Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

UNITY OF SCIENCE DAN MASA DEPAN PARADIGMA


INTEGRASI
Disusun guna memenuhi tugas filsafat kesatuan ilmu
Dosen pengampu : tolkhatul khoir

Disusun oleh :
1. Muhammad khotibul umam (1702036137)

HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN WALISONGO SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kesatuan keilmuan unity of science adalah solusi untuk menghindari adanya dikotomi antara
ilmu agama dengan ilmu sains yang menjadi penyebab kemunduran umat islam. Unity of
science seperti keterpaduan ilmu agama dan ilmu sains perlu diterapkan melalui kurikulum
dalam mata kuliah atau mata pelajaran di lembaga-lembaga pendidikan islam di Indonesia.
Strategi untuk mengimplementasikan wahdatul ulum (unity of science ) dalam kurikulum
sebagai berikut : Humanisasi ilmu-ilmu keislaman. Humanisasi yang dimaksud adalah
merkonstruksi ilmu-ilmu agar semakin menyentuh dan memberi solusi bagi persoalan nyata
kehidupan manusia di Indonesia. Strategi humanisasi ilmu-ilmu keislaman mencangkup
segala upaya untuk memadukan nilai universal islam dengan ilmu pengetahuan modern guna
peningkatan kualitas hidup dan peradaban manusia. Spritual ilmu pengetahuan. Spritualisasi
adalah memberikan pijakan nilai-nilai ketuhanan (ilahiyah) dan etika terhadap ilmu-ilmu
sekuler untuk memastikan bahwa pada dasarnya semua ilmu berorientasi pada peningkatan/
keberlangsungan hidup manusia dan alam semesta,bukan penistaan/perusakan
keduannya.strategi spiritualisasi ilmu-ilmu modern meliputi segala upaya membangun ilmu
pengetahuan baru yang didasarkan pada kesadaran kesatuan ilmu yang kesemuanya
bersumber dari ayat-ayat Allah baik yang diperoleh melalui nabi, eksplorasi akal, maupun
eksplorasi alam.
Falsafah kesatuan ilmu merupakan fondasi yang membangun pola pikir agar memiliki
perspektif yang khas tentang ilmu pengetahuan. Perspektif yang khas itu akan membimbing
pikiran dan tindakan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan ilmiah.
Paradigma kesatuan ilmu bukanlah paradigma baru. Paradigma ini telah dipraktikkan oleh
para ilmuwan muslim klasik seperti Ibn Sina (980-1037M), al-Kindi (801-870M), dan al-
Farabi (874-950M). Mereka mempelajari ilmu-ilmu Yunani yang lebih menekankan logos
kontemplatif-non eksperimental namun disesuaikan dan dimodifikasi dengan anjuran ilmiah
wahyu yang menekankan observasi empiris atas fakta-fakta alam. Kedua corak ilmu
pengetahuan itu diikat dalam satu kesatuan oleh wahyu. Mereka mempelajari semua ilmu dan
kemudian mendialogkannya hingga saling memperkaya. Itulah kenapa kita perlu mempelajari
paradigma kesatuan ilmu. Agar kita tidak hanya melihat dari satu disiplin ilmu akan tetapi,
mampu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang. Tentu saja, mengenal lebih dalam
falsafah kesatuan ilmu tentu tidak akan terlepas dari membahas sejarah paradigma falsafah
kesatuan ilmu. Di sini kami akan membahas proses sejarah paradigma kesatuan
ilmu(wahdatul ulm).

2. Rumusan Masalah
 Menjelaskan unity of science
 Menjelaskan masa depan paradigma integrasi

3. Tujuan
 Untuk mengetahui penjelasan unity of science
 Untuk mengetahui penjelasan masa depan paradigma integrasi
BAB II

PEMBAHASAN

A. UNITY OF SCIENCE

1. Pengertian Unity of Sciences

Unity of Sciences atau wahdatul ulum adalah sebuah pandangan yang menjelaskan bahwa
semua ilmu yang ada di muka bumi merupakan sebuah kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Hal ini juga berarti bahwa semua ilmu yang ada adalah sebuah pengembangan
dan berasal dari hal yang sama. Sehingga tidak mengherankan jika para ilmuan barat di masa
silam menyebutkan bahwa semua ilmu pengetahuan yang ada merupakan sebuah filsafat.

Memahami tentang Unity of Sciences juga meliputi tentang sebuah hal bahwa setiap ilmu
yang ada tidak dapat berdiri dengan sendirinya. Ada keterkaitan ilmu satu dengan ilmu
lainnya. Dalam artian lain bahwa setiap ilmu bersifat multidimensional, dimana dalam
penulisan dan kajian sebuah cabang ilmu membutuhkan keterlibatan dan bantuan dari ilmu
bantu lainnya.

Sedangkan dalam tinjauan Islam, paradigma unity of sciences ini menegaskan bahwa semua
ilmu pada dasarnya adalah satu kesatuan yang berasal dari dan bermuara pada Allah melalui
wahyu-Nya baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, semua ilmu sudah
semestinya saling berdialog dan bermuara pada satu tujuan dan selalu berjalan beriringan.
Hal ini semestinya berlaku tidak hanya untuk ilmu Agama saja melainkan juga ilmu
pengetahuan. Sehingga sudah semestinya agama dan ilmu pengetahuan selalu berjalan
beriringan dan tidak bertentangan satu sama lainnya.

Paradigma ini akan melahirkan seorang ilmuwan yang ensiklopedis, yang menguasai banyak
ilmu, memandang semua cabang ilmu sebagai satu kesatuan holistic, dan mendialogkan
semua ilmu itu menjadi senyawa yang kaya. Unity of science tidak menghasilkan ilmuwan
yang memasukkan semua ilmu dalam otaknya bagai kliping koran yang tak saling menyapa,
tapi mampu mengolahnya menjadi uraian yang padu dan dalam tentang suatu fenomena
ilmiah (Mulyar Fanani).

Pemahaman tentang konsep inilah yang menyebabkan banyak ilmuan di masa lalu tidak
hanya menguasai salah satu cabang ilmu saja melainkan penguasaan tentang banyak ilmu
pengetahuan pada dirinya sangatlah kuat. Sebagai contoh banyak ilmuan islam di masa lalu
yang menguasai ilmu alam (matematika, fisika, dll) tetapi juga sangat mahir dan menguasai
dalam ilmu perpolitikan semisal ilmuan Islam Al-Farabi. Tokoh lain yang menunjukkan hal
sama juga ditunjukkan oleh Ibn Shina yang dianggap sebagai Bapak kedokteran modern oleh
banyak kalangan. Selain karyanya tentang kedokteran yang sangat terkenal yaitu Qanun fi
Thib yang menjadi rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad, ia juga banyak
menulis di bidang lain terutama filosofi. Karya lain yang terkenal yang memuat banyak
pokok bahasan ilmu lainnya adalah Asy Syifa yang terdiri dari 18 jilid beriri tentang berbagai
macam ilmu pengetahuan.
1. Hubungan antara Sains dan Agama

Berbicara tentang hubungan antara Sains dengan Agama tidak akan lepas membicarakan pula
tentang bagaimana kedua hal ini saling berkaitan di masa silam. Hubungan sains dan agama
dari abad ke abad mengalami pasang surut. Ada masa di mana Islam dan sains terhubung
secara harmonis ada pula konflik yang terjadi dalam hubungan Islam dan sains.

Contoh hubungan agama dan sains yang berlangsung harmonis pada masa kejayaan
peradaban islam. Istilah sains dalam Islam, sebenarnya berbeda dengan sains dalam
pengertian Barat modern saat ini, jika sains di Barat saat ini difahami sebagai satu-satunya
ilmu, dan agama di sisi lain sebagai keyakinan, maka dalam Islam ilmu bukan hanya sains
dalam pengertian Barat modern, sebab agama juga merupakan ilmu, artinya dalam Islam
disiplin ilmu agama merupakan sains.

Agama mencakup nilai-nilai, sedangkan sains berhubungan dengan fakta. Dibedakan


berdasarkan masalah yang ditelaah, domain yang dirujuk dan metode yang digunakan.
Agama dan sains adalah dua domain yang terpisah yakni agama atau Tuhan hanya dapat
dikenal sebagaimana yang diwahyukan, tidak dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan
diri. Sedangkan sains dapat dikenali melalui fenomena dan empiris. Sains dibangun
berdasarkan pengamatan dan penalaran manusia, sedangkan teologi berdasarkan wahyu.
Sains dan agama ditafsirkan sebagai dua bahasa yang tidak saling berkaitan karena fungsi
masing-masing berbeda.

Sains dan agama merupakan dua entitas yang berbeda, namun keduanya sama-sama memiliki
peranan sangat penting dalam kehidupan manusia. Agama dan Sains tidak selamanya berada
dalam pertentangan dan ketidaksesuaian. Banyak ilmuwan yang berusaha mencari hubungan
antara keduanya. Islam adalah agama yang sangat menganjurkan umatnya untuk
mengerahkan segala kemampuannya dalam menggunakan akalnya serta memikirkan segala
apa yang ada di alam semesta ini.

Tetapi diluar hal tersebut jika kita mengkaji secara mendalam tentang Unity of Sciences,
seharusnya antara agama dan sains haruslah menjadi hal yang sejalan dan beriringan bukan
berlawanan seperti dua sisi mata koin yang berbeda. Agama dan Sains merupakan sama-sama
sumber kebenaran yang berangkat dari sudut pandang yang berbeda dan metode yang
berbeda pula. Jika sains adalah kebenaran yang diperoleh dari fakta dan penilitian yang
empiris (bukti). Agama adalah kebenaran yang didasarkan melalui kepercayaan / keimanan
yang didasari firman Tuhan di dalam Al Qur’an.

Al-Qur’an bukanlah kitab sains, tetapi segala pengetahuan tentang sains hendaknya
dirujukkan kedalam Al-Qur’an. Al-Qur’an secara eksplisit telah menerangkan tentang segala
apa yang ada dan terjadi dibumi ini dan dengan sains lah kita membuktikannya. Selain
berbicara tentang agama dan keimanan, di beberapa surat di dalam Al Qur’an juga
disinggung tentang beberapa peristiwa dan keadaan alam semesta yang bersifat ilmu
pengetahuan. Dan faktanya memang semua hal yang berkaitan dengan sains yang dijelaskan
di dalam Al Qur’an nyatanya bersifat fakta setelah dibuktikan di masa sekarang.
2. Pentingnya Unity of Sciences

Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, tentang apa itu Unity of Sciences,
kemudian bagaimana hubungan yang terjadi antara agama dan ilmu pengetahuan. Dapat
diketahui bahwa konsep tentang Unity of Sciences sangatlah penting. Dengan mengetahui
dan mempelajari Unity of Sciences kita dapat tahu bahwa berbagai ilmu pengetahuan adalah
sebuah hal yang berangkat dari satu kesatuan yang berasal dan bersumber dari dan bermuara
pada Allah melalui wahyu-Nya baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu,
semua ilmu sudah semestinya saling berdialog dan bermuara pada satu tujuan dan selalu
berjalan beriringan. Hal ini semestinya berlaku tidak hanya untuk ilmu Agama saja
melainkan juga ilmu pengetahuan. Sehingga sudah semestinya agama dan ilmu pengetahuan
selalu berjalan beriringan dan tidak bertentangan satu sama lainnya.

Paradigma ini akan melahirkan seorang ilmuwan yang ensiklopedis, yang menguasai banyak
ilmu, memandang semua cabang ilmu sebagai satu kesatuan holistic, dan mendialogkan
semua ilmu itu menjadi senyawa yang kaya. Unity of science tidak menghasilkan ilmuwan
yang memasukkan semua ilmu dalam otaknya bagai kliping koran yang tak saling menyapa,
tapi mampu mengolahnya menjadi uraian yang padu dan dalam tentang suatu fenomena
ilmiah (Mulyar Fanani).

Pentingnya Unity of Sciences harusnya dapat membuat kita sadar bahwa semua ilmu
pengetahuan yang ada merupakan hal yang sangat penting. Tidaklagi mengkotak-kotakkan
bagian-bagian dari ilmu-ilmu pengetahuan. Selayaknya kita dapat mengetahui dan menguasai
berbagai dari cabang ilmu pengetahuan. Meskipun fokus kita hanyalah salah satu saja,
sepatutnya dapat mengetahui ilmu lainnya dalam kaitannya dengan Unity of Sciences.

Unity of Sciences inilah yang seharusnya membuat kita menjadi paham bahwa sepatutnya
Ilmu pengetahuan dan Agama itu berjalan beriringan dan harus dimiliki oleh setiap orang.
Konsep inilah yang seharusnya menjadi dasar banyak orang sebagai bekal dalam kehidupan
yang ia hadapi.1

3. Unity Of Science Ibn Sina Dalam Kitab Asy-Syifa


Secara historis, merembetnya filsafat Yunani ke dalam keilmuan Islam berawal pada abad
ke-9, yakni ketika berbagai naskah Yunani diperkenalkan dan disebarkan di lingkungan
keilmuan Muslim. Dampak awal yang ditimbulkan akibat perkenalan ini adalah lahirnya
pemikir-pemikir filosofis. Bahkan beberapa di antaranya tercatat sebagai penyalur ide- ide
Yunani ke dalam filsafat Barat seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd1. Hasil utama dari perkenalan
tersebut antara lain ialah meriapnya Neoplatonisme yang dipelopori oleh Plotinus (w.270)
dan murid tersohornya, Porphyrry asal Tyre (w. 303). Neoplatonisme menengarai semangat
baru filsafat Yunani yang secara cerdas mencobapadukan aliranaliran besar dalam pemikiran
Yunani Klasik, seperti Platonisme, Aristotelianisme, Pythagoreanisme, dan Stoisisme dalam
wacana keagamaan dan mistis Timur2. Dalam bab ini, akan dipaparkan tentang lingkungan
intelektual dan sosio-politik yang mempengaruhi kehidupan Ibn Sina. Pengembaraan
kehidupan Ibn Sina akan dimulai dengan sekilas tentang kehidupan ilmiah Yunani dan
kurikulum sekolah filsafat yang diajarkan di Akademi di Athena dan Alexandria, yang pada

1 Ahmad maimun Syamsudin, Integrasi Multidimensi Agama Sains, 2012, Jakarta: Diva Press.
gilirannya menjadi standar baku bagi studi filsafat, yaitu tradisi filsafat Arab sebagai pewaris
langsung dan kelanjutan dari Neoplatonis- Aristotelianisme. Selain tradisi tradisi ilmiah
Yunani-Arab, Ibnu Sina juga mengambil inspirasi dari pengaruh adat budaya di mana dia
tinggal. Ini termasuk, agama Islam itu sendiri dan terutama artikulasi filosofis-teologis
(kalam), dan warisan budaya Persia. Tentu saja matematika, sains, dan filsafat perkembangan
yang sedang dilakukan dalam bahasa Arab juga. Ibnu sina mendefinisikan al-hikmah sepadan
dengan Filsafat. Ia mengawali maqalat pertama dengan uraian tentang ilmu filsafat.
Menurutnya filsafat ada dua bagian; teoritis dan praktis.

B. PARADIGMA INTEGRASI KEILMUAN


1. Pengertian paradigma integrasi

Secara ontologis, paradigma integrasi-interkoneksi keilmuan ini bertitik tolak dari


asumsi ontologis bahwa suatu disiplin ilmu sama sekali tidak bisa berdiri sendiri tanpa
merasa butuh bekerjasama dengan yang lainnya. Realitas kehidupan saat ini terlalu
kompleks untuk bisa dijelaskan hanya oleh satu disiplin ilmu tertentu tanpa melibatkan
disiplin ilmu lainnya. Asumsi ontologis seperti ini meniscayakan adanya prinsip bahwa
antara berbagai disiplin ilmu (ilmu agama, ilmu sosial, ilmu alam, dan ilmu budaya),
terjalin hubungan yang bercorak afirmatif, kompelentatif, klarifikatif, verifikatif, korektif,
maupun transformatif. Hal ini karena setiap disiplin ilmu pada dasarnya memang
memiliki batas demarkasi yang jelas, namun tidak kaku. Garis batas tersebut memiliki
pori-pori, sehingga ia dapat merembes ke dalam disiplin ilmu lainnya dan begitu pula
sebaliknya (semipermeable). Watak saling merembes seperti ini sebenarnya tidak hanya
berada pada ranah epistemologi keilmuan semata, melainkan juga pada ranah yang lebih
luas, seperti antara agama dan budaya lokal, antara peradaban Islam dan peradaban Barat,
antara keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan, antara PTAI, pesantren, dan
masyarakat, dan begitu seterusnya.

Adanya watak saling merembes satu sama lain tersebut dikarenakan bahwa setiap
disiplin ilmu pada prinsipnya memiliki sisi obyektif dan subyektif sekaligus. Sebuah
teori, sebagai contoh, yang pada awalnya diyakini obyektif berdasarkan proses dan
validitasnya. Namun, ia juga bisa menjadi subyektif ketika dikaitkan dengan
subyektivitas sang penemu yang tidak akan pernah bisa bebas dari unsur-unsur
subyektivitas dalam dirinya, atau juga ketika teori itu kemudian diyakini oleh orang atau
kelompok lain sehingga menjelma menjadi keyakinan dan ideologi. Oleh karenanya,
pergumulan antara sisi obyektif dan sisi subyektif tersebut harus disempurnakan
menjadi intersubjective testability, yakni ketika semua komunitas keilmuan (community
of researchers) dari berbagai disiplin keilmuan ikut bersama-sama berpartisipasi menguji
tingkat kebenaran penafsiran dan pemaknaan data yang diperoleh sang penemu tadi. Dua
watak (saling-merembes dan pergerakan dinamis sisi obyektif-subyektif-intersubyektif)
di atas jelas meniscayakan adanya daya imajinasi yang kreatif (creative imajination) dari
setiap ilmuwan. Artinya, seorang ilmuwan tak boleh berhenti untuk berpikir kritis,
mempertanyakan, dan meramu ulang suatu disiplin ilmu tertentu, serta mendialogkannya
dengan disiplin ilmu lain. Dengan begitu, setiap disiplin ilmu bisa selalu releban dengan
realitas kehidupan yang semakin kompleks saat ini.
Paradigma keilmuan integratif-interkonektif sebagai lensa pandang (view lens) dalam
pengembangan keilmuan Islam menghendaki adanya keterpaduan dan keterkaitan antar
berbagai disiplin ilmu. Paradigma integrasi-interkoneksi memiliki kerangka dasar dimana
al-Qur’an dan al-Hadits menjadi pusat pusaran kajian keilmuan. Keberadaan al-Qur’an
pada pusat pusaran ini mengisyaratkan bahwa al-Qur’an dan al-Hadits menjadi semangat
baru pengembangan keilmuan yang sesuai dengan nilai-nilai normatif dari sumber ajaran
Islam.

Pada lapis selanjutnya merupakan penafsiran al-Qur’an dan al-Hadits dengan metode
hermeneutis sehingga mampu melahirkan berbagai disiplin ilmu yang sesuai dengan
perkembangan zaman dan isu-isu kontemporer namun tetap memegang teguh nilai-nilai
trensendent agama Islam. Lapis-lapis yang terilustrasikan dalam jaring laba-laba tersebut
bukan merupakan seseuatu yang finish-absolute, melainkan masih banyak tersedia ruang
untuk ditempati berbagai disiplin ilmu atau isu-isu yang akan muncul di kemudian hari.
Dalam pandangan paradigma keilmuan integratif-interkonektif, setiap disiplin ilmu harus
memiliki tiga entitas, yakni hadlarah al-nash, hadlarah alfalsafah, dan hadlarah al-‘ilm,
yang juga sebagai suember peradaban berkemajuan. Ketiga entitas hadlarah al-nash,
hadlarah al-falsafah, dan hadlarah al-‘ilm ini ketika berada dalam satu kajian ilmu baik itu
ilmu keagamaan, ilmu sosialhumaniora maupun kealaman, maka ilmu tersebut
merupakan ilmu dengan paradigma integrasi. Ketika ketiga entitas hadlarah al-nash,
hadlarah al-falsafah, dan hadlarah al-‘ilm ini saling berkomunikasi dan bertegur sapa,
maka ilmu tersebut merupakan ilmu dengan paradigma interkoneksi. Ontologi paradigma
keilmuan integratif-interkonektif mengelompokkan objek kajiannya kedalam ayat-ayat
qawliyyah dan kawniyyah Allah swt. 76 Epistemologi paradigma keilmuan integrasi-
interkoneksi memiliki pandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah Allah swt,
dengan cara mengkaji ayat-ayat kawniyyah dan qawliyyah-Nya. Epistemologi paradigma
keilmuan integrasi-interkoneksi memberikan wewenang bagi akal, panca indera, dan hati
(qalb) sebagai sarana mencapai ilmu.

Aspek aksiologis pengembangan dan penggunaan ilmu dengan paradigma keilmuan


integrasi-interkoneksi ditujukan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh alam
(rahmatan li al-‘alamin). Untuk mancapai tujuan mulia dari paradigma keilmuan
integrasiinterkoneksi tersebut, maka model kajian informatif, konfirmatif (klarifikatif),
korektif, komplementasi, komparasi, induktifikasi, dan verifikasi menjadi pintu masuk
menuju praksis paradigma keilmuan integrasi-interkoneksi. Dengan berbagai aspek di
atas; paradigmma integrasi-interkoneksi, entitas keilmuan berbasis hadlari, kerangka
dasar, aspek filosofis, dan model kajian integrasi-interkoneksi, menjadikan paradigma
integrasi-interkoneksi sebagai sebuah konstruksi keilmuan yang utuh. Untuk sebuah
konstruksi, paradigma integrasi-interkoneksi menjadi lensa pandang (view lens),
kerangka dasar keilmuan menduduki peran sebagai desain (design of building), entitas
keilmuan berbasis hadhari menjadi pilah penyangga (stanchion), aspek folosofis yang
terdiri dari; ontologi sebagai pondasi bangunan (foundation of building); epistemologi
sebagai dinding bangunan (wall of building), dan aksiologi sebagai atap bangunan (roof
of building), dan model-model kajian integrasi-interkoneksi sebagai pintu masuk kedalam
bangunan (entrance of building).
Namun menurut M. Amin Abdullah, ilmu pengetahuan manusia secara umum hanya
dikategorikan menjadi tiga wilayah pokok: Natural Sciences, Social, dan Humanities.
Namun yang ada sekarang adalah banyak di antara output yang dihasilkan oleh suatu
lembaga pendidikan hanya mengetahui soal-soal "normativitas" agama, tetapi kesulitan
memahami realitas agama sendiri, lebih-lebih memahami historis agama orang lain,
belum lagi masuk kepada persoalan pokok tentang titik perpaduan antara "ilmu" dan
"agama" apakah mengikuti single entity, isolated entities, interconected entities. Dalam
perkembangannya, strategi pembelajaran hendaknya mampu memberikan inovasi baru
dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar, dengan menampilkan model atau
bentukbentuk pembelajaran tertentu yang lebih rinci sehingga kualitas kelimuan yang
dipelajari akan menjadi lebih spesifik, fokus, serta diharapkan mampu mengantarkan
peserta didik kita dapat menemukan sendiri konsep yang sebenarnya.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Unity of Sciences atau wahdatul ulum adalah
sebuah pandangan yang menjelaskan bahwa semua ilmu yang ada di muka bumi merupakan
sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bahwa semua ilmu pengetahuan yang ada di
muka bumi ini bersumber dari Allah SWT. Selain itu, antara ilmu pengetahuan dan agama
adalah sebuah hal yang seharusnya berjalan beriringan. Ada hubungan yang erat yang harus
tetap dijaga dan dimiliki oleh setiap insan manusia.

Agama dan Sains merupakan sama-sama sumber kebenaran yang berangkat dari sudut
pandang yang berbeda dan metode yang berbeda pula. Jika sains adalah kebenaran yang
diperoleh dari fakta dan penilitian yang empiris (bukti). Agama adalah kebenaran yang
didasarkan melalui kepercayaan / keimanan yang didasari firman tuhan di dalam Al Qur’an.

2. Saran

Setelah membaca makalah ini, diharapakan para stake holder tidak hanya sekadar mengetahui
teori yang menjadi pembahasan dalam makalah ini. Akan tetapi, mampu mengambil langkah
yang berarti dalam praktiknya, terkait peran penting mengetahui dan memahami “Unity of
Sciences” dalam proses pembelajaran Al Qur’an dan IPTEK.

Anda mungkin juga menyukai