Anda di halaman 1dari 15

SISTEM HUKUM INDONESIA DAN HAKIKAT MAKNA ETIKA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur


Mata Kuliah: Etika Profesi Hukum
Dosen Pengampu: Dr. H. Didi Sukardi, M.H.

Disusun Oleh:
Kelompok 1 HES C/6

1. Fitri Amaliah (1808202106)


2. Rachmatunnazilah (1808202095)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON

2021 M/1442 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah SWT yang maha Esa atas segala
limpahan rahmat, inayah, dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dipermudah dalam
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “Sistem Hukum
Indonesia dan Hakikat Makna Etika”, tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai
pemenuhan tugas terstruktur yang menjadi syarat dalam mengikuti mata kuliah Etika Profesi
Hukum. Sedikit banyaknya, diharapkan makalah ini dapat memberi manfaat dan menambah
wawasan kepada kita semua terkait esensi dari sistem hukum indonesia dan pemaknaan etika
hukum iu sendiri.
Pada kesempatan ini kami selaku penyusun mengucapkan banyak terimakasih khususnya
untuk dosen pengampu Bapak Dr. H. Didi Sukardi, M.H. yang telah memberikan kami
kesempatan untuk berlatih menuangkan hasil bacaan dan diskusi kami kedalam sebuah tulisan
yang sistematis, tidak lupa kami juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman dan
semua pihak yang turut andil dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai tolak ukur perbaikan
dan kesempurnaan penyusunan makalah selanjutnya. Sekiranya bila dalam segi penulisan
atau redaksi yang telah tersusun masih terdapat kekeliruan, kami mohon maaf yang sebesar-
besarnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kami selaku penyusun, maupun untuk
pembaca atau audiens.

Cirebon, Februari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................................i


DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................. 2
C. Tujuan Penulusan .................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Sistem Hukum Indonesia ...................................................................................................... 3
B. Peristilahan Etika .................................................................................................................. 7
C. Hakikat Makna Etika ............................................................................................................ 8
D. Persamaan dan Perbedaan Etika dengan Etiket .................................................................... 8
E. Keperluan Etika Dinormatifkan ............................................................................................ 9
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ................................................................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap ketentuan hukum dibuat atau diciptakan pastinya mempunyai sasaran yang
hendak dicapai atau yang disebut juga dengan tujuan hukum. Tujuan dari hukum itu sendiri
pada intinya adalah untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, aman, tentram dan
adanya keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya aturan-aturan
atau norma hukum yang berada di masyarakat guna mengatur kepentingan masyarakat,
tentunya agar kepentingan-kepentingan tersebut tidak berbenturan, maka diperlukan
adanya sistem hukum. Secara umum terdapat dua macam sistem hukum yang berkembang
dan banyak mempengaruhi peradaban negara-negara di dunia, yakni sistem hukum Eropa
Kontinental (civil law) dan sistem hukum Anglo Saxon (common law). Di Indonesia,
sistem hukum yang digunakan adalah sistem hukum Eropa Kontinental (civil law), dimana
dalam sistem ini menempatkan konstitusi pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan
perundang-undangan. Negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental
mengalami perkembangan pada konsepsi negara hukum terhadap asas legalitas, dari
pemerintahan berdasarkan undang-undang sampai menjadi pemerintahan berdasarkan
hukum.
Terjadinya perkembangan konsepsi tersebut merupakan konsekuensi dari
perkembangan konsepsi negara hukum materiil, sehingga pemerintah diserahi tugas dan
tanggung jawab yang semakin berat dan besar untuk meningkatkan kesejahteraan
warganya. Namun, pemerintah diberikan pula ruang gerak yang semakin longgar,
cenderung melahirkan pemerintahan bebas (vrijbestuur) disertai ruang kebijaksanaan yang
longgar berupa freies ermessen.1 Guna menghindari penggunaan kewenangan bebas dan
wewenang kebijaksaan yang disalahgunakan, maka untuk tetap berada dalam batas-batas
hukum tentunya peranan etika oleh seorang pengemban profesi akan menjadi pedoman
objektif dalam menjalankan fungsinya agar selalu mengacu pada tujuan hukum, juga untuk
memberikan pengayoman kepada setiap manusia dengan mewujudkan ketertiban yang
berkeadilan dan bertumpu pada penghormatan martabat manusia.

1
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 85.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sistem hukum di Indonesia?

2. Apa yang dimaksud dengan etika?

3. Apa hakikat makna etika?

4. Apa persamaan dan perbedaan etika dengan etiket?

5. Bagaimana keperluan etika dinormatifkan?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami sistem hukum di Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan memahami peristilahan etika.

3. Untuk mengetahui dan memahami hakikat makna etika.

4. Untuk mengetahui dan memahami persamaan dan perbedaan etika dengan etiket.

5. Untuk mengetahui dan memahami keperluan etika dinormatifkan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sistem Hukum di Indonesia


Sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-
bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan berkaitan secara erat.
Untuk mencapai suatu tujuan kesatuan tersebut, diperlukan adanya kerjasama antara
bagian-bagian atau unsur-unsur tersebut menurut rencana dan pola tertentu.2 Setiap bangsa
memiliki sistem hukumnya sendiri beserta sistem nilai yang melandasinya, termasuk
Indonesia. Indonesia sebagai sebuah negara dan bangsa yang berdaulat juga memiliki
tradisi atau sistem hukum yang khas dibandingkan dengan masyarakat dunia lainnya.
Sistem hukum Indonesia tersebut tentu lahir dari sebuah perjalanan sejarah panjang, tradisi
dan kebudayaan yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan eksistensi
negara dan bangsa Indonesia itu sendiri. Sistem hukum yang berlaku di Indonesia ada
empat sistem yaitu hukum eropa kontinental, hukum adat, hukum Islam, dan hukum
pancasila.3
1. Sistem Hukum Eropa Kontinental
Sistem eropa kontinental atau sistem sipil berasal dari bahasa Latin ius civile
yakni hukum yang diterapkan kepada seluruh masyarakat Romawi. Pada zaman Kaisar
Justinian (Abad ke-VI SM), dilakukan kodifikasi Corpus Iuris Civilis yang terdiri atas
empat buku, yakni Instituti, Diegesta/Pandectae, Caudex, dan Novellae. Dalam
perkembangannya, ketentuan Corpus Iuris Civilis tersebut dijadikan dasar penyusunan
kodifikasi kitab hukum di berbagai negara seperti Jerman, Belanda, Italia, Perancis dan
beberapa negara Asia, termasuk Indonesia. Sumber hukum utama pada sistem eropa
kontinental adalah peraturan perundang-undangan, didukung dari pendapat Joseph
Dainow yang menyatakan bahwa secara umum sumber hukum utama dalam sistem
eropa kontinental adalah legislasi yang terkodifikasi secara sistematik.4 Dengan
demikian, sistem eropa kontinental menekankan pentingnya hukum yang tertulis, yaitu
peraturan perundang-undangan sebagai dasar utama sistem hukumnya. Secara hostoris,

2
SF Marbun, dkk., Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: UII Press,
2001), 21.
3
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung: Alumni, 1991),
15.
4
Joseph Dainow, “The Civil Law and The Common Law: Some Points of Comparison”, The
Americal Journal of Comparative Law, Vol. 15, No. 3 (1966-1967): 419.

3
hal tersebut lahir dari berkembangnya asas legalitas di Eropa yang mengatur adanya
hukum tertulis dalam sebuah Undang-undang, tujuannya untuk menjamin perlindungan
terhadap rakyat. Dalam perkembangannya, sistem hukum ini juga mengenal pembagian
hukum publik dan hukum privat.5
Berdasarkan konsep diatas, pengembanan hukum dalam sistem eropa kontinental
dilakukan melalui proses legislasi. Untuk itu, peran hakim hanya terbatas pada
melaksanakan norma Undang-undang yang dibentuk oleh parlemen. Hakim hanya
berfungsi menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas
wewenangnya. Dengan kuatnya posisi undang-undang, maka tidak dikenal prinsip
precedent atau stare decisis. Artinya, bahwa hakim tidak mempunyai kewajiban untuk
mengikuti putusan hakim sebelumnya. Biasanya, putusan hakim bersifat inter parties
yang hanya mengikat para pihak yang berperkara, sehingga hakim tidak terikat. Namun
dalam perkembangannya, sistem eropa kontinental mengenal prinsip jurisprudence
constante, dimana hakim menjadikan putusan sebelumnya sebagai sumber hukum
putusannya dengan syarat adanya kesamaan dengan kasus yang baru.6
2. Hukum Adat
Hukum adat merupakan hukum Indonesia asli yang tidak tertulis didalam
perundang-undangan RI yang mengandung unsur agama dan berkedudukan sebagai
salah satu sumber penting guna memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum
nasional yang menuju pada penyamaan hukum. Hukum adat merupakan kumpulan dari
kaidah-kaidah sosial yang dibuat dan dipertahankan, tentunya hukum ini merupakan
salah satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa Indonesia dari abad ke abad yang dimiliki
oleh daerah-daerah, suku-suku bangsa Indonesia yang berbeda-beda.7 Oleh karenanya
bangsa ini disebut Bhineka (berbeda-beda pada suku-suku bangsanya), Tunggal Ika
(tetapi tetap satu juga, yaitu dasar dan sifat keindonesia-annya). Dari konsepsi
disamping sehingga hukum adat ditengarai telah ada, hidup serta tumbuh dikalangan
masyarakat Indonesia.
Hukum adat tidaklah bersumber dari hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia
Belanda dahulu, hukum adat berasal dari kompleksitas norma-norma yang bersumber
pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang, serta meliputi peraturan-

5
Jeremias Lemek, Mencari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum DiIndonesia
(Jakarta, Galang Press, 2007), 45.
6
Joseph Dainow, “The Civil Law and The Common Law: Some Points of Comparison”, The
Americal Journal of Comparative Law: 425.
7
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum adat (Jakarta: Gunung Agung, 1983), 27.

4
peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.
Hukum adat sebagian besar tidak tertulis, namun hukum adat keberadaannya ditaati dan
dihormati oleh rakyat karena hukum ini dipandang memiliki kekuatan hukum dan
akibat (sanksi). Hukum adat juga memiliki nilai-nilai yang sakral, yang mana dalam
pembentukannya diliputi oleh nilai-nilai agama. Keberadaan hukum adat ini juga
diatur, dilindungi, dan diakomodir pula oleh konstitusi. Merujuk pada ketentuan pasal
18B ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa: "Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional sepanjang
masa hidup dan sesuai dengan perkembangan di masyarakat dan prinsip negara
republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang".8
3. Hukum Agama
Hukum Islam memiliki suatu sistem yang justru menimbulkan dorongan untuk
dipelajari oleh para cendekia hukum di seluruh dunia, sebab sistem hukum
Islam dapat berkembang sangat pesat dibanding sistem-sistem hukum lainnya.
Keberlakuan hukum Islam dalam sistem hukum nasional Indonesia adalah suatu hal
yang tidak bisa kita pungkiri, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki populasi tertinggi penduduk beragama Islam. Hukum agama juga
mengambil andil sendiri dalam pengaturan Undang-Undang Dasar atau hukum positif
yang berlaku saat ini. Seperti hal nya hukum Islam yang membawa substansi nilai-
nilai agamanya kedalam pasal-pasal dan poin-poin pada Undang- undang yang diatur,
karena terutama dua bidang hukum ini memiliki relasi yang sangat kuat untuk
menopang satu sama lainnya. Kehidupan bangsa Indonesia yang beragam agama,
suku, dan budaya diatur dan diayomi oleh Undang-Undang Dasar untuk melindungi
hak-hak mereka yang beragam pula.9 Maka dalam pembuatan suatu Undang-undang
tidak boleh luput dari norma dan nilai-nilai agama yang luhur dan dianut oleh bangsa
Indonesia, sehingga pada aktualisasi dan implementasi Undang-undang itu nantinya
tidak bersebrangan dengan agama bahkan tidak melanggar nilai-nilai agama.
Melindungi hak-hak konstitusional umat beragama sudah tentu menjadi fungsi
adanya Undang-Undang Dasar, sehingga pengaturan hukum Islam sebagai hukum
agama juga diatur di Indonesia. Produk hukum yang mengatur itu adalah bentuk

8
Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1983), 36.
9
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia
(Jakarta: Rajawalipress, 1990), 209.

5
perlindungan hak konstitusional rakyat, berlakunya UU Perkawinan (UU No. 1 tahun
1974) yang kemudian ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975,
Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1983 tentang Izin perkawinan dan Perceraian bagi
PNS, Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan tanah Milik, dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI).10
4. Hukum Pancasila
Sistem hukum Indonesia adalah struktur formal kaidah-kaidah hukum yang
berlaku dan asas-asas yang mendasarinya, yakni didasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dijiwai oleh Falsafah Pancasila. Sistem
hukum Indonesia memiliki karakteristik tersendiri yang berdasarkan Pancasila, hal ini
sebagai refleksi kebudayaan bangsa dan rakyat Indonesia. Pancasila merupakan jiwa
bangsa Indonesia, sehingga dijadikan sebagai sistem tersendiri dalam berhukum yakni
disebut sistem hukum Pancasila. Terkait dengan hal tersebut, Moh. Mahfud MD
menyatakan bahwa sistem hukum Pancasila merupakan sistem hukum yang bersifat
prismatik, yakni suatu konsep perpaduan antara hal-hal yang baik dari seluruh sistem
yang ada.11
Pancasila berisi perpaduan antara dari hal-hal yang baik dari pandangan
individualism dan kolektifisme, pandangan rechtsstaat dan rule of law, pandangan law
as tool of social engineering dan the living law, dan pandangan religious nation state
yakni negara yang berlandaskan agama, namun bukan agama tertentu. Oleh karena
itu, sistem hukum Pancasila merupakan peleburan yang tepat dari beberapa sistem
hukum, baik eropa kontinental, anglo saxon, dan sistem lainnya seperti hukum Islam
dan hukum adat. Jadi, sistem hukum Pancasila bercirikan pada sistem yang
religius, sistem yang humanis, dan sistem yang sosius.12 Dikatakan sebagai sistem
hukum yang religius, karena merupakan refleksi dari nilai ketuhanan yang ada dalam
Sila ke-1. Kemudian sebagai sistem hukum yang humanis merupakan refleksi dari
nilai kemanusiaan yang ada dalam Sila ke-2, Sila ke-3 dan Sila ke-4. Adapun sebagai
sistem hukum yang sosius merupakan refleksi dari nilai keadilan sosial yang ada
dalam Sila ke-5.

10
Inu Kencana Syafiie, Sistem Adminitrasi Negara Republik Indonesia: SANRI (Jakarta: Bumi Aksara,
2003), 28.
11
Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum Dalam PERDA Berbasis Syariah”, Jurnal Quia Iustum, Vol. 14,
Nomor 1 (2007): 9.
12
Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum Dalam PERDA Berbasis Syariah”, Jurnal Quia Iustum: 11.

6
B. Peristilahan Etika
Istilah “etika” berasal dari kata “ethos” bahasa Yunani, dalam bentuk tunggal kata
tersebut mempunyai banyak arti: tempat tinggal biasa, padang rumput, kandang,
kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Bentuk jamak “ethos”,
yaitu “ta etha” berarti adat kebiasaan. Arti terakhir tersebut menjadi latar belakang
terbentuknya istilah “etika” yang digunakan oleh filsuf besar Yunani Aristoteles (384-322
SM) untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis “etika” berarti ilmu tentang
apa yang biasa dilakukan, atau ilmu tentang adat kebiasaan. Pengertian “etika” dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengacu pada tiga arti, yaitu; (1) Ilmu tentang apa yang
baik dan buruk, serta tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), (2) Kumpulan asas atau
nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan (3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut
suatu golongan atau masyarakat.13 Berdasarkan penjelasan kamus tersebut, istilah etika
dapat dibedakan menjadi tiga arti, yaitu:
1. Kata “etika” dapat dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2. Kata “etika” juga berarti: kumpulan asas atau nilai moral. Pengertian ini mengacu pada
kode etik.
3. Kata “etika” mempunyai arti: ilmu tentang baik atau buruk. Etika akan menjadi ilmu,
bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai apa yang dianggap baik
dan buruk) yang serta-merta diterima dalam suatu masyarakat seringkali tanpa disadari
menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika dalam hal ini
berpadanan arti dengan filsafat moral.14
Adapun menurut Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua
Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, menyatakan bahwa “Etika adalah kumpulan asas
atau nilai yang berkenaan dengan akhlak mengenai benar dan salah yang dianut satu
golongan atau masyarakat”.15

13
Kess Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 4.
14
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), 205.
15
Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), 7.

7
C. Hakikat Makna Etika
Etika merupakan cabang dari ilmu filsafat yang berbicara tentang praktik
manusiawi, atau tentang tindakan atau perilaku manusia sebagai manusia. Nilai-nilai etika
diciptakan berdasarkan atas kodrat manusia, sehingga etika tidak bersandar pada ajaran
agama atau paham tertentu. Kodrat kemanusiaan itu harus mencapai perkembangan dan
kesempurnaan yang mengacu pada eksistensi manusiawi yang autentik sebagai manusia
(sebagaimana Sang Pencipta menghendakinya). Alam kodrat memberikan manusia akal
budi dan dengan akal budinya manusia mencoba menyelami dan memahami hakikat nilai-
nilai dari tindakan manusia. Dari tindakannya itu manusia dinilai baik atau tidak oleh
manusia lain. Tolak ukur penilaian baik tidaknya perilaku manusia itu ialah etika. Etika
dengan segala maknanya dapat dipandang sebagai sarana/alat untuk membangun orientasi,
bagi manusia yang ingin/mau berkepribadian baik dalam hidupnya. Etika juga membantu
manusia untuk menjawab pertanyaan yang paling mendasar, yaitu tentang bagaimana
(saya) harus hidup dan bertindak sebagai manusia dan secara manusiawi?16
Pada hakikatnya, etika mengacu pada ilmu filsafat yang berkaitan dengan kebaikan
atau keburukan tindakan manusia dan mengacu pada nilai-nilai atau kepercayaan yang
sangat penting bagi individu maupun masyarakat. Nilai-nilai tersebut membantu untuk
membentuk karakter manusia dalam masyarakatnya, mengajari mereka tentang apa yang
baik dan buruk. Etika mengandaikan pengetahuan prinsip dasar tersebut dan tanggung
jawab untuk membuat pilihan yang sesuai bila diperlukan. Sebagian besar filsuf
menegaskan bahwa etika mengandaikan nilai-nilai yang bersifat universal dan tidak terikat
dengan satu masyarakat atau periode zaman tertentu.17 Jadi, etika membantu kita mencari
orientasi hidup, supaya kita dalam bertindak tidak ikut-ikutan, melainkan kita berani
bertindak karena mempunyai sikap pendirian yang pasti. Sehingga, kita lebih mampu
mempertanggungjawabkan kehidupan kita ini baik kepada Allah Sang Pencipta maupun
kepada sesama manusia.
D. Persamaan dan Perbedaan Etika dengan Etiket
Seringkali istilah “Etika” dan “Etiket digunakan secara rancu, padahal perbedaan
antara keduanya sangat hakiki. Etika (ethics) berarti moral, sedangkan etiket (etiquette)
berarti sopan santun. Namun, terdapat persamaan antara etika dengan etiket, yaitu:

16
Kees Bertens, Etika, 7.
17
Sulistiy dan Basuki, Etika Profesi Kearsipan (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), 4.

8
1. Etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah tersebut tidak berkaitan dengan
binatang, karena binatang tidak mengenal etika maupun etiket.
2. Kedua-duanya mengatur perilaku manusia dengan menyatakan apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, karena keduanya mempunyai sifat
normatif.18
Selanjutnya dapat diuraikan empat macam perbedaan antara etiket dan etika, yaitu
sebagai berikut:
1. Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Etiket menunjukkan
cara yang tepat dalam arti cara yang diharapkan serta ditentukan dalam lingkungan
tertentu. sedangkan etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh dilakukan
atau tidak, etika memberikan norma tentang perbuatan itu sendiri.
2. Etiket hanya berlaku untuk pergaulan dalam masyarakat. Apabila tidak ada saksi mata
pada saat melakukannya, maka etiket tidak berlaku. Sedangkan etika selalu berlaku
walaupun tidak ada orang lain.
3. Etiket bersifat relatif, dalam arti bahwa terjadi keberagaman dalam menafsirkan
perilaku/kebudayaan yang sesuai dengan etiket tertentu. Sedangkan etika lebih bersifat
mutlak, prinsip etika bisa sangat universal dan tidak ada tawar menawar.
4. Etiket hanya menyangkut segi lahiriah saja. Sedangkan etika lebih menyangkut kepada
aspek internal manusia/batiniah. Dalam hal etiket orang bisa bersikap munafik, tetapi
dalam hal perilaku etis manusia tidak bisa bersifat kontradiktif, karena orang yang
bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik.19
E. Keperluan Etika Dinormatifkan
Dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan banyak norma yang mengatur
(menjadi rambu-rambu) untuk berperilaku baik. Secara sederhana, dapat dibedakan
menjadi norma umum dan norma khusus. Norma umum berlaku untuk semua orang
dimana pun dan dalam status apapun mereka berada, sedangkan norma khusus ialah
untuk mereka dalam status situasi yang khusus baik mereka pilih sendiri ataupun
karena keadaan mereka. Etika normatif bersifat preskriptif (memerintahkan), yaitu
menentukan benar tidaknya tingkah laku atau anggapan moral. Sehubungan dengan itu,
etika normatif mengemukakan berbagai argumentasi mengapa perilaku harus disebut baik
atau buruk, dan mengapa suatu anggapan moral dapat dianggap benar atau salah. Berbagai

18
Sulistiy dan Basuki, Etika Profesi Kearsipan, 6.
19
Muhamad Mufid, Etika fisafat Komunikasi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 177-178.

9
argumentasi tersebut bertumpu pada norma-norma atau prinsip-prinsip etis yang dianggap
tidak dapat ditawar-tawar. Oleh karena itu, etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-
prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan cara rasional dan dapat digunakan
dalam praktik. Oleh karena itu, etika perlu dinormatifkan karena:
1. Di zaman sekarang ini, kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik.
Hal ini berdampak pada penafsiran nilai-nilai/norma-norma perilaku manusia, termasuk
penafsiran baik nilai etika maupun nilai moral. Semuanya menyatakan pendapatnya
adalah benar. Lalu pandangan mana yang harus dipercaya? Bagaimanapun pandangan
dari segi etika tetap yang paling dipercaya, sebab pandangan etika berdasarkan kajian
ilmiah;
2. Etika membantu agar jangan sampai kita kehilangan orientasi nilai, sebab melalui etika
kita dapat membedakan mana nilai-nilai yang hakiki (tetap/baku) dan mana nilai-nilai
yang boleh/dapat berubah. Dengan memiliki pedoman yang benar, kita dapat
mengambil sikap dalam menghadapi perubahan zaman dan tentu saja dapat
mempertanggungjawabkannya pula;
3. Etika membantu kita untuk sanggup menghadapi perubahan sosial budaya secara kritis
dan objektif, sehingga kita dapat menentukan sikap sendiri dan tidak mudah terpancing
dalam gagasan ideologi yang baru.
4. Etika sangat membantu dalam mencerahkan ajaran agama, sehingga umat beragama
dapat lebih baik dalam menghayati iman mereka serta menjalankan nilai-nilai
agamanya.20

20
Franz Magnis Soeseno, Etika Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 25-26.

10
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan materi diatas, maka dapat ditarik lima kesimpulan, yaitu
sebagai berikut: Pertama, Pada dasarnya, suatu sistem tidak terlepas dari asas-asas yang
mendukungnya, untuk itu sistem hukum adalah suatu struktur yang terdiri dari unsur-unsur atau
kesatuan yang saling berkaitan dan mempunyai suatu tujuan dalam kesatuan. Sistem hukum
yang berlaku di Indonesia ada empat sistem yaitu hukum eropa kontinental, hukum adat,
hukum Islam, dan hukum pancasila.
Kedua, secara etimologis, etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti
kebiasaan atau watak. Berarti, secara etimologis “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan, atau ilmu tentang adat kebiasaan. Tentunya penelusuran arti etimologis tidak cukup
untuk memahami konsep yang dimaksudkan dengan istilah “etika”, sehingga diperjelas dengan
istilah menurut KBBI yang secara sederhana etika berarti ilmu kesusilaan yang menentukan
bagaimana sepatutnya manusia hidup dalam masyarakat; apa yang baik dan apa yang buruk.
Ketiga, pada hakikatnya etika mengacu pada ilmu filsafat yang berkaitan dengan
kebaikan atau keburukan tindakan manusia, dan mengacu pada nilai-nilai atau kepercayaan
yang sangat penting bagi individu maupun masyarakat. Jadi, etika sangat membantu kita dalam
mencari orientasi hidup, tujuannya supaya kita dalam bertindak tidak ikut-ikutan, melainkan
kita berani bertindak karena mempunyai sikap pendirian yang pasti.
Keempat, persamaan etika dan etiket yakni keduanya menyangkut perilaku manusia
dengan menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, karena
keduanya mempunyai sifat normatif. Adapun perbedaannya, etika menyangkut cara perbuatan
yang harus dilakukan oleh seseorang atau kelompok tertentu, sedangkan etiket memberikan
dan menunjukan cara yang tepat dalam bertindak; Etiket hanya berlaku dalam pergaulan sosial,
sedangkan etika tidak memperhatikan orang lain; Etiket bersifat relatif, sedangkan etika lebih
bersifat mutlak; Etiket hanya menyangkut segi lahiriah saja sedangkan etika lebih menyangkut
aspek internal manusia.
Kelima, keperluan etika dinormatifkan pada intinya berguna bagi manusia sebagai
pedoman dalam kehidupannya untuk menjadi lebih baik di masa sekarang dan nanti.. Jadi, etika
bukanlah sebatas perilaku yang diharuskan dan tidak, melainkan sekumpulan nilai dan prinsip
yang terpadu secara teratur dan logis untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dan tertib.

11
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: Rajawalipress, 1990.
Bertens, Kess. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1988.
Hartono, Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni,
1991.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Lemek, Jeremias. Mencari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum
DiIndonesia. Jakarta, Galang Press, 2007.
Mufid, Muhamad. Etika fisafat Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Muhammad, Bushar. Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramitha, 1983.
Mustofa, Wildan Suyuthi. Kode Etik Hakim. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013.
SF Marbun, dkk., Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII
Press, 2001.
Soeseno, Franz Magnis. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Sulistiy dan Basuki. Etika Profesi Kearsipan. Jakarta: Universitas Terbuka, 2007.

Syafiie, Inu Kencana. Sistem Adminitrasi Negara Republik Indonesia: SANRI. Jakarta: Bumi
Aksara, 2003.
Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar dan Asas-asas Hukum adat. Jakarta: Gunung Agung,
1983.
Jurnal
Dainow, Joseph. “The Civil Law and The Common Law: Some Points of Comparison”. The
Americal Journal of Comparative Law. Vol. 15, No. 3. 1966-1967.
MD, Moh. Mahfud. “Politik Hukum Dalam PERDA Berbasis Syariah”. Jurnal Quia Iustum.
Vol. 14, Nomor 1. 2007.

12

Anda mungkin juga menyukai