Anda di halaman 1dari 7

Nama : Muhamad Alfaridhi

NIM : 11171120000082

Kelas : Politik 5B

Al-Bay’ah wal Mubay’ah

Bai’at (Mubay’ah), pengakuan mematuhi dan menaati imam yang


dilakukan oleh ahl al-hall wa al’aqd dan dilaksanakan sesudah
permusyawaratan.1 Baiat merupakan akar dari kata ba’a yang artinya memberikan
sesuatu dengan harga. Baiat (bai’ah) juga memiliki arti sendiri yakni kesepakatan
kewajiban menjual (bai’) dan janji setia. Jadi bila dilengkapi dengan keseluruhan,
baiat berarti pemberian janji dari orang yang membaiat untuk bertindak patuh dan
taat kepada pemimpin dalam keadaan susah dan lapang, yang disukai dan tidak
disukai, tidak menentangnya, dan menyerahkan segala urusan kepadanya.2

Sedangkan kata bai’at secara etimologi memiliki banyak arti. Di antaranya


digunaan dengan arti Ash-Shafqatu ‘ala Ijabi al-bai’i (uluran tangan sebagai tanda
persetujuan transaksi jual beli), al-mubaya’ah wa ath- tha’ah (pemberian
kekuasaan dan ketaatan), Wa qad tabaaya’uu ‘ala al-amri (sungguh mereka telah
sepakat memberikan kekuasaan atas perkara itu.3 Kata bai’at digunakan dengan
arti al-mu’aaqidah ( yang saling melakukan transaksi), dan dalam hadits alaa
tabaaya’uunii ‘ala al-islam (tidakkah kalian telah membuat kesepakatan
denganku tentang Islam) merupakan ungkapan tentang adanya saling melakukan
transaksi, amsing-masing dari keduanya seolah-olah menjual apa yang
dimilikinya, yakni ikut bersamanya, dengan ikhlas memberikan dirinya,
mentaatinya, dan menguasakan urusannya.4

Menurut Syariat Imam Ibnu Khaldun berkata: ketahuilah bahwasanya


bai’at adalah berjanji dalam ketaatan, sakan seorang yang berbai’t tidak akan
menentang sedikitpun serta akan selalu mentaatinya dalam semua perkara yang
1
Ahmad Djazuli, Fiqh Siyasah-Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah,
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007), h.65
2
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, terj. Musthalah Maufur, M.A, (Jakarta:
Robbani Press, 2000), h.205.
3
Mahmud al-Khaidi, Bai’at dalam Perspektif Pemikiran Politik Islam, (Jawa Timur: Al-Izzah, 2002 ),
hal. 9.
4
Ibid., hal.10.
dibebankan baik dalam keadaan giat maupun malas. Dan mereka ketika berbai’at
kepada seorang pemimpin serta mengokohkan ikatan janjinya meletakkan tangan
mereka dalam tangannya sebagai penguat atas janji mereka, yang demikian itu
sama dengan perilaku penjual dan pembeli, maka disebutkan bai’at yang
merupakan bentuk masdar dari bai’a, sehingga proses bai’at akhirnya selalu
dilakukan dengan berjabat tangan. Inilah landasan bai’at dalam dalam konteks
bahasa dan syari’at sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadits bai’at. Lafadz
ini juga tampak dalam beberapa riwayat di antaranya bai’atatul Khulafa
(pembaiatan para pengganti Rasulullah) dan Aimaanul Bai’ah (sumpah setia
bai’at) seakan-akan para pengganti Rasulullah bersumpah setia dalam janji dan
mereka memahami bahwasanya sumpah setia seluruhnya hanyalah untuk baiat itu,
pemahaman inilah yang akhirnya dikenal dengan sebutan Aimaanul bai’ah .5

Diaud-din rais mengutip pendapat Ibnu Khaldun tentang bai’at ini, dan
menjelaskan:6

Adalah mereka apabila membai’atlan seorang amir dan mengikatkan perjanjian,


mereka meletakkan tangan-tangan mereka di tangannya untuk menguatkan
perjanjian. Hal itu serupa dengan perbuatan si penjual dan si pembeli. Karena
itu dinamakanlah dia bai’at.

Informasi dari Al-Quran yang berkaitan dengan bai’at ini:

1. QS. Al-Fath 10
‫ ِه ۖ َو َم ْن أَوْ فَ ٰى‬C ‫ث َعلَ ٰى نَ ْف ِس‬ َ ‫ ِدي ِه ْم ۚ فَ َم ْن نَ َك‬C‫ق أَ ْي‬
ُ ‫ا يَ ْن ُك‬CC‫ث فَإِنَّ َم‬ َ ْ‫ك إِنَّ َما يُبَايِعُونَ هَّللا َ يَ ُد هَّللا ِ فَو‬
َ َ‫إِ َّن الَّ ِذينَ يُبَايِعُون‬
‫بِ َما عَاهَ َد َعلَ ْيهُ هَّللا َ فَ َسي ُْؤتِي ِه أَجْ رًا َع ِظي ًما‬
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya
mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka,
maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar
janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya
kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.
2. Al-mumtahanah 12

5
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) h.78
6
Ahmad Djazuli, Fiqh Siyasah-Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah,
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007), h.65
َ‫ْر ْقنَ َواَل يَ ْزنِينَ َواَل يَ ْقتُ ْلن‬
ِ ‫ك َعلَ ٰى أَ ْن اَل يُ ْش ِر ْكنَ بِاهَّلل ِ َش ْيئًا َواَل يَس‬ ُ ‫ك ْال ُم ْؤ ِمن‬
Cَ َ‫َات يُبَايِ ْعن‬ َ ‫يَا أَيُّهَا النَّبِ ُّي إِ َذا َجا َء‬
ۖ َ ‫ُوف ۙ فَبَايِ ْعه َُّن َوا ْستَ ْغفِرْ لَه َُّن هَّللا‬
ٍ ‫ك فِي َم ْعر‬ َ َ‫صين‬ ِ ‫أَوْ اَل َده َُّن َواَل يَأْتِينَ بِبُ ْهتَا ٍن يَ ْفت َِرينَهُ بَ ْينَ أَ ْي ِدي ِه َّن َوأَرْ ُجلِ ِه َّن َواَل يَ ْع‬
‫إِ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬

Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman


untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan
Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh
anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara
tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan
yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan
kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.

Mengenai sifat baiat, Ibnu khaldun dalam buku Muhammad Abdul Qadir
mengatakan bahwa akad (baiat) ini mirip dengan akad jual beli secara material
dan juga subyek pelaku yang terlibat di dalamnya: dua pihak, yakni penjual dan
pembeli. Barang dagangannya adalah khilafah. Kemudian, umat apabila membaiat
Amir dan mengadakan akad dengannya mereka menjabat tangan sebagai
penguatan atas perjanjian ini. Hal tersebut mirip dengan perbuatan penjual dan
pembeli. Akad ini disebut dengan bai’at (berjabat tangan sebagai penegasan
persetujuan).7

Ada pula baiat yang dilakukan secara perwakilan. Maksudnya yaitu akad
perwakilan antara umat dan penguasanya yang terpilih dari individunya yang
bertanggung jawab kepadanya.8 Baiat ini bersifat sementara yang terikat dengan
tunduk pada pengawasan dasar. Akad ini merupakan akad perbuatan atas nama
orang yang memberi tugas untuk mewakilinya dalam batas-batas yang ditetapkan.

Dalam buku tersebut juga dikatakan bahwa terdapat suatu tafsiran


mengenai sifat baiat yang memberi pengertian bahwa ada kemiripan antara Ijma
dan baiat. Dimana ijma melahirkan suatu hukum syariah dan baiat melahirkan
khalifah kemudian kaum muslimin harus mematuhi baik hukum syara’ maupun

7
Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik Islam, (Bandung: Mizan, tt), h.68
8
Syukron Kamil, Islam & Demokrasi, (Ciputat: GMP, tt), h.214
khalifah. Dalam sisi yang berbeda, ijma tidak melibatkan umat secara
keseluruhab, akan tetapi keluar dari sekelompok orang yang mempunyai pijakan
kuat dalam fiqih dan kaum muslimin masuk seluruhnya setelah itu diadakanlah
sekelompok kecil dari masyarakat islam. Kemudian kaum muslimin masuk
seluruhnya setelah ini kedalam apa yang disahkan dalam baiat.9

Berbicara tentang hukum berarti kita berbicara tentang legalitas suatu hal.
Jadi, hukum bai’at memiliki makna berupa legalitas tentang bai’at. Syarat-syarat
yang dibutuhkan seorang kepala negara dalam menduduki khilafah dengan cara
yang legal, maka umat wajib memberi bai’at kepadanya, mendukungnya dan
membelanya terhadap pihak-pihak yang berusaha menyingkirkannya sebagai
upaya memelihara kesatuan dan persatuan umat dihadapan musuh baik dari dalam
maupun dari luar. Bagi yang membai’atnya wajib melaksanakan sumpah setia
yang telah diberikan kepadanya.10

Menurut Fathi Usman, unsur-unsur keislaman dalam pemilihan khalifah


masa dinasti Umayyah yang juga digunakan dinasti-dinasti sesudahnya, adalah
dipertahankannya institusi ahlul halli wal ‘aqdi dan bai’at umum (sumpah setia
sebagai kesepakatan kontraktual). Dua unsur inilah secara hukum yang
melegitimasi mereka sebagai khalifah yang sah. Karena itu, tidak sepenuhnya
Bizantium. Dalam pandangan Muhammad Fathi Usman, Mu’awiyah melakukan
pengangkatan terhadap anaknya sebagai pengganti, karena dianjurkan Mughirah
bin Syu’bah, sang konsultan, untuk menghindari pertumpahan darah kembali,
mengingat kompleksitas wilayah politik dan ekonomi saat itu. Ini berbeda dengan
negara di bawah Abu Bakar yang wilayahnya masih sekitar jazirah Arab.
Keberhasilan Umar bin Khatab, meskipun wilayah-wilayah Islam sudah meluas
karena senioritas dan kharismanya yang tinggi.11

Sejumlah hadits juga meriwayatkan adanya bai’at kepada pemimpin.


Imam al-Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, dari Anas bin
Maalik ra bahwa Rasulullah saw keluar pada suatu wakktu pagi yang dingi
sementara kaum Muhajirin dan Anshar sedang menggali parit lalu beliau
9
Ibid., h. 215
10
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000), h. 210.
11
Sukron Kamil, Islam & Demokrasi, (Jakarta: Gema Media Pratama, 2002), hal.146
bersabda; “Allahumma, sesungguhnya kebaikan itu adalah kebaikan akhirat, maka
ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin!” Mereka menjawab: “Kami ialah orang-
orang yang membai’at muhammad untuk berjihad selagi kami masih hidup.”12

Generasi setelah masa sahabat memegang teguh keyakinan ini dan


melaksanakannya, Imam as-Suyuthi menyebutkan dalam kitab Tarikh-nya bahwa
ketika al-Walid bin Abdul Malik naik tahta Khilafah ia bertekad menggusur
saudaranya, Sulaiman bin Abdul Malik dari putra mahkota dan ingin
memberikannya kepada putranya sendiri. Lalu Umar bin Abdul Aziz melarangnya
dan berkata: “Sulaiman mempunyai bai’at di pundak kita.”

Pertanyaan yang muncul di benak kita adalah siapa yang mengambil


bai’at ? yang mengambil bai’at dari kaum muslimin ialah imam di ibukota negara
islam, sedangkan di wilayah-wilayah yang jauh dapat diambil sendiri atau oleh
orang-orang yang mewakilinya.13 Rasulullah sendiri telah mempraktikkannya.
Rasulullah sendiri mengambil atau menerima sumpah setia dalam bentuk bai’at
dan kadangkala diwakili oleh orang yang diberi wewenang untuk itu.

Bai’at pada masa Rasulullah saw bagi laki-laki adalah berbentuk kata-kata
disertai dengan jabat tangan, yang intinya adalah ikrar janji setia kepada
pemimpin, sebagaimana terdapat dalam hadist Ubadah bin ash-Shamit ra tentang
bai’at. Sedangkan bai’at yang dilakukan antara kaum wanita dengan Rasulullah
adalah dengan kata-kata tanpa disertai jabat tangan. Imam Ahmad meriwayatkan
dari Amimah binti Raqiqah berkata: “Aku membai’at Rasulullah saw di tengah-
tengah kaum perempuan mengenai hal-hal yang kalian mampu dan bisa Allah dan
Rasul-Nya lebih kami cintai daripada kami sendiri.” Aku bertanya: “Wahai
Rasulullah, terimalah bai’at kami.” Beliau menjawab: “Aku tidak menjabat tangan
wanita. Kata-kataku untuk satu orang wanita sama dengan kata-kataku untuk
seratus wanita. Dijelaskan bahwa menerima bai’at dalam hadist ini adalah
ungkapan perjanjian dan disebut dengan demikian sebagai ungkapan yang mirip
dengan transaksi harta benda. Maksud kata-kata Aminah di sini adalah: Terimalah
dengan tangan engkau yang mulia dan dengan demikian kami mendapatkan

12
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000), h.211
13
Ibid, h. 211
berkah.” Oleh sebab itu beliau menjawab: “Aku tidak menjabat tangan
perempuan.”

Bentuk bai’at yang diambil oleh Rasulullah saw dari kaum laki-laki terus
berlanjut, pada masa al-Khulafa ar-Rasyidin, sebagian para khalifah Bani Umayah
hingga datang al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi yang membuat bid’ah yang
mengharuskan warga Iraq secara paksa memberi bai’at yang sangat berat dan
tidak boleh menentang khalifah Umawi. Jika mereka melanggar sumpah setia,
maka isteri-isteri mereka merdeka serta darah mereka halal. Paksaan memberi
sumpah setia seperti ini, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Khaldun, lebih banyak
dan lebih dominan. Hal ini berlangsung pada masa Bani Umayyah dan Bani
Abbasiyyah, sehingga mendorong Imam Malik pada masa pemerintahan Bani
Abbasiyah mengeluarkan fatwa bahwa sumpah setia secara paksa tidak berlaku
secara hukum. Ia mengambil resiko berat dengan fatwanya ini, dengan
mengorbankan dirinya menjadi siksaan dan penindasan dari para pejabat tinggi
pemerintahan Abbasiyyah.14

Ada dua macam bai’at: Pertama bai’at khusus di mana ahlul halli wal
‘aqdi berada di tengah umat melakukan akad bai;at lebih dahulu sebelum bai’at
umum sebagai pendahuluan sebelum umat memberi bai’at. Bai’at khusus ini
meskipun menempati posisi sebagai pencalonan bagi khilafah, namun dalam
kenyataan sejarah pemerintahan Islam menunjukkan bahwa orang yang disetujui
oleh ahlul halli wal ‘aqdi di kalangan umat, atau oleh sebagian besar mereka dan
mendapat bai’at khusus mereka, umat pun menerimanya dan memberi bai’at
kepadanya. Kedua adalah bai’at umum. Yaitu bai’at yang dilakukan setelah bai’at
khusus dan berlaku umum bagi semua manusia baik warga kota maupun
pedesaan. Khalifsh sendiri mewakili bai’at dari mereka atau melalui orang yang
mewakilinya.15

14
Ibid., hal.212-213
15
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000), hal.218

Anda mungkin juga menyukai