NIM : 11171120000082
Kelas : Politik 5B
Diaud-din rais mengutip pendapat Ibnu Khaldun tentang bai’at ini, dan
menjelaskan:6
1. QS. Al-Fath 10
ِه ۖ َو َم ْن أَوْ فَ ٰىC ث َعلَ ٰى نَ ْف ِس َ ِدي ِه ْم ۚ فَ َم ْن نَ َكCق أَ ْي
ُ ا يَ ْن ُكCCث فَإِنَّ َم َ ْك إِنَّ َما يُبَايِعُونَ هَّللا َ يَ ُد هَّللا ِ فَو
َ َإِ َّن الَّ ِذينَ يُبَايِعُون
بِ َما عَاهَ َد َعلَ ْيهُ هَّللا َ فَ َسي ُْؤتِي ِه أَجْ رًا َع ِظي ًما
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya
mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka,
maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar
janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya
kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.
2. Al-mumtahanah 12
5
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) h.78
6
Ahmad Djazuli, Fiqh Siyasah-Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah,
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007), h.65
َْر ْقنَ َواَل يَ ْزنِينَ َواَل يَ ْقتُ ْلن
ِ ك َعلَ ٰى أَ ْن اَل يُ ْش ِر ْكنَ بِاهَّلل ِ َش ْيئًا َواَل يَس ُ ك ْال ُم ْؤ ِمن
Cَ ََات يُبَايِ ْعن َ يَا أَيُّهَا النَّبِ ُّي إِ َذا َجا َء
ۖ َ ُوف ۙ فَبَايِ ْعه َُّن َوا ْستَ ْغفِرْ لَه َُّن هَّللا
ٍ ك فِي َم ْعر َ َصين ِ أَوْ اَل َده َُّن َواَل يَأْتِينَ بِبُ ْهتَا ٍن يَ ْفت َِرينَهُ بَ ْينَ أَ ْي ِدي ِه َّن َوأَرْ ُجلِ ِه َّن َواَل يَ ْع
إِ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم
Mengenai sifat baiat, Ibnu khaldun dalam buku Muhammad Abdul Qadir
mengatakan bahwa akad (baiat) ini mirip dengan akad jual beli secara material
dan juga subyek pelaku yang terlibat di dalamnya: dua pihak, yakni penjual dan
pembeli. Barang dagangannya adalah khilafah. Kemudian, umat apabila membaiat
Amir dan mengadakan akad dengannya mereka menjabat tangan sebagai
penguatan atas perjanjian ini. Hal tersebut mirip dengan perbuatan penjual dan
pembeli. Akad ini disebut dengan bai’at (berjabat tangan sebagai penegasan
persetujuan).7
Ada pula baiat yang dilakukan secara perwakilan. Maksudnya yaitu akad
perwakilan antara umat dan penguasanya yang terpilih dari individunya yang
bertanggung jawab kepadanya.8 Baiat ini bersifat sementara yang terikat dengan
tunduk pada pengawasan dasar. Akad ini merupakan akad perbuatan atas nama
orang yang memberi tugas untuk mewakilinya dalam batas-batas yang ditetapkan.
7
Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori Politik Islam, (Bandung: Mizan, tt), h.68
8
Syukron Kamil, Islam & Demokrasi, (Ciputat: GMP, tt), h.214
khalifah. Dalam sisi yang berbeda, ijma tidak melibatkan umat secara
keseluruhab, akan tetapi keluar dari sekelompok orang yang mempunyai pijakan
kuat dalam fiqih dan kaum muslimin masuk seluruhnya setelah itu diadakanlah
sekelompok kecil dari masyarakat islam. Kemudian kaum muslimin masuk
seluruhnya setelah ini kedalam apa yang disahkan dalam baiat.9
Berbicara tentang hukum berarti kita berbicara tentang legalitas suatu hal.
Jadi, hukum bai’at memiliki makna berupa legalitas tentang bai’at. Syarat-syarat
yang dibutuhkan seorang kepala negara dalam menduduki khilafah dengan cara
yang legal, maka umat wajib memberi bai’at kepadanya, mendukungnya dan
membelanya terhadap pihak-pihak yang berusaha menyingkirkannya sebagai
upaya memelihara kesatuan dan persatuan umat dihadapan musuh baik dari dalam
maupun dari luar. Bagi yang membai’atnya wajib melaksanakan sumpah setia
yang telah diberikan kepadanya.10
Bai’at pada masa Rasulullah saw bagi laki-laki adalah berbentuk kata-kata
disertai dengan jabat tangan, yang intinya adalah ikrar janji setia kepada
pemimpin, sebagaimana terdapat dalam hadist Ubadah bin ash-Shamit ra tentang
bai’at. Sedangkan bai’at yang dilakukan antara kaum wanita dengan Rasulullah
adalah dengan kata-kata tanpa disertai jabat tangan. Imam Ahmad meriwayatkan
dari Amimah binti Raqiqah berkata: “Aku membai’at Rasulullah saw di tengah-
tengah kaum perempuan mengenai hal-hal yang kalian mampu dan bisa Allah dan
Rasul-Nya lebih kami cintai daripada kami sendiri.” Aku bertanya: “Wahai
Rasulullah, terimalah bai’at kami.” Beliau menjawab: “Aku tidak menjabat tangan
wanita. Kata-kataku untuk satu orang wanita sama dengan kata-kataku untuk
seratus wanita. Dijelaskan bahwa menerima bai’at dalam hadist ini adalah
ungkapan perjanjian dan disebut dengan demikian sebagai ungkapan yang mirip
dengan transaksi harta benda. Maksud kata-kata Aminah di sini adalah: Terimalah
dengan tangan engkau yang mulia dan dengan demikian kami mendapatkan
12
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000), h.211
13
Ibid, h. 211
berkah.” Oleh sebab itu beliau menjawab: “Aku tidak menjabat tangan
perempuan.”
Bentuk bai’at yang diambil oleh Rasulullah saw dari kaum laki-laki terus
berlanjut, pada masa al-Khulafa ar-Rasyidin, sebagian para khalifah Bani Umayah
hingga datang al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi yang membuat bid’ah yang
mengharuskan warga Iraq secara paksa memberi bai’at yang sangat berat dan
tidak boleh menentang khalifah Umawi. Jika mereka melanggar sumpah setia,
maka isteri-isteri mereka merdeka serta darah mereka halal. Paksaan memberi
sumpah setia seperti ini, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Khaldun, lebih banyak
dan lebih dominan. Hal ini berlangsung pada masa Bani Umayyah dan Bani
Abbasiyyah, sehingga mendorong Imam Malik pada masa pemerintahan Bani
Abbasiyah mengeluarkan fatwa bahwa sumpah setia secara paksa tidak berlaku
secara hukum. Ia mengambil resiko berat dengan fatwanya ini, dengan
mengorbankan dirinya menjadi siksaan dan penindasan dari para pejabat tinggi
pemerintahan Abbasiyyah.14
Ada dua macam bai’at: Pertama bai’at khusus di mana ahlul halli wal
‘aqdi berada di tengah umat melakukan akad bai;at lebih dahulu sebelum bai’at
umum sebagai pendahuluan sebelum umat memberi bai’at. Bai’at khusus ini
meskipun menempati posisi sebagai pencalonan bagi khilafah, namun dalam
kenyataan sejarah pemerintahan Islam menunjukkan bahwa orang yang disetujui
oleh ahlul halli wal ‘aqdi di kalangan umat, atau oleh sebagian besar mereka dan
mendapat bai’at khusus mereka, umat pun menerimanya dan memberi bai’at
kepadanya. Kedua adalah bai’at umum. Yaitu bai’at yang dilakukan setelah bai’at
khusus dan berlaku umum bagi semua manusia baik warga kota maupun
pedesaan. Khalifsh sendiri mewakili bai’at dari mereka atau melalui orang yang
mewakilinya.15
14
Ibid., hal.212-213
15
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000), hal.218