Anda di halaman 1dari 45

Metode Pengambilan Keputusan Hukum dalam

Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama’


Oleh: Akatina
Mahasiswa Program Magister Ilmu Falak UIN Walisongo

Akatinasuwignyo1@gmail.com

Pendahuluan

Nahdlatul Ulama‟ adalah sebagai gerakan


Jam’iyah Diniyyah Ijtima’iyyah menggunakan paham
Ahlussunnah wal jama‟ah dan menganut salah satu dari
imam madzhab empat yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan
Hanbali 1 , sebagai pegangan dalam berfiqih. Dengan
mengikuti empat madzhab ini, menunjukkan bahwa
elastisitas dan fleksibilitas serta memungkinkan bagi NU
untuk pindah madzhab secara total atau beberapa hal
yang dipandang sebagai kebutuhan (hajah).
Dalam memutus hukum NU mempunyai wadah
yang disebut dengan bahtsul masa’il, Bahtsul masa’il
adalah forum yang membahas dan memecahkan masalah
maudu’iyah (tematik) dan memecahkan masalah-masalah
waqi’iyah (aktual) yang memerlukan kepastian hukum

1
Lihat AD NU Pasal 3 Ayat 1.
dan sebagai jawaban atas persoalan yang muncul maupun
respon dari keadaan yang ada dalam jam‟iyyah maupun
masyarakat.2
Begitu besar harapan masyarakat NU terhadap
peran dan fungsi bahtsul masa’il dalam upaya mencari
kepastian hukum. Beragam persoalan yang muncul, baik
yang menyangkut masa’il diniyyah maudu’iyyah
(masalah-masalah agama yang tematik) maupun masa’il
diniyyah waqi’iyyah (masalah-masalah agama sehari-
hari) oleh karena itu sudah barang tentu menjadi tugas
bahtsul masa’il untuk menerbitkan fatwa.
Namun seiring perkembangan dan mengalami
perubahan zaman yang makin deras memunculkan
masalah-masalah baru, aktivitas bahtsul masa’il mulai
dipertanyakan efektifitas dan kredibilitasnya dengan
banyaknya masa’il diniyyah (masalah-masalah
keagamaan) yang tidak tuntas atau bahkan mengalami
tawaqquf (kebuntuan). Kondisi inilah menuntut adanya
perbaikan terhadap metode penetapan atau pembahasan

2
Lihat ART NU Pasal 14 Ayat 4 Butir (L).

1
masalah yang dipandang masih kurang sistematis dan
banyak kelemahannya.
Apa yang di ikhtiarkan NU dalam wadah
bahtsul masa’il adalah merujuk pada fiqih atau hukum-
hukum yang telah lalu. Bagaiamanapun juga rumusan
hukum yang telah di konstruksikan ratusan tahun yang
lalu, jelas tidak akan memadahi dalam keadaan zaman
sekarang, baik dalam situasi sosial, politik, dan kurtural
sangatlah jauh berbeda.
Sejarah dan Perkembangan Bahtsul Masa’il
Lajnah Bahtsul Masa’il adalah forum ilmiah
keagamaan tertinggi bagi warga NU dan juga merupakan
perangkat organisasi NU yang bertugas melaksanakan
program kerja NU dalam mengembangkan hukum Islam
(baca: fiqih). Pengembangan atau pembinaan hukum
yang dilakukan sebagaimana disebutkan dalam butir 7
fasal 16 ART NU 3 bertugas menghimpun, membahas,
dan memecahkan masalah-masalah maudu’iyyah dan

3
AD/ART.

2
waqi’iyyah untuk segera dicarikan kepastian hukumnya.4
Oleh karena itu, lembaga ini merupakan bagian
terpenting dalam organisasi NU, sebagai forum diskusi
alim ulama‟ (Syuriah) dalam menetapkan hukum suatu
masalah yang keputusannya merupakan fatwa dan
berfungsi sebagai bimbingan bagi warga NU dalam
mengamalkan agama sesuai dengan paham Ahlussunnah
Waljama‟ah.5
Secara historis, forum bahtsul masa’il sudah ada
sebelum NU berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi di
kalangan pesantren yang melibatkan kiai dan santri yang
hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO (Lailatul Ijtima‟
Nahdlatul Oelama‟). Dalam buletin LINO, selain memuat
hasil, bahtsul masa’il juga menjadi ajang diskusi
interaktif jarak jauh antara para ulama. Seorang kiai
menulis ditanggapi kiai lain, begitu seterusnya. 6 Dalam

4
M. Imdadun Rahmat (ED), Kritik Nalar Fiqih NU
Transformasi Paradigma Bahtsul Masa’il, (Jakarta : Lakpesdam,
2002), hlm 21.
5
H. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, S.Sos,
Antologi NU : Sejarah – Istilah – Amaliah – Uswah, (Surabaya :
Khalista, 2007), hlm.35
6
Dokumentasi tentang LINO ini ada pada keluarga
(alm.) KH. Abdul Hamid, Kendal. Lewat LINO ini pula ayah saya
3
civitas pesantren, forum bahtsul masa’il bukan suatu hal
yang asing bagi kalangan santri. Karena dari dulu hingga
sekarang ini bahtsul masa’il telah menjadi tradisi baku
dalam disiplin pendidiakan ilmu dipesantren.
Latar belakang munculnya Lajnah Bahtsul
Masa’il (pengkajian masalah-masalah agama), yaitu
adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam,
terutama yang menyangkut kebutuhan praktis (‘amaly)
bagi kehidupan sehari-sehari. Hal ini mendorong para
ulama dan intelektual NU untuk mencari solusinya
dengan melakukan bahtsul masa’il.
Bila ditelusuri hasil-hasilnya, maka bahtsul masa’il
pertama dilaksanakan pada 1926, yakni beberapa bulan
setelah berdirinya NU.7

(KH. Mahfudh Salam) saat itu bertentangan dengan Kiai Murtadlo


Tuban mengenai hukum menerjemahkan khutbah ke dalam bahasa
Jawa atau Indonesia. Itu bukan berarti tukaran (konflik), tetapi hanya
sebatas berbeda pendapat dan saling menghormati. Kiai Mahfudh
membolehkan khutbah diterjemahkan sementara Kiai Murtadlo
tidak. Sampai sekarang tradisi khutbah di daerah Tuban tidak ada
yang diterjemahkan. Lihat KH. MA. Sahal Mahfudh, Bahtsul
Masa’il dan Istinbath Hukum dalam NU, dikutip dari
http://bahrudinonlinet.netne.net. (di akses 15 Mei 2019)
7
Baca Poetoesan-Poetoesan Congres Nahdlotoel
„Oelama‟, “Oetoesan Nahdlotoel ‘Oelama’ No. 3 Tahun I
(Soerabaia : tp., 1347 H), hlm. 3-50
4
Meskipun kegiatan bahtsul masa’il sudah ada
sejak Kongres/ Muktamar I, namun institusi Lajnah
Bahtsul Masa‟il baru resmi ada pada Muktamar XXVIII
di Yogyakarta tahun 1989, pada waktu itu Komisi I
(Bahtsul Masa’il) merekomendasikan kepada PBNU
untuk membentuk “Lajnah Bahtsul Masa’il Diniyah”
(lembaga pengkajian masalah-masalah agama) sebagai
lembaga permanen yang khusus menangani persoalan
keagamaan. Hal ini didukung oleh halaqah (sarasehan)
Denanyar yang diadakan pada tanggal 26 – 28 Januari
1990 bertempat di Pondok Pesantren Mamba‟ul Ma‟arif
Denanyar Jombang yang juga merekomendasikan
dibentuknya “Lajnah Bahtsul Masa’il Diniyah”.
Harapannya waktu itu, kegiatan tersebut dapat
menghimpun para ulama dan Intelektual NU untuk
melakukan Istinbath Jam’iy (penggalian dan penetapan
hukum secara kolektif). Berkat desakan Muktamar
XXVIII dan halaqah Denanyar tersebut. Akhirnya pada
tahun 1990 terbentuklah Lajnah Bahtsul Masa’il Diniyah

5
berdasarkan Surat Keputusan PBNU Nomor
30/A.I.05/5/1990.8
Kegiatan bahtsul masa’il pada mulanya
dilaksanakan setiap tahun, yaitu pada Muktamar I sampai
dengan Muktamar XVII (1946-1947) Muktamar XVIII
dan XIX (1950-1951) Muktamar XX dan XXI (1954-
1956). Namun, selama kurun waktu 1957-1979,
penyelenggaraan bahtsul masa’il tidak stabil. Pada
periode ini bahtsul masa’il hanya terlaksana delapan kali.
Baru pada periode 1980-1990an bahstul masa’il dapat
berlangsung secara periodik selama 2 sampai 3 tahun
sekali. Pelaksanaan silih berganti, yaitu bersamaan
dengan penyelenggaraan musyawarah nasional (munas)
dan muktamar. Sejak tahun 1926-
1999 telah diselenggarakan bahtsul masa’il tingkat
nasional sebanyak 39 kali. Namun karena ada beberapa
ada muktamar yang dokumennya belum atau tidak
ditemukan yaitu Muktamar XVII, XVIII, XIX, XXI,

8
Imam AZ dan Nasikh, Liputan : Dari Halaqah Denanyar, Jurnal
Santri No. 3, Tahun I (1990),
hlm. 22-26.
6
XXII, dan XXIV, maka yang dapat dihimpun hanya 33
kali bahtsul masa’il yang menghasilkan 505 keputusan.9
Dalam memutuskan sebuah hukum,
sebagaimana dimaklumi, NU mempunyai forum bahtsul
masa’il yang dikoordinasi oleh Lembaga Syuriyah
(legislatif) Nahdlatul Ulama. Forum ini bertugas
mengambil keputusan tentang hukum-hukum Islam baik
yang berkaitan dengan masa’il fiqhiyah (masalah fiqih),
masalah ketauhidan, dan bahkan masalah-masalah
tasawuf (tarekat). Pesertanya adalah para anggota
Syuriyah, ulama-ulama NU yang berada di luar struktur
organisasi, juga pengasuh pesantren. Masalah-masalah
yang dibahas umumnya merupakan kejadian (waqi’ah)
yang diajukan masyarakat kepada Syuriyah, baik oleh
organisasi ataupun perorangan. Setelah di inventarisasi,
maka Syuriyah menentukan skala prioritas
pembahasannya. Jika terjadi kemacetan (mauquf) dalam
pembahasannya, maka akan diulang dan diajukan ke
tingkat organisasi yang lebih tinggi: dari Ranting ke

9
Asal-usul-bahtsul-masail,
http://salamelqoeds.blogspot.com/2011/03/ (diakses 5
Mei 2019)
7
Cabang, dari Cabang ke Wilayah, dari Wilayah ke
Pengurus Besar dan dari PB ke Munas dan pada akhirnya
ke Muktamar.
Bahtsul masa’il NU menunjukkan sebuah forum
ijtihad yang dinamis, demokratis dan “berwawasan luas”.
Dikatakan dinamis sebab persoalan (masa’il) yang
dibahas selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum
di masyarakat. Demoktratis karena dalam forum tersebut
semua peserta dianggap sama kedudukannya, tidak ada
perbedaan antara kiai, santri baik yang tua maupun muda.
Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil.
Dikatakan “berwawasan luas” sebab dalam forum
bahtsul masa’il tidak ada dominasi madzhab dan selalu
sepakat dalam khilaf.10

10
Salah satu contoh menunjukkan fenomena “sepakat
dalam khilaf “ ini adalah mengenai status hukum bunga bank.
Dalam memutuskan masalah krusial ini tidak pernah ada
kesepakatan. Ada yang mengatakan halal, haram, subhat. Itu terjadi
sampai Muktamar NU tahun 1971 di Surabaya. Muktamar tersebut
tidak mengambil sikap. Keputusannya masih tiga pendapat: halal,
haram, subhat. Ini sebetulnya merupakan langkah antisipatif NU.
Sebab ternyata setelah itu berkembang berbagai bank dan lembaga
keuangan modern yang dikelola secara profesional. Orang pada
akhirnya tidak bisa menghindar dari persoalan bank.
8
Ditinjau dari perspektif komparatif, jam‟iyyah
NU memiliki forum kajian ilmu keagamaan dan lembaga
fatwa yang disebut Lajnah Bahtsul masa’il maka
organisasi islam yang lain seperti SI (Sarekat Islam) ada
Majelis Syuro 11 , Muhammadiyah ada Majelis Tarjih 12 ,
Persis (Persatuan Islam) ada Dewan Hisbah 13 , al-
Jam‟iyatul Washilah ada Dewan
Fatwa 14 , dan MUI (Majelis Ulama‟ Indonesia) ada
Komisi Fatwa15. Tidak lain adalah sebagai wadah untuk
memberikan solusi atau memecahkan masalah
keagamaan.
Pemikiran atau fikih NU ini secara teoritis telah
menemukan performa bakunya berupa pola bermadzhab.
Namun, secara praktiknya, masih perlu pembenahan

11
Abdul Aziz Dahlan et al. (ed), Ensiklopedia Hukum
Islam, Jilid III (Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), hlm.
175.
12
Fathurrahman Jamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih
Muhammadiyah, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1995).
13
Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah
Persis, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999).
14
Kholidah, Metode Ijtihad Dewan Fatwa al-Jam’iyatul
Washilah Periode 1988 – 1998* (Tesis MA, IAIN Sumatera Utara,
Medan, 2000).
15
Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis
Ulama Indonesia : Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di
Indonesia, 1975 – 1988 (Jakarta : INIS, 1993).
9
dalam aspek konsistensinya dalam penggunaan prosedur
penyelesaian hokum.16
Metode Istinbath Hukum Lajnah Bahtsul Masa’il NU
Pengertian istinbath al-ahkam (istibanth hukum)
dikalangan NU tidak diartikan dengan mengambil hukum
secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur‟an dan
asSunnah, tetapi sesuai dengan sikap dasar bermadzhab,
yaitu men‫تطبق‬kan (memberlakukan) secara dinamis nash-
nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari
hukumnya. Sedangkan istinbath dalam pengertian
pertama (menggali secara langsung dari al-Qur‟an dan
Hadits) cenderung ke arah perilaku ijtihad yang oleh para
ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-
keterbatasan pengetahuan yang disadari oleh mereka,
terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap
yang harus diakui oleh seorang mujtahid. Sementara itu,
istinbath dalam pengertian kedua, selain praktis, dapat
dilakukan oleh semua ulama NU yang telah memahami
rujukan-rujukan kitab fiqih sesuai dengan terminologinya

16
Mahsun Mahfudz, “Membaca Nalar Hukum Nahdlatul
Ulama”, Jurnal Studi Islam Madinah 9 (2013), 20.
10
17
yang baku. Oleh karena itu, kalimat istinbath di
kalangan NU, terutama dalam kerja bahtsul masa’il-nya
Syuriyah tidak populer karena kalimat itu telah populer
di kalangan ulama NU dengan konotasinya yang pertama
yaitu ijtihad, suatu hal yang oleh ulama Syuriyah tidak
dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai
gantinya dipakai kalimat bahtsul masa’il yang artinya
membahas masalah-masalah waqi’ah (yang terjadi)
melalui referensi (maraji’), yaitu kutub al-fuqaha’ (kitab-
kitab karya para ahli fiqih).
Dalam memahami Islam, NU terkesan sangat
berhati-hati dan tidak mau memecahkan persoalan
keagamaan yang dihadapi dengan merujuk langsung
kepada nas al-Qur‟an maupun as-Sunnah. Hal inilah
tidak terlepas dari pandangan bahwa matarantai
perpindahan ilmu agama Islam tidak boleh terputus dari
suatu generasi ke generasi berikutnya. Bahwa kemauan
manusia akan senantiasa berubah menuju sesuatu yang

17
KH. Sahal Mahfudh, Bahtsul Masa’il dan Istinbath
Hukum NU, dari Pengantar Buku Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam: Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama
(1926-2010), Jakarta : LTNU PBNU – Khalista, 2011.
11
baru, yang lebih baik. 18 Yang dapat dilakukan adalah
menelusuri matarantai yang baik dan sah pada setiap
generasi.19 Dalam pengantar Anggaran Dasar NU tahun
1947, Ra‟is Akbar dan salah satu seorang pendiri NU,
Hadratussyekh KH. M.Hasyim Asy‟ari menyatakan:
‫فيا أيها انعهًاء وانسعادة األتقياء يٍ أهم انسُت وانجًاعت‬
‫أهم يذاهب األئًْت األ ربعت أَتى قد أخذتى انعهىو يًٍ قبهكى‬
ًٍ‫ويٍ قبهكى يًٍ قبهه با ئتصال انسُد انيكى وتُظزوٌ ع‬
ٍ‫ فأَتى خزَتها وابىابها وال تؤتىا انبيىث اال ي‬،‫تأخذوٌ ديُكى‬
20
Artinya: .‫ فًٍ أتاها يٍ غيز أبىابها سًى سارق‬،‫أبىابها‬
Wahai para ulama’ dan tuan-tuan yang takut kepada Allah
dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, golongan madzhab
imam yang empat. Engkau sekalian telah menuntut ilmu dari
orang-orang sebelum kalian dan begitu seterusnya secara
bersambung sampai kepada kalian. Dan engkau sekalian
tidak gegabah memperhatikan dari siapa mempelajari agama.

18
Mahsun, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam Melalui
Integrasi Metode Klasik dengan Metode Saintifik Modern”, al-
Ahkam, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang 25
(2015), 1.
19
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi
tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta : LP3ES, 1984), hlm. 149-
153.
20
Hadratussyekh KHM. Hasyim Asj‟ari, Ihya’ ‘Amal
al-Fudala’ : Muqaddimah Anggaran Dasar NU (Kendal : tp., 1969),
hlm. 37-38.
12
Maka oleh karenanya kalianlah gudang bahkan pintu ilmu
tersebut. Janganlah memasuki rumah melainkan melalui
pintunya. Barang siapa memasuki rumah tidak melalui
pintunya, maka ia disebut pencuri.

Dari pernyataan yang tersebut diatas dapat


dipahami mengapa NU dalam memecahkan persoalan
keagamaan yang dihadapi merasa perlu berkonsultasi
dengan kitab-kitab yang dianggap mu’tabarah (diakui)
yang ditulis ulama madzhab empat. Demikian juga yang
dilakukan terhadap sebagian terbesar persoalan
keagamaan yang dibahas dan ditetapkan keputusan
hukumnya oleh Lajnah Bahtsul Masa’il, mulai yang
pertama (1926). Tradisi bermadzhab ini dilestarikan
melalui lembaga pendidikan pesantren yang berada di
bawah naungan NU. Lajnah Bahtsul Masa’il dalam
mengaplikasikan pendekatan madzhabiy menggunakan
tiga metode istinbath hukum yang diterapkan secara
berjenjang, yaitu:
a. Metode qauliy
Metode ini adalah suatu cara istinbath hukum
yang digunakan oleh ulama/ intelektual NU dalam
Lajnah Bahtsul Masa’il dengan mempelajari masalah

13
yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada
kitab-kitab fiqh dari madzhab empat, dengan mengacu
dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya.
Atau dengan kata lain, mengikuti pendapat-pendapat
yang sudah “jadi” dalam lingkup madzhab tertentu.21
Walaupun penerapan metode ini sudah berlangsung
sejak lama, yakni sejak pertama kali dilaksanakan
bahtsul masa’il (1926), namun hal ini baru secara
eksplisit dinyatakan dalam keputusan Munas Alim
Ulama di Bandar Lampung (21-25 Juni 1992):22
1. Untuk menjawab masalah yang
jawabannya cukup dengan menggunakan
‘ibarat kitab,23
2. Bila dalam menjawab masalah masih
mampu dengan menggunakan ‘ibarat
kitab, tapi ternyata ada lebih dari satu
qaul/wajah, maka dilakukan taqrir
jam’iy22 yang berfungsi untuk memilih

21
KH. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan NU,
(SurabayaPPRMIdan Dinamika Press, 1997), hlm. 364.
22
Ibid.., hlm. 365.
23
‘Ibarat kitab adalah ungkapan atau bunyi tekstual
yang ada pada kitab-kitab rujukan Lajnah Bahtsul Masa’il.

14
24
satu qaul/wajah. Pemilihan qaul/wajah
ketika dalam suatu masalah dijumpai
beberapa qaul/wajah dilakukan dengan
memilih salah satu pendapat dengan
ketentuan:25
1. Mengambil pendapat yang lebih
maslahat dan/ atau yang lebih kuat
2. Sedapat mungkin dengan
melaksanakan ketentuan Muktamar I
(1926), bahwa perbedaan pendapat
diselesaikan dengan memilih:
a. Pendapat yang disepakati asy-
Syaikhain (Imam an-Nawawi dan
Imam ar-Rafi‟i).
b. Pendapat yang dipegang oleh an-
Nawawi saja
c. Pendapat yang dipegang oleh ar-
Rafi‟i saja
d. Pendapat yang didukung oleh
mayoritas ulama

24
Taqrir jam’iy adalah upaya secara kolektif untuk
menetapk ‫شى‬pilihan terhadap satu di antara beberapa qaul/wajah.
Ibid
25
Ibid., hlm. 367.

15
e. Pendapat ulama yang terpandai
f. Pendapat ulama yang paling wara’
Ini bisa dilihat dalam keputusan bahtsul
masail NU, pada muktamar I (21-23 September
1926), tentang boleh atau tidaknya harta dari zakat
digunakan untuk pendirian masjid, madrasah, atau
pondok pesantren, yang dianggap bisa disamakan
dengan sabilillah. Jawabnya adalah tidak boleh.
Karena yang dimaksud sabilillah adalah mereka
yang berperang untuk membela agama Allah.
Jawaban ini bersumber dari kitab Rahmatul Ummah.
Di sana dikatakan dengan redaksi yang jelas, “Para
ulama sepakat atas tidak bolehnya mengeluarkan
harta zakat untuk mendirikan masjid atau mengafani
mayat.26
b. Metode ilhaqiy
Metode ilhaqiy dalam prakteknya
menggunakan prosedur dan persyaratan mirip
qiyas. Ada perbedaan antara qiyas dengan ilhaq,
yaitu kalau qiyas adalah menyamakan hukum

26
Abu Hamdan Abdul Jalil Hamid Kudus , Ahkam al-
Fuqaha’, Juz I, Semarang: Toha Putra, tt, h. 9
16
sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan
sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya
berdasarkan nash al-Qur‟an dan/ atau as-Sunnah,
sedangkan ilhaq adalah menyamakan hukum
sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan
sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya
berdasarkan teks suatu kitab (mu’tabar). Jadi, bila
suatu masalah tidak ditemukan redaksinya dalam
kitab-kitab kuning yang dianggap sudah
mu’tabar, maka jalan keluarnya adalah ilhaqu
masa’il binadhairiha, menyamakan hukum suatu
kasus yang belum dijawab oleh kitab dengan
kasus serupa yang telah dijawab oleh kitab.
Dalam penggunaan metode ini ada prosedur
ilhaq yang harus dipenuhi: mulhaq bih (perkara
yang belum ada ketetapan hukumnya), mulhaq
alaih (perkara yang sudah ada kepastian
hukumnya), dan wajh al-ilhaq (faktor keserupaan
antara mulhaq bih dan mulhaq alaih). Semua itu
ditentukan oleh para mulhiq (pelaku ilhaq) yang
sudah ahli.

17
Contohnya dalam hukum jual beli petasan
untuk merayakan hari raya atau acaa pengantin.
Keputusan bahtsul masail pada Muktamar II (9-
11 Oktober 1927) menyatakan hukum jual beli
tersebut adalah sah. Karena ada maksud baik
yaitu membuat suasana ramai dan perasaan
gembira dengan adanya suara petasan.27
Pendapat ini didasarkan pada kitab I‟anah
al-Thalibin juz III/121-122. “Adapun
membelanjakan harta untuk bersedekah, aspek-
aspek kebaikan, makanan, pakaian, dan hadiah,
maka tidak termasuk tindakan yang sia-sia.
Menurut pendapat yang terkuat, mengapa
diperbolehkan ? karena didalamnya mengandung
tujuan besar, yaitu mendapatkan pahala atau
bersenang-senang. Karena itu dikatakan, dalam
hal kebaikan tidak ada yang dinamakan israf dan
tidak ada kebaikan dalam israf.”
Pada kitab Al-Bajuri (h.652-654)
diterangkan “Menjual sesuatu yang dapat dilihat

27
Khamid Kudus, Ahkam al-Fuqaha, juz II, h. 24-25.
18
(dihadirkan) itu diperbolehkan asal memenuhi
persyaratan: barang itu suci, dapat dimanfaatkan,
dapat diserahkan dan dimiliki oleh pembeli.”
Dari rujukan diatas, tak ada yang
mengatakan secara eksplisit hukum jualbeli
petasan, yang ada hanya uraian singkat tentang
diperbolehkannya membelanjakan harta untuk
kebaikan dan kesenangan. Kemudian soal
keabsahan merujuk pada keabsahan jualbeli
benda-benda yang dapat dihadirkan, suci, dan
bermanfaat. Jadi wajh al-ilhaq adalah sama-sama
benda suci dan bermanfaat.
c. Metode manhajiy
Metode manhajiy adalah suatu cara
menyelesaikan masalah keagamaan yang
ditempuh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan
mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan
hukum yang telah disusun imam madzhab. 28
Sebagaimana metode qauliy dan ilhaqiy,
sebenarnya metode manhajiy juga sudah

28
KH. Aziz Masyhuri,........ hlm. 364.

19
diterapkan oleh para ulama NU terdahulu,
walaupun tidak dengan istilah manhajiy dan tidak
pula diresmikan melalui sebuah keputusan.
Bahwa berdasarkan kriteria dan indentitasnya,
diyakini telah ada praktek penerapan metode
manhajiy bagi setidaknya enam keputusan Lajnah
Bahtsul Masa’il yang diselenggarakan sebelum
Munas Alim Ulama di Bandar Lampung.29
Contoh metode manhajiy dalam putusan
Muktamar XIII Nahdhlatul Ulama‟ Nomor :
03/MNU-28/1989 mengenai hukum menjual
barang dengan dua macam harga yang berlainan
antara cash dan kredit, antara kredit berjangka
pendek dan berjangka panjang.
Menjual barang dengan dua macam harga
jika dilakukan dalam satu aqad, hukumnya tidak

29
Keenam keputusan yang dimaksud adalah keputusan
Muktamar I (1926) tentang hukum bersedekah pada mayit,
Muktamar V (1930) tentang minuman yang disangka memabukkan,
Muktamar X (1935) tentang dana santunan anak yatim dan
sebagainya yang diperoleh dari pertunjukan, Muktamar XIV (1939)
mengenai suami yang mendapat nafkah dari istri, Muktamar XX
(1954) mengenai sandiwara untuk propaganda Islam, dan Munas
Alim Ulama NU (1987) mengenai uang administrasi koperasi
simpan pinjam.
20
boleh/ tidak sah. Tetapi jika dilakukan dengan
aqad mustaqil (aqad terpisah), hukumnya boleh/
sah. Jawaban tersebut menggunakan metode
manhajiy karena dalam menghukumi masalah
tersebut langsung merujuk ke sumbernya (hadits),
dengan menggunakan metode ijtihad yang
digunakan ulama-ulama madzhab. Tertera dalam
kitab Tuhfatul Muhtaj Bi Hamisy Syarwani Juz.IV
hal. 294, Fathul Wahab Juz.I hal. 165.
Periode Pembaruan
Pada era 1980-an, forum-forum bahtsul masail
NU sering kali menemukan kebuntuan, masalah yang
mengemuka tak ditemukan qaulnya dalam kitab-kitab.
Karena itu, masalah-masalah pun terpaksa di-mauquf-
kan. Mengapa? Metode qauli nampaknya kurang
efektif menjawab tantangan zaman. Saatnya
pembenahan dan penyegaran metode istinbat dalam
lajnah bahtsul masail. Usulan pembaruan metode ini
lamat-lamat didengungkan oleh beberapa kalangan di
NU. Mereka umumnya menganggap penting
peninjauan ulang metode bahtsul masail yang selama
ini berjalan.
21
Metode qauli saja dianggap tidak cukup untuk
membahas permasalahan kekinian yang membludak.
Perlu metode baru yang tidak kaku, lebih applicable,
dan kontekstual dalam pemahaman teks. Salah satu
tokoh yang perihatin dengan kondisi bahtsul masail
NU yang sedang mandeg ini adalah kiai Ma‟ruf Amin,
yang waktu itu menjabat sebagai Katib Aam PBNU.
Karena itu, pada Musyawarah Nasional Alim Ulama
(Munas) NU di Bandar Lampung, tahun 1992, ia
begitu bersemangat untuk merumuskan sistem baru
dalam pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul
masail, yaitu metode manhaji.
Kalau ditelaah, istilah metode manhaji ini
tidak langsung ujug-ujug muncul di Munas Lampung.
Tapi ada proses pergulatan yang melatarbelakangi.
Bermula pada tahun 1988, atas restu Rais Syuriah NU
wilayah Jawa Tengah KH. MA. Sahal Mahfudh dan
Rais Syuriah NU wilayah Jawa Timur KH. Imran
Hamzah, halaqah yang bersifat nasional digelar di
pondok pesantren Watucongol Muntilan Magelang,

22
Jawa Tengah. Tema yang diangkat adalah Telaah
Kitab Kuning secara Kontekstual.30
Pertemuan yang digelar dari tanggal 15-17
Desember ini ternyata mendapat sambutan yang luar
biasa, baik dari kiai-kiai sepuh maupun anak-anak
muda NU yang berbasis di kampus. Di penghujung
acara, halaqah ini merumuskan lima rekomendasi.
Pertama, Memahami teks kitab klasik harus
disertai dengan analisis terhadap konteks sosial
historisnya. Kedua, mengembangkan kemampuan
observasi dan analisis terhadap teks kitab kuning.
Ketiga, memperbanyak studi banding (muqabalah)
dengan kitab-kitab lain, baik dalam lingkup madzhab
Syafii maupun madzhab lainnya. Keempat,
meningkatkan intensitas diskusi dengan para
intelektual dan pakar, jika masalah yang dikaji
berkaitan dengan fenomena sosial di luar kitab
kuning. Terakhir, mampu menghadapkan kajian teks

30
Hasil Mudzakarah Pengembangan Ulum al-Diniyahn
Melalui Telaah Kitab secara Kontekstual, di PP Watucongol,
Muntilan, Magelang, 15-17 Desember 1988
23
kitab kuning dengan wacana aktual dengan
menggunakan bahasa yang komunikatif.31
Rekomendasi ini terus didengungkan di
berbagai forum, terutama di halaqah-halaqah internal
pesantren. Dengan tujuan agar gagasan ini juga bisa
dimengerti dan dipahami oleh kalangan pesantren.
Pertengahan bulan Oktober 1989, menjelang
Muktamar XXVIII, forum serupa digelar. Halaqah
kali ini digelar di pondok pesantren al-Munawwir
Krapyak Yogyakarta, dengan tema yang lebih besar,
“Masa Depan NU”. Halaqah ini melakukan telaah
kembali tentang makna “bermadzhab” yang selama
ini berkembang di NU. Kesimpulan saat itu,
bermadzhab itu tidak semata-mata qauli, mengikuti
pendapat imam. Tapi bermadzhab juga bisa secara
manhaji, mengikuti metodologinya.32
Muktamar XXVII usai. Sayang, tak ada
perubahan mendasar yang dihasilkan pertemuan kiai-
kiai NU lima tahunan itu, terutama terkait metode

31
ibid
32
Ahmad Qodri Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial,
Yogyakarta: LKIS, 2000, h. 50-54.
24
istinbat bahtsul masail. Untuk kembali
mendengungkan metode manhaji, halaqah pengkajian
metode bahtsul masail kembali digelar. Kali ini
dilaksanakan di pondok pesantren Manbaul Maarif
Jombang. Pertemuan kali ini menghasilkan gagasan
penetapan hukum dalam bahtsul masail yang lebih
responsif.33
Pertama, memahami dan mengamalkan ajaran
Islam yang bersumber dari al-Qur‟an dan hadis
dengan menggunakan sistem bermadzhab adalah cara
yang terbaik. Kedua, bermadzhab itu ada dua model,
bermadzhab secara qauli dan manhaji. Ketiga, bagi
orang awam pilihannya adalah bermadzhab secara
qauli. Sedang bagi individu yang memiliki perangkat
keilmuan tapi belum mencapai derajat mujtahid
muthlaq mustaqil, mujtahid yang sepenuhnya mandiri,
maka bermanhaj dilakukan secara manhaji. Keempat,
bermadzhab manhaji dilakukan dengan cara istinbat
jama’i, penggalian dan penetapan hukum secara
kolektif. Ini bisa dilakukan bila ditemukan ayat aqwal

33
Majalah Santri, No. 3, th. I, 1990, h. 27.
25
(beberapa pendapat) dari madzhab empat oleh para
ahlinya. Adapun terhadap hal-hal yang ditemukan
aqwalnya, namun masih berbeda (mukhtalaf fiha),
maka dilakukan taqrir jama’i, penetapan secara
kolektif. Kelima, bermadzhab baik manhaji maupun
qauli dilakukan dalam ruang lingkup madzhab empat.
Hasil dari rangkaian halaqah yang digelar di
pesantren-pesantren itulah yang kemudian diusung di
Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung, 1992.
Gagasan dan rekomendasi yang ditelorkan di halaqah
itu dibahas pada forum Munas Lampung. Akhirnya
usaha untuk memecah kebekuan metodologi bahtsul
masail di NU berbuah manis. Ini tak bisa dilepaskan
dari peran kiai Ma‟ruf Amin, yang saat itu bagian dari
kelompok “NU tua” dan struktural, yang begitu
bersemangat untuk menggolkan metode ini.
Hasil rumusan keputusan Munas yang dibidani
oleh kiai Ma‟ruf Amin, terkait dengan alur prosedur
penetapan hukum di bahtsul masail NU:
1. Dalam kasus ketika jawaban cukup dengan
ibarat kitab dan disana terdapat hanya satu
qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah
26
sebagaimana diterangkan dalam ibarat
mereka.
2. Dalam kasus ketika jawaban bias dicukupi
oleh ibarat kitab dan disana terdapat lebih
dari satu qaul/wajah, maka dilakukan
taqrir jama’i untuk memilih satu
qaul/wajah.
3. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah
sama sekali yang memberikan
penyelesaian, maka dilakukan prosedur
ilhaqul-masail bi nazha’iriha secara jama’i
oleh para ahlinya.
4. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah
sama sekali dan tidak mungkin dilakukan
ilhaq, maka bias dilakukan istinbat jama’i
dengan prosedur bermazhab secara
manhaji oleh para ahlinya.
Munas di Lampung saat itu juga menghasilkan
terobosan gagasan kerangka analisis masalah,
terutama dalam memecahkan masalah sosisal. Diawali
dengan analisa masalah dan dampaknya, analisa
hukum, dan analisa tindakan.
27
Poin terobosan dan terbaru dari prosedur
penetapan hukum adalah penetapan metode manhaji,
jika metode qauli sudah tak lagi berkutik. Dengan
menggunakan metode ini, secara otomatis kerangka
analisis masalah juga harus dilakukan. Penerapan
metode ini, menurut kiai Ma‟ruf, harus mengikuti
secara hirarkis metode istinbat yang diterapkan oleh
empat imam madzhab. Berarti harus mengikuti jalan
pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah
disusun oleh imam madzhab.
Munas di lampung, bagi kiai Ma‟ruf, adalah
masa tajdid di NU. Dulu yang hanya menggunakan
qauli saja, kini menggunakan qauli wa manhaji, dulu
tekstual kini kontekstual. Bentuk kemajuan dalam
penetapan hukum di bahtsul masail ini langsung
terlihat di forum Munas tersebut. Saat itu, tak ada lagi
kata mauquf. Pada Munas Lampung 1992, bahtsul
masail telah membahas hukum bunga bank.
Sebelum Munas di Lampung, pembahasan hukum
bunga bank ini sudah berkali-kali digelar, tapi belum
sampai pada titik klimak kesimpulan. Antara lain,
Muktamar II tahun 1927 yang memutuskan haramnya
28
bunga gadai; Muktamar XIV tahun 1937 mengenai
keharaman bunga bank; Muktamar XIV tahun 1939
memutuskan bahwa bunga koperasi haram; Konbes
Syuriah NU tahun 1957 yang menegaskan keharaman
bunga bank; Muktamar XXV tahun 1971 mengharamkan
bunga deposito; Munas NU tahun 1987 menetapkan
bahwa uang administrasi bagi peminjam uang koperasi
itu sama dengan bunga, jadi hukumnya haram.
Riba secara bahasa berarti tumbuh dan tambah.
Sedangkan secara istilah, Abdurrahman Al-Jaziri dalam
kitab Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-
Arba’ah mengartikannya sebagai “bertambahnya salah
satu dari dua penukaran yang sejenis tanpa adanya
imbalan untuk tambahan ini”. Para ulama, baik ulama
salaf (mazhab empat) maupun ulama kontemporer,
semua sepakat akan keharaman riba. Bahkan ulama yang
membolehkan bunga bank, juga mengharamkan riba.34
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
perbedaan pendapat ulama bukan soal hukum keharaman

34
Al-Mabsut juz 14 halaman 36, Al-Syarh al-Kabir juz 3
halaman 226, Nihayatul Muhtaj juz 4 halaman 230, Al-Mughni juz 4
halaman 240, Al-Tafsir al-Wasit juz 1 h. 513).
29
riba, melainkan soal hukum bunga bank. Ulama yang
mengharamkan bunga bank menganggap bahwa bunga
bank termasuk riba, sedangkan ulama yang
membolehkannya meyakini bahwa ia tidak termasuk
riba.
Dalam kegiatan bank konvensional, terdapat dua
macam bunga: Pertama, bunga simpanan, yaitu bunga
yang diberikan oleh bank sebagai rangsangan atau balas
jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank,
seperti jasa giro, bunga tabungan, atau bunga deposito.
Bagi pihak bank, bunga simpanan merupakan harga
beli. Kedua, bunga pinjaman, yaitu bunga yang
dibebankan kepada para peminjam atau harga yang harus
dibayar oleh peminjam kepada bank, seperti bunga
kredit. Bagi pihak bank, bunga pinjaman merupakan
harga jual.
Bunga simpanan dan bunga pinjaman merupakan
komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank.
Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus
dikeluarkan kepada nasabah, sedangkan bunga pinjaman
merupakan pendapatan yang diterima dari nasabah.
Selisih dari bunga pinjaman dikurangi bunga simpanan
30
merupakan laba atau keuntungan yang diterima oleh
pihak bank.35
Para ulama kontemporer berbeda pendapat
tentang hukum bunga bank. Pertama, sebagian ulama,
seperti Yusuf Qaradhawi, Mutawalli Sya‟rawi, Abu
Zahrah, dan Muhammad al-Ghazali, menyatakan bahwa
bunga bank hukumnya haram, karena termasuk riba.
Pendapat ini juga merupakan pendapat forum ulama
Islam, meliputi: Majma‟ al-Fiqh al-Islamy, Majma‟ Fiqh
Rabithah al-„Alam al-Islamy, dan Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
Adapun dalil diharamkannya riba adalah firman
Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surat al-Baqarah ayat
275:
َّ ‫َوأَ َح َّل‬
‫َّللاُ ْال َبي َْع َو َحرَّ َم الرِّ َبا‬
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.”
Dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah:

35
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah,
h.503-504
31
َّ ‫صلَّى‬
‫َّللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم آ ِك َل‬ ِ َّ ‫ َل َع َن َرسُو ُل‬:‫َعنْ َج ِاب ٍر َقا َل‬
َ ‫َّللا‬
‫الرِّ َبا َوم ُْو ِك َل ُه َو َكا ِت َب ُه َو َشا ِه َد ْي ِه َو َقا َل ُه ْم َس َواء‬
Dari Jabir, ia berkata: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan
(mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua
orang yang menyaksikannya.” Ia berkata: “Mereka
berstatus hukum sama.” (HR. Muslim, nomor 2994)36

Kedua, sebagian ulama kontemporer lainnya, seperti


syaikh Ali Jum‟ah, Muhammad Abduh, Muhammad
Sayyid Thanthawi, Abdul Wahab Khalaf, dan Mahmud
Syaltut, menegaskan bahwa bunga bank hukumnya boleh
dan tidak termasuk riba. Pendapat ini sesuai dengan
fatwa yang dikeluarkan Majma‟ al-Buhus al-Islamiyyah
tanggal 23 Ramadhan 1423 H, bertepatan tanggal 28
November 2002 M.
Mereka berpegangan pada firman Allah subhanahu
wata‟ala Surat an-Nisa‟ ayat 29:
َ ‫ِين آ َم ُنوا ََّل َتأْ ُكلُوا أَ ْم َوا َل ُك ْم َب ْي َن ُك ْم ِب ْالبَاطِ ِل إِ ََّّل أَنْ َت ُك‬
‫ون‬ َ ‫َياأَ ُّي َها الَّذ‬
‫اض ِم ْن ُك ْم‬ٍ ‫ار ًة َعنْ َت َر‬َ ‫ت َِج‬

36
Yusuf Qaradhawi, Fawa’id al-Bunuk Hiya al-Riba al-
Haram, Kairo: Dar al-Shahwah, halaman 5-11; Fatwa MUI Nomor
1 tahun 2004 tentang bunga
32
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu.”
Pada ayat di atas, Allah melarang memakan harta
orang lain dengan cara yang batil, seperti mencuri,
menggasab, dan dengan cara riba. Sebaliknya, Allah
menghalalkan hal itu jika dilakukan dengan perniagaan
yang berjalan dengan saling ridha. Karenanya, keridhaan
kedua belah pihak yang bertransaksi untuk menentukan
besaran keuntungan di awal, sebagaimana yang terjadi di
bank, dibenarkan dalam Islam.
Di samping itu, mereka juga beralasan bahwa jika
bunga bank itu haram maka tambahan atas pokok
pinjaman itu juga haram, sekalipun tambahan itu tidak
disyaratkan ketika akad. Akan tetapi, tambahan
dimaksud hukumnya boleh, maka bunga bank juga
boleh, karena tidak ada beda antara bunga bank dan
tambahan atas pokok pinjaman tersebut.
Di dalam fatwa Majma‟ al-Buhus al-Islamiyyah
disebutkan:
‫العائِدَ ُم َق َّدمًا‬ ِ ‫ار ْاْلَم َْو‬
َ ‫ال َلدَ ى ْال ُب ُن ْوكِ الَّ ِتيْ ُت َح ِّد ُد الرِّ ب َْح أَ ِو‬ َ ‫إِنَّ اسْ ت ِْث َم‬
َ ْ‫َح ََلل َشرْ عًا َو ََّل َبأ‬
‫س ِب ِه‬

33
Sesungguhnya menginvestasikan harta di bank-bank
yang menentukan keuntungan atau bunga di depan
hukumnya halal menurut syariat, dan tidak apa-apa.37
Pada Munas „Alim Ulama NU di Bandar
Lampung tahun 1992, terdapat tiga pendapat tentang
hukum bunga bank: Pertama, pendapat yang
mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara
mutlak, sehingga hukumnya adalah haram. Kedua,
pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank
dengan riba, sehingga hukumnya adalah boleh. Ketiga,
pendapat yang mengatakan bunga bank hukumya
syubhat. Meski begitu, Munas memandang perlu untuk
mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang
sesuai dengan hukum Islam.
Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa
hukum bunga bank merupakan masalah khilafiyah. Ada
ulama yang mengharamkannya karena termasuk riba,
dan ada ulama yang membolehkannya, karena tidak
menganggapnya sebagai riba. Tetapi mereka semua
sepakat bahwa riba hukumnya haram.

37
Ali Ahmad Mar‟i, Buhus fi Fiqhil Mu’amalat, Kairo: Al-
Azhar Press, halaman 134-158; Asmaul Ulama al-ladzina Ajazu
Fawaidal Bunuk; Fatwa Majma' Buhuts al-Islam bi Ibahati
Fawaidil Masharif
34
Terhadap masalah khilafiyah seperti ini, prinsip
saling toleransi dan saling menghormati harus
dikedepankan. Sebab, masing-masing kelompok ulama
telah mencurahkan tenaga dalam berijtihad menemukan
hukum masalah tersebut, dan pada akhirnya pendapat
mereka tetap berbeda. Karenanya, seorang Muslim diberi
kebebasan untuk memilih pendapat sesuai dengan
kemantapan hatinya. Jika hatinya mantap mengatakan
bunga bank itu boleh maka ia bisa mengikuti pendapat
ulama yang membolehkannya. Sedangkan jika hatinya
ragu-ragu, ia bisa mengikuti pendapat ulama yang
mengharamkannya. Rasul shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
َ ‫اْل إثم َما َحا‬
‫ك فِي‬ ِ ‫ َو إ‬،‫اط َمأَن إِلَ إي ِه إالقَ إلب‬ ‫اط َمأَن إِلَ إي ِه الن إفس َو إ‬
‫البِر َما إ‬
‫ك‬َ ‫ك الناس َوأَ إفتوإ‬ َ ‫س َوتَ َرد َد فِي الص إد ِر َوإِ إن أَ إفتَا‬
ِ ‫الن إف‬
"Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan
jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa yang menyebabkan
hati bimbang dan cemas meski banyak orang
mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan."
(HR. Ahmad)

Perbedaan Bahtsul Masail NU dengan Majlis Tarjih


Muhammadiyah

35
1. Akar Pemikiran
Transmisi keilmuan Tarjih berhulu pada
konsep purifikasi Islam yang dibangun oleh Ahmad
bin Hanbal. Masa Imam Ahmad ini lebihnidentik
sebagai gerakan antitesis terhadap taqlid berlebihan
yang, oleh sebagian cendekiawan, disinyalir sebagai
salah satu faktor kemunduran Islam. Ide ini diteruksan
oleh al-Barbahari, dielaborasi oleh Ibnu Taimiyyah
dan Ibnu al-Qoyyim, Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, dan Muhammad bin Abdul
Wahhab serta diterjemahkan oleh Haji Miskin dan
KH. Ahmad Dahlan di bumi Indonesia. Adapun
Lajnah mewarisi tradisi keilmuannya dari ulama-
ulama abad pertengahan yang cenderung konservatif;
ulama syafi’iyyah hingga Syeikh Ahmad bin Zaini
Dahlan yang diteruskan pengikutnya hingga Syeikh
Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz al-Tirmasy dan
diejawantahkan oleh KH. Hasyim Asy‟ari.
2. Sikap Bermadzhab
Hal paling mencolok dan sekaligus
mendasari sikap yang lain adalah pandangan dalam
bermadzhab. Tarjih sedari awal sudah menetapkan
36
untuk tidak terikat pada satu dari sekian madzhab
yang ada. Meski, semua madzhab tersebut tetap
digunakan pertimbangan dalam proses istinbath.
Pendirian ini terwujudkan pada kenyataan bahwa
hampir semua keputusan yang dihasilkan Tarjih yang
terhimpun dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT)
selalu mencantumkan sumber pengambilan dari al-
Quran dan Sunnah.38
Berbeda dengan NU yang justru juga sedari
awal bersikap sebaliknya; bermadzhab kepada satu
atau lebih dari madzhab yang empat. Hampir semua
keputusan Lajnah juga merujuk pada fatwa para imam
madzhab. Sikap ini, sebagaimana dinyatakan KH.
39
Muchith Muzadi adalah wajar. Mengingat di
kehidupan yang serba modern ini, yang sudah
terlampau jauh dari zaman Rasulullah SAW, setiap
orang pasti membutuhkan panduan (baca:

38
Kasman, Ijtihad Muhammadiyah dalam Menentukan Ke-
huu jjahan Hadis: Studi tentang Manhaj dan Hadis-hadis bidang
Aqidah dan Ibadah dalam Putusan-putusan Majelis Tarjih
Muhammadiyah tahun 1929-1972, Disertasi Program Pasca Sarjana
IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010.
39
KH. Abdul Muchith Muzadi, Mengenal Nahdlatul
Ulama, Cetakan IV, (Surabaya: Khalista, 2006), h.25
37
bermadzhab) untuk melaksanakan detail-detail ajaran
Islam dengan benar. Hampir tidak mungkin bagi
mereka untuk langsung mengambil dan
menyimpulkan hukum dari nash-nash primer yang
ada. Jika tidak hati-hati, justru akan membahayakan
Islam dan diri sendiri.
3. Perbedaan Nomenklatur
Ada 3 istilah di mana Tarjih dan Lajnah
saling berbeda pandangan, di antaranya adalah,
pertama, ijtihad dan istinbath. Bagi Tarjih, ijtihad
lebih pada usaha mencari hukum dari kandungan nash
yang kurang jelas (dzanni) bahkan yang tidak
ditunjukkan oleh nash sama sekali, baik oleh al-Quran
atau pun Sunnah. Adapun istinbath meliputi nash
yang qath’iy dan dzanni. 40 Adapun bagi Lajnah,
ijtihad melingkupi nash yang qath’iy dan dzanni. Ia
memang terbuka, namun lebih diposisikan dalam
kerangka pemikiran madzhab. Karena saking sulitnya,

40
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah:
Metodologi dan Aplikasi, Cetakan III, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004),h. 195
38
ia diyakini hanya layak bagi para mujtahidin
terdahulu.
Kedua, taqlid yang berarti mengikat atau
mengikut. Bagi Tarjih, taqlid adalah mengikuti
seorang imam tanpa mau tahu dasar pengambilan
hukumnya, mengikuti dengan membabi buta. Bagi
Lajnah, taqlid tidak selalu diidentikkan dengan hal
tersebut. Istilah ini meski memang mencakup definisi
taqlid menurut Tarjih, namun tidaklah dinamakan
taqlid orang yang memang terbatas pengetahuannya
dan ia berusaha untuk selalu meningkatkan diri
menuju derajat ittiba’ yaitu golongan yang mengikuti
imam madzhab tapi juga mengerti dari mana mereka
mengambil dasar istinbathnya. Bagi Bahtsul Masail,
derajat ijtihad, ittiba’, dan taqlid tidaklah bisa
dilepaskan satu per satu. Ketiganya adalah rangkaian
dan tahapan yang berjalan berkesinambungan dalam
proporsi yang tepat.
Ketiga, qiyas. Tarjih berpendapat ushul-nya
qiyas hanya berupa dalil dari al-Quran dan Sunnah.
Sementara bagi Lajnah, qiyas juga melingkupi ilhaq;

39
analogi dengan komponen ushul-nya berupa pendapat
para imam madzhab.
4. Pandangan terhadap tertutup-bukanya pintu ijtihad
Sebagai konsekuensi logis terhadap sikap
bermadzhab, maka bagi Tarjih pintu ijtihad masih
terbuka lebar. Siapa saja dan kapan saja bias menjadi
mujtahid asalkan memenuhi syarat. Bagi Lajnah,
pintu ijtihad hampir tertutup (untuk tidak mengatakan
tertutup sama sekali). Yang bisa dilakukan sekarang
hanyalah istinbath dengan segala macam derivasinya.
Hal ini lantaran sulitnya menemukan orang dengan
kualifikasi seperti para mujtahidin terdahul.41
Kesimpulan
Bathsul Masail merupakan forum yang
membahas dan memecahkan masalah-masalah tematik
dan ajtual dalam NU yang memiliki 3 metode : Qouli,
Ilhaqi dan Manhaji. Keputusan bathsul masail sifatnya
tidak mengikat dari Pengurus cabang dengan Pengurus
Besar bisa saja berbeda maka akan diberi kebebasan

41
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul
Masail 1926- 1999, Cetakan I, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 117
40
untuk memilih pendapat sesuai dengan kemampuan
hatinya.
Bahtsul masail memiliki perbedaan baik dari segi
akar pemikiran, sikap bermadzhab, perbedaan
nomenklatur, Pandangan terhadap tertutup-bukanya pintu
ijtihad.
Daftar Pustaka

Abdurrahman, Asjmuni, Manhaj Tarjih


Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi, Cetakan III,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
AD NU Pasal 3 Ayat 1.
ART NU Pasal 14 Ayat 4 Butir (L).
Asj‟ari, Hadratussyekh KHM. Hasyim, Ihya’
‘Amal al-Fudala’:Muqaddimah Anggaran Dasar NU
(Kendal : tp., 1969).
Atho Mudzhar, Muhammad, Fatwa-Fatwa
Majelis Ulama Indonesia : Sebuah Studi Tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975 – 1988
(Jakarta : INIS, 1993).
AZ, Imam dan Nasikh, Liputan : Dari Halaqah
Denanyar, Jurnal Santri No. 3, Tahun I (1990).

41
Bahtsul Masa’il, (Jakarta : Lakpesdam, 2002).
Dahlan, Abdul Aziz, et al. (ed), Ensiklopedia
Hukum Islam, Jilid III (Jakarta : PT.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi
tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1984).
Fadeli, H. Soeleiman dan Mohammad Subhan,
S.Sos, Antologi NU : Sejarah-IstilahAmaliah-Uswah,
(Surabaya : Khalista, 2007).
Hamdan Abdul Jalil Hamid, Abu, Kudus ,
Ahkam al-Fuqaha’, Juz I, Semarang: Toha Putra, tt
Ichtiar Baru van Hoeve, 1999).
Jamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis
Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1995).
Khamid, Kudus, Ahkam al-Fuqaha, juz II
Kholidah, Metode Ijtihad Dewan Fatwa al-
Jam’iyatul Washilah Periode 1988 – 1998* (Tesis MA,
IAIN Sumatera Utara, Medan, 2000).
Mahfudh, KH. Sahal, Bahtsul Masa’il dan
Istinbath Hukum NU, dari Pengantar Buku Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan

42
Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-
2010), Jakarta : LTNU PBNU – Khalista, 2011.
Mahsun, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam
Melalui Integrasi Metode Klasik dengan Metode
Saintifik Modern”, al-Ahkam, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Walisongo Semarang 25 (2015).
Mahfudz, Mahsun, “Membaca Nalar Hukum
Nahdlatul Ulama”, Jurnal Studi Islam Madinah 9 (2013).
Masyhuri, KH. Aziz, Masalah Keagamaan NU,
(Surabaya : PP RMI dan Dinamika Press, 1997).
Muslich,___, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah
Poetoesan-Poetoesan Congres Nahdlotoel
„Oelama‟, “Oetoesan Nahdlotoel ‘Oelama’ No. 3 Tahun
I (Soerabaia : tp., 1347 H).
Qodri Azizy, Ahmad, Islam dan Permasalahan
Sosial, Yogyakarta: LKIS, 2000
Rahmat (ED), M. Imdadun , Kritik Nalar Fiqih
NU Transformasi Paradigma
Rosyada, Dede, Metode Kajian Hukum Dewan
Hisbah Persis, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999).
Yusuf Qaradhawi, ___, Fawa’id al-Bunuk Hiya
al-Riba al-Haram, Kairo: Dar al-Shahwah

43
Zahro, Ahmad Tradisi Intelektual NU: Lajnah
Bahtsul Masail 1926- 1999, Cetakan I, (Yogyakarta:
LKiS, 2004)
Zahro, Dr. Ahmad, Tradisi Intelektual NU :
Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999, (Yogyakarta: LKis,
2004 )
Internet:

Asal-usul-bahtsul-masail,
http://salamelqoeds.blogspot.com/2011/03/
Majalah:
Majalah Santri, No. 3, th. I, 1990

44

Anda mungkin juga menyukai