Anda di halaman 1dari 16

HUKUM ACARA PERDATA

I. Pengertian Hukum Acara Perdata

Hukum acara mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakan hukum
materiil

dalam hal apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum materiil.

Hukum acara perdata secara umum yaitu peraturan hukum  yang mengatur proses
penyelesaian

perkara perdata melalui hakim ( di pengadilan ) sejak diajukan gugatan, dilaksanakanya


gugatan,

sampai pelaksanaan putusan hakim.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan yang memuat

cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana

pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalanya peraturan
hukum

perdata.

Hukum  acara perdata juga disebut hukum perdata formil, yaitu  semua kaidah hukum yang

menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban

perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil.

Hukum acara perdata menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. ialah peraturan hukum
yang

mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara

hakim. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya

menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Hukum acara perdata yang mengatur
bagaimana

caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan dari pada

putusanya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperolah

perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” atau

tindakan menghakimi sendiri.


Contohnya data kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, dalam pertauran ada ketentuan yang

menetapkan bahwa apabila dahan-dahan, ranting-ranting atau akar-akar dari pohon


pekarangan

seseorang tumbuh menjalar diatas atau masuk kepekarangan tetangganya, maka yang terakhir
ini

                                                         

  Ny. Retno Wulan S dan iskandar O, Hukum acara perdata dalam teori dan praktek, hal 1 dan
2.dapat memotongnya menurut kehendak sendiri setelah tetangga pemilik pohon menolak
atas

permintaanya untuk memotongnya. ( ps.666 ayat 3 B.W. )

Tuntutan hak yang seperti diatas diuraikan sebagai tindakan yang bertujuan memperoleh

perlindungan hukum yang di berikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” , ada
dua

macam yaitu tuntutan hak yang mengandung sengketa yang disebut gugatan, dimana terdapat

sekurang-kurangnya dua pihak dan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang
disebut

permohonan, dimana hanya ada satu pihak saja.

Peradilan dibagi menjadi dua, yaitu peradilan volunter yang disebut juga peradilan sukarela
atau

peradilan yang tidak sesungguhnya dan peradilan contentieus atau peradilan sesungguhnya.

Tuntutan hak yang merupakan permohonan yang tidak mengandung sengketa termasuk
dalam

peradilan volunter sedangkan gugatan termasuk peradilan contentieus.

Dalam sifat hukum acara perdata bahwa orang yang merasa haknya dilanggar disebut
penggugat

sedang bagi orang yang ditarik kemuka pengadilan karena ia dianggap melanggar hak
seseorang

atau beberapa orang itu disebut dengan tergugat.

Penggugat adalah seorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang

“dirasa” melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara kedepan hakim.
II. Sumber Hukum Acara Perdata

Secara sederhana, sumber hukum dapat diartikan tempat kita menemukan hukum. Namun,

menurut algra sumber hukum dibagi menkadi dua, yaitu  sumber hukum formil dan sumber

hukum materil.

1. Sumber  hukum dalam arti  materiil (welbron),  adalah sumber sebagai penyebab

adanya hukum atau sumber yang menentukan isi hukum.

2. Sumber hukum dalam arti formil (kenbron), adalah sumber hukum yang dikenal dari

bentuknya yang menyebabkan ia berlaku umum, mengikat, dan ditaati.

Sumber-sumber Hukum Acara Perdata diantaranya :

1. UUD 1945.

2. Reglement Op de Burgelijke Rechtsvordering (Rv).BRv/Rv adalah hukum perdata eropa


yang dibawa oleh belanda ke Indonesia. Tapi ternyata tidak

cocok dengan Indonesia, oleh karena itu kemudian diadakan penyesuaian-penyesuaian dan

dibentuklah HIR. Kemudian setelah beberapa lama, terjadi ketidak sesuaian dengan daerah
luar

Jawa dan Madura, maka dibentuklah RBg.

HIR berlaku untuk orang-orang di Jawa dan Madura sedangakan untuk orang-orang di luar
Jawa

dan Madura berlaku RBg. Pasal 188- pasal 194 HIR mengenai banding diganti dengan UU
No.

20 tahun 1947. Sedangkan dalam RBg tidak ada penghapusan/penggantian pertauran


mengenai

banding. Dengan kata lain, mengenai banding terdapat dualism hukum yaitu untuk orang-
orang

diluar jawa dan Madura menggunakan RBg dan untuk orang-orang di jawa dan Madura

menggunakan UU No. 20 tahun 1947.

3. Hierzeine Indinesische Reglement (HIR).

4. Reglement Voor de Buitendewesten (R.Bg).

5. BW (KUHPerdata).
Berdasarkan pasal 5 ayat 1 UUDar. 1/1951, maka hukum acara perdata pada pengadilan
negeri

dilakukan dengan memperhatikan ketentuan UUDar. Yang dimaksud dengan UUDar. 1/1951

tersebut adalah Het Herziene Indoneisch Reglement (HIR) untuk daerah jawa dan madura,
dan

rechtsreglement Buitengewesten (Rbg.) untuk luar jawa dan madura ( S.E.M.A. 19/1964 dan

3/1965 menegaskan berlakunya HIR dan Rbg ).

RO atau Reglemen tentang Organisasi Kehakiman: S.1847 no. 23 dan BW buku IV sebagai

sumber juga dari pada hukum juga dari pada hukum acara perdata dan selebihnya terdapat

tersebar dalam BW.

6. UU No. 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.

7. UU No. 27 tahun 1947 tentang peradilan ulangan (banding) di Jawa dan Madura.

8. UU No. 18 tahun 2003 tentang advokat.

9. UU No. 48 tahun 2009

10. UU No. 1 tahun 1951

11. PP 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

12. UU No. 3 tahun 2009 Jo UU No. 14 tahun 1985 Jo UU No.5 tahun 2004.13. UU No.11
tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.

14. Yurisprudensi

Yurisprudensi  atau putusan putusan Hakim yang telah berkembang dan sudah pernah di

putus di  Pengadilan. Atau yurisprudensi juga dapat diartikan sebagai putusan hakim

terdahulu yang sudah memiliki kekuatan mengikat dan diikuti oleh hakim-hakim sesudahnya

apabila terdapat kasus yang sama.  Menurut  S.J.F. Andreae dalam  rechtgeleerd

handwoordenboek, yurisprudensi dapat berarti juga peradilan pada umumnya dan ajaran

hukum yang diciptakan dan dipertahankan oleh peradilan.

15. Adat Kebiasaan.

Wirjono Prodjodikoro menyebutkan juga adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam

melakukan pemeriksaan perkara perdata,  sebagai sumber dari pada hukum acara perdata.
Hukum acara perdata dimaksudkan untuk menjamin dilaksanakanya atau ditegakanya hukum

perdata materiil, yang berarti mempertahankan tata hukum perdata, maka pada asasnya

hukum acara perdata bersifat mengikat dan memaksa. Adat kebiasaan hakim yang tidak

tertulis dalam melakukan pemeriksaan, tidak akan menjamin kepastian hukum.

16. Doktrin.

Doktrin adalah ajaran atau pendapat para sarjana hukum terkemuka. Doktrin menjadi sumber

hukum dikarenakan adanya pendapat umum yang mennyatakan bahwa manusia tidak boleh

menyimpang dari Communis Opinion Doctorum (pendapat umum para sarjana). Oleh karena

itulah doktrin mempunyai kekuatan mengikat. Tetapi doktrin itu sendiri bukanlah hukum.

Instruksi dan surat edaran merupakan sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara

perdata maupun hukum perdata materiil. Doktrin maka instruksi dan surat edaran bukanlah

hukum, melainkan sumber hukum : bukan dalam  darti tempat kita menemukan hukum,

melainkan tempat kita menggali hukum

17. Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung.

18. Perjanjian Internasional.Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua orang/lebih yang
bersepakat untuk menimbulkan

akibat hukum. Unsur-unsur perjanjian diantaranya :

1. Essentialia (syarat sahnya perjanjian)

2. Naturalia (unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian meskipun tidak secara tegas

diatur.

3. Accidentalia adalah unsur tambahan yang harus secara tegas diatur dalam perjanjian.

III. Asas-asas Hukum Acara Perdata

1. Hakim Bersifat Menunggu

Asas dari hukum acara perdata pada umumnya ialah bahwa pelaksanaanya, yaitu inisiatif
untuk

mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Kalau tidak
ada

tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak hakim. Demikianlah bunyi pemeo yang tidak asing
lagi
( wo kein klager ist, ist kein reichter, nemo judex sine actore ).

Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim
menunggu

datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya “index ne procedat ex officio” ( lihat pasal
118

HIR, 142 Rgb.). Hanya yang menyelenggarakan proses adalah negara. Akan tetapi sekali
perkara

diajukan kepadanya,  Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan


memutus

suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan

wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009).

2. Hakim Pasif

Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dala arti kata bahwa ruang lingkup

atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya di
tentukan

oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari

keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya

peradilan ( pasal 4 ayat (2) UU No.48 tahun 2009). Hakim terikat pada peristiwa yang
diajukan

oleh para pihak (secendum allegata iudicare).

Hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat pada
peristiwa

yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Para pihaklah yang diwajibkan untuk

membuktikan dan bukan hakim. Asas ini disebut verhandlungsmaxime.Jadi  pegertian pasif
ini yaitu bahwa hakim tidak menentukan luas dari pada pokok sengketa.

Hakim tidak boleh menambah atau menguraninya. Akan tetapi itu semuanya tidak berarti
bahwa

hakim tidak aktif sama sekali tidak aktif. Selaku pimpinan sidang harus aktif memimpin dan

memeriksa perkara dan tidak merupakan pegawai atau sekedar alat dari pada para pihak,

danharuslah berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan. Karenanya dikatakan bahwa sistem HIR adalah aktif, berbeda dengan

sistem Rv yang pada pokoknya mengandung prinsip “hakim pasif”. Asas hakim menurut HIR
itu

sesuai dengan aliran pikiran tradisionil Indonesia.

3. Sifatnya Terbuka Persidangan

Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti
bahwa

setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari
pada

asas ini tidak lain untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam peradilan
serta

untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan yang fair,


tidak

memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat. Asas ini dapat kita jumpai pada Pasal
13

ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 : “Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka
untuk

umum, kecuali undang-undang  menentukan lain”.

Secara formil asas ini membuka kesempatan untuk “social kontrol”. Asas terbukanya

persidangan tidak mempunyai arti bagi acara yang berlangsung secara tertukis. Kecuali
apabila

ditentukan lain oleh undang-undang atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting
yang

dimuat di dalam nerita acara yang diperintahkan oleh hakim, maka persidangan dia  lakukan

dengan pintu tertutup.

4. Mendengar Kedua Belah Pihak (penggugat dan tergugat melalui surat-surat)

Didalamnya hukum acara perdata kedua belah pihak diperlakukan sama, tidak memihak dan

didengar bersama-sama. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan

orang, seperti  yang dimuat dalam  pasal  4 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 mengandung arti

bahwa didalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan atas
perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus di beri kesempatan untuk memberi

pendapatnya. Asas kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas “audi et
alteram

partem” atau “eines mannes redeist keines mannes rede, man soll sie horen alle beide”.
Bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila
pihak lawan

tidak didengar atau tidak di beri kesempatan untuk meneluarkan pendapatanya

5. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan

Semua putusan pegadilan harus  memuat alsasn-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk

mengadili (pasal  184 ayat (1), 319 HIR, 618 Rgb.). alasan-alasan atau argumentasi itu

dimaksudkan sebgai pertanggung jawaban hakim dari pada putusanya terhadap masyarakat,
para

pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunya
nilai

objektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan yang mempunyai wibawa dan
bukan

karena hakim tertentu yang menjatuhkanya.

Putusan  MA yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup

dipertanggungjwabkan (onvoldoende gemotiveerd) mrupakan alasan untuk kasasi dan harus

dibatalkan.

Kenyataanya sekarang tidak sedikit hakim yang terikat oleh putusan pengadilan tinggi atau

mahkamah agung mengenai perkara yang sejens. Bukan karena kita mengikuti asas “the
binding

force of precedent”, melainkan terikatnya hakim itu karena yakin bahwa putusan yang
mengenai

perkara yang sejenis itu meyaknkan putusan itu tepat.

Ilmu pengetahuan hukum merupakan sumber pula untuk mendapatkan  bahan guna

mempertanggung jawabkan putusan hakim didalam memeprtimbangakannya. Sifat objektif


dari

pada ilmu pengetahuan itu sendiri menyebabkan putusan hakim yang bernilai objektif pula.
6. Beracara Dikenakan Biaya

Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya ( pasal pasal 2 ayat (4) UU No. 48 tahun
2009,

121 ayat 4, 182,183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rgb.).

Biaya perkra ini meliputi biaya kepanitraan dan biaya panggilan, pemberitahuan para pihak
serta

biaya materai. Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara, maka harus pula

dikeluarkan biaya.

Namun bagi yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara

secara Cuma-Cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran
biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala
polisi ( pasal

23 HIR, 273 Rgb.).

7. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan

HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilakan perkara orang lain, sehingga
pemerikasaan

terjadi secara langsung terhadap pihak yang langsung  berkepentingan. Akan tetapi para
pihak

dapat dibantu atau di wakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya. Dengan demikian hakim
tetap

wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidakmewakilkan

kepada seorang kuasa.

Wewenang untuk mengajukan gugatan dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa. Dengan

memeriksa para pihak yang berkepentingan secara langsung hakim dapat mengetahui lebih
jelas

persoalanaya. Walaupun HIR menentukan, bahwa para pihak dapat dibantu atau diwakili,
akan

tetapi tidak ada ketentuan bahwa seorang pembantu atau diwakil harus seorang ahli atau
sarjana

hukum.
Menurut RO ada persyaratanya untuk bertindak sebagai prosedur. Antara  lain ia harus
sarjana

hukum ( pasal 186). Pada hakikatnya tujuan dari pada perwakilan wajib oleh sarjana hukum

(verplichte procureurstelling) ini tidak lain untuk lebih menjamin pemeriksaan yang objektif,

melancarkan jalanya peradilan dan memperoleh putusan yang adil.

Adapun mengenai terjadinya perwakilan, antara lain:

a. Ketentuan undang-undang, misalnya untuk anak dibawah umur oleh orangtua atau wali,
sakit ingatan oleh pengampunya.

b. Perjanjian kuasa khusus, untuk perwakilan yang dilakukan oleh pengacara atau penasehat

hukum.

c. Tanpa surat kuasa khusus, untuk acara gugatan perwakilan kelompok oleh satu atau
beberapa

orang dari kelompoknya (Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2002 tentang Acara
Gugatan

Perwakilan Kelompok).

Perlu diketahui bahwa wewenang untuk mengajukan gugatan secara lisan tidak berlaku bagi

kuasa.8. Peradilan Dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
(Pasal 2

ayat (1) UU No. 48 tahun 2009)

Maksudnya adalah hakim harus selalu insyaf karena sumpah jabatannya, ia tidak hanya

bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri dan kepada masyarakat, tetapi bertanggung
jawab

kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Setiap putusan pengadilan harus mencantumkan klausa “Demi Keadilan Berdasarkan


Ketuhanan

Yang Maha Esa” agar putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan
untuk

melaksanakan putusan secara paksa, apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan

putusan dengan sukarela.

9. Peradilan Dilakukan dengan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan (Pasal 2 ayat (4) UU
No.48 tahun 2009)

Sederhana maksudnya acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Makin sedikit

dan sederhana formalitas dalam beracara maka semakin baik. Sebaliknya terlalu banyak

formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan akan menimbulkan beraneka ragam
penafsiran

sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum.

Cepat menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak berlarut-
larut

yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli warisnya.

Biaya ringan maksudnya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh

masyarakat. Biaya perkara yang tinggi membuat orang enggan beracara di pengadilan.

IV. Sejarah Singkat Terbentuknya HIR dan Hukum Acara Perdata

Perancang HIR adalah Ketua Makamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara pada tahun
1846

di Batavia. Beliau adalah Jhr. Mr. H.L. Wichers, seorang jurist bangsawan kenamaan pada
waktu

itu. Hanya dalam waktu 8bulan, Jhr Mr HL wichers selesai dengan rancanganya (tanggal 6

agustus 1847) serta peraturan penjelasannya.Rancangan Wichers tersebut diterima oleh


Gubernur Jendral dan di umumkan pada tanggal 5

april 1848 dengan Stbl. 1848 No.16. pada tanggal 29 september 1849 IR ini disyahkan dan

dikuatkan dengan firman raja No,93 dan diumumkan dalam Stbl. 1849 No. 63 dan oleh
karenya

pengesahan ini IR sifatnya menjadi Koninklijk besuilt.

Perubahan tambahan terjadi beberapa kali. Suatu perubahan yang mendalam terjadi pada
tahun

1941. Adanya perubahan yang mendalam dalam bahasa belanda disebut “herizen’, maka IR

selanjutnya disebut Het Herziene Indonesisch Reglement atau disingkat HIR, dengan
terjemahan

yang dilakukan di Indonesia ialah disingkat dari reglemen Indonesia diperbaharui atau

Reglement Indonesia baru.


Dan sejarah singkatnya Hukum Acara Perdata berawal pada tahun 1950 pada pasal 102
UndangUndang Dasar sementara Republik Indonesia menetukan antara lain, bahwa hukum
acara perdata

diatur dengan UU dalam kitab-kitab hukum, kecuali jika perundang-undangan menganggap


perlu

untuk mengatur beberapa hal dalam undang-undang tersendiri.

Berhubung dengan adanya peraturan-peraturan peralihan berturut-turut  tersebut diatas, maka

untuk mengetahui hukum acara perdata yang sekarang berlaku di Indonesia, orang harus
mulai

meninjau keadaan dizaman belanda dan perubahan-perubahan yang diadakan pada zaman-
zaman

yang berikut sampai sekarang.

Pada Masa Belanda

Pada  masa belanda ada “Raad Van Justitie” dan “Residentiegerecht” sebagai hakim

sehari untuk orang-orang Eropa yang disamakan dengan mereka, sedang bagi orang
Indonesia

asli dan disamakan denga mereka “Lendraad”lah yang menjadi hakim sehari-hari didampingi

oleh beberapa badan-badan untuk perkara-perkara kecil seperti  pengadilan kabupaten,

pengadilan distric dan lain-lain.

Pada Masa Jepang

Lenyapnya  Raad Van Justitie dan Residentiegerecht sebagai hakim sehari-hari untuk orang–

orang Eropa dan yang disamakan dengan mereka dan di adakan satu macam

pengadilan sehari-hari untuk semua orang, yaitu pengadilan negri {Tihoo Hooin}
sebagaipelanjutan dari landraad dahulu.  Pada pokoknya selama masa jepang hukum acara
perdata yang

berlaku adalah yang termuat dalam “Herziene Inlandesch Reglement” dan itu merupakan
salah

satunya.

Pada Masa Republik Indonesia

Pada  pokonya tiada perubahan perihal hukum acara perdata dan pada masa jepang maka
tetaplah berlaku herziene inlandsch reglement {HIR}.

Hukum Perdata terbagi 2 macam yaitu :

1. Hukum Perdata Materiil / Hukum Perdata saja = Hukum yeng mengatur kepentingan
perseorangan (private).
2. Hukum Perdata Formil / Hukum Acara Perdata = Hukum yang mengatur cara
penyelesaian perkara perdata / cara menegakan Hukum Perdata Materiil

Asas-asas Hukum Acara Perdata ada 6 :

1. Hakim bersikap pasif – Inisiatif pihak-pihak berperkara bukan hakim, mengadili


seluruh tuntutan dan bukan tidak menjatuhkan sesuatu yang tidak dituntut, yang
dikejar kebenaran formil (berdasarkan bukti-bukti yang diajukan didepan persidangan
tanpa harus disertai keyakinan hakim), Para pihak bebas untuk mengakhiri perkara
mereka sendiri.
2. Sidang Pengadilan Terbuka Untuk Umum
3. Mendengar kedua belah pihak
4. Tadak ada keharusan mewakilkan
5. Putusan harus disertai alasan-alasan - Putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup
pertimbangannya merupakan alasan untuk kasasi dan putusan tersebut harus
dibatalkan (MA tanggal 22-7-1970 Nomor 638 K/Sip/1969 dan tanggal 16-12-1970
Nomor 492 K/Sip/1970)
6. Beracara perdata dikenakan biaya.

 Tingkat Pemeriksaan perkara di Pengadilan :

1. Tingkat pertama - Pengadilan Negeri ~ HIR (untuk Jawa & Madura) dan RBg  (untuk
luar Jawa & Madura).
2. Tingkat banding – Pengadilan Tinggi ~ UU No.20/1947 (untuk pemeriksaan ulangan
Jawa & Madura) dan RBg (untuk luar Jawa & Madura).
3. Tingkat Kasasi – Mahkamah Agung ~ UU No.14/1985 tentang Mahkamah Agung.

Perihal Gugatan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi surat gugatan :

1. Memuat  kejadian materil yang menjadi dasar tuntutan secara lengkap (MA tgl 15-3-
1970 Nomor  547 K/Sip/1972).
2. Tuntutan jelas (MA tgl 21-11-1970 Nomor 492 K/Sip/1970).
3. Mencantumkan pihak-pihak berperkara secara lengkap (MA tgl 13-5-1975 Nomor
151 /Sip/1975).
4. Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak, batas-batas dan
ukuran tanah (MA tgl 9-7-1973 Nomor 81 K/Sip/1971).
Surat Gugatan yang tidak sesuai dinyatakan tidak sempurna dan dinyatakan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Ada 2 macam bentuk campur tangan (intervensi) pihak ketiga dalam perkara perdata :

1. Menyertai (voeging) – bersikap memihak kepada salah satu pihak berperkara.


2. Menengahi (tussenkomst) – bersikap membela kepentingan sendiri.

Bentuk yang lain sama dengan intervensi adalah vrijwaring (penaangguhan atau pembebasan)
– pihak ketiga yang ditarik oleh salah satu pihak berperkara untuk kepentingan pihak yang
menarik.

Kumulasi Gugatan ada 2 macam :

1. Kumulasi Subjektif ~ Penggabungan dari subjeknya – syarat tuntutan-tutntutan


memiliki koneksitas
2. Kumulasi Objektif ~ tidak diperkenankan Penggabungan pemeriksaan acara khusus
dan acara biasa; tuntutan yang berbeda wewenang relatifnya; dan tuntutan mengenai
bezit dan tuntutan mengenai eigendom.

Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) ~ gugatan untuk diri sendiri sekaligus
mewakili kelompok yang memiliki fakta, dasar hukum dan tergugat yang sama – misalnya
perkara pencemaran lingkungan – surat gugatanya diatur dalam Pasal 3 Peraturan MA Nomor
1/2002.

Wewenang mengadili:

1. Wewenang Mutlak (kompetensi absolut) ~ pengadilan memiliki wewenang perkara


jenis tertentu dan tingkatan tertentu mutlak tidak bisa dilakukan oleh pengadilan lain.
2. Wewenang relatif (kompetensi relatif/nisbi) ~ wewenang mengadili Pengadilan
Negeri berdasarkan daerah hukumnya.

Wewenang Nisbi Pengadilan Negeri dalam Pasal 118 HIR/142 RBg mengajukan gugatan
kepada pengadilan negeri dalam daerah hukum :

1. tempat tinggal tergugat


2. jika tergugat lebih dari dua orang, dpilih salah satu tempat tinggal tergugat.
3. jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui diajukan pada tempat tinggal tergugat
4. jika objek gugatan benda tetap (tidak bergerak) gugatan diajukan pada tempat benda
tersebut terletak, atau jika terpisah daerah hukumnya dapat dipilih salah satu yang
dikehendaki penggugat.
5. jika sudah ditetapkan tempat berdasarka suatu akta

Sita jaminan ada 2 macam :

1. Conservatoir beslaag  - sita jaminan barang milik tergugat


2. Revindicatoir beslag ~ sita jaminan barang milik penggugat

Jawaban tergugat terdiri dari 2 macam :


1. Eksepsi (tanggkisan) –tidak langsung mengenai pokok perkara – misalnya eksepsi
prosesuil (berdasarkan hukum acara perdata) yaitu eksepsi tentang kompetensi relatif
(yang menyatakan pengadilan negeri di daerah hukum lain yang berwewenang)
diajukan saat permulaan sidang, dan eksepsi kopetensi absolut (yang menyatakan
Pengadilan dalam lingkungan peradilan lain yang berwewenang) dapat diajukan
setiap saat pemeriksaan. Semua eksepsi diputuskan bersama-sama dengan pokok
perkara kecuali eksepsi kopetensi relatif dan absolut yang diputuskan dengan putusan
sela.
2. Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara.

konvensi = gugatan penggugat awal


rekonvensi = gugatan balik tergugat
Replik = jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat
Duplik = jawaban tergugat terhadap replik

Pembuktian = penyajian alat-alat bukti yang sah


Pihak-pihak berperkara tidak perlu membuktikan peraturan hukumnya tetapi berkewajiban
membuktikan preristiwa-peristiwa yang dikemukakan/hubungan hukumnya

Hal-hal yang tak perlu dibuktikan :

1. sesuatu yang diakui pihak lawan


2. yang dilihat sendiri oleh hakim
3. yang diketahui oleh umum (notoire feiten)
4. yang diketahui oleh hakim karena pengetahuannya.

 Beban pembuktian berdasarkan pedoman Pasal 163 HIR/Pasal 283 RBg/Pasal 1865 BW
yaitu :
“yang megakui haknya atau mengatakan peristiwa untuk menegaskan haknya atau untuk
membantah adanya hak orang lain, dia harus membuktikan”
Alat-alat bukti dalam perkara perdata (Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW:

1. Tulisan
2. Saksi-saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah

Putusan Pengadilan = pernyataan untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.

Susunan dan isi putusan:

1. Kepala Putusan ~ berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan  Yang Maha


Esa” (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).
2. Identitas pihak-pihak yang berperkara ~ identitas pihak penggugat, tergugat dan
turut tergugat harus dimuat secara jelas
3. Pertimbangan (alasan-alasan) ~ Pertimbangan tentang duduk perkaranya (feitelijke
gronden) dan Pertimbangan tentang hukumnya (rechtsgronden),
4. Amar Putusan (diktum) ~ jawaban terhadap petitum dalam gugatan penggugat.
Upaya Hukum Melawan Putusan Pengadilan :

1. Perlawanan (Verzet) ~ objeknya putusan verstek – tenggang waktu pengajuan 14 hari.


2. Banding ~ objeknya Putusan Pengadilan Negeri – Pengulangan pemeriksaan –
pemeriksaan terakhir mengenai fakta dan kedudukan perkaranya oleh  judex facti.
3. Kasasi ~ objeknya Putusan Pengadilan Tinggi >> permohonan kasasi di daftarkan dan
membayar biaya perkara ke panitera pengadilan negeri pada tingkat pertama
(tenggang waktu 14 hari) dan penyampaian mememori kasasi oleh pemohon
(tenggang waktu 7 hari >> pemberitahuan tertulis kepada pihak lawan (tenggang
waktu 7 hari) -) – isi memori kasasi adalah memuat alasan-alasan bahwa judex facti
tidak berwewenang dalam putusannya atau melampaui batas wewenangnya, lalai
tidak memenuhi syarat-syarat peraturan perundang-undangan, atau judex fakti salah
menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
4. Peninjauan Kembali ~ objek putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap – dasar pengajuan : apabila putusan didasarkan suatu kebohongan atau
didasarkan bukti-bukti palsu; setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti
baru; dikabulkan sesuatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut; apabila
sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
apabila pihak-pihak yang sama mengenai sesuatu  soal, dasar, pengadilan, atau
tingkatan yang sama telah diberikan putusan yang bertentangan dengan satu sama
lain; dan terdapat khehilafan hakim/seuatu kekeliruan yang nyata – tenggang waktu
180 hari (Pasal 67 UU Nomor 14/1985).
5. Derdenverjet ~ Perlawanan pihak ketiga bukan pihak dalam perkara yang merasa
dirugikan misalnya terhadap sita eksekutorial (executoir beslag) diatur dalam Pasal
208 jo. Pasal 207 HIR/Pasal 228 jo. Pasal 227 RBg, dan perlawanan terhadap sita
jaminan (conservatoir beslag) – diajukan kepengadilan negeri yang memeriksa
perkara dengan membuat gugatan terhadap pihak-pihak yang berperkara.

Putusan MA dalam pemeriksaan kasasi :

1. Pemohon kasasi tidak dapat diterima jika permohonan telah lewat waktu; tidak
menyampaikan memori kasasi/memori kasasi terlambat disampaikan; dan belum
mengajukan upaya hukum lain (verzet dan banding)
2. Permohonan kasasi ditolak jika alasan-alasan kasasi dalam memori kasasi semata
mata karena penilaian terhadap pembuktian  (fakta-fakta) yang mana batas
pemeriksaan mengenai pembuktian berakhir pada tingkat banding sedangkan hal
tersebut bukan wewenang MA
3. Permohonan Kasasi dikabulkan jika alasan-alasan permohonan kasasi dalam memori
kasasi dibenarkan oleh MA, dan MA membatalkan putusan yang dimohonkan kasasi.

Anda mungkin juga menyukai