Anda di halaman 1dari 10

AKAD DAN PERIKATAN SYARIAH

Oleh:

Amalia Indriasari
NPM. 1602090071

ABSTRAK

Di dalam hukum perikatan, setiap orang dapat mengadakan perikatan yang


bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang
diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan
berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal dan tidak melanggar
hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang. Di dalam perikatan
ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang
dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan kegiatan
yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan
perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak
melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Sebenarnaya perjanjian syari’ah dan hukum dari perjanjian tersebut sudah
ada sejak zaman dahulu, hal itu dapat ditinjau dari sejarah yang telah dipaparkan
di atas, sejak masyarakat adat hingga saat ini hukum perjanjian syari’ah telah ada.
Bahkan di dalam Al-Qur’an, al-Hadits dan Ijtihad dari beberapa Ulama telah
mengemukakannya. Dan saat ini hukum perjanjian syar’iah telah banyak di
aplikasikan oleh masyarakat Indonesia sendiri dan dunia. Kedudukan hukum
Islam (termasuk di dalamnya hukum perikatan Islam) setelah Indonesia merdeka
sudah lebih kukuh, tanpa dikaitkan dengan hukum adat.Dalam KHI Sighat
merupakan salah satu rukun akad yang penting, karena tanpanya akad tidak
mungkin terjadi.

Kata Kunci: Akad, Perikatan Syariah

A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang-orang yang tidak sadar
bahwa setiap harinya mereka melakukan perikatan atau suatu kesepakatan.
Hal-hal seperti membeli suatu barang atau melakukan jasa angkutan umum,
perjanjian sewa menyewa, hal-hal tersebut merupakan suatu perikatan.
Perikatan di Indonesia, diatur pada buku III KUHPerdata (BW). Dalam hukum
perdata banyak sekali hal yang dapat menjadi cangkupannya, salah satunya
adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan
harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak
atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum
dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari
suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.1

1
Asep Rozali, “Transformasi Akad Perbankan Syariah dalam Pembentukan Hukum
Perikatan Nasional”, dalam Jurnal Wawasan Yuridika, Vol. 4, No. 1, Maret 2020, hlm. 32
Di dalam hukum perikatan, setiap orang dapat mengadakan perikatan
yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik
itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan
kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal dan
tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak
berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu
adalah melakukan kegiatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar
undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk
tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang
telah disepakati dalam perjanjian.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Akad dan Perikatan Syariah
Akad adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua pihak
atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing pihak yang melakukan
akad dan memiliki akibat hukum baru bagi mereka yang berakad. 2 Dalam
hukum Islam kontemporer digunakan istilah iltizam untuk menyebut
perikatan (verbintenis) dan istilah akad untuk menyebut perjanjian
(overeenkomst). Istilah terakhir, yaitu akad, sebenarnya adalah istilah yang
cukup tua digunakan sejak zaman klasik sehingga sudah sangat baku.
Sedangkan istilah pertama, yaitu iltizam, merupakan istilah baru untuk
menyebutkan perikatan secara umum, dalam pengertian bahwa perikatan
secara keseluruhan pada zaman modern ini disebut dengan istilah iltizam
atau perikatan.3

2. Sumber dan Dalil Hukum Akad dan Perikatan Syariah


Dalam hukum Islam, yang menjadikan sumber hukum pada zaman
dahulu sampai sekarang hanyalah al-Quran dan Sunnah. Dasar hukum
keduanya sebagai sebagai sumber syara’ tanpa ada yang terlibat,
sedangkan yang lain tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum kecuali
sebatas dalil-dalil syara’ saja itupun dengan ketentuan selama adanya
dalalah-nya dan merujuk pada nash-nash yang terdapat pada kedua sumber
hukum yaitu al-quran dan sunnah.4
a. Al-Qur’an
Allah berfirman dalam surat al-baqarah ayat 282 :

2
Muhammad Harfin Zuhdi, “Prinsip-Prinsip Akad Dalam Transaksi Ekonomi Islam”,
dalam Iqtishaduna Volume viii, Nomor 2, Juni 2017, hlm. 80
3
Mu’adil Faizin, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Lampung: Pustaka Warga Press,
2020), hlm. 4
4
Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta, 2009), hlm.
4
‫ي ا َأيُّ َه ا الَّ ِذين آمنُ وا ِإ َذا تَ َدايْنتُم َ ِإ‬
‫ب‬ْ ُ‫َأج ٍل ُم َس ًّمى فَ ا ْكتُبُوهُ َولْيَكْت‬ َ ٰ ‫بِديْ ٍن ىَل‬ ْ َ َ َ َ
ِ ِ ِ ِ‫بينَ ُكم َكات‬
‫ب‬ْ ُ‫ب َك َم ا َعلَّ َم هُ اللَّهُ َف ْليَكْت‬ َ ُ‫ب َأ ْن يَكْت‬ ٌ ‫ب َك ات‬ َ ‫ب بالْ َع ْدل َواَل يَْأ‬ ٌ ْ َْ
‫س ِمْن هُ َش ْيًئا فَ ِإ ْن َك ا َن‬ ‫خ‬
َ ‫ب‬
ْ ‫ي‬
َ ‫اَل‬ ‫و‬
َ ‫ه‬
ُ ‫ب‬
َّ ‫ر‬َ ‫ه‬
َ َّ‫لِل الَّ ِذي َعلَْي ِه احْلَ ُّق َولْيَت َِّق الل‬
ِ ‫َولْيُ ْم‬
ْ
ِ ‫الَّ ِذي علَي ِه احْل ُّق س ِفيها َأو ض عِي ًفا َأو اَل يس ت ِطيع َأ ْن مُيِل ه و َف ْليم‬
ُ‫لِل َوليُّه‬
ْ ْ ُ َ ُ َّ ُ ََْ ْ َ ْ ً َ َ َْ
‫يديْ ِن ِم ْن ِر َج الِ ُك ْم فَ ِإ ْن مَلْ يَ ُكونَ ا َر ُجلَنْي ِ َفَر ُج ٌل‬ َ ‫استَ ْش ِه ُدوا َش ِه‬ ِ
ْ ‫بِالْ َع ْدل َو‬
‫ض َّل ِإ ْح َدامُهَا َفتُ َذ ِّكَر ِإ ْح َدامُهَا‬ ِ َ‫الش ه َد ِاء َأ ْن ت‬ ِ ‫مِم‬
َ ُّ ‫ض ْو َن م َن‬ َ ‫َو ْامَرَأتَ ا ِن َّْن َت ْر‬
‫ص غِ ًريا َْأو‬َ ُ‫الش َه َداءُ ِإذَا َم ا ُدعُ وا َواَل تَ ْس َُأموا َأ ْن تَكْتُبُ وه‬ ُّ ‫ب‬ َ ‫اُأْلخ َر ٰى َواَل يَْأ‬
ْ
‫َّه َاد ِة َو َْأدىَنٰ َأاَّل َت ْرتَابُوا ِإاَّل‬ ِ ِ ِ ُ ‫َكبِريا ِإىَل ٰ َأجلِ ِه َٰذلِ ُكم َأقْس‬
َ ‫ط عْن َد اللَّه َوَأْق َو ُم للش‬ َ ْ َ ً
ِ ِ ‫جِت‬
‫وه ا‬ َ ُ‫اح َأاَّل تَكْتُب‬
ٌ َ‫س َعلَْي ُك ْم ُجن‬ َ ‫َأ ْن تَ ُك و َن َ َار ًة َحاض َر ًة تُ د ُيرو َن َها َبْينَ ُك ْم َفلَْي‬
ٌ ‫ب َواَل َش ِهي ٌد َوِإ ْن َت ْف َعلُوا فَِإنَّهُ فُ ُس‬ ِ
‫وق‬ ٌ ‫ض َّار َك ات‬ َ ُ‫َوَأ ْش ِه ُدوا ِإذَا َتبَ َاي ْعتُ ْم َواَل ي‬
‫بِ ُك ْم َو َّات ُقوا اللَّهَ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم اللَّهُ َواللَّهُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِيم‬
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki
dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya
jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih
dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu
´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah
suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.5
b. Hadits
HR Abu Dawud dan Hakim
“Allah SWT telah berfirman (dalam Hadits Qudsi-Nya), ‘Aku
adalah yang ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah
seorang diantaranya tidak berkhianat terhadap temannya. Apabila
salah seorang diantara kedua berkhianat, maka aku keluar dari
perserikatan keduanya.’
c. Ijtihad
Sumber hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad yang dilakukan
dengan menggunakan akal atau ar-ra’yu. Posisi akal dalam ajaran
Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Penggunaan akal
untuk berijtihad telah dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Kedudukan ijtihad dalam bidang muamalat memiliki peran
yang sangat penting. Hal ini disebabkan, bahwa sebagian besar
ketentuan-ketentuan muamalat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
Hadis bersifat umum. Ijtihad dalam masalah Hukum Perjanjian
Syariah dilakukan oleh para Imam Mazhab, seperti Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hanbali.
Bentuk ijtihad kontemporer dari para ulama kini telah terbentuk
Dewan Syariah Nasional (DSN) yang merupakan bagian dari Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Inilah yang memungkinkan Hukum
Perjanjian Syariah dapat mengikuti perkembangan zamannya. Dengan
menggunakan hasil ijtihad, para ulama kontemporer yang sangat
mengerti mengenai teknis transaksi bisnis yang berlaku di zaman
modern sekarang ini, namun Hukum Perjanjian Syariah tetap dapat
dijalankan sesuai dengan kaidah aslinya.6
d. Peraturan Perundangan
Mengenai hukum kontrak (perjanjian) yang bersumber dari
undang-undang dijelaskan :
1) Persetujuan para pihak kontrak (perjanjian)
2) UU karena suatu perbuatan, selanjutnya yang lahir dari UU karena
suatu perubahan dapat dibagi:
a) Yang dibolehkan (zaakwaarnaming),

5
Al-Qur’an [2]: 282
6
Gemala Dewi,Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2005), hlm. 42-44
b) Yang berlawanan dengan hukum misalnya seorang karyawan
yang membocorkan rahasia perusahan meskipun dalam kontrak
kerja tidak disebutkan perusahaan dapat saja menutut karyawan
tersebut karena perbuatan itu oleh UU termasuk perbuatan
yang melawan hukum (onreehtsmatige daad) untuk hal ini
dapat dilihat pasal 1365 KUHPerdata.7
Dalam KUHPerdata di BAB ke II tentang perikatan yang
dilahirkan dari kontrak atau perjanjian dalam ketentuan umum
dinyatakan :
1) Pasal 1313
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
2) Pasal 1314
Suatu perjanjian dibuat dengan Cuma-Cuma atau atas beban. Suatu
perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak
yang lain tanpa meneriama satu manfaat bagi dirinya sendiri.
Sedangakan berjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang
mewajibkan masing-masing pihak memberikan suatu, berbuat
sesuatu atas tidak berbuat sesuatu.
3) Pasal 1315
Pada umumnya tak seorang dapat mengikat diri atas nama sendiri
atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk diri
sendiri.8

3. Kedudukan Hukum Akad dan Perikatan Syariah dalam Tata Hukum


Indonesia
Dasar hukum dari adanya suatu bisnis atau perdagangan adalah
dengan adanya perjanjian yang mengikat antara para pihak. Perjanjian ini
disebut dengan perikatan atau al-‘aqd (dalam istilah Arab kemudian
diadopsi dalam bahasa Indonesia dengan akad). Hukum perikatan Islam
menurut Tahir Azhari merupakan seperangkat kaidah hukum yang
bersumber dari Alquran, Sunah dan al-Ra’y (ijtihad) yang mengatur
hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang
dihalalkan menjadi objek suatu transaksi.9

7
Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan teori dan cotoh kasus,
(Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 5
8
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT Pradnya Paramita), hlm.
338
9
Abdul Karim Munthe, “Penggunaan Perjanjian Baku Dalam Transaksi Bisnis Menurut
Hukum Islam,” Ahkam, Vol. XV, No.02, Juli, 2015, hlm. 212.
Sebelum membahas mengenai kedudukan hukum perikatan Islam
di indonesia, ada baiknya jika melihat kedudukan hukum Islam di
Indonesia berdasarkan periode sejarah, yaitu sebagai berikut:
a. Sebelum Kedatangan Belanda
Awal proses islamisasi kepulauan Indonesia dilakukan oleh
para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan. Setelah agama
Islam berakar dalam masyarakat, perananan saudagar digantikan oleh
para ulama sebagai guru dan pengawal hukum Islam. Hukum Islam
sebagai hukum yang berdiri sendiri setelah ada dalam masyarakat,
tumbuh dan berkembang di samping kebiasaan atau adat penduduk
yang mendiami kepulauan nusantara ini.10
b. Setalah Kedatangan Belanda
1) Masa VOC (1602-1800), berfungsi sebagai pedagang dan badan
pemerintahan, karena dalam praktiknya susunan badan peradilan
yang disandarkan pada hukum Belanda tidak dapat berjalan.
2) Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sikap terhadap hukum
Islam mulai berubah secara perlahan dan sistematis, yaitu sebagai
berikut:
a) Pada masa Belanda atau Deandels (1808-1811) terdapat
pemahaman umum bahwa hukum Islam adalah hukum asli
orang pribumi.
b) Pada masa pemerintahan Inggris atau Thomas S. Raffles
(1811-1816) juga terdapat anggapan bahwa hukum yang
berlaku di kalangan rakyat adalah hukum Islam.
c) Setelah Indonesia kembali pada Belanda, ada usaha Belanda
untuk menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar
orang Indonesia.
d) Untuk melaksanakan kekuasaannya, Belanda melaksanakan
politik hukum yang dengan sadar hendak menata dan
mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum
Belanda.
e) Pada abad ke-19 berkembang pendapat, bahwa di Indonesia
berlaku hukum Islam, yaitu antara lain dikemukakan oleh
Salomon Keyzer. Kemudian diperkuat oleh Lodewijk Willem
Christian van Den Berg berpendapat bahwa hukum mengikuti
agama yang dianut seseorang.11
c. Setelah Indonesia Merdeka
Kedudukan hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia
terbagi dalam dua periode yaitu:

10
Gemala Dewi dkk, Hukum Prikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media group, 2013), hlm. 11.
11
Gemala Dewi dkk, Hukum Prikatan Islam di Indonesia., hlm. 12.
1) Periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif
Sumber persuasif ialah sumber yang terhadap orangnya
harus yakin dan menerimanya. Dengan proklamasi
kemerdekaan 17 agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945,
walaupun di dalamnya tidak dimuat tujuh kata piagam Jakarta,
maka teori resepsi kehilangan dasar hukumnya.
UUD 1945, aturan peralihan pasal II memang
menyatakan “Segala badan Negara dan peraturan yang ada
masih berlangsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut UUD ini”. Namun demikian, dasar hukum yang
ditetapkan oleh suatu UUD yang sudah tidak berlaku, tidak
dapat dijadikan dasar hukum suatu UUD yang baru.
Setelah berlakunya UUD 1945, hukum Islam berlaku
bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam karena kedudukan
hukum Islam itu sendiri, bukan karena ia telah diterima oleh
hukum adat, hal ini juga diperkuat dengan pasal 29 UUD 1945.
Sejak ditandatangani kesepakatan antara para
pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis Islami pada
tanggal 22 juni 1945 sampai dengan saat diundangkannya
Dekret Presiden RI pada tanggal 5 Juli 1959, ketentuan
“kewajiban menjalankan syriat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya” adalah sumber persuasif.
2) Periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber otoritatif
Sumber otoritatif yaitu sumber yang mempunyai
kekuatan. Barulah dengan ditempatkannya Piagan Jakarta
dalam Dekret Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, maka Piagam
Jakarta yang mengandung penerimaan terhadap hukum Islam
menjadi sumber otoritatif dalam tata hukum negara Indonesia,
bukan sekedar sumber persuasif.
Politik hukum negara Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila menghendaki berkembangnya
kehidupan hukum nasional. Dengan berpangkal pada teori
Friederich Julius Stahl dan Hazairin, Tahir Azhary,
mengemukakan teori “Lingkaran Konsentris” yang
menunjukkan betapa eratnya hubungan antara agama, hukum
dan Negara.12
Pancasila adalah sumber hukum dari Hukum Nasional
Indonesia. Dalam hukum nasional Indonesia yang berdasarkan
Pancasila, berlaku hukum agama dan toleransi antar umat
beragama dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

12
Gemala Dewi dkk, Hukum Prikatan Islam di Indonesia., hlm. 13.
menyangkut keyakinan agama, ibadah agama dan hukum
agama.
Menurut pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, sistem
hukum nasional yang berlaku sekarang ini berasal dari
beberapa sistem hukum, yaitu:
a) Hukum Islam
b) Hukum produk kolonial
c) Hukum adat
d) Hukum produk legislasi nasional13
Menurut A. Gani Abdullah, S.H., sistem pembentukan
hukum nasional yang dipilih adalah sistem unifikasi daripada
sistem diferensisasi. Namun, sistem diferensiasi masih
digunakan untuk hukum nasional karena adanya pluralitas
agama yang dianut. Ketentuan perundang-undangan yang
membenarkan sistem diferensiasi adalah:
a) Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974: Perkawinan
berlaku sah jika dilakukan menurut kepercayaan agama
masing-masing.
b) Pasal 49 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1960: Badan-badan
agama diakui haknya, hal-hal mengenai wakaf dalam
Hukum Islam diakui dan diatur oleh peraturan pemerintah.
c) PP No. 28 Tahun 1977, merupakan PP yang mengatur
mengenai wakaf.
Walaupun dalam sistem hukum nasional tidak diatur
mengenai hukum perikatan secara nasional, hukum perikatan
Islam dapat berlaku atas dasar pengakuan secara diferensiasi
ataupun melalui pilihan hukum atas kehendak para pihak pada
saat transaksi sebagaimana diatur dalam UU No. 30/1999
tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
Dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan hukum
Islam (termasuk dii dalamnya hukum perikatan Islam) setelah
Indonesia merdeka sudah lebih kukuh, tanpa dikaitkan dengan
hukum adat. Hal ini dapat dilihat dari pembinaan hukum
nasional yang berprinsip sebagai berikut:
a) Hukum Islam yang disebut da ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan dapat berlaku langsung tanpa harus
melalui hukum adat.
b) Republik Indonesia wajib mengatur suatu maslah sesuai
dengan hukum Islam sepanjang hukum itu hanya berlaku
bagi pemeluk agama Islam.

13
Gemala Dewi dkk, Hukum Prikatan Islam di Indonesia., hlm. 14.
c) Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia
sama dan sederajat dengan hukum adat dan hukum Barat.
d) Hukum Islam juga menjadi sumber pembentukan hukum
nasional yang tumbuh dan berkembang dalam Negara
Republik Indonesia.14

C. KESIMPULAN
Dewasa ini sudah semakin banyak orang-orang yang mengetahui
tentang perjanjian syari’ah, tetapi kebanyakan dari mereka (orang awam)
belum mengetahui tentang perbedaan perjanjian syari’ah dengan perjanjian
biasanya (konvensional), orang-orang kebanyakan berpikir bahwa perjanjian
syari’ah disi sama halnya dengan perjanjian konvensional yang sudah ada
sejak dulu. Sebenarnaya perjanjian syari’ah dan hukum dari perjanjian
tersebut sudah ada sejak zaman dahulu, hal itu dapat ditinjau dari sejarah yang
telah dipaparkan di atas, sejak masyarakat adat hingga saat ini hukum
perjanjian syari’ah telah ada. Bahkan di dalam Al-Qur’an, al-Hadits dan
Ijtihad dari beberapa Ulama telah mengemukakannya. Dan saat ini hukum
perjanjian syar’iah telah banyak di aplikasikan oleh masyarakat Indonesia
sendiri dan dunia.
Kedudukan hukum Islam (termasuk di dalamnya hukum perikatan
Islam) setelah Indonesia merdeka sudah lebih kukuh, tanpa dikaitkan dengan
hukum adat.Dalam KHI Sighat merupakan salah satu rukun akad yang
penting, karena tanpanya akad tidak mungkin terjadi.

D. DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim Munthe, “Penggunaan Perjanjian Baku Dalam Transaksi Bisnis
Menurut Hukum Islam,” Ahkam, Vol. XV, No.02, Juli, 2015

Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan teori dan cotoh
kasus, (Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2005)

Asep Rozali, “Transformasi Akad Perbankan Syariah dalam Pembentukan


Hukum Perikatan Nasional”, dalam Jurnal Wawasan Yuridika, Vol. 4,
No. 1, Maret 2020

Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta,


2009)

Gemala Dewi dkk, Hukum Prikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana


Prenada Media group, 2013)

Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana


Prenada Media Group, 2005)
14
Gemala Dewi dkk, Hukum Prikatan Islam di Indonesia., hlm. 14.
Mu’adil Faizin, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Lampung: Pustaka
Warga Press, 2020)

Muhammad Harfin Zuhdi, “Prinsip-Prinsip Akad Dalam Transaksi Ekonomi


Islam”, dalam Iqtishaduna Volume viii, Nomor 2, Juni 2017

Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT Pradnya


Paramita)

Anda mungkin juga menyukai