Anda di halaman 1dari 9

A.

PEMBAHASAN

Adat adalah suatu kebiasaan seseorang atau masyarakat yang dilakukan secara

terus-menerus. Adat berarti juga tabiat seseorang dan masyarakat tertentu. Hukum

Adat adalah sistem aturan berlaku dalam kehidupan-kehidupan masyarakat Indonesia

yang berasal dari Adat kebiasaan, yang secara turun-temurun dihormatidan ditaati

oleh masyarakat sebagai tradisi Bangsa Indonesia. 1 Adat sesungguhnya dapat kita

pandang sebagai suatu bentuk hukum bila dilihat dari definisi yang ditawarkan oleh

masyarakat Indonesia secara umum. Karena Adat pada esensinya dipahami sebagai

sebuah norma yang mengikat dan dipelihara dalam masyarakat dalam rangka

kepentingan mereka untuk mengatur kehidupan sehari-hari.2

Menurut Muhammad Umar, peradilan Adat di Aceh adalah pengadilan secara

Adat, yang bukan melayani orang yang berperkara, bukan mencari mana yang benar

dan mana yang salah tetapi ia mengusahakan yang bertikai itu berbaikan.

Penyelesaian perkara melalui peradilan Adat merupakan penyelesaian perkara secara

damai, untuk merukunkan para pihak yang berperkara dan memberikan sanksi

setempat. Kalua dilihat dari segi filosofisnya, peradilan Adat memberikan nilai

tambah bagi kehidupan masyarakat karena bisa menjamin terjaganya keseimbangan

kerukunan dan ketentraman masyarakat, karena itu peradilan Adat disebut juga

1
Asnawi Muhammad Salam, Aceh antara Adat dan Syariat (Sebuah Kajian Kritik Tradisi
dalam Masyarakat Aceh), (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), hlm. 76.
2
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 13.
sebagai peradilan perdamaian yang bertujuan untuk menyelesaikan berbagi sengketa

dalam masyarakat yakni gampong dan mukim.3

Menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat Adat adalah tugas dari badan

peradilan Adat. Menurut Tee Har peradilan menurut hukum Adat itu harus

membangun dan mewujudkan hukum dalam masyarakat, caranya dengan berusaha

mendapatkan putusan-putusan serupa yang dulu pernah terjadi. Apabila putusan

terdahulu dalam kasus yang sama tidak ditemukan, tapi putusan harus diberikan juga,

maka putusannya itu harus diyakini sesuai dengan kaedah hukum, karena kelak

dikemudian hari putusan itu akan berlaku sebagai hukum.4

Dalam keputusan hukum Adat, fungsi hukum Adat pada kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum Adat umumnya dilaksanakan oleh kepala-kepala Adat.

Sebagaimana dikatakan oleh Tee Har dalam pidatonya pada tahun 1930 terdapat dua

jenis peradilan, yaitu peradilan yang dijalankan oleh kepala-kepala rakyat dan

peradilan-peradilan yang dijalankan oleh hakim-hakim jabatan. Peradilan yang

dijalankan oleh kepala rakyat ini dilaksanakan dengan tunduk kepada hukum dan

kesadaran hukum masyarakat setempat. Jenis peradilan inilah yang disebut peradilan

Adat, yaitu suatu sistem yang lahir berkembang dan dipraktikkan oleh komunitas-

komunitas masyarakat hukum Adat di Indonesia.5

3
Muhammad Umar, Peradaban Aceh (Tamadun) I, (Banda Aceh: Buboen Jaya, 2006), hlm.
83.
4
Majelis Adat Aceh, Pedoman Umum Adat Aceh (Peradilan dan Hukum Adat), Edisi III,
(Banda Aceh: MAA, 2008), hlm. 26.
5
Majelis Adat Aceh, Pedoman Umum Adat Aceh (Peradilan dan Hukum Adat), Edisi III…,
hlm.45.
Keberadaan Adat dan Lembaga Adat dalam persepsi masyarakat Aceh sendiri

tidak dapat dipisahkan. Adat istiadat akan kuat dan terpelihara dengan baik bila

diLembagakan secara formal. Adat yang tidak diLembagakan menjadi undang-

undang walaupun tidak tertulis akan mudah terdistori oleh situasi global kontemporer

yang pasti muncul setuap saat. Keberadaan Lembaga Adat dalam setiap masyarakat

sebenarnya sangat signifikan dalam upaya pelestarian Adat istiadat itu sendiri.

Pelembagaan ini menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan usaha penyelamatan

Adat secara turun temurun, karena dengan adanya pelembagaan secara formal pasti

mampu memprediksi tata nilai dalam proses keberlangsungan Adat terutama

menyangkut dengan pelanggaran syari’at di Aceh.

Mengenai peradilan Adat di Aceh, dewasa ini didukung oleh sejumlah

peraturan perundang-undangan. Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan

tersebut dinyatakan secara tegas bahwa penguatan hukum Adat dan peradilan Adat

harus dimulai dari gampong dan mukim. Ada peraturan yang mengatur tentang

pelaksanaan Adat di Aceh, seperti Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 Tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, Pasal 6 dan Pasal 7 menegaskan bahwa daerah

diberikan kewenangan untuk menghidupkan Adat yang sesuai dengan syari’at Islam.

Undang-Undang No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh, dalam Pasal 98 ayat 2

dijelaskan bahwa penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara Adat ditempuh

melalui Lembaga Adat. Kemudian Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Nomor 4 Tahun 2003 Tentang Pemerintah Mukim. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintah Gampong. Qanun Nomor 9


Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat. Dilanjutkan dengan

adanya Surat Keputusan Bersama antara Gubernur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah

Aceh dan ketua Majelis Adat Aceh No:198/677/2011 No:1054/MAA/XII/2011/ No:

B/121/I/2012 tentang penyelenggaraan peradilan Adat gampong dan mukim atau

nama lain di Aceh.

1. Ketentuan tentang Lembaga Adat

Lembaga Adat merupakan satu Lembaga yang telah lama hidup dan

berkembang dalam masyarakat Aceh. Sejak dahulu, masyarakat Aceh sudah

menggunakan hukum Adat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi

dalam kehidupan sehari-hari. Pedoman ini diambil dari hadis maja yang sangat

popular di Aceh, yaitu “Adat bak Po Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala,

Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lasamana.” Hadis maja ini maksudnya, Po

Teumeureuhom merupakan pelambangan kekuasaan eksekutif dan kebesaan tanah

Aceh, Syiah Kuala merupakan ulama sebagai pemegang kekuasaan Yudikatif, Putroe

Phang merupakan pelembagaan dari cendikiawan pemegang kekuasaan legislatif

dan Laksamana merupakan pelambangan dari keperkawaan dan kearifan dalam

mengatur keragaman Adat kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat Aceh.6

Lembaga Adat merupakan kata yang berasal dari gabungan antara kata

Lembaga dan Adat. Kata Lembaga dalam bahasa inggris disebut dengan institution

yang berarti pendirian dan Adat adalah kebiasaan. Dari pengertian literature tersebut

6
Badruzzaman Ismail, Membangun Keistimewaan Aceh dari Sisi Adat dan Budaya (MAA:
Historis dan Sosiologisnya), (Banda Aceh: Majlis Adat Aceh, 2007), hlm. 89.
Lembaga dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada pola

perilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur

dalam suatu kerangka nilai yang relevan. Menurut ilmu budaya, Lembaga Adat

diartikan sebagai suatu bentuk organisasi Adat yang tersusun relatif tetap atas pola-

pola kelakuan, peranan, dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu,

mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum Adat guna tercapainya kebutuhan

bersama.7

Lembaga Adat menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun

2007 Tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, Lembaga Adat,

Lembaga kemasyarakatan baik yang disengaja dibentuk maupun yang secara wajar

telah tumbuh dan berkembang didalam sejarah masyarakat atau dalam suatu

masyarakat hukum Adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur,

mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan

dengan dan berdasarkan pada Adat istiadat dan hukum Adat yang berlaku.8

Lembaga Adat di Aceh selama ini dianggap telah lemah atau bahkan hilang

dari peredaran masa. Hal ini terjadi karena asumsi bahwa Lembaga Adat tidak begitu

penting bagi masyarakat saat ini, karena telah ada Lembaga-Lembaga pemerintah

dan badan hukum lainnya. Tidak disadari bahwa, kehadiran Lembaga Adat itu

sama sekali tidak menjadi penghalang dan bukanlah tandingan terhadap Lembaga-

7
Supian dkk, “Peranan Lembaga Adat Dalam Melestarikan Budaya Melayu Jambi”Jurnal
Titian, Vol 1 No 2, 2017, hlm 193
8
Faisal dkk, “Koordinasi Pemerintah Daerah Dengan Lembaga Adat Dalam Pelestarian
Hutan Adat di Kawasan Adat Ammatao Kajang Kabupaten Bulukumba”Jurnal Ilmu Pemerintahan,Vol
II No 2, 2012, hlm 117
Lembaga yang telah dibangun pemerintah seperti Lembaga hukum, Lembaga

kehakiman, kepolisian dan sebagainya. Adapun jenis-jenis Lembaga Adat yang

terdapat di tengah-tengah masyarakat Aceh adalah: Majlis Adat Aceh (MAA), Imum

Mukim, Keuchik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Imum Menasah, Keujreun Blang,

Panglima Laot, Peutua Seunebok, Haria Peukan, Syahbanda.

Adapun salah satu Lembaga keistimewaan Aceh yang melaksanakan

pembangunan bidang Adat adalah Majelis Adat Aceh. Majelis Adat Aceh lahir pada

bulan Juli 2003 sertasecara resmi dan formal menggantikan nama LAKA (Lembaga

Adat dan Kebudayaan Aceh) sesuai dengan perkembangan zaman. Majelis Adat Aceh

merupakan Lembaga non struktural berbasis masyarakat dan bersifat independen

yang dibentuk untuk memberikan pertimbangan kepada pemerintah dalam

menentukan kebijakan di bidang Adat. Kedudukan Majelis Adat Aceh diperkuat

dengan lahirnya Undang Undang No 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.9

Dalam penyelenggaraannya, Majelis Adat Aceh memiliki fungsi sebagai

pembina masyarakat dalam kehidupan Adat sehari-hari. Secara normatif tugas pokok

Majelis Adat Aceh adalah: 10

a. Menggali dan meningkatkan pemeliharaan, pembinaan Lembaga-Lembaga

Adat, hukum Adat dan Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat.

9
http://Majelis Adat Aceh.bandaacehkota.go.id/organisasi/tupoksi/ (diakses pada tanggal 29
Desember 2019)
10
Syaibatul Hamdi, “Eksistensi Peran Majelis Adat Aceh Dalam Mensosialisasikan Nilai-Nilai
Pendidikan Islam Di Wilayah Barat-Selatan Aceh” Ar-Raniry, International Journal of Islamic Studies,
Vol 5 No 1 , 2018, hlm 117-118.
b. Membina dan menumbuh kembangkan Lembaga-Lembaga Adat/Adat istiadat

dan hukum Adat di daerah-daerah kabupaten/kota, kecamatan, mukim, dan

gampong. Menjadi suatu kekayaan khazanah Adat istiadat masyarakat Aceh

untuk berperan dalam pembangunan budaya bangsa.

c. Menyelenggarakan pendidikan bagi kader-kader Adat/ Adat istiadat (calon

tokoh Adat) pria/wanita yang profesional sesuai dengan perkembangan dan

kebutuhan masyarakat.

d. Menyebarluaskan pengenalan/pengembangan ilmu tentang hukum Adat dan

Adatistiadat melalui media cetak dan elektronik lainnya.

e. Mendorong dan mendukung pertumbuhan/penampilan bentuk-bentuk Adat

Aceh dalam berbagai pertunjukan dalam rangka memperkaya khazanah

budaya bangsa.

f. Membina dan mengawasi pertumbuhan berbagai kreasi nilai-nilai Adat dan

Adat istiadat dalam bentuk seni tari, seni hikayat, seni dzikir, dan format-

format promosi pakaian, makanan, dan aspek-aspek lainnya yang bernilai

agamis.

g. Menjadikan norma atau kaedah-kaedah Adat dan Lembaga Adat untuk

berperan dalam penyelesaian sengketa-sengketa dalam masyarakat.

h. Bekerjasama dengan berbagai pihak, perseorang maupun umum, instansi yang

berkaitan dengan penyelenggara Adat/Adat istiadat dalam membangun

budaya bangsa, baik dalam maupun luar negeri, sejauh tidak bertentangan

dengan nilai Adat dan agama.


Lembaga Majelis Adat Aceh sebagai partner pemerintah secara struktural

mengkoordinir 8 (delapan) Lembaga Adat lainnya, yakni: Tuha peut, Tuha lapan,

Keujruen Blang, Panglima laot, Pawang glee, Peutua seneubok, Haria peukan,

Syahbandar.11

Majelis Adat Aceh (MAA) adalah Majelis penyelenggara kehidupan Adat di

Provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan gampong. Struktur organisasi MAA

Provinsi terdiri dari Majelis Pemangku Adat dan pengurus. Majelis Pemangku Adat

merupakan majelis yang berfungsi sebagai pembina, penasehat dan pengawas.

Pengurus adalah pimpinan dalam melaksanakan tugas dan tanggung, jawab

operasional, yang dibantu oleh Sekretaris/Sekretariat dan bidang-bidang.

Majelis Adat Aceh adalah Lembaga otonom dan mitra pemerintah daerah

dalam menjalankan dan menyelenggarakan kehidupan Adat. MAA Propinsi dibentuk

oleh gubemur berkedudukan di ibukota propinsi. MAA Kabupaten/Kota dibentuk

oleh bupati/walikota berkedudukan di ibukota kabupaten/kota. MAA Perwakilan

dibentuk oleh MAA Propinsi berkedudukan di tempat masyarakat Perwakilan berada.

MAA yang dibentuk oleh camat, karena di ibukota kecamatan dalam Propinsi

Nanggroe Aceh Darussalam dapat dibentuk MAA oleh camat. Majelis Adat Mukim

dan Gampong dibentuk oleh bupati/walikota berkedudukan di kemukiman dan

gampong masing-masing.12

11
Fauza Andriyadi, “Reposisi Majelis Adat Aceh Dalam Tata Pemerintahan Aceh Pasca
Qanun No.10 Tahun 2008” Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia” Vol 5 No 1, 2015, hlm. 126.
12
Yulia, Buku Ajar Hukum Adat, (Lhoksemawe: Unimal Press, 2016), hlm. 38.
Adapun di dalam Pasal 15 Qanun No 8 Tahun 2019 tentang Majelis Adat

Aceh menyatakan bahwa MMA berwenang untuk mengkaji, mengembangkan dan

melestarikan nilai-nilai Adat budaya Aceh yang Islami, membina kesatuan

masyarakat Hukum Adat dan penyelenggaraan Kehidupan Adat dalam masyarakat,

serta menyampaikan saran dan pendapat kepada pemerintah aceh dalam kaitan

dengan penyelenggaraan kehidupan AAdat baik diminta maupun tidak.13

13
Qanun No 8 Tahun 2019 Tentang Majelis Adat Aceh.

Anda mungkin juga menyukai