Muamalah
A. Pengertian
Secara umun pengertian Fiqih Muamalah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan
tindakan manusia dalam persoalan keduniaan, misalnya dalam persoalan jual beli, hutang
piutang, kerja sama dagang, perserikatan, kerja sama dalam penggarapan tanah, dan sewa
menyewa, dan ijarah(upah).
Shahhathah (Al-Ustaz Universitas Al-Azhar Cairo) dalam buku Al-Iltizam bi Dhawabith asy-
Syar’iyah fil Muamalat Maliyah (2002) mengatakan, “Fiqh muamalah ekonomi, menduduki
posisi yang sangat penting dalam Islam. Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas
muamalah, karena itu hukum mempelajarinya wajib ‘ain (fardhu) bagi setiap muslim.
Husein Shahhatah, selanjutnya menulis, “Dalam bidang muamalah maliyah ini, seorang
muslim berkewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai kepatuhan kepada
syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada
sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari. Seorang Muslim yang bertaqwa dan
takut kepada Allah swt, harus berupaya keras menjadikan muamalahnya sebagai amal shaleh
dan ikhlas untuk Allah semata”.
Memahami/mengetahui hukum muamalah maliyah wajib bagi setiap muslim, namun untuk
menjadi expert (ahli) dalam bidang ini hukumnya fardhu kifayah. Oleh karena itu, Khalifah
Umar bin Khattab berkeliling pasar dan berkata : “Tidak boleh berjual-beli di pasar kita,
kecuali orang yang benar-benar telah mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam”
(H.R.Tarmizi). Sehubungan dengan itulah Dr.Abdul Sattar menyimpulkan Muamalat adalah
inti terdalam dari tujuan agama Islam untuk mewujudkan kemashlahatan manusia.
Menurut Wahbah Zuhaili, hukum muamalah itu terdiri dari hukum keluarga, hukum
kebendaan, hukum acara, perundang-undangan, hukum internasional, hukum ekonomi dan
keuangan.
Setelah mengenal secara umum apa saja yang dibahas dalam fiqh muamalat, ada prinsip
dasar yang harus dipahami dalam berinteraksi. Ada 5 hal yang perlu diingat sebagai
landasan tiap kali seorang muslim akan berinteraksi. Kelima hal ini menjadi batasan
secara umum bahwa transaksi yang dilakukan sah atau tidak, lebih dikenal dengan
singkatan MAGHRIB, yaitu (singkatan dari ) Maisir, Gharar, Haram, Riba, dan Bathil.
1. Maisir
Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti
memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir sering dikenal
dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang dapat memperoleh
keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam kondisi bisa
untung atau bisa rugi. Padahal islam mengajarkan tentang usaha dan kerja keras.
Larangan terhadap maisir / judi sendiri sudah jelas ada dalam AlQur’an (2:219
dan 5:90)
2. Gharar
Menurut bahasa gharar berarti pertaruhan. Terdapat juga mereka yang
3
3. Haram
Ketika objek yang diperjualbelikan ini adalah haram, maka transaksi nya
mnejadi tidak sah. Misalnya jual beli khamr, dan lain-lain.
4. Riba
Pelarangan riba telah dinyatakan dalam beberapa ayat Al Quran. Ayat-ayat
mengenai pelarangan riba diturunkan secara bertahap. Tahapan-tahapan
turunnya ayat dimulai dari peringatan secara halus hingga peringatan secara
keras.
Tahapan turunnya ayat mengenai riba dijelaskan sebagai berikut :
Pertama, menolak anggapan bahwa riba tidak menambah harta justru
mengurangi harta. Sesungguhnya zakatlah yang menambah harta. Seperti yang
dijelaskan dalam QS. Ar Rum : 39 .
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”
Kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang keras
4
kepada orang Yahudi yang memakan riba. Allah berfiman dalam QS. An Nisa :
160-161 .
“Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka,
dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.”
Ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat
ganda. Allah menunjukkan karakter dari riba dan keuntungan menjauhi riba
seperti yang tertuang dalam QS. Ali Imran : 130.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
Keempat, merupakan tahapan yang menunjukkan betapa kerasnya Allah
mengharamkan riba. (QS. Al Baqarah : 278-279). Berikut ini menjelaskan
konsep final tentang riba dan konsekuensi bagi siapa yang memakan riba.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.”
5. Bathil
Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada
kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat. Semuanya harus sama-sama
rela dan adil sesuai takarannya. Maka, dari sisi ini transaksi yang terjadi akan
merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat dan diharap agar bisa tercipta
hubungan yang selalu baik. Kecurangan, ketidakjujuran, menutupi cacat barang,
mengurangi timbangan tidak dibenarkan. Atau hal-hal kecil seperti
5
Firman Allah Swt. dan Hadits Rasulullah Saw. yang berkaitan dengan Muamalat
ب بِالْعَدْ ِل َوال ٌ ِس ًّمى فَا ْكتُبُوهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَيْنَ ُك ْم َكات َ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإذَا تَدَايَنْت ُ ْم بِدَي ٍْن إِلَى أ َ َج ٍل ُم
َس ْ َّللاَ َربَّهُ َوال يَ ْبخ َّ ق ِ َّ علَ ْي ِه ْال َح ُّق َولْيَت
َ َّللاُ فَ ْليَ ْكتُبْ َو ْلي ُ ْم ِل ِل الَّذِي َّ ُعلَّ َمهَ ب َك َما َ ُ ب أ َ ْن يَ ْكت
ٌ ب َكا ِت َ ْ يَأ
ُض ِعيفًا أ َ ْو ال يَ ْست َ ِطي ُع أ َ ْن يُ ِم َّل هُ َو فَلْيُ ْم ِل ْل َو ِليُّه َ س ِفي ًها أ َ ْو َ علَ ْي ِه ْال َح ُّقَ ش ْيئًا فَإِ ْن َكانَ الَّذِي َ ُِم ْنه
َض ْون َ ان ِم َّم ْن ت َ ْر ِ َ ش ِهيدَي ِْن ِم ْن ِر َجا ِل ُك ْم فَإِ ْن لَ ْم يَكُونَا َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج ٌل َوا ْم َرأَت َ بِ ْالعَدْ ِل َوا ْست َ ْش ِهد ُوا
عوا َوال ُ ُ ش َهدَا ُء ِإذَا َما د ُّ ب ال َ ْ ض َّل ِإحْ دَاهُ َما فَتُذ َ ِ ِّك َر ِإحْ دَاهُ َما األ ْخ َرى َوال يَأ ِ َ ش َهد َ ِاء أ َ ْن تُّ ِمنَ ال
ش َهادَةِ َوأَدْنَى أَال َّ َّللا َوأ َ ْق َو ُم ِلل
ِ َّ َط ِع ْند َ يرا ِإلَى أ َ َج ِل ِه ذَ ِل ُك ْم أ َ ْق
ُ س ً ِيرا أ َ ْو َكبً ص ِغَ ُتَسْأ َ ُموا أ َ ْن ت َ ْكتُبُوه
ح أَال ت َ ْكتُبُوهَا َوأ َ ْش ِهد ُوا ٌ علَيْ ُك ْم ُجنَا َ ْس َ ِيرونَ َها بَ ْينَ ُك ْم فَلَي ُ اض َرة ً ت ُد ِ ارة ً َح َ ت َ ْرتَابُوا إِال أ َ ْن ت َ ُكونَ ِت َج
َّ َّللاُ َو
َُّللا َّ َّللاَ َويُعَ ِلِّ ُم ُك ُم
َّ سو ٌق بِ ُك ْم َواتَّقُوا ُ ُش ِهيد ٌ َو ِإ ْن ت َ ْفعَلُوا فَإِنَّهُ ف َ ب َوال ٌ ِار َكات َّ ض َ ُ ِإذَا تَبَايَعْت ُ ْم َوال ي
)٢٨٢( ع ِلي ٌم َ ٍيء ْ ش َ بِ ُك ِِّل
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak
mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada
dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu
jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu,
(jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah
penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
6
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah;
Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. A-l-Baqarah: 282.)
[179]. Bermuamalah ialah seperti jual-beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan
sebagainya.
Mencari nafkah (karunia Allah) adalah bagian dari urusan muamalah yang disyariatkan
dalam Islam, setiap kaum muslimin memiliki kesempatan yang sama dalam urusan
muamalah tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup (bekal ibadah). Hal ini dapat kita lihat
dalam ayat yang artinya :” Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri….”(QS. Al-Ra’du: 11),
Artinya jika kita ingin maju atau sukses untuk urusan dunia mapun akhirat tentu harus
berusaha. Dengan demikian kaum muslimin harus bangkit berusaha mencari nafkah sesuai
dengan aturan Allah Swt. Mencari nafkah juga merupakan ibadah kepada Allah Swt.
Jika dalam transaksi itu tidak tunai (utang), ayat di atas mengajarkan untuk dicatat agar
kedua belah pihak mimiliki pegangan yang sama untuk penyesesaiannya di kemudian hari.
Selain itu kalau kita fahami ternyata ilmu administrasi modern sudah diajarkan dalam Islam
sejak 14 abad silam, ini menunjukkan Islam adalah agama modern dan cocok untuk segala
zaman.
ْص َرة ً ِلت َ ْبتَغُوا فَضْال ِم ْن ِ ار آيَتَي ِْن فَ َم َح ْونَا آيَةَ اللَّيْ ِل َو َجعَلْنَا آيَةَ النَّ َه
ِ ار ُمب َ َو َجعَ ْلنَا اللَّ ْي َل َوالنَّ َه
ِ ص ْلنَاهُ ت َ ْف
)١٢( صيال َّ َيءٍ ف َ اب َو ُك َّل
ْ ش َ سَ سنِينَ َو ْال ِح َ َربِِّ ُك ْم َو ِلت َ ْعلَ ُموا
ِّ ِ عدَدَ ال
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan
tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia
dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan
perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas”. (QS. Al-
Isra: 12)
Dalam ayat lain Allah menjelaskan bahwa malam untuk istirahat dan siang untuk
kehidupan yakni berusaha/bekerja mencari karunia Allah (QS. An-Naba: 9 - 11)
Meskipun barang yang dijual-belikan adalah barang halal, tapi jika cara
penjualannya atau cara menakar/menimbangnya tidak benar maka jual-beli tersebut
menjadi haram. Jika kecurangan itu dilakukan oleh penjual, maka keuntungan si
penjual itu haram. Begitu pula jika kecurangan dalam jual-beli iru dilakukan oleh
pembeli, misalnya dengan cara memaksa, mengancam atau pembayarannya tidak
lunas, maka barang yang dibelinya tiu menjadi haram. Itulah sebabnya dalam aturan
Islam jual-beli itu harus suka-sama suka, tidak mengandung ancaman, paksaan,
penipuan dll.
ٍ ع ْن ت َ َر
اض َ ً ارة ِ َيَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ال تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب
َ اط ِل ِإال أ َ ْن تَكُونَ تِ َج
)٢٩( َّللاَ َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما َ ُِم ْن ُك ْم َوال ت َ ْقتُلُوا أ َ ْنف
َّ س ُك ْم إِ َّن
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu[287];
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisaa: 29)
Jual-beli (muamalah) yang benar menurut ajaran Islam adalah yang dilakukan
suka-sama suka (ridha) diantara kedua belah pihak, tidak boleh mengandung unsur
paksaan sebab dapat merugikan salah satu pihak,
[287]. Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang
lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat
merupakan suatu kesatuan.
8
Jika kita tinjau pekerjaan tata niaga/jual-beli sebagai bagian dari bisnis, maka
pekerjaan tersebut mendapat tempat terhormat dalam ajaran Islam. Rasulullah Saw
pernah ditanya oleh seorang sahabat:
Dari Rifa’ah bin Rafi’ ra. Bahwasanya Nabi Saw pernah ditanya: “Pekerjaan apa
yang paling baik”, Beliau menjawab:”Karya tangan seseorang dan tiap-tiap
perjualan yang baik”. (HR. Al-Bazzar, dan menshahihkannya Al-Hakim).
Riba berasal dari Bahasa Arab yang artinya “tambahan”(ziyadah), yang maksudnya
tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman.
[174]. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih
yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu
barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang
yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas,
padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah
yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175]. Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang
kemasukan syaitan.
[176]. Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak
dikembalikan.
[177]. Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu
atau meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah
ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat
gandakan berkahnya.
Bukan hanya masalah jual-beli saja, tapi Allah Swt. pun mengajarkan dan
memerintahkan kepada kita untuk berbuat amal shaleh yaitu mendirikan shalat dan
mengeluarkan zakat sebagaima firmannya:
10
ُ َ الز َكاة َ لَ ُه ْم أ
جْرهُ ْم ِع ْندَ َربِِّ ِه ْم َّ ت َوأَقَا ُموا ال
َّ صالة َ َوآت َ ُوا َ إِ َّن الَّذِينَ آ َمنُوا َو
َّ ع ِملُوا ال
ِ صا ِل َحا
)٢٧٧( َعلَ ْي ِه ْم َوال هُ ْم يَحْ زَ نُون
َ ف ٌ َوال خ َْو
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS, Al-
Baqarah: 277)
)٢٧٨( َالربَا ِإ ْن كُ ْنت ُ ْم ُمؤْ ِم ِنين َّ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا
َ َّللاَ َوذَ ُروا َما بَ ِق
ِّ ِ َي ِمن
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Al-
Baqarah: 278)
[228]. Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. Menurut sebagian besar ulama
bahwa riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Lihat
selanjutnya no. [174].
Sewa-menyewa
IJARAH (SEWA MENYEWA) Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Definisi Ijarah Ijarah secara bahasa berarti al-itsaabah (pengupahan). Secara istilah
yaitu pemilikan manfaat seseorang dengan imbalan.
,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta Abu Bakar menyewa (mengupah)
seorang penunjuk jalan yang mahir dari Bani ad-Dail kemudian dari Bani ‘Abdu bin
‘Adi.”
“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua
anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu
cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu…” [Al-Qa-
shash: 27]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda, “Allah Ta’ala berfirman.
“Tiga orang yang Aku akan menjadi musuhnya pada hari Kiamat; (1) seseorang
yang memberikan janji kepada-Ku lalu ia mengkhianati, (2) seseorang yang menjual
orang merdeka lalu memakan hartanya, dan (3) seseorang yang menyewa pekerja
lalu ia menunaikan kewajibannya (namun) ia tidak diberi upahnya.”
Dari Jabir (ia berkata) bahwa ‘Abdullah bin Ubay bin Salul memiliki seorang budak
wanita yang bernama Masikah dan seorang budak lain yang bernama Amimah.
‘Abdullah menyewakan keduanya untuk berzina, maka kedua budak tersebut
mengadu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan hal tersebut, lalu Allah
menurunkan ayat
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang
kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan
mereka[1036], jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah
kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu[1037].
Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran,
sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari
keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah
mereka dipaksa itu”[1038]. (QS. An-Nuur: 33)
[1036]. Salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, yaitu
seorang hamba boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan, dengan
perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang ditentukan. Pemilik
budak itu hendaklah menerima perjanjian itu kalau budak itu menurut
penglihatannya sanggup melunasi perjanjian itu dengan harta yang halal.
[1037]. Untuk mempercepat lunasnya perjanjian itu hendaklah budak- budak itu
ditolong dengan harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya.
2. Jual-beli anjing
Dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu‘anhu:
Wasiat
ِ صيَّ ِة اثْن
َان ذَ َوا ِ ض َر أ َ َحدَ ُك ُم ْال َم ْوتُ ِحينَ ْال َوَ ش َهادَة ُ بَ ْينِ ُك ْم ِإذَا َح َ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا
ُصيبَة َ َ ض فَأ
ِ صابَتْ ُك ْم ُم ِ األر ْ ض َر ْبت ُ ْم فِي َ غي ِْر ُك ْم إِ ْن أ َنْت ُ ْم
َ ان ِم ْن ِ عدْ ٍل ِمنْ ُك ْم أ َ ْو آخ ََر َ
ارت َ ْبت ُ ْم ال نَ ْشت َ ِري ِب ِه ث َ َمنًا َولَ ْو ِ صالةِ فَيُ ْق ِس َم
ِ َّ ان ِب
ْ اَّلل ِإ ِن َّ سونَ ُه َما ِم ْن بَ ْع ِد ال
ُ ت تَحْ ِب ِ ْال َم ْو
)١٠٦( ََّللا إِنَّا إِذًا لَ ِمنَ اآلثِ ِمين ِ َّ َ ش َهادَة َ َكانَ ذَا قُ ْربَى َوال نَ ْكت ُ ُم
[454]. Ialah: mengambil orang lain yang tidak seagama dengan kamu sebagai
saksi dibolehkan, bila tidak ada orang Islam yang akan dijadikan saksi.
“Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) membuat dosa [455], maka dua orang yang
lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang
meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya
bersumpah dengan nama Allah: "Sesungguhnya persaksian kami labih layak
diterima daripada persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas,
sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang yang menganiaya diri
sendiri." (QS. Al-Maidah: 107)
Sedekah
Perintah bersedekah:
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini Q(S. 2: 195) turun
berkenaan dengan hukum nafkah.
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Hudzaifah.)\
Dalam riwayat lain dikemukakan peristiwa sebagai berikut: Ketika Islam telah
berjaya dan berlimpah pengikutnya, kaum Anshar berbisik kepada sesamanya:
15
"Harta kita telah habis, dan Allah telah menjayakan Islam. Bagaimana sekiranya
kita membangun dan memperbaiki ekonomi kembali?" Maka turunlah ayat
tersebut di atas (S. 2: 195) sebagai teguran kepada mereka, jangan
menjerumuskan diri pada "tahlukah" (meninggalkan kewajiban fi sabilillah dan
berusaha menumpuk-numpuk harta).
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim dan yang
lainnya yang bersumber dari Abi Ayub al-Anshari. Menurut Tirmidzi hadits ini
shahih.)
Menurut riwayat lain, tersebutlah seseorang yang menganggap bahwa Allah tidak
akan mengampuni dosa yang pernah dilakukannya. Maka turunlah "Wala tulqui
biaidikum ilat-tahlukah."
(Diriwayatkan oleh at-Thabarani dengan sanad yang shahih dan kuat, yang
bersumber dari Jabir an-Nu'man bin Basyir. Hadits ini diperkuat oleh al-Hakim
yang bersumber dari al-Barra.)
[160]. Lihat no. [46]. [46]. Syafa'at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu
manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. Syafa'at
yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at bagi orang-orang kafir
عالنِيَةً فَلَ ُه ْم أَج ُْرهُ ْم ِع ْندَ َربِِّ ِه ْم َوال ِ الَّذِينَ يُ ْن ِفقُونَ أ َ ْم َوالَ ُه ْم بِاللَّي ِْل َوالنَّ َه
َ ار ِس ًّرا َو
)٢٧٤( َعلَ ْي ِه ْم َوال هُ ْم يَ ْحزَ نُون َ ف ٌ خ َْو
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara
tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati”. (QS. Al-Baqarah: 274)
Pembatasan
Al-Hajru adalah larangan bagi seseorang untuk mengelola kekayaan karena masih
kecil atau akalnya tidak sempurna. Allah melarang memberi harta kepada para
pemilik yang tidak mampu mengelola hartanya dengan baik. Seperti anak yatim
yang belum baligh, orang yang bodoh, dan orang yang padir. Maka harta tersebut
harus diserahkan kepada walinya yang sanggup mengelola harta tersebut dengan
baik
Artinya : “Sesungguhnya Nabi Saw telah menahan harta Muaz dan beliau jual harta
itu untuk membayar hutangnya.” (HR Daruquthni)
1. Anak kecil
2. Orang gila
3. Orang yang bodoh (menghamburkan hartanya)
4. Muflis (orang miskin) karena hutang
5. Orang yang sakit keras
6. hamba yang tidak diizinkan berdagang
Hukum Hajru
Kepada 6 kelompok orang yang sudah disebutkan diatas maka hajru hukumnya wajib
dilakukan larangan oleh wali masing-masing atau hakim. apabila telah dilakukan
larangan kepada mereka, maka tasarruf (membelanjakan) pada mereka tidak sah.
Tujuan hajru yaitu untuk kemaslahatan pemiliknya dan untuk kemaslahatan orang
lain. untuk kemaslahatan pemiliknya seperti hajr kepada anak kecil, orang gila dan
orang yang bodoh. kalau harta diserahkan kepada mereka, tidak akan membawa
kebaikan sebab mereka tidak bisa menggunakannya dengan baik, sehingga membawa
kerugian.
Anak kecil belum bisa berpikir, orang gila tidak bisa berpikir dan orang yang bodoh
tidak akan mampu menggunakannya. maka harta ditahan oleh walinya dan diberikan
untuk memeliharanya.
Ganti-rugi
اض ِم ْن ُك ْم
ٍ ع ْن ت َ َر
َ ً ارة ِ َيَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ال تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب
َ اط ِل ِإال أ َ ْن تَكُونَ تِ َج
)٢٩( َّللاَ َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما َ َُوال تَقْتُلُوا أ َ ْنف
َّ س ُك ْم إِ َّن
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu[287];
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisaa: 29)
[287]. Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang
lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat Islam
merupakan suatu kesatuan.