Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

Asas hukum merupakan aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang

abstrak dan pada umumnya melatar belakangi peraturan konkret dan pelaksanaan

hukum. Apabila dalam sistem hukum terjadi pertentangan, maka asas hukum akan

tampil untuk mengatasi pertentangan tersebut. Misalnya, terjadi pertentangan

antara satu Undang-Undang dengan Undang-Undang lainnya, maka harus kembali

melihat asas hukum sebagai dasar yang mendasari suatu peraturan hukum berlaku

secara universal.

Berbicara mengenai praktek peradilan perdata di Indonesia tentu tidak bisa

dilepaskan dari aturan-aturan normatif yang mengaturnya. Hal ini diperlukan agar

semua pihak yang terlibat di dalam suatu sistem peradilan dapat memperoleh

panduan untuk menjalankan proses persidangan yang dihadapi. Di Indonesia,

mekanisme tentang praktek peradilan perdata terdapat pada hukum acara perdata

yang berfungsi untuk menegakkan aturan hukum material. Karena itu kita harus

mengerti betul tentang hukum acara perdata yang didalamnya terkandung esensi

praktek peradilan perdata. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan

membahas tentang asas-asas yang berlaku pada hukum acara perdata di Indonesia.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Jenis-Jenis Tuntutan Hak

Tuntutan hak dalam suatu perkara perdata dapat disebabkan karena

wanprestasi mau pun perbuatan melawan hukum. Wanprestasi terjadi

manakala pada pihak debitur tidak melaksanakan kewajiban dan bukan karena

keadaan memaksa. Debitur melakukan wanprestasi apabila tidak melakukan

apa yang disanggupi untuk dilakukan, melakukan apa yang di janjikan, tetapi

tidak sebagaimana yang diperjanjikan, melakukan apa yang diperjanjikan

tetapi terlambat, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukan.1

Pada praktik peradilan mengenai aneka tuntutan atau petitum dapat

dikategorikan dengan penyebutan tuntutan “primair” dan “subsidair”, atau ada

juga dengan formulasi, “dalam provisi”, “dalam pokok perkara/ primair” dan

“subsidair”, atau hanya terdiri dari tuntutan “primair” saja tanpa diiringi

tuntutan “subsidair”.2

Petitum ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian pokok, yaitu:

1. Petitum primer (pokok) yang langsung berhubungan dengan pokok

perkara.

Merupakan tuntutan yang sebenarnya diminta penggugat dan Hakim tidak

boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta (dituntut).

1
Rahadi Wasi Bintoro, “Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata”, dalam
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 2 Mei 2010, hal. 151
2
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Sinar Grafika, Jakarta, 2012), hal. 48.

2
2. Petitum tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih ada hubungannya

dengan pokok perkara.

Merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok seperti dalam

perceraian berupa tuntutan pembayaran nafkah anak, mut’ah, nafkah iddah

dan pembagian harta bersama.3

3. Tuntutan subsidair atau pengganti

Petitum subsidair atau pengganti. Biasanya berisi katakata,“apabila

Majelis Hakim perkara pendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya

(ex aequo et bono).”

Jadi, maksud dan tujuan tuntutan subsidair adalah apabila tuntutan primer

ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya gugatan yang didasarkan

atas kebebasan atau kebijaksanaan hakim berdasarkan keadilan.4

B. Hakim Bersifat Menunggu

Diselenggarakannya proses acara perdata (peradilan perdata) tergantung

pada mereka yang berkepentingan. Inisiatif datang dari masyarakat, khususnya

yang berkepentingan. Dengan demikian, proses peradilan perdata terjadi bila

ada permintaandari seseorang atau sekelompok orang yang menuntut haknya.

Jadi hakim menunggu datangnya permintaan atau tuntutan atau gugatan dari

masyarakat.

Dalam Hukum Acara Perdata, yang mengajukan tuntutan hak adalah

para pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim bersikap menunggu

datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya (iudex no procedat ex

3
Retnowulan Sutanto, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung:
Mandar Maju, 2007), hal. 84
4
Retnowulan Sutanto, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, hal. 85

3
officio). Asas ini disebut dengan asas hakim bersifat menunggu (lihat Pasal

118 HIR, 142 RBg). Dengan kata lain, inisiatif untuk mengajukan tuntutan

hak sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Bila tidak ada

tuntutan hak dari para pihak, maka tidak ada hakim (Wo kein klager ist, ist

kein richter; nemo judex sine actor).5 Hakim bersifat menunggu, maksudnya

inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada pihak

yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak, maka tidak ada Hakim,

hal tersebut dikenal dengan pameo.6

C. Hakim Bersifat Pasif

Hakim dalam menjalankan tugasnya untuk menerima, memeriksa,

memutuskan dan menyelesaikan perkara perdata mengacu kepada Hukum

Acara Perdata, yang asas-asas pokoknya antara lain asas yang menyebutkan

hakim hanya bersikap pasif, dalam arti kata pada asasnya inisiatif berperkara

bukan dari hakim, melainkan dari pihak yang merasa atau dirasa hak/

kepentingannya terganggu atau dirugikan oleh pihak lain.7

Batas ruang lingkup pokok perkara tidak ditentukan oleh hakim,

melainkan oleh para pihak yang berperkara. Hakim dalam hal ini bersifat pasif

saja. Hakim hanya berfungsi membantu pencari keadilan dan berusaha

mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan

yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hakim hanya bertitik tolak pada

peristiwa yang diajukan oleh para pihak saja (secundum allegat iudicare).

5
Subekti, Hukum Acara Perdata, Cet. 2, (Bandung: Bina Cipta, 2012), hal. 5
6
Herowati Poesoko, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Penyelesaian Perkara
Perdata”, dalam JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015, hal. 221
7
Herowati Poesoko, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Penyelesaian Perkara
Perdata”, hal. 221

4
Asas hakim bersifat pasif ini juga mengisyaratkan adanya batasan

kepada hakim untuk tidak dapat mencegah, bila para pihak mencabut

gugatannya atau menempuh jalan perdamaian (Pasal 130 HIR, 154 RBg, dan

10 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009). Disamping itu hakim hanya

berhak mengadili luas pokok perkara yang diajukan para pihak dan dilarang

mengabulkan atau menjatuhkan putusan melebihi dari apa yang dituntut (Pasal

178 ayat (2), (3) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBg). Namun dalam

perkembangannya, asas ini banyak mengalami pergeseran dan perubahan,

dimana hakim cenderung bersifat aktif. Padahal Mahkamah Agung senantiasa

berupaya tetap mempertahankan eksistensi ketentuan Pasal 178 HIR dan Pasal

189 RBg.

Dalam konteks ini juga dikenal asas Verhandlungs-maxime yaitu hanya

peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat

pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Dengan

demikian para pihak saja yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan

hakim. Kebalikan dari asas ini adalah Untersuchung-maxime yaitu hakim

diwajibkan untuk mengumpulkan bahan pembuktian untuk kepentingan

pemeriksaan sengketa.8

Menurut Soeroso, pengertian hakim bersifat pasif dapat ditinjau dari

dua segi, yaitu:

1. Dari segi inisiatif datangnya perkara maka ada atau tidaknya gugatan

tergantung kepada para pihak yang berkepentingan yang merasa dan dirasa

bahwa haknya atau kepentingannya telah dilanggar orang lain. Apabila

8
M. Nasir, Hukum Acara Perdata, Cet. 2, (Djakarta: 2005), hal. 11-19

5
gugatan tersebut tidak diajukan para pihak maka hakim tidak akan

mengadili perkara yang bersangkutan (nemo judex sine actore).

2. Dari segi luas pokok sengketa, ruang lingkup gugatan serta kelanjutan

pokok perkara maka hanya pihak yang berhak untuk menentukansehingga

untuk itu hakim hanya bertitik tolak kepada peristiwa yang diajukan para

pihak.9

D. Persidangan yang Terbuka

Asas ini mengisyaratkan bahwa sidang pemeriksaan di pengadilan

bersifat terbuka untuk umum. Hal ini berarti bahwa setiap orang

diperbolehkan hadir dan mengikuti jalannya pemeriksaan perkara di

persidangan. Sebelum perdata mulai disidangkan, hakim harus menyatakan

bahwa sidang perkara tersebut ‘dibuka’ dan dinyatakan ‘terbuka untuk

umum’, sepanjang undang-undang tidak menentukan lain. Bila kaedah formal

ini tidak terpenuhi, maka dapat mengakibatkan putusan itu tidak sah dan tidak

mempunyai kekuatan hukum dan batal demi hukum.

Secara formil, asas ini memberikan kesempatan bagi control sosial dan

memberikan perlindungan hak asasi manusia dalam bidang peradilan.

Disamping itu, asas ini bertujuan untuk menjamin proses peradilan yang fair

dan obyektif, tidak memihak, serta terwujudnya putusan hakim yang adil.

Berdasarkan Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “sidang pemeriksaan pengadilan

adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-undang menentukan lain”.


9
Otong Rosadi danLaurensius Arliman S, “Urgensi Pengaturan Badan Pembinaan Idelogi
Pancasila Berdasarkan Undang-Undang Sebagai State Auxiliary Bodies yang Merawat Pancasila
dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, Prosiding Konferensi Nasional Hak Asasi Manusia,
Kebudayaan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19:
Tantangan untuk Keilmuan Hukum dan Sosial Volume 1, Universitas Pancasila, Jakarta, 2020

6
Tujuannya yaitu untuk mencegah penjatuhan putusan-putusan berat sebelah

atau semena-mena, siding-sidang harus berlangsung di muka umum.

Hakim dapat memerintahkan dilakukannya pemeriksaan sepenuhnya

atau sebagiannya dengan pintu tertutup yaitu:

1. Untuk perkara kesopanan atau kesusilaan;

2. Untuk kepentingan anak-anak dibawah umur;

3. Untuk persidangan rahasia dalam perkara paten.

Prinsip keterbukaan, dipakai sebagai landasan beracara perdata yang

mempunyai arti preventif dengan maksud untuk menjamin keobjektifan

pemeriksaan Pengadilan. Musyawarah Hakim (Raad kamer) dilakukan dengan

pintu tertutup sehingga pendapat hakim yang berbeda (dissenting) opinion)

dalam musyawarah itu dirahasiakan. Di beberapa negara seperti Amerika

Serikat, hasil musyawarah hakim beserta dissenting opinions-nya terbuka

untuk diketahui untuk umum.10

Sifat peradilan terbuka untuk umum adalah harus dinyatakan persidangan

“dibuka” terlebih dahulu. Hal itu merupakan aspek formal yang harus ditaati oleh

tertib hukum acara perdata. Konkretnya, meskipun persidangan telah mulai

pembacaan surat gugatan, jawaban surat gugatan, replik, dan duplik bahkan telah

tahap pembuktian, tetapi persidangan belum dinyatakan “dibuka dan terbuka

untuk umum” maka sidang belum sah.11

10
M. Nasir, Hukum Acara Perdata, hal. 20-21
11
Laurensius Arliman S, “Komnas Perempuan Sebagai State Auxialiary Bodies Dalam
Penegakan Ham Perempuan Indonesia”, Justicia Islamica, Volume 14, Nomor 2, 2017

7
BAB III

KESIMPULAN

Hukum acara perdata meliputi ketentuan-ketentuan tentang cara

bagaimana orang harus menyelesaikan masalah dan mendapatkan keadilan dari

hakim apabila kepentingan atau haknya dilanggar oleh orang lain dan sebaliknya

bagaimana cara mempertahankan kebenarannya apabila ia dituntut oleh orang

lain. Hakim Bersifat Menunggu; Hakim hanya bersikap menunggu datangnya

tuntutan hak yang diajukan kepadanya (judex ne procedat ex officio). Hakim

Bersifat Pasif; Artinya bahwa luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim

pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara, bukan oleh hakim.

Persidangan Bersifat Terbuka; Proses peradilan dalam persidangan terbuka untuk

umum, setiap orang boleh menghadiri persidangan asal tidak mengganggu

jalannya persidangan dan selalu menjaga ketertiban.

8
DAFTAR PUSTAKA

Herowati Poesoko, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Penyelesaian Perkara


Perdata”, dalam JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015

Laurensius Arliman S, “Komnas Perempuan Sebagai State Auxialiary Bodies


Dalam Penegakan Ham Perempuan Indonesia”, Justicia Islamica, Volume
14, Nomor 2, 2017

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Sinar Grafika, Jakarta, 2012)

Rahadi Wasi Bintoro, “Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata”, dalam
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 2 Mei 2010

Retnowulan Sutanto, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung:
Mandar Maju, 2007)

Otong Rosadi danLaurensius Arliman S, “Urgensi Pengaturan Badan Pembinaan


Idelogi Pancasila Berdasarkan Undang-Undang Sebagai State Auxiliary
Bodies yang Merawat Pancasila dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”,
Prosiding Konferensi Nasional Hak Asasi Manusia, Kebudayaan dan
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia pada Masa Pandemi Covid-
19: Tantangan untuk Keilmuan Hukum dan Sosial Volume 1, Universitas
Pancasila, Jakarta, 2020

Subekti, Hukum Acara Perdata, Cet. 2, (Bandung: Bina Cipta, 2012)

Anda mungkin juga menyukai