H. Riduan. 2000. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata.


Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Widyadharma, Ignatius Ridwan. 1982. Sedikit tentang Hukum Jaminan Di


Indonesia. Semarang: PT. Tanjung Mas

101

Anda mungkin juga menyukai