Anda di halaman 1dari 34

Pengertian maslahat

1. Menurut bahasa
Mengenai kata manfaat dalam kamus tersebut dijelaskan bahwa manfaat artinya: guna
dan faedah . sedangakn bermanfaat artinya: ada manfaatnya, berguna, berfaedah. Manfaat juga
diartikan sebagai kebalikan/lawan kata mudarat yang berarti rugi atau buruk.
Dalam bahasa arab, kata maslahat, selain merupakan bentuk masdrar (adverb),
merupakan isim (noun) bentuk mufrad (singular) dari kata (masalih). Pengerang Lisan al-Arab
menyatakan:

,,
Maslahah berarti kebaikan, dan ia merupakan bentuk mufrad/singular dari kata
masalih
Dalam mukhtar as-shihahdisebutkan.

, ,

Makna as-salah (kebaikan) adalah kebalikan dari kata al-fasad (kerusakan). Kata
maslahah (bentuk tunggal) dari kata masalih; dan makna al-istilah(mencari maslahat,
memandang maslaht/baik, mendapatkan maslahat/kebaikan) adal;ah kebalikan dari al-istifsad
(memandang buruk [rusak], mendapatkan keburukan [kerusakan]).
Pengarang al-misbah al-munir menyatakan.

,
.
Saluha (baik) dengan dibaca dammah lam-nya lawan kata fasada (rusak). Kata aslaha
berarti mendatangkan kebaikan dan kebenaran. Ungkapan fi al-amri maslahah berarti sesuatu
itu mengandung kebaikan. Dan maslahah jamaknya adalah masalih.
Dalam al-Qamus al-muhit disebutkan.

As-salah (baik, kebaikan) adalah kebalikan kata al-fasad (rusak/kerusakan). Kata


aslahahu (memperbaiki sesuatu, mendatangkan kebaikan padanya) adalah kebalikan kata

afsadahu (merusak sesuatu, mendatangkan sesuatu padanya). Kata maslahah adalah mufrad dari
kata masalih. Kata istaslaha (memandang baik, memperoleh kebaikan, mencari/mendapatkan
kebaikan) adalah lawan kata istafsada (memandang buruk (rusak), mendapatkan keburukan
[kerusakan], mencari/menemukan keburukan).
Al-jauhari (w. 1005 M) menyebutkan.

,
,
. ,
Kata as-salah lawan kata al-fasad. Ucapan salaha as-syaiu yasluhu suluhan sewazan
dengan kata dakhala-yadlukhu-dakhalan. Kata al-islah (kebaikan) lawan kata

al-ifsad

(kerusakan). Kata maslahah adalah bentuk mufrad dari kata masalih. Kata al-istislah
(memandang baik, memperoleh/mencari kebaikan) lawan dari kata al-istifsad (memandang
buruk, mendapatkan/mencari keburukan [kerusakan]).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam bahasa Arab:
1. Kata maslahah sama dengan kta manfaah, baik dari segi entuk lafaz maupun maknanya. Dalam
hal ini, kata maslahah bisa merupakan bentuk masdar (adverb) yang artinya salah (kebaikan)
sebagaimana halnya kata manfaah yang berarti manfaat/kegunaan. Maslahah bisa juga
merupakan isim mufrad (kata benda tunggal) dari kata masalih, sebagaimana halnya kata
manfaah merupakan mufrad dari kata manafi.
2. Maslahah berarti perbuatan yang mengandung kebaikan dan manfaat sebagai bentuk majaz
mursal (metaforis) min babi itlaqi ism al-musabbab ala as-sabab/
( yang diungkapkan sebabnya tapi yang dimaksud adalah akibatnya). Ungkapan bahwa
berdagang dan mencari ilmu itu maslahat maksudnya adalah berdagang dan mencari ilmu tiu
merupakan sebab untuk memperoleh manfaat baik materi maupun immateri.

Dengan demikian, maslahah berarti kebalikan dari massada. Keduanya merupakan dua
kata yang berlawanan (opposite), sebagaimana kata manfaah yang menjadi lawan kata darar
yang berarti bahaya atau hal-hal yang membahayakan, merusak.
Izz ad-Din bin ,Abd as-Sal?m (w. 660 H) menyebutkan.
Maslahah dan mafsadah sering dimaksudkan dengan baik dan buruk, manfaat dan
mudarat, bagus dan jelek, sebab semua maslahah itu baik, membahayakan tidak baik. Dalam alQuran, kata al-hasanat (kebaikan) sering dipergunakan untuk pengertian al-masalih (kebaikan),
dan kata al-sayyiaat (keburukan) dipergunakan untuk pengertian al-mafasid (kerusakan-

1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.

kerusakan).
Dalam bagian lain Izz ad-Din menyatakan.
Maslahah itu ada empat macam:
Kelezatan
Sebab-sebabnya/sarananya
Kesenangan
Sebab-sebabnya/sarananya
Mafsadah juga ada empat:
Rasa sakit/tidak enak
Penyebabnya/hal-hal yang menyebabkannya
Rasa sedih
Penyebabnya/hal-hal yang menyebabkannya
Mengenai pengertian manfaat, sebagian ulama memberikan rumusan bahwa manfaat
adalah kelezatan/kenikmatan atau jalan untuk memperolehnya, baik dalam bentuk aktif, yakni
upaya untuk meraih kelezatan atau kenikmatan tersebut, maupun dalam bentuk pasif, yaitu
upaya memelihara dan melestarikannya dengan cara menghindarkan diri dari bencana. Imam alRazi (pengertian manfaat) tidak perlu didefinisikan, sebab ia merupakan sesuatu yang daruri,
dimana setiap orang dapat mengetahui dan merasaknnya, tanpa memerlukan rumusan definisi.
Pengertian maslahat menurut bahasa diatas ada relevansinya dan pengertian maslahat

menurut istilah sebagaimana akan tergambar pada uraian berikut.


2. Menurut istilah
Pengertian maslahah menurut istilah dapat ditemukan pada kajian Usuliyyin (para pakar
usul al-fiqh) pada saat membicarakn munasib (suatu istilah yang berkaitan dengan masalah illat

atau kausalitas hukum) dan pada saat membicarakan maslahah sebagai dalil hukum. Ada
beberapa rumusan definisi maslahah menurut istilah sebagai berikut:
1. Al-Khawarizmi (W.997H) memberikan definisi.
Masalahah ialah memelihara tujuan hukum Islam denganmenolak

bencana

/kerusakan/hal-hal yang merugikan dari makhluk (manusia).


Ulama telah konsensus bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, akal,
jiwa, dan keturunan/kehormatan. Dengan demikian, setiap aturan hukum yang dimaksudkan
untuk memelihara kelima hal tersebut, dengan menghindarkannya dari hal-hal yang dapat
merusak/membahayakanny, disebut maslahah.
Dari rumusan al-Khawarizmi tersebut dapat difahami bahwa untuk menentukan apakah
sesuatau itu maslahah ataukah tidak, baromaternya adalah agama (hukum Islam), bukan akal.
Setiap hal yang mempunyai implikasi bagi upaya pemeliharaan agama, akal, jiwa, harta, dan
keturunan/kehormatan adalah maslahat/baik, sekalipun akal menyatakan sebaliknya. Demikian
juga, setiap hal yang merusak atau membahayakan ke lima hal tersebut adalah masfadah/buruk,
sekalipun akal mungkin menyatakan baik.
2. At-Tufi (657 H-716H) merumuskan sebagai berikut.
Definisi maslahat menurut urf (pemahaman umum yang berlaku di masyarakat) adalah
sebab yang membawa kepada kemaslahatan (manfaat), seperti bisnis menyebabkan seseorang
memperoleh untung. Menurut pandangan hukum Islam, maslaht adalah sebab yang membawa
akibat bagi tercapainya tujuan Syari (Pembuat hukum Islam, yakni Allah), baik dalam bentuk
ibadat maupun adat/muamalat. Kemudian maslahat itu terbagi menjadi dua: (1) maslahat yang
dikehendaki oleh SyarI sebagai hak prerogatif-Nya seperti ibadat, dan (2) maslahat yang
dimaksudkan untuk kemaslahatan makhluk/umat manusia dan keteraturan urusan mereka.
Dari rumusan at-Tufi diatas dapat ditarik kesimpulan:
1. Maslahat menurut pengertian umum yang berlaku di masyarakat adalah setiap sarana yang bisa
membawa manfaat, pengertian ini sejalan dengan pengertian maslahat menurut bahasa seprti

telah diuraikan diatas dan sejalan pula dengan pandangan Al-Ghazali seperti akan diuraikan
kemudian.
2. At-Tufi membedakan antara tujuan yang ingin dicapai oleh makhluk (manusia) dan tujuan tujuan
yang ingin dicapai oleh Syari (Allah selaku pembuat hukum). Dengan ini ia ingin menegaskan
bahwa maslahat yang dikehendaki oleh hukum Islam tidak sama dengan maslahat yang
dikehendaki oleh manusia. Hukum qisas adalah maslahat menurut pandangan at-Tufi, karena
dengan qisas pertumpahan darah akan dapat dihindarkan. Inilah maslahat yang ingin diwujudkan
oleh hukum Islam dengan penetapan hukum qisas itu. Hukuman rajam atau dera 100 kali bagi
pezina adalah maslahat menurut pandangan at-Tufi, karena dengan dilaksanakan hukuman ini
orang akan merasa takut melakukan perbuatan zina; sehinggan dengan demikian, kehormatan
dan keturunan akan dapat terjaga dan terpelihara. Itulah maslahat yang ingin dicapai oleh hukum
Islam dengan penetapan hukum rajam atau dera/jilid 100 kali bagi pezina.
3. Al-Ghazali (450 H 505 H) memberikan definisi sebagai berikut.
Maslahat menurut makna asalnya berarti menarik manfaat atau menolak mudarat/hal-hal
yang merugikan. Akan tetapi, bukan itu yang kami kehendaki, sebab meraih manfaat dan
menghindar dari mudarat adalah tujuan makhluk (mnausia). Kemaslahatan makhluk terletak
pada tercapainya tujuan mereka. Tetapi yang kami maksud dengan maslahat ialah memelihara
syara/hukum Islam. Tujuan hukum Islam yang ingin dicapai oleh makhluk/manusia ada lima,
yaitu hukum yang mengandung tujuan memelihara kelimka hal ini disebut maslahat; dan setiap
hal yang meniadakannya disebut mafsadah dan menolaknya disebut maslahat.
Dari tarif maslahat menurut al-Ghazali diatas dapat ditarik kesimpulan:
1. Makna asal maslahat menurut al-Ghazali adalah meraih/menarik manfaat dan menghindarkan
bahaya. Pandangan al-Ghazali ini sejalan dengan pengertian maslahat menurut bahasa seperti
diuraikan diatas. Tetapi bukan ini yang dikehendaki al-Ghazali dengan maslahat, sebab ini adalah
tujuan yang ingin dicapai oleh manusia.

2. Maslahat menurut al-Ghazali adalah memelihara tujuan hukum Islam. Inilah yang dimaksud
dengan maslahat secara etimologis menurut al-Ghazali. Menurutnya, tujuan hukum Islam adalah
untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta manusia. Oleh karena itu, setiap hal
yang dimaksudkan untuk memelihara kelima hal tersebut adalah maslahat. Demikian juga, setiap
hal yang dimaksudkan untuk menghindarkannya dari hal-hal yang membahayakan dan
mengancamnya dinamakan maslahat.
3. Al-Ghazali secara tegas membedakan antara maslahat menurut pandngan manusia dengan
maslahat menurut pandangan hukum Islam. Manusia ingin meraih kemaslahatan dan hukum
Islam juga ingin mewujudkan kemaslahatan. Akan tetapi, kemaslahatan yang dikehendaki oleh
manusia belum tentu sama dengan kemaslahatan yang dikehendaki oleh hukum Islam. Demikian
juga sibaliknya, kemaslahatan yang dikehendaki oleh hukum Islam belum tentu sama dengan
kemaslahatan yang dikehendaki oleh manusia. Dengan demikian, apa yang dinilia maslahat oleh
manusia belum tentu maslahat menurut kacamata hukum Islam.
Oleh kerana itu, untuk menentukan apakah sesuatau itu maslahat ataukah tidak
baromaternya bukanlah selera atau hawa nafsu manusia, tetapi patokannya adalah apa kata
syara/hukum Islam. Sebagai contoh shalat, puasa, zakat, ibadah haji, menikah, berlaku jujur dan
benar jelas maslahat menurut pandangan hukum Islam, yang oleh karenanya diperintahkan. Akan
tetapi, sementara kalangan mungkin justru menilai sebaliknya, apalagi kalau sudah dipengaruhi
oleh hawa nafsu.
Korupsi, kolusi, manipulasi, mengambil hak orang lan, berzina, berganti-ganti pacar,
minum-minuman keras mungkin dianggap maslahat (baik) oleh sementara kalangan; tetapi
hukum Islam secara tegas memandangnya sebagai mafsdat/tidak baik dan merusak yang oleh
karenanya dilarang.
Dari beberapa rumusan tarif maslahat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa maslahat
menurut istilah hukun Islam ialah setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara agama, akal,

jiwa, keturunan (kehormatan), dan harta. Keliuma hal ini merupakan kebutuhan primer bagi
hidup dan kehidupan manusia. Dengan terpelihara dan terjaminnya kelima hal tersebut, manusia
akan meraih kemaslahatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan yang hakiki, lahir batin, jasmani
rohani, material spiritual, dunia dan akhirat, yang tergambarkan dalam sebuah doa yang
diajarkan

oleh al-Quran, . inilah misi pokok kehadiran agama Islam dengan seperangkat

hukum-hukumnya.
Apabila salah satu dari kelima hal tersebut terganggu, apalagi keseluruhannya,
kehanmcuran dan kebinasaanlah yang akan diperoleh oleh manusia, baik selaku individu maupun
selaku kelompok masyarakat, baik dalam kehidupan di dunia ini maupun kelak di akhirat nanti,
dalam kondisi seprti ini, manusia yang semestinya memiliki atribut sebagai makhluk yang paling
mulia akan terjerumus kedalam lembah kehinaan.
Pengertian maslahah mursalah
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Mengenai
pengertian maslahat menurut bahasa dan istilah telah diuraikan dalam Bab II. Mursalah artinya
sama dengan mutlaqah, yaitu terlepas. Maksudnya, maslahat atau kemaslahatan itu tidak ada
dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkannya, sebagaimana nanti akan dijelaskan
dalam pengrtian maslahah mursalah menurut istilah. Dalam kajian usul fiqh, dapat disebut
maslahah mursalah

(dalam bentuk mufrad) atau masalih mursalah (dalam bentuk jamak).

Keduanya lazim dipergunakan.


Menurut penelitian, yang mula-mula menemukan dan mempopulerkan istilah ini
(maslahah mursalah) adalah ulama-ulama usul fiqh dari kalangan Syafiiyah, dan diantaranya
yang paling banyak membahas dan mengkajinya adalah hujjah al-Islam al-Ghazali.
Maslahah mursalah sering diseut dengan istilah. Istislah adalah metodenya yang
dipergunakan untuk mencari dan menemukan maslahah mursalah tersebut yang kemudian
berdasarkan maslahah mursalah yang ditemukan itu, hukum Islam ditetapkan oleh mujtahid
dengan mempergunakan metode istislah tadi. Menurut penelitian Dr. Muhammad Saad asy-

Syanawi, tokoh usuliyyin yang pertama kali memunculkan dan mempopulerkan istilah istislah
ini adalah Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H). Antara lain hal ini disebutkan dalam
berbagai kesempatan dalam kitabnya al-Burhan.
Sebagian usuliyyun menyebutnya dengan istidlal mursal, seperti Imam Zarkasyi (w. 794
H) dalam al-Bahr al-Muhit. Istidlal mursal adalah istilah yang sering dipakai oleh fuqaha. Akan
tetapi, al-Ghazali didalam al-Mankhul menyebutnya dengan istidlah shahih, sebagai kebalikan
dari istidlal mursal. Menurut al-Ghazali, istidlal mursal tidak dapat dijadikan pedoman dalam
berijtihad. Dalam hal ini nampaknya al-Ghazali mempergunakan istilah khusus; dimana untuk
menyebutkan maslahah mursalah, ia pergunakan istilah istidlal shahih.
Sebagian fuqaha dan usuliyyin menamakannya dengan munasib mursal. Dengan
demikian, maslahah mursalah, masalih mursalah, istislah, istidlal mursal, istidlal shahih
(menurut al-Ghazali), munasib mursal adalah babarapa istilah yang dipakai oleh fuqaha dan
usuliyyin untuk satu pengertian yaitu maslahah mursalah. Penamaan istidlal dan istislah banyak
ditekankan pada metodenya. Penamaan maslahat dilihat dari segi bahwa hal itu merupakan illat
(latar belakang) yang karenanya hukum harus ditetapkan. Dinamakan mursal (maslahah
mursalah, munasib mursal) karena hal itu tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu, baik yang
membenarkan maupun yang membatalkan.
Semua istilah tersebut, selain istidlal mursal, dipergunakakn oleh al-Ghazali. Dalam Asas
al-Qiyas, al-Ghazali mempergunakan istilah maslahah mursalah. Didalam al-Mankhul ia
mempergunakan istilah munasib mursal dan maslahah mursalah. Sedang didalam al-Mustasfa,
ia mempergunakan istilah istislah dan maslahah mursalah.
Mengenai rumusan definisi maslahah mursalah menurut istilah usuliyyin dapat
dikemukakakn sebagagi berikut:
1. Menurut al-Ghazali (450-505 H);
Maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu dari syara, yang membatalkan atau
membenarkan.

Al-Ghazali membagi maslahat menjadi tiga. Pertama maslahat yang dibenarkan oleh
syara; kedua dibenarkan oleh syara; dan ketiga, maslahat yang tidak ada dalil tertentu yang
membenarkan atau membatalkannya. Yang pertama dapat dijadikan hujjah dan implementasinya
kembali kepada qiyas. Yang kedua tidak dapat dijadikan hujjah. Sedang yang ketiga inilah yang
disebut dengan maslahah mursalah.
Untuk mempertegas maslahat dalam kategori ketiga tersebut (maslahah mursalah), alGhazali menyatakan.
setiap maslahat yang kembali untuk memelihara tujuan syara yang diketahui dari alKitab (al-Quran), sunnah, dan ijma, maslahat itu tidak keluar dari dalil-dalil tersebut. Ia tidak
dinamakan qiyas, tetapi dinamakan maslahah mursalah. Sebab qiyas ada dalilnya tertentu.
Adanya maslahat tersebut dikehendaki oleh syara diketahui bukan saja dari satu dalil, namun
berdasarkan dalil yang cukup banyak yang tidak terhitung, baik dari al-Quran, sunnah, kondisi
dan situasi, serta tabda-tanda yang lain, yang karenanya dinamakan maslahah mursalah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa maslahah mursalah menurut al-Ghazali ialah
maslahat yang sejalan dengan tindakan syara (mulaimah li-tasarrufat asy-syar), yang
dimaksudkan untuk memelihara tujuan syara (hukum Islam), tidak ada dalil tertentu yang
menunjukkannya, dan kemaslahatan itu tidak berlawanan dengan al-Quran, sunnah, atau ijma.
2. Menurut asy-Syatibi (730-790 H).
Maslahat itu (maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil khusus yang membenarkan
atau membatalkan) sejalan dengan tindakan syara. Artinya pada maslahat tadi ada jenis yang
dibenarkan oleh syara dalam kasus lain tanpa dalil tertentu. Itulah istidlal mursal yang
dinamakan masalih mursalah.
Asy-Syatibi membagi maslahat menjadi tiga. Pertama, maslahat yang ditunjukkan oleh
dalil syara untuk diterima. Kedua, maslahat yang ditunjukkan oleh dalil syara untuk ditolak.
Dan ketiga, maslahat yang ditunjukkan oleh dalil khusus untuk diterima atau ditolak. Yang ketiga
ini kemudian dibagi menjadi dua. Pertama, maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil khuus

yang membenarkan atau membatalkan, tetapi ada nass yang sejalan dengan maslahat tersebut.
Untuk hal ini, asy-Syatibi mencontohkan dengan masalah pengandaian; yaitu seperti masalah
terhalangnya bagian waris seseorang yang membunuh ahli warisnya, seandainya tidak ada
nass/hadis Nabi yang memberi ketetapan tentang hal tersebut. Dengan demikian, pada
hakikatnya tidak ada, yang oleh karenanya tidak bisa dijadikan hujjah. Kemudian yang kedua,
maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu yang membatalkan atau membenarkan dan
maslahat tersebut sejalan dengan tindakan syara. Inilah yang dikenal dengan maslahah
mursalah.
Dalam kaitan ini asy-Syatibi didalam al-Muwafaqat menyatakan.
setiap dasar agama (kemaslahatan) yang tidak ditunjukkan oleh nass tertentu, dan ia
sejalan dengan tindakan syara, maknanya diambil dari dalil-dalil syara maka hal itu benar,
dapat dijadikan landasan hukum dan dijadikan tempat kembali. Demikian itu apabila
kemaslahatan tersebut berdasarkan kumpulan bberapa dalil dapat dipastikan kebenarannya.
Sebab dalil-dalil itu tidak mesti menunjukkan kepastian hukum secara berdiri sendiri tanpa
dihimpun dengan yang lain, sebagaimana penjelasan terdahulu. Karena yang demikian itu
nampaknya sulit terjadi. Termasuk hal ini adalah istidlal mursal yang dipedomani oleh Malik dan
Syafii. Kendati cabang itu tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu, namun telah didukung oleh dalil
kulli (yang bersifat umum). Dalil kulli apabila bersifat qati statusnya sama dengan dalil
tertentu.
Apa yang disampaikan oleh al-Ghazali dan asy-Syatibi tentang maslahah mursalah
diatas, menurut hemat penulis, sekalipun redaksionalnya berbeda, intinya sama.perbedaan hanya
terjadi pada pembagian maslahat. Maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu yang
membenarkan atau yang membatalkan oleh asy-Syatibi dibagi menjadi dua. Sementara alGhazali tidak membaginya lagi. Sebab contoh pengandaian yang diberikan oleh asy-Syatibi itu

dianggap tidak ada oleh al-Ghazali. Untuk itu, tidak perlu ada pembagian seperti itu. Disini
pandangan al-Ghazali nampak lebih realistis dan mudah dipahami.
3. Menurut Zakiy ad-Din Syaban:
Maslahat /kemaslahatan yang dengan ditetapkannya hukum padanya akan berhasil
menarik manfaat dan menolak mafsadah dari makhluk dan tidak ada dalil tertentu yang
menunjukkannya, baik yang membenarkan maupun yang membatalkan.
4. Menurut Badaran Abu al-Ainan Badran:
Maslahah mursalah adalah maslahat yang tidak diketahui dari syara adanya dalil yang
membenarkan atau membatalka.
5. Menurut Husain Hamid Hassan:
Maslahah mursalah ialah maslahah yang masuk/tercakup kedalam dalil syara yang
diambil/difahami lewat penelitian dari berbagai nass syara.
6. Menurut Wabbah Zuhaili:
Maslahah mursalah adalah beberapa sifat yang sejalan dengan tindakan dan tujuan
syara, tetapi tidak ada dalil tertentu dari syara yang membenarakan atau menggugurkan, dan
dengan ditetapkannya hukum padanya akan tercapai kemaslahatan dan tertolak kerusakan dari
manusia.
7. Menurut Muhammad Said Ramdan al-Buti:
Hakikat maslahah mursalah ialah setiap manfaat yang tercakup kedalam tujuan Syari
(Pembuat hukum Islam) dengan tanpa ada dalil yang membenarkan atau membatalkan.
Dari semua redaksi rumusan tatif maslahah mursalah diatas dapat diambil kesimpulan:
1. Semua sepakat menyatakan bahwa maslahat/kemaslahatan itu tidak ditunjukkan oleh
dalil tertentu yang membenarkan atau yang membatalkan.
2. Dalam tarif ada yang menyatakan bahwa maslahat/kemaslahatan itu sejalan dengan
tindakan

syara

(hukum

Islam)

dan

ada

yang

menyatakan

bahwa

maslahat/kemaslahatan itu tercakup kedalam tujuan syara (hukum Islam), dan ada
lagi yang menyatakan maslahat itu tercakup kedalam dalil syara. Menurut hemat
penulis, perbedaan itu hanya bersifat redaksional. Inti dan maksudnya adalah sama,
yakni maslahat itu relevan dan seirama dengan tindakan syara (penetapan hukum

Islam) yang tiada lain dimaksudkan untuk memelihara agama, jiwa, akal, harta benda,
dan kehormatan/keturunan.
3. Pernyataan dapat menarik maslahah dan menolak mafsadah dalam sebagian
rumusan tarif, menurut hemat penulis, hanya berupa keterangan yang berfungsiuntuk
memperkuat. Sebab jika sudah dikatakan bahwa maslahat itu sejalan dengan tindakan
syara, menarik maslahat dan menolak mafsadah itu sudah secara otomatis
tercakup didalamnya. Karena tindakan syara/hukum Islam memang dimaksudkan
untuk tujuan tersebut.
Berdasarkan penjelasan diatas, unsur inti yang harus ada dalam maslahah mursalah,
menurut hemat penulis, ialah:
1. Adanya maslahat atau kemaslahatan. Jadi bila yang ada justru mafsadah (kerusakan),
berarti unsur pokok yang menjadi bangunan pondasi maslahah mursalah sudah tidak
ada. Dalam kondisi semacam ini tentu tidak akan ada cerita lagi tentang maslahah
mursalah.
2. Maslahat itu sejalan dengan tindakan/jenis tindakan syara (penetapan hukum Islam).

Sebagaimana diketahui, tindakan syara adalah dimaksudkan untuk mewujudkan


kemaslahatan dengan terpeliharanya ad-daruriyat al-khams (kebutuhan hidup dan
kehidupan pokok manusia yang jumlahnya ada lima, yaitu agama, akal, jiwa, harta,
keturunan/kehormatan).
Apabila maslahat itu tidak sejalan dengan tindakan/jenis tindakan syara atau
bertentangan dengan dalil hukum Islam, berupa al-Quran, sunnah, dan ijma,
maslahat tersebut tidak dapat dipedomani.
3. Maslahat yang kriterianya seperti pada poin kedua tersebut tidak ditunjukkan oleh

dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkan. Apabila maslahat tadi ada dalil
khusus yang membenarkan, ia termasuk kedalam cakupan qiyas, bukan maslahah

mursalah. Dan apabila ada dalil tertentu yang membatalkan, ia tidak dapat diterima,
dan jelas bukan termasuk maslahah mursalah.
Dari uraian diatas kiranya dapat dirumuskan tarif maslahah mursalah sebagai berikut:
Maslahah mursalah ialah maslahat/kemaslahatan yang sejalan dengan tindakan syara
dan tidak ada dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkannya.
Contoh maslahah mursalah seperti tindakan Abu Bakar Siddiq mengkodifikasikan alQuran, inisiatif beliau menunjuk Umar bin Khattab sebagai pengganti (khalifah) sepeninggal
beliau, tindakan Umar bin Khattab menata administrasi pemerintahan, mendirikan perkantoran,
membuat rumah tahanan, kentor pos, memotong pohon yang dikramatkan, mengatur sistem
penggajian, tidak memberi bagian zakat kepada muallaf, tidak membagi-bagi tanah yang
ditaklukkan kepada prajurit yang menaklukkannya, tindakan Usman bin Affan membuat alQuran yang tidak resmi, mengambil inisiatif agar onta yang hilang ditangkap untuk diamankan,
azan jumat dua kali, dan lain-lain.
Semua percontohan ini merupakan kemaslahatan yang sejalan dengan tindakan syara.
Penetapannya tidak berdasarkan al-Quran, sunnah/hadis, atau ijma, karena memang tidak ada
dalil yang menunjukkannya, tetapi berdasarkan maslahah mursalah. Metode yang dipergunakan
di kemudian hari oleh usuliyyin dikenal dengan istislah.
Maslahah Mursalah sebagai dalil Hukum Islam yang Diperselisihkan
Berdasarkan istiqra (penelitian induktif) dalil atau sumber hukum Islam dilihat dari segi
penggunannya terbagi menjadi dua. Pertama dalil (sumber) hukum Islam yang disepakati oleh
jumhur. Keduadalil hukum Islam yang diperselisihkan, dengan pengertian bahwa sebagian ulama
memandangnya sebagai dalil, sementara yang lain tidak.
Dalil hukum Islam yang disepakati oleh jumhur ulama ada empat, yaiut al-Quran,
sunnah/hadis, ijma, dan qiyas. Mereka juga telah konsensus bahwa urutan penggunaan dan
pemakaiannya dalam ber-istinbat adalah al-Quran, sunnah, ijma, lalu qiyas. Artinya apabila
seorang mujtahid akan berijthad untuk menetapkan hukum suatu kasus, langkah awal yang
dilakukannya ialah ia harus mencari dalil pemecahannya dalam al-Quran. Apabila ditemukan, ia

wajib mengikutinya. Apabila tidak ditemukan, langkah ketiga ia harus mencari pemecahannya
lewat ijma. Adakah ijma ulama terdahulu tentang masalah yang sedang dihadapi itu. Apabila
ada, ia wajib mengikuti hukum yang telah di-ijma-kan tersebut. Apabila ternyata hal itu tidak
ditemukan, ia harus melakukan ijtihad berdasarkan qiyas.
Argumentasi yang dijadikan landasan fuqaha dan usuliyyin tentang ketentuan tersebut
ialah:
1. Al-Quran, surat an-Nisa [4]: 59:
Hai orang yang beriman! Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil amri
diantara kamu. Jika kamu berselisih tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (al-Quran)
dan Rasul (sunnah/hadis). Demikian jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Perintah taat kepada Allah artinya perintah untuk mengikuti al-Quran. Perintah taat kepada Rasul
artinya perintah untuk mengikuti sunnah/hadis. Perintah mentaati ulil amri artinya perintah untuk
mengikuti hasil kesepakatan ulama dibidang hukum Islam. Mengembalikan masalah yang diperselisihkan
kepada Allah dan Rasul-Nya artinya memecahkan masalah tersebut melalui qiyas, yaitu menganalogikan
hukum masalah yang ditegaskan oleh nass (al-Quran atau sunnah) berdasarkan illat/kausalitas hukum
(maslahat) yang mempertemukannya.
2. Hadis riwayat Abu Dawud (w. 275 H.):
Ketika Rasulullah Saw akan mengutus Muaz ke Yaman, beliau berkata, bagaimana engkau
memutuskan perkara apabila datang kepadamu persoalan yang perlu diputuskan? Muaz menjawab, aku
akan memutuskannya berdasarkan Kitab Allah (al-Quran). Apabila aku tidak menemukan, aku akan
memutuskannya berrdasarkan sunnah Rasulullah. Apabila aku tidak menemukan, aku akan berijtihad
dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muaz dan berkata, Segala puji bagi
Allah yang telah member taufik kepada utusan Rasulullah kepada hal-hal yang diridhai oleh
Rasulullah.(Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Hafs bin Umar dari Syubah dari Abi Aun dari al-Haris
ibn Amr dari kemenakan al-Mughirah bin Syubah dari para sahabat Muaz bin Jabal)
Timbul persoalan, bagaimana jika kasus yang terjadi ditengah-tengah masyarakat itu tidak dapat
juga diselesaikan melalui qiyqs? Maka muncullah dalil-dalil lain selain yang empat tadi. Dalil-dalil itu

yang paling menonjol ialah istislah (maslahah mursalah) diperselisihkan oleh fuqaha dan usuliyyun.
Dengan arti bahwa sebagian ulama memandang sebagai hujjah (menjadikannya sebagai dalil istinbat
hukum Islam). Jadi istislah atau maslahah mursalah yang tengah dibicarakan ini merupakan dalil yang
status ke-hujjah-annya diperselisihkan.
Siapa dan kelompok mana sajakah dari kalangan fuqaha dan usuliyyin yang memandang istislah
(maslahah mursalah) sebagai hujjah, kemudian siapa dan kelompok mana yang tidak memandangnya
sebagai hujjah. Dalam hal ini mereka berbeda pendapat, diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut al-Amidi (w. 631 H).
Al-Amidi dalam al-Ihkam menyatakan bahwa fuqaha dari klangan Syafiiyah dan Hanafiyah dan
yang lain tidak memandang maslahah mursalah sebagai hujjah. Ia menyatakan itulah pendapat yang
benar. Pendapat yang dinukil dari Malik, ia memandang sebagai hujjah, tetapi ashab Malik menolaknya.
Kalaulah penukilan dari Malik itu benar, nampaknya ia tidak menerima semua maslahat, tetapi hanya
menerima maslahah yang statusnya daruriyah, qatiyah, dan kauliyah.
Pendapat al-Amidi ini banyak dikritik oleh kalangan mutaakhkhirin, dinilai kontradiktif, dan
tidak sesuai denagn kenyataan.
2. Menurut Imam Syaukani (w. 1250 H).
Asy-Syaukani dalam Irsyad al-Fuhuk menyatakan bahwa ulama berbeda pendapat tentang kehujjah-an maslahah mursalah. Jumhur menolak secara mutlak. Imam SyafiI dalam qaul qadim
menerima maslahah mursalah. Sebagian ulama Malikiyah menolak bahwa Malik mamandang maslahah
mursalah sebagai hujjah. Diantara mereka adalah Imam Qurtubi (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad,
w. 671 H). imam Qurtubi menyatakan bahwa Imam SyafiI dan sebagian besar ulama Hanafiyah menolak
maslahah mursalah. Ia mengatakan bahwa itulah pendapat Malik. (Jadi menurut Imam Qurtubi, Imam
Malik tidak menerima maslahah mursalah).
Imam Syaukani lebih lanjut menyatakan bahwa menurut imam Daqiq al-Id (w. 752H), Imam
Malik paling banyak mempergunakan maslahah mursalah jika dibanding dengan ulama yang lain.
Berikutnya adalah Imam Ahmad bin hambal (w. 241 H). Menurut Al-Qarafi (w. 684 H), semua mazhab
pada hakikatnya mempergunakan maslahah mursalah, sebab mereka mempergunakan qiyas dengan
munasabah tanpa didukung oleh dalil. Dan itulah maslahah mursalah. Ibn Burhan dalam al-Wajiz
meriwayatkan bahwa Imam SyafiI menerima maslahah mursalah dengan ketentuan maslahatnya itu

sejalan denagn dalil-dalil syara yang bersifat umum atau kepada dalil juziy yang dibenarkan untuk
menjadi landasan hukum. Imam al-Haramain berpendapat bahwa Imam SyafiI dan sebagian besar ulama
Hanafiyah dapat menerima maslahah mursalah dengan ketentuan sejalan dengan maslahat mutabarah
yang didukung oleh dalil. Al-Ghazali dan al-Baidawi menerima maslahah mursalah dengan syarat
qatiyah, daruriyah, dan kauliyah.
3. Menurut Asy-Syatibi (w. 790 H).
Asy-Syatibi dalam al-Muwafaqat menyatakan bahwa maslahah mursalah diperselisihkan oleh
ulama. Qadi Abu Bakar al-Baqilani (w. 403 H) dan sebagian usuliyyin menolaknya. Imam Malik
menerimanya secara mutlak. SyafiI dan sebagian ulama Hnafiyah menerimanya dengan catatan
berstandar pada dalil shahih dan dekat dengan kemaslahatan pokok yang diakui menurut riwayat Imam
al-Juwaini. Al-Ghazali menerimanya dengan ketentuan maslahat itu bersifat daruri, sesuai dengan
kitabnya yang terakhir, yaitu al-Mustasfa. Disamping itu, ia menerima maslahat yang statusnya hajiyah
sesuai denagn pandangan dalam syifa al-Galil.
4. Menurut al-Asnawi (w. 772 H).
Al-ASnawi menyatakan dalam minhaj al-Wusul bahwa dalam menanggapi kehujjahan maslahah
mursalah ulama terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, menolak secara mutlak. Ibnu Najib (w. 646 H)
menilai sebagai pendapat yang benar yang disepakati oleh fuqaha. Kedua, menerima sebagai hujjah
secara mutlak . inilah pendapat yang masyhur dari Malik. Dan dipilih oleh Imam al-Haramain.
Ibn al-Najib (w. 646 H) menyatakan hal yang sama diriwayatkan dari Imam Syafii. tetapi Imam
al-Haramain member komentar bahwa Imam SyafiI menerima maslahah mursalah dengan ketentuan
maslahatnya menyerupai maslahat mutabarah. Pendapat ketiga menerima maslahah mursalah dengan
ketentuan maslahatnya harus daruriyah, qatiyah, dan kauliyah. Inilah pendapat al-Ghazali yang juga
dipilih oleh al-Baidawi.
5. Menurut Dr. Wahbah Zuhaili.
Dr. Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa ulama yang menerima maslahah sebagai hujjah adalah
ulama-ulama Malikiyah dan Hanabilah. Kelompok Hanafiyah menerima maslahaha mursalah melalui
jalur istihsan. Sedangkan ulama yang menolak maslahah mursalah menurut Wahabh adalah Zahiriyah,
Syiah, mayoritaas Syafiiyah, dan Ibn al-Najib dari Malikiyah.
6. Menurut Dr. Zakiy ad-Din Syaban

Ia berpendapat bahwa jumhur ulama menerima maslahah mursalah sebagai hujjah syariyyah.
Termasuk kelompok ini adalah semua imam mazhab empat dan mayoritas ashab (ulama pendukuna
mazhab) mereka. Jadi bukan saja Imam Malikm dan ashab-nya. Zakiy ad-Dinj berargumentasi bahwa
sekalipun para imam itu tidak secara jelas menyebutkan maslahah mursalah sebagai dalil dalam bukubuku usul; al-fiqh mereka, ternyata banyak ditemukan hasil ijtihad atau fatwa mereka yang tersebar dalam
buku-buku fiqh mereka yang berstandarkan pada maslahah mursalah. Sedangakan ulama yang menolak
maslahah mursalahahiriyah, sebagian Syafiiyah seperti al-Amidi dan sebagian Malikiyah seperti Ibn alNajib.
Pendapat ini sejalan dengan pandangan al-Qarafi sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaukani
(nomor 2 dari tulisan ini). Hal yang sama juga disampaikan al-Qarafi dalam Tanqih al-Fusul.
Mayoritas penulis usul fiqh angkatan baru, seperti al-Buti, Husain Hamid Hassan berpendapat
bahwa pada prinsipnya mayoritas fuqaha dan usuliyyin termasuk al-aimmah al-arbaah (imam mazhab
empat) menerima maslahah mursalah sebagai hujjah. Sekalipun hal itu tidak mereka jelaskan dalam
buku-buku usul al-fiqh mereka, tetapi dapat ditelusuri dari hasil-hasil ijtihad mereka yang tersebar dalam
berbagai buku fiqh. Ternyata banyak ditemukan hasil ijtihad mereka yang berstandarkan maslahah
mursalah.
Dari beberapa nukilan diatas dapat diketahui bahwa sebagaimana para ulama berbeda pendapat
tentang ke-hujjah-an maslahah mursalah, mereka juga berbeda pendapat tentang siapa dan kelompok
mana saja yang memandang maslahah mursalah sebagai hujjah dan mana yang tidak. Menurut hemat
penulis, adanya silang pendapat ini antara lain muncul dari sumber informasi/periwayatan yang
nampaknya saling kontradiksi dan adanya perbedaan persepsi mereka dalam menilaio hakikat maslahah
mursalah.
Terlepas dari itu semua, yang jelas fuqaha dan usuliyyun dalam menanggapi maslahah mursalah
ini terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama, memandang maslahah mursalah sebagai
hujjah/Islam. Termasuk kelompok ini adalah al-Ghazali. Dan kedua, memandang bahwa maslahah
nursalah tidak dapat dijadikan hujjah/dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Untuk memperkuat pendirian mereka, masing-masing mengajukan argumentasi sebagai berikut.
1. Argumentasi kelompok yang memandang maslahah mursalah sebagai hujjah.

Ada beberapa argumentasi yang dijadikan dalil oleh kelom[pok yang memandang maslahah
murasalah sebagai hujjah/dalil pendapat hukum islam. Diantaranya:
a. Adanya perintah qal-quran (surat al-nisa [4] ayat 49) untuk mengembalikan persoalan yang
diperselisihkan kepada al-qurandan sunah, dengan wajah istidlal (metode analisis
pemahaman) bahwa perselsihan itu trjadi karena ia meruapakan masalah baruyang tidak
ditemukan dalilnya di dalam al-quran dan sunah. Untuk memecahklan masalah semacam itu,
selain dapat ditempuh dengan metode qiyas, tentu saja dapat ditempuh dengan metode lain
seperti istislah. Sebab tidak semua kasus semacam itu dapat diseleseikan dengan metode
qiyas. Dengan demikian, ayat tersebut secara tidaqk langsung juga memerintahkan mujtahid
untuk mengembalikan persoalan baru yang diahadapi kepada al-quran dan sunah dengan
mengacu pada prinsip maslahah yang selalu ditegakkan oleh al-quran dan sunah. Cara ini
dapat ditempuh melalui istislah (dengan menjadikan maslahah mursalah sebagai bahan
pertimbangan penetapan hukum islam).
b. Hadit m uadz bin jabal. Dalam haits itu rasulullah membenarkan dan member restu kepada
muadz untuk melakukan ijtihad apabila masalah yang perl;u diputuskan hukumnya tidak
terdapat dalam al-quran dan sunah, dengan majah istidlah bahwa dalam ijtihad banyak
metode yang dapat dipergunakan. Dapat melalui metode qiyas apabila kasus yang diahadapi
ada percontohan hukumnya telah ditegaskan oleh nass (al-quran dan sunah) lantaran ada illat
yang mempertemukan.
Dalam kasus itu tidak ada percontohannya yang hukum nya sudah ditegaskan oleh al-quran
dan sunah, tentu ijtihad tidak dapat dilakukan melalui qiyas. Dalam kondisi semacam itu
metode istislah merupakan alternatif yang paling tepat. Dengan demikian, restu rasulullah
kepada muadz untuk melakukan ijtihad juga sebagai restu bagi kebolehan mujtahid
mempergunakan istislah dalam berijtihad.
c. Tujuan pokok penetapan hukum islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatn bagi umat
manusia. Kemaslahatan manusia akan selalu berubah dan bertambah sesuai dengan kemajuan
jaman. Dalam kondisi semacam ini akan banyak timbul maslah baru yang hukumnya
belumditegaskan dalam al-quran dan sunah. Kalaulah pemecahan masalah baru itu hanya

ditempuh melalui qiyas maka akan terjadi banyak masalah baru yang tidak dapat diseleseikan
oleh hukum islam. Hal ini akan menjadi persolan yang serius dan hukum islam akan
ketinggalan jaman. Untuk mengatasi hal tersebut dapat ditempuh lewat metopde ijtihad yang
lain, diantaranya adalah istislah.
d. Di jaman sahabat muncul masalah baru yang belum pernah terjadi pada zaman rasulullah.
Untuk mengatasi hal ini sahabat banyak melakukan ijtihad berdasarkan maslahah mursalah.
Cara dan tindakan ini menjadi konsensu para sahabat.
2. Argumentasi kelompok yang menolak maslahah mursalah sebagai dalil hukum islam
Untuk mendukung pendiriannya, mereka mengajukan beberapa argumentasi. Di antaranya:
a. Maslahah ada yang dibenarkan oleh sara, ada yang ditolak, dan ada yang
diperselisihkan/tidak ditolak dan tidak dibenarkan. Maslahah mursalah termasuk kategori
ketiga.mamandang maslahah mursalah sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan hukum
islam terhadap sesuatau yang meragukan dan mengambil satu di antara dua kemungkinan
dengan tanpa dalil yang mendukung.
Argumentasi ini dijawab oleh kelompok pertama dengan menyatakan, tidak benar kalau
dikatakan bahwa memandang maslahah mursalah sebagai hujjah berarti mendasarkan hukum
islam pada keraguan. Sebab maslahah mursalah itu ditentukan lewat sekian banyak dalil dan
pertimbangan, sehingga menghasilkan zann yang kuat. Dalam kajian fiqh dikenal adanya
prinsip (beramal berdasarkan zann dianggap cukup), karena fiqh semuanya zann.
Demikian juga tidak benar kalau dikatakan bahwa menjadikan maslaha mursalah sebagai
hujjah berarti memilih dua kemungkinan tanpa didukung dalil. Sebab, kalau diadakan
perbandingan anatara maslahah yang dibenarkan oleh sara dengan maslahah yang ditolak
oleh sara maka yang banyak adalah maslahah yang diterima oleh sara. Dengan demikian,
ada maslahah tidak ada dalil yang membenarkan dan yang menolak maka yang tepqat tentu
maslahat itu haru sdisamakan dengan yang banyak (yang dibenarkan), mbaukan yang seidikit
(yang ditolak).
b. Memandang maslahah mursalah sebagai hujjah menodai kesucian hukum Islam dengan
memperturutkan hawa nafsu dengan dalih maslahat. Dengan cara ini akan banyak penetapan
hukum Islam yang didasarkan atas kepentingan hawa nafsu. Sebab dunia terus bertambah

maju dan seiring dengan itu akan muncul hal-hal baru yang pleh nafsu dipandang maslahat,
padahal menurut syara membawa mafsadah. Tegasnya, penetapan hukum Islam berdasarkan
maslahat adalah penetapan hukum Islam berdasarkan hawa nafsu. Hal ini jelas tidak dapat
dibenarkan.
Argumentasi ini dijawab oleh kelompok peertama, tidak benar kalau dikatakan bahwa
penetapan hukum Islam berdasarkan maslahah mursalah berarti penetapan hukum Islam
berdasarkan nafsu. Sebab, untuk dapat dijadikan hujjah, maslahah mursalah itu harus
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Jadi tidak asal maslahat. Persyaratan inilah yang
akan mengendalikan, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan.
c. Hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Menjadikan maslahah mursalah sebagai hujjah
dalam menetapkan hukum Islam berarti secara tidak langsung tidak mengakui prinsip ini.
Artinya hukum Islam itu belum lengkap dan sempurna, masih ada yang kurang. Demikian
juga memandang maslahah mursalah sebagai hujjah akan membawa dampak bagi terjadinya
perbedaan hukum Islam disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Hal ini menafikan
universalitas, keluasan, dan keluwesan hukum Islam.
Alasan ini disanggah oleh kelompok pertama dengan mengatakan, Islam memang telah
lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud lengkap dan sempurna disini adalah pokokpokok ajarannya dan prinsip-prinsip hukumnya. Jadi tidak berarti semuanya sudah ada
hukumnya. Ini terbukti cukup benyak masalah baru yang hukumnya belum disinggung oleh
al-Quran dan sunnah, yang baru diketahui setelah digali lewat ijtihad. Jadi ijtihad untuk
menetapkan hukum masalah baru dengtan metode-metode ijtihad yang telah ditentukan
termasuk istislah amat diperlukan untuk menjamin dan membuktikan bahwa Islam itu
lengkap dan sempurna. Bila hal ini tidak dibenarkan akn banyak masalah baru muncul yang
tidak dapat terselesaikan oleh hukum Islam.
Demikian juga tidak benar kalau dikatakan bahwa memandang maslahah mursalah sebagai
hujjah akan menafikan universalitas, keluasan, dan keluwesan hukum Islam, tetapi yang
terjadi justru sebaliknya, dengan mempergunakan maslahah mursalah, universalitas,
keluasan, dan keluwesan hukum Islam itu akan dapat dibuktikan.

Menurut hemat penulis, pandangan yang tidak membenarkan maslahah mursalah menjadi
hujjah/dalil dalam penetapan hukum Islam tidak realistis dan kontra dengan watak dasar
hukum Islam itu sendiri yang begitu besar perhatiannya terhadap prinsip maslahat ini seperti
telah diuraikan pada bab II dan III. Demikian juga argumentasi yang diajukannya banyak
mengandung kelemahan seprti telah disanggah oleh kelompok pertama.
Menurut hemat penulis, selain hal-hal diatas, menyatakan bahwa maslahah mursalah tidak
dapat dijadikan alasan untuk mengambil keputusan dalam berijtihad berarti menganggap
salah sekian banyak hasil ijtihad dan tindakan para sahabat yang ternyata dasar
pertimbangannya adalah maslahah mursalah (lihat pada Bab II tentang maslahat dalam
pandangan sahabat).
Perlu diberi catatan disini bahwa ulama yang memandang maslahah mursalah sebagai
hujjah/dalil yang dapat dijadikan pertimbangan dalam berijtihad, mereka memberikan
batasan wilayah operasionalnya hanya dalam bidang muamalat/adat dengan criteria-kriteria
tertentu, seperti akan terlihat pada pembahasan maslahah mursalah menurt asy-Syatibi dan
al-Ghazali. Sebab, ulama telah consensus bahwa maslahah mursalah tidak berlaku dalam
ibadat. Sebagian yang lain menambahkan juga tidak dibenarkan dalam hadud (hukum pidana
Islam) dan muqaddarat (hal-hal yang kadar ukurannya sudah ditentukan secara pasti oleh
syara), seperti bagian waris, kaffarat, dan iddah.

Untuk menjaga kemurnian metode maslahah mursalah sebagai landasan hukum Islam, maka
harus mempunyai dua dimensi penting, yaitu sisi pertama harus tunduk dan sesuai dengaan apa yang
terkandung dalam nash (al-Quran dan al-Hadits) baik secara tekstual atau kontekstual. Sisi kedua harus
mempertimbangkan adanya kebutuhan manusia yang selalu berkembang sesuai zamannya. Kedua sisi ini
harus menjadi pertimbangan yang secara cermat dalam pembentukan hukum Islam, karena bila dua sisi
diatas tidak berlaku secara seimbang, maka dalam hasil istinbat hukumnya akan menjadi sangat kaku

disatu sisi dan terlalu mengikuti hawa nafsu disisi lain. Sehingga dalam hal ini perlu adanya sarat dan
standar yang benar dalam menggunakan maslahah mursalah baik secara metodologi atau aplikasinya.
1. Menurut Al-Syatibi
Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum Islam bila:
Kemaslahatan sesuai dengan prinsip-prinsip apa yang ada dalam ketentuan syari. Yang secara
ushul dan furunya tidak bertentangan dengan nash.
Kemaslahatan hanya dapat dihususkan dan diaplikasikan dalam bidang-bidang sosial (muamalat)
dimana dalam bidang ini menerima terhadap rasionalitas dibandingkan dengan bidang ibadah. Karena
dalam muamalat tidak diatur secara rinci dalam nash.
Hasil maslahah merupakan pemeliharaan terhadap aspek-aspek Dzaruriyyah, Hajjiyah, dan
Tahsiniyyah. Metode maslahah adalah sebagai langkah untuk menghilangkan kesulitan dalam berbagai
aspek kehidupan, terutama dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Sesuai firman Allah:
Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS: al-Hajj:
78)
2. Menurut A-Ghazali
Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum bila:
a. Maslahah mursalah aplikasinya sesuai dengan ketentuan syara.
b. Maslahah mursalah tidak bertentangan dengan ketentuan nash syara (al-Quran dan alHadits).
c. Maslahah mursalah adalah sebagai tindakan yang Dzaruri atau suatu kebutuhan yang
mendesak sebagai kepentingan umum masyarakat.
Menurut jumhur ulama
Menurut jumhur ulama bahwa maslahah mursalah dapat sebagai sumber legislasi hukum Islam
bila memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Maslahah tersebut haruslah maslahah yang hakiki bukan hanya yang berdasarkan
prasangka merupakan kemaslahatan yang nyata. Artinya bahwa membina hukum berdasarkan
kemaslahatan yang benar-benar dapat membawa kemanfaatan dan menolak kemazaratan,
maka pembinaan hukum semacam itu adalah berdasarkan wahm (prasangka) saja dan tiodak
berdasarkan syariat yang benar.
b. Kemaslahatan tersebut merupakan kemaslahatan yang umum, bukan kemaslahatan yang
khusus baik untuk perseorangan atau kelompok tertentu, dikarenakan kemaslahatan tersebut
harus bisa dimanfaatkan oleh orang banyak dan dapat menolak kemudzaratan terhadap orang
banyak pula.

c. Kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang terdapat dalam alQuran dan al-Hadits baik secara Dzahir atau batin, oleh karena itu tidak dianggap suatu
kemaslahatan yang kontradiktif dengan nash seperti menyamakan bagian anak laki-laki
dengan perempuan dalam pembagian waris, walau penyamaan pembagian tersebut berdalih
kesamaan dalam pembagian.
Dari ketentuan diatas dapat dirumuskan bahawa maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai
landasan hukum serta dapat diaplikasikan dalam tindakan sehari-hari bila telah memenuhi syarat sebagai
tersebut diatas, dan ditambahkan maslahah tersebut merupakan kemaslahatan yang nyata, tidak sebatas
kemaslahatan yang sifatnya masih prasangka, yang sekiranya dapat menarik suatu kemanfaatan dan
menolak kemudzaratan. Dan maslahah tersebut mengandung kemanfaatan secara umum denagn
mempunyai akses secara menyeluruh dan tidak melenceng dari tujuan-tujuan yang dikandung dalam alQuran dan al-Hadits.
APLIKASI MASLAHAH MURSALAH DALAM KEHIDUPAN
Ada beberapa contoh yang dipraktekkan para sahabat dan ulama yang berdasar pada
kemaslahatan (maslahah mursalah), diantara contoh terseut adalah:
1. Berbagai putusan Umar Ibn Khattab. Banayk keputusan Umar Ibn Khattab yang berdasar
kepada kemaslahatan, dimana kebijakan tersebut tidak diterangkan didalam al-Quran,
contohnya pengesahan talak tiga yang diucapkan sekaligus, dengan maksud agar orang tidak
mudah saja menjatuhkan talak. Tindakan Sahabat Umar dalm memberhentikan zakat kepada
orang-orang muallaf. Kebijakan beliau terhadap peraturan pajak, dan masih banyak lagi
kebijakan beliau yang berdasar kepada kemaslahatan.
2. Usaha Sahabat Ali Ibn Abi Thalib dalam memberantas kaum Syiah Rafidlah yang telah
berlebih-lebihan dalam kepercayaan mengagung-agungkan Ali In Abi Thalib dan
keluarganya dan tindakan mereka yang tidak sesuai syariah.
3. Fatwa Ulama Hanafiyah agar mufti yang gila (tercela akhlaknya) dan tobib yang bodoh agar
ditaruh dibawah perwalian.

PENDAPAT ULAMA TENTANG MASLAHAH MURSALAH


Al-Quran sebagai sumber hukum Islam mengandung berbagai ajaran meliputi bermacam
aspek kehidupan baik aspek teologi, politik, sosial, dan ekonomi. Para ulama secara garis besar

membagi ajaran al-Quran menjadi tiga kelompok besar yaitu Teologi (aqidah), etika
(khuluiqyyah), dan amaliyyah. Aspek teologi berkaitan dengan permasalahan bdasar keimanan,
khuqiyyah berkaitan dengan etika dan moral, sedang amaliyyah berkaitan denagn aspek-aspek
hukum yang berkembang dimasyarakat, baik yang bersifat aqwal (perkataan) atau yang berupa
afal (perbuatan manusia).
Amaliyah sebagai aspek yang peka terhadap dinamika sosial, akan selalu tidak dapat
terlepaskan dari keterkaitannya dengan hukum (terutama hukum Islam), sehingga dalam hal ini
sistematika hukum Islam terbagi menjadi dua grand part (dua kelompok besar). Pertama,
berkaitan dengan masalah-masalah ibadah yang didalamnya diatur pola-pola hubungan manusia
dengan Tuhan ().
Sebagai sumber ajaran, al-Quran tidak memuat secra rinci peraturan-peraturan yang
menyangkut permasalahan ibadah dan muamalah. Dari 6360 ayat al-Quran hanya terdapat 368
ayat yang berkaitan dengan aspek hukum. Hal ini mengandung arti bahwa sebagian besar
permasalahn-permasalahan hukum Islam, oleh Allah hanya diberikan dasar-dasar atau prinsipprinsip yang global dalam al-Quran.
Berdasar kenyataan diatas maka dituangkanlah hdits Nabi sebagai penjelas terhadap alQuiran yang maknanya masih Zanny al-Dalalah (interpretable). Karena sifatnya yang masih
interpretable dalam bidang muamalah inilah, maka muncul beberapa ulama yang mencoba
melakukan ijtihad sebagai wahana member solusi yang baik terhadap permasalahan masyarakat
yang makin komplek. Termasuknya al-Syatibi ( w. 790 H/ 1388 M). Beliau mengembangkan
konsep pemikirannya dalam hukum Islam yaitu: masalih al-Ammah (pertimbangan kepentingan
umum), al-Syatibi mencoba mengelastikan teori ushul al-fiqh yang agak kaku dengan
merumuskan maqashid al-Syariyyah yang terbagi dalam tiga varian yaitu Dzaruriyah,
Hajiyyah, dan Tahsiniyyah.

Disamping alasan diatas didalam al-Quran dan al-Hadits juga terdapat teks-teks yang
memiliki makna yang tegas dan pasti, yang disebut qathiy al-Dalalah, dan juga memiliki makna
yang bersifat zany al-Dalalah yang masih memerlukan penafsiran, dan pemikiran yang
mendalam.
Begitu juga dalam al-Quran dan al-Hadits tidak mengandung hal-hal yang belum pernah
muncul pada masa kehidupan Nabi Muhammad saw, disebabkan oleh berbagai faktor. Hal ini
mengakibatkan perkembangan masyarakat akibat masih meluasnya wilayah dakwah Islam,
makin banyaknya bangsa-bangsa non-Ara yang memeluk agama Islam yang sebelumnya telah
memiliki adat istiadat dan budaya yang sudah mengakar sebagai peninggalan nenek moyang
mereka. Serta makin banyaknya sahabat Nabi yang menetap di daerah-daerah baru yang jauh
dari daerah asalnya dan munculnya mazhab-mazhab.
Untuk menghadapi tuntutan perkembangan hukum dan pembuatan peraturan setelah
habisnya periode turunnya wahyu sejauh tidak ada petunjuk nash yang jelas adalah diserahkan
kepada ijtihad bi al-Rayinya para Mujtahid. Berijtihad dalam bidang-bidang yang tidak
disebutkan dalam al-Quran dan al-Hadits ataupun terhadap teks dari keduanya yang
mengandung makna zany al-Dalalah (lafadnya masih interpretable) dapat ditempuh dengan
berbagai cara dan metode, diantaranya adalah dengan metode Maslahah Mursalah.
Memelihara kepentingan hidup manusia melalui metode maslahah mursalah sebagai
dasar hukum Islam yang diperselisihkan penggunaannya oleh para ulama ushul, maka sama juga
diselisihkan penggunaan dan aplikasinya dalam sehari-hari dalam kehidupan. Para ulama ushul
sepakat terhadap penggunaan maslahah mursalah sebagai hujah hukum Islam sebagaimana
penggunaan qiya, istihsan, dan urf , sejauh maslahah mursalah tidak bersangkutan dengan
hukm-hukum yang berkait denagn masalah ibadat, hudud, mawaris, iddah, dan lainnya yang
berkaitan dengan taabbudy (hukum yang ketentuannya langsung dari Allah) dan tidak ada
tempat bagi akal yang relatif untuk menetapkan sesuatu kemaslahatan dalam bidang ini.

Adapun diluar ketentuan diatas, maka mereka berbeda pendirian sebagai berikut:
1. Imam Malik dan Ahmad Ibn Hambal dengan tegas membolehkan pemakaian
maslahah mursalah sebagai dalil syariat untuk menetapkan hukum Islam terhadap
sesuatau kejadian atau masalah yang belum ada ketentuannya didalam nash dan atau
belum ada ijma. Imam Malik inilah mujtahid yang pertama kali memperkenalkan
maslahah mursalah sebagai hujjah syariah yang kemudian diikuti penggunaannya
oleh sebagian ulama ushul. Sedangkan pertimbangan penggunaannya adalah sebagai
berikut:
a. Semua hukum yang telah ditetapkan Allah adalah mengandung maslahah bagi
hambanya.
b. Mengingat berkembangnya kepentingan dan kebutuhan manusia yang senantiasa
membutuhkan pemecahan masalah yang dihadapi, sementara nash yang jelas atau
setidaknya perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan Nabi Muhammad saw,
belum pernah memberikan petunjuknya, maka merupakan kemaslahatan bagi
manusia dan mana yang tidak sesuai dengan dasar-dasar umum dari agama Islam.
c. Mengingat bahwa sebenarnya praktek yang sama telah terjadi dalam kalangan
salaf (sahabat) terhadap pemakaian maslahat dan kaedah umum dalm menetapkan
hukum tanpa qiyas. Misalnya Khalifah Abu Bakar, beliau telah mengumpulkan alQuran, Khalifah Umar Ibn Khattab telah menetapkan talak yang dijatuhkan tiga
sekaligus dianggap jatuh tiga kali, padahal pada masa Rasullah yang demikian itu
dianggap satu dan masih banyak lagi contoh-contohnya yang dikemukakan oleh
para sahabat dan ulama.
2. Imam Syafii dan pengikutnya menolak memakai maslahah mursalah. Penolakan
Imam Syafii terhadap penggunaan maslahah mursalah ini berpangkal dari penolakan
beliau terhadap istihsan. Menurutnya, istihsan merupakan titik awal bagi maslahah
tanpa alasan dari agama, karena itu beliau mengatakan: bahwa berfatwa dengan

dasar istihsan dan istislah berarti mereka sama membuat syariat Allah mengabaikan
kemaslahatan hambanya didalam menentukan hukum. Karena itu Imam Syafii tidak
memakai pertimbangan maslahah mursalah dalam ber-istinbat, demikian penilaian
para fuqoha pada umumnya tentang sikap Imam Syafii terhadap penggunaan
maslahah mursalah.
3. Al-Tufi dari golongan ulama Hambali mengatakan bahwa kepentingan umum itu
lebih diutamakan dari pada dalil-dalil syari walaupun termuat dalam al-Quran dan
al-Hadits, jika dalil-dalil itu bertentangna dengan

kepentingan umum, maka

kepentingan umum (kemaslahatan) harus didahulukan, betapapun kuat dalilnya.


Karena menurut beliau, kepentingan itu justru yang menjadi tujuan yang dimaksud
oleh pencipta Syariat. Sedangkan dalil-dalil dan kalimatnya hanyalah sekedar sarana
untuk mewujudkan tujuan tersebut,dan karenanya harus didahulukan daripada syara.
Menurut Al-Tufi kepentingan (maslahah) dan dalil-dalil syari itu ada kalanya seiring
dan sejalan, tetapi ada kalanya berselisih. Jika sama pendapatnya, maka digunakanlah
keduanya seperti kesepakatan nash dan ijma. Tetapi apabila keduanya bertentangan,
maka jika dapat dipertemukan, hendaknya dipertemukannya seperti diterapkannya
sebagian dari dalil-dalil pada sebagian dari hukum dan peristiwanya (bukan
semuanya), dengan cara yang tidak merusak kepentingan dan tidak sampai
mempermainkan dalil semuanya atau sebagiannya. Dan apabila tidak mungkin
dipertemukan, maka didahulukan kepentingan atas yang lainnya. Meskipun demikian
Al-Tufi berpendapat, bahwa maslahah mursalah itu diambil sebagai sumber hukum
islam sebagai mana dalil-dalil syari yang berkisar pada bidang muamalah dan adat.
Adapun masalah ibadah dan hal-hal yang telah ditetapkan oleh nash, maka maslahah
mursalah tidak patut dijadikan landasan hukum islam.

4. Imam Ghazali (dari golongan syafiiyyah) menolak tegas dengan maslahah mursalah,
dengan alasan bahwa kemaslahatan secara menyeluruh telah tercakup dalam alQuran, disamping untuk mengantisipasi kecenderungan manusia untuk mencari-cari
kemaslahatan atas dasar hawa nafsu (dalam istilah al-Syafii terkenal dengan sebutan
talazzuz).
Sementara itu menurut para pemikir hukum Imam dalam menanggapi penggunaan
maslahah mursalah sebagai dalil syariah ini, mereka bersifat tawasut (tidak menolak
sepenuhnya, tapi juga tidak mempermudah penggunaannya). Hal ini sebagaimana dikatakan
Yusuf al-Qardlowy, bahwa tidak mungkin terjadi dalam syariat yang telah pasti, ada suatu
hukum yang bertentangan dengan maslahah makhluk atau terdapat hukum yang membahayakan
mereka. Jadi nash al-Quran atau Hadis dianggap sebagai maslahah yang dibatalkan dan tidak
boleh dipergunakan, karena nash al-Quran lah yang wajib diikuti, dan al-Quran itulah yang
dijadikan dasar untuk ibadah kepada Allah swt. Dan secara kenyataan maslahah yang
bertentangan dengan nash, apabila direnungkan secara mendalam dan dianalisa secara detail,
maka bukanlah maslahah yang hakiki, melainkan maslahah yang belum pasti yang dihiasi pada
pelakunya oleh sifat kekurangan, kelengahan, hawa nafsu, atau tindakan ikut-ikutan dengan
orang lain. Para ahli ushul al-fiqh telah menyebutkan contoh maslahah yang dibatalkan oleh nash
seperti kepada salah seorang Amir (penguasa) di Andalusia ketika beliau bersebadan dengan
istrinya pada siang hari dalam bulan Ramadhan. Sebenanya beliau harus mengatakan kepada
Amir tersebut bahwa kifaratmu adalah memerdekakan budak seperti yang dijelaskan oleh hadis
shahih. Tetapi al-Qadhi mengharuskan Amir untuk berpuasa dua bulan berturut-turut dan tidak
menyarankan memerdekakan budak seperti ketentuan dalam al-Quran. Karena al-Qadhi
beralasan bahwa Amir akan bisa ber-sebadan disiang hari Ramadhan setap hari karena beliau
akan selalu mampu memerdekakan budak sebagai kifaratnya. Jadi puasa menurut pandangan al-

Qadhi adalah sebagai hukuman pencegah perbuatan jima tersebut dan tidak perlu dengan
memerdekakan budak atau member makan pada orang miskin.
Disini Yusuf al-Qordlowy menyanggah, bahwa ahli fiqh ini melihat kepada maslahah
untuk diri Amir, tetapi melupakan maslahah yang lebih penting dan lebih besar yaitu maslahah
para budak yang perlu dimerdekakan dan dibebaskan dan keluar dari perbudakan yang dianggap
oleh syara sebagai kematian menuju kebebasan yang diangap sebagai kehidupan. Untuk itulah
al-Quran dan al-Hadits menganggap perbuatan memerdekakan budak sebagai ibadah paling
besar untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut Prof. K.H. Ibrahim Husen, seorang pakar hukum Islam di Indonesia, dalam
rangka pembaharuan hukum Islam, Maslahah Mursalah perlu digalakkan, sebab tujuan inti
pensyariatan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan baik di Dunia atau di
Akhirat.
Hal ini sesuai dengan ungkapan Zakaria Ibnu Barry:
Dimana ada kemaslahatan maka disanalah hukum Allah
Alasan lain yang dikemukakan oleh Prof. KH. Ibrahim Hosen terhadap penggalakan
maslahah mursalah ini adalah karena kemaslahatan itu selalu berkembang dan berubah-ubah
sesuai dengan kemajuan zaman. Berdasar maslahah mursalah inilah, menurutnya banyak
permasalahan baru yang hukumnya belum dijelaskan oleh al-Quran dan al-Hadits serta belum
terpecahkan oleh dalil-dalil lain yang dapat diketahui hukumnya. Sebagai contoh misalnya,
berdasarkan maslahah mursalah pemerintah bisa menetapkan mata uang, pajak harta, harga
resmi dan mengambil sekian persen dari gaji pegawai negeri un tuk pembangunan lainnya.
Pandangan Ibrahim Hosen tentang maslahah ini moderat atau tawassut, tidak kaku sebagaimana
pandangan ulama yang tidak mau mempergunakannya (tidak memandang sebagai dalil Hukum)
seperti ulama Hanafiyyah yang antara lain menyatakan apabila bertentangan antara naash dengan
kemaslahatan maka yang didahulukan adalah kemaslahatan.

Maslahah mursalah
Pengertian
Maslahah mursalah ialah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara dan
tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang
jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Maslahah mursalah
disebut juga maslahat yang mutlak. Karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau
kebatalannya. Jadi pembentukan hukum dengan cara maslahah mursalah semata-mata untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak
kemudharatan dan kerusakan bagi manusia.

Maslahah mursalah atau istislah ialah maslahat-malahat yang bersesuaian dengan tujuantujuan syariat Islam, dan tidak topang oleh sumber dalil yang khusus, baik bersifat melegitimasi
atau membatalkan maslahat tersebuit. Jika maslahat didukung oleh sumber dalil yang khusus,
maka termasuk kedalam qiyas dalam arti umum. Dan jika terdapat ashl khas (sumber dalil yang
khusus) yang bersifat membatalkan, maka maslahat tersebut menjadi batal. Mengambil maslahat
dalam pengertian yang terakhir ini bertentangan dengan tujuan-tujuan syari.
Posisi para ulama dalam al-Maslahah al-Mursalah
Penerimaan Imam Malik dan pandangan para ulama
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa masalah istislah merupakan permasalahan yang
menjadi bahan perdebatan dikalangan para ulama. Berdasarkan pendapat yang lebih kuat,
dinyatakan bahwa tidak sah mengambil masalahyang menggunakan al-Maslahah al-Mursalah
karena tidak ada dalil yang mengisyaratkannya.

Diantara para ulama, tidak ada seorang pun yang menyangkal pendapat diatas, kecuali
Imam Malik. Dibawah ini akan diterangkan pendapat beberapa orang ulama dalam kitab Ushul
tentang al-Maslahah al-Mursalah:
1. Al-Amidi berkata dalam kitab al-Hikam, IV : 140, Para ulama dari golongan Syafii,
Hanafi dan lain-lain telah sepakat untuk tidak berpegang kepada istislah, kecuali
Imam Malik, dan dia pun tidak sependapat dengan para pengikutnya. Para ulama
tersebut sepakat untuk tidak memakai istislah dalam setiap kemaslahatan, kecuali
dalam kemaslahatn yang penting dan khusus secara qathiy. Mereka tidak
menggunakannya dalam kemaslahatan yang tidak penting, tidak berlaku umum, serta
tidak kuat.
2. Menurut Ibnu Hajib, sesuatu yang tidak ada dalilnya itu disebut mursal. Akan tetapi
kalau gharib atau ada pembatalnya maka dalil itu tertolak secara sepakat. Adapun bila
dalilnya sesuai, maka Imam al-Ghazali memakainya, dia menerimanya dari asySyafii dan Malik. Namun, yang lebih utama adalah menolaknya.
3. Imam asy-Syatibi berkata dalam kitab Al-Istifham, II : 111-112:
Pendapat tentang adanya maslahah mursalah itu telahdiperdebatkan dikalangan para
ulama, yang dapat dibagi dalam empat pendapat:
a. Al-Qadhi dan beberapa ahli menolaknya dan menganggapnya sebagai sesuatu
yang tidak ada dasarnya.
b. Imam Malik menganggapnya ada dan memakainya secara mutlak.
c. Imam asy-Syafii dan para pembesar golongan Hanafiyah memakai al-Maslahah
al-Mursalah dalam permasalahan yang tidak dijumpai dasar hukumnya yang
shahih. Namun mereka mensyaratkan dasar hukum yang mendekati hukum yang
shahih. Hal itu senada dengan pendapat al-Juwani.
d. Imam al-Ghazali berpendapat bahwa bila kecocokannya tiu ada dalam tahap
tahsin atau tajayyun (perbaikan), tidaklah dipakai sampai ada dalil yang lebih
jelas. Adapun bila berada pada martabat penting boleh memakainya, tetapi harus

memenuhi beberapa syarat. Dia pun berkata, jangan sampai para mujtahid
menjauhi untuk melaksanakannya. Namun pendapatnya berbeda-beda tentang
derajat pertengahan: yakni martabat kebutuhan. Dalam kitab Al-Mustasyfa, dia
menolaknya, namun dalam kitab Syafau al-Ghalil, dia menerimanya (AlMustasyfa, I : 141)
Dengan melihat beberapa pendapat ulama diatas jelaslah bahwa hanya Imam Malik yang
menerima istislah secara mutlak.
Posisi Imam Abu Hanifah terhadap Al-MAslahah Al-Mursalah
Abdul Wahaf Khalaf berkata dalam kitab Mashadiru At-Tasyri Al-Islamy hal 89:
Pendapat yang masyhur yang tertulis dalam berbagai kitab adalah Abu Hanifah tidak memakai
istislah dan tidak menganggapnya sebagai dalil syara. Hal itu didasarkan pada berbagai
tinjauan:
1. Para ahli fiqh Irak dalam muqaddimahnya berkata bahwa hukum syara itu
mengandung maksud kemaslahatan, sehingga perlu mencari berbagai alasan untuk
mencapai kemaslahatan tersebut. Mereka menggunakan akal dan roh nash sehingga
banyak sekali membuat takwil-takwil yang sesuai dengan akal mereka dengan
maksud untuk mencari kemaslahatn. Pendapat yang lebih jauh lagi bahwa para
pemimpin fiqh Irak tidak menggunakan istislah, seperti Ibrahim An-NakhaI, dia
menggunakan istislah, tetapi senantiasa ber-hujjah untuk kemaslahatan. Mereka
termasuk yang mendahulukan qiyas dan menjaga kemaslahatan.
2. Mereka hanya memiliki istihsan dan tidak menggunakan istislah, dan menganggap
bahwa istislah itu bagian dari istihsan yang berstandarkan pada adat, kepentingan,
dan kemaslahatan. Namun, bila mereka dikatakan ber-hujjah dengan istislah, mereka
tidak mengakuinya dan hanya menganggap bahwa mereka telah berdalil dengan
istihsan dan urf.

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa para ulama telah mengeluarkan berbagai
istinbat hukum dengan cara istislah yang sama artinya dengan istihsan menurut Imam Abu
Hanifah.
Adapun penggunaan urf khususnya terhadap hal-hal yang tidak ada nash-nya. Hal itu
tentunya bebas bagi tiap-tiap daerah dalam kehidupannya dengan maksud untuk mencapai
kemaslahatan hidup mereka. Tak heran kalau banyak hukum yang didasarkan pada urf menurut
Hanafiyah sebenarnya sama dengan istislah menurut ulama lainnya.
MASLAHAH AL-MURSALAH (KEHUJJAHANNYA)
1. Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima Al-Marsahatul Al-Mursalah sebagai dalil
dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling
banyak dan luas penerapannya. Untuk menjadikan Al-Mashlahatul Al-Mursalah
sebagai dalil, ulama Malikiyah dan Hanabilah mensyaratkan:
a. Ke-maslahat-an itu sejalan dengan kehendak syara dan termasuk dalam jenis kemaslahat-an yang didukung nash secara umum.
b. Ke-maslahat-an itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekadar perkiraan sehingga
hukum

yang

ditetapkan

melalui

maslahatul

mursalah

itu

benar-benar

menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak ke-mudharat-an.


c. Ke-maslahat-an itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan
pribadi atau kelompok kecil tertentu.
2. Golongan Syafiiyah pada dasarnya juga menjadikan maslahatul mursalah sebagai
salah satu dalil syara. Akan tetapi, Imam Asy-Syafii memasukkannya dalam qiyas.
Al-Ghazali, mensyaratkan ke-maslahat-an yang dapat dijadikan hujjah dalm mengistinbat-kan hukum, antara lain:
a. Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara
b. Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara

c. Maslahah itu termasuk kedalam kategori maslahah maslahah maslahah yang


dharuri, baik menyangkut ke-maslahat-an pribadi maupun ke-maslahat-an orang
banyak dan universal, yang berlaku sama untuk semua orang.
3. Jumhur ulama menerima maslahat al-Mursalah sebagai metode istinbat hukum,
dengan alasan:
a. Hasil induksi terhadap ayat atau hadis menunjukkan bahwa setiap hukum
mengandung ke-maslahat-an bagi umat manusia.
b. Ke-maslahat-an manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat,

zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat Islam terbatas pada
hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.

Anda mungkin juga menyukai