Anda di halaman 1dari 163

Kumpulan Makalah

SEJARAH PERADABAN ISLAM


PERIODE KLASIK

Dosen Pengampu : Dr. Ajid Thohir, M.Ag

Oleh :

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2018 M/1439 H
DAFTAR ISI

Islam Dan Peradaban Spanyol : Catatan Kritis Beberapa


Faktor Penyebab Kesuksesan Islam Spanyol dan Kemajuan
Pemikiran di Spanyol
Agung Ibrahim Setiawan (2170120001) 1

Suksesi Kepemimpinan Serta Kebijakan Politis Abu Bakar


Dan Umar Bin Khattab
Ahmad Dzikri Alhikam, BS (2170120002) 10

Penguasaan Dinasti Muslim Di Spanyol Menjadi Dinasti-Dinasti


Kecil (Muluk Al-Thawaif)
Budi Sujati (2170120003) 24

Adopsi Tradisi Romawi Dalam Tatanan Umayyah


Cecep Somantri (2170120004) 35

Dinasti Abbasyiah
Dedi Saripgani S.Hum (2170120005) 48

Perkembangan Islam Masa Khalifah Utsman Bin Affan


& Ali Bin Abi Thalib
Ibrahim Nasrul Haq Alfahmi (2170120006) 61

Warisan Peradaban Islam Bagi Bangsa Barat


M Al Qautsar Pratama (2170120007) 83

Peperangan Proxy, Mozarab Dan Cordova Dalam Sejarah


Umayyah II Di Andalusia
Muhammad Affan (2170120008) 91

Ekspansi Wilayah Dan Asimilasi Etnis Masa Kekhilafahan Umayyah


Nurvictory (2170120010) 106

Dinasti Bani Umayyah Di Damaskus


Satria Setiawan (2170120012) 113

Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Abbasiyah


Shidqy Munjin (2170120013) 133

Pecahnya Sistem Khalifah Di Dunia Islam (1000-1250 M)


Saeful Bashor (2170120014) 144
ISLAM DAN PERADABAN SPANYOL
Catatan Kritis Beberapa Faktor Penyebab Kesuksesan Islam Spanyol dan
Kemajuan Pemikiran di Spanyol

Agung Ibrahim Setiawan

Abstrak
Islam yang lahir di dunia Timur pernah berjaya menguasai Spanyol, sebuah negara
berbasis Kristen di Barat. Peradaban Spanyol telah berhasil memajukan kawasan
Eropa di berbagai bidang, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemajuan-kemajuan Eropa tersebut tidak bisa dipisahkan dari keberadaan
pemerintahan Islam di Spanyol. Dari Spanyol- Islamlah Eropa banyak menimba ilmu.
Pada periode klasik, ketika Islam mencapai masa keemasannya. Spanyol merupakan
pusat peradaban Islam yang sangat penting. Dari kenyataan itu, ada sebuah
pertanyaan yang layak untuk diangkat dalam tulisan ini, yakni latar belakang ekspansi
Islam ke Spanyol dan dinamika perkembangan Islam di negara tersebut hingga pernah
sukses besar membangun peradaban di sana. Tulisan ini, pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan historis dengan memanfaatkan bahan kajian dari literatur sejarah.
Ada 2 kesimpulan tulisan ini yaitu pertama, latar belakang ekspansi Islam ke Spanyol
didasari oleh semakin kuatnya Islam di Afrika Utara sehingga perlu melakukan
perluasan ke Semenanjung Liberia. Spanyol adalah daerah terdekat dari Afrika Utara
dan kerajaan Gothic yang menguasai daerah tersebut sedang mengalami kemunduran.
Kedua, perkembangan Islam di Spanyol berlangsung sekitar 500 tahun dan pernah
mencapai puncaknya saat di bawah kepemimpinan Abdurrahman III. Meskipun
akhirnya Islam harus keluar dari Spanyol, peradaban peninggalan Islam telah
membuat Eropa bangkit dari keterbelakangannya.
Kata kunci: Islam, Spanyol, budaya, peradaban.

Pendahuluan
Sampai akhir abad ketujuh, Islam berkembang pesat namun masih terbatas di
belahan dunia timur. Ekspansi yang dilakukan paling jauh hanya mencapai Afrika Utara,
yaitu saat Abdul Malik menjadi Khalifah dari Dinasti Umayyah. Benua Eropa yang
diwakili oleh Semenanjung Andalusia (Iberia) baru dimasuki ketika Tharif bin Malik
melakukan penyelidikan, yang kemudian dilanjutkan dengan penguasaan Thariq bin
Ziyad yang mendaratkan tentaranya tahun 711 M. Mulai saat itu Islam diperkenalkan
kepada penduduk Spanyol yang menganut agama Kristen1.
Saat Islam menguasai Spanyol, Eropa bangkit dari keterbelakangannya.
Kebangkitan itu bukan saja terlihat dalam bidang politik dengan keberhasilan Eropa
mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam dalam bagian dunia lainnya, seperti Dinasti Bani
1
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat, Kajian sejarah Perkembangan Pemikiran Negara,
Masyarakat, dan kekuasaan. Jakarta: Gramedia.

1
Abbas dan Dinasti Fatimiyah, namun juga di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Munculnya tokoh sekaliber Ibnu Bajjah, Ibnu Tufayl, dan Ibnu Rusyd menunjukkan
kemajuan intelektual yang tinggi 2 Bahkan, kemajuan dalam bidang ilmu dan teknologi
itulah yang mendukung keberhasilan politik di negeri itu.
Kemajuan-kemajuan Eropa tersebut tidak bisa dipisahkan dari pemerintahan Islam
di Spanyol. Dari Spanyol-Islamlah Eropa banyak menimba Ilmu. Pada periode Klasik,
ketika Islam mencapai masa keemasannya, Spanyol merupakan pusat peradaban Islam
yang sangat penting sekaligus sebagai saingan Bagdad di Timur. Ketika itu, orang-orang
Eropa Kristen banyak belajar di perguruan-perguruan tinggi Islam di sana. Islam menjadi
“guru” bagi komunitas Eropa. Karena itu, kehadiran Islam di Spanyol hampir tak pernah
luput dari bidikan para sejarawan.
Dalam tulisan ini, topik yang akan diulas seputar masuknya Islam dan
perkembangannya di Spanyol, faktor pendukung kemajuan Spanyol, penyebab
kemunduran Islam di Spanyol, dan pengaruh peradaban Spanyol Islam di Eropa. Dari
ulasan tersebut diharapkan akan diperoleh gambaran yang jelas tentang peran Islam
dalam membentuk peradaban Spanyol.
1. Kemajuan Intelektual
Spanyol adalah negeri yang subur. Kesuburan itu mendatangkan penghasilan
ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya banyak menghasilkan pemikir. Masyarakat
Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas
Arab (Utara dan Selatan), al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam),
Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-Shaqalibah (penduduk daerah
antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada
penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang
berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua komunitas
itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya
lingkungan budaya Andalus yang melahirkan Kebangkitan Ilmiah, sastra, dan
pembangunan fisik di Spanyol.

Periode Pertama (711-755 M)


Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani
Umayyah yang berpusat di Damaskus. Stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai
secara sempurna karena banyak gangguan baik gangguan internal maupun eksternal.
Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan dan pertengkaran di kalangan para
elit penguasa, terutama akibat perbedaan suku dan golongan. Begitu pula terdapat
perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dan Gubernur Afrika Utara yang
berpusat di Qairawan yang masing-masing mengaku paling berhak atas daerah Spanyol.

2
Mun’im, Abdul Majid. 1997. Sejarah Kebudayaan Islam. Bandung: Pustaka.

2
Konsekuensinya, terjadilah dua puluh kali pergantian wali (gubernur) Spanyol dalam
jangka waktu yang amat singkat. Perbedaan pandangan politik itu menyebabkan
seringnya terjadi perang saudara, antara Barbar asal Afrika Utara dan Arab.
Etnis Arab sendiri terdiri dari dua golongan yang selalu bersaing, yaitu suku Qaisy
(Arab Utara) dan Arab Yaman (Arab Selatan). Perbedaan etnis ini tak jarang
menyebabkan konflik politik terutama ketika ada figur yang kuat dan tangguh. Wajarlah
jika di Spanyol pada saat itu tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan
kekuasaannya dalam jangka waktu yang agak lama.
Gangguan dari luar muncul dari “mantan” musuh Islam di Spanyol yang bertempat
tinggal di daerah-daerah pegunungan yang memang tidak pernah loyal kepada
pemerintahan Islam. Mereka sangat benci Islam dan terus menyusun kekuatan. Sebagai
hasilnya, mereka mampu mengusir Islam dari bumi Andalus walau harus berjuang lebih
dari 500 tahun.
Dengan banyaknya konflik internal dan eksternal, maka dalam periode ini Islam
Spanyol belum memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan.
Datangnya Abd al Rahman al Dakhil ke Spanyol pada tahun 138 H/755M menjadi tanda
berakhirnya periode pertama3

Perkembangan diera periode awal


Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam
bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu
pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap filsafat dan ilmu
pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa
Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abdurrahman (832-886 M).
Atas inisiatif al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari
Timur dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan dan universitas-
universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di
dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin dinasti Bani Umayyah di Spanyol
ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar pada masa sesudahnya.
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr
Muhammad ibn al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah. Dilahirkan di Saragosa,
ia pindah ke Sevilla dan Granada. Meninggal karena keracunan di Fez tahun 1138 M
dalam usia yang masih muda. Seperti al-Farabi dan Ibn Sina di Timur, masalah yang
dikemukakannya bersifat etis dan eskatologis. Magnum opusnya adalah Tadbir al-
Mutawahhid.
Tokoh utama kedua adalah Abu Bakr ibn Thufail, penduduk asli Wadi Asy, sebuah
dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut tahun 1185 M. Ia

3
Yatim, Badri. 1994. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

3
banyak menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang
sangat terkenal adalah Hay ibn Yaqzhan.
Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles
yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibn Rusyd dari Cordova. Ia lahir
tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam
menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-
masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli fiqh dengan
karyanya Bidayah al- Mujtahid.

Periode Kedua (755-912 M)


Pada masa ini, Spanyol diperintah oleh seorang amir (panglima atau gubernur) tetapi
tidak tunduk kepada pusat pemerintahan yang ketika itu dipegang oleh Khalifah
Abbasiyah di Bagdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol
tahun 138 H/755M dan diberi gelar al Dakhil (yang masuk ke Spanyol).
Abdurrahman al Dakhil adalah keturunan Bani Umayyah yang berhasil melarikan
diri dan lolos dari kejaran Bani Abbasiyah yang telah menaklukkan Bani Umayyah di
Damaskus. Abdurrahman melakukan pengembaraan ke Palestina, Mesir, dan Afrika
Utara, hingga akhirnya tiba di Cheuta. Di wilayah ini, ia memperoleh bantuan dari
Bangsa Barbar dalam menyusun kekuatan militer. Selanjutnya, ia sukses mendirikan
Dinasti Bani Umayyah di Spanyol. Pemerintah setelah Abdurrahman al Dakhil adalah
Hisyam I, Hakam I, Abd al Rahman al Ausath, Muhammad Ibnu Abd al Rahman,
Munzir Ibnu Muhammad, dan Abdullah Ibnu Muhammad4
Pada periode ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh banyak kemajuan, baik
dalam bidang politik maupun dalam bidang peradaban. Abd Rahman al Dakhil
mendirikan masjid Kordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol. Hisyam I
dikenal berjasa sebagai pembaharu dalam kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara
bayaran di Spanyol. Ia juga orang pertama yang menjadikan Madzhab Maliki sebagai
Madzhab resmi negara. Adapun Abd. Al Rahman al Ausath dikenal sebagai penguasa
yang cinta ilmu. Pemikiran filsafat mulai masuk, terutama di zaman Abdurrahman al
Ausath, yang mengundang para ahli dari dunia Islam lainnya untuk datang ke Spanyol.
Akhirnya, kegiatan ilmu pengetahuan di Spanyol kian berkembang.
Gangguan politik serius yang terjadi pada periode ini justru datang dari umat Islam
sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M membentuk negara kota
yang berlangsung selama 80 tahun. Di samping itu, sejumlah orang yang tak puas
menuntut terjadinya revolusi. Pemberontakan yang dipimpin oleh Hafsun dan anaknya,
Umar, yang berpusat di pegunungan dekat Malaga merupakan yang gangguan penting.

4
Ali, K. 1996. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern). Terjemahan oleh M. Natsir Budiman. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

4
Selain itu, perselisihan antara orang-orang Barbar dan orang Arab masih seringkali
terjadi5

Periode Ketiga (912-1013 M)


Pemerintahan Abd Rahman III yang bergelar al Nasir li dinillah (penegak agama
Allah) sampai munculnya raja-raja kelompok (kecil) yang dikenal dengan Muluk al
Thawaif masuk dalam periode ketiga. Pada periode ini, Spanyol diperintah oleh
penguasa yang bergelar Khalifah. Dengan demikian, pada masa ini terdapat dua khalifah
sunni di dunia Islam, Khalifah Abbasiyah di Bagdad dan Khalifah Umayyah di Spanyol,
di samping seorang khalifah Syi’ah Fatimiyyah di Afrika Utara6
Pemakaian gelar khalifah tersebut bermula dari berita bahwa al Muqtadir, khalifah
daulat Bani Abbasiyah Bagdad, tewas dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Menurut
penilaiannya, keadaan ini menunjukkan bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah sedang
berada dalam ketidakpastian. Oleh sebab itu, momen tersebut dianggap sebagai waktu
yang tepat untuk memakai gelar khalifah yang telah dirampas dari kekuasaan Bani
Umayyah selama 150 tahun lebih (Yatim, 1994: 96). Gelar ini resmi dipakai mulai tahun
929 M. Khalifah-khalifah besar yang memerintah pada periode ketiga ini ada tiga orang,
yaitu Abd Rahman al Nasir (912-961), Hakam II (961-976), dan Hisyam II (976-1009
M).
Pada periode ini, umat Islam Spanyol berhasil mencapai puncak kemajuan dan
kejayaannya. Hal ini dapat disejajarkan dengan kejayaan daulat Abbasiyah di Bagdad.
Abd Rahman III merupakan penguasa Umayyah terbesar di Spanyol. Seluruh gerakan
pengacau dan konflik politik dapat diselesaikan sehingga situasi negara relatif aman.
Penaklukan kota Elvira, Jain, dan Seville merupakan sebagian bukti keberhasilan Abd.
Rahman III dan kekuatan Kristen juga dipaksa menyerah kepadanya. Setelah sukses
mengatasi problem politik dalam negeri, ia juga berhasil menggagalkan cita-cita Daulah
Fatimiyyah untuk memperluas wilayah kekuasaannya ke negeri Spanyol.
Di bawah pemerintahan Khalifah Abd Rahman III, Spanyol mengalami kemajuan
peradaban yang menggembirakan, terlebih di bidang Arsitektur. Tercatat tidak kurang
dari 300 masjid, 100 istana megah, 13.000 gedung, dan 300 tempat pemandian umum
berada di Cordova. Kemasyhurannya sebagai penguasa dikenal sampai di negeri
Konstantinopel, Jerman, Perancis, hingga Itali. Bahkan, penguasa negeri-negeri tersebut
mengirim para dutanya ke Istana Khalifah. Armada laut yang dibentuk berhasil
menguasai jalur lautan tengah bersama dengan armada Fatimiyyah. Kebesaran Abd
Rahman III dapat disejajarkan dengan Raja Akbar dari India, Umar bin Khattab, dan
Harun al Rasyid. Jadi, Abdurrahman III bukan hanya sebagai penguasa terbaik Spanyol,

5
Yatim, Badri. 1994. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
6
Ali, K. 1996. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern). Terjemahan oleh M. Natsir Budiman. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

5
melainkan juga salah satu penguasa terbaik dunia7 Sayangnya, tidak semua tokoh sejarah
mengetahui hal ini8
Penguasa setelah Abd Rahman II adalah Hakam II, yang merupakan seorang
kolektor buku dan pendiri perpustakaan. Koleksi dalam perpustakaannya tidak kurang
dari 400.000 buku. Pada masa ini, masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dan
kemakmuran. Pembangunan kota pun berlangsung cepat.
Selanjutnya, Hisyam II naik tahta dalam usia sebelas tahun merupakan awal
kehancuran khilafah Bani Umayyah di Spanyol. Oleh karena itu, kekuasaan de facto
berada di tangan para pejabat. Pada tahun 981 M. Khalifah menunjuk Ibnu Abi Amir
sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang yang ambisius yang berhasil
menancapkan kekuasaannya dan melebarkan wilayah kekuasaan Islam dengan
menyingkirkan rekan dan saingannya. Atas keberhasilannya, ia mendapat gelar al
Mansur billah. Ia wafat pada tahun 1002 M dan digantikan oleh anaknya al Muzaffar
yang masih dapat mempertahankan keunggulan kerajaan. Akan tetapi, setelah ia wafat
pada tahun 1008 M, ia digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki kualifikasi untuk
jabatan itu. Akhirnya pada tahun 1013 M, dewan menteri yang memerintah Cordova
menghapus jabatan khalifah. Ketika itu Spanyol sudah terpecah dalam banyak sekali
negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu 9

Periode keempat (1013-1086 M)


Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negeri kecil di
bawah pemerintahan raja-raja golongan atau al Muluk al Thawaif, yang antara lain
berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordova, dan Toledo (Bosworth, 1993: 35-
40). Pemerintahan terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Seville. Pada periode ini,
umat Islam Spanyol kembali memasuki masa pertikaian internal. Sayangnya, jika terjadi
perang saudara, ada di antara pihak-pihak yang bertikai itu, ada pihak-pihak tertentu
yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Karena menyaksikan kekacauan dan
kelemahan yang menimpa keadaan politik Islam, maka orang-orang Kristen pada periode
ini mulai mengambil inisiatif penyerangan untuk pertama kalinya. Akibat fatalnya,
kekuatan Islam diketahui mulai menurun dan tiba saatnya untuk dihancurkan10

Periode kelima (1086-1248 M)


Walaupun terpecah dalam beberapa negara, pada periode kelima ini, Spanyol Islam
masih mempunyai suatu kekuatan yang dominan, yaitu dinasti Murabithun (1086-1143

7
Ali, K. 1996. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern). Terjemahan oleh M. Natsir Budiman. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
8
Husain. 1996. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: Rosda Karya.
9
Watt, W. Montgomory. 1995. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
10
Yatim, Badri. 1994. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

6
M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235M). Dinasti Murabithun pada mulanya adalah
sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf Ibnu Tasyfin di Afrika Utara. Pada
tahun 1062 M ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy. Ia
masuk ke Spanyol atas undangan penguasa-penguasa Islam di sana yang tengah berjuang
mempertahankan negerinya dari serangan kaum Nasrani. Ia dan tentaranya memasuki
Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia.
Perpecahan di kalangan raja-raja Muslim menyebabkan Yusuf bergerak lebih jauh
untuk menguasai Spanyol dan ia pun berhasil. Kesuksesan ini ternyata tidak dapat
diteruskan oleh penguasa-penguasa sesudahnya karena mereka adalah raja-raja yang
lemah. Pada tahun 1143 M, kekuasaan dinasti Murabithun baik di Afrika Utara maupun
di Spanyol berakhir. Dinasti Muwahhidun muncul sebagai gantinya.
Tahun 1146 M penguasa Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut
Spanyol. Muwahhidun didirikan oleh Muhammad Ibnu Tumart (w. 1128). Ia adalah
seorang cerdas, tangkas, dan tak segan-segan mempunyai pemikiran berseberangan. Ia
adalah murid Qadi Ibnu Hamdin (Urvoy, 1991: 11). Dinasti ini datang ke Spanyol
di bawah pimpinan Abd al Munim. Antara tahun 1114 dan 1154 M, kota-kota
Muslim penting, Cordova, Almeria, dan Granada, jatuh ke bawah kekuasaannya. Untuk
jangka beberapa dekade, dinasti ini mengalami banyak kemajuan terutama saat
pemerintahan dipegang oleh Abu Yusuf al Mansur. Kekuatan-kekuatan Kristen dapat
dipukul mundur. Akan tetapi tidak lama kemudian, dinasti Muwahhidun mengalami
keruntuhan.
Pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de
Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhidun menyebabkan penguasanya
memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara tahun 1235 M.
keadaan Spanyol kembali runyam, berada di bawah penguasa- penguasa kecil. Dalam
kondisi demikian, umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan Kristen
yang semakin besar. Tahun 1238 M, Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan
Seville jatuh pada tahun 1248 M. Akhirnya, kecuali Granada, seluruh wilayah Spanyol
telah lepas dari kekuasaan Islam11

Periode keenam (1248-1492 M)


Kerajaan Granada merupakan pertahanan terakhir Muslim Spanyol di bawah
kekuasaan dinasti Bani Ahmar (1232-1492 M). Peradaban kembali mengalami kemajuan
seperti di zaman Abdurrahman al Nasir. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya
berkuasa di wilayah yang kecil. Persekutuan antara wilayah Aragon dan Castille melalui
perkawinan Ferdinand dan Isabella melahirkan kekuatan besar untuk merebut kekuasaan
terakhir umat Islam di Spanyol (Tim, 1994: 175). Namun beberapa kali serangan mereka

11
Yatim, Badri. 1994. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

7
belum berhasil menembus pertahanan umat Islam. Abu Hasan yang menjabat pada waktu
itu mampu mematahkan serangan tersebut. Bahkan ia menolak membayar upeti kepada
pemerintahan Castille. Abu Hasan dalam suatu serangan berhasil menduduki kota Zahra.
Untuk membalas dendam, Ferdinand melancarkan serangan mendadak terhadap al
Hamra dan berhasil merebutnya. Banyak wanita dan anak kecil yang berlindung di sana
dibantai oleh pasukan Ferdinand. Jatuhnya al Hamra ini merupakan pertanda kejatuhan
pemerintahan Granada.
Situasi pemerintahan pusat di Granada semakin kritis dengan terjadinya beberapa
kali perselisihan dan perebutan kekuasaan antara Abul Hasan dengan anaknya yang
bernama Abu Abdullah. Serangan pasukan Kristen yang berusaha memanfaatkan situasi
ini dapat dipatahkan oleh Zaghal, saudara Abul Hasan. Zaghal menggantikan Abul
Hasan sebagai penguasa Granada. Zaghal berusaha mengajak Abu Abdullah
menggabungkan kekuatan dalam menghadapi musuh. Tapi ajakan itu ditolaknya. Ketika
terjadi pergolakan politik antara Zaghal dan Abu Abdullah, pasukan Kristen melakukan
penyerbuan dan berhasil menguasai Alora, Kasr Bonela, Ronda, Malaga, dan Loxa.
Pada serangan berikutnya, Zaghal menyerah dan melarikan diri ke Afrika Utara.
Satu-satunya kekuatan Muslim berada di kota Granada dipimpin oleh Abu Abdullah
yang kemudian dihancurkan oleh Ferdinand. Abu Abdullah dipaksa menyampaikan
sumpah setia kepada Ferdinand dan bersedia melepaskan harta kekayaan ummat Islam
sebagai imbalan dari diberikannya hak hidup dan kebebasan beragama bagi orang Islam.
Peralihan kekuasaan yang menyedihkan itu terjadi pada tanggal 3 Januari 1492M12
Dengan demikian, berakhirlah kekuasan Islam di Spanyol. Umat Islam setelah itu
dihadapkan kepada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggalkan Spanyol.
Akibatnya, pada tahun 1609 M, dapat dikatakan tidak ada lagi umat Islam yang hidup di
daerah ini.

Daftar Pustaka
Al Siba’i, Musthafa. 1987. Kebangkitan Kebudayaan Islam. Jakarta: Media Dakwah. Ali,
K. 1996. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern). Terjemahan oleh M. Natsir Budiman.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Arnold, Thomas W. t.th. Dakwah Islam. Terjemahan oleh A. Nawawi Rambe
Jakarta: Widjaya.
Husain. 1996. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: Rosda Karya. Lebor,
Adam. 2009. Pergulatan Muslim di Barat: antara Identitas dan
Integrasi.Terjemahan Yuliani Liputo. Bandung: Mizan.
Mun’im, Abdul Majid. 1997. Sejarah Kebudayaan Islam. Bandung: Pustaka. Nasution,
Harun. 1996. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta : UI Press.

12
Yatim, Badri. 1994. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

8
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat, Kajian sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat, dan kekuasaan. Jakarta: Gramedia.
Syalabi, A. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Al-Husna Zikra.
Watt, W. Montgomory. 1995. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Yatim, Badri. 1994. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

9
SUKSESI KEPEMIMPINAN SERTA KEBIJAKAN POLITIS ABU BAKAR
DAN UMAR BIN KHATTAB

Ahmad Dzikri Alhikam

Abstract
Khulafaur Rashidin is the name of the four Prophet companions consensually
chosen by another prophet companions to run the government and to arrange the
Islamic state after the prophet saw passed away. Islamic scholar from ahl sunnah
wal jama'ah sect admitted the existence of the four caliphs and the Caliphate
system built upon the methode of the prophet saw. While after the end of khulafaur
rasyidin the Caliphate's election system turned into a monarchy because there is a
hereditary tradition in caliphate’s succession, although in their another law and
principles were refer to al-quran and sunnah. In the early period of khulafaur
rashidin there’re some a glorious achievement in the spread of Islamic da’wah
and to keep the ideology of Islam which brought by the prophet Muhammad saw.
Such those good thing could not be separated from their ijtihad that they kept up
to the teachings of prophet Muhammad saw and doing a lot of innovations
especially in political and constitutional policy. As long as Abu Bakr who has
struggle to codify al-qur’an the book which is the primary source and the
reference of moslem that still exists today, as well as umar who has innovations in
the constitution such as the establishment of a diwan or ministry agency,
separated the institutional state became executive, legislative, judicial and others.
Keywords: Politics, leadership, Abu Bakr, Umar bin Khattab, government.

Abstak
Khulafaur Rasyidin adalah sebutan bagi 4 orang sahabat Rasul saw yang
dipilih secara konsensus oleh para sahabat untuk menjalankan roda
pemerintahan, mengatur serta menata negara paska wafatnya nabi. Ulama ahlu
sunnah wal jama’ah menyepakati eksistensi ke empat khalifah dan sistem
kekhilafahan yang dibangun atas manhaj nabi. Sedangkan setelah masa khulafaur
rasyidin berakhir maka sistem pemilihan khalifahpun berubah menjadi monarki
karena ada tradisi turun temurun dalam pengestafetan kekuasaan, meski dalam
penerapan hukum kesehariannya masih mengacu pada al-quran dan sunnah.
Pada periode awal khulafaur rasyidin banyak menorehkan prestasi yang gemilang
dalam penyebaran agama Islam dan mempertahankan ajaran yang dibawa oleh
nabi Muhammad saw. Hal tersebut tidak lepas dari poin-poin ijtihad mereka
dengan tetap berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Islam dan melakukan banyak

10
pembaharuan serta inovasi-inovasi khususnya dalam kebijakan politis dan
ketatanegaraan. Sebagaimana Abu Bakar yang telah berijtihad untuk
mengkodifikasi al-quran sehingga kitab yang menjadi sumber primer dan rujukan
umat Islam dalam setiap hal masih ada hingga saat ini, begitupun umar yang
telah melakukan banyak inovasi dalam ketatanegaraan seperti membentuk diwan
atau badan kementerian, pemisahan 3 lembaga instansi kelembagaan negara
menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif dan terobosan lainnya.
Kata Kunci: Politik, kepemimpinan, Abu Bakar, Umar bin Khattab, pemerintahan.

PENDAHULUAN
Sejarah tidak bisa dinafikan dalam kehidupan kita, terlebih perjalanan manusia
sedemikian panjangnya yang menjadi sebuah cerminan dan rujukan untuk membangun
masa depan dan peradaban yang cemerlang. Terlebih dengan sejarah kita bisa
mengetahui bagaimana fase-fase yang pernah dilalui oleh umat Islam, namun terkadang
kita merasa malas untuk melirik sejenak ke belakang, sekedar untuk berkaca pada
pengalaman umat-umat terdahulu, sehingga kita dapat mengambil pelajaran atau sekedar
meminimalisir kesalahan-kesalahan yang dahulu pernah terjadi. Hal itu senada dengan
pernyataan Ibnu Miskawaih yang menyebutkan bahwa peristiwa dan kejadian dalam
setiap zamannya itu sering terulang hanya saja para pemeran, ruang dan waktunya yang
berbeda namun secara substansi memiliki kemiripan. Dalam pendahuluan kitab Tajarib
al-umam wa ta’aqub al-himam Ibnu Miskawaih berkata:

‫ ل‬،‫ واا ا و ل و ا وا ااو‬،‫ ر ااات‬،‫ااق ومل ااارل وب اار‬،‫ وسريااملل و‬،‫وإّن ملاات فّ ا ى خب ر ااات‬
‫ى ى‬
1
‫ ريث هت و ن ظا ح وث شاههت وشك هت‬،‫كا‬ ‫ فيهت ريت فس تد رينه جتابة ال فزول ى‬، ‫وج‬

Umat Islam dalam panggung sejarah dicatat pernah mengalami masa


keemasannya, proto umat yang dibina langsung oleh Rasulullah saw, mereka yang
langsung menyaksikan turunnya wahyu, berinteraksi di segala dimensi bersama
Rasulullah saw, ikut berjuang dalam menegakkan visi misi keislaman serta berkorban
dengan waktu, tenaga, harta bahkan nyawa sekalipun. Hal demikian sebagaimana telah
disabdakan oleh nabi Muhammad saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim :

‫ااانل واااين‬ ‫ا مل ااق رريال وا ااا واااين‬،‫اال وهلل صا وهلل ع يااه و‬،، ‫ بااتل‬:‫عا عاا وهللل بااتل‬
.2‫اهنملل جييء بام فساق شهتدة رح همل ميينه وميينه شهتدفه‬ ‫اهنمل واين‬
1
Ibnu Maskawaih, Tajarib al-umam wa ta’aqub al-himam, Tehran: Sirus, 2000, jilid I. hlm. 47.
2
Abu al-Hasan Muslim ibnu Hajjaj, Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ Turats, Juz IV. hlm. 1962.

11
Melihat konteks hadits di atas maka sudah tidak diragukan lagi para sahabat
termasuk ke dalam golongan sebaik-baiknya umat yang hidup sezaman bersama
Muhammad saw. meskipun dalam tradisi keilmuan terminologi sahabat memiliki makna
yang beragam sesuai tantangan zaman dan kebutuhan dari setiap disiplin ilmu agar nilai
serta hukum-hukum Islam tetap eksis hingga akhir zaman. Dalam The Companions
karya Fu’ad Jabali, definisi sahabat terlihat mengalami perkembangan yang signifikan.
Awalnya, menurut Anas bin Malik (w. 90-93 H./708-711 M.), makna sahabat hanya
mencakup orang yang pernah bersama Nabi dalam waktu yang panjang. Kemudian,
muncul Sa‘îd bin al-Musayyab (w. 94 H./713 M.) yang menganggap sahabat adalah
orang yang pernah tinggal bersama Nabi selama satu atau dua tahun dan ikut berperang
bersama Nabi sebanyak satu atau dua kali. Definisi ini lalu berkembang sebagaimana
diutarakan oleh Ahmad bin Hanbal (w. 241 H./855 M.) dengan “Siapapun yang bersama
(sahiba) Nabi selama satu tahun, atau satu bulan, atau satu hari, atau sesaat, atau sekedar
melihatnya (ra’â)”. Ada pula Alî bin al-Madînî (w. 258 H./871-872 M.) yang
memaparkan dengan definisi “Siapapun yang bersama Nabi atau melihatnya, walaupun
hanya sebentar dalam sehari”. Imam al-Bukhârî melihat adanya kelemahan dalam
definisi ini lantas menambahkan kata “Dan dia dalam keadaan Islam”. Pasca al-Bukhârî,
para ahli hadis masih melihat adanya kelemahan, maka mereka menggunakan kata yang
lebih netral, yaitu bertemu (laqiy) sebagai pengganti kata bersama (sahiba) atau melihat
(ra’â) untuk menyelesaikan kesahabatan Ibn Ummi Maktûm yang buta dan juga
menambahkan kata “wafat dalam keadaan Islam” untuk menghindari sahabat yang
murtad dan wafat sebelum kembali masuk Islam1.
Terlepas dari perdebatan akademik di atas tentang terminologi sahabat, sudah
tidak diragukan lagi bahwa sahabat senior Abu Bakar dan Umar bin Khattab merupakan
dua sosok sahabat yang masuk dalam kriteria dari 3 perbedaan terminologi sahabat dan
memiliki peranan penting semasa hidupnya bersama Rasulullah dalam penyebaran Islam.
Sebagaimana Abu Bakar Ash-Shiddiq orang yang bergelar khalifatu rasulillah dan Umar
bin Khattab yang digelari Amirul mu’minin2. Sedangkan sahabat yang disebut Khulafaur
Rasyidin terdiri dari
empat orang khalifah yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq 11-13H/632-634 M, Umar bin
Khattab 13-23 H/634-644 M, Utsman bin Affan 23-35 H/644-656 M dan Ali bin Abi
Thalib 35-40H/656-661 M. Para khalifah tersebut menjalankan pemerintahan dengan
bijaksana3.
Sudah seyogyanya terjadi pada generasi awal munculnya islam menjadi sebuah
role model yang setiap umat setelahnya berlomba-lomba untuk ingin meneladaninya,

1
Fu’ad Jabali, The Companions of the Prophet: A Study of Geographical Distribution and Political
Alignments, Leiden: Brill, 2003. hlm. 44-49.
2
Abu Hilal al-‘Askari, al-Awaail, Tonto: Darul Basyir, 1408 H. hlm. 150.
3
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 46.

12
karena pada zaman ini merupakan titik tolak perubahan ke arah peradaban yang lebih
maju bahkan tidak pernah ada yang menyangka seorangpun dengan munculnya sebuah
peradaban dari tengah padang pasir yang tandus, kering dan minim akan sumber
kehidupan manusia. Tidak terkecuali sejarah dalam pergerakan politiknya yang bisa kita
teladani dan cari titik temunya dengan konteks globalisasi seperti saat ini, juga agar kita
tidak merasa minder karena selalu berkaca dalam hal-hal yang bersifat modern baik
dalam ekonomi, sosial dan politik kepada orang-orang barat yang seakan-akan kita
mendewakan kepada peradaban barat padahal hal serupa pernah terjadi pada masa
keemasan Islam, sehingga kita tidak mudah merasa kaget dengan peradaban barat yang
sedang di atas awan pada abad modern ini.

BIOGRAFI ABU BAKAR DAN UMAR RADIYALLAHU ‘ANHUMA.


A. Abu Bakar Shiddiq RA1
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abi Quhafah Utsman bin ‘Amir bin Amru
bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taym bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib al-Qursyi at-
Taymi yang nasabnya bertemu dengan Rasulullah pada nenek moyangnya yang bernama
Murrah2. Abu Bakar juga diberi gelar oleh Rasulullah saw dengan sebutan ‘Atiiq yang
artinya yang dibebaskan dari api neraka. ‘Aisyah pernah menceritakan sebab penamaan
ayahnya dengan sebutan tersebut sebagaimana berikut:

-‫ع يه واّالة وواسالم‬- ‫ال وهلل‬،، ‫ ر ربت بكا د ل ع‬-‫ضي وهلل عنهت‬،- ‫ع عتئشة‬
3
‫" ل فم اريئين مسي ع ي ً ت‬،‫ " ت ربت بكال رنب ع يق وانت‬:‫ف تل‬
Adapun sebutan shiddiq kerena beliau mudah mempercayi apa yang disampaikan
oleh Muhammad saw dari setiap kabar-kabar langit. sebagaimana ditegaskan oleh Imam
suyuthi tentang alasan penamaan Abu Bakar dengan sebutan shiddiq ialah :
4
‫ فيمت ت خيرب به‬-‫ع يه واّالة وواسالم‬- ‫ال وهلل‬،، ‫فه إىل فّ ق‬،‫ملاتد‬
Penamaan shiddiq juga merupakan sebutan dari lisan jibril tatkala rasul saw mengadukan
atas ketidakpercayaan orang-orang arab akan kabar keberangkatannya pada malam isra

1
Khalifah Rasulullah lahir dua tahun beberapa bulan setelah kelahiran Nabi saw, masa
kepemimpinannya tahun sebelas sampai tahun tiga belas hijriyah dan wafat di usia ke enam puluh tiga
tahun menurut Jalaluddin Abdurrahman Suyuthi ulama Mesir yang multi disiplin dan penyusun kitab
tarikh al-khulafa yang wafat tahun 911 hijriyah.
2
Jalaluddin as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, Riyadh: Maktabatu Nazar Musthafa al-Baaz, 2001. hlm.
26.
3
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam sunannya jilid 5 nomor 3679 dan al-Hakim dalam
mustadraknya jilid 2 nomor 415, Imam Tirmidzi menambahkan bahwa periwayatan hadits ini adalah
hadits gharib.
4
Jalaluddin as-Suyuthi, op. cit, hlm. 28.

13
dan mi’raj. sedangkan keutamaan Abu Bakar sudah tidak diragukan lagi di hadapan
Rasul dan para kaum Muslimin diantaranya sebagai berikut:
1. Orang yang pertama kali masuk Islam
1
2.
3. Satu-satunya sahabat yang menemani Nabi saw ketika hijrah ke Madinah
di dalam gua Tsur.
4. Salah satu diantara sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga.
5. Seandainya nabi Muhammad saw boleh menjadikan seseorang kekasih
selain Allah, maka beliau akan menjadikan Abu Bakar sebagai
kekasihnya.
6. Orang yang nabi Muhammad saw sebut dengan kaumnya yang paling
lembut dan penyayang.

‫حمل رريل بأريل ربا بكال ورش همل يف د وهلل عمال ورص بهمل حيتء عثمات ل وربضاتهمل‬،‫ر‬
‫عا ل ورع مهامل بااتلالل وولااوم ريعاات‬ ‫ع اي با ريب طتاا ل وربااههمل اك اات وهلل ريب با‬
‫با جاالل ورفاضااهمل ز ا با ثتباابل رال وإ اكال ررياة رريينااتل ورريان هاين وسريااة رباا عايا ة‬
2
‫ب وجلاوح‬
7. Satu-satunya sahabat yang Rasul percayakan untuk mengganti posisi
Imam Rasulullah saw saat beliau sakit3.

B. Umar bin Khattab RA


Ia adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Riyah bin Abdullah
bin Qurtz bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Luayyi bin Ghalib al-Qurasyi al-‘Adawi4.
Panggilannya adalah Abu Hafsh dan dijuluki dengan sebutan al- Faruq karena ia
menunjukan keislamannya di Mekah, dengan keislamannya Allah membuat Umar
mampu membedakan antara kafir dan iman. Dilahirkan tiga belas tahun setelah tahun
gajah5, seseorang yang putih bercampur kemerahan, kedua pipi, hidung dan matanya
bagus, telapak kaki dan tangannya tebal. seseorang yang berperawakan besar, bagian
depan kepalanya botak, memiliki kedudukan tinggi di mata masyarakat Arab, pribadi
yang kuat, ulet tidak loyo dan tidak lemah suka memakai warna hena, di ujung kumisnya

1
Muhammad ibni Sa’ad, Thabaqat al-Kubra, Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1990, jilid 3, hlm. 128.
2
Ibnu Majah, Sunan Ibni Majah, Aleppo: Darul Ihya kutub Arabiyah, Jilid 1, hlm. 55.
3
Muhammad Ibni Sa’ad, op. cit, jilid 3, hlm. 134.
4
Yusuf bin Hasan Ad-Dimasyqi, Mahdhus shawab fi fadlaili amiril mu’minin Umar bin Khattab,
Riyadh: Dar ad-Dawais salaf, 2000, jilid 1, hlm. 131.
5
Jalaluddin as-Suyuthi, op. cit, hlm. 133.

14
panjang, apabila berjalan sangat cepat, jika berbicara sangat lantang dan jika memukul
pukulannya sangat sakit6.

Kehadiran Umar pada barisan kaum muslimin memberikan warna baru untuk
kekuatan kaum Muslimin baik pada masa periode Mekah, Madinah maupun di masa
perluasan dakwah Islam pada masa khilafah Abu Bakar dan Umar, Ibnu Mas’ud berkata:

‫ااالم نّ ااوًل و تنااب هجافااه ف خ اتًل و اات وهلل جاال وعااال ب ا‬،‫ااالريه ا مس ا من ع ازوًل واإل‬،‫" اات إ‬
‫هباتل وااجال وااين ع امل‬،‫ض وريغت‬،‫ وس‬،‫اه ريشات‬ ‫ل ناز ساى وبيّال وف ح وهلل ع ا‬ ‫ب‬
‫و‬،‫كااا واعا لل رنااه وا اات‬ ‫كااا وازها ل وااجاال واااين ع اامل رهاال واعا ل يا‬ ‫يا‬ ‫رهاال وازها‬
7
" ‫ضت‬،‫ضي وهلل عنه ور‬، ‫عما ب وخلطت‬
Begitu pula Umar bin Khattab merupakan jawaban dari do’a yang pernah diminta Rasul
saw untuk menguatkan Islam dengan salah satu diantara dua Umar yaitu antara Umar bin
Khattab dan Amr bin Hisyam, maka Allah lebih memilih dan mencintai Umar bin
Khattab yang kemudian dengan keislamannya agama Islam menjadi kuat.
Diantara keutamaan-keutamaan Umar bin Khattab antara lain sebagai berikut :

‫ ريا وهلجااةل ورول‬،‫ا وا ات‬ ‫ ها رول ري ممسىي رريق وملؤريننل ورول ريا‬: ‫بتل واعسكا‬
‫ريضاات ل ورول ريا عا بتا ياالل ورول ريا عتبا‬، ‫ا بيااتم شااها‬، ‫ريا و ااين بيااب وملااتلل ورول ريا‬
‫ع ا وهلجااتءل ورول ري ا ضااا يف وخلمااا رااتننل ورول ري ا حااام ومل عااةل ورول ري ا هن ا ع ا بي ا‬
‫ل ورول ريا ا و ااين‬،‫با ا فكاا اقو‬،‫ا ا وان ااتل يف ص ااالة وجلن ااتئز ع ا ا ر‬ ‫ وسوالدل ورول ريا ا‬،‫رريه اات‬
‫اال واطعااتم ريا ريّااا يف ااا ر ااة إىل‬ ‫واا او ل ورول ريا فا ح وا اااح وريسااح واسااودل ورول ريا‬
‫المل ورول ري رعتل وا اوئض ورول ريا ر اين ز اتة وخليالل‬،‫ومل نةل ورول ري وح ا ص بة يف وإل‬
‫ هااينو ر ااا رياات‬.‫ ر ا ر وهلل بتاااه اع ااي‬:‫ رطااتل وهلل ب ااتءرل بتاااه اع اايل ورول ريا بااتل‬:‫ورول ريا بااتل‬
.8 ‫ا واعسكا‬
1. Khalifah yang pertama kali dijuluki Amirul Mu’minin.

6
Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Tahdzib al-Asma wa lughat, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, hlm. 24.
7
Muhammad Hasan Abdul Ghaffar, Fadhail sahabah, durus shautiyyah, maktabah syamilah, hlm.
20.
8
Jalaluddin as-Suyuthi, op. cit, hlm. 110.

15
2. Orang yang pertama kali menetapkan penanggalan Hijriyah.
3. Orang pertama yang memberdayakan baitul mal.
4. Orang pertama yang mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat sunah tarawih
secara berjama’ah.
5. Khalifah pertama yang biasa berkeliling malam memantau situasi dan kondisi Ibu
kota pemerintahan.
6. Orang pertama yang memberikan hukuman kepada pelaku hate speech.
7. Khalifah pertama yang memberikan hukuman cambuk delapan puluh kali bagi
para pemabuk. dsb.

SUKSESI KEPEMIMPINAN ABU BAKAR DAN UMAR.


A. Suksesi Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Paska wafatnya nabi Muhammad saw, para kaum Anshar langsung mengadakan
perkumpulan guna memilih orang yang akan menggantikan posisi Rasul sebagai kepala
negara dan pemimpin kaum muslimin di bawah komando Sa’ad bin Ubadah9 di saqifah
Bani Sa’idah. Proses pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah memang berlangsung
dramatis. Ketika kaum Muhajirin dan Ansar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah terjadi
perdebatan siapa yang berhak menjadi khalifah. Kaum Anshar yang bersikeras
mencalonkan Sa’ad bin Ubadah untuk menjadi khalifah setelah wafatnya Rasul masih
belum mendapatkan persetujuan dan kesepakatan dari kaum Muhajirin hingga masing-
masing mengajukan argumentasinya dan saling memahamkan satu sama lain. Dalam
kondisi tersebut Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bergegas menyampaikan pendirian
kaum muhajirin, yaitu agar menetapkan pemimpin dari kalangan Quraisy dengan
berbagai macam alasan. Kemudian Abu Bakar berkata dari kamu pemimpin dan dari
kalian orang-orang yang akan menjabat sebagai menteri. Akan tetapi hal tersebut
mendapat sanggahan dari Hubab bin mundzir (kaum Anshar) karena Hubbab
berpendapat bahwa diantara kami ada pemimpin dan diantara kalian juga ada pemimpin,
padahal Umar sudah menganalogikan bahwa tidak akan bisa ada dua pedang dalang satu
sarung pedang, hingga akhirnya di tengah perdebatan tersebut Abu Bakar mengajukan
dua calon khalifah yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah dan Umar bin Khattab, namun kedua
tokoh ini menolak usulan tersebut10.
Akan tetapi Umar bin Khattab tidak membiarkan proses tersebut semakin rumit,
maka dengan suara yang lantang beliau membaiat Abu Bakar sebagai khalifah yang

9
Sahabat nabi dan salah seorang pembesar kaum Anshar dari suku khajraj, orang terpandang
yang memiliki kedudukan penting di kalangan masyarakat madinah, dikenal sangat dermawan hingga
dikatakan tentangnya bahwa Sa’ad bin Ubadah setiap harinya memberikan makan malam untuk 80
orang dari pada ahli suffah yang berdomisili di sekitar pelataran mesjid nabawi. dirinya, orang tua nya
dan kakeknya dikenal sebagai orang yang dermawan di madinah. lihat Ibnu Hajar al-Atsqalani, al-
Ishobah fii tamyiiz ash-Shahabah, Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1415 H, Jilid 3, hlm. 55.
10
Baladzuri, Ansabul Asyraf, Beirut: Darul Fikri, 1996, jilid 1 hlm. 580.

16
diikuti oleh Abu Ubaidah. Kemudian proses pembaiatanpun terus berlanjut seperti yang
dilakukan oleh Basyir bin Saad beserta pengikutnya yang hadir dalam pertemuan
tersebut. Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah ternyata tidak sepenuhnya
mulus karena ada beberapa orang yang belum memberikan ikrar, seperti Ali bin Abi
Thalib, Abbas bin Abdul Muthalib, Fadl bin al-Abbas, Zubair bin al-Awwam bin al-Ash,
Khalid bin Sa’id, Miqdad bin Amir, Salman al-Farisi, Abu Zar al-Gifari, Amma bin
Yasir, Bara bin Azib dan Ubai bin Ka’ab. Telah terjadi pertemuan sebagian kaum
muhajirin dan Anshar dengan Ali bin Abi Thalib di rumah Fatimah, mereka bermaksud
membai’at Ali dengan anggapan bahwa Ali bin Abi Thalib, lebih patut menjadi khalifah
karena Ali berasal dari bani Hasyim yang berarti ahlul bait.
Juga dalam redaksi lain Baladzuri seorang sejarawan Islam klasik menyebutkan
peristiwa saqifah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:

‫ مرينَّاات رَمريااق‬:،‫ات‬
‫ّا م‬
‫م‬
َ ْ‫اَّ َملل بَتاَااب وسَن‬،َ ‫صاَّ واَّااه ع يااه َو‬ َ ‫اال واَّااه‬ ‫ا م‬،‫ م‬،َ ‫ض‬َ ‫اَ َّماات بماام‬:‫اتل وبْا م َري ْسااعماد‬
َ ‫بَا‬
َّ‫صا‬َ ‫اال واَّااه‬ َ ‫ا‬،‫ م‬،َ َّ َ‫ل رَاَ ْسام ْمل فَا ْعَ ممااا َ ر‬،‫ّاات م‬
َ ْ‫ َاات َري ْع َشا َاا وسَن‬:‫اتل‬
َ ‫اته ْمل عم َما ماال فَا َ ا‬ َ ‫بَا‬.‫َومرياْن مك ْمل رَمريااق‬
‫ فَأَفَا م‬:‫اتل‬
‫م‬ ‫ِّّي بمتانَّ م‬ َّ ‫َّ م‬
َ ‫ فَاأَك مك ْمل َطيا م نَا ْ مساهم رَ ْ َاَا َ ا‬:‫اتل‬
‫َّم‬ َ َ‫ ب‬. ‫ بَاَا‬:‫اتل بَاتاماو‬ َ َ ‫ َمل رََريَا رَبَت بَكْا رَ ْ م‬،َ ‫وا ه َعَْيه َو‬
.11‫ نعا بتاَّه ر ن ى م ربت بكا‬:‫ك بَتاماو‬ ‫م‬
َ ‫رَبَت بَكْا بَا ْع َ َا‬
Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah pertama, menunjukkan
betapa seriusnya masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat Islam pada saat itu,
dikarenakan suku-suku Arab kepemimpinan mereka didasarkan pada sistem
musyawarah, senioritas dan prestasi masing-masing individu, sehingga warisan dan
tradisi yang diturunkan oleh para khulafaur rasyidin adalah sistem yang lebih condong
kepada manhaj nabawi tidak pernah mengajarkan sistem pemilihan pemimpin dengan
secara turun temurun.
Akhirnya setelah didapatkan kesepakatan dalam proses pengangkatan Abu Bakar sebagai
khalifah, kemudian keesokan harinya ia berpidato pada hari yang dikenal dengan istilah
bai’at ‘amah yang isinya berupa prinsip-prinsip kekuasaan demokratis yang selayaknya
dimiliki oleh seorang pemimpin negara sebagaimana yang dikutip oleh Imam Ath-
Thobari dalam kitabnya Tarikh umam wal muluk:

‫رريت بع ر هت واناتلل فا ن با واياب ع ايكمل واساب فاق ملل فا رحسانب فاأعينانل وإ‬
‫ ااح ع يااه‬،‫ح ا ر‬ ‫يتنااةل وواضااعي فاايكمل بااا عن ا‬ ‫رريتنااةل وواكااين‬ ‫ ف اريااان واّ ا‬،‫ااأ‬،‫ر‬
‫حا ر اين ولااق ريناه إ شاتء وهلل ال ا رحا‬ ‫ح اه إ شاتء وهللل ووا اا ريانكمل واضااعي عنا‬
11
Ibid, hlm. 580.

17
‫ااايل وهللل ف نااه ال عااه بااام إال ضااهبمل وهلل بتاااينلل وال فشااي وا تحشااة يف بااام‬، ‫رياانكمل وجلهااتد يف‬
‫ اااه ف ااال طتع ااة‬،،‫ اااهل ف ا و عّ اايب وهلل و‬،،‫إال عمه اامل وهلل ب ااتااالء رطيع ااان ري اات رطع ااب وهلل و‬
12
!‫ كمل وهلل‬، ‫ع يكمل بارياو إىل صالفكمل‬
“Wahai manusia! Sungguh aku telah memangku jabatan yang kamu percayakan,
padahal aku bukan orang yang terbaik diantara kamu. Apabila aku melaksanakan
tugasku dengan baik maka bantulah aku, dan jika aku berbuat salah maka luruskanlah
aku. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan kedustaan adalah suatu pengkhianatan.
Orang yang lemah diantara kamu adalah orang kuat bagiku sampai aku memenuhi hak-
haknya, dan orang kuat diantara kamu adalah lemah bagiku hingga aku mengambil
haknya, Insya Allah. Janganlah salah satu seorang dari kamu meninggalkan jihad.
Sesungguhnya kaum yang tidak memenuhi panggilan jihad maka Allah akan
menimpakan atas mereka suatu kehinaan. Patutlah kepadaku selama aku taat kepada
Allah dan Rasulnya. Jika aku tidak menaati Allah dan Rasulnya, sekali-kali janganlah
kamu menaatiku. Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kamu13.

B. Suksesi Khalifah Umar bin Khattab.


Sedikit berbeda dengan cara pemilihan dan pembai’atan Abu Bakar, kali ini Abu
bakar sudah bercermin pada pergumulan dan suasana yang agak menegangkan tatkala
melihat dua tahun ke belakang di saqifah Bani Sa’idah yang hampir saja terjadi
perpecahan antara kaum muhajirin dan kaum anshar. maka Abu Bakar mengambil
sebuah tindakan yang lebih aman untuk menjaga stabilitas negara di tengah-tengah hiruk
pikuk permasalahan yang terjadi di Madinah sebagai pusat pemerintahan maupun
daerah-daerah yang sedang diadakan futuhat atau pembebasan sosial dan perluasan
wilayah dakwah.
Ketika sakit Abu Bakar semakin parah, ia mangumpulkan kaum muslimin untuk
memusyawarahkan pemimpin yang akan meneruskan misi dakwah Islam dan agar tidak
berselisih pendapat lagi setelah kepergiannya. Maka Abu Bakar bergegas memanggil
beberapa sahabat seperti Abdurrahman bin ‘Auf, Utsman bin Affan, Usaid bin Hudhair,
Sa’id bin Zaid dan sejumlah kaum Anshar untuk menjejaki pendapat mereka tentang
Umar bin Khattab. Semua sependapat mengenai Umar kecuali Thalhah bin Ubaidillah
karena rasa takutnya pada sikap keras Umar sehingga Abu Bakar menjawab keraguan
Thalhah tentang sikap kerasnya Umar hal demikian karena Umar melihat sikap lembut
Abu Bakar, Jika saja perkara kekhilafahan ini diserahkan kepadanya, niscaya ia akan

12
Ibnu Jarir at-Thobari, Tarikh thobari, Beirut: Darut turats, 1387 H, jilid 3, hlm. 210.
13
Dedi Supriayadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm. 70.

18
banyak meninggalkan watak dirinya14. Setelah itu Abu Bakar menuliskan wasiat yang
dibacakan kepada penduduk Madinah dan berbagai kota melalui para panglima pasukan
yang isinya nasehat-nasehat kebaikan dan wasiat akan kepemimpinan yang diestafetkan
kepada Umar bin Khattab.
Abu Bakar menugaskan Utsman bin Affan untuk membacakan surat amanat
kepada orang-orang dan melakukan ba’iat kepada Umar bin Khattab sebelum Abu Bakar
meninggal dunia. Utsman berkata kepada penduduk Madinah yang ada di hadapannya,
“apakah kalian akan membai’at nama yang tertulis dalam surat ini?” dengan serentak
mereka manjawab “ya”, semua mengakui hal itu dan meridloinya. Abu Bakar s
menuliskan wasiat untuk Umar secara pribadi juga sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu
jauzi dalam karangannya shifatu shofwah :

‫ل ووناه‬،‫ ال ا ه بتا يلل وعمالً بتا يل ال ا اه بتانهات‬،‫"وفق وهلل ت عمال ووع مل ر هلل عمال بتانهت‬
‫ال ااال نتف ااة ح ا فااؤد فا ض ا هل وإااات ث ااب ري ااوز ري ا ث ااب رياوز نااه ااام وا يتريااة بتفاااتعهمل‬
15
‫ إخل‬. .‫ولق‬
Maka bisa digaris bawahi bahwa Abu Bakar menyerahkan kekhalifahan kepada Umar
dengan kesepakatan ahlul halli wal ‘aqdi yang telah menyerahkan pikiran khalifah
kepada Abu Bakar. Ahlul halli wal ‘aqdi ini adalah parlemen umat Islam yang terbentuk
secara alami. Dengan demikian, pengangkatan Umar bin Khattab sebagai Khalifah tak
lain adalah mekanisme musyawarah yang paling sah dan adil.
Langkah-langkah yang ditempuh Abu Bakar sama sekali tidak melanggar
ketentuan syura, meskipun proses yang diikuti bukan proses pengangkatan khalifah yang
sama dengan dirinya sendiri. Demikianlah proses pengangkatan khalifah Umar bin
Khattab dengan mekanisme syura dan aklamasi. Sejarah juga menyebutkan tidak
terjadinya perselisihan masalah kekhalifahan Umar setelah itu. Sepanjang masa
kekhalifahan Umar juga tidak ada seorangpun yang memberontak, bahkan terjadi
konsensus terhadap kekhalifahannya, kepatuhan dalam perjalanan pemerintahan16.

KEBIJAKAN POLITIS ABU BAKAR DAN UMAR.


A. Kebijakan politis Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Dalam waktu yang terbilang singkat selama masa kekhilafahan Abu Bakar
selama dua tahun lebih beberapa bulan beliau banyak melakukan berbagai hal untuk
terus mempertahankan eksistensi ajaran nabi Muhammad. Pada saat itu pula terjadi

14
Ibnu Atsir, Al-Kamil fi at-Tarikh¸ Beirut: Dar Ihya Turats al-‘Arabi, 1989, jilid 2, hlm. 79.
15
Ibnu Jauzi, Shifatu shafwah, Kairo: Darul Hadits, 2000, jilid 1, hlm. 100.
16
Ali Muhammad ash-Shalabi, Biografi Umar bin Khattab, Terjemahan Ismail Jalil, Jakarta: Beirut
Publishing, 2014, hlm. 103.

19
beberapa peristiwa yang apabila Abu bakar tidak mengeksekusinya dengan baik maka
akan menghancurkan sendi-sendi dan pondasi keislaman yang sudah dibangun pada
masa kerasulan. Diantaranya adalah memerangi orang orang yang murtad seperti
sekelompok bangsa Arab dari bani Wali’ah dan bani Asy’asy bin Qays di Hadramaut
Yaman dan enggan untuk mengeluarkan zakat paska wafatnya nabi Muhammad saw al-
Baladzuri berkata :

‫ طاوئا ريا َ واعااا ورينعااب واّا بةل وبااتل بااام‬، ‫فا‬،‫ ااه واَّااه و‬، ‫ا أ رَباماا بكااا‬،‫ملاات و‬
.17‫ اا رينعان ع تال ا تف همل‬:‫ضي واَّه عنه‬، ‫ ن يمل واّالة وال نؤد واز تةل ف تل رَبما بكا‬:‫رينهمل‬
Dengan ketegasannya untuk memberantas kemurtadan dan orang-orang yang
enggan membayar zakat maka kondisi dan stabilitas negara kembali pulih sebagaimana
mestinya. Tidak cukup sampai disana para orang-orang yang mengaku nabipun mulai
bermunculan sehingga hal tersebut mengharuskan Abu Bakar untuk mengirimkan
beberapa bala tentaranya untuk memerangi orang-orang yang mengaku sebagai nabi
semisal Musailamah.
Imam Suyuthi memberikan beberapa poin penting yang berkaitan dengan
kebijakan-kebijakan politis semasa Abu Bakar sebagai berikut18 :
1. Pemberangkatan pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid.
2. Memerangi orang-orang yang keluar dari Islam.
3. Memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat.
4. Memerangi Musailamah al-Kadzab yang mengaku nabi palsu.
5. Mengumpulkan Al-Quran.

B. Kebijakan politis Umar bin Khattab.


Pada masa pemerintahannya banyak terjadi kemajuan-kemajuan yang signifikan,
baik dalam tata kelola, pembangunan kota, manajemen hingga penanggunalang krisis
saat itu. pembangunan kota dimulai dari perluasan mesjid nabawi dengan memasukan
rumah Abbas bin Abdul Mutthalib ke dalamnya, perluasan itu sepanjang sepuluh hasta
dari arab kiblat, dua puluh hasta dari sebelah barat, dan tujuh puluh hasta dari sebelah
utara. Sama halnya para gubernur yang meminta izin untuk mendirikan mesjid seperti
Sa’ad bin Abi Waqash di Kufah, Utbah bin Ghazwan di Bashroh, Amru bin ‘Ash di
Fusthat Mesir, mesjid-mesjid besar ini adalah tempat shalat orang-orang muslim, saling
mengenal, mempelajari ilmu, menentukan keputusan dan menerimah perintah khalifah
dan para gubernur19. Umar juga memperhatikan berbagai hal seperti pembangunan
sarana prasarana, transportasi darat, laut dan pangkalan militer.

17
Baladzuri, Futuhul Buldan, Beirut: Maktabah al-Hilal, 1988, hlm. 99.
18
Jalaluddin as-Suyuthi, op. cit, hlm. 59.
19
Ali Muhammad ash-Shalabi, op. cit, hlm. 250.

20
Baitul mal dan pembentukan diwan juga merupakan sebuah inovasi yang
dilakukan semasa jabatan Umar sebagai khalifah. baitul mal adalah tempat untuk
menyimpan semua pendapatan negara, juga berarti tempat yang darinya dibelanjakan
semua pengeluaran untuk kebutuhan para khalifah, tentara, hakim, pegawai, serta
berbagai sarana umum dan khusus negara. Hal demikian karena ekspedisi penaklukan
dan berbagai kemenangan berkelanjutan sehingga harta-harta semakin banyak dengan
bentuk yang belum pernah dikenal oleh orang-orang muslim sebelumnya. Amirul
mukminin berpendapat bahwa khalifah tidak akan mampu untuk mengontrolnya dengan
hitungan yang teliti. Sebagai hasil dari pemikiran panjang dalam meletakan dasar-dasar
yang kokoh untuk mengelola perbendaharaan ini maka terbentuklah diwan, dan Umar
adalah orang yang pertama membuat diwan di negara Islam20.
Diwan yang dibuat dengan hasil ijtihad Umar memiliki corak tersendiri, karena
Umar juga banyak mengadopsi dari beberapa diwan yang pernah dimiliki oleh kerajaan
romawi setelah kabar yang dibawa oleh para tentara dan panglima Islam tentang
pembenahan negara dan tata kelolanya, maka sekurang-kurangnya umar telah
membentuk beberapa diwan atau badan kementrian untuk memudahkan jalannya roda
pemerintahan diantaranya adalah:
1. Kementrian kas dan keuangan negara.
2. Kementrian militer dan pertahanan.
3. Kementrian pajak.
4. Kementrian distribusi keuangan negara.
5. Majlis hisbah.
6. Majlis syura.
7. Lembaga peradilan.

Dari sekian banyak diwan yang dibuat dan ditata ulang saat masa
kekhalifahan Umar hal yang menarik untuk dikaji salah satunya adalah
pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan administratif. hal itu disebabkan
karena perluasan negara Islam ke belahan bumi bagian barat dan timur maka
daerah-daerah kekuasaan Islam yang baru sangat membutuhkan lembaga
peradilan, sehingga lembaga tersebut dipisahkan dari tugas sang gubernur dengan
menjadikan badan otonom dan kekuasaan nya diberikan secara penuh kepada
lembaga peradilan sehingga seorang gubernur dapat berkonsentrasi membangun
daerah-nya dengan baik. Adapun teori yang selalu dikemukakan tentang
pembagian fungsi negara menjadi 3 badan yaitu eksekutif, legislatif, dan
yudikatif adalah teori John Locke yang ditemukan pada tahun 1690 sebagai mana
ia telah membuat sebuah bab khusus yaitu The Legislative, Executive, and
20
Abdullah Jam’an as-Sa’adi, Siyasatul maal fi ‘ahdi Umar bin Khattab, Doha: Maktabah al-
Madaris, 1983, hlm. 157.

21
Federative Power of the Commonwealth21. Maka jika berkaca pada perjalanan
kekhalifahan Umar bisa jadi John lock terinspirasi dari apa yang telah dilakukan
Umar, hanya saja yang pertama menjadikannya sebuat teori adalah seorang
sarjana dari barat, sehingga seakan-akan teori-teori modern yang dibukukan itu
adalah hasil pemikiran dan produk barat.

PENUTUP
Masa Khulafaur rasyidin termasuk kedalam masa keemasan Islam pada
panggung sejarah peradaban Islam bahkan dunia khususnya masa kekhalifahan Abu
Bakar dan Umar sebagai sendi-sendi dan pondasi dari kekhalifahan yang kemudian
diteruskan oleh Utsman dan Ali. Hal itu bisa kita lihat dari perluasan wilayah, serta
pengambilan keputusan-keputusan yang bersifag politis, ideologis maupun kemaslahatan
sosial. Mulai dari bagaimana sukesi kepemimpinan mereka yang benar-benar sangat
demokratis dan mengedepankan musyawarah sehingga stabilitas negara bisa terus terjaga
meskipun banyak permasalahan yang mereka hadapi dan problematika internal dan
eksternal. Maka sebaik-baiknya zaman yang dijanjikan nabi itu akhirnya dijadikan
rujukan dalam ber-ijtihad baik oleh para ulama fiqh dalam pengambilan hukum, ataupun
oleh para khalifah-khalifah setelahnya dalam mengambil sebuah kebijakan. Dengan
merujuk kepada kisah-kisah mereka maka setidaknya kita bisa berkaca dan terus
mengambil pelajaran disaat menemukan permasalahan-permasalahan dalam tata kelola
negara, dan mengambil spirit keislaman yang dimiliki sehingga dengannya akan
terbangun sebuah pemerintahan yang makmur, adil dan sejahtera. Juga agar kita bisa
merasa kaget dan minder dengan peradaban Islam sendiri yang pernah menguasai dua
per tiga dunia pada masa kejayaannya. ketika kita gali sedikit demi sedikit dan kita
selami lautan sejarah itu sedalam mungkin niscaya mutiara-mutiara yang terpendam di
dalamnya akan kita temukan untuk dijadikan pelajaran, karena sejarah di setiap
zamannya akan menemui kemiripan sebagaimana yang sering dikatakan oleh para
sejarawan.

DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dimasyqi, Yusuf bin Hasan, Mahdhus shawab fi fadlaili amiril mu’minin Umar bin
Khattab, Riyadh: Dar ad-Dawais salaf, 2000.
Al-‘Askari, Abu Hilal, al-Awaail, Tonto: Darul Basyir, 1408 H.
Al-Atsqalani Ibnu Hajar, al-Ishobah fii tamyiiz ash-Shahabah, Beirut: Darul Kutub
Ilmiyyah, 1415 H.
An-Nawawi, Yahya bin Syaraf, Tahdzib al-Asma wa lughat, Beirut: Darul Kutub al-
Ilmiyyah.

21
John Locke, Two Treatises of Government, London: Mc Master University, 1823, hlm. 126.

22
As-Sa’adi, Abdullah Jam’an, Siyasatul maal fi ‘ahdi Umar bin Khattab, Doha: Maktabah
al-Madaris, 1983.
As-Suyuthi, Jalaluddin, Tarikh al-Khulafa, Riyadh: Maktabatu Nazar Musthafa al-Baaz,
2001.
Ash-Shalabi, Ali Muhammad, Biografi Umar bin Khattab, Terjemahan Ismail Jalil,
Jakarta: Beirut Publishing, 2014.
At-Thobari, Ibnu Jarir, Tarikh thobari, Beirut: Darut turats, 1387 H.
Baladzuri, Ansabul Asyraf, Beirut: Darul Fikri, 1996.
________, Futuhul Buldan, Beirut: Maktabah al-Hilal, 1988.
Dedi Supriayadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Ghaffar, Muhammad Hasan Abdul, Fadhail sahabah, durus shautiyyah, maktabah
syamilah.
Ibnu Hajjaj, Abu al-Hasan Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ Turats.
Jabali, Fu’ad. The Companions of the Prophet: A Study of Geographical Distribution
and Political Alignments. Leiden: Brill, 2003.
Jauzi, Ibnu, Shifatu shafwah, Kairo: Darul Hadits, 2000.
Locke, John, Two Treatises of Government, London: Mc Master University, 1823.
Maskawaih, Ibnu, Tajarib al-umam wa ta’aqub al-himam, Tehran: Sirus, 2000.
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Sa’ad, Muhammad ibni, Thabaqat al-Kubra, Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1990.

23
PENGUASAAN DINASTI MUSLIM DI SPANYOL
MENJADI DINASTI-DINASTI KECIL (MULUK AL-THAWAIF)

Oleh : Budi Sujati

Abstrak
Islam yang lahir dunia Timur (Jazirah Arab) pernah mengalami kemajuan yang sangat
mahsyur di Spanyol, yang merupakan negara berbasis Kristen di Eropa. Kemajuan
Islam di Spanyol telah berhasil menciptakan bangsa Eropa sekarang mengalami
peradaban yang luar biasa. Oleh karenanya sangat disayangkan sekali bahwa dinasti
Islam yang berkuasa di Spanyol mengalami disintegrasi yang mengakibatkan sebuah
kerajaan besar menjadi kerajaan-kerajaan kelompok (Muluk Al-Thawaif). Dengan
pendudukan bangsa Muslim dari Spanyol menjadi sebuah dinasti besar Umayah II
menjadikan Islam pernah berjaya di tanah Andalusia yang kejayaannya sangat di
agung-agungkan. Akan tetapi semua itu hanya tinggal kenangan semata yang menjadi
kesedihan umat Islam yang sampai sekarang tidak dapat direbut kembali dari tangan
Kristen Spanyol. Dalam penelitian ini menggunakan metode sejarah (studi hitoris) yang
bersifat deskriptif-analitis dengan menggunakan approach sebagai media dalam
menganalisa sebuah fakta. Sehingga fakta yang terjadi bisa diketahui dengan
melibatkan berbagai metode keilmuan dengan rekonstruksi penulisan sejarah yang
sifatnya kronologis. Dengan penulisan sejarah yang bersifat kronologis tersebut akan
mampu menjelaskan sebuah peristiwa awal masuknya Islam di Spanyol hingga
kejatuhan Muslim di Spanyol dengan komprehensif.
Kata Kunci : Periode, Islam, Spanyol, Kristen, Bani Umayah

A. PENDAHULUAN
Dalam perkembangan Islam di belahan Barat dunia Islam, Sampai akhir abad
ketujuh Islam berkembang pesat namun masih terbatas di belahan dunia Timur. Ekspansi
yang dilakukan paling jauh hanya terbatas di Afrika Utara, yaitu saat Abdul Malik
menjadi khalifah dinasti Umayah. Benua Eropa yang diwakili oleh semenanjung
Andalusia (Iberia) baru dimasuki oleh Tharif bin Malik melakukan penyelidikan, yang
kemudian dilanjutkan dengan penguasaan Thariq bin Ziyad yang mendaratkan tentaranya
tahun 711 M. Mulai saat itu Islam diperkenalkan kepada seluruh penduduk Spanyol yang
menganut agama Kristen.1
Pemerintahan Islam yang pertama kali menduduki Spanyol adalah khalifah dari
Bani Umayah yang berpusat di Damaskus. Sebelum penaklukan Spanyol, Umat Islam
telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannnya salah satu provinsi dari dinasti
Umayah. Penguasaan sepenuhnya atas AfrikaUtara itu terjadi pada zaman khalifah
Abdul Malik 685-705 M. Khalifah Abdul Malik mengangkat Ibnu Nu’man al-Ghasani

1
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat : Kajian Sejarah Perkembangan Perkembangan Negara,
Masyarakat, dan Kekuasaan, (Jakarta : Gramedia, 2001), hlm. 20.

24
menjadi gubernur didaerah itu. Pada masa khalifah Al-Walid 705-715 M, Hassan Bin
Nu’man sudah digantikan oleh Musa Bin Nusair. Disaat Al-Walid berkuasa, Musa Bin
Nusair sukses memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki daerah Aljazair
dan Maroko. Selain itu, ia juga menyempurnakan penaklukan ke berbagai wilayah bekas
kekuasaan bangsa Barbar disejumlah pegunungan sehingga mereka menyatakan loyal
dan berjanji ntidak akan membuat kekacauan seperti yang telah mereka lalukan
sebelumnya.2
Tahun 750 M Bani Abbasiyah meraih tampuk kekuasaan dengan ditandai
pembantaian massal terhadap anggota keluarga bani Umayyah. Meski demikian, ada
segelintir orang yang luput dari pembantaian, salah satunya adalah Abdurrahman Ibn
Muawiyah, cucu Hisyam, khalifah kesepuluh Damaskus. Kisah tentang selamatnya
pemuda berusia dua puluh tahun ini, yang lima tahun menyamar dalam pengembaraan
melewati Palestina, Mesir dan Afrika Utara, serta beberapa kali lolos dari telik sandi
Abbasiyah, telah membentuk episode dramatis dalam sejarah Arab. Pelariannya dimulai
dari sebuah perkemahan orang Arab badui di tepian kiri sungai Eufrat, tempat ia tinggal
beberapa saat untuk menyelamatkan diri dari kejaran penguasa Abbasiyah. Suatu hari,
panji-panji hitam Abbasiyah tiba-tiba muncul di dekat kemah itu. Bersama adik lelakinya
yang berusia tiga belas tahun, Abdurrahman berlari menuju sungai. Sang adik, yang
ternyata tidak terlalu pandai berenang, mempercayai janji yang diucapkan para pengejar
dari pihak Abbasiyah bahwa mereka akan memberikan amnesti. Karenanya, ia kembali
dari tengah sungai, hanya untuk menjemput kematiannya. Sementara sang kakak, terus
berenang dan sampai di seberang.3
Di Afrika Utara, Abdurrahman luput dari pembunuhan oleh gubernur setempat.
Setelah selamat dari pembunuhan, banyak diantara pemimpin-pemimpin sisa kekuasaan
bani Umayah di Afrika Utara melindunginya dan menyambut kesempatan untuk bersatu
dibawah kepemimpinan Abdurrahman. Pada pagi hari 14 Mei 756 M, dua balantentara
antara Abdurrahman dan Yusuf penguasa Andalusia di bawah boneka Abbasiyah
berhadapan di tepi sungai Guadalquivir. Pertempuran itu tidak berlangsung lama, Yusuf
beserta Jenderal-jenderal melarikan diri. Cordova berhasil ditaklukan dan sebuah amnesti
umum di ikrarkan. Dengan dikuasainya Cordova sebagai kota terpenting di Andalusia,
maka dinasti yang didirikan oleh Abdurrahman I, yang dijuluki Al-Dakhil (Pendatang
baru) bertahan selama dua tigeperempat abad (756-1031 M). Dinasti ini mencapai
puncaknya pada masa pemerintahan Abdurrahman III (912-961 M). Pada masanya

2
Munir Subarman, Peradaban Islam di Spanyol dan Pengaruhnya terhadap kemajuan Eropa,
(Cirebon : Jurnal Tamadun IAIN Syekh Nurjati), hlm. 194.
3
Philips K Hitti, (Penj) Cecep Lukman Yasin, Dedi Slamet Riyadi, History Of The Arabs (Jakarta : PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2013), hlm. 642.

25
Andalusia menikmati periode kemegahan yang tiada taranya, seperti pesaingnya di
Baghdad, Irak.4
Setelah Abdurrahman III Wafat pada 961 M dan digantikan oleh putranya Al-
Hakam. Sang penguasa yang cinta ilmu pengetahuan dan kolektor buku serta pendiri
perpustakaan. Pada masa kedua penguasa tersebut, keadaan politik dan ekonomi
mengalami puncak kejayaan dan kestabilan. Namun sebaliknya, keadaan negara yang
stabil dan penuh kemajuan ini tidak dapat bertahan lagi setelah Hakam II wafat dan
digantikan Hisyam II yang berusia 11 tahun. Dalam usianya yang sangat muda, ia
diharuskan memikul tanggung jawab yang besar. Karena tidak mampu mengendalikan
roda pemerintahan, jalannya pemerintahan dikendalikan oleh ibunya dengan dibantu oleh
Muhammad Ibn Abi Umar yang bergelar Hajib Al-Mansur yang ambisius dan haus
kekuasaan. Sejak saat itu khalifah hanya dijadikan sebagai boneka oleh Al-Mansur dan
para penggantinya. Ketika Al-Mansur wafat, ia diganti oleh anaknya yaitu Abdul Malik
Al-Muzzafar dan pengganti Al-Muzzafar adalah Abdurrahman, penguasa yang tidak
punya kecakapan, gemar berfoya-foya, ia tidak disenangi rakyatnya, sehingga negara
menjadi tidak stabil dan lambat laun mengalami kemunduran.5
Dari sedikit kisah diatas sangat miris bahwasanya Islam yang dulu berkuasa di
tanah Spanyol mengalami kemajuan yang sangat monumental perlahan tapi pasti
mengalami kemunduran berbagai aspek baik dari politik, ekonomi, sosial, dan budaya
yang pada akhirnya mengalami kehancuran total peradaban Islam di tanah Spanyol untuk
selama-lamaya pada tahun 1492 M di bawah aliansi kerajaan Kristen Pimpinan Raja
Ferdinand dan Ratu Issabella.
B. PEMBAHASAN
Dalam sejarah dunia, tidak dapat diputarbalikan fakta bahwa Islam pernah dan
telah memainkan peranan penting dalam rangka menciptakan kebangkitan bangsa Eropa
pada abad berikutnya abad ke-15 dimana setelah Islam di Spanyol menjadi pusat
peradaban dunia. Dengan kegemilangan tersebut menjadikan bangsa Eropa yang
sebelum Islam datang disana mengalami kegelapan ilmu pengetahuan berubah menjadi
pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan. Transformasi keilmuan tersebut menjadikan
Universitas Cordova dalam mentrasnmisi ilmu pengetahuan ke berbagai penjuru Eropa.
Implikasinya ketika dunia Islam mengalami kemunduran, Eropa bangkit dari
keterbelakangannya. Kebangkitan itu bukan saja terlihat dalam bidang politik dengan
keberhasilan Eropa mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya,
tetapi terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan, dalam kemajuan
bidang teknologi itulah yang mendukung keberhasilan politiknya. Kemajuan-kemajuan
Eropa inilah tidak bisa dipisahkan dari pemerintahan Islam di Spanyol. Dari Islam
Spanyol di Eropa banyak yang menimba ilmu. Pada periode klasik, ketika Islam
4
Ibid., hlm 648.
5
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hlm. 124.

26
mencapai keemasannya, di Cordova Spanyol merupakan pusat peradaban Islam yang
sangat penting, menyaingi Baghdad di Timur yang menguasai Muslim di Asia6. Ketika
itu orang-orang Eropa Kristen banyak belajar di perguruan-perguruan tinggi Islam
disana. Islam menjadi “guru” bagi orang Eropa. Karena itu, kehadiran Islam di Spanyol
banyak menarik perhatian para sejarawan.7 Namun sangat disayangkan untuk abad
modern ini, peninggalan kejayaan Islam yang ada di tanah Andalusia hilang lenyap
seketika seperti lautan ombak yang menyapu seluruh daratan Spanyol.
1. Masuknya Islam ke Spanyol
Sebelum penaklukan Spanyol, Umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan
menjadikannya sebagai salah satu provinsi dari dinasti bani Umayah. Penguasaan
sepenuhnya atas Afrika Utara terjadi pada zaman khalifah Abdul Malik 685-705 M.
Penaklukan Afrika Utara dari pertama kali dikalahkan sampai menjadi salah satu
provinsi dari khalifah Umayah menghabiskan waktu 53 tahun, yaitu mulai tahun 30 H
(masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sofyan ) sampai tahun 83 H (masa Al-Walid).
Sebelum dikalahkan dan dikuasai oleh Islam, di kawasan ini terdapat kantong-kantong
yang menjadi basis kerajaan Romawi, yaitu kerajaan Gothic.8
Dalam proses penaklukan Spanyol, terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat
dikatakan berjasa dalam memimpin satuan-satuan disana. Mereka adalah Tharif bin
Malik, Thariq bin Ziyad, dan Musa bin Nusair. Tharif disebut sebagai perintis dan
penyelidik. Ia menyeberangi selat yang berada di antara Maroko dan benua Eropa
dengan satu pasukan perang. Sekitar 500 orang diantaranya adalah tentara berkuda, yang
menaiki empat buah kapal yang disediakan oleh Julian. Ia menang dan kembali ke Afrika
Utara membawa harta rampasan yang tidak sedikit. Di dorong oleh keberhasilan Tharif
bin Malik dan kemelut yang terjadi dalam tubuh kerajaan Visigoth yang berkuasa di
Spanyol pada saat itu, serta dorongan yang besar untuk memperoleh harta rampasan
perang, Musa bin Nusair pada 711 M mengirim pasukan ke Spanyol sebanyak 7000
pasukan di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad.9 Thariq bin Ziyad lebih banyak dikenal
sebagai penakluk Spanyol karena pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata.
Sebuah gunung tempat pertama kali Thariq dan pasukannya mendarat dikenal dengan
nama Gibraltar (Jabal Thariq). Dengan dikuasainya daerah ini, terbukalah pintu secara
luas untuk memasuki Spanyol. Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam di
Spanyol sekilas tampak begitu mudah. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor eksternal
maupun internal.

6
Hutton Webster, World History, (Chicago : D.C Haeth & Co Publisher, 1921), hlm. 187.
7
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2017), hlm. 87.
8
Sulasman, Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa : Dari Masa Klasik Hingga Masa Modern,
(Bandung : Pustaka Setia, 2013), hlm. 243.
9
Ibid., hlm. 244.

27
Faktor eksternal adalah kondisi yang terdapat di dalam negeri Spanyol. Pada
masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi
negeri ini berada dalam kondisi menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-
koyak dan terbagi-bagi dalam beberapa negara kecil. Bersamaan dengan itu, penguasa
Gothic bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu
aliran monofisit, apalagi terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi
merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa di Baptis menurut agama
Kristen. Mereka yang tidak bersedia disiksa (terjadi lagi pada saat reconquista) dan
dibunuh secara brutal.10 Rakyat dibagi-bagi kedalam sistem kelas, sehingga keadaannya
diliputi oleh kemiskinan, ketertindasan, dan ketiadaan persamaan hak. Dengan situasi
seperti ini, kaum tertindas menanti kedatangan juru pembebas. Mereka menemukan juru
pembebas dari Islam.11
Perpecahan politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. ketika Islam
masuk ke Spanyol, ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh. Padahal, sewaktu
Spanyol berada dibawah pemerintahan Romawi, berkat kesuburan tanahnya, pertanian
maju pesat. Demikian juga, pertambangan, industri, dan perdagangan karena didukung
oleh sarana transportasi yang baik. Akan tetapi, setelah Spanyol berada di bawah
kerajaan Gothic, perekonomian lumpuh dan kesejahteraan rakyat menurun. Sebab,
hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa digarap, beberapa pabrik ditutup, dan antara satu
daerah dengan daerah lain sulit dilalui akibat jalan-jalan tidak mendapat perawatan.12
Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan disebabkan oleh keadaan politik yang
kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa pemerintahan raja Roderick, Raja Gothic
terakhir yang dikalahkan Islam.
Awal kehancuran kerajaan Gothic ketika raja Roderick memindahkan Ibukota
negaranya dari Seville ke Toledo. Sementara itu, Witiza, yang saat itu menjadi penguasa
atas wilayah Toledo, diberhentikan. Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan
Achilla, kakak dan anak Witiza. Keduanya bangkit dan menghimpun kekuatan untuk
menjatuhkan Roderick. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum
muslim. Sementara itu, terjadi konflik antara raja Roderick dan ratu Julian, mantan
penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum Muslim di Afrika Utara
dan mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Spanyol. Julain bahkan memberikan
pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Thariq, dan Musa. Hal itu
menguntungkan tentara Islam lainnya adalah tentara Roderick atas para budak yang
tertindas dan tidak lagi mempunyai semangat perang. Selain itu, orang Yahudi yang

10
Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam, (Jakarta : Wijaya, 1983), hlm. 118
11
Mahmudunasir, Islam Its Concept and History, (New Delhi : Kitab Bravan, 1981), hlm. 214.
12
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid II, (Jakarta : Pustaka Al-Husna, 2000), hlm.
156.

28
selama ini tertekan, mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan
kaum muslim.13
Adapun yang dimaksud dengan faktor Internal adalah kondisi yang terdapat
dalam tubuh penguasa, tokoh pejuang, dan para prajurit Islam yang terlibat dalam
penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya. Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang
kuat, tentaranya kompak, bersatu, dan penuh percaya diri. Mereka pun cakap, berani, dan
tanah, dalam menghadapi setiap persoalan. Hal yang tidak kalah pentingnya ajaran Islam
yang ditunjukan oleh para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong-
menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum
muslim menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam disana.14
2. Perkembangan Islam di Spanyol
Dalam merekonstruksi sebuah peristiwa seorang sejarawan harus mampu
membuat penulisan sejarah yang bersifat kronologis atau tematis. Dengan dua karakter
tersebut akan mampu memudahkan dalam menjelaskan sebuah peristiwa dengan konsep
yang benar-benar ilmiah. Dalam penggambaran tulisan ini, penulis ingin membuat
kontruksi gambaran sejarah yang terus menerus bergerak tanpa henti itu dapat menjadi
dipahami (inteligible) dengan membaginya dalam unit-unit waktu, dalam sekat-sekat,
dalam babak-babak, dalam periode-periode. Dengan kata lain, penulis melakukan
klasifikasi atas waktu dengan pola periodesasi.15
Dengan demikian, istilah “pola dan karakteristik” periodesasi merupakan satu
kesatuan yang saling melengkapi untuk menjelaskan keberadaan (existence) sesuatu atau
suatu fenomena yang unik.16 Oleh karenanya dengan periodesasi akan memudahkan
dalam menjelaskan peradaban Islam di Spanyol mulai dari Sejak pertama kali
menginjakan kaki di tanah Spanyol hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir disana, Islam
memainkan peran yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah
abad. Sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam
periode, yaitu :

2.1. Periode Pertama (711-755 M)


Pada periode ini, Spanyol berada dibawah pemerintahan para wali yang diangkat
oleh khalifah Bani Umayah yang berpusat di Damaskus. Pada periode ini, stabilitas
politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna dan gangguan-gangguan masih
terjadi, baik dari dalam maupun dari luar. Gangguan dari dalam berupa perselisihan
diantara elit penguasa, terutama akibat perbedaan etnis dan golongan. Disamping itu,

13
Ibid., hlm. 158
14
Sulasman, Suparman, Loc. Cit. hlm. 247.
15
Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah : Historical Explanation, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2008),
hlm. 19.
16
Ajid Thohir, Sirah Nabawiyah : Nabi Muhammad SAW dalam kajian Ilmu Sosial-Humaniora,
(Bandung : Marja, 2014), hlm. 66.

29
terdapat perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dengan gubernur Afrika
Utara yang berpusat di Qairawan. Masing-masing mengaku bahwa mereka berhak
menguasai daerah Spanyol. Oleh karena itu, terjadi dua puluh kali pergantian wali
(gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang sangat singkat. Perbedaan pandangan
politik itulah yang menyebabkan sering terjadinya perang saudara. Hal ini berhubungan
dengan perbedaan etnis, terutama antara Berber asal Afrika Utara dengan Arab. Di dalam
etnis Arab pun terdapat dua golongan yang terus menerus bersaing, yaitu suku Qaisy
(Arab Utara) dan Arab Yamani (Arab Selatan). Perbedaan etnis ini sering menimbulkan
konflik politik, terutama ketika tidak ada figur yang tangguh. Itulah sebabnya, di Spanyol
pada saat itu, tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan kekuasaannya dalam
jangka waktu yang lama.17 Periode ini berakhir dengan datangnya Abdurahman Al-
Dakhil ke Spanyol pada 755 M.
2.2. Periode kedua (755-912 M)
Pada periode ini, Spanyol berada dibawah pemerintahan seorang yang bergelar
amir (panglima atau gubernur), tetapi tidak tunduk pada pusat pemerintahan Islam, yang
ketika itu dipegang oleh khalifah Abasiyah di Baghdad. Amir pertama adalah
Abdurahman I yang memasuki Spanyol tahun 755 M dan diberi gelar Al-Dakhil (yang
masuk ke Spanyol). Penguasa-penguasa Spanyol pada periode ini adalah Abdurahman
Al-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abdurahman Al-Ausath, Muhammad bin Abdurahman,
Munzir Ibn Muhammad, dan Abdullah bin Muhammad.
Pada periode ini, umat Islam Spanyol memperoleh kemajuan, baik di bidang politik
maupun peradaban. Abdurahman Al-Dakhil mendirikan masjid Cordova dan sekola-
sekolah di kota besar Spanyol. Hisyam dikenal sebagai pembaharu dalam bidang
kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Adapun
Abdurahman Al-Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu. Pemikiran filsafat
juga mulai pada periode ini, terutama pada zaman Abdurahman Al-Ausath.
Sekalipun demikian, berbagai ancaman dan kerusuhan terjadi. Pada pertengahan
abad ke-9, stabilitas negara terganggu dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang
mencari kesyahidan (Martyrdom). Gangguan politik yang paling serius pada periode ini
datang dari umat Islam. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M membentuk
negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Disamping itu, sejumlah orang yang
tidak puas membangkitkan revolusi. Salah satunya adalah pemberontakan yang dipimpin
oleh Hafsyun dan anaknya yang berpusat di pegunungan dekat Malaga. Sementara itu,
perselisihan antara orang-orang Berber dengan orang-orang Arab masih sering terjadi.18
2.3. Periode Ketiga (912-1013 M)

17
David Wessenstein, Politics and Society in Islamic Spain : 1002-1086, (New Jersey : Princeton
University Press, 1985), hlm. 15-16.
18
Sulasman, Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa : Dari Masa Klasik Hingga Masa Modern,
(Bandung : Pustaka Setia, 2013), hlm. 249.

30
Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar
“An-Nasir” sampai munculnya “raja-raja kelompok” yang dikenal dengan sebutan Muluk
Al-Thawaif. Pada periode ini, Spanyol diperintah oleh penguasa dengan gelar khalifah.
Penggunaan khalifah ini bermula dari berita yang sampai kepada Abdurrahman III,
bahwa Muktadir, khalifah Bani Abbasiyahdi Baghdad meninggal dunia karena dibunuh
oleh pengawalnya. Menurut penilaiannya, keadaan ini menunjukan bahwa suasana
pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini
merupakan saat yang tepat untuk memakai gelar khalifah yang telah hilang dari
kekuasaan Bani Umayah selama 150 tahun lebih. Karena itulah, gelar ini dipakai mulai
929 M. Khalifah-khalifah besar yang memerintah pada periode ini ada tiga orang, yaitu
Abdurrahman III (912-961 M), Hakam II (961-976 M), dan Hisyam II (976-1009 M).
Pada periode ini, umat Islam Spanyol mengalami puncak kemajuan dan kejayaan
yang menyaingi kejayaan daulah Abbasiyah di Baghdad. Abdurrahman III (Al-Nashir)
mendirikan universitas Cordova. Ia mendahului Al-Azhar Kairo dan Nizhamiyah di
Baghdad, juga menarik minat para Kristen dan Muslim, baik di Spanyol maupun
wilayah-wilayah lain di Eropa, Afrika, dan Asia.
Akhirnya, pada tahun 1013 M, dewan Menteri yang memerintah Cordova
menghapuskan jabatan Khalifah. Ketika itu, Spanyol terpecah dalam banyak negara kecil
yang berpusat di kota-kota tertentu.19
2.4. Periode Keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negara kecil di
bawah pemerintahan raja-raja golongan atau Muluk Al-Thawaif (Spanyol : Reyes De
Taifes, Raja-raja kelompok). Satu persatu negara-negara itu menyerah pada kekuasaan
Kristen yang tengah bangkit di Utara Spanyol.20 Pada periode ini, umat Islam memasuki
masa pertikaian intern. Ironisnya, jika terjadi perang saudara, pihak-pihak yang bertikai
itu meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang
menimpa keadaan politik umat Islam, untuk pertama kalinya orang-orang Kristen pada
periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan. Meskipun keadaan politik tidak
stabil, kehidupan intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong
para sarjana dan sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana
lain.
2.5. Periode Kelima (1086-1248 M)
Pada periode ini, disintegrasi negara-negara Muslim Spanyol pada abad ke-11
mengantarkan pada pesatnya ekspansi sejumlah kerajaan Kristen. Dengan semangat
untuk mempersatukan kerajaan Castille, Leon, dan Galicia, pada tahun 1085 Alfonso VI
menaklukan Toledo. Hal ini merupakan awal dari pecahnya peperangan antara pihak

19
Ibid., hlm. 249-250.
20
Philips K Hitti, (Penj) Cecep Lukman Yasin, Dedi Slamet Riyadi, History Of The Arabs (Jakarta : PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2013), hlm. 683.

31
Muslim dan Kristen, lantaran sebuah pusat peradaban Muslim yang brilian jatuh ke
tangan umat Kristen. Kaum migran Kristen membanjiri Toledo, tetapi warga muslim dan
Mozarab tetap bertahan tinggal disana. Dalam waktu yang berurutan kerajaan Aragon
merebut Huesca pada 1096 M, Saragosa pada 1118 M, Tortossa pada 1148, dan Lerida
pada 1149 M. Pada paruh abad kedua belas gerakan Reconquista telah melembaga.
Pada tahun 1086 sebuah kesatuan pasukan Maroko menyeberang ke wilayah
Spanyol dan mengalahkan Alfonso VI, dan dari tahun 1090 sampai 1145 pasukan Afrika
Utara tersebut berhasil menundukan kota-kota Muslim Spanyol dan menguasai Spanyol
sebagai provinsi dari Marakesh. Meskipu demikian pemerintahan dinasti Murabitun
menimbulkan berkembangnya permusuhan warga lokal. Sehingga menyebabkan Dinasti
Murabitun menjadi terpecah-pecah dibawah sejumlah tekanan akibat dari perlawanan
lokal dan dinasti Murabitun digantikan dengan dinasti Muwahidun yang mampu merebut
Seville dan Cordova pada tahun 1149 M, dan seluruh wilayah Muslim Spanyol lainnya
pada tahun 1172 M.
Akan tetapi pada 1212 dinasti Muwahidun dikalahkan pada tahun 1212 M oleh
pasukan gabungan Leon, Castille, Navare, Aragon dalam perang Las Navas de Tolosa.
Penggabungan kekuatan Castille dan Leon pada tahun 1230 M membuka jalan bagi
penaklukan Cordova pada tahun 1236 M dan kota Seville pada tahun 1248 dan Murcia
pada tahun 1243. Pada pertengahan abad ke-13 hanya Granada yang tetap bertahan
dalam kekuasaan Muslim. Kota Granada ini terlindungi lantaran warganya yang
berjumlah besar, wilayah yang berbukit, dan lantaran unsur ekonomi produktif yang
menyokong pajak yang besar kepada Sultan Castille. Sebagaimana Aragon yang
mengalihkan interesnya ke wilayah laut Tengah, Castille juga terlibat dalam perang sipil,
sehingga kekuatan mereka tidak lagi tangguh. Para penguasa Kristen tidak lagi
memprioritaskan penaklukan Granada hingga terjadi penyatuan Castille dan Aragon di
bawah pernikahan dua raja mereka Ferdinand dan Isabella yang membuka jalan bagi
penaklukan terakhir pendudukan Muslim di Spanyol tahun 1492 M.21
2.6. Bagian Keenam (1248-1492 M)
Pada Periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah Granada, dibawah dinasti Bani
Ahmar (1232-1492 M). Sekalipun demikian, pada tahun 1276 M pihak Kristen
menyerang sejumlah perkampungan Muslim di Valencia dan beberapa kota lainnya.
Pada tahun 1311 M, raja James II melarang pengumandangan panggilan shalat (azzan)
meskipun pada tahun 1357 M pengumandangan adzan dengan suara yang tidak keras
dibolehkan yang disertai sejumlah pembayaran tertentu.
Pada akhir abad ke-14 pihak Kristen sangat antusias terhadap upaya
pengkristenan pemeluk Yahudi dan Muslim dan upaya terhadap penyeragaman agama di
Spanyol. Pada 1391 umat Yahudi dipaksa menerima Baptisme. Pada 1478 program
21
Ira M. Lapidus, (Penj) Gufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Umat Islam bagian kesatu dan kedua,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 591.

32
pemaksaan agama tersebut diresmikan dan memerintahkan agar pemeluk Yahudi
mengambil Baptisme atau pengusiran. Pada tahun 1492 nyaris seluruh warga Yahudi
diusir dari Spanyol menuju negeri Eropa lainnya dan kembali ke negeri Imperium
Utsmani.
Penaklukan Pihak Kristen terhadap Granada pada 1492 M menandai awal
berakhirnya sejarah warga Muslim di Spanyol. Meskipun terdapat perjanjian yang
menjamin kebebasan keberagaman muslim dan harta kekayaan mereka, tetapi pada
kenyataannya hak-hak tersebut tidak diperdulikan. Pada tahun 1501 M perundangan
Spanyol memaksa pihak Muslim mengambil satu pilihan antara berpindah agama atau
dikeluarkan dari Spanyol. Pada tahun 1556 M pakaian Arab dan Muslim dilarang beredar
di Granada, dan pada 1566 Philip II mengeluarkan keputusan bahwasanya bahasa Arab
tidak boleh lagi dipergunakan. Akhirnya pada tahun 1609 M Philip III mengusir umat
Muslim dari Spanyol. Pada tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di
darah ini. Mereka mengungsi ke Afrika Utara dimana warga Andalusia ini sekali lagi
berperan dalam pengembangan sebuah peradaban.22
C. PENUTUP
Apa yang telah dikemukakan diatas mengenai peradaban Islam di Spanyol yang
telah mengubah wajah Eropa yang awalnya sebelum Islam datang ke Eropa (Spanyol)
mengalami masa-masa masa-masa zaman kegelapan, berubah menjadi salah satu pusat
khazanah intelektual yang paling maju pada zamannya yang pada masanya hanya bisa
ditandingi oleh dinasti Abbasiyah di Baghdad.
Kemajuan peradaban Islam di Spanyol tidak terlepas dari berdirinya salah satu
dinasti yang sangat berpengaruh di Spanyol yaitu dinasti Umayyah II. Dimana Islam
mengalami perkembangan yang pesat diawali dengan berdirinya Amir (gubernur)
sebelum pada Abdurrahman III (912-961 M) memproklamirkan khalifah sebagai
penguasa tertinggi pada masanya. Namun sangat disayangkan sepeninggal Abdurrahman
III yang bergelar (Al-Nashir) para penggantinya tidak mampu mempertahankan
kemajuan yang sudah diraih oleh sebelumnya.
Oleh karenanya dalam tulisan Badri Yatim dijelaskan bahwa periodesasi Islam di
Spanyol menjadi enam priode untuk menggambarkan perkembangan awal mula Islam
masuk ke Spanyol hingga umat Islam menderita dan diusir dari tanah Spanyol untuk
selama-lamanya. Implikasinya adalah semua bekas kejayaan Islam yang sangat luar biasa
dan termahsur pada zamannya kini tak tersisa dan tidak meninggalkan bekas atau jejak
apapun untuk generasi yang sesudahnya. Semoga dengan romantisme Islam di tanah
Andalusia Spanyol kita sebagai umat Islam harus mengambil Ibrah bahwa kita umat
Islam tidak boleh bertikai sesama umat Islam sendiri, menjaga persatuan Umat, dan

22
Ibid., hlm. 598-599.

33
menjaga warisan-warisan peradaban masa lalu agar peristiwa buruk masa lalu tidak
terulang untuk generasi yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Arnold, Thomas W. 1983. Sejarah Dakwah Islam. Jakarta : Wijaya.
Hitti, Philip K. (Penj) Lukman Yasin, Cecep. Slamet Riyadi, Dedi.2013. History Of The
Arabs. Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta.
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah : Historical Explanation. Yogyakarta : Tiara
Wacana.
Lapidus, Ira M. (Penj) Mas’adi, Gufron A. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam bagian
kesatu dan kedua. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Mahmudunasir. 1981. Islam Its Concept and History. New Delhi : Kitab Bravan.
Subarman, Munir. 2013. Peradaban Islam di Spanyol dan Pengaruhnya terhadap
kemajuan Eropa, (Cirebon : Jurnal Tamadun IAIN Syekh Nurjati).
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat : Kajian Sejarah Perkembangan
Perkembangan Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan. Jakarta : Gramedia.
Sulasman, Suparman. 2013. Sejarah Islam di Asia dan Eropa : Dari Masa Klasik
Hingga Masa Modern. Bandung : Pustaka Setia.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung : Pustaka Setia.
Syalabi, Ahmad. 2000. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid II. Jakarta : Pustaka Al-
Husna.
Thohir, Ajid. 2014. Sirah Nabawiyah : Nabi Muhammad SAW dalam kajian Ilmu Sosial-
Humaniora. Bandung : Marja.
Webster, Hutton. 1921. World History. Chicago : D.C Haeth & Co Publisher.

Wessenstein, David. 1985. Politics and Society in Islamic Spain : 1002-1086. New
Jersey : Princeton University Press.
Yatim, Badri. 2017. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Rajawali Pers.

34
ADOPSI TRADISI ROMAWI DALAM TATANAN UMAYYAH

Cecep Somantri

Abstrak
Percampuran budaya atau yang sering disebut dengan multikultural dewasa ini
menjadi isu dan bahan kajian yang menarik untuk pengetahuan tentang
pluralisme dalam berbagai tatanan sosial, termasuk kaitannya dengan
kehidupan umat Islam. Paper ini mengkaji hubungan Islam dengan Kerajaan
Romawi dan Persia yang diadopsi pada masa Bani Umayyah, didasarkan pada
alasan bahwa Islam sebagai sistem doktrin yang berasal dari wahyu Tuhan
selalu tumbuh dan berkembang sesuai konteks sosial-budaya pemeluknya,
sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah periode klasik. Karena itu masalah
utama kajian ini, bagaimanakah adopsi budaya Romawi pada masa Dinasti
Umayyah. Adapun penelitiannya dikembangkan dengan metode historis dan
pendekatan sosial-budaya berdasarkan literatur berbagai buku-buku yang
berhubungan dengan kajian tersebut. Berdasarkan kajian ini ditemukan corak
multikulturalisme sebagai berikut: Pertama, komunitas muslim pada periode
Nabi dan Khulafa al-Rasyidin berbasis kebudayaan Arab, dan Islam tumbuh
dengan pola pengembangan ajarannya yang akomodatif terhadap bentuk-bentuk
budaya yang berakar pada tradisi al’ashabiyyah al-qabaliyyah. Kedua, corak
komunitas muslim yang berkembang dalam politik arabisme, sebagaimanaa
pada masa Daulah Umayyah, justru mendorong pertumbuhan akulturasi muslim-
arab terhadap komunitas-komuntias muslim non-Arab akibat perluasan wilayah
Islam pada masa ini.

Kata Kunci: Islam, Multikulturalisme, Budaya, Romawi, Daulah Umayyah.

A. Pendahuluan.
Islam sebagai sebuah agama tidak hanya sekadar bicara tata ritual ibadah bagi
seseorang atau kelompok (jamaah) pengikutnya, tapi lebih dari itu, ia merupakan sebuah
Supersystem yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia; dari aspek ibadah,
sosial, politik, ekonomi, hukum, sampai ke berbagai aspek kebudayaan lainnya.1
Di tengah krisis berbagai ideologi bangsa di wilayah Asia Barat dan Timur Tengah,
khususnya pada abad ke-6 Masehi, Islam diturunkan untuk memberikan solusi
pemecahan. Dalam konteks ini. Henri Treece yang dikutip Thomas W. Lippman, 2
mengatakan:
The Mediterranean world had know 3.000 years of spiritual confusion; a multitude of
gods, god-pharaohs, god emperors, goddeses made flesh, friests who were God’s
mouthpiece, kings anointed by God and emperors who interpreted Holy writ to suit

1
Ajid Thohir, 2014. Sirah Nabawiyah (Nabi Muhammad Saw dalam Kajian Sosial-Humaniora).
Bandung: Penerbit Marja. Hal. 87
2
Lihat Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1992;
xiiv

35
their secular end. There had been blood sacrifice, incomprehensible taboo and
ritual, the chanting and dancing of temple servants, the dark pronouncement of
oracles. Now for the first time in history God had made Himself clear through the
mouth of plain-speaking fellow, demanding no temples, no altars, no rich vessels and
vestment, no blood…
(Dunia Laut Tengah selama 3.000 tahun mengalami kekacauan spiritual; banyak
tuhan, fir’aun-tuhan, maharaja-tuhan, tuhan-perempuan yang menjadi daging,
pendeta-pendeta yang menjadi juru-bicara Tuhan, raja-raja yang diberkati Tuhan, dan
kaisar-kaisar yang menafsirkan kitab suci untuk disesuaikan dengan tujuan-tujuan
duniawi mereka. Ada pengorbanan darah, tabu, dan ritual yang tidak dimengerti,
nyanyian dan tarian para pelayan kuil, dan pembacaan gelap mantra-mantra.
Sekarang, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Tuhan membuat Diri-Nya jelas
melalui lisan sesame manusia yang berbicara terang, yang tidak menuntut adanya
kuil, tidak altar, tidak bejana dan pakaian-ritual-yang mewah).
Karena sifat dasarnya yang anti-mitologi dan sakramen itu, Islam merupakan agama
yang bersifat langsung dan lurus, wajar, alami, sederhana, dan lengkap sehingga mudah
dipahami oleh para pemeluknya.3
Ketika pertama kali Rasulullah Saw membangun masyarakat Arab, problem sentral
Arab yang beliau hadapi adalah persoalan theologi yang mendominasi kerangka piker
jahiliyah serta bagaimana menciptakan penertiban dan harmoni masyarakat yang terluka
oleh konflik nilai mereka sendiri, terutama akibat ketimpangan ekonomi dalam skala
yang cukup luas.
Dimulai dari Makkah sejak 610 M, namun tidak berhasil, akhirnya sejak tahun 622
M beliau berhijrah ke Madinah. Di sini, beliau menciptakan strategi lain dengan
membangun sebuah bentuk komunitas baru yang disebut ummah, sebuah sistem
persaudaraan yang mengintegrasikan individu-individu, kota, bahkan berbagai kelompok
etnik menjadi sebuah komunitas yang lebih besar.
Hal demikian karena puncak loyalitas keagamaan dalam Islam mencakup seluruh
bentuk loyalitas lainnya, di mana sebuah hukum baru yang bersifat umum serta otoritas
politik dapat dibangun untuk mengatur segala urusan populasi sebagai sebuah keutuhan.
Al-ummah al-wahidah dalam konteks yang sebenarnya telah direalisasikan dalam arti
yang sesungguhnya, di mana ia mampu mengakomodasi sebuah heterogenitas.4
Periode klasik dalam sejarah Islam bisa dikatakan sebagai periode pertumbuhan
untuk sistem komunitas muslim. Konsepsi komunitas di sini adalah sama maksudnya
dengan “ummat”, yakni pemeluk agama Islam dalam tatanan sosial dengan segala
pranata dan struktur yang tumbuh di dalamnya menunjukkan identitas atas kesamaan

3
Ajid Thohir, 2014. Sirah Nabawiyah (Nabi Muhammad Saw dalam Kajian Sosial-Humaniora).
Bandung: Penerbit Marja. Hal. 87
4
Ibid. Ajid Thohir, 2014. Hal. 88

36
kepercayaan, pandangan, dan perilaku masyarakat berdasarkan sistem ajaran Islam.
Karena itu komunitas muslim mempunyai pemahaman, kepentingan, dan tujuan-tujuan
politik yang dilakukan bersama, yakni oleh umat Islam dalam wilayah dan zaman
tertentu.1 Komunitas muslim pada masa Nabi Muhammad saw. sendiri mulai terbentuk
dari kelompok kecil para penganut Islam pertama yang datang dari keluarga Nabi dan
sejumlah anggota masyarakat dari berbagai latar etnis (qabilah) pada masyarakat Arab di
Mekkah. Selama pembinaan Islam di sana sekitar 13 tahun, komunitas muslim sudah
menunjukkan keragaman kultur, sehingga ajaran Islam pun telah mulai akulturatif
dengan budaya masyarakat pemeluknya itu. Pada gilirannya dakwah Nabi di Madinah
yang berlangsung sekitar 10 tahun, sistem komunitas muslim semakin terbentuk dalam
keragaman kultur yang mulai meluas, sehingga pengembangan ajaran Islam semakin
beriringan dengan tatanan komunitas yang mengakomodasi sejumlah kelompok, etnis,
dan agama yang berbeda-beda.
Begitu selanjutnya pertumbuhan komunitas muslim pasca Nabi Muhammad saw.
yang kemudian disebut sebagai periode Khulafa al-Rasyidin, selain dilatarbelakangi
perubahan sistem sosial-politik pada masanya juga perkembangan komunitas muslim
meluas dalam wilayah-wilayah etnis di jazirah Arab dan sekitarnya. Upaya Empat
Khalifah pada periode ini menunjukkan perbedaan orientasi pengembangan Islam
maupun kehidupan umatnya berhadapan dengan situasi masyarakat serta kebudayaan
yang kompleks. Kemudian perkembangan umat Islam pada masa Daulah Umayyah di
Damaskus (661-750) dan Daulah Umayyah di Andalusia (750-1031), kompleksitas
masyarakat muslim kian meluas baik yang terjadi dalam pertumbuhan komunitas
aliran- aliran keagamaan maupun komunitas muslim dalam wilayah-wilayah
kebudayaan etnis yang beragam.
Kekhalifahan Umayyah di Damaskus memang mengembangkan politik arabisme,
namun formalitas politik kebudayaan itu tidaklah serta merta menjadikan komunitas
yang berbasis monokultur, melainkan kebudayaan Arab-muslim yang bebasis
kebudyaaan etnis lokal, sehingga komunitas muslim berkembang dalam fenomena
kebudayaannya yang bercorak multikultur pada lingkup hegemoni politik Arab.
Dominasi politik Arab bagi pengembangan kebudayaan Islam itu sendiri pada masa ini
mengalami keterbatasan, terutama pada segi interaksi Arab-muslim dengan
kebudayaan masyarakat luar Arab, sehingga kecenderungan multikulturalisme masih
bersifat endogen. Pada masa ini pertumbuhan multikulturalisme muncul di dalam
komunitas muslim sendiri, baik terjadi atas keragaman aliran-aliran agama maupun
terjadi dalam keragaman basis etnisitas Arab.
Pada masanya kebudayaan Islam bergumul dalam hubungan-hubungan antara
kebudayaan Arab dengan kebudayaan Persia, Romawi, dan India. Universalitas
kabudayaan Islam didorong oleh keinginan para khalifah untuk memperkenalkan
kebudayaan luar Arab ke dalam komunitas-komunitas muslim melalui penterjemahan

37
dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berasal dari peradaban- peradaban besar
itu. Kecenderungan multikulturalisme juga bertolak dari keterbukaan para khalifah
untuk menerima pengaruh kebudayaan luar Arab, disamping itu keterlibatan
masyarakat luar Arab sendiri bagi proses pembentukan serta pengembangan
kebudayaan Islam.
Studi ini berdasarkan perspektif sejarah, yaitu penelusuri segala permasalahan serta
penjabaran faktanya atas peristiwa-peristiwa masa lampau, yakni pada Sejarah Islam
klasik. Namun penelusuran masalah sejarah ini lebih ditekankan pada fenomena sosial
budaya, sehingga dalam pengkajiannya dipergunakan perspektif sosiologi dan
kebudayaan. Berdasarkan pendekatan sosial-humaniora di sini penulis mencoba
menjelaskan sejumlah produk budaya pada masa Dinasti Umayyah yang banyak
diadopsi dari Romawi, baik itu berupa arsitektur maupun produk hukum, politik dan
yang lainnya. Pertama, dalam dimensi sejarah dan perubahan, yakni upaya untuk
memperhatikan pembentukan masyarakat Islam dan perubahannya sepanjang periode
awal Islam. Kedua, dengan dimensi analitis dan komparatif dalam memahami
timbulnya keragaman budaya pada masa Dinasti Umayyah.5
B. Multikulturalisme pada masa Awal Islam
Terdapat berbagai pandangan ahli yang menggambarkan kondisi keyakinan yang
dianut penduduk Arab pada masa sebelum kedatangan Islam. Seperti yang dikutip oleh
Abdul Aziz, apapun pendapat para ahli, pada masa menjelang kedatangan Islam (masa
jahiliyah), bahwa orang Arab digambarkan menganut beraneka agama dan kepercayaan.
Di antara mereka ada yang mengimani Allah dan ke-Esa-an-Nya. Ada pula yang
beriman kepada Allah sekaligus menyembah berhala dengan keyakinan bahwa berhala-
berhala itu mendekatkan mereka kepada Allah. Tetapi ada juga yang semata-mata
menyembah berhala dan menganggapnya sebagai pemberi manfaat serta rejeki dalam
kehidupan. Di antara mereka ada yang memeluk agama Yahudi, Nasrani dan Majusi.
Sebagian mereka tidak menentukan sikap, dan karena itu tidak mengimani apapun.
Sebagian lagi meyakini hukum Tuhan hanya berlaku dalam kehidupan dunia dan
tidak ada kehidupan setelah mati. Sementara itu sebagian mereka juga beriman kepada
roh- roh dan menyembah benda langit.6
Masyarakat Arab pra Islam dikenal dengan kehidupan sosialnya dalama sistem
qabilah. Ciri masyarakat kekabilahan tersebut, terutama dapat ditemukan pada
masyarakat Arab di Mekah dan Madinah, dua kota yang memiliki kaitan historis sangat
kuat dengan kelahiran Islam. Meskipun pada perkembangannya terjadi perubahan
struktur sosial secara perlahan yang diakibatkan pengaruh faktor internal maupun

5
Lapidus, Ira M.. Sejarah Sosial Ummat Islam, 2 jilid, Terj. Ghufron A. Mas’udi. (Jakarta: Rajawali
Pers, 2000), hlm. xi-xii.
6
Abdul, Aziz, Chiefdom Madinah Salah Paham Negara Islam, (Jakarta: Pustaka Alvabeta, 2011),
hlm. 165

38
eksternal, hal mana qabilah tetap merupakan unit politik utama di kedua kota itu.
Hingga menjelang kedatangan Islam, tidak ditemukan kesatuan unit politik atau
kelompok sosial antar qabilah yang bersifat terpusat di tingkat kota, baik di Mekkah
maupun Madinah. Melalui qabilah itu, Nabi Muhammad juga memanfaatkannya
sebagai sarana dakwah. Penyebaran ajaran Islam yang awalnya sembunyi-sembunyi
dilakukan kepada keluarga dan kerabat terdekat. Nabi Muhammad saw. adalah anggota
Bani Hasyim, suatu qabilah yang kurang berkuasa dalam Suku Quraisy, yang
memegang jabatan siqayah. Muhammad lahir dari keluarga terhormat yang relatif
miskin. Ayahnya bernama Abdullah anak Abdul Muthalib, seorang kepala suku
Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya adalah Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah.
Tahun kelahiran Muhammad dikenal dengan nama tahun Gajah (570 M).
Dakwah Nabi Muhammad saw. pada awal kerasulannya memperoleh sambutan luas
dari masyarakat lapisan bawah, terutama para budak. Hal ini mudah dipahami
mengingat kondisi sosial mereka memamg sangat membutuhkan pembebasan.
Sebaliknya, sambutan dari masyarakat lapisan atas sangat sedikit, khususnya hanya
datang dari istri Nabi, keluarga dan kerabat dekat saja. Tatkala Nabi Muhammad saw.
berdakwah secara terbuka, yakni tiga tahun setelah kerasulannya, tidak banyak pemuka
Quraisy yang bersedia menyambutnya. Bahkan, pemimpin Quraisy mulai berusaha
menghalangi dakwah Rasulullah. Semakin bertambahnya jumlah pengikut Nabi
semakin keras tantangan dilancarkan kaum Quraisy.
Kekejaman yang dilakukan oleh penduduk Mekah terhadap komunitas muslim pada
saat itu, mendorong Nabi Muhammad saw. untuk mengungsikan sahabat- sahabatnya
ke luar Mekah. Permusuhan yang kian hebat antar qabilah menyebabkan kaum
muslimin meninggalkan Mekah demi menyelamatkan diri. Bagi mereka yang tidak
mempunyai qabilah pelindung, seperti para budak, mereka berhijrah ke tempat lain
adalah jalan terbaik. Sejarah mencatat sebagian besar muslimin yang hijrah pertama
kali ke Habsyi (Ethiopia) terdiri dari warga Mekah kelas bawah. Tetapi, hijrah yang
fenomenal ke Yatsrib sekitar tahun 622 M. bukan hanya memberikan tempat aman bagi
muslimin Mekah, tetapi juga menyatukan kekuatan elemen Quraisy dengan kekuatan
elemen Arab terkemuka di kota itu yang selalu terlibat permusuhan, yaitu al-Aus dan
al- Khazraj.5
Selain sebagai kota suci yang ditunjuk Allah SWT, keistimewaan Madinah bukan
terjadi begitu saja, akan tetapi melalui proses transformasi sosial yang tidak sederhana.
Setelah mengganti nama Yastrib dengan Madinah, Nabi kemudian melakukan
pemetaan dan sensus penduduk. Barangkali ini merupakan sensus penduduk pertama di
dunia. Dalam sensus tersebut ditemukan kenyataan bahwa Madinah adalah sebuah kota
yang multikultural. Heterogenitas masyarakat kota Madinah dapat dilihat dari hasil
cacah penduduk yang dilakukan atas perintah Nabi, yaitu dari 10.000 jiwa penduduk
Madinah kala itu kaum muslim adalah minoritas yakni 1500 orang (15%). Mayoritas

39
adalah orang musyrik Arab 4.500 orang (45%) dan orang Yahudi 4.000 orang (40%).7
Tingkat heterogenitas ini lebih tinggi lagi manakala dipaparkan bahwa masing-
masing kelompok Muslim, Musyrik Arab, dan Yahudi itu di dalamnya terdiri dari
berbagai qabilah atau sub-kelompok. Kaum muslim sendiri terdiri dari dua kelompok
besar Muhajirin (migran) dan Anshor (non-migran), yang masing-masing terdiri dari
berbagai qabilah yang punya tradisi bermusuhan karena kuatnya akar sukuisme dalam
masyarakat Arab. Meski begitu, uniknya kehidupan di Madinah dapat berlangsung
dengan damai. Tidak mengherankan jika Madinah telah menjadi kota yang maju pada
masa itu.
Nabi Muhammad saw. adalah tokoh yang patut dijadikan teladan dalam hal
membumikan multikulturalisme. Ketika Nabi saw. hijrah ke Madinah, beliau mulai
memimpin berbagai komunitas yang berbeda latar belakang agama, suku, politik yang
disatukan dalam satu bingkai kepemimpinan agama sebagai payung hukum utama di
atas tata sosial berdasarkan qabilah tertentu. Muhammad saw. adalah orang yang
berhasil menjadi pemimpin seluruh komponen masyarakat. Di Madinah, berbagai
budaya, agama dan aliran politik bisa disatukan sehingga kehidupan Madinah pada
waktu itu dapat berlangsung damai. Muhammad saw. memimpin komunitas besar
Yahudi yang banyak menguasai aspek ekonomi, politik dan kultur Madinah.
Nabi Muhammad saw. mampu menciptakan kedamaian di kalangan masyarakat
multikultural dikarenakan beliau berhasil meletakkan dasar hubungan persahabatan
yang baik dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Agar stabilitas
masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan
mereka. Ikatan perjanjian itu dituangkan dalam sebuah piagam yang menjamin
kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas. Setiap golongan
masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan
agama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan
keamanan negeri dari serangan luar. Dalam perjanjian itu jelas disebutkan bahwa Nabi
Muhammad menjadi kepala pemerintahan karena sejauh menyangkut peraturan dan tata
tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada beliau. Dalam bidang sosial, beliau juga
meletakkan dasar persamaan antar sesame.8
Dengan menempatkan semua manusia pada derajat yang sama, Islam hendak
memberikan ruang dan kesempatan yang sama pada semua manusia. Semua manusia
berhak eksis dengan keragaman budaya, adat, dan keyakinan masing-masing. Nuansa
demokratis dalam berkehidupan, berbangsa, dan bernegara menjadi ajaran yang sangat
inheren dengan Islam. Nabi Muhammad saw. bersama para sahabatnya telah

7
Sami bin Abdullah, al-Maghluts. Al-Ayhlas At-Taikhi li Sirah ar-Rasul, Atlas Perjalanan Hidup Nabi
Muhamamd. (Jakarta: Al-Mahira, 2008), hlm. 95.
8
Badri Yatim. Sejarah peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997),
hlm. 26.

40
membangun Negara Madinah yang demokratis. Dalam pasal-pasal Piagam Madinah,
misalnya, ditemukan spirit-spirit demokrasi yang mengental.
Refleksi multikultural yang terkandung dalam Piagam Madinah mengalami gejolak
yang beragam. Kejelasan akan hak dan kewajiban muslim dan non-muslim mulai
diporsikan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya dalam dakwah Islam. Pada
masa peperangan, tujuan dari gerakan milisi bukan hanya memerangi kaum Quraisy
Mekah yang menentang Islam, namun juga sebagai bentuk perluasan kekuasan Islam
baik secara geografis maupun perluasan area dakwah. Maka dari itu, bukan hanya
penduduk Mekah, namun semua kabilah Arab (non-muslim) terlibat permusuhan
dengan Madinah baik langsung ataupun karena terikat dalam perjanjian.
C. Multikulturalisme pada masa Dinasti Umayyah
Sebagai dinasti pertama dalam Islam, Daulah Umayyah memiliki peran yang sangat
penting dalam menentukan fondasi-fondasi kekuasaan Islam, khususnya dalam konteks
pembangunan kebudayaan Islam. Telah umum diketahui bahwa Daulah Umayyah,
khususnya yang berpusat di Damaskus terkenal dengan kebijakan Arabisasi. Namun,
sebagaimana dijelaskan Gerald Hawting, arus “Arabisasi” tidak lebih dari sekedar
konstruksi dan ekspansi kebudayaan yang ditandai dengan penggunaan bahasa Arab di
seluruh wilayah kekuasaan Islam Daulah Umayyah saat itu. Meskipun seringkali
diasosiasikan dengan arus Islamisasi, tetapi Arabisasi, lanjut Hawting, berbeda dengan
Islamisasi. Perbedaan ini ditunjukan oleh fakta bahwa beberapa komunitas, seperti
golongan Yahudi dan Kristen tetap menjadi bagian penting dari kota Damaskus sejak
dikuasai Daulah Umayyah. Baik golongan Yahudi maupun Kristen tetap
mempertahankan tradisi keagamaan mereka meskipun mereka telah meninggalkan
bahasa sehari-hari yang mereka gunakan sebelum kedatangan Islam, dan menggantinya
dengan bahasa Arab.9
Meskipun terkenal dengan kebijakan politik Arabisasi, heterogenitas sosial dan
kultural telah terwujud di bawah kekuasaan Daulah Umayyah. Muslim-Arab mulai
melakukan kontak budaya dengan berbagai peradaban dunia yang lebih tua, misalnya
Persia dan Mesir, bahkan Eropa di semenanjung Iberia. Kondisi ini mendorong adanya
saling-pinjam dan saling pengaruh-mempengaruhi antar entitas budaya. Proses
akulturasi tentu tidak terlepas dari peran para khalifah Daulah Umayyah yang juga
mendorong terjadinya akulturasi budaya tersebut. Aspek-aspek budaya yang paling
menonjol dalam merepresentasikan bentuk-bentuk kreatif sebagai hasil dari silang-
budaya di antaranya dalam aspek ilmu pengetahuan dan seni bangunan-arsitektural.
Fakta multikulturalisme pada masa ini juga dapat dilihat dari struktur sosial.
Masyarakat di Damaskus terdiri dari empat komponen utama, yaitu bangsa Muslim-

9
Hawting, G. R.. The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661-750. (Suthern Illinois:
Southern Illinois University Press 1987), hlm.8.

41
Arab, bangsa-bangsa Muslim non-Arab, bangsa-bangsa non-Arab, dan budak. Bangsa
Muslim-Arab menempati kelas tertinggi dalam stratifikasi sosial di Damaskus, mereka
adalah para elit penguasa Daulah Umayyah, baik dari keluarga kerajaan maupun
kelompok aristokrat Arab. Pengeluaran negara untuk membiayai golongan teratas ini
cukup tinggi. Ketika Khalifah al Walid I berkuasa, anggaran pemerintah untuk subsidi
golongan atas yang berada di Damaskus mencapai 45.000. Sedangkan ketika Marwan I
menjadi khalifah, kota Hims beserta distriknya menganggarkan dana sebesar 20.000
untuk biaya pensiun pada pejabat kekhalifahan. Meskipun menempati strata tertinggi
dalam pelapisan sosial di kota Damaskus, bukan berarti golongan Muslim-Arab adalah
golongan mayoritas. Philip K. Hitti mencatat bahwa meskipun Damaskus --sebagai ibu
kota kekhalifahan Daulah Umayyah Timur-- telah bertransformasi menjadi sebuah kota
dengan ciri khas Islam, secara umum penduduk Damaskus, bahkan hingga ke kota-kota
kecil, pedesaan, dan daerah pegunungan, adalah penganut agama Kristen.
Dalam catatan sejarah, konflik antar agama dalam kehidupan sosial di Damaskus
relatif tidak ditemukan. Konflik sosial yang ada hanya terjadi di antara beberapa suku.
Dua suku yang seringkali terlibat dalam konflik adalah suku Himyariyah dan
Mudariyah. Kerukunan antar umat beragama ini didorong oleh kebijakan pemerintah
Daulah Umayyah yang memiliki perhatian berimbang dan adil terhadap penganut
agama lainnya. Para khalifah Daulah Umayyah memberikan perlindungan secara
proporsional terhadap tempat-tempat suci agama-agama di Damaskus, seperti gereja,
katedral, sinagoge, dan tempat suci lainnya. Pihak penguasa Daulah Umayyah bahkan
pernah mengambil kebijakan perbaikan bangunan gereja Kristen di wilayah Edessa
yang rusak karena bencana gempa bumi. Biaya rehabilitasi bangunan itu diambil dari
dana yang dihimpun dari umat Islam.10
Baik komunitas Muslim-Arab, Kristen, maupun Yahudi memerankan peranan
penting dalam perkembangan kebudayaan di kota Cordoba. Kolaborasi budaya antara
Islam, Kristen, dan Yahudi merupakan salah satu identitas kebudayaan di Andalusia,
khususnya kota Cordoba pada masa Daulah Umayyah. Khalifah Abdurrahman I bahkan
menggunakan sebagian gereja Santo Vinsensius sebagai tempat ibadah umat Islam,
sedangkan bagian gereja lainnya dipergunakan oleh komunitas Kristen. Hal tersebut
merupakan simbol kerukunan antar-umat beragama di Andalusia. Komunitas Kristen
tetap diperbolehkan menggunakan gereja-gereja mereka dan para pemuka agama
Kristen tetap diizinkan untuk menggunakan pakaian keagamaan mereka.
Pemerintahan Daulah Umayyah di Andalusia juga mengeluarkan kebijakan yang
mendorong terjadinya proses imitasi dan akulturasi budaya antara entitas sosial yang
ada di Andalusia. Daulah Umayyah terkenal dengan kebijakan-kebijakannya yang

10
Kees De Jong. “Al Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu
Masyarakat Pluralistik yang Beradab”. (Gema Teologia (Jurnal Fakultas Theologia Universitas Kristen
Duta Wacana). Vol. 34 No. 1 April 2010), hlm. 21.

42
sangat menghormati pemeluk agama non-Islam, khususnya Kristen dan Yahudi. Baik
komunitas Kristen, Yahudi, maupun Muslim-Arab dapat berinteraksi secara bebas dan
setara dalam aturan sosial yang berlaku. Khusus terhadap komunitas Kristen dan
Yahudi, pemerintah Daulah Umayyah bahkan menempatkan keduanya ke dalam jabatan
pejabat sipil maupun militer.Terhadap komunitas Kristen, pemerintah Umayyah
memilihkan seorang pemimpin komunitas (Count) yang berasal dari anggota komunitas
mereka sendiri. Komunitas Kristen juga memiliki perwakilan untuk menyampaikan
aspirasi mereka di istana kekhalifahan Daulah Umayyah, sedemikian pula pihak Daulah
Umayyah juga menunjuk orang tertentu sebagai pemungut pajak terhadap komunitas
Kristen.11
D. Adopsi Budaya Romawi pada tatanan Bani Umayyah.
Sebenarnya Kekaisaran Romawi Timur/Byzantium bisa didefinisikan sebagai
kekaisaran multi-etnis yang muncul sebagai kekaisaran Kristen. Karena, dalam abad-
abad setelah penjajahan bangsa Arab dan Germanic pada abad ke-7, sifat multi-etnisnya
(meski bukan multi-bangsa) tetap ada meskipun sebagaian di Balkan dan Anatolia
mempunyai populasi orang-orang Yunani yang besar. Etnis minoritas dan mayoritas
yang beragama lain (misalnya Bangsa Armenia) tinggal di dekat perbatasan. Rakyat
Romawi Timur menganggap diri mereka adalah seorang (Rhomaioi – Romawi) yang
telah menjadi satu kesamaan dengan orang (Hellene – Yunani).12
Pada abad ke-15 Romawi Timur resmi melebur, hal ini tidak serta merta
menghancurkan masyarakat Romawi Timur yang multi-etnis secara langsung.13 Pada
masa pendudukan Turki, orang-orang Yunani terus memanggil diri mereka sebagai
bangsa Romawi dan bangsa Yunani, sebuah cirri-ciri yang tetap ada sampai sekarang ini
di Yunani modern kini, meski Romawi telah menjadi nama rakyat dari pada sebuah
bangsa seperti zaman dahulu.

1. Arsitektur
Peradaban Romawi banyak memberikan pengaruh besar bagi peradaban Islam.
Berakhirnya Era Bizantium ditandai dengan jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki
Ottoman pada tahun 1453 M, tetapi pada saat itu juga budaya Bizantium telah menyebar
luas. Budaya ini dibawa oleh orang-orang Kristen Ortodoks ke Bulgaria, Serbia,
Rumania, dan yang paling penting ke Rusia, yang menjadi pusat dunia ortodoks setelah
penaklukan Ottoman di Balkan. Bahkan di bawah pemerintahan Ottoman, tradisi

11
Kees De Jong. “Al Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031):
Suatu Masyarakat Pluralistik yang Beradab”. (Gema Teologia (Jurnal Fakultas Theologia
Universitas Kristen Duta Wacana). Vol. 34 No. 1 April 2010), hlm.50.
12
Adena, Louise (2008). "The Enduring Legacy of Byzantium". Clio History Journal.
13
Ibid.

43
Bizantium pada ikon lukisan dan seni lainnya tetap utuh dan selamat, terutama di Kreta
Venesia.

Bangunan Romawi Timur (Byzantium).

Pengaruh Bizantium yang paling besar terhadap Islam adalah “Kubah”. Kubah bukan
merupakan arsitektur asli Arab, karena jika kita perhatikan bangunan orang-orang arab
semuanya berbentuk kotak, jadi tidak mungkin kubah berasal dari Arab. Jikalau menara
Masjid merupakan adopsi dari arsitektur Persia, maka kubahnya itu berasal dari
pengadopsian arsitektur Romawi Timur (Bizantium). Gaya arsitektur Romawi/Bizantium
pada awal-awal Islam sangat lazim digunakan. Salah satu contoh adalah Masjid Kubah
Batu (akhir abad ke-7 M) di Yerusalem. Desainnya berasal dari arsitektur Romawi. Dan
juga makam dari Sultan Al Nasir Muhammad di Kairo yang pintunya memiliki arsitektur
Gothic dari Arce.14
Masjid Agung Damaskus memiliki Tembok keliling dirombak sehingga terbentuk
pola Hypostyle yaitu berupa sebuah sahn yaitu halaman dalam berbentuk segi empat
dikelilingi oleh bagian bangunan beratap. Sisi terpanjang sekitar 150 M, tegal lurus
sumbu arah kiblat, sisi terpendeknya sekitar 95 M berimpit dengan arah kiblat. Luas
masjid sekitar 14.250 M2 , denga bentuk denah tersebut, susunan jamaah dalam
bersembahyang, melebar kea rah kiblat. Konstruksi, bentuk dan ornament-ornamen
bagian depan sangat jelas mendapat pengaruh arsitektur Romawi.
Masjid ini dibangun pada masa Khalifah al-Walid bin Abdul Malik (88-97 H/705-
715 M) dari Dinasti Umayyah. Arsitekturnya telah memberi pengaruh bagi seni bina
masjid di seluruh dunia. Dari masjid inilah, arsitektur Islam mulai mengenal lengkungan
(horseshoe arch), menara segi empat, dan maksurah. Namun, sesungguhnya ada cerita
yang sangat panjang, yang mendahului pembangunan masjid ini.
Bangunan asli Masjid Umayyah berdiri sejak empat ribu tahun lalu, yaitu sebagai
tempat penyembahan api oleh kaum Aramia. Kemudian, pada abad pertama Masehi,

14
Michael Nazir-Ali. Islam, a Charistian Perspective, Westminster Jon Knox Press, 1983, p.66

44
bangunan ini diperluas oleh bangsa Romawi yang berhasil merebut kota Damaskus dari
tangan kaum Aramia, untuk digunakan sebagai tempat penyembahan Dewa Jupiter.
Ketika agama Kristen berkembang di Kerajaan Romawi, Kaisar Theodosius (330 M)
melarang penyembahan dewa-dewa dan mengubah bangunan ini menjadi sebuah gereja
katedral dengan nama Gereja St John Baptist Basilika. Tahun 636 M, bangsa Arab
mengalahkan kaum Romawi dan mereka pun berkuasa atas kota Damaskus. Namun,
mereka membiarkan gereja ini tetap berdiri.
Akhirnya, ketika sebagian besar penduduk Damaskus memeluk agama Islam,
bangunan gereja ini pun diubah fungsinya menjadi masjid pada tahun 705 M. Di masjid
ini juga terdapat beberapa kuburan Nabi yang bisa diziarahi pengunjung, antara lain
kuburan kepala Nabi Yahya (yang dipenggal oleh umatnya sendiri), Nabi Hud, dan Nabi
Khidir.
Masjid Umayyah di Damaskus ini memperlihatkan proses percampuran budaya
Romawi dan Islam. Karena, meskipun telah dilakukan beberapa perubahan pada
arsitektur gereja, bagian-bagian khas gereja masih tampak pada kompleks masjid ini,
termasuk sumur tempat membaptis bayi-bayi Kristen.
Proses pembangunan Masjid Agung Umayyah dimulai pada 87 H/705 M dan selesai
pada 96 H/714 M. Pembangunan masjid terbesar pertama di abad ke-8 M itu melibatkan
para seniman dan tukang bangunan dari berbagai negeri, seperti Persia, India, Afrika
Utara, Mesir, dan Bizantium. 'Aristektur Barat, KAC Creswell, dalam bukunya, Early
Muslim Architecture, dan Strzygowski (1930) mengatakan, ''Masjid Agung Umayyah
adalah murni hasil kerja umat Islam yang terinspirasi oleh gaya Persia.''
Pada awalnya, masjid yang besar dan megah itu berdiri di atas lahan dengan panjang
157 meter dan lebar 100 meter serta terdiri atas dua bagian utama. Bagian halaman
menempati hampir separuh area masjid dan dikelilingi serambi yang melengkung.
Halaman masjid yang berbentuk persegi empat ini dibiarkan terbuka karena terinspirasi
Masjid Nabawi di Madinah.
Bangunan Masjid Umayyah tampak megah dengan ditutupi kubah yang indah serta
tiga buah menara yang menjulang tinggi ke langit Damaskus. Tiga menara yang
menemani bangunan masjid yang megah itu terbilang unik. Sebab, biasanya jumlah
menara yang ada pada masjid jumlahnya satu, dua, empat, atau tujuh seperti yang
terdapat di Al-Haram As-Sharif (Ka'bah).
Menara pada Masjid Umayyah ini merupakan usaha pembuatan menara pertama
pada bangunan masjid. Awalnya, pada bekas bangunan gereja St John Baptist Basilika
terdapat dua buah menara yang berfungsi sebagai penunjuk waktu, lonceng pada siang
hari dan kerlipan lampu pada malam hari. Menara itu merupakan salah satu ciri khas
bangunan Romawi.
Kedua menara peninggalan bangunan gereja ini terdapat pada sisi barat dan timur.
Menara sebelah timur atau yang biasa disebut sebagai Menara Isa diyakini sebagai

45
tempat akan turunnya Nabi Isa AS. Khalifah al-Walid yang memang dikenal memiliki
selera dan kepedulian tinggi dalam rancang bangun arsitektur telah memulai tradisi
membangun menara sebagai salah satu unsur khas pada masjid.
Khalifah al-Walid mempertahankan kedua menara yang bertengger di bangunan
bekas gereja tersebut. Bahkan, untuk mempertegas wibawa dan kemegahan Masjid
Umayyah, beliau kemudian membangun lagi sebuah menara di sisi utara pelataran
masjid, yakni tepat di atas Gerbang al-Firdaus. Menara itu pun biasa disebut menara
utara Masjid Umayyah.
Setelah jatuhnya Konstantinopel, Ottoman mengubah sebuah basilica utama15 yaitu
Haiga Sophia menjadi sebuah Masjid dan arsitekturnya tetap tidak diubah, seperti kubah.
Ini merupakan perubahan fungsi dari yang awalnya sebagai bangunan Gereja menjadi
sebuah Masjid. Haiga Sophia pada saat itu menjadi pusat sebuah model masjid di
pemerintahan Ottoman. Contoh masjid yang juga berarsitektur seperti Haiga Sophia
adalah Masjid Shehzadeh, Masjid Suleiman dan Masjid Rustem Pasha.16
2. Persamaan Hukum Romawi dengan Hukum Islam (Fiqh)
Berawal dari Ignaz Goldziher yang berbicara mengenai hubungan genetic antara
hukum Romawi dan hukum Islam.17 Sebelum Goldziher, beberapa sarjana telah
mendiskusikan pentingnya kemiripan-kemiripan antara hukum Romawi dan hukum
Islam, misalnya Alfreed Kremer. Studi-studi lain yang mengikutinya, misalnya Joseph
Schacht dan Patricia Crone, berusaha memperlihatkan bahwa berbagai peminjaman dari
system hukum lain memainkan peranan utama dalam asal mula (pembentukan) hukum
Islam.18
Von Kremer menyatakan, bahwa keserupaan diantara Hukum Islam dengan Hukum
Romawi terdapat dalam banyak masalah, yang terpenting diantaranya adalah mengenai
kaidah-kaidah dan aturan-aturan tentang pembuktian atas si penggugat, batas umur
dewasa dan kematangan, beberapa macam hukum muamalat perniagaan seperti jual –
beli dan ijaroh, juga perbedaan antara jual beli dan tukar menukar.19 Perbedaan asasi
antara kedua hukum ini lebih dari banyak, maka akan dikemukakan beberapa contoh
sebagai berikut:

15
Dalam Bahasa Latin, basilika (berasal dari Bahasa Yunani, Basiliké Stoà, yang
berarti Stoa Kerajaan), pada mulanya digunakan untuk menggambarkan sebuah bangunan
publik Romawi (seperti juga di Yunani, umumnya sebuah tempat pertemuan), biasanya terletak di pusat
sebuah kota Romawi (forum). Di kota-kota Yunani kuno, basilika umum mulai muncul pada abad ke-2
sebelum masehi.
16
Thomas W. Arnold. Painting in Islam: a study of the place of pictorial art in Muslim
culture, Gorgias Press LLc, 2004, p. 58.
17
GOLDZIHER, I. Muslim Studies, Vol. II, George Allen & Unwin Ltd. trans. by C.R. Barber and S.M.
Stern, 1971
18
AMOS, S. History and Principles of the Civil law of Rome, London, 1883;
19
Kremer, A. von, Culturgeschichte des Orients under den Chalifen, Vienna, 1875-7.

46
a. Perempuan bangsa Romawi berkedudukan di bawah perintah atau kekuasaan
selama hidupnya. Mereka tidak mempunyai hak untuk melakukan tansaksi-
transaksi dengan harta kekayaannya tanpa izin. Adapun menurut hukum Islam,
mereka mempunyai dasar-dasar kekeluargaan yang sempurna untuk melakukan
segala macam transaksi.

b. Mahar atau maskawin menurut bangsa Romawi adalah hak suami yang diberikan
kepadanya dari si Isteri atau dari salah seorang keluarganya. Sedangkan menurut
Islam adalah sebaliknya, laki-lakilah yang wajib memberikannya kepada isteri.
c. Pemungutan anak atau adopsi tidak diakui oleh hukum islam dan sebaliknya
menurut hukum Romawi adalah hal yang sudah lazim.
d. Hukum Syuf’at dan Wakaf yang dikenal dalam hukum Islam, tidak terdapat
dalam hukum Romawi dan lain-lain.20

E. Penutup.
Pada masa daulah Daulah Umayyah, khususnya yang berpusat di Damaskus
terkenal dengan kebijakan Arabisasi. Kebijakan Arabisasi --yang menekankan mono-
kulturalisme-- justru merupakan anti-tesa dari multikulturalisme. Namun, kebijakan
politik-administratif tersebut tidak serta-merta meniadakan co- eksistensi dan
signifikansi peran komunitas-komunitas non-Arab dalam konteks pembangunan
kebudayaan dan peradaban Islam pada masa kekuasaan Daulah Umayyah di Timur
maupun di Barat.

DAFTAR PUSTAKA
Ajid Thohir, 2014. Sirah Nabawiyah (Nabi Muhammad Saw dalam Kajian Sosial-
Humaniora). Bandung: Penerbit Marja.
Treadgold, Warren (1991). The Byzantine Revival, 780–842. Stanford: Stanford
University Press.
Thomas W. Arnold. 2004. Painting in Islam: a study of the place of pictorial art in
Muslim culture, Gorgias Press LLc,
Rika moniarti.2002. sejarah peradaban kuno.Mitra sarana : Bandung.
Browning, Robert (1992). The Byzantine Empire. Washington, DC: The Catholic
University of America Press.
Abdullah, M. Amin., dkk. Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural.
Yogyakarta; IAIN Sunan kalijaga-Kurnia Kalam Se- mesta, 2002.
Abdurahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta: Ombak,
2011.

20
SCHACHT, J. Origins of Muhammadan Jurisprudence, Clarendon Press, 1950.

47
DINASTI ABBASYIAH

Dedi Saripgani

Peradaban Islam mengalami puncak kejayaaan pada masa daulah Abbasiyah.


Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju yang diawali dengan penerjemahan naskah
asing terutama yang berbahasa Yunani kedalam bahasa Arab, pendirian pusat
perkembangan ilmu, dan perpustakaan dan terbentuknya madzahab ilmu pengetahuan
dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir.
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam
mengembangkan peradaban Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para
pakar pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan
dan peradaban Islam.

1. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah


Berdirinya dinasti Abbasiyah tidak bisa dilepaskan dari munculnya berbagai
masalah di periode-periode terakhir dinasti Umayah. Masalah-masalah tersebut
kemudian bertemu dengan beberapa kepentingan yang satu sama lain memiliki
keterkaitan. Ketidakpuasan disana-sini yang ditampakkan lewat berbagai macam
pemberontakan jelas menjadi pekerjaan rumah yang cukup serius bagi kelangsungan
hidup dinasti Umayah, yang kemudian menjadi momentum yang tepat untuk
menjatuhkan dinasti Umayah yang dimotori oleh Abu al-Abbas al-Safah.1
Pemerintahan Dinasti Abbasiyah dinisbatkan kepada Al-Abbas paman
Rasulullah, sementara khalifah pertama dari pemerintahan ini adalah Abdullah Ash-
Shaffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Dinasti
Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M, oleh Abu al-Abbas Ash-Shafah dan
sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam
rentang waktu yang panjang, yaitu selama lima abad dari tahun 132-656 H (750- 1258
M). Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah
dikumandangkan oleh Bani Hasyim (Alawiyun) setelah meninggalnya rasulullah dengan
mengatakan bahwa yang berhak untuk berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan anak-
anaknya.
Sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah terdapat tiga poros utama yang merupakan
pusat kegiatan, antara satu dengan yang lain memiliki kedudukan tersendiri dalam
memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Rasulullah,

1
Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 105

48
Abbas bin Abdul Muthalib. Dari nama Al-Abbas paman Rasulullah inilah nama ini
disandarkan pada tiga tempat pusat kegiatan, yaitu Humaimah, Kufah dan Khurasan.
Humaimah merupakan tempat yang tentram, bermukim di kota itu keluarga Bani
Hasyim,baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Kufah
merupakan wilayah yang penduduknya menganut aliran syi’ah, pendukung Ali bin Abi
Thalib, yang selalu bergolak dan tertindas oleh Bani Umayah. Khurasan memiliki warga
yang pemberani, kuat fisik, teguh pendirian, tidakmudah terpengaruh nafsu dan tidak
mudah bingung terhadap kepercayaan yang menyimpang, disanalah diharapkan dakwah
kaum Abbasiyah mendapat dukungan.
Dikota humaimah bermukim keluarga Abbasiyah, salah seorang pimpinannya
bernama Al-Imam Muhammad bin Ali yang merupakan peletak dasar-dasar bagi
berdirinya Dinasti Abbasiyah. Ia menyiapkan strategi perjuangan menegakkan kekuasaan
atas nama keluarga Rasulullah. Para penerang dakwah Abbasiyah berjumlah 150 orang
dibawah para pimpinannya yang berjumlah 12 orang dan puncak pimpinannya adalah
Muhammad bin Ali.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai
gerakan rahasia. Akan tetapi, Imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang berkeinginan
mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayah terakhir,
Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan Dinasti Umayyah
dan dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya dieksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya
Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu bahwa ia akan terbunuh, dan
memerintahkan untuk pindah ke Kufah. Sedangkan pemimpin propaganda dibebankan
kepada Abu Salamah. Segeralah Abul Abbas pindah dari Humaimah ke Kufah diiringi
oleh para pembesar Abbasiyah yang lain seperti Abu Ja’far, Isa bin Musa dan abdullah
bin Ali.
Penguasa Umayyah di Kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah, ditaklukkan oleh
Abbasiyah dan diusir ke Wasit. Abu Salamah selanjutnya berkemah di Kufah yang telah
ditaklukkan pada tahun 132 H. Abdullah bin Ali, salah seorng paman Abul Abbas
diperintahkan untuk mengejar khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad
bersama pasukannya yang melarikan diri, dimana akhirnya dapat diukul didataran rendah
sungai Zab. Pengajaran dilanjutkan ke Mausul, Harran dan menyeberangi sungai Eufrat
sampai ke Damaskus. Khalifah itu melarikan diri hingga ke Fustat di Mesir dan akhirnya
terbunuh di Busir, wilayah Al-Fayyum, tahun 132 H/750 M dibawah pimpinan Salih bin
Ali, seorang paman Al-Abbas yang lain. Dengan demikian, maka tumbanglah kekuasaan
Dinasti Umayyah dan berdirilah Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Khalifah
pertamanya, yaitu Abul Abbas Ash-Shaffah dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah.
Penggantian Umayyah oleh Abbasiyah ini dalam kepemimpinan masyarakat
Islam lebih dari sekedar penggantian dinasti. Ia merupakan revolusi dalam sejarah Islam,
suatu titik balik yang sama pentingnya dalam revolusi Perancis dan revolusi Rusia di

49
dalam sejarah Barat. Kekhalifahan Ash-Shaffah hanya bertahan selama empat tahun
sembilan bulan. Ia wafat pada tahun 136 H di Abar satu kota yang tlah dijadikannya
sebagai tempat kedudukan pemerintahan. Ia berumur tidak lebih dari 33 tahun. Bahkan
ada yang mengatakan umur Ash-Shaffah ketika meninggal dunia adalah 29 tahun.2 Titik
kelamahan khalifah abul-Abbas itu bahwa kebijaksanaan pemerintahananya berdasarkan
kekerasan, hingga digelari dengan yang Hausdarah (Al Saffah), sekalipun dalam banyak
hal iapun memperlibatkan kebudimanan dan kedermawanan.3
Selama dinasti Abbasiyah berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-
bedasesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola
pemerintahan dan politik itu, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbas
menjadi lima periode, yaitu:
1. Periode pertama (132- 232 H/750-847 M), disebut periode pengaruh Persia
pertama.
2. Periode kedua (232-334 H/847-945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
3. Periode ketiga (334-447 H/945-1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih
dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Persia kedua.
4. Periode keempat (447-590 H/1055-1194 M), masa kekuasaan daulat Bani Saljuk
dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Turki kedua.
5. Periode kelima (590-656 H/ 1194-1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.4

2. Para Khalifah Dinasti Abbasiyah


Sebelum Abul Abbas Ash-Shaffah meninggal, bahwa ia sudah mewasiatkan siapa
penggantinya yakni saudaranya, Abu Ja’far, kemudian Isa bin Musa, keponakannya.
Sistem pengumuman putra mahkota itu mengikuti cara Dinasti Bani Umayyah. Dan satu
hal yang baru lagi bagi para kholifah Abbasiyah yaitu pemakaian gelar. Abu Ja’far
misalnya ia memakai gelar Al-Manshur. Para kholifah Bani Abbasiyah berjumlah 37
kholifah yaitu:
1. Abul Abbas as-Shaffah (pendiri) (749-754 M)
2. Abu Ja’far Al Manshur (754-775 M)
3. Abu Abdullah Muhammad Al Mahdi (775-785 M)
4. Abu Muhammad Musa Al Hadi (785-786 M)
5. Abu Ja’far Harun Ar Rasyid (786-809 M)

2
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 138-141
3
. Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 24
4
. Abdul Syukur al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Jogjakarta: Saufa, 2014), hal.
178

50
6. Abu Musa Muhammad Al Amin (809-813 M)
7. Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun (813-833 M)
8. Abu Ishaq Muhammad Al Mu’thasim (833-842 M)
9. Abu Ja’far Harun Al Wasiq (842- 847 M)
10. Abu Fadl Ja’far Al Mutawakkil (847- 861 M)
11. Abu Ja’far Muhammad Al-Muntashir (861-862 M)
12. Abul Abbas Ahmad Al-Musta’in (862-866 M)
13. Abu Abdullah Muhammad Al-Mu’taz (866-869 M)
14. Abu Ishaq Muhammad Al-Muhtadi (869-870 M)
15. Abul Abbas Ahmad Al-Mu’tamid (870-892 M)
16. Abul Abbas Ahmad Al-Mu’tadid (892-902 M)
17. Abul Abbas Ahmad Al-Muktafi (902-905 M)
18. Abul Fadl Ja’far Al-Muqtadir (905-932 M)
19. Abu Mansur Muhammad Al-Qahir (932-934 M)
20. Abul Abbas Ahmad Ar-Radi (934-940 M)
21. Abu Ishaq Ibrahim Al-Muttaqi (940-944 M)
22. Abul Qasim Abdullah Al-Mustaqfi (944-946 M)
23. Abul Qasim Al-Fadl Al-Mu’ti (946-974 M)
24. Abul Fadl Abdul Karim At-Thai (974-991 M)
25. Abul Abbas Ahmad Al-Qadir (991-1031 M)
26. Abu Ja’far Abdullah Al-Qalm (1031-1075 M)
27. Abul Qasim Abdullah Al-Muqtadi (1075-1094 M)
28. Abul Abbas Ahmad Al-Mustadzir (1094-1118 M)
29. Abu Manshur Al-Fadl Al-Mustarsyid (1118-1135 M)
30. Abu Ja’far Al-Mansur Ar-Rasyid (1135-1136 M)
31. Abu Abdullah Muhammad Al-Muqtafi (1136-1160 M)
32. Abul Mudzafar Al-Mustanjid (1160-1170 M)
33. Abu Muhammad Al-Hasan Al-Mustadi (1170-1180 M)
34. Abu Al-Abbas Ahmad An-Nasir (1180-1225 M)
35. Abu Nasr Muhammad Az-Zahir (1225-1226 M)
36. Abu Ja’far Al-Mansur Al-Mustansir (1226-1242 M)
37. Abu Ahmad Abdullah Al-Mu’tashim Billah (1242-1258 M)
Pada masa bangsa Mongol dapat menaklukan Baghdad tahun 656 H/1258 H, ada
seorang pangeran keturunan Abbasiyah yang lolos dari pembunuhan dan meneruskan
kekhalifahan dengan gelar khalifah yang hanya berkuasa di bidang keagamaan di bawah
kekuasaan kaum Mamluk di Kairo, Mesir tanpa kekuasaan duniawi yang bergelar Sultan.
Jabatan khalifah yang disandang oleh keturunan Abbasiyah di Mesir berakhir dengan
diambilnya jabatan itu oleh Sultan Salim I dari Turki Usmani ketika menguasai Mesir

51
pada tahun 1517 M. Dengan demikian, hilanglah kekhalifahan Abbasiyah untuk selama-
lamanya.5

3. Masa Kejayaan Peradaban Dinasti Abbasiyah


Pada periode pertama pemerintahan Abbasiah mencapai masa keemasan. Secara
politis para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik
sekaligus Agama. Disisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.
Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
pngetahuan dalam Islam. Peradaban dan kebudayaanIslam tumbuh dan berkembang
bahkan mencapai kejayaannya pada masa Abbasiyah. Hal tersebut dikarenakan Dinasti
Abbasiyah pada periode ini lebih menekankan pembinaan peradapban dan kebudayaan
Islam dari pada perluasan wilayah. Disini letak perbedaan pkok antara Dinasti Umayyah
dan Dinasti Abbasiyah.
Puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid
(786- 809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833 M). Ketika Ar-Rasyid memerintah,
negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada
juga pemberontakan dan luas wilayahnya mulai dari Afrika Utara hingga ke India. Pada
masanya hidup pula para filsuf, pujangga, ahli baca Al-Qur’an dan para ulama dibidang
Agama. Didirikan perpustakaan yang diberi nama Baitul Hikmah, didalamnya orang
dapat membaca, menulis dan brdiskusi.
Dan pada masanya berkembang ilmu pengetahuan agama, seperti Al-Qur’an,
qiraat, hadis, fiqh, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Empat mazhab fiqh tumbuh dan
berkembang pada masa dinasti Abbasiyah. Disamping itu berkembang pula ilmu filsafat,
logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar, aritmatika, mekanika,
astronomi, musik, kedokteran, dan kimia. Ilmu-ilmu umum masuk ke dalam Islam
memalui terjemahan dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab, disamping
bahasa India.
Lembaga pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah mengalami perkembangan
dan kemajuan sangat pesat. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab,
baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak masa Bani Umayyah, maupun
sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan tersebut paling tidak juga
ditentukan oleh dua hal yaitu:
1. Terjadinya asimilasi antara bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih
dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa
pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam.

5
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 141-143

52
Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu
memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Pengaruh persia, sebagaimana sudah disebutkan sangat kuat dibidang
pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam
perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang
kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk
melalui terjemahan-terjemahan diberbagai bidang ilmu, terutama filsafat.
2. Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa
khalifah Al-Mansur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak
diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase
kedua berlangsung mulai masa khalifah Al-Makmun hingga tahun 300 H. Buku-
buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran,
pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H terutama setelah adanya
pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin
meluas.6

Baghdad adalah ibu kota Irak dan merupakan kota terbesar kedua di Asia Barat
Daya setelah Teheran. Kota ini terletak diantara sungai Tigris dan Sungai Eufrat. Karena
berada di lokasi yang strategis, kota baghdad menjadi kawasan yang penting sehingga
menarik perhatian khalifah kedua, Umar bin Khathab Ra. Maka, diutuslah seorang
sahabat bernama Sa’ad bin Abi Waqqas untuk menaklukan kota itu. Singkat cerita
penduduk setempat menerima agama Islam dengan sangat baik, hingga agama yang
dibawa oleh Rasulullah ini dipeluk oleh mayoritas masyarakat Baghdad.
Ketika kekhalifahan Islam dipegang oleh Bani Abbasiyah, kota Baghdad
dibangun menjadi salah satu kota metropolitan yang menjadi saksi era keemasan Islam.
Pembangunannya diprakarsai oleh khalifah Abu Ja’far Al-Mansur, yang memindahkan
pusat pemerintahan Islam dari Damaskus ke Baghdad. Khalifah kedua dari dinasti
Abbasiyah itu berhasil menyulap kota kecil Baghdad menjadi sebuah kota baru yang
megah.
Pemilihan Baghdad sebagai pusat pemerintahan dinasti Abbasiyah didasarkan
pada berbagai pertimbangan seperti politik, keamanan, sosial, serta geografis. Damaskus,
Kufah dan Basrah yang lebih dahulu berkembang tidak dijadikan pilihan lantaran di
kota-kota itu masih banyak berkeliaran lawan politik Dinasti Abbasiyah.7
Dengan demikian, Dinasti Abbasiyah dengan pusatnya di Baghdad sangat maju
sebagai pusat kota peradaban dan pusat ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan dalam
berbagai bidang kehidupan dapat disebutkan sebagai berikut:

6
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 144-146
7
Abdul Syukur al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Jogjakarta: Saufa, 2014), hal.
197

53
1. Bidang agama
Kemajuan di bidang agama antara lain dalam beberapa bidang ilmu, yaitu ulumul
qur’an, ilmu tafsir, hadis, ilmu kalam, bahasa dan fiqh.
1. Fiqh
Pada masa dinasti abbasiyah lahir para tokoh bidang fiqh dan pendiri mazhab
antara lain:
 Imam Abu Hanifah
 Imam Malik
 Imam Syafi’i
 Imam Ahmad bin Hanbal
2. Ilmu tafsir
perkembangan ilmu tafsir pada masa pemerintahan Abbasiyah mengalami
kemajuan yang pesat. Diantara para ahli tafsir pada masa Dinasti Abbasiyah adalah:
 Ibnu Jarir Atha-Thabari
 Ibnu Athiyah Al-Andalusia
 Abu Muslim Muhammad bin Bahar Isfahani.
3. Ilmu hadis
Diantara para ahli hadis pada masa dinasti Abbasiyah adalah:
 Imam Bukhari
 Imam Muslim
 Ibnu Majah
 Abu Dawud
 Imam An-nasai
 Imam Baihaqi
4. Ilmu kalam
Kajian para ahli ilmu kalam (teologi) adalah mengenai dosa, pahala, surga
neraka, serta perdebatan mengenai ketuhanan atau tauhid, menghasilkan suatu ilmu yaitu
ilmu kalam atau teologi. Diantara tokoh ilmu kalam adalah:
 Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan imam Abu Mansur Al Maturidi, tokoh
Asy’ariyah.
 Washil bin Atta, Abul Huzail Al-Allaf (w. 849M), tokoh Mu’tazilah
 Al-Jubai
 Ilmu bahasa
Diantara ilmu bahasa yang berkembang pada masa dinasti Abbasiyah adalah ilmu
nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan, ilmu badi’ dan arudh. Bahasa Arab dijadikan sebagai
bahasa ilmu pengetahuan, disamping sebagai alat komunikasi antarbangsa.
1. Bidang umum

54
Dalam bidang umum antara lainberkembang berbagai kajian dalam bidang
filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geometri, aljabar, aritmatika,
mekanika, astonomi,musik, kedokteran, kimia, sejarah dan sastra.
1. Filsafat
Kajian filsafat di kalangan umat Islam mencapai puncak pada masa daulah
Abbasiyah, diantaranya dengan penerjemahan filsafat Yunani kedalam bahasa Arab. Para
filsuf Islam antara lain:
 Abu Ishaq Al Kindi
 Abu Nasr Al-Farabi
 Ibnu Sina
 Ibnu bajah
 Ibnu Tufail
 Al-Ghozali
 Ibnu rusyd
2. Ilmu kedokteran
Ilmu kedokteran pada masa daulah Abbasiyah berkembang pesat. Rumah sakit
besar dan sekolah kedokteran banyak didirikan. Diantara ahli kedokteran ternama adalah:
 Abu Zakaria Yahya bin Mesuwaih
 Abu Bakar Ar-Razi
 Ibnu Sina
 Ar-Razi
3. Matematika
Terjemahan dari buku-buku asing ke dalam bahasa Arab menghasilkan karya
dalam bidang matematika. Diantara ahli matematika Islam yang terkenal adalah Al-
Khawarizmi dan Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Al-Abbas.
4. Farmasi
Diantara ahli farmasi pada masa dinasti abbasiyah adalah ilmu Baithar, karyanya
yang terkenal adalah Al-Mughni.

5. Ilmu astronomi
kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbagai aliran ilmu astronomi dari
berbagai bangsa seperti Yunani, india, Persia, Kaldan dan ilmu falak jahiliyah. Diantara
ahli astronomi Islam adalah:
 Abu Mansur Al Falaki
 Jabir Al-Batani
 Raihan Al-Biruni

6. Geografi

55
Dalam bidang geografi umat Islam sangat maju, karena sejak semula bangsa
Arab merupakan bangsa pedagang yang biasa menempuh jarak jauh untuk berniaga.
Diantara wilayah pengembaraan umat Islam adalah Umat Islam mengembara ke Cina
dan Indonesia pada masa-masa awal kemunculan Islam. Diantara tokoh ahli geografi
yang terkenal adalah:
1. Abul Hasan Al-Mas’udi
2. Ibnu Khurdazabah
3. Ahmad El-Yakubi
4. Abu Muhammad Al-Hasan Al-Hamadani

5. Sejarah
Masa dinasti Abbasiyah banyak muncul tokoh-tokoh sejarah. Beberapa tokoh
sejarah lainnya antara lain:
 Ahmad bin Al-Ya’kubi
 Ibnu ishaq
 Abdullah bin Muslim Al-Qurtubah
 Ibnu Hisyam
 Ath-Thabari
 Al-Maqrizi
 Al-Baladzuri
8. Sastra
Dalam bidang sastra, baghdad merupakan kota pusat seniman dan sastrawan.
Para tokoh sastra antara lain:
 Abu Nawas, salah seorang penyair terkenal dengan karya cerita humornya.
 An-Nasyasi, penulis buku Alfu Lailah Wa Lailah adalah buku cerita sastra seribu
satu malam yang sangat terkenal dan diterjemahkan ke dalam hampir seluruh
bahasa dunia.8

Bani Abbasiyah mencapai puncak keemasannya karena terdapat beberapa faktor


diantaranya:
1. Islam makin meluas tidak hanya di Damaskus tetapi di Baghdad.
2. Orang-orang di luar Islam dipakai untuk menduduki institusi pemerintahan.
3. Pemerintahan Abbasiyah membentuk tim penerjemah bahasa yunani ke bahasa
Arab.
4. Sebagian penerjemah memberikan pendapatnya.
5. Rakyat bebas berfikir serta memperoleh hak asasinya dalam segala bidang.
6. Adanya perkembangan ilmu pengetahuan

8
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 148-152

56
7. Dalam penyelenggaraan negara dalam masa bani Abbas ada jabatan Wazir.
8. Ketentuan profesional baru terbentuk pada masa pemerintah Bani Abbas.9

4. Dinasti-dinasti yang memerdekaan diri dari Baghdad


Adapun dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada
masa khalifah Abbasiyah, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Thahiriyah di Khurasan, Persia (820-872 M).
2. Safariyah di Fars, Persia (868-901 M).
3. Samaniyah di Transoxonia (873-998 M).
4. Sajiyyah di Azerbajian (878-930 M).
5. Buwaihiyah, Persia (932-1055 M).
6. Thuluniyah di Mesir (837-903 M).
7. Ikhsidiyah di Turkistan (932-1163 M).
8. Ghazwaniyah di Afganistan (962-1189 M).
9. Dinasti Saljuk (1055-1157 M).
10. Al-Barzuqani, Kurdi (959-1015 M).
11. Abu Ali, Kurdi (959-1015 M).
12. Ayyubiyah, Kurdi (1167-1250 M).
13. Idrisiyah di Maroko (788-985 M).
14. Aghlabiyah di Tunisia (800-900 M).
15. Dulafiyah di Kurdistan (825-898 M).
16. Alawiyah di Tabiristan (864-928 M).
17. Hamdaniyah di Aleppo dan Musil (929-1002 M).
18. Mazyadiyah di Hillah (1011-1150 M).
19. Ukailiyah di Mausil (996-1095 M).
20. Mirdasiyah di Aleppo (1023-1079 M).
21. Dinasti Umayyah di Spayol.
22. Dinasti Fatimiyah di Mesir.
Dari latar belakang dinasti tersebut, tampak jelas adanya persaingan antar bangsa
terutama antara Arab, Persia, dan Turki. Disamping latar belakang kebangsaan, dinasti-
dinasti itu juga dilatar belakangi paham keagamaan, ada yang berlatarbelakang Syi’ah
dan ada pula yang Sunni.

5. Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Dinasti Abbasiyah


Kebesaran, keagungan, kemegahan dan gemerlapnya Baghdad sebagai pusat
pemerintahan Dinasti Abbasiyah seolah-olah hanyut dibawah sungai Tigris, setelah kota
itu dibumihanguskan oleh tentara Mongol dibawah Hulagu Khan pada tahun 1258 M.

9
Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: Pustaka Riski Putra, 2009), hal. 102-103

57
Semua bangunan kota termasuk istana emas tersebut dihancurkan pasukan Mongol,
meruntuhkan perpustakaan yang merupakan gudang ilmu, dan membakar buku-buku
yang ada di dalamnya. Pada tahun 1400 M kota ini serang pula oleh pasukan timur Lenk,
dan pada tahun 1508 M oleh tentara kerajaan Samawi.10
Ada beberapa faktor penyebab kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah.
Biasanya sejarawan mengklasifikasikan faktor-faktor penyebab ini kedalam dua faktor,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor internal.
Secara umumfaktor internal ada dua hal yaitu politik dan ekonomi. Kedua faktor
ini ditengarai sebagai penyebab mundur dan jatuhnya Abbasiyah yang berkuasa
selama 508 tahun itu.11
2. Faktor eksternal
Kemunduran Dinasti Abbasiyah yang disebabkan oleh faktor eksternal ini oleh
sejarawan biasanya meliputi dua hal, yaitu karena perang salib dan yang kedua
karena serangan bangsa Mongol.12

Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim M.A, diantara hal yang menyebabkan
kemunduran daulah Bani Abbasiyah adalah sebagaia berikut:
1. Persaingan antar bangsa
Kholifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-
orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu
pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah Dinasti
Abbasiyah berdiri, Bani Abbasiyah tetap mempertahankan persekutuan itu. Pada masa
ini persaingan antar bangsa menjadi pemicu untuk saling berkuasa. Kecenderungan
masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal
kholifah Abbasiyah berdiri.

2. Kemerosotan ekonomi
Kholifah abbasiyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi bersamaan
dengan kemunduran dibidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani
Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari pada
yang keluar, sehingga Baitul Mal penuh dengan harta. Setelah kholifah mengalami
periode kemunduran, pendapatan negara menurun, dan dengan demikian terjadi
kemerosotan dalam bidang ekonomi.

10
Op. Cit, Samsul Munir Amin, hal. 153-155

11
Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 142

12
Ibid, hal. 148

58
3. Konflik keagamaan
Fanatisme keagamaan terkait erat dengan persoalan kebangsaan. Pada periode
Abbasiyah, konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra sehingga mengakibatkan
terjadi perpecahan. Berbagai aliran keagamaan seperti mu’tazilah, syi’ah, ahlus sunnah,
dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami
kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
4. Perang Salib
Perang salib merupakan sebab dari eksternal umat islam. Perang salib yang
berlangsung beberapa gelombang banyak menelan korban. Konsentrasi dan perhatian
pemerintahan Abbasiyah terpecah belah untuk mengadapi tentara salib sehingga
memunculkan kelemahan-kelemahan.
5. Serangan Bangsa Mongol (1258M)
Serangan tentara Mongol kewilayah kekuasaan islam menyebabkan kekuatan
islam menjadi lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang
biadab menyebabkan kekuatan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah kepada
kekuatan Mongol.

6. Akhir kekuasaan Dinasti Abbasiyah


Akhir dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah ialah ketika baghdad dihancurkan oleh
pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan, 656H/1258 M. Hungalu Khan dalah
seorang saudara Kubilay Khan yang berkuasa di Cina hingga ke Asia Tenggara dan
saudara Mongke Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah
sebelah barat dari cina ke pangkuannya. Baghdad dibumihanguskan dan diratakan
dengan tanah. Kholifah Bani Abbasiyah yang terakhir dengan keluarganya, Al
Mu’tashim Billah dibunuh. Buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan
dibuang ke sungai Tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut yang jernih
bersih menjadi hitam kelam karena lunturan tinta yang ada pada buku-buku itu.13
Diperkirakan sekitar 800.000 orang baik pria, wanita maupun anak-anak menjadi
sasaran pembantaian pasukan mongol. Dalam pembantaian ini Al-Mu’tasim sendiri
beserta keluarganya dibunuh dengan kejam. Dengan terbunuhnya Al Mu’tashim Billah
yang merupakan kholifah terakhir Dinasti Abbasiyah maka berakhir pulalah
pemerintahan Bani Abbasiyah ini

PENUTUP
Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman
Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah Abdullah As-Saffah bin Ali bin Abdullah bin
Al-Abbas, atau lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah. Daulah Bani

13
Op. Cit, Samsul Munir Amin, hal. 155-157

59
Abbasiyah berdiri antara tahun 132- 656 H / 750 -1258 M. Lima setengah abad lamanya
keluarga Abbasiyah menduduki singgasana khilafah Islamiyah. Pusat pemerintahannya
di kota Baghdad.
Di antara kota pusat peradaban pada masa dinasti Abbasiyah adalah Baghdad dan
Samarra. Bangdad merupakan ibu kota negara kerajaan Abbasiyah yang didirikan
Kholifah Abu Jafar Al-Mansur (754-775 M) pada tahun 762 M. Sejak awal berdirinya,
kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Ketika
banyak terjadi pemberontakan, kekuatan Dinasti Abbasiyah pun melemah. Sehingga
terjadi kegoncangan kekuasaan yang berakhir dengan disintegrasi wilayah dan
keruntuhan dinasti ini.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Azizi, Abdul Syukur, 2014, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, Jogjakarta:
Saufa
Syukur, Fatah, 2009, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Pustaka Riski Putra
Fu’adi, Imam, 2011, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Teras
Amin, Samsul Munir, 2010, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah
Sou’yb, Joesoef, Sejarah Daulah Abbasiyah, Jakarta: Bulan Bintang
Yatim, badri,1993. Sejarah peradaban islam: dirasah islamiyah II. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

60
PERKEMBANGAN ISLAM MASA KHALIFAH
UTSMAN BIN AFFAN & ALI BIN ABI THALIB

Ibrahim Nasrul Haq Alfahmi

Pendahuluan
Pada masa jahiliyah, Utsman bin Affan termasuk salah seorang tokoh yang
sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat. Selain berkedudukan tinggi, dia juga
sangat kaya raya, pemalu, dan ucapannya enak didengar. Sehingga, masyarakat sangat
mencintainya. Utsman ibnu ‘Affan ibnu Abil Ash ibnu Umaiyah dilahirkan di waktu
Rasulullah berusia lima tahun dan masuk Islam atas seruan Abu Bakar Ash Shiddiq.1
Beliau terhitung saudagar besar dan kaya, dan sangat pemurah menafkahkan
kekayaannya untuk kepentingan agama Islam.
Utsman bin Affan lahir di Thalif pada tahun 576 M, yaitu tahun sesudah
peristiwa Gajah (al-Fil). Ia naik menjabat pada usia70 tahun, yaitu di dalam usia yang
sudah tua dan berkuasa dua belas tahun 23-35 H./ 644-656 M). Dan mangkat dalam usia
82 tahun. Pemilihan terhadap dirinya itu berlangsung pada penghujung bulan Zulhijjah
tahun 23 H/ 644 dan diresmikan pada awal Muharram 24 H/644 M. Utsman bin Affan,
seorang yang telah diberi kabar gembira serta jaminan masuk surga, iapun termasuk
orang yang memeluk Islam pada priode awal (As-Shabiqunal Awwalun). Ia juga satu-
satu orang yang diberikan karunia oleh Allah dengan menikahi dua orang putri rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam Ruqayah dan Ummi Kultsum karena itu ia terkenal dengan
Dzu Nur`ain ( yang memiliki dua cahaya). Dan sifatnya yang paling terkenal adalah ia
seorang yang pemalu hal ini sesuai dengan sabda nabi yang mensifatinya dengan
mengatakan ” Apakah aku tidak malu terhadap orang yang Malaikat saja malu
kepadanya”.
Utsman bin Affan, salah satu shahabat Nabi Muhammad SAW yang dikenal
sebagai khalifah Rasulullah yang ketiga. Pada masa Rasulullah masih hidup, Utsman
terpilih sebagai salah satu sekretaris Rasulullah sekaligus masuk dalam tim penulis
wahyu yang turun dan pada masa kekhalifahannya Al Quran dibukukan secara tertib.

1
Utsman bin Affan masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau adalah orang
pertama yang hijrah ke negeri Ethiopia bersama istrinya Ruqayah binti Rasulullah SAW, kemudian
kembali ke Makkah dan hijrah ke Madinah, beliau tidak dapat ikut serta pada perang Badar karena sibuk
mengurusi putri Rasulullah saw (istri beliau) yang sedang sakit. Jadi beliau hanya tinggal di Madinah.
Rasulullah saw memberikan bagian dari harta rampasan dan pahala perang tersebut kepada beliau dan
beliau dianggap ikutr serta dalam peperangan. Ketika istri beliau meninggal, Rasulullah saw
menikahkannya dengan adik istrinya yang bernama Ummu Kaltsum yang pada akhirnya juga meninggal
ketika masih menjadi istri beliau. Lihat, Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan Nihayah Masa Khulafa’ur Rasyidin,
(Jakarta: Darul Haq: 2002), hal. 6.

61
Kekerabatan Utsman dengan Muhammad Rasulullah bertemu pada urutan silsilah ‘Abdu
Manaf, Rasulullah berasal dari Bani Hasyim sedangkan Utsman dari kalangan Bani
Ummayah. Antara Bani Hasyim dan Bani Ummayah sejak jauh sebelum masa kenabian
Muhammad, dikenal sebagai dua suku yang saling bermusuhan dan terlibat dalam
persaingan sengit dalam setiap aspek kehidupan. Maka tidak heran jika proses masuk
Islamnya Utsman bin Affan dianggap merupakan hal yang luar biasa, populis, dan
sekaligus heroik.
Hal tersebut mengingat kebanyakan kaum Bani Ummayah, pada masa masuk
Islamnya Utsman, bersikap memusuhi Nabi dan agama Islam. Utsman Bin Affan terpilih
menjadi khalifah ketiga berdasarkan suara mayoritas dalam musyawarah tim formatur
yang anggotanya dipilih oleh Khalifah Umar Bin Khaththab menjelang wafatnya. Saat
menduduki amanah sebagai khalifah beliau berusia sekitar 70 tahun, Pada masa
pemerintahan beliau, bangsa Arab berada pada posisi permulaan zaman perubahan. Hal
ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi disebabkan aliran
kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring dengan semakin meluasnya wilayah
yang tersentuh syiar agama. Faktor-faktor ekonomi semakin mudah didapatkan.
Sedangkan masyarakat telah mengalami proses transformasi dari kehidupan bersahaja
menuju pola hidup masyarakat perkotaan.
Dalam manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota
keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian untuk
menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman
tersebut. Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagai
alasan motif nepotisme tersebut adalah Muawiyah bin Abu Sofyan, Abdullah bin Amar,
Walid bin Ukbah, Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah dan beberapa sahabat lainnya.
Pada sisi lain Khalifah dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian
dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin
Abu Sarah, kepada Mirwan bin Al Hakkam, dan kepada Al Harits Bin Al Hakam.
Dengan beberapa kebijakan itulah sehingga banyak kalangan yang menilai
kepemimpinan khalifah berbau nepotisme yang kemudian berkembang melakukan
langkah konspirasi untuk menjatuhkan khalifah Usman bin Affan, hingga akhirnya
sampai pada tahap pembunuhan.
Dari seluruh sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib adalah salah satu yang
pertama kali memeluk Islam dan berjuang menegakkannya bersama Rasulullah saw. Ia
memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Kedudukan ini sangat istimewa diberikan
Rasulullah saw. Bagi beliau, tingkat kesalehan dan kualitas amal para sahabat tersebut
tidak dapat disetarakan dengan siapa pun juga, meskipun yang dikerjakan generasi
berikutnya tampak lebih besar. Karenanya, Rasulullah saw. melarang mencibir dan
mencaci karya para sahabat utamanya itu.

62
Ali bin Abi Thalib adalah salah satu orang yang pertama kali beriman dengan
Rasulullah SAW meskipun dia saat itu masih kecil. Dia adalah putera Ali bin Abi Thalib
paman Rasulullah SAW dan dikawinkan dengan puterinya yang bernama Fatimah yang
dari pihak inilah Rasulullah memperoleh keturunan.
Ali semanjak kecilnya sudah dididik dengan adab dan budi pekerti Islam, dia
termasuk orang yang sangat fasih berbicara dan pengetahuannya juga tentang Islam
sangat luas sehingga tidak heran dia adalah salah satu periwayat yang terbanyak
meriwayatkan hadits Rasulullah SAW. Ali menggantikan kekhalifahan Usman bin Affan
yang telah meninggal sebelum jabatannya berakhir selama kurang lebih sekitar lima
tahun, setelah sebelumnya dilakukan bai’at, dia banyak melakukan perubahan hukum
ketatanegaraan seperti kebijakan tentang hak pertanahan, pembagian harta warisan
perang. Juga timbul bermacam-macam masalah yang dapat mempengaruhi kemajuan dan
kemunduran negara Islam.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai sejarah kemajuan dan kebijakan
politik pada masa khalifah Utsman bin Affan dan khalifah Ali bin Abi Thalib serta
kemunduran akibat pemberontakan-pemberontakan yang ditandai perang terbuka antar
umat Islam.

Riwayat Hidup Utsman bin Affan Dan Kepemimpinannya2


Utsman bin Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu
Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luwa’i bin Ghalib bin Fihr bin
Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin
Nizar bin Ma’addu bin ‘Adnan.
Abu Amr, Abu Abdullah al-Quraisy, al-Umawi Amirul mukminin Dzun Nurain
yang telah berhijrah dua kali dan suami dari dua orang putri Rasulullah saw. Ibu beliau
bernama Arwa binti Kuraiz bin Rabi’ah bin Hubaib bin Abdusy Syams dan neneknya
bernama Ummu Hakim Bidha’ binti Abdul Muththalib paman Rasulullah saw.3
Beliau salah seorang dari sepuluh sahabat yang diberitakan masuk surga dan
salah seorang anggota dari enam orang anggota Syura serta salah seorang dari tiga orang
kandidat khalifah dan akhirnya terpilih menjadi khalifah sesuai dengan kesepakatan

2
Utsman bin Affan bin Abu al ‘Ash bin Umayah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay al
Amawi al Qurasyi lahir pada tahun kelima dari kelahiran Rasulullah saw. Dikatakan, bahwa ia dilahirkan
enam tahun sesudah tahun gajah. Ibunya bernama Arwa binti Kuraiz bin Rabi’ah bin Habib bin Abdu
Syams. Sedangkan nenek dari ibunya bernama al-Baidha’ binti Abdul Muththalib, bibi Rasulullah saw,
yakni saudari kembaran Abdullah, ayah Rasulullah saw. Lihat, Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan
Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hal. 480.
3
Silsilah keluarga Utsman berjumpa dengan silsilah keluarga Nabi Muhammad pada moyang
terdekat, yaitu Abdul Manaf putra Qusshai. Dari putra-putra Abdul Manaf lahir keluarga Naufal dan
keluarga Abdu Syam dan keluarga Hasyimi. Dan dari putra Abdu Syam itulah lahir keluarga Umayah. Lihat,
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 323.

63
kaum Muhajirin dan Anshar, juga merupakan khulafaur Rasyidin yang ketiga, imam
mahdiyin yang diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka.

Proses Kekhalifahan Ustman Bin Affan


Pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab, tepatnya ketika beliau sakit
dibentuklah dewan musyawarah yang terdiri dari Ali bin Abi Thalib, Ustman bin Affan,
Sa’ad bin Abi Waqas, Thalha bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Abdur Rahman bin
Auf. Salah seorang putra Umar, Abdullah ditambahkan pada komisi di atas tetapi hanya
punya hak pilih dan tidak berhak dipilih.
Dewan tersebut dikenal dengan sebutan Ahlul Halli wal Aqdi dengan tugas
pokok menentukan siapa yang layak menjadi penerus Khalifah Umar bin Khattab dalam
memerintah umat Islam. Suksesi pemilihan Khalifah ini dimaksudkan untuk menyatukan
kembali kesatuan umat Islam yang pada saat itu menunjukkan adanya indikasi
disintegrasi.
Sahabat-sahabat yang tergabung dalam dewan, posisinya seimbang tidak ada
yang lebih menonjol sehingga cukup sulit untuk menetapkan salah seorang dari mereka
sebagai pengganti Umar. Tidaklah heran bila dalam sidang terjadi tarik ulur pendapat
yang sangat alot, walau pada akhirnya, mereka memutuskan Ustman bin Affan sebagai
khalifah setelah Umar bin Khattab.4

Kepemimpinan dan Tindakan Khalifah Utsman Bin Affan


Setelah Khalifah Umar bin Khattab berpulang ke rahmatullah terdapat daerah-
daerah yang membelot terhadap pemerintah Islam. Pembelotan tersebut ditimbulkan oleh

4
Diantara kelima calon hanya Tholhah yang sedang tidak berada di Madinah ketika terjadi
pemilihan. Abdurahman Ibn Auf mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan musyawarah pemilihan
Khalifah pengganti Umar. Ia meminta pendapat masing-masing nominasi. Saat itu, Zubair dan Ali
mendukung Ustman. Sedangkan Ustman sendiri mendukung Ali, tetapi Ali menyatakan dukungannya
terhadap Ustman. Kemudian Abdurahman bin Auf mengumpulkan pendapat-pendapat sahabat besar
lainnya. Akhirnya suara mayoritas menghendaki dan mendukung Ustman. Lalu ia dinyatakan resmi
sebagai Khalifah melalui sumpah, dan baiat seluruh umat Islam. Pemilihan itu berlangsung pada bulan
Dzul Hijjah tahun 23 H atau 644 M dan dilantik pada awal Muharram 24 H atau 644 M. Ketika Tholhah
kembali ke Madinah Ustman memintanya menduduki jabatannya, tetapi Tholhah menolaknya seraya
menyampaikan baiatnya. Demikian proses pemilihan Khalifah Ustman bin Affan berdasarkan suara
mayoritas. Terpilihnya Ustman sebagai Khalifah ternyata melahirkan perpecahan dikalangan
pemerintahan Islam. Pangkal masalahnya sebenarnya berasal dari persaingan kesukuan antara bani
Umayyah dengan bani Hasyim atau Alawiyah yang memang bersaing sejak zaman pra Islam. Oleh karena
itu, ketika Ustman terpilih masyarakat menjadi dua golongan, yaitu golongan pengikut Bani Ummayah,
pendukung Ustman dan golongan Bani Hasyim pendukung Ali. Perpecahan itu semakin memuncak
dipenghujung pemerintahan Ustman, yang menjadi simbol perpecahan kelompok elite yang
menyebabkan disintegrasi masyarakat Islam pada masa berikutnya. Lihat, A. Hafidz Dasuki, MA
(Pimred).et.all. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1997). h. 243.

64
pendukung-pendukung pemerintahan yang lama (pemerintahan sebelum daerah itu
masuk ke daerah kekuasaan Islam) ingin hendak mengembalikan kekuasaannya.
Sebagaimana yang dilakukan oleh kaisar Yazdigard yang berusaha menghasut kembali
masyarakat Persia agar melakukan perlawanan terhadap penguasa Islam. Akan tetapi
dengan kekuatannya, pemerintahan Islam berhasil memusnahkan gerakan
pemberontakan sekaligus melanjutkan perluasan ke negeri-negeri Persia lainnya,
sehingga beberapa kota besar seperti Hisrof, Kabul, Gasna, Balkh dan Turkistan jatuh
menjadi wilayah kekuasaan Islam.
Adapun daerah-daerah lain yang melakukan pembelotan terhadap pemerintahan
Islam adalah Khurosan dan Iskandariyah. Khalifah Utsman mengutus Sa’ad bin al-Ash
bersama Khuzaifah Ibnu al-Yamaan serta beberapa sahabat Nabi lainnya pergi ke negeri
Khurosan dan sampai di Thabristan dan terjadi peperangan hebat, sehingga penduduk
mengaku kalah dan meminta damai. Tahun 30 H/ 650 M pasukan Muslim berhasil
menguasai Khurazan.
Selain itu, Khalifah Ustman bin Affan juga mengutus Salman Robiah Al-Baini
untuk berdakwah ke Armenia. Ia berhasil mengajak kerjasama penduduk Armenia, bagi
yang menentang dan memerangi terpaksa dipatahkan dan kaum muslimin dapat
menguasai Armenia. Perluasan Islam memasuki Tunisia (Afrika Utara) dipimpin oleh
Abdullah bin Sa‘ad bin Abi Zarrah. Tunisia sebelum kedatangan pasukan Islam sudah
lama dikuasai Romawi. Tidak hanya itu saja pada saat Syiria bergubernurkan Muawiyah,
ia berhasil menguasai Asia kecil dan Cyprus.
Dimasa pemerintahan Utsman, negeri-negeri yang telah masuk ke dalam
kekuasaan Islam antara lain: Barqoh, Tripoli Barat, sebagian Selatan negeri Nubah,
Armenia dan beberapa bagian Thabaristan bahkan tentara Islam telah melampaui sungai
Jihun (Amu Daria), negeri Balkh (Baktria), Hara, Kabul dan Gzaznah di Turkistan. Jadi
6 tahun pertama pemerintahan Ustman bin Affan ditandai dengan perluasan kekuasaan
Islam. Perluasan dan perkembangan Islam pada masa pemerintahannya telah sampai
pada seluruh daerah Persia, Tebristan, Azerbizan dan Armenia selanjutnya meluas pada
Asia kecil dan negeri Cyprus, serta Rhodes dan Trasoxania. Atas perlindungan pasukan
Islam, masyarakat Asia kecil dan Cyprus dan lainnya bersedia menyerahkan upeti
sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya pada masa kekuasaan Romawi atas
wilayah tersebut.

Konflik dan Kemelut Politik Islam Hingga Akhir Hayatnya


Pemerintahan Ustman berlangsung selama 12 tahun. Pada masa awal
pemerintahannya, beliau berhasil memerintahan Islam dengan baik sehingga Islam
mengalami kemajuan dan kemakmuran dengan pesat. Namun pada paruh terakhir masa
kekhalifahannya muncul perasaan tak puas dan kecewa umat Islam terhadapnya.
Khalifah Ustman adalah pemimpin yang sangat sederhana, berhati lembut dan sangat

65
shaleh, sehingga kepemimpinan beliau dimanfaatkan oleh sanak saudaranya dari
keluarga besar Bani Umayah untuk menjadi pemimpin di daerah-daerah.5
Dalam kenyataannya, menurut Mufradi, satu persatu kepemimpinan di daerah-
daerah kekuasaan Islam diduduki oleh keluarga Khalifah Ustman. Adapun pejabat-
pejabat yang diangkat Ustman antara lain:
1. Abdullah bin Sa‘ad (saudara susuan Ustman) sebagai wali Mesir menggantikan
Amru bin Ash.
2. Abdullah bin Amir bin Khuraiz sebagai wali Basrah menggantikan Abu Musa Al-
Asyari.
3. Walid bin Uqbah bin Abi Muis (saudara susuan Ustman) sebagai wali Kufah
menggantikan Sa‘ad bin Abi Waqos.
4. Marwan bin Hakam (keluarga Ustman ) sebagai sekretaris Khalifah Ustman.
Pengangkatan pejabat dikalangan keluarga oleh Khalifah Ustman telah
menimbulkan protes keras di daerah dan menganggap Ustman telah melakukan
nepotisme.6 Menurut Ali, protes orang dengan tuduhan nepotisme tidaklah beralasan
karena pribadi Ustman itu bersih. Pengangkatan kerabat oleh Ustman bukan tanpa
pertimbangan. Hal ini ditunjukkan oleh jasa yang dibuat oleh Abdullah bin Sa‘ad dalam
melawan pasukan Romawi di Afrika Utara dan juga keberhasilannya dalam mendirikan
angkatan laut. Ini menunjukkan Abdullah bin Sa’ad adalah orang yang cerdas dan cakap,
sehingga pantas menggantikan Amr ibn ‘Ash yang sudah lanjut usia. Hal lain
ditunjukkan ketika diketahui Walid bin Uqbah melakukan pelanggaran berupa mabuk-
mabukkan, ia dihukum cambuk dan diganti oleh Sarad bin Ash. Hal tersebut tidak akan
dilakukan oleh Ustman, kalau beliau hanya menginginkan kerabatnya duduk di
pemerintahan.
Penyebab utama dari semua protes terhadap Khalifah Ustman adalah diangkatnya
Marwan ibnu Hakam, karena pada dasarnya dialah yang menjalankan semua roda
pemerintahan, sedangkan Ustman hanya menyandang gelar Khalifah.
Rasa tidak puas memuncak ketika pemberontak dari Kufah dan Basrah bertemu dan
bergabung dengan pemberontak dari Mesir. Wakil-wakil mereka menuntut diangkatnya
Muhammad Ibnu Abu Bakar sebagai Gubernur Mesir.
Tuntutan dikabulkan dan mereka kembali. Akan tetapi di tengah perjalanan
mereka menemukan surat yang dibawa oleh utusan khusus yang isinya bahwa wakil-
5
Oleh karena itu, orang-orang menuduh Khalifah Ustman melakukan nepotisme, dengan
mengatakan bahwa beliau menguntungkan sanak saudaranya Bani Umayyah, dengan jabatan tinggi dan
kekayaannya. Mereka juga menuduh pejabat-pejabat Umayyah suka menindas dan menyalahkan harta
baitul maal. Disamping itu Khalifah Utsman dituduh sebagai orang yang boros mengeluarkan belanja, dan
kebanyakan diberikan kepada kaum kerabatnya sehingga hampir semuanya menjadi orang kaya. Lihat,
Op.Cit, h. 245.

6
Abu A’la Al Maududi. Khilafah dan Kerajaan. Terj. Al Baqir. (Bandung: Mizan, 1984), h.120.

66
wakil itu harus dibunuh ketika sampai di Mesir. Yang menulis surat tersebut menurut
mereka adalah Marwan ibn Hakam.
Mereka meminta Khalifah Ustman menyerahkan Marwan, tetapi ditolak oleh
Khalifah. Ali bin Abi Tholib mencoba mendamaikan tapi pemberontak berhasil
mengepung rumah Ustman dan membunuh Khalifah yang tua itu ketika membaca al-
Qur’an pada 35 H/17 Juni 656 M. Pembunuhan ini menimbulkan berbagai gejolak pada
tahun-tahun berikutnya, sehingga bermula dari kejadian ini dikenal sebutan al-bab al-
maftukh (terbukanya pintu bagi perang saudara).7
Ibnu Saba’, nama lengkapnya Abdullah bin Saba’, adalah seorang Yahudi dari
Yaman yang masuk Islam. Ia merupakan provokator yang berada di balik
pemberontakan terhadap Khalifah Ustman bin Affan. Ibnu Saba’ melakukan semuanya
itu didasarkan motivasi dirinya untuk meruntuhkan dasar-dasar Islam yang telah
dipegang teguh oleh umat Islam. Niatnya masuk Islam hanyalah sebagai kedok belaka
untuk merongrong kewibawaan pemerintahan Khalifah Ustman, sehingga muncullah
kerusuhan yang terjadi di berbagai wilayah kekuasaan Islam di antaranya adalah Fustat
(Kairo), Kufah, Basrah, dan Madinah.
Selain faktor dari luar tersebut (provokasi dari Ibnu Saba’), dalam internal
kekhalifahan Ustman bin Affan terdapat konfrontasi lama yang mencuat kembali.
Permasalahan tersebut semata-mata berupa persaingan yang di antara Bani Hasyim dan
Bani Umayyah. Sedangkan Ustman sendiri merupakan salah satu anggota dari keluarga
besar Bani Umayyah. Pada konteks sejarahnya, Bani Hasyim sejak dahulu berada di atas
Bani Umayyah terutama pada masalah-masalah perpolitikan orang-orang Quraisy.

Dugaan Nepotisme Usman bin Affan


Mengetengahkan kembali kronologi seputar pemerintahan Utsman Bin Affan,
bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terutama apabila dikaitkan dengan
ketersediaan data dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Upaya memojokkan
pemerintahan Utsman sebagai rezim nepotis sendiri hanya berangkat dari satu sudut
pandang dengan argumentasi mengungkap motif social-politik belaka. Lebih dari itu
lebih banyak berkutat dalam dugaan dan produk kreatif imajinatif. Sumber data yang
tersedia kebanyakan didominasi oleh naskah yang ditulis pada masa dinasti Abbasiyah,
yang secara politis telah menjadi rival bagi Muawiyah, keluarga, dan sukunya, tidak
terkecuali khalifah Utsman Bin Affan. Oleh karena itu kesulitan pertama yang harus

7
Sebenarnya kronologi pembunuhan Ustman yang bermotif politik itu lebih berpengaruh
terhadap lembaran sejarah Islam dibandingkan dengan sejarah-sejarah Islam yang lainnya. Kesatuan
umat Islam yang baru terbentuk oleh dua Khalifah pendahulunya mulai sirna dan keruwetan muncul di
tengah-tengah umat Islam. Selanjutnya masyarakat Muslim terpecah menjadi dua golongan yaitu
Umaiyah dan Hasyimiyah. Golongan Umaiyah menuntut pembalasan atas darah Ustman sepanjang
pemerintahan Ali hingga terbentuknya Dinasti Umaiyah”. Lihat, Op.Cit, h. 246.

67
dihadapi adalah menyaring data-data valid diantara rasionalisasi kebencian dan
permusuhan yang menyelusup di antara input data yang tersedia.
Dakwah Islam pada masa awal kekhilafahan Utsman Bin Affan menunjukkan
kemajuan dan perkembangan signifikan melanjutkan estafet dakwah pada masa khalifah
sebelumnya. Wilayah dakwah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan
Tripoli sampai Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagian Asia Kecil. Di
timur laut sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan sekarang),
serta Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan laut
yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah.
Peristiwa ini merupakan kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran dilautan.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa di atas, Utsman mengangkat anggota
keluarganya sebagi pejabat public. Di antaranya adalah Muawiyah Bin Abu Sufyan.
Sosok Muawiyah dikenal sebagai politisi piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa
Arab.8 Yang telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa khalifah
Umar Bin Khaththab. Muawiyyah tercatat menunjukkan prestasi dan keberhasilan dalam
berbagi pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah adalah
sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa khalifah Umar
maupun Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas tidak bisa masuk
melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab beliau telah diangkat sebagai gubernur sejak
masa Umar. Belum lagi prestasinya bukannya mudah dianggap ringan.
Oleh karenanya tuduhan nepotisme9 terhadap kepemimpinan Usman bin Affan
hanyalah entrik politik oleh para pesaingnya yang juga memiliki kepentingan kekuasaan,

8
Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA (Pimred).et.all. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve,1997). h. 247.
9
Selanjutnya penggantian Gubernur Basyrah Abu Musa al Asyari dengan Abdullah Bin Amir,
sepupu Utsman juga sulit dibuktikan sebagi tindakan nepotisme. Proses pergantian pimpinan tersebut
didasarkan atas aspirasi dan kehendak rakyat Basyrah yang menuntut Abu Musa al Asyari meletakkan
jabatan. Oleh rakyat Basyrah, Abu Musa dianggap terlalu hemat dalam membelanjakan keuangan Negara
bagi kepentingan rakyat dan bersikap mengutamakan orang Quraisy dibandingkan penduduk pribumi.
Pasca menurunkan jabatan Abu Musa, khalifah Utsman menyerahkan sepenuhnya urusan pemilihan
pimpinan baru kepada rakyat Basyrah. namun pilihan rakyat tersebut justru dianggap gagal menjalankan
roda pemerintahan dan dinilai tidak cakap oleh rakyat Basyrah yang memilihnya sendiri. Maka kemudian
secara aklamasi rakyat menyerahkan urusan pemerintahan kepada khalifah dan meminta beliau
menunjuk pimpinan baru bagi wilayah Basyrah. Maka kemudian khalifah Utsman menunjuk Abdullah Bin
Amir sebagai pimpinan Basyrah dan rakyat setempat menerima pimpinan dari khalifah tersebut. Abdullah
Bin Amir sendiri telah menunjukkan reputasi cukup baik dalam penaklukan beberapa daerah
Persia.Dengan demikian nepotisme kembali belum terbukti melalui penunjukan Abdullah Bin Amir.
Sementara itu di Kuffah, terjadi pemecatan atas Mughirah Bin Syu’bah karena beberapa kasus yang
dilakukannya. Pemecatan ini sebenarnya atas perintah khalifah Umar Bin Khaththab namun baru
terealisasi pada masa khalifah Utsman. Penggantinya, Sa’ad Bin Abu Waqqash, juga diberhentikan oleh
khalifah Utsman akibat penyalah gunaan jabatan dan kurang transparansinya urusan keuangan daerah.

68
hal tersebut telihat dari adanya reaksi-reaksi mereka yang sengaja mengeruhkan suasana
agar pemerintahan dalam keadaan goyang, sembari mencari titik kelemahan yang
dimiliki oleh khalifah Usman bin Affan.
Pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidun, setiap daerah menikmati otonomi
penuh, kecuali dalam permasalah keuangan tetap terkait dan berada dibawah koordinasi
Bendahara pemerintah Pusat. ‘Amil (pengepul zakat, semacam bendahara) Kuffah saat
itu, Abdullah Bin Mas’ud, dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan atas peristiwa
tersebut. Abdullah Bin Mas’ud sendiri akhirnya juga dipecat akibat peristiwa tersebut.
Perlu diketahui, Abdullah Bin mas’ud termasuk keluarga dekat dan sesuku dengan
Khalifah Utsman. Pengganti Sa’ad Bin Abu Waqqash adalah Walid Bin Uqbah, saudara
sepersusuan atau dalam sumber lain saudara tiri khalifah Utsman. Namun karena Walid
memiliki tabiat buruk (suka minum khamr dan berkelakuan kasar), maka khalifah
Utsman memecatnya dan menyerahkan pemilihan pimpinan baru kepada kehendak
rakyat Kuffah. Sebagaimana kasus di Basyrah, gubernur pilihan rakyat Kuffah tersebut
terbukti kurang cakap menjalankan pemerintahan dan hanya bertahan selama beberapa
bulan. Atas permintaan rakyat, pemilihan gubernur kembali diserahkan kepada khalifah.
Ustman Bin Affan kemudian mengangkat Sa’id Bin ‘Ash, kemenakan Khalid Bin Walid
dan saudara sepupu Utsman, sebagai gubernur Kuffah, karena dianggap cakap dan
berprestasi dalam penaklukan front utara, Azarbaijan.10[10] Namun terjadi konflik antara
Sa’id dengan masyarakat setempat sehingga khalifah Utsman berfikir ulang terhadap
penempatan sepupunya tersebut. Maka kemudian Sa’ad digantikan kedudukannya oleh
Abu Musa Al Asy’ari, mantan gubernur Basyrah. Namun stabilitas Kuffah sukar
dikembalikan seperti semula sampai peristiwa tewasnya sang khalifah. Meskipun
demikian nepotisme dalam frame makna negative kembali sukar dibuktikan.
Sedangkan di Mesir, Ustman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr Bin
Ash selaku gubernur dan Abdullah Bin Sa’ah Bin Abu Sarah selaku ‘Amil. Laporan
Amil dinilai timpang sedangkan Amr dianggap telah gagal melakukan pemungutan
Pajak. Padahal negara sedang membutuhkan pendanaan bagi pembangunan armada laut
guna menghadapi serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr Bin
Ash menjadi gubernur Mesir sekaligus diberi jabatan baru sebagai panglima perang.
Namun Amr menolak perintah khalifah tersebut dengan kata-kata yang kurang berkenan
di hati sang khalifah (perkataan kasar).
Maka kemudian Amr Bin Ash dipecat dari jabatannya. Sedangkan Abdullah Bin
Sa’ah Bin abu sarah diangkat menggantikannya sebagai gubernur. Namun kebijakan
gubernur baru tersebut dalam bidang agraria kurang disukai rakyat sehingga menuai

Salah satu kasusnya, Sa’ad meminjam uang dari kas propinsi tanpa melaporkannya kepada pemerintah
pusat. Lihat, Ibid,h. 248.

10
Nourouzzaman Shiddiqi. Menguak Sejarah Muslim. (Yogyakarta: PLP2M,1984). h. 80

69
protes terhadap khalifah Utsman. Dari peristiwa inilah akhirnya muncul isu nepotisme
dalam pemerintahan Utsman. Isu yang beredar dari Mesir ini pada akhirnya
menyebabkan khalifah terbunuh.11
Salah satu bukti penguat isu nepotisme yang digulirkan adalah diangkatnya
Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai sekretaris Negara. Namun
tuduhan ini pada dasarnya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang
dicari-cari. Marwan Bin Hakam sendiri adalah tokoh yang memiliki integritas sebagai
pejabat Negara disamping dia sendiri adalah ahli tata negara yang cukup disegani,
bijaksana, ahli bacaan Al Quran, periwayat hadits, dan diakui kepiawaiannya dalam
banyak hal serta berjasa menetapkan alat takaran.12
Dengan demikian terbukti bahwa Khalifah Utsman Bin Affan tidak melalukan
nepotisme dan praktek korupsi selama masa kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan
pengakuan khalifah Utsman sendiri dalam salah satu khotbahnya yang menyatakan, “
Mereka menuduhku terlalu mencintai keluargaku. Tetapi kecintaanku tidak membuatku
berbuat sewenang-wenang. Bahkan aku mengambil tindakan-tindakan (kepada
keluargaku) jikalau perlu. Aku tidak mengambil sedikit pun dari harta yang merupakan
hak kaum muslimin. Bahkan pada masa Nabi Muhammad pun aku memberikan
sumbangan-sumbangan yang besar, begitu pula pada masa khalifah Abu Bakar dan pada
masa khalifah Umar.
Dalam khutbahnya tersebut khalifah Utsman juga menyatakan sebuah bukti kuat
tentang kekayaan yang masih dimilikinya guna membantah isu korupsi sebagai berikut,
“Sewaktu aku diangkat menjabat khilafah, aku terpandang seorang yang paling kaya di
Arabia, memiliki ribuan domba dan ribuan onta. Dan sekarang ini (setelah 12 tahun
menjabat khilafah), manakah kekayaanku itu ? Hanya tinggal ratusan domba dan dua
ekor unta yang aku pergunakan untuk kendaraan pada setiap musim haji”.

Sebab-sebab Pemberontakan Terhadap Khalifah Utsman bin Affan


Sebab-sebab terjadinya pemberontakan yang berakhir dengan terbunuhnya
Khalifah Usman dapat diteliti dari beberapa segi. Pertama, bahwa di tengah-tengah
masyarakat terdapat sejumlah kelompok yang memeluk Islam tidak dengan sepenuh
kesadaran tetapi melainkan untuk kepentingan tertentu seperti Abudullah ibn Saba’,
orang Yaman yang semula pemeluk agama Yahudi. Mereka ini menyebarkan hasutan
terhadap Usman. Keberhasilan propaganda jahat Abdullah ibn Saba’ membuat jumlah
kekuatan pemberontak bertambah banyak.

11
A. Hafidz Dasuki, MA. (Pimred) et all. Ensiklopedi Islam. Jilid V. Cetakan IV. (Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997). h. 143
12
Musthafa Dieb Al Bigha. Fiqih Islam. Terjemah : Ahmad Sunarto dari At Tadzhib Fil Adillati Matnil
Ghayyah wa Taqrib. (Surabaya: Insan Amanah, 2004). h. 444-450. Juga H. Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam.
Cetakan XXIII. (Bandung: Sinar Baru,1990). h. 426-427

70
Kedua, persaingan dan permusuhan antara keluarga Hasyim dan keluarga
Umayyah turut memperlemah kekuatan Usman. Sebelum Nabi Muhammad lahir telah
berlangsung persaingan kedua keturunan yang masih bersaudari ini. Pada masa
pemerintahan Usman benih kebencian ini tumbuh kembali.
Ketiga, lemahnya karakter kepemimpinan Usman turut pula menyokongnya,
khususnya dalam menghadapi gejolak pemberontakan. Bahwa Usman adalah pribadi
yang yang sederhana dan sikap lemah lembut sangat tidak sesuai dalam urusan politik
dan pemerinthan, lebih-lebih lagi dalam kondisi yang kritis. Pada kondisi yang demikian
dibutuhkan sikap yang tegas untuk menegakkan stabilitas pemerintahan. Sikap seperti ini
tidak dimiliki oleh Usman. Pada beberapa kasus ia terlalu mudah untuk memaafkan
orang lain sekalipun musuhnya sendiri yang membahayakan.
Sikap lemah-lembut ini mendorong pihak-pihak yang bermaksud jahat
melancarkan maksudnya. Dengan sikapnya karakter Usman yang seperti itulah akhirnya
pada tanggal 17 Juni 656 M Usman dibunuh dengan cara ditikam oleh gerombolan
pemberontak yang tiba-tiba datang mengepung rumah khalifah Usman pada saat ketiak
beliau sedang membaca Alquran. Pembunuhan yang bermotif politik atas diri Khalifah
Usman membawa dampak yang panjang terhadapsejarah Islam sesudahnya.

Ali Bin Abi Thalib Dan Kepemimpinannya


Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hijaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13
Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian
Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya
bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Rasulullah SAW masih
diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang
berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun. Beliau bernama asli Haydar
bin Abu Thalib, paman Rasulullah SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan
keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani
dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang
baru lahir diberi nama Haydar, Rasulullah SAW terkesan tidak suka, karena itu mulai
memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).13
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Rasulullah
SAWkarena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu
Thalib memberi kesempatan bagi Rasulullah SAW bersama istri beliau Khadijah
untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk
membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil
hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad. Ketika
Rasulullah SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq
13
Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan Nihayah Masa Khulafa’ur Rasyidin, (Jakarta: Darul Haq: 2002), hal.
6.

71
menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang
ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada saat itu Ali berusia sekitar
10 tahun.14
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari
Rasulullah SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan
Rasulullah dan mengawinkannya dengan putri Beliau yang bernama Fatimah. Hal
inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran
tertentu masalah ruhani atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang
diajarkan Rasulullah khusus kepada Ali tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-
sahabat yang lain.15
Bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur
ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Rasulullah harus disampaikan
dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan
kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing. Didikan langsung dari
Rasulullah SAW kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir
(exterior)atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi
seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak, fasih dalam berbicara, dan
salah satu orang yang paling banyak meriwayatkan hadits Rasulullah SAW.16
Selain itu Ali adalah orang yang sangat berani dan perkasa dan selalu hadir
pada setiap peperangan karena itu dia selalu berada di barisan paling depan pada
setiap peperangan yang dipimpin Rasulullah.

Pembaiatan Ali Bin Abi Thalib Sebagai Khalifah Dan Kemajuan Yang Dicapai
Setelah terbunuhnya Utsman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk
dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi
orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan
rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah
perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para
pejuang Perang Badr.17
Sebenarnya Ali bin Abi Thalib pernah masuk masuk nominasi pada saat
pemilihan khalifah Usman bin Affan, tetapi saat itu dia masih dianggap sangat muda.
Dengan terbaiatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah menggantikan
Usman bin Affan, sebagian orang yang masih terpaut keluarga Usman mulai
beranggapan bahwa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib akan mengurangi kesenangan

14
Ibid
15
Ibid
16
Syalabi, A, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1982, h.281
17
Ibid, h.284

72
mereka apalagi untuk memperoleh kekayaan yang dapat mereka lakukan
sebelumnya.
Ali Terpilih menjadi khalifah sebenarnya menimbulkan pertentangan dari
pihak yang ingin menjadi khalifah dan dituduh sebagai orang yang bertanggung
jawab atas terbunuhnya khalifah Usman bin Affan.18
Bila pemerintahan dipegang oleh Ali, maka cara-cara pemerintahan Umar
yang keras dan disiplin akan kembali dan akan mengancam kesenangan dan
kenikmatan hidup dimasa pemerintahan Usman bin Affan yang mudah dan lunak
menjadi keadaan yang serba teliti, dan serba diperhitungkan, hingga banyak yang
tidak menyukai Ali. bagi kaum Umaiyah sebagai kaum elit dan kelas atas dan
khawatir atas kekayaan dan kesenangan mereka akan lenyap karena keadilan yang
akan dijalankan Ali.19
Dalam menjalankan kepemerintahan Ali melakukan kebijakan politik seperti
sebagai berikut:
1. Menegakkan hukum finansial yang dinilai nepotisme yang hampir menguasai
seluruh sektor bisnis.
2. Memecat Gubernur yang diangkat Usman bin Affan dan menggantinya dengan
gubernur yang baru
3. Mengambil kembali tanah-tanah negara yang dibagi-bagikan Usman bin Affan
kepada keluarganya, seperti hibah dan pemberian yang tidak diketahui alasannya
secara jelas dan memfungsikan kembali baitul maal.20
Meskipun dalam pemerintahan Ali perluasan Islam yang dilakukan sedikit
mengalami kendala yaitu hanya memperkuat wilayah Islam di daerah pesisir Arab
dan masih tetap peranan penting negara Islam di daerah yang telah ditaklukkan Abu
Bakar di daerah Yaman, Oman, Bahrain, Iran Bagian Selatan. Umar bin Khattab di
Persia, Syiria, Pantai Timur Laut Tengah dan Mesir. Serta pada masa Usman di
Sijistan, Khurasa, Azarbaijan, Armenia hingga Georgia.21
Ali bin Abi Thalib juga dikenal juga seorang penyair ternama. Seperti syair
berikut:
“Janganlah kamu berlaku aniaya jika kamu mampu berlaku adil, karena
tindak aniaya akan berujung pada ....., 22
Syair-syair Ali akhirnya dibukukan dalam kitab Nahj Al-Balaghah.

18
Hadariansyah AB, Pemikiran-Pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, Antasari Press,
Banjarmasin, 2008, h. 13
19
Syalabi, Loc. Cit. h. 283
20
Ibid, 284-285 juga di dapat penjelasan lebih lanjut oleh Marshall GS Hudgson, The Venture of
Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Paramadina, Jakarta, 1999,
h. 312
21
As’ari, Hasan, Menguak Syarah Mencari Ibrah, Citapustaka Media, Bandung, 2006, h. 253.
22
Mursi, Syeikh Muhammad Sa’id, Tokoh-Tokoh Islam Sepanjang Sejarah, Terj. Khoiril Amru
Harahap, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2007, h. 22

73
Masa pemerintahan Ali yang kurang lebih selama lima tahun (35-40 H/656-
661 M) tidak pernah sunyi dari pergolakan politik, tidak ada waktu sedikitpun dalam
pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Akhirnya praktis selama memerintah,
Ali lebih banyak mengurus masalah pemberontkan di berbagai wilayah
kekuasaannya. Ia lebih banyak duduk di atas kuda perang dan di depan pasukan yang
masih setia dan mempercayainya dari pada memikirkan administrasi negara yang
teratur dan mengadakan ekspansi perluasan wilayah (futuhat). Namun demikian, Ali
berusaha menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan egaliter. Ia ingin
mengembalikan citra pemerintahan Islam sebagaimana pada masa Abu Bakar dan
Umar sebelumnya.
Sebenarnya pembaiatan Ali sebagai khalifah adalah hal yang sangat wajar
dan pertentangan itu adalah hal yang wajar pula sebagai akibat pertentangan dan
peristiwa-peristiwa sebelumnya karena untuk memperebutkan kekuasaan yang
diselingi kasus penuntutan atas terbunuhnya Usman dan juga pemecatan-pemecatan
pejabat serta pengembalian harta milik yang tidak jelas.

Pemberontakan Terhadap Khalifah Ali Bin Abi Thalib


Kaum pemberontak tidak punya pilihan lain kecuali mengangkat Ali karena
ia adalah orang yang paling bijaksana di kalangan semua suku. Ali memang tidak
diragukan lagi yang mempunyai integritas tinggi dan kapasitas intelektual yang
memadai, namun demikian politik bukanlah keahliannya, sehingga sebagai
lawanannya Muawiyah sebagai seorang politisi murni yang juga sebagai gubenur
Syiria memang sangat berambisi menjadi khalifah dan sebagai politisi ia dapat
mencari cara apa saja untuk menduduki khalifah.
Ali tahu bahwa Mu’awiyah sangat ambisius dan terlebih lagi pernah
diangkat oleh pendahulunya (Usman) yang mana kebijakan-kebijakan yang
ditempuhnya sering berbeda dengan Ali. Sebagai khalifah Ali bin Abi Thalib
mempunyai wewenang yang penuh untuk menentukan bawahannya dan mencari
yang loyal dengan kepemimpinannya. Oleh karena itu dia memecat Muawiyah yang
pada saat itu telah berhasil membangun syiria menjadi kota menjadi kota yang sangat
strategis dan memiliki tentara yang cukup loyal kepada Muawiyah . hal ini membuat
tidak tinggal diam dan ingin melakukan pemberontakan.23
Meskipun Muawiyah tahu bahwa Ali bin Abi Thalib bukanlah orang yang
patut disalahkan dalam hal kematian khalifah Usman bin Affan dan tidaklah mencari
para pelakunya dan menghukum mereka. Padahal Muawiyah sebenarnya tidak

23
Engineer, Asghar Ali, Asal Usul dan Perkembangan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h.
259

74
sebenarnya berminat menuntuk kematian Usman bin Affan kecuali sebagai pemicu
untuk memberontak terhadap Ali.24
Kejadian pembunuhan Usman hanyalah permulaan salah satu fitnah yang
besar pengaruhnya pada skisme dalam Islam. Menurut ahli sejarah Islam pembunuh
itu atau simpatisan menjadi sponsor pengangkatan Ali sebagai khalifah.25
Kondisi masyarakat yang sudah terjerumus pada kekacauan dan tidak
terkendali lagi, menjadikan usahanya tidak banyak berhasil.Terhadap berbagai
tindakan Ali setelah menjadi khalifah, para sahabat senior sebenarnya pernah
memberikan masukan dan pandangan kepada Ali. Tetapi Ali menolak pendapat
mereka dan terlalu yakin dengan pendiriannya. Dalam masalah pemecatan gubernur,
misalnya, Mughirah ibn Syu’bah, Ibnu Abbas, dan Ziyad ibnu Handzalah menasehati
Ali, bahwa mereka tidak usah dipecat selama menunjukan kesetiaan padanya.
Pemecatan ini akan membawa implikasi yang besar bagi resistensi mereka terhadap
Ali.26
Marshall GS. Hudgson memaparkan:”Setelah itu dua lusin tahun setelah
wafatnya Muhammad, mulailah suatu periode fitnah (yang berlangsung selama lima
tahun). Yang makna harfiahnya ”godaan” atau ”cobaan-cobaan”, suatu masa perang
saudara untuk menguasai komunitas muslim dan teritori-teritori taklukannya yang
luas”.27
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, masa pemerintahan Ali tidak terlepas
dari berbagai macam pemberontakan. Ali berusaha memadamkan bentuk perlawanan
dan pemberontakan sesama muslim tersebut yang di dalamnya terlibat para sahabat
senior. Perang saudara yang terjadi pada masa Ali yang tercatat dalam lembaran
hitam sejarah Islam dan menjadi suatu kemunduran pergerakan Islam

Perang Jamal/Onta
Dinamakan perang Jamal, karena dalam peristiwa tersebut, janda Rasulullah
SAW dan putri Abu Bakar Shiddiq, Aisyah ikut dalam peperangan dengan
mengendarai unta. Perang ini berlangsung pada lima hari terakhir Rabi’ul Akhir
tahun 36H/657M. Ikut terjunnya Aisyah memerangi Ali sebagai khalifah dipandang
sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang menghubungkan perang ini dengan
Aisyah dan untanya, walaupun menurut sementara ahli sejarah peranan yang
dipegang Aisyah tidak begitu dominan.

24
Ibid, h. 260
25
Rachman, Budhi Munawwar, Ensiklopedi Nur Cholish Majid, Mizan, 2006, h.146-147
26
Syalabi, Ibid, h 285
27
Hudgson, Marshall GS, The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Terj.
Mulyadi Kartanegara, Paramadina, Jakarta, 1999, h. 309

75
Keterlibatan Aisyah pada perang ini pada mulanya menuntut atas kematian
Utsman bin Affan terhadap Ali, sama seperti yang dituntut Thalhah dan Zubair ketika
mengangkat bai’at pada Ali. Setelah itu Aisyah pergi ke Mekkah kemudian disusul
oleh Thalhah dan Zubair. Ketiga tokoh ini nampaknya mempunyai harapan tipis
bahwa hukum akan ditegakkan. Karena menurut ketiganya, Ali sudah menetapkan
kebijakan sendiri karena ia didukung oleh kaum perusuh. Kemudian mereka dengan
dukungan dari keluarga Umayah menuntut balas atas kematian Utsman. Akhirnya
mereka pergi ke Basrah untuk menghimpun kekuatan dan di sana mereka mendapat
dukungan masyarakat setempat.28
Ali beserta pasukannya yang sudah berada di Kufah telah mendengar kabar
bahwa di Syria (Syam) Muawiyah telah bersiap-siap dengan pasukannya untuk
menghadapi Ali. Ali segera memimpin dan menyiapkan pasukannya untuk
memerangi Mu’awiyah. Namun sebelum rencana tersebut terlaksana, tiga orang
tokoh terkenal yaitu Aisyah tokoh terkenal Aisyah, Thalhah, dan Zubair beserta para
pengikutnya di Basrah telah siap untuk memberontak kepada Ali. Ali pun
mengalihkan pasukannya ke Basrah untuk memadamkan pemberontakan tersebut.
Aisyah ikut berperang melawan Ali alasannya bukan semata menuntut balas
atas kematian Utsman, akan tetapi ada semacam dendam pribadi antara dirinya
dengan Ali. Dia masih teringat terhadap peristiwa tuduhan selingkuh terhadap dirinya
(hadits al-ifk), dimana pada waktu itu Ali memberatkan dirinya. Faktor lain adalah
persaingan dalam pemilihan jabatan khalifah dengan ayahnya, Abu Bakar, yang
kemudian disusul dengan sikap Ali yang tidak segera membai’at Abu Bakar, dan
yang terakhir ada faktor Abdullah bin Zubair, kemenakannya, yang berambisi untuk
menjadi khalifah, yang terus mendesak dan memprovokasi Aisyah agar
memberontak terhadap Ali.29
Seperti dikutip oleh Syalabi dari Ath-Thabari bahwa Pertempuran dalam
peperangan Jamal ini terjadi amat sengitnya, sehingga Zubai melarikan diri dan
dikejar oleh beberapa orang yang benci kepadanya dan menewaskannya. Begitu juga
Thalhah telah terbunuh pada permulaan perang ini, sehingga perlawanan ini hanya
dipimpin Aisyah hingga akhirnya ontanya dapat dibunuh maka berhentilah
peperangan setelah itu. Ali tidak mengusik-usik Aisyah bahkan dia menghormatinya
dan mengembalikannya ke Mekkah dengan penuh kehormatan dan kemuliaan.30
Menurut Thabari peperangan jamal disebabkan oleh karena kenigninan dan
nafsu perseorangan yang timbul pada diri Abdullah bin Zubair dan Thalhah, dan oleh
perasaan benci Aisyah terhadap Ali. Abdullah bin Zubair bernafsu besar untuk

28
Sou’yb Jousouf, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin Jakarta, Bulan Bintang, 1979, h. 471
29
Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1982, h.288-289
30
Ibid, h.292-293

76
menduduki kursi khalifah dan kemudian menghasut Aisyah sebagai Ummul
Mukminin untuk segera memberontak terhadap Ali bin Abi Thalib.31
Dalam pemerintahannya Ali ingin menerapkan aturan-aturan pokok untuk
kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Aturan ini jelas bertentangan dengan
mereka yang ingin mengumpulkan kekayaaan termasuk Zubair dan Thalhah.
Terlebih lagi Ali sangat berhati-hati dalam pembagian rampasan perang. Ia memberi
bagian yang sama kepada semua orang tanpa memandang status, suku dan asal-usul
mereka. 32

Perang Shiffin Dan Tahkim


Disebut perang shiffin karena perang yang menghadapkan pasukan
pendukung Ali dengan pasukan pendukung Mu’awiyah berlangsung di Shiffin dekat
tepian sungai Efrat wilayah Syam, perang ini berlangsung pada bulan Shafar tahun
37H/658M.33
Setelah kematian Utsman, pihak keluarga Utsman dari Bani Umayah, dalam
hal ini diwakili oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menajdi gubernur di Syam
sejak khalifah Umar bin Khathab, mengajukan tuntutan atas kematian Utsman
kepada Ali agar mengadili dan menghukum para pembunuh khalifah Utsman
berdasarkan syari’at Islam. Dalam kondisi dan situasi yang sulit dan belum stabil
pada waktu itu, nampaknya Ali tidak sanggup untuk memenuhi tuntutan itu.
Sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang pada waktu menjabat gubernur Syam
belum mengakui khalifah Ali di Madinah. Akhirnya Ali mengirimkan utusan ke
Damaskus ibu kota Syam, untuk mengajukan dua pilihan kepada Mu’awiyah yaitu
mengangkat bai’at atau meletakkan jabatan. Tetapi Mu’awiyah tidak mau
menentukan pilihan sebelum tuntutan dari keluarga Umayah dipenuhi.
Dengan alasan khalifah Ali tidak sanggup menegakkan hukum sesuai
syari’at, juga menuduh Ali dibalik pembunuhan Utsman, hal ini tidandai dengan
tidak diambil tindakan oleh Ali terhadap para pemberontak bahkan pemimpinnya
Muhammad bin Abu Bakar yang merupakan anak angkat Ali, diangkat menjadi
gubernur Mesir, akhirnya Mu’awiyah mengadakan kampanye besar-besaran di
wilayahnya menentang Ali, sehingga mendapat dukungan dan simpati dari mayoritas
pengikut dan rakyat di wilayah kekuasaannya. Kemudian Mu’awiyah menyiapkan
pasukan yang besar untuk melawan khalifah Ali. Walaupun menurut ahli sejarah,
motivasi perlawanan Mu’awiyah itu sebenarnya tidak murni menuntut balas atas
kematian Utsman, tetapi ada ambisi untuk menjadi khalifah.

31
Ibid, h. 296-297
32
Engineer, Asghar Ali, Asal-Usul dan Perkembangan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h.
260-262
33
http://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Shiffin

77
Setelah dibebastugaskan dari jabatannya ia menyingkir ke Palestina. Ia
sebelumnya tidak pernah ikut campur dalam poitik dan pemerintahan pada masa awal
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dengan diiming-imingi jabatan oleh Mu’awiyah,
akirnya ia pun terjun lagi dalam hingar bingar dunia politik dan mempunyai peran
yang sangat penting dalam peristiwa perang Shiffin ini.
Setelah selesai perang Jamal, Ali mempersiapkan pasukannya lagi untuk
menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dengan dukungan pasukan dari
Irak, Iran, dan Khurasan dan dibantu pasukan dari Azerbeijan dan dari Mesir
pimpinan Muhammad bin Abu Bakr. Usaha-usaha untuk menghindari perang terus
diusahakan oleh Ali, dengan tuntutan membai’atnya atau meletakkan jabatan. Namun
nampaknya Mu’awiyah tetap pada pendiriannya untuk menolak tawaran Ali, bahkan
Mu’awiyah menuntut sebaliknya, agar Ali dan pengikutnya membai’at dirinya.
Perang antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah pasukan Ali sudah hampir
memperoleh kemenangan, dan pihak tentara Mu’awiyah bersiap-siap melarikan diri.
Tetapi pada waktu itu ‘Amr bin Ash yang menjadi tangan kanan Mu’awiyah dan
terkenal sebagai seorang ahli siasat perang minta berdamai dengan mengangkat Al-
Qur’an.34
Dari pihak Ali mendesak menerima tawaran tersebut. Akhirnya Ali dengan
berat hati menerima arbitrase tersebut, walaupun Ali mengetahui itu hanya sisat
busuk dari Amr bin Ash. Sebagai perantara dalam tahkim ini pihak Ali diwakili oleh
Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash yang mewakili pihak Mu’awiyah. Sejarah
mencatat antara keduanya terdapat keepakatan untuk menjatuhkan Ali dan
Mu’awiyah secara bersamaan. Kemudian setelah itu dipilih seorang khalifah yang
baru. Selanjutnya, Abu Musa al-Aasy’ari sebagai orang tertua lebih dahulu
mengumumkan kepada khalayak umum putusan menjatuhkan kedua pimpinan itu
dari dari jabatan-jabatan masing-masing. Sedangkan Amr bin ‘Ash kemudian
mengumumkan bahwa ia menyetujui keputusan dijatuhkannya Ali dari jabatan
sebagai Khalifah yang telah diumumkan Abu Musa itu, maka yang berhak menjadi
khalifah sekarang adalah Mu’awiyah.35
Bagimanapun peristiwa tahkim ini secara politik merugikan Ali dan
menguntungkan Mu’awiyah. Yang sah menjadi khalifah adalah Ali, sedangkan
Mu’awiyah kedudukannya hanya sebagai seorang gubernur daerah yang tidak mau
tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya naik
menjadi khalifah, yang otomatis ditolak oleh Ali yang tidak mau meletakkan
jabatannya sebagai khalifah.36

34
Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, h. 14-15
35
Ibid, h. 16
36
Nasution, Harun, Telogi Islam Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986 h. 5

78
Kesediaan Ali mengadakan Tahkim juga tidak disetujui oleh sebagian
tentaranya, mereka sangat kecewa atas tindakan Ali dan menganggap bahwa tindakan
itu tidaklah berdasarkan hukum Al-Qur’an sehingga mereka keluar dari pendukung
Ali.
Setelah itu sebagian pasukan Ali tersebut memisahkan diri dan membentuk
gerakan sempalan yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum ‘Khawarij’.
Pendapat dan pemikiran mereka dikenal sangat ekstrim, pelaku-pelaku arbitrase
dianggap telah kafir dalam arti telah keluar dari Islam karena tidak berhukum pada
hukum Allah. Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-
Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir.37
Kaum khawarij semula hanya merupakan gerakan pemberontak politik saja,
tetapi kemudian berubah menjadi sebuah aliran dalam pemahaman agama Islam
(sekte).

Akhir Pemerintahan Ali Bin Abi Thalib


Dengan terjadinya berbagai pemberontakan dan keluarnya sebagian
pendukung Ali, menyebabkan banyak pengikut Ali gugur dan berkurang serta dengan
hilangnya sumber kemakmuran dan suplai ekonomi khalifah dari Mesir karena
dikuasai oleh Muawiyah menjadikan kekuatan Khalifah menurun, sementara
Muawiyah makin hari makin bertambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa
Khalifah untuk menyetujui perdamaian dengan Muawiyah.
Perdamaian antara Khalifah dengan Muawiyah, makin menimbulkan
kemarahan kaum Khawarij dan menguatkan keinginan untuk menghukum orang-
orang yang tidak disenangi. Karena itu mereka bersepakat untuk membunuh Ali,
Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Namun mereka hanya berhasil
membunuh Ali yang akhirnya meninggal pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40
H./661M, oleh Abdurrahman ibn Muljam, salah seorang yang ditugasi membunuh
tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan nasib baik berpihak kepada Mu’awiyah dan Amr
bin Ash, mereka berdua luput dari pembunuhan tersebut.38
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan
selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan tentaranya lemah, sementara
Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini
dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di
bawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan
Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun
persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (’am jama’ah). Dengan

37
Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1982, 306-307
38
Ibid

79
demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa’ur Rasyidin, dan
dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.39

PENUTUP
Isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman terbukti tidak benar. Sebab secara
kuantitas jumlah pejabat negara keluarga Utsman dibandingkan dengan yang bukan
familinya jelas bukan mayoritas. Tuduhan nepotisme tersebut setidaknya hanya di
dasarkan kepada 6 perkara di atas. Sementara jumlah pejabat publik diluar anggota
keluarga tersebut adalah mayoritas masing-masing tindakan Utsman telah memiliki
rasionalisasi berdasarkan kebutuhan zaman yang terjadi serta mewakili kebijakan yang
seharusnya diambil. Sementara itu kegagalan pemerintahan Utsman lebih banyak
disebabkan factor stamina dan kondisi kesehatan beliau. Pada saat diangkat Utsman telah
berusia 70 tahun sehingga kurang leluasa memerintah mengingat kondisi tubuhnya
tersebut sehingga pada masa akhir pemerintahannya beberapa hal kurang dapat diatasi
secara memuaskan.
Usman bin Affan dituduh nepotisme oleh karena telah memberI keistimewaan-
keistimewaan kepada keluarganya yang menurut sahabat yang lain telah melanggar
aturan pemerintahan, oleh karena banyak sahabat yang lebih pantas dari pada yang
diangkat oleh khalifah. Khalifah telah menyalahi bait bahwa dia akan mengikuti sunnah
Rasul, Abu Bakar maupun Umar bin Khattab karena telah melenceng dari dua khalifah
sebelumnya.
Pemberontakan terhadap Usman terjadi oleh banyak faktor yang
melatarbelakanginya, namun puncak dari pemberontakan itu terjadi ketika ada surat yang
di duga ditulis oleh Usman untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar, yang ternyata
yang menjadi pelaku adalah Marwan, namun kekecewaan itu bertambah lagi ketika para
sahabat meminta kepada khalifah untuk menyerahkan Marwan tapi tidak dipenuhi oleh
khalifah. Indikator yang kuat tentang pembunuhan Usman adalah karena ada rekayasa
terhadap diri beliau untuk menjatuhkan kekhalifahannya, dan itu menjadi sangat jelas
ketika dilihat setelah wafatnya beliau di mana Muawiyah menjadikan itu sebagai alasan
untuk menuntut darah pembunuh khalifah, namun setelah dia jadi khalifah persoalan
siapa pembunuhnya itu tidak dipermasalahkan.
Dalam sisi lain Utsman bin Affan adalah sosok pemimpin yang luar biasa terkait
dengan jasanya terhadap Islam. Semasa Rasulullah masih menunggui umat, beliau
adalah salah satu donator tetap bagi dakwah. Dan pada masa setelahnya beliau tetaplah
seorang pejuang muslim yang teguh kepada pendirian dan keislamannya, sehingga dalam
kepemimpinannya sebagai khalifah banyak membuahkan kemajuan-kemajuan yang
signifikan.

39
http://www.cybermq.com

80
Pembunuhan Usman bin Affan adalah bentuk ketidak puasan pihak-pihak yang
secara prinsip merugikan kepentingan kelompok, bukan suatu pertimbangan
kemaslahatan umat islam.
Setelah Usman wafat, masyarakat membai’at Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah dan memerintah selama hanya 5 tahun. Banyak yang dicapai Ali sebagai
khalifah diantaranya adalah mengembalikan sistem pemerintahan yaitu Administrasi
Keuangan dan Harta, Pengembalian harta dan tanah negara yang dikuasai sepihak,
mengisi kembali fungsi baitul mal. Selama masa pemerintahannya ia menghadapi
berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat
dikatakan stabil, setelah ia memecat para gubernur (kepala daerah) yang diangkat Usman
bin Affan. Dia juga mengambil kembali tanah-tanah negara yang dibagikan Usman
dengan alasan yang tidak jelas.
Terjadinya perang Jamal adalah Konflik pemerintahan Ali bin Abi Thalib
dengan tiga tokoh Islam yaitu Aisyah, Thalhah dan Abdullah bin Zubair. Hal ini
diakibatkan oleh kepentingan politik yaitu menjadi khalifah khususnya Abdullah bin
Zubair.
Perang Shiffin adalah perang khalifah melawan Mu’awiyah yang juga banyak
korban sesama orang Islam yang diakhiri dengan arbitrase (tahkim) yang sangat
merugikan pihak khalifah Ali bin Abi Thalib. Hal ini menimbulkan perpecahan tentara
Ali yang mendukung tahkim dan menolak. Pihak yang menolak dikenal dengan
khawarij.
Ahli Sejarawan Islam Syihritini pernah berkata: ”Tidak ada masalah yang lebih
banyak menimbulkan pertumpahan darah dalam Islam selain masalah kekhalifahan”.
Ibnu Khaldun menulis, “sebagai akibat dari kekuasaan dan kekayaan ketegaran
kehidupan padang pasir menjadi hilang”.
Penelitian mengenai khalifah Utsman bin Affan dan khalifah Ali bin Abi Thalib
merupakan masa-masa fitnah umat Islam semakin berkembang, tumbuh suburnya sekte
atau aliran di tengah umat menyebabkan fitnah semakin besar. Oleh karena itu akan
muncul berbagai versi sejarah mengenai kedua khalifah tersebut termasuk pandangan-
pandangan kesejarahan baik dari kalangan sunni maupun dari kalangan syi’ah. Studi
komparasi kesejarahan antar sunni dan syi’ah akan menarik jika di kaji pada penelitian
berikutnya.

Daftar Pustaka
Katsir Ibnu, (2002) Al-Bidayah Wan Nihayah Masa Khulafa’ur Rasyidin, Jakarta: Darul
Haq
Ibrahim, Hasan. (2001) Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia
Sou’yb, Joesoef. (1979) Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang
Al Maududi, Abu A’la. (1984) Khilafah dan Kerajaan. Terj. Al Baqir. Bandung: Mizan

81
A. Hafidz Dasuki, MA (Pimred).et.all. (1997)Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV.
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Shiddiqi, Nourouzzaman. (1984) Menguak Sejarah Muslim. PLP2M, Yogyakarta
Al Bigha, Musthafa Dieb. (2004) Fiqih Islam. Terjemah : Ahmad Sunarto dari At
Tadzhib Fil Adillati Matnil Ghayyah wa Taqrib. Insan Amanah, Surabaya
Rasjid, Sulaiman. (1990) Fiqih Islam. Cetakan XXIII. Sinar Baru, Bandung
Ath Thahthawi, (2009) 150 Qishsah min hayat Abi Bakar As Shiddiq wa Umar bin al
Khatthab wa Utsman bin Affan wa Ali bin Abi Thalib r.a, Jakarta: Gema
Insani.
Syalabi, Ahmad. (1997) Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Al-Husna Zikra.
AB, Hadariansyah. (2008) Pemikiran-Pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran
Islam, Antasari Press, Banjarmasin
Hudgson, Marshall GS. (1999) The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam
Peradaban Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Paramadina, Jakarta.
As’ari, Hasan. (2006) Menguak Syarah Mencari Ibrah, Citapustaka Media, Bandung.
Mursi, Syeikh Muhammad Sa’id. (2007) Tokoh-Tokoh Islam Sepanjang Sejarah, Terj.
Khoiril Amru Harahap, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
Engineer, Asghar Ali. (1999) Asal Usul dan Perkembangan Islam, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Nasution, Harun. (1986) Telogi Islam Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press,
Jakarta.

82
WARISAN PERADABAN ISLAM BAGI BANGSA BARAT

M. Al Qautsar Pratama

Pendahuluan
Peradaban merupakan sesuatu yang terefleksi dalam politik, ekonomi dan
teknologi. Dalam konteks peradaban ini, perlu dipertanyakan pengertian peradaban Islam
yang sesungguhnya. Karena, pada kenyataannya tidak hanya orang Islam saja yang turut
membentuk peradaban Islam pada masa Dinasti Umayyah, melainkan banyak orang non-
Muslim yang turut ambil bagian dalam proses membangun peradaban tersebut .apabila
peradaban Islam lebih diartikan sebagai peradaban kaum Muslimin, tidak tepat juga, tapi
jika atribut Islam terhadap peradaban ini lebih dititikberatkan kepada Islam sebagai
agama yang paling dominan pada masa itu, dan syariat Islam adalah satu-satunya
pengikat bagi bangsa-bangsa di Dunia Islam adalah dapat diterima Apabila sekarang
membandingkan dunia Islam dengan dunia Kristen, yang tersebut lebih dahulu
memperlihatkan serba gelap dan gambaran suatu masyarakat yang tertekan, tenggelam
didalam serba lamban dan mundur, dan tertimpa kemerosotan intelektual dan material. 1
Pada umumnya gambaran dunia Islam masa kini begitu gelap dan
mengecewakan, sehingga sulit sekali bagi rata-rata orang Barat untuk mempercayai,
bahwa beberapa abad yang lalu semua wilayah inilah yang menjadi pusat kebudayaan
yang meneranginya, dan pada saat-saat itu bahwa Eropalah yang berupa wilayah dunia
termundur dan penuh kegelapan. Terlebih sukar lagi bagi kebanyakan orang Barat untuk
mempercayai, bahwa hanya umat Islamlah yang menarik Eropa dari serba gelap
kebiadaban abad pertengahan, membebaskannya dengan daya yang sekuat-kuatnya,
material maupun cita-cita yang menuntun kea rah kelahiran kembali Eropa dan
memainkan peranan mendasar akan kelahiran peradaban modern. 2

Pembahasan
Peradaban Islam masuk di Eropa
Peradaban Islam masuk di Eropa dengan empat cara berikut ini:
1) Melalui Andalusia (Spanyol).
Sebagian besar pengaruh kebudayaan Islam atas Eropa terjadi akibat pendudukan
kaum muslimin atas Spanyol dan Sisilia. Bangsa arab selama 8 abad lamanya
menempati daerah ini. Karenanya peradaban Islam menyebar di pusat-pusat tempat yang
berbeda. Seperti: di Cordova, Sevilla, Granada, Toledo. Penduduk Andalusia (Spanyol)
mayoritas menganut ajaran masehi, yang kemudian terpecah dengan datangnya
1
Dr. Ajid. Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Bandung: Raja Grafindo
Persada, 2004, hal. 35
2
Dr. Amir Hasan Siddiqi, Studie In Islamic History, Bandung: Al-Ma’arif, 1987, hal. 111.

83
peradaban Arab. Bahkan mereka ganti bahasa mereka dengan berbicara dengan bahasa
Arab. Mereka mengenal istilah Mozabarabes, kata ini yang dalam bahasa Arab
disebut musta’rib 3
Untuk itu pula para pendeta nasrani melakukan terjemahan injil ke dalam bahasa
Arab. Orang Spanyol telah meninggalkan bahasa latin dan melupakannya, Seorang
pendeta di Cordova mengeluh, hampir di kalangan mereka tidak ada yang mampu
membaca kitab suci yang berbahasa latin. Bahkan cendekiawan muda hanya mengetahui
dan memahami bahasa Arab. 4 Sejak pertama kali Islam menginjakkan kaki di Spanyol
hingga kerajaan Islam berakhir di sana. Islam memainkan peranan yang sangat besar
selama hampir 8 abad. Dari Spanyolah peradaban Islam pindah ke Eropa.
2) Melalui Sisilia
Kemudian peradaban Islam masuk di dunia Barat melalui Sisilia, di mana bangsa
Arab menaklukan Sisilia di masa akhir dinasti Aghalibah yang berdiri di Afrika
(Sekarang Tunisia dan Al-Jazair) di era Abbasiah yaitu di pertengahan abad 3 hijriah
atau 10 Masehi dan paska Romawi menyerang daerah-daerah Islam. Dan pendudukan
Arab atas Sisilia tidak berlangsung lama seperti pendudukan atas Spanyol. Pada
pertengahan abad ke-18, ksatria Norman melihat bahwa mereka hidup dengan baik di
Italia bagian selatan, sebagai pedagang atau sebagai pengusaha militer independen.
Efesiensi kemiliteran mereka sedemikian rupa sehingga beberapa ratus ksatria di bawah
pimpinan Robert Guiscard telah berhasil mengalahkan Bizantium dan mendirikan
kerajaan Norman. Pada tahun 1060, saudaranya Roger memimpin invasi ke Sisilia dan
berhasil merebut Messina dan berlanjut dengan pendudukan seluruh wilayah tersebut
sampai 1091.
Dengan kehadiran Arab di Spanyol dan Sisilia inilah, secara perlahan
menemukan jalur masuknya peradaban Islam di Eropa Barat secara matang hingga
dikuasainya.
3) Melalui datangnya orang-orang salib di Timur Islam.
Sebagai bentuk dari wujud keterpengaruhan Barat terhadap Peradaban Islam
adalah datangnya orang-orang Salib di Timur Islam, yang walaupun kehadiran ini
bukanlah persoalan pentingnya menuntut reaksi besar-besaran kecuali dari wilatah-
wilayah tetangga yang dekat dengan wilayah kaum muslim itu sendiri. Invasi atas
Spanyol dan Sisilia memberi arti bahwa suatu waktu Islam hadir di daerah pinggiran
Kristen Latin, yang kemudian memberi reaksi menjadikan munculnya gerakan perang
salib pada abad ke-11. Hal ini bisa dianggap sebagai reaksi yang besar terhadap

3
Siti Maryam, et.al, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Jur SPI Fak Adab IAIN Sunan Kalijaga,
2003) hal 99.
4
Syalabi, Mausu’ah Tarikh, (Mesir: Maktabah Nahdah al-Misriyah,1983) hal 89-90.

84
kehadiran Islam, tetapi pusatnya justru di bagian Utara Perancis, yang jauh kontaknya
secara langsung di Negara-negara Islam. 5
Selama perang salib inilah proses intraksi peradaban pun terjadi yang kemudain
memberi pengaruh bagi masing-masing pihak atau lebih tepatnya penerimaan orang-
orang Eropa atas corak-corak kebudayaan Islam. Proses ini juga ditopang oleh
keterampilan dan ketangguhan orang-orang Arab dalam bidang perdagangan. Di seluruh
wilayah yang tunduk di bawah pemerintahan Islam, tidak hanya terdapat kebudayaan
Islam saja yang relative homogen melainkan juga barang-barang yang dihasilkan kaum
muslim tersebar jauh melampaui batas-batas wilayah Islam. 6
4) Pertukaran perniagaan antara timur dan barat melalui Mesir.
Sebagian besar mengatakan, peristiwa ini terjadi sejak datangnya bangsa
Fatimiah di Mesir dan menjadikan Mesir sebagai pusat politik, perdagangan dan
kebudayaan. Karena itu penyerangan Mongol di Irak menjadikan Mesir sebagai ka’bah
peradaban Islam diera dinasti Mamalik sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun bahwa
munculnya peradaban di Mesir dengan kembalinya peradaban Islam sejak ribuan tahun
yang lalu. Maka muncullah di Mesir gerakan Ilmu dan seni yang menjadikan para
penuntut ilmu datang dari Timur dan Barat. Ibnu Khaldun melanjutkan dengan
perkataannya ”Saya tidak melihat Mesir kecuali sebagai induknya Ilmu, wadahnya Islam
dan sumber ilmu serta pusat perniagaan.”
Bukti Peradaban Islam di Eropa, hal ini dapat dirasakan dengan munculnya
berbagai buku yang diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin, bahasa Thalia dan
Ibrani. Buku-buku tersebut memenuhi perpustakaan Eropa di era-era awal. Dengan kata
bahwa keberlangsungan peradaban ini dengan adanya penerjemahan besar-besaran dari
bahasa Arab ke bahasa Latin. Hal ini menunjukan majunya keilmuan Islam dengan
segala cabangnya. Begitu pula di era kebangkitan Eropa ketika bangsa Eropa kembali
dengan ilmu-ilmu Yunani klasik, mereka menjumpai buku-buku yang memang telah
dimuat dalam khazanah buku muslimin. Karenanya sebuah peradaban berdiri tidak lepas
dari peradaban sebelumnya.

Peradaban Dunia Barat Setelah Islam masuk


Kemajuan Eropa hingga saat ini yang terus berkembang banyak dipengaruhi oleh
khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik. Pengaruh
peradaban Islam termasuk di dalamnya pemikiran Ibnu Rusyd ke Eropa berawal dari
banyaknya pemuda-pemuda Kristen yang belajar di Universitas-universitas Islam di
Spanyol seperti Universitas Cordova, Sevilla, Malaga, Granada dan Samalanca. Selama
belajar di Spanyol mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuan muslim. Pusat
penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah pulang ke negrinya mereka mendirikan sekolah
5
Ibid….hlm.18
6
Ibid….hlm.22

85
dan Universitas yang sama. Universitas yang pertama di Eropa adalah Universitas Paris
yang didirikan pada tahun 1231 M.
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad
ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (Renaissance) pusaka Yunani di
Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah
melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari kemudian diterjemahkan kembali ke
dalam bahasa Latin. Walaupun akhirnya Islam diusir dari Spanyol dengan cara yang
sangat kejam, tetapi ia telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan itu
adalah kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (Renaissance) pada abad ke-14
M yang bermula di Italia.
Gerakan reformasi pada abad ke-16 M, Rasionalisme pada abad ke-17 M dan
pencerahan (Aufklaerung) pada abad ke-18 M. Beberapa bentuk peradaban tersebut
seperti:
1. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi
Sebagai bentuk keterpengaruhan Barat terhadap peradaban Islam, adalah adanya
sejumlah kitab-kitab klasik yang memang dikarang oleh orang Islam sendiri. Dalam hal
ini adalah Kitab yang membahas ilmu kedokteran dikarang oleh Ibnu Sina, al-Qanun
sekitar abad ke-12. Kemudian kitab al-Hawi oleh ar-Razi juga menajadi bagian
terpenting bagi tradisi keilmuan Barat sampai pada abad ke-16. Ibn Sina sendiri
merupakan pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak
diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang
sebagai “Bapak Kedokteran Modern.” George Sarton menyebut Ibnu Sina “ilmuwan
paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang,
tempat, dan waktu.” pekerjaannya yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan
The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai Qanun (judul lengkap: Al-Qanun fi
At Tibb).
Buku-buku kedokteran ini diajarkan di kampus-kampus Eropa sampai abad 18
tak terkecuali Sekolah Salerno yang dianggap sebagai sekolah kedokteran pertama di
Eropa. Ibnu Sina dan Razi menjadi referensi kuliah kedokteran di Paris bahkan lebih dari
itu teori-teori Ibnu Khaldun yang menjadi peletak dasar ilmu sosial masih dikenal di
kampus-kampus Eropa sampai sekarang. Selanjutnya dalam review buku ini disebutkan
para penterjemah yang berasal dari agama dan suku bangsa yang berbeda; mereka
menukil dan pindahkan ilmu bangsa Arab ke bangsa Eropa yang dimulai dari abad 11
Masehi hingga akhir era pertengahan, antara lain: Gerberto, Adelard ofbath, Leonardo
Pisano, Petrus alfons, dan lain-lain. Selain itu, keterpengaruhan rasionalitas Eropa
banyak diadopsi dari serpihan pemikiran Ibn Ruys. Dimana Ibn Ruys juga termasuk
pakar kedokteran, Filsafat, Fiqih dll. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai
Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang mempengaruhi filsafat
Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas.

86
Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah
kedokteran dan masalah hukum.Pemikiran Ibnu Rusyd. Kitab yang sering menjadi
rujukan Barat adalah kitabnya yang terkenal yaitu Kulliyaat fi At-Tib (buku kedokteran)
yakni sebuah kitab yang secara lengkap membahas tentang ilmu kedokteran. Di samping
itu juga ada Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at yakni yang
memmabahs tentang Filsafat dan hal-hal yang terkait dengannya.
Menurut para ahli sejarah, ketergantungan Eropa terhadap ilmuan Islam yakni
kedoteran terus berlangsung hingga abad ke 15 dan ke 16 yang ditunjukkan dengan
daftar buku yang dicetak. Bahkan hingga tahun 1500-an, buku ini sudah dipublikasikan
dalam cetakkan yang ke-16, karena masih terus digunakan hingga tahun 1650. Buku itu
olehnya dipandang sebagai karya dalam bidang kedokteran yang paling banyak dipelajari
sepanjang sejarah. Buku ini diikuti oleh karya-karya terjemahan dari bahasa Arab
lainnya, termasuk beberapa karangan al-Razi, Ibnu Rushd, Hunain bin Ishaq dan Haly
Abbas.
Menurut Gustave Le Bon (Sejarawan Perancis) bahwa ahli-ahli Barat seperti
Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Albertus Magnus, dan lain-lain, dibesarkan dalam era
keemasan perpustakaan pengetahuan Islam dan Arab. Paus Gerbert (bergelar Sylvestre-
II) mengajar ilmu-ilmu alam pada tahun 1552-1562 yang kesemuanya dipelajarinya di
Universitas Islam Andalusia di Spanyol. Gherardo & Cremona, 2 orang ahli astronomi
Italia yang menerjemahkan buku ilmu astronomi dari kitab as-Syarh karangan Jabir ibnu
Hayyan. Raja Friederich-II dari Perancis meminta putra-putra Ibnu Rusyd (menurut
ejaan Barat dibaca: Averoes) untuk tinggal di istananya, mengajarinya ilmu
Botani dan Zoologi. Apotik & ilmu Kedokteran, Kimia & Botani Islam sebelum abad ke-
15 sudah sangat maju dibandingkan Barat, ilmuwan Islam telah menemukan 2000 jenis
tanaman Thriflorida untuk obat-obatan.
2. Filsafat
Di akhir abad ke-12 M, usat-pusat kebudayaan di Prancis, Italia dan sejumlah
Negara tetangganya menetapkan pelajaran Mantiq, ilmu hitung, falak kimia dan lain-lain
untuk menghasilkan ahli teologi hukum dan kedokteran. Dan secara tidak langsung
tradisi studi kesustraan Yunani pun hamper secara keseluruhan tidak mendapat perhatian
yang serius. Dengan demikian, kajian di Eropa oleh Orientalis teologi menjadikan
Filsafat dan Logika sebagai sumber atau jalan dalam menetapkan hukum. Selain dari
beberapa ahli Filsafat Eropa yang berkembang, disini muncullah Ibn Ruys yang
kemudian banyak memberikan kontribusi terhadap perkembnagan pemikiran Eropa pada
saat itu. Walaupun kemudian pihak Gereja konsili keagamaan di Paris 1209 (605 H)
mengaharamkan pemikiran Filsafat Ibn Rusyd yang kemudian diperbaharui pada tahun
1215 dan diperketat oleh Paus Gregorius IX di tahun 1231. Ini semua menunjukkan
bahwa Filsafat Ibn Rusyd telah beredar luas jauh sebelum Michael Scott merampungkan
terjemahannya pada tahun 1230.

87
Disinilah juga didirikah pusat penerjemahan yang kemudian Michael Scott
ditugasi sebagai tim penerjemah bersama rekan-rekannya terutama sejumlah buku-buku
Arab dalam bahasa latin. Tradisi ini juga merembet pada sejumlah Universitas yang ada
seperti Universitas Navoli dalam rangka membumikan tradisi terjemah secara
besarbesaran melalui biaya kerajaan tahun 1224 M (621 H) dan menetapkan komentar
Ibn Rusyd pada makalah Aristoteles, pada buku Isagoge oleh Porforius, serta al-Falgani
dan beberapa buku-buku yang lain sebagai buku wajib di lingkungan Universitas.
Dalam hal ini Ibn Ruysd memeperlihatkan kemampuan akal untuk membedakan,
mengetahui, kemudian mempercayai. Pangingkaran terhadap adanya kemampuan akal
pada manusia berarti penurunan kedudukan akal pada tempat di bawah perasaan berbuat.
3. Bidang Sastra
Menurut sejarawan bahwa, perkembangan dunia satra di Eropa sangatlah pesat,
yang dimana pada dasarnya hubungan antara sastra, budaya sepanyol dan Prancis terjadi
pada abad pertengahan, ketika peradaban Prancis selatan mulai menjadi megah dan
besar, tepatanya di Provence. Dari sanalah muncul kelompok penyair pengembara
Troubadrous salah seorang tokohnya adalah Ruy Diaz de Biver, seorang tokoh
perlawanan terhadap masyarakat Islam. Dan memang harus diakui bahwa pada abad
pertengahan tersebut, sastra serta peradaban barat mulai terlihat geliatnya. Contohnya
saja seorang raja Sepanyol bernama Al-Fonso mempunyai julukan Al-Alim., julukan
tersebut diberikan karena dia selalu menghunus pedang untuk berperang melawan
musuh-musuhnya, namun di lain waktu dia memegang bukunya, mendalami ilmu-ilmu
pengetahuan, serta menulis karya-karya sastra.
Dikatakan bahwa, opera “Peringatan akan akibat” karangan Shakespeare,
diilhami dari kisah Alfu Lailah wa lailah dari masa keemasan Islam. Kemudian cerpen
karangan sastrawan Perancis Lasange banyak mengambil inspirasi dari kitah Natan al-
Hakim. Di samping itu, Sajak Divina Commedia karangan Dante Alghieri mengambil
dari kitab Risalatul-Ghufran (karangan al-Ma’ariy) & Washful Jannah (karangan Ibnu
Arabi). Juga Cerita Gulliver (karangan Schwift) diilhami oleh Alfu lailah wa lailah dan
cerita Robinson Crusoe (karangan Defoe) diilhami dari kitab ar-Risalah (karangan Hayy
bin Yaqzhan yang dikenal dengan gelar Ibnu Thufail).
4. Bidang Lainnya
Menurut sejarawan dan orientalis Perancis, Sedillot, bahwa UU Sipil Perancis
pada masa Napoleon Bonaparte diilhami dari kitab al-Khalil (salah satu kitab Fiqh
Maliki). Dan bukti ini bisa dikatakan bukti yang paling besar pengaruhnya di Eropa. Hal
ini juga dijumpai dalam bahasa Spanyol, Portugis, Italia dan lainnya. Yang kemudian
juga tercakup bahasa tentang kehidupan dan ilmu pengetahuan, semisal “Chiffre” yang
merupakan kata berasal dari bahasa Arab yakni ‫(صفر‬nol), berarti penomoran dari arab,
“Admiral” atau “Amiral” kata dari ‫( أمير البحر‬pemimpin laut), “Cable” yaitu ‫(الحبل‬kabel).
Kemudian “Cotton” (dari Quthn), “Syrup” (dari Syarab), “Lemon” (dari Laymun),

88
bahkan nama-nama ilmuwan Islam seperti: “Avecina” (dari Ibnu Sina), “Averoes” (dari
Ibnu Rusyd), “Albategnius” (dari Al-Baththani), Ibn Yunis (dari Ibnu Yunus), dll.
5. Bidang Arsitektur
Di samping bidang-budang yang sudah disebutkan di atas, masih banyak juga
terdapat bukti-bukti pengaruh peradaban Islam di Eropa semisal dalam dunia music dan
kesenian, arsitek bangunan, pertanian dan perdagangan serta ilmu peta. Untuk
pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan kota, istana, masjid dan
taman-taman. Di antara bangunan yang megah adalah masjid Cordova, kota al-Zahra,
masjid Sevile, istana al-Hamra di Granada, istana al-Makmun, tembok toledo dan istana
Ja’fariyah di Saragosa. Ini juga yang diungkapkan Ibn Fadillah dalam Masalikul
Abshornya bahwa ada sekelompok orang dari bani Barzal melaut ke lautan gelap,
pastilah nama Brazil diambil dari nama-nama mereka. Begitu juga penemuan Portugis di
Afrika, kedatangan bangsa Eropa ke Hindia didasari dengan apa yang pernah dilakukan
oleh bangsa Arab.

Kesimpulan
Tidak dapat dipungkiri sejarah telah membuktikan, peradaban Islam abad
pertengahan memberikan jasa besar terhadap dunia Barat. Robert Briffault di
dalam “Making Of Humanity”-nya mengatakan:
“Science adalah jasa terkenang peradaban Arab kepada Dunia modern; namun
buahnya lambat masak. Agak lama sesudah kebudayaan Mur tenggelam di dasar
kegelapan, barulah si raksasa yang di lahirkannya itu bangkit menjulang. Bukannya
hanya science saja yang membuat Eropa hidup kembali. Beraneka pengaruh lainnya
daripada peradaban islam menyusuli gemerlap pertamanya di dalam kehidupan
Eropa.” 7

Daftar Pustaka
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar
Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,
2004).
Maryam, Siti et.al, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Jur SPI Fak Adab IAIN
Sunan Kalijaga, 2003)
Watt, W. Montgemary Islam dan Peradaban Dunia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka,
1997)
Siddiqi, Amir Hasan Studies In Islamic History, Bandung: Al-Ma’arif, 1987.

7
Dr. Amir Hasan Siddiqi, Studies In Islamic History, Bandung: Al-Ma’arif, 1987, hal. 119

89
90
PEPERANGAN PROXY, MOZARAB DAN CORDOVA
DALAM SEJARAH UMAYYAH II DI ANDALUSIA

Muhammad Affan

Abstract
The following article aims to describe the proxy warfare, Mozarab and city of
Cordova in the history of Umayyad II in Andalusia, Spain. The results of the
study are expected to contribute historical-based thinking in the development of
Islamic studies and social-humanities studies. Method used in this study is the
method of historical research through literature review. From the study, it is
concluded that Umayyad II prefers to align with the Byzantine on the basis of the
political interests of power rather than the fraternal brethren of Muslims.
Umayyad II is also more oriented towards Arabization than the Islamization of
the Andalusian region as evidenced by the emergence of the Mozarab social
class and the highly civilized city of Cordova. So it can be understood further
that the presence of Umayyad II rule in Andalusia is not a direct cause of the
spread of Islam in the region.
Keywords: proxy warfare, mozarab, cordova, Umayyad Andalusia

Intisari
Artikel berikut bertujuan untuk menguraikan peperangan proxy, mozarab dan
kota Cordova dalam sejarah Umayyah II di Andalusia, Spanyol. Hasil kajian
diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran berbasis sejarah dalam
pengembangan studi-studi Islam dan studi sosial humaniora. Metode yang
dipergunakan dalam kajian adalah metode penelitian sejarah melalui kajian
literatur. Dari kajian yang dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa Umayyah II
lebih memilih beraliansi dengan Byzantine atas dasar kepentingan politik
kekuasaan ketimbang persaudaraan sesama Muslim. Umayyah II juga lebih
berorientasi pada usaha arabisasi daripada islamisasi wilayah Andalusia yang
dibuktikan dengan kemunculan kelas sosial mozarab dan kota Cordova yang
berperadaban tinggi. Sehingga dapat difahami lebih jauh bahwa kehadiran
kekuasaan Umayyah II di Andalusia tidak menjadi sebab langsung penyebaran
agama Islam di wilayah tersebut.
Kata kunci: peperangan proxy, mozarab, cordova, Umayyah Andalusia

A. Pendahuluan
Berakhirnya Kekhalifahan Umayyah menandai dimulainya kekuasaan
Kekhalifahan Abbasiyah. Namun, Umayyah tidak benar-benar berakhir. Salah seorang

91
cucu khalifah Umayyah kesepuluh, yang selamat dari pembunuhan tentara Abbasiyah,
berhasil menyeberang ke Andalusia, Spanyol. Laki-laki ini, Abdul Rahman bin
Mu’awiyah bin Hisyam, berhasil melakukan konsolidasi kekuatan dan mendirikan
kembali Umayyah di Andalusia, Spanyol.
Jika pada awalnya Umayyah adalah sebuah lembaga kekuasaan yang menyebut
dirinya sebagai Khalifah Rasulullah, setelah kehadiran Abbasiyah, Umayyah bukan
hanya tergusur ke Andalusia melainkan harus merelakan posisi khalifah di ambil oleh
Abbasiyah dengan gelar yang lebih tinggi, Khalifah Allah. Persaingan keduanya juga
cukup unik. Jika pendahulu Umayyah mengambil sikap bermusuhan dan berperang
melawan Byzantine, maka Umayyah di Andalusia mengambil kebijakan bersahabat
dengan Byzantine.
Kebijakan politik tersebut diambil dengan pertimbangan untuk menciptakan
proxy dalam permusuhan dengan Abbasiyah. Sementara Abbasiyah menjadikan
Charlegmane sebagai sekutu mereka di Eropa untuk menghadapi Umayyah di Andalusia.
Sehingga, hubungan permusuhan antara Umayyah Andalusia dengan Abbasiyah
diwarnai oleh peperangan proxy.
Selain peperangan proxy, dua hal lain yang menonjol dalam sejarah Umayyah II
di Andalusia adalah kehadiran kelas sosial bernama mozarab.1 Istilah mozarab sendiri
mengacu kepada orang-orang Andalusia non-Muslim yang mengadopsi budaya Arab
sebagai gaya hidup. Kehadiran mozarab menimbulkan kecemburuan pada penduduk
Andalusia yang fanatik pada Kekristenan. Mozarab disalahfahami sebagai sebuah upaya
islamisasi oleh penguasa Umayyah. Sehingga muncul aksi protes yang menimbulkan
kekacauan didalam wilayah Umayyah Andalusia.
Hal menonjol lainnya dari kekuasaan Umayyah II di Andalusia adalah Cordova.
Kota ini adalah representasi ketinggian peradaban Ummayah II yang pada masanya
hanya bisa disaingi oleh Baghdad dan Konstantinopel. Keindahan arsitektur Mesjid
Agung Cordova, perpustakaan Al Hakam II, Universitas Cordova dan Madinatul Zahra
adalah simbol-simbol dari peradaban Umayyah di Andalusia yang kemudian hari
menginspirasi Eropa.
Artikel berikut adalah artikel dengan objek kajian sejarah peradaban Islam klasik.
Kajian literatur digunakan sebagai metode kajian dengan mengikuti langkah-langkah
penelitian sejarah. Artikel ditulis dengan tujuan untuk menguraikan persoalan
peperangan proxy, mozarab dan Cordova dalam bingkai sejarah Umayyah II di
Andalusia.
Mengingat, ancaman peperangan proxy juga sedang mengintai negeri-negeri
Muslim dunia, kajian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dan referensi
dalam memahami proxy warfare berdasarkan fakta sejarah peradaban Islam sendiri.
1
Lapidus menyebut kelas sosial ini sebagai Hispano-Arab, lihat Ira M. Lapidus, A History of Islamic
Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 1988) h. 310-311

92
Selain itu, penjelasan mengenai fenomena mozarab diharapkan dapat membantu
memahami perbedaan antara arabisasi dan islamisasi. Sementara, penjelasan mengenai
ketinggian peradaban Cordova diharapkan dapat membangun kepercayaan diri orang-
orang Islam untuk lebih bergiat membangun peradaban yang lebih baik dari sekarang.

B. Pembahasan
1. Peperangan Proxy
Ketika Kekhalifahan Umayyah berhasil menguasai Andalusia, penguasa Eropa
menganggap mereka sebagai musuh sekaligus penjajah. Keberhasilan pasukan Franka
menahan gerak maju pasukan Ummayah di Poitiers menjadi sebuah peristiwa heroik
yang dikenang Eropa sebagai keberhasilan membendung penyebaran Islam di Eropa.
Padahal, gerak maju tersebut bukan dalam rangka penyebaran agama Islam. Gerak maju
tersebut adalah sebuah usaha memperluas kekuasaan politik Umayyah. Namun, sejarah
juga tidak bisa berbohong bahwa penaklukkan Andalusia oleh Umayyah telah ikut serta
membawa Islam tersebar di Eropa.
Para penguasa Eropa memandang Umayyah sebagai representasi Islam
ketimbang representasi Arab. Para penguasa Eropa yang mayoritas memeluk Kristen,
membawa sentimen agama sebagai legitimasi permusuhan. Ketika kemudian Umayyah
tidak melanjutkan gerak maju pasukannya ke Eropa Barat, penguasa Eropa Barat tetap
menganggap mereka sebagai ancaman dan musuh yang suatu saat nanti harus
ditaklukkan. Dengan kondisi ini, Umayyah di Andalusia selalu bermusuhan dengan
penguasa Eropa yang Kristen.
Disisi lain, Umayyah juga bermusuhan dengan Byzantine. 2 Permusuhan
Umayyah dengan Byzantine adalah kelanjutan dari permusuhan Byzantine pada Nabi
Muhammad SAW. Sikap permusuhan Byzantine ditunjukkan melalui dukungan mereka
pada Syurahbil bin Amru Al Ghassani yang membunuh salah seorang utusan Nabi
Muhammad SAW. Ketika kemudian sebuah ekspedisi militer dikirim untuk menghukum
perbuatan tersebut, sang pelaku justru dibela Byzantine dengan mengirimkan pasukan
untuk berperang melawan pasukan Nabi Muhammad SAW. Pertempuran tersebut, yang
dalam sejarah Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai pertempuran Mu’tah, menjadi
ronde pembuka kontak fisik antara orang-orang Islam dengan Byzantine.3
Ketika Umayyah menjadi lembaga kekuasaan yang mengklaim sebagai Khalifah
Rasulullah, institusi pemerintahan itu memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi

2
Di negeri-negei Muslim, Byzantine lebih dikenal sebagai Kekaisaran Romawi Timur
3
Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah Jilid. 2, terj. Fadli Bahri (Jakarta: Darul Falah, 2014) h. 348, 592;
lihat juga Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir Ath Thabari, Shahih Tarikh Ath Thabari Jilid. 2, terj.Beni
Hamzah, Solihin. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011) h. 443-448; lihat juga Mahdi Rizqullah Ahmad, Biografi
Rasulullah: Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-Sumber Yang Otentik, terj. Yessi H.M Basyaruddin
(Jakarta: Qisthi Press, 2009) h. 684-689, 715

93
orang-orang Islam dari ancaman Byzantine. Oleh sebab itu, selama kekuasaan
Kekhalifahan Umayyah, ibukota Byzantine, Konstantinopel diserang setidaknya tiga
kali. Fakta sejarah ini menunjukkan bagaimana bentuk permusuhan antara Umayyah
dengan Byzantine. Dengan demikian, Umayyah sebagai lembaga kekhalifahan memiliki
paling tidak dua musuh besar, Byzantine dan Frank.
Seiring berjalannya waktu dan munculnya kekecewaan pada pemerintahan
Kekhalifahan Umayyah, gerakan Abbasiyah muncul untuk menghentikan kekuasaan
Umayyah. Keberhasilan gerakan Abbasiyah meruntuhkan Kekhalifahan Umayyah diikuti
dengan kematian massal anggota keluarga dan kerabat kekhalifahan. Bahkan, makam
para Khalifah Umayyah ikut dibongkar sebagai bentuk sasaran kemarahan gerakan
Abbasiyah. Hanya makam Umar bin Abdul Aziz yang selamat dari pembongkaran.
Gerakan Abbasiyah juga berusaha berusaha menghabisi sisa-sisa kekuatan yang
pro Umayyah ke seluruh wilayah kekuasaan dunia Muslim. Salah seorang cucu Hisyam,
Khalifah Ummayah kesepuluh, Abdul Rahman bin Mu’awiyah bin Hisyam adalah
anggota keluarga Ummayah yang dicari oleh tentara-tentara Abbasiyah. Abdul Rahman
berhasil menyelamatkan diri dari Syam menuju Mesir. Di Mesir, ia berlindung secara
nomaden dari satu kota ke kota lainnya, sampai akhirnya ia dapat menyeberang menuju
Andalusia.
Kedatangan Abdul Rahman ke Andalusia bukannya tanpa perhitungan.
Bagaimanapun juga, ia adalah buronan Abbasiyah. Andalusia akan memberinya
perlindungan lebih baik ketimbang Syam maupun Mesir. Abdul Rahman sendiri berniat
untuk menjadikan Andalusia sebagai pondasi membangun Umayyah kembali. Ia tiba di
Andalusia pada thaun 755 M.
Bersama pasukannya, Abdul Rahman bergerak menuju Cordova. Ia mengalahkan
gubernur Andalusia saat itu, Yusuf Al Fihr. Gubernur yang kalah tersebut melarikan diri
dan membuat kekacauan sepanjang pelariannya hingga tewas di Toledo pada 759 M.
Tapi Abbasiyah juga tidak menghendaki Andalusia jatuh ke tangan Abdul Rahman.
Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, yang tidak ingin wilayah Andalusia menjadi tempat
berdirinya Umayyah baru, mengangkat seorang gubernur untuk menguasai Andalusia.4
Abdul Rahman berhasil mengatasi gubernur Abbasiyah tersebut. Sang gubernur,
yang bernama A’la bin Mughits dihukum pancung dan kepalanya yang diawetkan
dikirim kepada Al Manshur. Al Manshur menerima kiriman tersebut dengan mengucap
syukur.5Abbasiyah kemudian terlibat dalam propaganda terhadap para mantan pengikut
Abdul Rahman yang kecewa. Penyebabnya adalah sharing power yang tidak
memuaskan. Kekecewaan tersebut kemudian berbuah menjadi pemberontakan pada

4
David Levering Lewis, The Greatness of Al Andalus, terj. Yuliani Liputo (Jakarta: Serambi, 2012) h.
302-303
5
Phillip K. Hitti, History Of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin, Dedi Slamet Riyadi (Jakarta:
Serambi, 2008) h. 645. Sumber Hitti adalah Ibn Al Quthiyah, h. 33-34 dan Al Maqqari, Jilid I, h. 215.

94
kekuasaan Umayyah yang baru saja berdiri. Abdul Rahman berhasil mengatasi
pemberontakan itu, namun ia harus bekerja keras untuk memastikan keberlangsungan
hidup kekuasaannya tersebut.
Abdul Rahman sadar bahwa ide untuk mengklaim jabatan kekhalifahan, mesti
masih dimungkinkan, tidak akan cukup populer bagi kekuasaan yang baru ia bangun.
Bagaimanapun juga, Abbasiyah telah menguasai bagian terbesar dari wilayah
Kekhalifahan Umayyah, meliputi Syam, Hijaz, Mesir dan Iraq. Sehingga, jabatan
kekhalifahan menjadi lebih logis untuk diklaim oleh penguasa Abbasiyah.
Meski demikian, Abbasiyah sedikit merubah konsep jabatan kekhalifahan. Jika
para pemimpin Umayyah menggunakan gelar Khalifah Rasulullah, maka para pemimpin
Abbasiyah menggunakan gelar Khalifah Allah. Bisa jadi, perubahan gelar ini adalah
salah satu cara Abbasiyah untuk menghindarkan Abdul Rahman melanjutkan klaim dari
leluhurnya sebagai Khalifah Rasulullah. Dengan penggunaan gelar baru, Khalifah Allah,
yang maknanya lebih tinggi daripada Khalifah Rasulullah, maka pemimpin Abbasiyah
akan menjadi penguasa terbesar dan tertinggi didalam dunia Muslim. Sehingga,
sekalipun Abdul Rahman memaksakan diri mengklaim jabatan Khalifah Rasulullah,
gelar itu tidak akan bermakna bahwa Umayyah II lebih baik dan lebih tinggi didalam
dunia Muslim.
Pada akhirnya, Abdul Rahman membangun Umayyah II di Andalusia sebagai
sebuah emirat, dimana ia adalah amir pertamanya. Abdul Rahman mengambil Cordova
sebagai ibukota Umayyah II. Dari Cordova, Abdul Rahman memperkokoh
pemerintahannya dengan menyiapkan angkatan bersenjata yang kuat. Ia merekrut tentara
dari orang-orang Berber yang dibayar. Jumlah tentara yang dilatih untuk melindungi
Ummayah II sekitar 40.000 orang.6 Sebuah jumlah yang cukup besar untuk ukuran abad
pertengahan. Angkatan bersenjata ini dibutuhkan oleh Umayyah II untuk
mempertahankan diri dari musuh-musuh yang siap menerkamnya.
Ketika Umayyah II baru saja berdiri, Charlegmane mewarisi kekuasaan Frank
bersama saudaranya Carloman. Ketika Carloman meninggal dunia, Chrlegmane menajdi
penguasa tunggal bagi Frank. Kekuasaanya kemudian diinisiasi Paus sebagai Kekaisaran
Roma yang baru. Meski pada faktanya, kekuasaan itu tidak ada hubungannya sama
sekali dengan Kekaisaran Roma yang lama, inisisasi itu pada dasarnya adalah sebuah
respon Paus di Roma yang berbeda pandangan keagamaan dengan Katolik Ortodoks
yang di anut Romawi Timur. Dengan dukungan Paus pada Charlegmane, secara otomatis
Roma baru ini bermusuhan dengan Byzantine.
Bagi Charlegmane, Umayyah adalah juga musuh, meskipun telah bertransformasi
hanya menjadi sebuah emirat. Latar belakang sejarah Umayyah yang coba merangsek
jauh ke Eropa Barat adalah salah satu pemicu permusuhan tersebut. Charles Martel yang

6
Ibid, h. 646

95
menahan gerak maju Ummayah di Poitiers pada 732 M, adalah leluhur Charlegmane.
Kemenangan leluhur Charlemagne tersebut, akan selalu diingat sebagai sebuah kisah
heroik orang-orang Frank melindungi Eropa Barat dari ancaman Umayyah. Oleh sebab
itu, meski Umayyah II telah mengalami perubahan konsep dan bentuk pemerintahan,
kekuasaan itu tetap dianggap sebagai musuh tradisional Frank.
Charlemagne sendiri tidak membutuhkan waktu lama untuk menujukkan sikap
permusuhannya pada Umayyah II. Undangan untuk bergabung kedalam sebuah
konfederasi anti Umayyah II pada tahun 777 M, tidak dilewatkan begitu saja. Bahkan,
hanya setahun setelah konfederasi tersebut diinisiasi, Charlegmane sudah bergerak
menyusuri timur laut Spanyol menuju Zaragoza. Namun ia kembali ke ibukotanya
setelah kota itu menolak membuka gerbang kota untuk bekerjasama dengannya. Alasan
lain kembalinya Charlegmane ke ibukotanya adalah ancaman dari dalam wilayah
teritorialnya sendiri yang memaksa ia untuk segera memadamkannya.
Perjalanan kembali itu tidak semulus perjalanan perginya. Ditengah jalan pulang,
pasukannya diserang oleh orang-orang Basques dan Charlegmane menderita banyak
kerugian jiwa dan materi. Usaha Charlegmane untuk melabrak Ummayah II menemui
kegagalan. Namun bagi Abdul Rahman, gerakan pasukan Charlegmane memberi sinyal
baginya untuk lebih berhati-hati. Paling tidak, dalam daftar musuh Ummayah II, kini
tidak hanya ada nama Abbasiyah melainkan juga Franka.
Kehadiran Umayyah II disamping Kekhalifahan Abbasiyah telah mengubah peta
geopolitik dunia Muslim untuk pertama kalinya. Situasi dan kondisi antara Umayyah II
dan Abbasiyah sama sekali berbeda dengan situasi dan kondisi pada masa transisi Ali bin
Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Ketika Ali bin Abi Thalib wafat, Hasan bin Ali yang
diangkat untuk meneruskan ayahnya, dengan sukarela menyerahkan kekuasaannya
kepada Mu’awiyah. Sehingga dunia Muslim menjadi bersatu kembali secara politik.7
Unifikasi politik tersebut, meski menyisakan konflik-konflik kecil, masih menjadi simbol
representasi politik orang-orang Islam kedalam sebuah lembaga saja. Sehingga,
kekuatan-kekuatan diluar dunia Muslim juga menganggap bahwa Islam adalah sebuah
kekuatan berbentuk kekhalifahan yang bersatu.
Reunifikasi politik dunia Islam seperti masa Mu’awiyah tidak akan pernah
terjadi. Cara Abbasiyah naik ke panggung kekhalifahan dunia Muslim dengan
meruntuhkan Umayyah adalah latar belakang permusuhan keduanya. Umayyah II yang
merupakan kelanjutan dari sisa kekuatan Kekhalifahan Umayyah mengambil sikap
memusuhi Kekhalifahan Abbasiyah. Sementara itu, Abbasiyah juga mengambil sikap
yang sama dengan memusuhi Umayyah. Latar belakang permusuhan keduanya jelas-

7
Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir Ath Thabari, Shahih Tarikh Ath Thabari Jilid. 4&5, terj. Beni
Hamzah, Solihin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011)h. 5; lihat juga Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir Ath
Thabari, Shahih Tarikh Ath Thabari Jilid. 3, terj. Beni Hamzah, Solihin(Jakarta: Pustaka Azzam, 2011) h.
762, dimana disebutkan bahwa Mu’awiyah baru disebut sebagai khalifah setelah Ali bin Abi Thalib wafat.

96
jelas berlandaskan pada perbedaan pandangan politik. Kedua kekuatan itu, yang
sesungguhnya merepresentasikan politik orang-orang Islam, akan bersaing satu sama lain
untuk saling menjatuhkan dan menghancurkan.
Bagi Umayyah II, Abbasiyah adalah musuh nomor satu dan Franka menjadi
musuh nomor dua. Kedua musuh tersebut bukanlah kekuatan yang biasa. Bisa disebut
keduanya adalah salah satu dari tiga raksasa dunia di abad pertengahan. Raksasa lainnya
tentu saja Byzantine, musuh lama Umayyah. Persoalannya bagi Umayyah II adalah
apakah Byzantine harus tetap menjadi musuh mereka. Abbasiyah dan Franka Roma
sudah cukup besar sebagai musuh, jika masih ditambah dengan Byzantine,
keberlangsungan hidup Umayyah II benar-benar akan terancam.
Jika mengacu pada kenyataan sejarah Umayyah yang bermusuhan dengan
Byzantine, maka Umayyah II sebagai penerus Kekhalifahan Umayyah seharusnya juga
menjadi musuh bagi Byzantine. Namun, kenyataannya sama sekali berbeda dengan
Franka Roma yang segera menunjukkan sikap permusuhannya beberapa saat setelah
Umayyah II berdiri. Byzantine sendiri justru menunjukkan sikap acuh tak acuh pada
kehadiran Umayyah II di Andalusia.
Byzantine sepertinya masih fokus pada usaha untuk mengembalikan wilayah
Syam yang jatuh ketangan Muslim sejak masa Khalifah Umar bin Khattab. Selama lebih
satu abad, sejak lepasnya wilayah Syam, Byzantine tidak pernah berhasil merebut
kembali wilayah tersebut dari tangan orang-orang Islam.8 Justru sebaliknya, orang-orang
Islam telah berhasil melabrak ibukota kekaisaran mereka meski belum berhasil
menguasainya. Rangkaian kekalahan Byzantine telah menjadikan kekaisaran tersebut
sebagai superpower yang sakit. Sehingga, menjadi cukup realistis bagi Byzantine untuk
menjadikan transisi kekuasaan dari Kekhalifahan Umayyah kepada Abbasiyah sebagai
momentum untuk merebut kembali wilayah Syam dari tangan orang-orang Islam.
Dengan kondisi ini, secara otomatis Byzantine bermusuhan dengan Abbasiyah
yang telah mewarisi bekas wilayah Kekhalifahan Umayyah. Permusuhan antara
Byzantine dengan Abbasiyah tentu saja sebuah keuntungan politik bagi Umayyah II.
Keuntungan politik itu menjadi bertambah ketika Umayyah II juga mengetahui bahwa
antara Charlegmane dengan Byzantine terdapat perselisihan mengenai pandangan
Kekristenan. Dengan demikian, Umayyah II mendapati kenyataan bahwa Byzantine juga
memiliki musuh yang sama dengannya dalam bentuk kekuasaan Abbasiyah dan Frank.
Kehadiran musuh yang sama bagi Byzantine dan Umayyah II, akan segera
dimanfaatkan oleh Umayyah II untuk menjadikannya sebagai teman. Paling tidak, antara
Umayyah II dan Byzantine tidak saling serang. Kebijakan ini ditempuh untuk
mengurangi ancaman dan tekanan pada eksistensi Umayyah II di Andalusia. Dua musuh,
Franka dan Abbasiyah sudah cukup bagi Umayyah II.

8
Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir Ath Thabari, Jilid.3 , h. 424-433

97
Disisi yang lain, Charlegmane sendiri ternyata berteman dengan Khalifah
Abbasiyah. Sehingga, kutub yang terbentuk diantara perselisihan mereka adalah
Byzantine dan Umayyah II disatu kutub dan Abbasiyah dengan Franka Roma di kutub
yang lain.9 Kedua kutub secara jelas tidak mencerminkan persekutuan berbasis agama.
Kedua kutub hanya mewakili basis kepentingan politik masing-masing.
Jika melihat pada fakta sejarah yang berlangsung kemudian, Umayyah II akan
menjadikan Byzantine sebagai proxy-nya dalam menghadapi Abbasiyah. Sementara
Abbasiyah sendiri akan menggunakan Franka Roma sebagai proxy-nya memerangi
Umayyah II. Oleh sebab itu, dalam sejarah Eropa kita akan melihat Franka Roma dan
penguasa-penguasa Eropa lainnya yang beraliansi dengan Frank akan selalu berperang
dengan Umayyah II. Bahkan ketika Umayyah II telah runtuh, peperangan masih akan
berlanjut kepada kerajaan-kerajaan Muslim kecil di Andalusia.
Sementara itu, diwilayah Asia Tengah dan Asia kecil, sejarah akan mencatat
peperangan-peperangan yang berlangsung antara Abbasiyah dengan Byzantine. Semua
peperangan tersebut adalah hasil dari strategi peperangan proxy antara dua kutub yang
masing-masing kutub diisi oleh kekuatan politik Islam berwujud Abbasiyah dan
Umayyah II. Pandangan politik Abbasiyah dan Umayyah II yang berbeda, telah
mewarnai geopolitik dunia abad pertengahan. Namun, konflik diantara Abbasiyah
dengan Umayyah II tidak dapat difahami sebagai sebuah konflik didalam Islam,
melainkan konflik diantara sesama orang Islam dalam kerangka perbedaan pandangan
politik.
2. Mozarab
Sepanjang sejarah berdirinya, Umayyah II akan lebih banyak mengalami
gangguan keamanan masif dari arah Eropa Barat. Sebagaimana dijelaskan diatas, hal ini
adalah salah satu dampak dari peperangan proxy yang terjadi diantara Umayyah II dan
Abbasiyah. Selain gangguan dari kekuasan-kekuasaan orang Kristen dari arah utara,
Amir Ummayah II juga masih akan direpotkan oleh berbagai gangguan keamanan dari
dalam wilayah teritorinya.
Meski demikian, peperangan proxy ini telah berdampak pada hampir tidak
adanya kontak senjata langsung antara Amir Ummayah II di Andalusia dengan Khalifah
Abbasiyah di Baghdad. Pemberontakan bekas pengikut Abdul Rahman bin Mu’awiyah
serta kedatangan A’la bin Mughits hanya dua dari beberapa keterlibatan Abbasiyah
dalam usaha menggagalkan pendirian Ummayah II. Sementara, Abdul Rahman bin
Mu’awiyah sendiri tercatat hanya sekali berusaha untuk menyerang dan menguasai
kembali Syam yang telah menjadi bagian teritorial Abbasiyah. Usaha itupun urung

9
Phillip K. Hitti, History, h. 370

98
ditengah jalan karena Abdul Rahman memilih kembali ke Andalusia disebabkan
munculnya ancaman keamanan dari dalam wilayahnya sendiri.10
Meski demikian, Umayyah II tetap bercita-cita suatu saat kelak dapat mengambil
kembali gelar kekhalifahan dari genggaman Abbasiyah. Para Amir Umayyah II
kemudian terlibat dalam proyek-proyek sosial budaya dalam rangka persaingan dengan
Kekhalifahan Abbasiyah. Jika Abbasiyah dengan ibukotanya Baghdad adalah mutiara
yang menyaingi Konstantinopel, maka Cordova kemudian menjadi satu-satunya kota
yang menjadi mutiara di Eropa. Di Cordova, Abdul Rahman bin Mu’awiyah mendirikan
Mesjid Agung Cordova. Meski masih harus menghadapi beberapa pertempuran melawan
penguasa-penguasa Kristen dari arah utara serta beberapa pemberontakan dari dalam
negeri, Umayyah II masih cukup berhasil membangun sebuah peradaban Muslim yang
maju di Eropa.
Ancaman keamanan yang cukup menggangu stabilitas kekuasaan Umayyah II
terjadi pada masa amir ketiga, Al Hakam I. Ancaman itu yang dimulai pada sekitar tahun
805 M, berbentuk kerusuhan sipil yang berubah menjadi pemberontakan. Meski dapat
diatasi oleh Al Hakam I, namun muncul dampak besar berupa eksodusnya lebih kurang
delapan ribu keluarga dari wilayah Spanyol Muslim.
Pada masa amir keempat, Abdul Rahman II, mazhab Maliki mulai berkembang di
Andalusia. Mazhab ini dibawa dan disebarkan oleh Yahya bin Yahya (w.849 M). Abdul
Rahman II juga memberi perhatian pada astronomi, matematika, filsafat dan ilmu
pengobatan.11 Pada masa Abdul Rahman II juga, Andalusia kedatangan seorang biduan
terkenal dari Baghdad yang bermigrasi lalu menetap di Cordova. Biduan ini, bernama
Ziryab dan berasal dari Persia. Ziryab adalah mantan biduan istana Khalifah Abbasiyah
di Baghdad.
Ketika Ziryab tiba di Cordova, Abdul Rahman II tidak menyia-nyiakan
kedatangannya. Abdul Rahman II memberinya gaji sekitar 3000 dinar pertahun. Dengan
cara ini Abdul Rahman II berharap Ziryab dapat memperkaya peradaban Cordova hingga
dapat menyaingi Baghdad. Upaya Abdul Rahman II cukup berhasil, dimana Ziryab
kemudian bukan hanya menjadi biduan yang mempopulerkan Cordova. Ziryab adalah
penyair, astronom dan ahli geografi sekaligus. Ziryab juga menjadi seorang trend setter
di Cordova. Dimana berkat kehadiran dan gayanya, orang-orang Cordova mulai minum
dari wadah berbahan gelas. Sebelumnya orang-orang Cordova minum dari wadah
berbahan logam.12

10
Ibid, h. 645
11
Wan Kamal Mujani, Ibnor Azli Ibrahim, “Contribution of Muslim Scholars to Astronomy in the
Medieval Century of Andalusia” in Advances in Natural and Applied Sciences, 6(8): 1366-1369, (2012) h.
1367
12
Phillip K. Hitti, History,h. 654-655

99
Cordova pada masa Abdul Rahman II, adalah masa dimana ibukota Umayyah II
tersebut mulai memberi pengaruh kebudayaan yang kuat di wilayah Andalusia. Perilaku
sosial dan budaya yang dikembangkan dari istana dan lingkungan istana Umayyah II
diikuti tidak hanya oleh penduduk Emirat Umayyah II yang beragama Islam, melainkan
juga oleh orang-orang Kristen. Namun, pengaruh kebudayaan ini hanya sebatas
menjadikan para penduduk Andalusia yang Kristen menjadi ter-arab-kan. Apa yang
terjadi di Andalusia adalah arabisasi bukannya islamisasi.
Orang-orang Kristen di wilayah Spanyol Muslim ini kemudian disebut sebagai
mozarab, yaitu orang-orang yang mengikuti bahasa dan adat istiadat Arab. Namun
orang-orang Spanyol yang fanatik pada Kekristenan justru salah faham dalam menilai
menilai fenomena ini. Mereka justru menganggap bahwa Umayyah II sedang melakukan
islamisasi melalui budaya. Sehingga, sebuah gerakan yang reaksioner muncul untuk
memprotes fenomena mozarab.
Hasil dari gerakan itu adalah penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW dan
Islam oleh seorang pendeta Cordova bernama Perfectus pada sekitar tahun 850 M. Aksi
penghinaan sang pendeta pun diganjar hukuman mati oleh penguasa Umayyah II.
Uniknya, orang-orang Kristen dengan dipimpin oleh Uskup Cordova memberi gelar
santo kepada pendeta tersebut.
Gesekan horizontal dengan membawa sentimen keagamaan di wilayah Spanyol
Muslim tidak berhenti sampai disitu. Pendeta lainnya yang bernama Isaac, berpura-pura
masuk Islam. Pendeta yang berpura-pura ini kemudian mengikuti jejak Perfectus dengan
menghina Nabi Muhammad SAW dan Islam. Penguasa Umayyah II pun memberi
hukuman yang sama kepada Isaac. Ia dihukum mati dengan cara dipancung. Oleh
kalangan Kristen, Isaac kemudian juga diberi gelar santo.
Aksi menghujat Nabi Muhammad SAW dan menistakan agama Islam masih terus
berlanjut di wilayah Spanyol Muslim. Sejarah mencatat setelah kedua peristiwa tersebut,
paling tidak muncul sebelas aksi serupa dalam kurun waktu kurang dari dua bulan.
Kesebelas aksi penistaan tersebut berakhir dengan hukuman mati. Kondisi demikian
menjadikan stabilitas politik dan keamanan di Spanyol Muslim tidak cukup kondusif.
Bahkan setelah amir Umayyah II berganti dari Abdul Rahman II kepada Muhammad I,
kondisi ini masih berlanjut.
Muhammad I, kemudian mengambil kebijakan yang lebih tegas dengan
menghukum mati aktor intelektual gerakan tersebut, yaitu pendeta Eulogius dan Uskup
Cordova.13 Namun tindakan hukum tersebut tidak menghentikan kekacauan berbasis
sentimen agama tersebut. kekacauan masih terus berlanjut pada masa amir-amir
berikutnya. Bahkan Al Mundzir, penerus Muhammad I; serta Abdullah yang merupakan
penerus Al Mundzir, dituduh oleh pihak-pihak yang mengacau sebagai penguasa yang

13
Phillip K. Hitti, History, h. 655-657

100
tidak toleran. Dengan bahasa lain, para amir Umayyah II dipaksa untuk bersikap toleran
pada tindakan-tindakan yang menghujat serta menghina Nabi Muhammad SAW dan
Islam.
Bersamaan dengan kekacauan yang disebabkan sentimen agama ini yang pada
akhirnya didukung oleh para mozarab sendiri, muncul kekacauan lain yang juga ada
hubungannya dengan sentimen agama.14 Seorang keturunan bangsawan Gothik yang
bernama Umar bin Hafsun memimpin pemberontakan pada Umayyah II. Pemberontakan
Umar bin Hafsun berlangsung selama masa pemerintahan Muhammad I, Al Mundzir,
Abdullah dan Abdul Rahman III. Pemberontakan ini termasuk salah satu ancaman paling
berbahaya bagi ibukota Umayyah II.
Umar bin Hafsun menggoyahkan Umayyah II dengan dukungan dari orang-orang
Kristen. Meskipun ia seorang Muslim, orang-orang Kristen menganggapnya sebagai
seorang pahlawan. Ada kemungkinan bahwa ia memang seorang Kristen yang
menggunakan identitas Muslim. Indikasi ini dapat dilihat kemudian ketika ia memeluk
agama Kristen dan mengganti namanya menjadi Samuel.15
Umar bin Hafsun alias Samuel kemungkinan juga mendapat bantuan dari
Abbasiyah. Ia dilaporkan sempat menjalin komunikasi dengan Khalifah Abbasiyah.
Umar bin Hafsun berharap Abbasiyah memberinya dukungan dan kompensasi sebagai
gubernur Andalusia atas nama Abbasiyah ketika usaha pemberontakannya telah berhasil.
Namun, ia gagal meski cukup berhasil merepotkan Umayyah II dengan mengisolasi
ibukota Ummayah II di Cordova.
Umar bin Hafsun alias Samuel, terus menerus merongrong kekuasaan Umayyah
II sampai masa Abdul Rahman III. Petualangan politik Umar bin Hafsun alias Samuel
baru berakhir ketika ia meninggal dunia pada sekitar tahun 917 Masehi. Sampai
kematiannya tersebut, ia telah memberontak pada Umayyah II selama lebih kurang 37
tahun.
Selain menghadapi anacaman Umar bin Hafshun alias Samuel. Pada saat yang
hampir bersamaan, Umayyah II juga harus menghadapi ancaman dari utara dan selatan.
Di utara, raja-raja Kristen dari Dinasti Leon berusaha mengambil alih wilayah-wilayah
Umayyah II. Sementara di Selatan, Dinasti Fatimiyah yang telah membangun aliansi
dengan Umar bin Hafshun berusaha mengambil kontrol atas wilayah Andalusia.
Beberapa tahun sebelum berakhirnya pemberontakan Samuel, Abdul Rahman III
telah menaklukkan Ekiya, Jaen, Elvira dan Sevila antara tahun 912-913 M. Ia kemudian

14
Fenomena ini sedikit menjelaskan bahwa sebenarnya kebanyakan penduduk Andalusia yang
memeluk islam tidak benar-benar meemluk Islam melainkan hanya mengikuti gaya hidup dan budaya
Arab
15
Phillip K. Hitti, History, h. 659

101
berhasil menaklukkan Toledo pada tahun 923 M. Fatimiyah sendiri dikalahkan oleh
Abdul Rahman III pada pertempuran tahun 929 M.16
3. Cordova
Ketika Abdul Rahman III naik kepuncak kekuasaan Umayyah di Cordova
Spanyol, Abbasiyah sedang mengalami masa-masa kemunduran. Abdul Rahman sendiri
masih harus menghadapi kepungan ancaman dari raja-raja Kristen di Utara, Dinasti
Fatimiyah di Selatan, dan dari Umar bin Hafshun. Namun ia masih mampu mengatasi
semua ancaman tersebut bahkan meluaskan wilayah kekuasaan Umayyah II.
Keberhasilan Abdul Rahman III, membuatnya percaya diri untuk menyatakan diri
sebagai khalifah bagi dunia Muslim pada tahun 929 M. Abdul Rahman III kemudian
mengambil gelar Al Khalifah An Nashir li Din Allah, yang berarti khalifah penolong
agama Allah.17 Umayyah II, dimasa Abdul Rahman III telah berkembang jauh lebih baik
daripada saat didirikan oleh leluhurnya Abdul Rahman bin Mu’awiyah bin Hisyam.
Ibukotanya, Cordova, adalah mutiara paling bersinar yang ketinggian
peradabannya hanya dapat disaingi oleh Baghdad dan Konstantinopel. Penduduknya
berjumlah paling tidak setengah juta jiwa. Sebuah angka yang besar untuk ukuran abad
kesepuluh Masehi. Di Cordova, akan ditemukan setidaknya 130.000 keluarga, 3000
mesjid dan 28 kota satelit.18 Di ibukotanya ini, sang khalifah memiliki istana megah yang
dibangun dengan biaya sekitar 300.000 dinar. Besarnya istana ini terlihat bangunannya
yang memiliki panjang 1300 meter dan lebar 800 meter. Istana ini dikenal dalam sejarah
sebagai Madinah Al Zahra.19
Kegemilangan Umayyah II pada masa Abdul Rahman III akan dilanjutkan oleh
penerusnya Al Hakam II yang berkuasa pada tahun 961 sampai dengan 976 Masehi.
Pada masa Al Hakam II, dunia mulai mengenal sebuah lembaga pendidikan tinggi
bernama Universitas Cordova. Kehadiran universitas ini-lah yang menjadikan Cordova
dan Umayyah II lebih unggul dari Baghdad dan Abbasiyah.
Al Hakam II mengundang cendikiawan-cendikiawan untuk datang mengajar di
Universitas Cordova. Salah satu dari cendikiawan itu adalah Ibnu Al Qutsiyah yang
merupakan seorang sejarawan dengan kayanya yang terkenal Tarikh Iftitah Al Andalus.20
Popularitas Universitas Cordova telah memancing banyak penuntut ilmu untuk datang
belajar ke tempat itu. para pelajar yang datang bukan hanya orang-orang Islam,

16
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Umayyah II Di Cordova (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) h. 116
17
Arif Septialona, “Perkembangan Islam Di Andalusia Pada Masa Abdurrahman III (An Nashir
Liddinillah, 912-961 M)” dalam Tamaddun, Vol 1. No.1 (2016). h. 55
18
Yoyo Hambali, “Sejarah Sosial dan Intelektual Masyarakat Muslim Andalusia dan Kontribusinya
bagi Peradaban Dunia” dalam Ilmu Ushuluddin, Vol. 3, No. 1, Januari (2016). h. 51. Bandingkan dengan
Hitti yang menyebut angka 130.000 rumah; lihat Phillip K. Hitti, History, h. 669
19
Athari Ibrahim Al Shuaibi, “Palaces In Andalusia And Iraq In the Islamic Era: A Historical
Comparison Perspective” in International Journal of Heritage Architecture, Vol. 1, No. 3 (2017), h. 289
20
Yoyo Hambali, “Sejarah Sosial”, h. 58

102
melainkan juga orang-orang Kristen. Para pelajar juga tidak hanya berasal dari wilayah
Andalusia, melainkan juga dari wilayah Afrika, Asia, dan Eropa lainnya.
Ketika Universitas Cordova telah mencapai popularitas dalam bidang pendidikan
tinggi, Madrasah Nizhamiyah sendiri belum berdiri. Nizhamiyah sebagai sebuah
lembaga pendidikan tinggi dalam Kekhalifahan Abbasiyah baru didirikan oleh Nizham
Al Muluk pada sekitar tahun 1065-1067 M. Di sisi lain, pada sekitar tahun 972 M, cikal
bakal Universitas Al Azhar di Kairo masih berupa Mesjid Agung yang baru mulai
didirikan.
Hal lain yang membuat Cordova istimewa dan pantas merepresentasikan ibukota
kekhalifahan dunia muslim yang baru adalah perpustakaannya. Di Cordova terdapat
sebuah perpustakaan besar yang berisi tidak kurang dari 400.000 judul buku. Judul-judul
buku tersebut disalin dalam sebuah katalog yang berjumlah 44 jilid. Dengan semua
fasilitas pendidikan di Cordova, hampir seluruh penduduk kota itu bisa membaca dan
menulis.
Jalanan di Cordova juga bagus dan rata. Malam harinya diterangi oleh lampu-
lampu yang digantung didepan rumah-rumah penduduk yang berdiri di sepanjang jalan.
Di Cordova juga terdapat banyak tukang tenun kain, yang jumlahnya diperkirakan
sekitar 13.000 orang. Selain itu masih terdapat kilang besar untuk penyamakan kulit.21
Simbol ketinggian peradaban kota ini adalah sebuah karya arsitektur yang
dibangun oleh Abdul Rahman I, yang diberi nama Mesjid Agung Cordova. Dari tempat
itu, ketinggian peradaban Cordova ditransfer keberbagai wilayah Spanyol Muslim
lainnya. Cordova menjadi sebuah pelita yang menyinari dan membawa Spanyol kepada
kemakmuran. Pertanian tumbuh pesat dimana sistem pengairan dengan menggunakan
kanal diperkenalkan. Beberapa komoditas yang sebelumnya tidak dikenal di Spanyol
juga diperkenalkan dan mulai ditanam. Komoditas itu antara lain padi, kapas, aprikot,
persik, delima dan tebu. Ummayah II juga mencetak mata uang dalam bentuk koin dinar
emas dan koin dirham perak. Mata uang yang dicetak oleh Umayyah II ini digunakan
bukan hanya didalam wilayah Spanyol Muslim, melainkan juga oleh negeri-negeri
Kristen di utara Spanyol.
Apa yang kemudian menjadikan Umayyah II termasyhur di Eropa adalah produk-
produk budaya mereka yang kemudian diadopsi dan dimodifikasi oleh dinasti-dinasti
Muslim kecil sepeninggal keruntuhan Umayyah II. Hasil peradaban Muslim di Eropa
tersebut-lah yang kemudian mewarnai dan memperkaya Eropa. Mendorong orang-orang
Eropa untuk mengikuti jejak kemajuan peradaban Muslim diwilayah tersebut setelah
reconquista yang menyedihkan.
Setelah Hakam II wafat, ia semestinya digantikan oleh putranya Hisyam II.
Namun, disebabkan usianya yang masih cukup muda, ia hanya menjadi sebuah penguasa

21
Phillip K. Hitti, History, h. 671

103
semu. Sosok yang menjalankan kekuasaan Umayyah II sesungguhnya adalah
Muhammad bin Abi Amir yang kemudian akan dikenal sebagai Al Hajib Al Manshur.22
Al Hajib Al Manshur sesungguhnya adalah wazir dari Umayyah II. Berkat
kecakapannya berpolitik, ia berhasil memposisikan diri sebagai penguasa dan pengatur
pemerintahan Spanyol Muslim meski tidak menanggalkan Hisyam II dari jabatan
khalifah. Di masa Al Hajib Al Manshur, Umayyah II masih berada dalam posisi
gemilang. Ia membawa pasukan Umayyah II berperang dengan Leon, Castile dan
Catalonia. Namun, Al Hajib Al Manshur juga yang mulai membawa Cordova ke arah
kemunduran.
Al Hajib Al Manshur memerintahkan pemusnahan kitab-kitab filsafat dari
perpustakaan Al Hakam. Pada tahun 978 M, Al Hajib Al Manshur membangun tempat
tinggalnya yang disebut Madinah Al Zahirah diluar kota Cordova. Kehadiran istana baru
ini, mengurangi pamor istana Madinah Al Zahra di Cordova. Ketika ia meninggal dunia
pada 1002 M, Umayyah II tidak pernah berhasil mempertahankan kegemilangannya lagi.
Kemunduran terus berlangsung sampai pada akhirnya, Hisyam III yang memerintah pada
periode 1027-1031 M dikurung oleh bawahannya sendiri dalam sebuah ruang sempit
disebelah Mesjid Agung Cordova. Hisyam III dikurung bersama putrinya yang masih
bayi. Ia mengemis pelita dan roti untuk bayinya yang kedinginan dan kelaparan,
sementara para menterinya sedang berunding untuk menetapkan penghapusan Umayyah
II.23

C. Kesimpulan
Penjelasan singkat diatas mengenai peperangan proxy, mozarab dan Cordova
memberi informasi bahwa Umayyah II memilih untuk beraliansi dengan kekuasaan non-
Muslim untuk menghadapi Abbasiyah yang sesungguhnya sama-sama Muslim. Apa
yang dapat disimpulkan dan difahami dari penjelasan sejarah diatas adalah kepentingan
politik para penguasa seringkali mengabaikan semangat ukhuwah islamiyah. Bahkan,
sebuah persekutuan dengan non-Muslim dapat lebih erat terjalin ketimbang persahabatan
dengan sesama Muslim hanya demi kepentingan politik. Sebuah ironi sejarah yang juga
masih berlangsung sampai saat ini.
Penjelasan mengenai mozarab, memberi informasi bahwa Umayyah II lebih
berorientasi pada usaha arabisasi dan bukannya islamisasi, yang uniknya justru
disalahfahami oleh orang-orang non-Muslim Andalusia sebagai sebuah bentuk
islamisasi. Fakta sejarah ini memberi pemahaman bahwa memang sejatinya Islam itu
disebarluaskan oleh dakwah para ulama bukannya oleh kekuasaan politik. Lembaga
politik lebih berperan dalam memberi perlindungan fisik pada orang-orang Islam yang

22
Ibid, h. 676
23
Ibid, h. 682.

104
terancam oleh kekuasaan politik yang tidak menyukai kehadiran dan kemajuan orang-
orang Islam.
Kehadiran sebuah lembaga kekuasaan yang merepresentasikan orang-orang Islam
juga dapat difahami sebagai institusi penggerak dan pelindung kebudayaan yang Islami.
Hal ini tercermin pada ketinggian peradaban Cordova yang merupakan produk
kebudayaan yang digerakkan dan dilindungi oleh penguasa Umayyah II di Andalusia.
Namun, instabilitas politik juga yang berpotensi besar memundurkan dan
menghancurkan peradaban itu sendiri. Sejarah Umayyah II di Andalusia memberi
pelajaran mengenai semua ini.
Daftar Pustaka
Ahmad, Mahdi Rizqullah. Biografi Rasulullah: Sebuah Studi Analitis Berdasarkan
Sumber-Sumber Yang Otentik, terj. Yessi H.M Basyaruddin. Jakarta: Qisthi Press.
2009.
Al Shuaibi, Athari Ibrahim. “Palaces In Andalusia And Iraq In the Islamic Era: A
Historical Comparison Perspective”, International Journal of Heritage
Architecture, Vol. 1, No. 3 (2017)
Ath Thabari, Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir. Shahih Tarikh Ath Thabari Jilid. 2,
terj.Beni Hamzah, Solihin. Jakarta: Pustaka Azzam. 2011.
Ath Thabari, Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir. Shahih Tarikh Ath Thabari Jilid. 3,
terj.Beni Hamzah, Solihin. Jakarta: Pustaka Azzam. 2011.
Ath Thabari, Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir. Shahih Tarikh Ath Thabari Jilid. 4&5,
terj.Beni Hamzah, Solihin. Jakarta: Pustaka Azzam. 2011.
Hambali, Yoyo. “Sejarah Sosial dan Intelektual Masyarakat Muslim Andalusia dan
Kontribusinya bagi Peradaban Dunia”, Ilmu Ushuluddin, Vol. 3, No. 1, Januari
(2016).
Hisyam, Ibn. Sirah Nabawiyah Jilid. 2, terj. Fadli Bahri. Jakarta: Darul Falah. 2014.
Hitti, Phillip K. History Of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin, Dedi Slamet Riyadi.
Jakarta: Serambi. 2008.
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University Press.
1988
Lewis, David Levering. The Greatness Of Al Andalus, terj. Yuliani Liputo. Jakarta:
Serambi. 2012.
Mujani, Wan Kamal and Ibnor Azli Ibrahim. “Contribution of Muslim Scholars to
Astronomy in the Medieval Century of Andalusia”, Advances in Natural and
Applied Sciences, 6(8): 1366-1369 (2012)
Septialona, Arif. “Perkembangan Islam Di Andalusia Pada Masa Abdurrahman III (An
Nashir Liddinillah, 912-961 M)”, Tamaddun, Vol 1. No.1 (2016).
Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulah Umayyah II Di Cordova. Jakarta: Bulan Bintang.
1977.

105
EKSPANSI WILAYAH DAN ASIMILASI ETNIS MASA KEKHILAFAHAN
UMAYYAH

Nurvictory

Sungguh cahaya Islam telah menerangi tidak hanya Jazirah Arab, akan tetapi berbagai
wilayah baik di bagian Barat maupun bagian Timur Dunia. Secara pasti, perluasan
wilayah kekuasaan Islam terus meluas sejak masa kepemimpinan Islam pertama yakni
RasuluLlah Sallahu ‘alayhi wasallam. Wilayah dunia Islam yang pada awalnya hanya
menguasai Madinah, pada masa RasuluLlah meluas hingga Jazirah Arab. Peradaban
Islam yang tumbuh di negeri-negeri Arab terutama di kawasan Hijaz, identitasnya sama
sekali tidak dipengaruhi HIjazisme atau Arabisme. Kawasan Hijaz atau Arab hanya
menjadi tempat awal tumbuhnya peradaban Islam. Karenanya, tidak mengherankan jika
kemudian peradaban itu bergerak keluar dari negeri tersebut. Sebab, peradaban ini sejak
lahirnya memang memiliki sebuah karakter yang bersifat universal dan manusiawi.
َ َ‫َو َمآ أَرْ َس ْل َٰن‬
َ‫ك إِ اَّل َرحْ َمةً لِّ ْل َٰ َعلَ ِمين‬
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.” (TQS. Al-Anbiya:107)
ٰ َٰ ‫قُلْ َٰيأ َ ُّيهَا النااسُ إِنِّ ْي َرسُوْ ُل‬
‫ّللاِ إِلَ ْي ُك ْم َج ِم ْيعًا‬
“Katakanlah (Muhammad), "Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi
kamu semua,”(TQS. Al’A’raf:158)

Wilayah kaum muslimin pun bertambah luas ketika kepemimpinan Islam dilanjutkan
oleh Khulafaur Rasyidin, khususnya pada masa Umar bin Khattab dan Utsman bin
Affan. Pada Masa Umar bin Khattab, wilayah kekuasaan Islam sudah mencakup seluruh
Jazirah, Plaestina, Suriah, Irak, Persia, dan Mesir. Ekspansi yang dilakukan di masa
Umar telah membawa Umat Islam pada kekuasaan yang semakin kuat. Penaklukan masa
Umar berhenti seiring wafatnya beliau pada tahun 23 H. Namun, misi dakwah melalui
perluasan wilayah dilanjutkan pada masa Utsman bi Affan. Islam kemudian dapat
menguasai wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, sebagian Persia, Transoxania,
dan Tabaristan. Akan tetapi, pasca terbunuhnya Utsman bin Affan, dan kemudian
kekhilafahan dilanjutkan oleh Sahabat Nabi yakni Ali bin Abi Thalib, tidak terjadi
perluasan wilayah. Hal ini terjadi akibat situasi politik dalam negeri yang tidak stabil
pasca wafatnya Utsman bin Affan. Begitu pula pada masa singkat kepemimpinan Hasan
bin Ali sebelum akhirnya ia membaiat Muawiyah bin Abu Sufyan, tidak terjadi perluasan
wilayah.
Namun, prestasi perluasan wilayah Islam kembali dilakukan pada masa kepemimpinan
Umayyah yang memimpin sepanjang kurang lebih 90 tahun ( 661 M - 750 M) atau sejak

106
awal tahun 41 H hingga terbunuhnya Khalifah Marwan bin Muhammad (Marwan II)
pada 27 Dzulhijjah tahun 132 H, yakni sekitar 91 tahun 9 bulan menurut hitungan
Qamariyah. Pada Masa kepemimpinan Umayyah ini, wilayah kekuasan Islam mencakup
Jazirah Arab, Palestina, Syiria, Irak, Persia, Afrika Utara, Spanyol, sebagian Asia kecil,
Afghanistan, Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.
Perluasan wilayah yang terjadipada masa kekhilafahan Umayyah ini tentu kemudian
menimbulkan bertambahnya etnis, bangsa, dan kaum yang kemudian berada dalam
wilayah keuasaan Islam. Makalah ini akan megupas bagaimana gambaran perluasan
wilayah atau ekspansi yang terjadi pada masa Umayyah dan bagaimana asimilasi etnis
yang terjadi.
Para Penguasa Kekhilafahan Umayyah
Kepemimpinan Islam Bani Umayyah dimulai dengan diangkatnya Muawiyah bin Abu
Sufyan melalui proses bai’at di Kufah pada awal tahun 41 H atau 660 M. Sebelumnya,
Muawiyah merupakan gubernur untuk wilayah Syam pada masa Kekhilafahan Utsman
bin Affan. Muawiyah senantiasa menjabat wali(gubernur Syam) hingga syahidnya
Utsman dan diaba’atnya Ali bin Abi Thalib di Madinah. Muawiyah mengambil sikap
untuk tidak mebaiat Ali , karena menurutnya Ali terlalu toleran dalam menangani
masalah pembunuhan Utsman. Penduduk Syam yang sudah terbiasa dipimpin oleh
Muawiyah membaiat Muawiyah untuk menuntut kematian Utsman, yang ujung-
ujungnya Muawiyah memerangi Ali bin Abi Thalib dan kemudian berakhir dengan
peristiwa tahkim. Perselisihan antara Umat Islam sejak peristiwa tahkim terus
berlangsung hingga Ali terbunuh sampai akhirnya jabatan Kekhilafahan diserahkan oleh
Hasan bin Ali kepada Muawiyah. Ketika itulah penduduk Irak dan Syam bersatu
membaiat Muawiyah , dan tahun 41 H disebut sebagai ‘am al-jama’ah, Karena kaum
muslim bisa bersatu setelah sebelumnya dilanda perpecahan. Sejak saat itu. Mulailah
kepemimpinan Muawiyah secara generasl untuk seluruh kaum Msulimin, tepatnya pada
bulan Rabiul Awal tahun 41H.
Ada dua jalur keturunan Umayyah yang memegang popularitas dan tampuk
Kekhilafahan: keturunan Harb bin Umayyah, dan keturunan Abdul Ash bin Umayyah.
Dari keturnunan pertama ada tiga orang Khalifah, sedangkan yang kedua ada 10 orang
Khalifah, yang tergambar dalam diagram berikut:

107
Masa Kekhilafahan Umayyah berjalan sejak awal tahun 41 H hingga terbunuhnya
Khalifah Marwan bin Muhammad (Marwan II) pada 27 Dzulhijjah tahun 132 H, yakni
sekitar 91 tahun 9 bulan menurut hitungan Qamariyah.
Ekspansi Wilayah pada Masa Kekhilafahan Umayyah
Ketika kondisi politik dalam negeri sudah memungkinkan pada masa Umayyah, dunia
Islam kembali memperluas wilayahnya dan menerang dengan cahaya Islam. Ekspansi
pun kembali dilanjutkan. Bahkan Masa Kekhilafahan Umayyah dikenal sebagai era
agresif dalam melakukan penaklukan wilayah. Hanya dalam jangka waktu sekitar 90
tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk ke dalam
kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah
Arab, Syiria, Palestina, sebagian daerah Anatolia, Irak, Persia, Afghanistan, India dan
negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan dan Kirgiztan yang
termasuk Soviet Rusia.
Menurut Prof. Ahmad Syalabi, penaklukan militer di zaman Umayah mencakup tiga
front penting, yaitu sebagai berikut:
a. Front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama pengepungan
ke ibu kota Konstatinopel, dan penyerangan ke pulau-pulau di Laut Tengah.
b. Front Afrika Utara. Selain menundukan daerah hitam Afrika, pasukan muslim juga
menyeberangi Selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
c. Front timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke jalur ini
dibagi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun
(Ammu Darye). Sedangkan yang lainya kearah selatan menyusuri Sind, wilayah India
bagian barat.

Dilihat dari sudut pandang lainm, perluasan di masa Umayyah meliputi:


a. Perluasan ke Wilayah Barat

108
Muawiyah berusaha mematahkan imperium Bizantium, dengan merebut Kota
Konstantinopel. Oleh karena itu selalu dilakukan pengintaian dan ekspedisi ke Wilayah
Romawi (Turki). Kota itu dikepung pada tahun 50 H/670 M kemudian pada tahun 53-61
H/672-680 M, namun tidak berhasil ditaklukan. Muawiyah membentuk pasukan laut
yang besar yang siaga di Laut Tengah dengan kekuatan 1.700 kapal. Dengan kekuatan
itu dia berhasil memetik berbagai kemenangan. Dia berhasil menaklukan pulau Jarba di
Tunisia pada tahun 49 H/669 M, kepulauan Rhodesia pada tahun 53 H/673 M, kepulauan
Kreta pada tahun 55 H/624 M , dan kepulauan Ijih dekat Konstatinopel pada tahun 57
H/680 M. Muawiyah juga menyerang pulau-pulau Sisilia dan pulau-pulau Arward.

1) Penaklukan di Afrika Utara


Pada zaman Utsman, orang-orang Arab telah mencapai Barqah dan Tripoli di Libia,
kemudian Muawiyah bertekad merebut kekuasaan dari Romawi di Afrika Utara. Pada
tahun 41 H/661 M Benzarat berhasil ditaklukkan, Qamuniah (dekat Qayrawan)
ditaklukkan pada tahun 45 H/ 665 M, Sasat juga ditaklukkan pada tahun yang sama.
Uqbah bin Nafi’ berhasil menaklukan Sirt dan Mogadishu, Tharablis, dan menaklukan
Wadan kembali. Dengan dukungan orang Barbar dia mengalahkan tentara Bizantium di
Ifriqiyah (Tunisia). Pada tahun 670 M Uqbah mendirikan kota Qayrawan sebagai kota
Islam. Kur sebuah wilayah di Sudan berhasil pula ditaklukan. Akhirnya, penaklukan ini
sampai ke wilayah Maghrib Tengah (Aljazair).
2) Ekspansi ke Spanyol
Setelah Berjaya di Afrika Utara, tentara Islam ingin melanjutkan ekspansinya ke daratan
Eropa. Tariq bin Ziyad berhasil menaklukkan kota Cordova, Granada dan Toledo
(Toledo di masa itu adalah ibu kota kerajaan Ghot). Kemudian ia berhasil menaklukkan
kota-kota Spanyol dan merebut kota Karma, Barcelona, dan Saragosa.

b. Perluasan ke Wilayah Timur


Kawasan Timur yakni Negeri Asia Tengah dan Sindh. Negeri-negeri Asia Tengah
meliputi kawasan yang berada diantara sungai Sayhun dan Jayhun. Mayoritas penduduk
di kawasan itu adalah kaum pagnis. Pasukan Islam menyerang wilayah Asia Tengah
pada tahun 41 H/661 M. pada tahun 43 H/663 M mereka mampu menaklukan sebagian
wilayah Thakharistan pada tahun 45 H/665 M. mereka sampai ke wilayah Quhistan.
Pada tahun 44 H/664 M Abdullah bin Ziyad tiba di pegunungan Bukhari.
Pada tahun 44 H/664 M kaum muslimin menyerang wilayah Sindh dan India. Penduduk
di tempat itu selalu melakukan pemberontakan sehingga membuat kawasan itu tidak
selamanya stabil kecuali di masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik.

109
Dengan demikian, wilayah kekuasaan Islam telah mencakup wilayah sangat luas hingga
ke bagian Barat(Eropa) dan Timur. Wilayahnya mencakup Jazirah Arab, Palestina,
Syiria, Irak, Persia, Afrika Utara, Spanyol, sebagian Asia kecil, Afghanistan, Pakistan,
Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.

Asimilasi Etnis Masa Kehilafahan Umayyah

Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antara bangsa-bangsa Muslim (Arab)
dengan negeri Negeri taklukan yang terkenal memiliki kebudayaan yang telah maju
seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya
pertemuan budaya antara Arab (yang memiliki ciri-ciri Islam) dengan tradisi bangsa-
bangsa lain yang bernaung di bawah kekuasaan Islam. Hubungan tersebut kemudian
melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan dibidang seni bangunan (arsitektur) dan
ilmu pengetahuan. Seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Walid ibn
Abdul Malik (705-715 M) kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah.Ia seorang yang
berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu, ia
menyempurnakan gedung-gedung, pabrik-pabrik dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan
sumur untuk para kabilah yang berlalu lalang dijalan tersebut. Ia membangun masjid al-
Amawi yang terkenal hingga masa kini di Damaskus. Di samping itu ia menggunakan
kekayaan negerinya untuk menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat
seperti orang lumpuh, buta dan sebagainya.

110
Asimilasi dengan bangsa lain berpengaruh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Salah satunya adalah asimilasi dengan Persia, yang pengaruhnya sangat kuat di bidang
pemerintahan. Selain itu, juga berpengaruh terhadap ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh
India terlihat dalam bidang kedokteran, matematika, dan astronomi, sedangkan pengaruh
Yunani masuk melalui terjemahan-terjamahan dalam banyak bidang ilmu, terutama
filsafat.

Pada masa Umayyah, disebutkan bahwa mulai dikenal stratifikasi soial. MenurutPhilip
K.Hitti(2001:97) rakyat terbagi menjadi empat golongan. Golongan pertama adalah
golongan yang terdiri atas kaum muslimin yang memegang kekuasaan. Golongan kedua
adalah golongan kamum yang baru masuk ke dalam Islam. Golongan ketiga adalah
anggota mazhab-mazhab, zimmi yaitu kaum Kristen, Yahudi, dan Saba yang mengikat
perjanjian dengan kaum muslimin. Golongan keempat adalah golongan budak.

Selama masa Kekhilafahan Umayyah, kondisi sosial dalam keadaan damai dan adil.
Meski bangsa Arab yang memimpin, namun kehidupan muslim non-Arab tidak
mengalami kesulitan. Mereka hidup damai dan bersahabat dengan baik. Mereka
menikmati kewajiban dan hak yang sama dalam kehidupan Negara. Para khalifah
melindungi gereja, katedral, candi, sinagog, dan tempat-tempat suci lainnya, bahkan
semua tempat peribadatan yang rusak dibangun kembali dengan dana yang dikeluarkan
dari kas Negara.Di bawah Kekhalifahan Dinasti Umayyah, Damaskus menjadi salah satu
kota yang cantik di dunia dan menjadi pusat budaya serta pusat kekhilafahan Islam.
Khalifah menghiasinya dengan bangunan-bangunan megah, air mancur, dan rumah-
rumah yang menyenangkan.

Sejak pemerintahan Umayyah, juga mulai berkembang penggunaan serbet, sendok, dan
garpu. Makanan disajikan dengan model dan pola makan di Barat. Itulah mungkin
dampak persentuhan antara kehidupan ummat Islam dengan kehidupan masyarakat
Barat.

Dengan dikuasainya beberapa kota besar di Eropa, terutama Spanyol, kaum muslimin
secara langsung bersentuhan dengan budaya Eropa. Dikatakan bahwa persentuhan ini
mengakibatkan terjadinya akulturasi melalui proses identifikasi, seleksi, resepsi, dan
adaptasi. Persentuhan itu terjadi dalam bidang pemerintahan dan militer, ilmu
pengetahuan dan teknologi, kesenian, gaya hidup, dan lain sebaginya.

Penutupan
Demikianlah gambaran keuasaan wilayah Kekhilafahan Umayyah. Dalam waktu sekitar
90 tahun yakni sejak tahun 661 M hingga 750 M, wilayah dunia Islam sangatlah luas,

111
mencakup wilayah Barat dan Timur dunia. Wilayah kekuasan Islam mencakup Jazirah
Arab, Palestina, Syiria, Irak, Persia, Afrika Utara, Spanyol, sebagian Asia kecil,
Afghanistan, Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.
Perluasan wilayah yang terjadi pada masa kekhilafahan Umayyah ini tentu kemudian
menimbulkan bertambahnya etnis, bangsa, dan kaum yang kemudian berada dalam
wilayah keuasaan Islam. Akan tetapi mereka menjadi satu bagian yakni masyarakat
Islam yang hidup di bawah penerapan aturan-aturan Islam.

Daftar Pustaka
Al-Qashash, Ahmad. 2009. Peradaban Islam vs Peradaban Asing. Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah.
Khudari Bek, Muhammad. 2013. Negara Khilafah dari Masa RasuluLlah SAW Hingga
masa Bani Umayyah Jilid 2. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Humaniora Volume XV, No.2/2003

112
DINASTI BANI UMAYYAH DI DAMASKUS

Satria Setiawan

Abstrak
Membahas tentang sejarah Bani Umayyah tentunya tidak dapat
dipisahkan dari seorang tokoh Mu’awiyah Ibn Abi Sofyan keturunan
ketiga dari Umayyah Ibn ‘Abd Sham yang juga disebut dengan Bani
Umayyah, dan juga kebijakan-kebijakan politik di masa khulafaur
rhasidin. Seperti dijelaskan oleh beberapa tokoh seperti Fakhri,bahwa,
Mu’awiyah merupakan tokoh yang memeiliki kepribadian menarik,
lemah lembut, cakap dalam mengatur siasat, bijaksana, kapasitas
intelektual yang tinggi, dan juga fasih dalam berbicara.Karir politiknya
mulai terlihat pada masa khalifah Abu Bakar yang ditandai dengan
keterlibatannya sebagai militer. Kemudian di masa khalifah Umar, ia
diangkat sebagai Gubernur di Damaskus. Beriringan dengan
kepemerintahannya di damaskus, wilayah kekuasaannya bertambah luas
ketika khalifah ‘Usman bekuasa, karena seluruh wilayah Syam berada
dalam pengawasannya.Ambisi Mu’awiyah untuk menjadi orang nomor
satu di dunia Islam ditengarahi ketika kekhalifahan sudah di tangan Ali
ibn Abi Thalib, yang mana dalam kepemimpinannya, Ali banyak
memutuskan kebijakan-kebijakan yang menyebabkan suhu perpolitikan
semakin kisruh, ditambah dengan terbunuhnya khalifah ‘Usman,
sehingga dimana-mana terjadi pemberontakan, seperti perang Jamal dan
perang Shiffin.Peralihan kekuasaan kepemimpinan umat Islam dari
khalifah Ali bin Abi Thalib ke Mu’awiyah tidak sama dengan khalifah-
khalifah sebelumnya yang berlangsung secara damai, tertib dan
demokratis. Peralihan kekuasaan dari Ali ke Mu’awiyah diwarnai
dengan peperangan (Perang Shiffin) yang awalnya kemenangan hampir
berpihak kepada Ali, namun dengan tipu siasat Mu’awiyah yang
mengajak Ali untuk berdamai dan membuat kesepakatan bahwa untuk
memilih pemimpin diserahkan sepenuhnya kepada rakyat. Perundingan
itu ditandai dengan proses tahkhim, yang senyatanya itu hanya dijadikan
siasat Mu’awiyah untuk menjadi seorang pemimpin.Darisinilah
pemerintahan Mu’awiayah ibn Abi Shofyan dimulai dengan bebagai
corak baru sistem kepemerintahannya (sistem kerajaan atau sistem
monarki), yang sekaligus mengawali munculnya secara terang-terangan
kekeuasaan Dinasti Umayyah sebagai generasi kekhalifahan setelah
khulafaur Rashidin.
Kata Kunci: Ummayah, Khilafah, Peradaban Islam, Islam

A. Pendahuluan
Peradaban Islam masa Bani Umayah dimulai sejak terbunuhnya Ali bin Abi
Thalib oleh kaum Khawarij yang tidak setuju dengan keputusan Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah terakhir dari Khulafaurrasyidin yang melakukan perdamaian
(tahkim/arbitrase) dalam perang Shiffin dengan pihak Muawiyah yang kemudian

113
menjadi khalifah pertama bani Umayah pada 661 M./41 H.1 Peradaban Islam pada masa
bani Umayah, tulis Hasan Ibrahim Hasan, berjalan selama kurang lebih 90 tahun dengan
14 orang khalifah. Mereka adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, Yazid bin Muawiyah,
Muawiyah bin Yazid, Marwan bin Al Hakam, Abdul Malik bin Marwan, Al Walid bin
Muhammad, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, Yazid bin Marwan,
Hisyam bin Abdul Malik, Al Walid bin Muhammad, Yazid bin Muhammad, Ibrahim bin
Muhammad dan Marwan bin Muhammad. Namun dari keempat belas khalifah di atas,
hanya lima saja yang merupakan khalifah-khalifah besar menurut Harun Nasution.
Mereka adalah Muawiyah bin Abu Sufyan (661-680M.), Abdul Malik bin Marwan (685-
705M.), Al Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz (717-720M.), dan Hisyam bin
Abdul Malik (724-743 M.).2
Dari kacamata politik, terutama pada penetapan kepala pemerintahan, Peradaban
Islam bani Umayah ditandai dengan adanya perubahan mendasar yang membedakannya
dari peradaban Islam masa Rasul dan Khulafaurrasyidin, yaitu perubahan sistem
pemerintahan dari sistem syura ke sistem kerajaan di mana sang khalifah sebelum
meninggal dunia berhak menentukan siapa yang akan menjadi penggantinya kelak tanpa
ada seorang pun yang berhak menghalanginya. Jadi, meskipun sang kepala negara tetap
menggunakan istilah khalifah, namun artinya sudah berbeda dengan istilah khalifah pada
masa Khulafaurrasyidin di mana seorang khalifah tidak memiliki otoritas penuh terhadap
penentuan pemimpin pemerintahan yang akan menggantinya.
Pewarisan kekhilafahan ini dimulai sejak khalifah bani Umayah yang pertama
yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan yang telah mengangkat anaknya sendiri, Yazid sebagai
putera mahkota berdasarkan saran yang dilontarkan oleh Al Mughirah bin Syu’bah,
Gubernur Kufah. Menurut Hasan Ibrahim Hasan, Al Mughirah bin Syu’bah
menyarankan kepada Muawiyah agar mewariskan kekhalifahan ini ke Yazid setelah
mendengar berita bahwa ia akan dipecat dan jabatannya sebagai Gubernur pada tahun 49
H. dan digantikan oleh Sa’id bin Al Ash yang diterima oleh Muawiyah dan penobatan
Yazid sebagai putera mahkota pun dilakukan meskipun masyarakat di Madinah secara
mayoritas tidak menyetujui hal ini. Menurut penulis, meskipun pewarisan kekhalifahan
ini atas saran dari Al Mughirah bin Syu’bah, namun sejatinya telah menjadi keinginan
kuat Muawiyah sebagai seorang politikus ulung. Hal ini bisa dilihat dari begitu kuatnya
ia mempertahankan keputusannya tersebut meskipun tidak mendapat persetujuan dari
mayoritas penduduk Madinah. Bahkan, Muawiyah pun mengancam akan membunuh

1
Dr. Yatim,Badri, M. A, 1993. Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ), Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada., hlm. 43.
2
Dr. Yatim,Badri, M. A, 1993. Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ), Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada., hlm. 45.

114
Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair dan Al Husain bin Ali sebagai para pemuka
masyarakat Madinah jika mereka menolak keputusannya.3

B. Pembahasan
1. Pendirian Dinasti Bani Umayyah
1.1 Asal Mula Dinasti Bani Umayyah
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman
bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656
M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan
kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah
kekuasaan Islam. Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah
bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk
memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di
pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima
tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa
tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi
Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18
Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap
kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling
layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat
madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah ternyata ditentang oleh
sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur
Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Utsman bin Affan,
menjabat sebagai sekretaris khalifah. Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah
Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan
membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah. Penolakan
Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan
konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran
di Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu
yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin Abi Talib
di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657
M. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam
yang baru.4
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim
baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi

3
Karen Amrmstrong,2003. Sepintas Sejarah Islam, Yogyakarta: Ikonteralitera., hlm. 52.
4
. Wahid, N. Abbas dan Suratno, 2009. Khazanah Sejarah Kebudaan Islam, Solo : PT. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri., hlm. 75.

115
Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah
punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas
segala perintahnya. Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga karena ada berita
bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang
diangkat Utsman bin Affan. Muawiyah mengecam agar tidak mengakui (bai’at)
kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan
tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan
masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam
negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari
beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashradan Mesir. Permohonan atas penyelesaian
kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang dari istri Nabi
Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang
situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan
Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap
sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi
dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi
Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah
isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya
kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah
menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan tersebut. Tuduhan ini
tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua
putranya Hasan dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga
untuk menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang
mendatangi kediaman khalifah. Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai
adalah peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani
Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di dekat
khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah
yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak
menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu
gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur
Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir.
Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka
menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para
pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang
membawa surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad
sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan

116
masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan posisi
gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh
khalifah Utsman bin Affan melakukan kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat.
Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah
khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan
yang sangat sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka
bertambah marah dan segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera
meletakkan jabatan. Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan
semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya.
Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu
masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat
mengenaskan. Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali,
antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal
bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta
masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan
pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan
yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur
lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu
juga pada saat peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena
kelalaian mereka.

1.2 Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan


Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40
H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid
Kufah, oleh kelompok khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak
politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali
(Syi’ah). Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi
Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi
khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan
banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000
orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali
mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam
pendukung setia Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja
tidak mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya.
Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga
menobatkan dirinya sebagai khalifah.Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah
sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam.

117
Namun Al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak
ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan
umat. Hal ini dimanfaatkan oleh muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak
melakukan bai’at terhadap hasan Bin ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan politik,
termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi
Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai dengan kelompok Muawiyah
dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41
H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah
karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn
Abu Sufyan. Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan
persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali
perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk itu maka di kirimkan surat melalui Amr
bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian. Dalam perundingan ini Hasan bin
Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah
dengan syarat antaralain:
a. Muawiyah menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-
hutangnya kepada pihak lain.
b. Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi
Thalib beserta keluarganya.
c. Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada
Hasan setiap tahun.
d. Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan)
harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali
pemimpin umat Islam.
e. Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan
Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib
sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang
shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi
tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan
mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang
kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama. Setelah
kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang
dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku
mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan
kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan
tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi.Tutur katanya begitu
halus, hegemonik dan seolah-olah bijak.Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk

118
melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya. 5 Penyerahan kekuasaan
pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya
kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu
Sufyan. Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan
dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah
setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang
pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota
Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya
secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin
Abi Sufyan. Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-
750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya
kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-
anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem
pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin
umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota
Negara dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai
gubernur Sebelumnya.
Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai
oleh Husein ibn Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak
melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik tahta.
Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan syi’ahyang
ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein
sebagai Khalifah.Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di
dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh.Kepalanya dipengal
dan dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
2. Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan
tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis
rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas.
Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka
mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan.Ia cerdas dan
cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun
peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang
mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang
pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H. Di tangannya, seni berpolitik

5
. Drs. Amin, Samsul Munir,M. A, 2009. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah., hlm. 85.

119
mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik
adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya.Ia wujudkan seni
berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M)
berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin.Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara
demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis sementara para
penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan
menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara
turun temurun.Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan
tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak.Suksesi kepemimpinan secara
turun temurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk
menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid.Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi
di Persia dan Binzantium.Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia
memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan
tersebut.Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di
angkat oleh Allah. Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak
dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah,
melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari
tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan
berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan
umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung
oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi
khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi
Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan
berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang
akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang
mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota
yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas
saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern
umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Sejak saat itu,
sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah
untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa
Dinasti Bani Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan
sumpah setia (bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para
penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran
permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.

120
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan
Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat,
dimana setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan
tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya
menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali
Umar bin Abdul Aziz (717-729 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani
Umayyah yang berkuasa:
a. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
b. Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
c. Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
d. Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
e. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
f. Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
g. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
h. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
i. Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
j. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
k. Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
l. Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
m. Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
n. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)6
3. Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali, dilanjutkan kembali
oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah,Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur,
Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai oxus dan Afghanistan
sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota
Binzantium, Konstantinopel.ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian
dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik.Ia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus
dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand.
Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah
Punjab sampai ke Maltan.7
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid ibn Abdul
Malik.Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan
ketertiban.Umat Islam mersa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan

6
. Dr. Yatim,Badri, M. A, 1993. Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ), Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada., hlm. 48.
7
. Prof. Dr. H. Harun, Maidir dan Drs. Firdaus, M. Ag, 2001. Sejarah Peradaban Islam jilid II, Padang
: IAIN-IB Pres., hlm. 79.

121
kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan Marokko
dapat ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang
memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang
sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat
ditaklukkan.Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota
Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira
dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pada
saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat
dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.Di
zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan
Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai
menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan
di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol.
Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh
ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah8.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat,
wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut
meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia
Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan
Kirgis di Asia Tengah. Dinasti Umayyah telah mampu membentuk perdaban yang
kontemporer dimasanya, baik dalam tatanan sosial, politik, ekonomi dan teknologi.
Berikut Prestasi bagi peradaban Islam dimasa kekuasaan Bani Umayah didalam
pembangunan berbagai bidang antara lain:
1. Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat
dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan.
2. Menertibkan angkatan bersenjata.
3. Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah mata uang Byzantium
dengan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam.Mencetak mata
uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan Arab.
4. Jabatan khusus bagi seorang Hakim (Qodli) menjadi profesi sendiri .
5. Keberhasilan kholifah Abdul Malik melakukan pembenahan-pembenahan
administrasi pemerintahan Islam dan memberlakukan bahasa Arab sebagai
bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilannya diikuti oleh
putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705-719 M) yang berkemauan keras dan
berkemampuan melaksanakan pembangunan.

8
Dr. Yatim,Badri, M. A, 1993. Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ), Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada., hlm. 49.

122
6. Membangun panti-panti untuk orang cacat. Dan semua personil yang terlibat
dalam kegiatan humanis di gaji tetap oleh Negara.
7. Membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah
lainnya.
8. Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid
yang megah.
9. Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah
dan sebagainya.Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan orang-orang
Luar Arab (Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber Islam (Al-qur’an dan
Al-sunnah).
10. Pengembangan di ilmu-ilmu agama, karena dirasa penting bagi penduduk luar
jazirah Arab yang sangat memerlukan berbagai penjelasan secara sistematis
ataupun secara kronologis tentang Islam.Diantara ilmu-ilmu yang berkembang
yakni tafsir, hadis, fiqih, Ushul fiqih, Ilmu Kalam dan Sirah atau Tarikh.
Demikianlah peradaban yang dibangun pada masa dinasti Umayyah9.

4. Keberhasilan dan Kemajuan Dinasti Umayyah


Dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu material dan immaterial
A. Bidang Material
1. Muawiyah mendirikan Dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan
menyediakan kuda dengan peralatannya disepanjang jalan. Dia juga berusaha
menertibkan angkatan bersenjata.
2. Mu’awiyah merupakan khalifah yang mula-mula menyuruh agar dibuatkan
”anjung” dalam masjid tempat is sembahyang. Ia sangat khwatir akan
keselamatan dirinya, karena khalifah Umar dan Ali, terbunuh ketika sedang
melaksanakan shalat.
3. Lambang kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat
lambang Negara baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai
lambang negaranya. Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
4. Mu’awiyah sudah merancang pola pengiriman surat (post), kemudian
dimatangkan lagi pada masa Malik bin Marwan. Proyek al-Barid (pos) ini,
semakin ditata dengan baik, sehingga menjadi alat pengiriman yang baik pada
waktu itu.
5. Arsitektur semacam seni yang permanent pada tahun 691H, Khalifah Abd Al-
Malik membangun sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang
dikenal dengan “The Dame Of The Rock” (Gubah As-Sakharah).

9
Dr. Yatim,Badri, M. A, 1993. Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah Islamiyah II ), Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada., hlm. 45.

123
6. Pembuatan mata uang dijaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian diedarkan
keseluruh penjuru negeri Islam.
7. Pembuatan panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-
tempat untuk orang-orang yang infalid, segala fasilitas disediakan oleh Umayyah.
8. Pengembangan angkatan laut muawiyah yang terkenal sejak masa Uthman
sebagai Amir Al-Bahri, tentu akan mengembangkan idenya dimasa dia berkuasa,
sehingga kapal perang waktu itu berjumlah 1700 buah.
9. Khalifah Abd Al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan
dalam administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai
bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam yang tadinya berbahasa Yunani
dan Pahlawi, sehingga sampai berdampak pada orang-
orang non Arab menjadi pandai berbahasa Arab dan untuk menyempurnakan
pengetahuan tata bahasa Arab orang-orang non Arab disusun buku tata bahasa
Arab oleh Sibawaih dalam al-Kitab.
10. Merubah mata uang yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam.
Sebelumnya mata uang Bizantium dan Persia seperti dinar dan dirham.
Penggantinya uang dirham terbuat dari mas dan dirham dari perak dengan
memakai kata-kata dan tulisan Arab.
11. Perluasaan wilayah kekuasaan dari Afrika menuju wilayah Barat daya, benua
Eropa, bahkan perluasaan ini juga sampai ke Andalusia (Spanyol) di bawah
kepemimpinan panglima Thariq bin Ziad, yang berhasil menaklukkan Kordova,
Granada, dan Toledo.
12. Dibangun mesjid-mesjid dan istana. Katedral St. Jhon di Damaskus dirubah
menjadi mesjid, sedang Katedral yang ada di Hims dipakai sebagai mesjid dan
gereja. Di al-Quds (Jerussalem) Abdul Malik membangun mesjid al-Aqsha.
Monumen terbaik yang ditinggalkan zaman ini adalah Qubah al-Sakhr di al-
Quds. Di mesjid al-Aqsha yang menurut riwayatnya tempat Nabi Ibrahim
hendak menyembelih Ismail dan Nabi Muhammad mulai dengan mi’raj ke langit,
mesjid Cordova di Spanyol dibangun, mesjid Mekah dan Madinah diperbaiki
dan diperbesar oleh Abdul Malik dan Walid.
13. Bahkan pada masa, Sulaiman ibn Malik, telah dibangun pembangunan mega
raksasa yang terkenal dengan Jami’ul Umawi.
B. Bidang Immaterial
1. Mendirikan pusat kegiatan ilmiah di Kufah dan Bashrah yang akhirnya
memunculkan nama- nama besar seperti Hasan al-Basri, Ibn Shihab al-Zuhri dan
Washil bin Atha. Bidang yang menjadi perhatian adalah tafsir, hadits, fikih, dan
kalam.
2. Penyair-penyair Arab baru bermunculan setelah perhatian mereka terhadap syair
Arab Jahiliyah dibangkitkan. Mereka itu adalah Umar Ibn Abi Rabiah (w. 719

124
m.), Jamil al-Udhri (w. 701 M.), Qays Ibn al-Mulawwah (w. 699 M.) yang lebih
dikenal dengan nama Majnun Laila, al-Farazdaq (w 732M.), Jarir (w. 792 M) dan
al-Akhtal (w. 710 M.).
3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Sastra-Seni
Waktu dinasti ini telah mulai dirintis jalan ilmu naqli ; berupa filsafat dan
eksakta. Dan ilmu pengetahun berkembang dalam tiga bidang, yaitu bidang diniyah,
tarikh, dan filsafat. Kota-kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan selama
pemerintahan dinasti Umayah, antara lain kota Kairawan, Kordoba, Granda dan lain
sebagainya. Sehingga secara perlahan ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam,
yaitu : pertama, Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru), yang meliputi : Al-ulumul
Islamiyah (ilmu al-Qur’an, Hadist, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-
Jughrafi), Al-Ulumul Dkhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk kemajuan Islam), yang
meliputi : ilmu thib, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari
Persia dan Romawi. Kedua : Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama), yaitu ilmu yang
telah ada pasa zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu
lughah, syair, khitabah dan amtsal.
Pada masa ini pula sudah mulai dirancang tentang undang-undang yang
bersumber dari al-Qur’an, sehingga menuntut masyarakat mempelajari tentang tafsir
al-Qur’an. Salah seorang ahli tafsir pertama dan termashur pada masa tersebut adalah
Ibnu Abbas. Pada waktu itu beliau telah menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat dan
isnad, kemudian kesulitan-kesulitan dalam mengartikan al-Qur’an dicari dalam al-
hadist, yang pada gilirannya melahirkan ilmu hadist. Dan akhirnya kitab tentang
ilmu hadist sudah mulai dikarang oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadist
yang terkenal pada masa itu, antara lain : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin
Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi
Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auza’i Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri
as-Sya’bi. Dalam bidang hadist ini, Umar bin Abd Aziz secara khusus
memerintahkan Ibn Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadist. Oeh karena itu,
Ibnu Syihab telah dianggap sanat berjasa dalam menyebarkan hadist hingga
menembus berbagai zaman. Sejak saat itulah perkembangan kitab-kitab hadist mulai
dilakukan.10
C. Gerakan Penerjemahan dan Arabisasi
Gerakan penerjemahan ke dalam bahasa Arab (Arabisasi buku), juga dilakukan,
terutama pada masa khalifah Marwan. Pada saat itu, ia memerintahkan penerjemahan
sebuah buku kedokteran karya Aaron, seorang dokter dari iskandariyah, ke dalam bahasa
Siriani, kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Arab. Demikian pula, Khalifah
memerintahkan menerjemahkan buku dongeng dalam bahasa sansakerta yang dikenal
10
Khaeruman, Badri, 2004. Otentisitas Hadist : Studi Kritis Atas Hadist Kontemporer. Bandung,
Rosda., hlm. 98.

125
dengan Kalilah wa Dimnah, karya Bidpai. Buku ini diterjemahkan oleh Abdullah ibnu
Al-Muqaffa. Ia juga telah banyak menerjemahkan banyak buku lain, seperti filsafat dan
logika, termasuk karya Aristoteles : Categoris, Hermeneutica, Analityca Posterior serta
karya Porphyrius :Isagoge.11

5. Peristiwa-peristiwa di dalam Negeri yang terjadi di Zaman Dinasti


Umayyah
a. Pemberontakan Syi’ah
Pemberontakan Syi’ah adalah pemebrontakan yang terus menerus terjadi
sepanjang pemerintahan Bani Umayyah. Penyebabnya adalah karena mereka sangat
tidak senang terhadap anak-anak Umayyah tersebut. Mereka bertujuan untuk
meruntuhkan Umayyah atau bahkan kaum muslimin secara keseluruhan.12
b. Tragedi karbala
Husen bin Ali tidak membaiat Yazid. Penduduk irak meminta padanya dengan
keras untuk membaiatnya. Maka, Husen pun bersama dengan keluarga da kerabatnya
serta jamaahnya berangkat menemui mereka. Beberapa orang yang cukup matang cara
pikirannya menasihatinnya agar dia tidak bernagkat ke sana. Namun, dia tidak
mendengarkan nasihat itu. Mungkin saja dia melakukan ijtihad dan tidak benar dalam
ijtihadnya. Di tengah jalan dia di cegat oleh pasukan berkuda Ubaidillah bin Ziyad,
Guberenur Bashrah dan Kuffah, dia mengalihkan jalan ke karbela. Di tempat itulah dia
ditawari dua pilihan, menyerah atau perang. Ternyata Husen memilih perang . maka,
terjadilah perang yang sengit Husen dan sahabat-sahabatnya berperang mati-matian
hingga akhirnya terbunuh beserta semua sahabat dan pengikutnya serta sebagian
keluarganya. Kemudian kepala Husen dan keluarganya dibawa ke yazid. Namun, Yazid
mengangis atas kejadian tersebut. Dia menghormati istri-istri Husen dan mengembalikan
mereka ke madinnah. Ini merupakan fitnah dan tragedi besar. Peristiwa ini telah
memperlebar pintu perpecahan kaum muslimin. Karenanya, dulu dan kini, telah menelan
ribuan bahkan jutaan kaum muslimin.13
a. Peristiwa Hurrah dan Penghalalan Madinnah ( Dzulhijjah 63 H/683 M)
Kabar tentang tragedi karbela ini sampai ke kota Madinah. Maka, saat itulah
Abdullah ibnuz-Zubair mengumumkan pencopotan Yazid dari kekhilafahan dan dia
membaiat dirinya sendiri sebagai khalifah. Penduduk Madinah membaiatnya. Mendengar
berita itu, yazid segera mengirimkan pasukan ke madinah setelah sebelumnnya tidak
menjadi fokus perhatiannya. Dia menghalalkan Pertumpahan darah di Madinah dengan
membunuh ratusan sahabat dan anak-anak mereka hingga akhirnya madinnah
takluk.Pasukan Yazid melanjutkan serangannya ke mekkah , tempat Abdullah Ibnuz-

11
C.A. Qadir, 2002. Filsafat Dan ilmu Pengetahuan dalam Islam. Jakarta, Pustaka Obor., hlm. 37
12
Ahmad Al-Usairy, 2003. Sejarah Islam, Jakarta: Pustaka Akbar Media ., hlm. 192
13
Ahmad Al-Usairy, 2003. Sejarah Islam, Pustaka Akbar Media: Jakarta Timur. Hal. 193

126
Zubair melarikan diri. Maka, mekah dikepung dan Baitullah dilempar dengan manjajiq
dan dibakar dengan api. Yazid meninggal saat terjadi pengepungan kota mekah sehingga
pasukan Yazid menarik diri ke Syam.
b. Pemberontakan Mukhtar ats Tsaqafi (64-67 H/ 683-686)
Mukhtar adalah pengikut Abdullah Ibnuz-Zubair di mekah. Lalu dia
membangkang dan melarikan diri ke kufah. Dia mengaku bahwa dirinya adalah Imam
Mahdi dar kalangan Ahli Bait. Padahal, dia dikenal sebagi sosok yang menyimpang dan
sesat, mabuk kedudukan dan harta. Kemudian Muhktar berhasil menguasai Kufah dan
Mosul serta melakukan penyerangan ke Mekkah. Abdul Malik segera memeranginya,
namun Mukhtar berhasil mengalahkan Abdul Malik. Dia membunuh semua orang yang
pernah terlibat dalam pembunuhan Husen sebagai usaha untuk membuat orang-orang
Syi’ah suka dan menyenanginya. Dia membunuh Ubaidillah bin Ziyad. Namun, akhirnya
dia bisa dibunuh oleh Mush’ab Ibnuz-Zubair, Gubernur Bashrah yang tak lain adalah
saudara Abdullah ibnuz-Zubair sendiri pada tahun 67 H/ 786 M.14
a. Pemberontakan Abdur Rahman ibnul-Asy’ats (81-85H/ 700-704 M)
Hajjaj yang sangat itu menjadi Guberenur irak menugasi Abdur Rahman untuk
melakukan penyerangan ke negeri Turki pada Tahun 81 H. Dan dia berhasil mencapai
banyak kemenangan-kemenangan. Kemudian dia menyatakan pembangkangannya
kepada Hajjaj dan Abdul Malik. Lalu, dia memerangi Hajjaj dan berhasil menjadikan
irak di bawah kekuasaanya. Setelah itu wilayah timur berhasil berada di bawah
kekuasaanya kecuali khurasan . dia disana terjadi perang antara dia dan pendukung
pemerintahan Muawiyyah. Akhirnya. Dia kalah dan melarikan diri pada tahun 82 H lalu
dibunuh pada tahun 85 H/704 M. Hajjaj membunuh sekian banyak ulama yang mengikti
gerakan Abdur Rahman Ibnul Asy’ats ini, di antaranya Said bin Jubair15
6. Kemunduran Dinasti Umayyah
Sepeninggal Umar bin Abdul Azis yang dikenal sebagai sufinya Dinasti
Ummayah, Kekuasaan Dinasti Ummayah di Lanjutkan oleh Yazid bin Abdul Malik
(720-724.M) . Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian ,
pada masa itu berubah menjadi kacau . dengan latar belakang dan kepentingan etnis
politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan yazid bin abdul
malaik cenderung pada kemewahan dan kurang memeperhatikan kehidupan rakyat.
Kerusuahan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin
Abdul Malik (724M-743M). Bahkan, pada masa ini muncul kekuatan baru yang pada
kemudian hari menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Dinasti Umayyah. Kekuatan
itu berasal dari kalanagan Bani Hasyim yang di dukung oleh golongan mawali .

14
Ahmad Al-Usairy, 2003. Sejarah Islam, Pustaka Akbar Media: Jakarta Timur. Hal. 195
15
Ahmad Al-Usairy, 2003. Sejarah Islam, Pustaka Akbar Media: Jakarta Timur. Hal. 198

127
walaupun Hisyam bin Abdul Malik adalah seorang Khalifah yang kuat dan terampil,
karena gerakan oposisi ini semakin kuat , keduanya tidak berhasil memadamkannnya.16
Akhirnya, masa keemasan Dinasti Umayyah berakhir pada masa pemerintahan
Hisyam bin Abdul Malik (724M-743M), anak keempat Abdul Malik. Para pakar arab
memandang Hisyam bin Abdul Malik sebagai negarawan ketiga dalam Dinasti Umayyah
setelah Abdul Malik sebagai negarawan ketiga dalam dinasti Umayyah Abdul Malik
sebagai negarawan ketiga dalam Dinasti Umayyah setelah muawiyyah dan Abdul Malik.
Diriwayatkan bahwa guberenur di irak, khalid bin Abdillah Al-Qasri yang dibawah
kepemimpinanya daerah itu menjadi makmur, terutama karena pembanguna teknik dan
saluran air yang dikerjakan oleh Hasan An-Nabathi menggelapkan kelebihan pendapatan
negara sebesar 13 juta dirham dengan cara memotong pemasukan negara tiga kali lipat
dari jumlah itu. Ia ditangkap pada tahun 738 M, dipenjara, disiksa, dan diharuskan
mengganti uang negara tersebut. Kasus itu hanyalah satu gambaran tentang terjadinya
penyimpangan administrasi dan korupsi dalam pemerintahan Dinasti Umayyah yang
Menyebabkan keruntuhannya.17
Sejarawan Arab sangat memuji Hisyam bin Abdul Malik. Empat penggantinya,
kecuali Marwan bin Muhammad yang menjadi khalifah terakhir Dinasti Umayyah,
terbukti tidak cakap atau bisa dikatakan tidak bermoral . bahkan, para khalifah sebelum
Hisyam bin Abdul Malik pun, yang dimulai oleh Yazid bin Mu’awiyyah, lebih suka
berburu, pesta minum, tenggelam dalam alunan musik dan puisi, daripada membaca Al-
Quran atau mengurus persoalan negara. Perilaku buruk kelas penguasa hanyalah
gambaran kecil dari kerusakan moral yang bersifat umum. Buruknya peradaban,
terutama menyangkut minuman keras, perempuan , dan nyayian telah menjangkit para
putra gurun. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa banyak sekali hal yang
memberikan kontribusi terhadap keruntuhan Dinasti Umayyah. Secara garis besar, dapat
diklasifikasikan sebagai berikut.18
a. Potensi perpecahan antara suku, etnis, dan kelompok politik yang tmbuh
semakin kuat menjadi sebab utama terjadinya gejolak politik dan kekacauan
yang menggangu stabilitas negara.
b. Adanya permasalahan suksesi kepemimpinan . tidak adanya atauran yang pasti
dan tegas tentang peralihan kekuasaan secara turun – temurun mengakibatkan
gangguan serius di tingkat Negara.
c. Sisa-sisa kelompok pendukung Khalifah Ali bin Abi Thalib yang umumnya
adalah kaum Syi,ah dan kelompok Khawarij terus aktif menjadi gerakan
oposisi, baik secara terbuka maupun secara tersembunyi. Tentu, gerakan opsisi
ini sangat berpengaruh terhadap stabilitas pemerintahan Dinasti Umayyah.

16
Sulasman, 2013. Sejarah Islam di Asia dan Eropa, Pustaka Setia: Bandung., hlm. 138.
17
Sulasman, 2013. Sejarah Islam di Asia dan Eropa, Pustaka Setia: Bandung., hlm. 139.
18
Sulasman, 2013. Sejarah Islam di Asia dan Eropa, Pustaka Setia: Bandung., hlm. 140.

128
d. Sebagaian besar golongan Mawali (non –arab), terutama di irak dan wilayah
bagian timur lainnya, merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintahan
Dinasti Umayyah karena status tersebut menggambarakan inferioritas di
tengah-tengah keangkuhan bangsa Arab. Mereka tidak mendapat fasilitas dari
penguasa Dinasti Umayyah sebagaimana yang di peroleh oleh orang-orang
Islam Arab.
e. Sikap hidup mewah di lingkungan Istana merupakan salah satu Faktor
lemahnya pemerintahan Dinasti Umayyah, sehingga keturunan Dinasti
Umayyah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan ketika memperoleh
kekuasaan.
f. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaaan Dinasti Umayyah adalah
munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abdul
Muthalib. Gerakan ini sepenuhnya memperoleh dukungan dari Bani Hasyim,
kubu Syi’ah, dan golongan mawali yang merasa dianggap sebagai masyarakat
kelas dua oleh pemerintahan Dinasti Umayyah.19
Adapun penyebab runtuhnya Dinasti Umayyah yang lainnya :
1. Sebab-sebab yang berhubungan dengan Bani Umayah dan para Khalifahnya,
yaitu :
a. Lemahnya kepribadian beberapa khalifah Bani Umayyah
b. Sikap hidup mewah dan berlebih lebihan yang dilakukan bebrapa khlaifah
c. Bebrapa khlaifah memberikan keputusan kepada para panglima pasukan
mereka dengan memperturutkan hawa nafsu
d. Pengangkatan putra mahkota dan perselisihan yang diakibatkannya.
e. Perselisihan diantara para personal di dalam keluarga Bani Umayah, tentang
siapa yang berhak untuk menjadi khalifah.20
2. Sebab-sebab yang berhubungan dengan rakyat :
a. Sikap panatisme kearaban
b. Perselisihan di antara bangsa arab dengan para budak yang sudah
dimerdekakan.berdirinya gerakan-gerakan pemebrontakan, yaitu syi’ah,
khawarij, dan propaganda Bani Abbsiyah.21
3. Sebab-sebab umum :
a. Bizantium semakin kuat dan berbahaya
b. Problem-problem ekonomi22.

19
Sulasman, 2013. Sejarah Islam di Asia dan Eropa, Pustaka Setia: Bandung., hlm. 141
20
Ali Muhammad Ashshallabi, 2016. Sejarah Daulah Umawiyah dan Abbasiyah, Pustaka: Umul
Qura, Jakarta timur., hlm. 123.
21
Ali Muhammad Ashshallabi, 2016. Sejarah Daulah Umawiyah dan Abbasiyah, Pustaka: Umul
Qura, Jakarta timur., hlm. 123.
22
Ali Muhammad Ashshallabi, 2016. Sejarah Daulah Umawiyah dan Abbasiyah, Pustaka: Umul
Qura, Jakarta timur., hlm. 123.

129
Salah satunya di zaman Dinasti Umayyah banyak pejabat yang melakukan korupsi hanya
untuk kemewahan dan nafsu duniawi semata.
7. Kehancuran Dinasti Umayyah
Masa pemerintahan ditandai dengan banyakanaya konflik dan instabilisasi hingga
akhirnya berbengaruh terhadap kepemrintahan umayyah itu sendiri yang menyebabkan
iatuh dan runtuh23. Gerakan untuk mendirikan pemerintahan Bani Abbasiyah semakin
kuat . Pada tahun 129 H/ 446 M mereka memproklamirkan berdirinya pemerintahan
Abbasiyah. Namun Marwan Bin Muhammad menangkap pimpinanya yang bernama
Ibrahim Lalu di bunuh. Setelah dibunuh, pucuk gerakan diambil alih seorang saudaranya
yang bernama Abul Abbas as-Saffah yang berangkat bersama-sama dengan keluarganya
menuju Kufah. Kemudian di dibaiat sebagai khalifah di Kuffah pada tahun132 H/749 H.
Bani Abbasiyah berhasil menaklukan Khurasan dan Irak.24
Maka, terjadilah pertempuran antara pasukan Abbasiyah dengan pasukan
Marwan Bin Muhammad di sungai Zab (antara Mosul dan Arbil). Marwan dan
pasukannya kalah dalam peperangan yang terjadi pada 131 H/748M. Pasukannya lari ke
berbagai penjuru hingga akhirnya dia di bunuh oleh pasukan Bani Abbasiyah pada tahun
132. H/ 749M.25Dengan kematiannya, maka hancurlah pemerintahan Bani Umayyah dan
berdirilah pemerintahan Bani Abbasiyyah. Demikian lah masa pemerintahan Bani
Umayyah . sebuah masa yang penuh dengan gerakan politik dan gerakan pemikiran.
Tidak disangsikan bahwa masa pemerintahan mereka tidak akan pernah tertandingi oleh
masa yang lain dalam hal penaklukan beberapa kota di negeri, dan dari sisi banyaknya
manusia yang memeluk islam. Masa pemerintahan mereka memiliki kelebihan tersendiri
dalam lembaran sejarah islam. Patut menjadi kebanggaan kaum muslimin masa sekarang
ini.26
8. Khalifah-khalifah dinasti Umayyah
Memerintah
No Nama Khalifah
Lama Mulai Selesai
1 Mu’awiyyah bin Abi Sofyan 19 th. 3bln 41 H/661M 60H/681M
2 Yazid Bin Muawiyyah 3thn. 6bln 60H/681M 64H/683M
3 Muawiyyah Bin Yazid 6.bln 64H/683M 64H/684M
4 Marwan Bin Hakam 9bln. 18 hari 64H/684M 65H/685M
5 Abdul Malik Bin Marwan 21thn. 8bln 65H/685M 86H/705M
6 Walid bin Abdul Malik 9thn. 7bln 86H/705M 96H/715M
7 Sulaiman bin Abdul Malik 2 thn. 8bln 96H/715M 99H/717M
8 Umar bin Abdul Aziz 2thn. 5bln 99H/717M 101H/720M

23
Ahmad Al-Usairy, 2003. Sejarah Islam, Jakarta: Pustaka Akbar Media., hlm. 210.
24
Ahmad Al-Usairy, 2003. Sejarah Islam, Jakarta: Pustaka Akbar Media., hlm. 212.
25
Ahmad Al-Usairy, 2003. Sejarah Islam, Jakarta: Pustaka Akbar Media., hlm. 212
26
Ahmad Al-Usairy, 2003. Sejarah Islam, Jakarta: Pustaka Akbar Media., hlm. 212

130
9 Yazid bin Abdul Malik 4thn. 1bln 101H/720M 105H/724M
10 Hisyam bin Abdul Malik 19thn. 9bln 105H/724M 125H/743M
11 Walid bin Yazid 1thn. 2bln 125H/743M 126H/744M
12 Yazid bin Walid 6 bln 126H/744M 126H/744M
13 Ibrahin bin Yazid 4 bln 126H/744M 127H/744M
14 Marwan bin Muhammad 5thn. 10bln 127H/745M 132H/750M

9. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas bahwa dapat di simpulkan bahwa Dinast Umayyah
lahir dari gejolak politik yang haus akan kekuasaan. Dinasti Umayyah masuk islam
setelah penaklukan kota mekkah dan ahal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk
menjaga kehormatan dan melanggengkan kekuasaaannya. Akhirnya, ambisi Dinasti
Umayyah tercapai juga oleh keturunan yang bernama Muawiyyah bin Abi Sufyan hingga
mencapai masa keemasannya. Masa keemasan tersebut tidak berlangsung lama. Dinasti
Umayyah mulai mengalami kemunduran pada masa kepemimpinan Yazid bin Abdul
Malik (720-724 M). Pemerintahan Yazid bin Abdul Malik cenderung pada kemewahan ,
kurang memerhatikan kehidupan rakyat, dan mengakibatkan kerusuhan hingga pada
masa kepemimpinan Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M).
Dinasti Muawiyyah mendapatkan perlawanan yang semakin kuat dari gerakan
oposisi. Setelah Hisyam bin Abdul Malik Wafat, kahalifah yang tampil berikutnya bukan
hanya lemah melinkan juga bermoral buruk. Hal ini meperkuat gerakan oposisi untuk
merebut kekuasaan yang pada akhirnya di tahun 750 M, dinasti Ummayyah di gulingkan
oleh Bani Abbasiyah yang merupakan bagian dari Bani Hasyim. Kematian Marwan bin
Muhammad sebagai khalifah terakhir Dinasti Umayyah, menandai berakhirnya
kekuasaan dinasti Umayyah di timur (Damaskus). Walaupun dalam perjalanan dan
kekuasaan Bani Umayyah tampak kacau, Dinasti Umayyah sebenarnya berhasil
membangun masyarakat muslim yang tertatarapi. Pada Masa Dinasti Ummayah , telah di
bangun kantor catatan negara dan pelayanan pos. Menghubungkan berbagai wilayah
kekuasaannya yang luas. Keberadaan dinasti Umayyah juga telah melahirkan awal
perkembangan ilmu pengetahuan dan berkembangnya sistem pemerintahan yang lebih
baik.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Al-Usairy, 2003. Sejarah Islam, Pustaka Akbar Media: Jakarta Timur
Ajid Thohir, 2014 I Sirah Nabwiyah, Pustaka Marja : Bandung
Ali Muhammad Ashshallabi, 2016. Sejarah Daulah Umawiyah dan Abbasiyah,
Pustaka: Umul Qura, Jakarta timur

131
Drs. Amin, Samsul Munir,M. A, 2009. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah.
Dr. Yatim,Badri, M. A, 1993. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II).
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ibnu Hisyam , 2015. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Akbar Media.
Prof. Dr. H. Harun, Maidir dan Drs. Firdaus, M. Ag, 2001. Sejarah Peradaban Islam
jilid II, Padang : IAIN-IB Press.
Dra. Hj. Ismail, Chadijah, 1999. Sejarah Pendidikan Islam, Padang : IAIN-IB Press.
Karen Amrmstrong, 2003. Sepintas Sejarah Islam, Yogyakarta: Ikonteralitera.
Sulasman, 2013. Sejarah Islam di Asia dan Eropa, Pustaka Setia: Bandung
Wahid, N. Abbas dan Suratno, 2009. Khazanah Sejarah Kebudaan Islam, Solo : PT.
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

132
PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN PADA MASA ABBASIYAH

Shidqy Munjin

Pendahuluan
Ketika mengawali pembicaraan mengenai peradaban Islam, Al-Faruqi
menegaskan bahwa intisari dari peradaban Islam adalah Islam itu sendiri, dan intisari
dari Islam adalah tauhid.1
Berawal dari premis yang pertama, bahwa intisari peradaban Islam adalah agama
Islam itu sendiri, merupakan ungkapan yang tidak dianggap berlebihan. Karena
mayoritas umat Islam meyakini bahwa Islam merupakan agama yang sempurna.
Sehingga Islam dalam term al-Quran disebut sebagai dîn. Ketika Islam difahami sebagai
dîn, maka ia harus difahami sesuai dengan makna yang tergambar dalam al-Quran dan
Bahasa Arab.
Sebenarnya kata dîn (d-y-n) dalam Bahasa Arab memiliki banyak makna yang
berhubungan secara konseptual. Dalam kamus Lisân al-‘Arab, kata d-y-n memiliki
empat makna dasar, yaitu : 1. keadaan berhutang; 2. penyerahan diri; 3. kuasa peradilan;
dan 4. kecenderungan alami. Dari makna ketiga muncul sebuah kata “madînah” sebagai
isim makân2 dari kata d-y-n, yang bermakna tempat peradilan. Singkatnya madînah
adalah sebuah tempat yang memiliki seorang hakim atau penguasa yang menegakkan
hukum peradilan. Kata d-y-n pun memiliki keterkaitan makna konseptual dengan kata
yang hampir mirip, yakni maddana yang berarti membangun atau membina kota. Dan
dari kata ini muncul kata tamaddun sebagai bentuk mashdar-3nya, yang bermakna
“peradaban”.4 Dan dari dasar Islam sebagai dîn inilah kemudian lahir Islam sebagai
tamaddun dan Islam sebagai madînah. Maka tepat bila al-Faruqi menganggap bahwa
intisari dari peradaban Islam adalah Islam itu sendiri, dan dari dasar seperti inilah Islam
tumbuh menjadi sebuah peradaban gemilang yang pernah menjadi kiblat dunia.
Sedangkan dari premis kedua, disebutkan bahwa intisari Islam itu adalah tauhid.
Secara tradisional dan sederhana, tauhid adalah keyakinan dan kesaksian bahwa “tidak
ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah”. Makna sederhana ini memberikan
makna dan indikasi yang sangat kaya dan agung, terutama ketika dimasukkan dalam
konsep epistemologi Islam. Karena dari dasar tauhid inilah bangunan epistemologi Islam
menjadi sebuah bangunan yang integral dan holistik. Dan dari bangunan epistemologi
seperti inilah Islam membangun peradabannya yang sangat mengagumkan. Maka al-

1
Isma’il R al-Faruqi & Lois L al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, (Bandung: Mizan, 2000), hal. 109.
2
Kata yang menunjuk sebuah tempat.
3
Kata yang menunjuk sebuah benda.
4
Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1414 H), juz 13, hal. 169

133
Faruqi sangat tepat ketika menyatakan bahwa tauhid-lah yang telah memberikan
identitas peradaban Islam, yang mengikat semua bagian-bagiannya, sehingga menjadikan
mereka suatu badan yang integral dan organik.5
Dari kedua premis di atas, penulis akan mencoba mengkaji kemajuan keilmuan
dan peradaban Islam pada Dinasti Abbasiyah. Dan dari kedua premis ini, penulis akan
mencoba mengemukakan sebab-sebab kemajuan peradaban Islam pada Dinasti
Abbasiyah yang sangat sulit untuk diwujudkan kembali pada masa ini.

Islam: Agama yang Beradab dan Peradaban yang Agamis


Periode Abbasiyah adalah era baru dan identik dengan kemajuan ilmu
pengetahuan. Dari segi pendidikan, ilmu pengetahuan termasuk science, kemajuan
peradaban, dan kultur pada zaman ini bukan hanya identik sebagai masa keemasan
Islam, akan tetapi era ini mengukur dengan gemilang dalam kemajuan peradaban dunia.
Hal ini disebabkan karena rasa cinta para khalifah Abbasiyah terhadap ilmu
pengetahuan disalurkan melalui kegiatan penerjemahan secara besar-besaran yang
peranannya sangat besar dalam mentransfer ilmu pengetahuan. Mereka menerjemahkan
buku-buku berbahasa asing, seperti bahasa Sansekerta, Suryani, atau Yunani ke dalam
Bahasa Arab yang sebenarnya telah dirintis sejak zaman Umayyah.6
Pada 832 M, al-Ma‘mun mendirikan Bait al-Hikmah di Baghdad sebagai akademi
pertama, lengkap dengan teropong bintang, perpustakaan, dan lembaga penerjemahan.
Kepala akademi ini yang pertama adalah Yahya ibn Musawaih (777-857 M) murid Gibril
ibn Bakhtisyu, kemudian dilanjutkan oleh Hunain ibn Ishaq, murid Yahya sebagai ketua
kedua.7
Kegiatan kaum muslim bukan hanya menerjemahkan, bahkan mulai memberikan
syarahan (penjelasan), dan melakukan tahqiq (pengeditan). Pada mulanya muncul dalam
bentuk karya tulis yang ringkas, lalu dalam wujud yang lebih luas dan dipadukan dalam
berbagai pemikiran dan petikan, analisis, dan kritik yang disusun dalam bentuk bab-bab
dan pasal-pasal. Dengan kepekaan mereka, hasil kritik dan analisis itu memancing
lahirnya teori-teori baru sebagai hasil renungan mereka sendiri.
Para pemikir muslim tidak hanya menterjemahkan karya asing ke dalam Bahasa
Arab, baik secara langsung maupun tidak langsung, tetapi mereka memberikan ulasan,
pemodifikasian, penyempurnaan dan penyesuaian dengan konteks dengan agama mereka
(dalam hal ini agama Islam). Akibatnya, lahirlah berbagai disiplin ilmu pengetahuan
dalam khazanah intelektual Islam. Ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu
secara garis besarnya terbagai kepada dua bagian, yaitu :

5
Isma’il R al-Faruqi & Lois L al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, hal. 109.
6
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam, (Jakarta Timur: Akbar Media, 2012), hal. 227.
7
Ibid, hal. 231.

134
1. Ilmu-Ilmu Naqliyah Diantara ilmu-ilmu nqliyah tersebut yang berkembang pesat pada
masa ini adalah sebagai berikut:
a. Ilmu Tafsir
Kalau diperhatikan, ilmu tafsir mengalami perkembangan yang pesat pada masa
ini. Hal ini terlihat dengan munculnya dua aliran dalam ilmu tafsir yaitu aliran Tafsir bi
al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi. Aliran pertama lebih menekankan kepada penafsiran
ayat-ayat al-Qur‘an dengan hadits dan pendapat-pendapat para sahabat. Sedangkan aliran
yang kedua lebih banyak berpijak pada logika daripada nash.
Diantara ulama-ulama tafsir yang terkenal pada masa ini adalah Ibn Jarir al-
Thabari (w. 310 H.) dengan karangannya yang bertitelkan Jami’ al-Bayan fi Tafsir
alQur’ân. Kemudian juga dikenal al-Baidhawi dengan karangannya Ma’âllim al-Tanzîl,
al-Zamakhsyari dengan karyanya yang berjudul al-Kasyâf, al-Razi dengan Tafsîr al-
Kabîr dan lain-lain. Perkembangan ilmu tafsir pada masa ini sudah sangat meluas. Hal
ini disebabkan karena sebahagian besar ulama-ulama dalam bidang ilmu lainnya juga
berupaya untuk mengembangkan ilmunya dengan dalil-dalil ayat al-Qur‘an seperti ilmu
nahwu, ilmu fiqih, dan lain-lain.8
b. Ilmu Hadits
Pada masa pemerintahan Umar bin Abd Azis (99-101 H./717-720 M.) dari
Dinasti Umayyah, sudah dimulai sebuah usaha untuk mengumpulkan dan membukukan
hadits. Tetapi perkembangan ilmu hadits yang paling menonjol justru terjadi pada masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sebab dalam masa inilah banyak bermunculan ulama-
ulama yang memfokuskan ilmu dan usaha mereka pada hadits-hadits yang belum ada
tandingannya hingga saat sekarang ini. Para ulama-ulama tersebut berhasil menyusun
kitab-kitab hadits yang masih dapat kita temukan pada masa sekarang ini.9
Diantara ulama-ulama hadits yang terkenal adalah Imam Bukhari (w. 256 H.).
Beliau telah berhasil mengumpulkan hadis dalam kitab Shahih al-Bukhari. Kemudian
Imam Muslim (w. 251 H.) terkenal dengan salah seorang ulama hadits dengan kitabnya
Shahih Muslim. Ada juga kitab-kitab hadits lainnya seperti Sunan Abu Dawud karangan
Abu Dawud (w. 275 H.), Sunan al-Turmudzi karangan Imam al-Turmudzi (w. 278 H.),
Sunan al-Nasa’i karangan Imam al-Nasa‘i (w. 3030 H.) dan Sunan Ibn Majah oleh Imam
Ibn Majah (w. 375 H.). Keenam buku-buku hadits yang disebutkan diatas tersebut lebih
popular disebut dengan al-Kutub al-Sittah. Kitab-kitab hadits inilah yang menjadi
pedoman bagi para ulama hadits pada masa-masa selanjutnya.
c. Ilmu Kalam (Teologi Islam)
Awal munculnya teologi Islam berakar pada perdebatan politis dan teologis yang
bersifat internal semenjak masa pemerintahan Dinasti Umayyah, seperti Khawarij, Syiah,
Murjiah dan Muktazilah. Akan tetapi perkembangannya justru lebih berakar dari faktor-
8
Ismail R al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, hal. 275-278.
9
Ibid, hal. 291.

135
faktor eksternal yang muncul semenjak abad ke-dua Hijriyah. Hal ini terlihat bahwa
pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa ini yaitu
setelah terjadinya kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran-
pemikiran berbasiskan epistimologi rasional.
Pemikiran Yunani tersebut memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan
pemikiran ummat Islam sehingga mereka bisa memaksimalkan rasio mereka dalam
menyelesaikan problem-problem kehidupan yang mereka hadapi. Disamping itu, ummat
Islam pada masa ini telah berkenalan dan berinteraksi dengan bangsa-bangsa yang secara
histories telah memiliki nilai-nilai peradaban tinggi seperti di Iskandariyah, Mesir,
Yudhisapur dan lain-lain. Oleh karena itu, para ulama dituntut untuk memiliki
kemampuan penafsiran sesuai dengan tingkat peradaban atau alam pemikiran peradaban
bangsabangsa tersebut.10
Pada masa ini, bermunculan beberapa orang ulama dari golongan atau aliran
Mu‘tazilah yang lebih apresaitif terhadap akal atau rasio, seperti Washil bin Atha‘ (81-
131 H.), Abu Huzail (135-235 H.) dan al-Nadzham (185-221 H.). Bahkan pada masa
khalifah al-Makmum (198-218 H./813-833 M.), tepatnya pada tahun 212 H./827M.
aliran Mu‘atazilah dijadikan sebagai mazhab resmi Negara.
Disamping itu, pada masa ini muncul pula seorang ulama ilmu kalam yang
terkenal dan sangat besar pengaruhnya sampai sekarang yaitu Abu Hasan al-Asyari (259-
323 H./873- 935 M.) sebagai anti-tesis bagi pemikiran Mu‘tazilah. Kemudian muncul
pula ulama-ulama pendukung al-Asyari seperti al-Juwaini (419-478 H.) dengan
karangannya yang berjudul al-Luma’ al-Adillat fî Qawâ’id ‘Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-
Jamâ’ah dan al-Irsyâd ilâ Qawâ’id al-Adillat fi Ushûl al I’tiqâd dan Imam Al-Ghazali
(1058-1111 M).
d. Ilmu Tasawuf
Ilmu tasawuf, sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu lainnya, juga mengalami
kemajuan pesat pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah ini. Perkembangan pesat
ilmu ini juga didasari oleh arti pentingnya bagi ummat Islam untuk lebih mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Substansi ilmu ini, manusia boleh mengejar kehidupan dunia
asal tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang hamba Allah SWT. Kehidupan ini
bukan hanya di dunia saja akan tetapi masih ada kehidupan yang lain yang lebih hakiki
dan abadi.
Oleh sebab itu, pada masa Dinasti Abbasiyah ini banyak bermunculan ahli-ahli
tasawuf yang terkenal diantaranya Imam AlGhazali, seorang ulama Sunni yang pada
telah menulis kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Kitab yang terdiri dari lima jilid ini hingga saat
sekarang dianggap sebagai salah satu kitab paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran
ummat Islam. Disamping Imam Al-Ghazali, dikenal juga al-Hallaj (858-922 M.) yang
10
Ibid, hal. 311. Bandingkan dengan Philip K Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: Serambi, 2013),
hal. 492.

136
menulis buku tentang tasawuf yang berjudul al-Thawâsyîn, kemudian Syahabuddin
(w.632 H) dengan bukunya yang bertitelkan ‘Awârifu Ma’ârif, dan Al-Qushairi (w.465
H.) dengan bukunya yang berjudul al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawuf dan
lain-lain.11
e. Ilmu Bahasa
Pada masa Abbasiyah, ilmu bahasa tumbuh dan berkembang dengan suburnya,
karena Bahasa Arab yang semakin dewasa dan menjadi bahasa internasional. Ilmu
bahasa memerlukan suatu ilmu yang menyeluruh. Yang dimaksud dengan ilmu bahasa
adalah nahwu, sharaf ma’âni,bayan, bad’i, ‘arudh, qamus, dan insyâ’. Dalam zaman ini
diciptakan kitab-kitab yang bernilai dalam ilmu bahasa. Di antara ulama-ulama yang
termasyhur dalam masa ini: 1) Sibawaihi (w. 153 H) 2) Muaz al-Harra’ (w. 187 H) yang
mula-mula membuat sharaf 3) Al- Kisâ’i (w. 190 H), mengarang kitab tata bahasa 4)
Abu Usman al-Muzany (w. 294), karangannya banyak tentang nahwu.12
f. Ilmu Fiqih
Agaknya tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa dasar-dasar ilmu fiqih
disusun pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Ilmu tersebut disusun oleh
ulamaulama terkenal pada masanya dan memiliki pengaruh yang cukup besar hingga saat
sekarang ini. Dikalangan ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, muncul tokoh-tokoh
seperti Imam Abu Hanifah (80-150 H.). Imam Anas ibn Malik (93-179 H.). Imam Syafii
(150-204 H.) dan Imam Ahmad (w. 240 H). Kitab-kitab fiqih karangan ulama-ulama
tersebut hingga hari ini masih dapat ditemukan, seperti al-Muwatha’, al-Umm, al-Risâlah
dan sebagainya. Buku-buku fiqh yang telah dihasilkan pada masa ini menjadi patokan
bagi para ulama fiqih berikutnya.13

2. Ilmu-Ilmu ‘Aqliyah (Ilmu Pengetahuan Umum) Selain ilmu-ilmu naqliyah, pada masa
ini juga berkembang ilmu-ilmu ‘aqliyah seperti :
a. Filsafat
Khalifah Harun Al-Rasyid dan al-Makmum adalah khalifah dinasti Abbasiyah
yang concern terhadap filsafat, terutama filsafat Aristoteles dan Plato. Mereka
mengadakan hubungan kerja sama dengan raja-raja dari Bizantium dalam pengembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pada
masa ini muncul para filosof-filosof muslim dengan berpuluh-puluh kitab karangan
mereka tentang filsafat. Para filosof muslim yang terkenal pada masa ini diantaranya al-
Kindi, alFarabi dan Ibnu Sina. Ketiga tokoh filosof ini merupakan mata rantai
perkembangan filsafat Islam. Al-Kindi merupakan peletak dasar pengintegrasian antara
filsafat Yunani dengan Islam. Kemudian al-Farabi melanjutkannya, dan Ibnu Sina

11
Ibid, hal. 328. Bandingkan dengan Philip K Hitti., hal. 567.
12
Ibid, hal. 267.
13
Ibid, hal. 305-309. Bandingkan dengan Philip K Hitti., hal. 496.

137
memfinalkannya. Disamping itu, sekitar tahun 358 H./970 M. di Baghdad berkembang
perkumpulan filsafat yang sekaligus bergerak dalam bidang religio-politik dengan nama
Ikhwan al-Shafa.14
b. Ilmu Kedokteran
Ilmu kedokteran sudah eksis dalam sejarah peradaban ummat Islam sejak masa
Dinasti Umayyah. Hal ini terbukti dengan adanya Sekolah Tinggi Kedokteran di
Yudhisapur dan di Harran. Akan tetapi pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, ilmu
kedokteran tidak begitu berkembang. Pada masa Dinasti Abbasiyah, perkembangan ilmu
kedokteran menunjukkan perkembangan yang demikian maju. Terutama setelah George
Bakhtisyu, seorang dokter dari Yudhisapur berhasil mengobati khalifah al-Manshur
sampai sembuh. Akibatnya, perhatian para khalifah Dinasti Abbasiyah bertambah
terhadap ilmu kedokteran ini serta mendorong para ulama dan ilmuan untuk
mendalaminya.15
Pada masa ini muncullah beberapa orang ilmuan muslim yang terkemuka dalam
bidang kedokteran seperti Al-Razi dengan karyanya yang berjudul al-Hâwîy yang terdiri
dari 20 Jilid, dipandang sebagai salah satu buku induk dalam ilmu medis. Kemudian, Ibn
Sina atau biasa dipanggil dengan Aviccena (370-428 H./980-1037 M.) dengan karyanya
al-Qanûn fî al-Thîb, merupakan salah satu buku yang hingga hari ini dipakai sebagai
rujukan primer ilmu kedokteran. Ibn Sina dan al-Razi disamping dipandang sebagai
pakar dalam ilmu kedokteran, juga dianggap sebagai filosof besar dan fisikawan
terkemuka.16 Disamping itu, pada masa Dinasti Abbasiyah ini banyak didirikan rumah
sakit serta bermunculannya berbagai cabang ilmu kedokteran, seperti ilmu bedah,
farmasi, kesehatan mata, dan lain-lain.
c. Ilmu Optik
Abu Ali al-Hasan bin al-Haithami atau dalam khazanah Barat biasa dipanggil
dengan Al-Hazen (355- 429 H./966-1038 M.) adalah merupakan ahli mata pada masa
dinasti Abbasiyah dengan karyanya yang bertitelkan Optics.17
d. Ilmu Matematika
Dinasti Abbasiyah nampaknya memberikan perhatian yang cukup besar kepada
perkembangan ilmu ini, sebab disiplin ilmu ini dianggap penting untuk meningkatkan
kecerdasan masyarakat. Dalam bidang matematika ini, muncul tokoh-tokoh Islam yang
sangat terkenal hingga sekarang seperti alKhawarizmi (164-235 H./780-850 M.) seorang
ahli matematika pertama dalam dunia Islam yang mengadopsi sistem angka Sansekerta
(Hindi) dan mentransformasikannya menjadi angka Arab. Al-Khawarizmi mengarang

14
Ibid, hal. 337-340. Bandingkan dengan Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat
Islam, (Bandung: Mizan: 2003), hal. 9. Dan Philip K Hitti., hal. 462.
15
Ibid, hal. 357. Bandingkan dengan Philip K Hitti., hal. 454.
16
Ibid. hal. 341 dan 357.
17
Ibid, hal. 359.

138
buku yang berjudul al-Jabr wa al-Muqâbala yang merupakan buku pertama tentang ilmu
pasti paling sistematis dalam sejarah pemikiran ummat manusia.18 Dari buku inilah
kemudian dikenal istilah-istilah yang hingga hari ini dipakai dalam matematika seperti
aljabar dan logaritma. Bahkan kemajuan matematika yang dihasilkan oleh ummat Islam
pada masa Dinasti Abbasiyah ini telah menyumbangkan pemakaian angka-angka Arab
dalam matematika. Tokoh-tokoh lainnya yang terkenal dalam bidang ini antara lain,
Umar Khayam, al-Thusi, al-Biruni, Abu Kamil dan Abu al-Wafa‘.19
e. Ilmu Astronomi
Ilmu astronomi juga mendapat perhatian serius dari para ilmuan pada masa
Dinasti Abbasiyah ini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya bermunculan para ilmuan
atau tokoh-tokoh ilmu astronomi yang sangat berpengaruh pada masa ini seperti Ibrahim
al-Fazari. Ibrahim al-Fazari dikenal dalam sejarah Islam sebagai astronom Islam yang
pertama sekali membuat astrolobe. Al-Faraghani menulis ringkasan ilmu astronomi yang
berjudul al-Harakat al-Samâwat wa Jawâmi’ ‘Ilm al-Nujûm dan al-Mudkhal Ilâ ‘Ilm
Hayât al-Aflâk. Disamping itu, beliau juga telah mengkoreksi beberapa pendapat
Ptolomeus, termasuk melakukan perhitungan yang benar terhadap orbit bulan dari
planet-planet tertentu. Beliau juga membuktikan tentang probabilitas gerhana matahari
yang berbentuk cincin, menentukan garis edar matahari dan mengembangkan teori
orisinal tentang penentuan dapat melihat bulan baru.20
e. Ilmu Kimia
Ummat Islam pada masa ini telah berhasil mengembangkan ilmu kimia. Dalam
disiplin ilmu kimia ini, bermunculan ilmuan-ilmuan muslim yang cukup terkenal
diantaranya Jabir Ibn Hayyan, yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Kimia Modern. Di
tangan ilmuan-ilmuan Yunani, ilmu kimia didasarkan pada spekulasi, maka ditangan
ilmuan-ilmuan Islam, ilmu kimia tersebut berkembang berdasarkan pada eksperimen.21
f. Ilmu Sejarah dan Ilmu Bumi
Dalam bidang sejarah dan ilmu bumi muncul beberapa ilmuan yang terkenal
diantaranya Ahmad ibn Ya‘qubi dengan karyanya al-Buldân (mengenai ilmu bumi) dan
al-Târîkh (mengenai sejarah). kemudian Abu Muhammad Abdullah al-Quthubah dengan
karyanya antara lain al-Imâmah wa al-Siyâsah, al-Ma’ârif, dan ‘Uyûn al-Akhbâr, dan
Abu Ja‘far Muhammad bin Ja‘far bin Jabir al-Thabari dengan karyanya yang terkenal
Târîkh al-Umam wa al-Mulûk.22

18
Ibid, hal. 362-365. Bandingkan dengan Philip K Hitti., hal. 467.
19
Ibid.
20
Ibid.
21
Ibid, hal. 360. Bandingkan dengan Philip K Hitti., hal. 475.
22
Ibid, hal. 366.

139
Tauhid: Landasan Epistemologi Islam
Pada fasal sebelumnya bisa dilihat bahwa bangunan peradaban Islam ternyata
bukan hanya ditekankan dalam ilmu-ilmu naqliyyah, meliankan juga dalam ilmu-ilmu
‘aqliyyah. Hal ini menunjukkan bahwa adanya sistem integrasi dalam bangunan
keilmuan Islam. Tetapi, integrasi pada bidang-bidang khusus seperti disebutkan di atas
tidak mungkin terjadi kecuali kalau berdiri di atas fondasi atau basis pemersatu yang kuat
dalam tradisi keilmuan Islam maupun peradaban Islam secara keseluruhan. Fondasi
pemersatu yang mendasari integrasi-integrasi epistemologis, tidak lain dari pada prinsip
yang paling dasar dalam seluruh ajaran Islam, yaitu “tauhid” yang dalam pandangan al-
Faruqi sebagai esensi dari agama Islam dan peradabannya.23
Tauhid, dengan maknanya yang telah dijelaskan di atas, telah menjadi prinsip
paling dasar dari ajaran Islam, dan, dalam kaitannya dengan bangunan keilmuan Islam,
telah menjadi prinsip yang paling utama dari prinsip-prinsip epistemologi Islam,
sehingga ia juga telah menjadi asas pemersatu atau dasar dari integrasi Ilmu.24 Hal ini
bisa dilihat dari konsep-konsepnya yang sangat khas, yang berbeda dengan konsep
keilmuan peradaban lainnya, terutama dalam tiga konsepnya yang paling mendasar,
yaitu: konsep ‘aql; konsep wujud; dan konsep jiwa.

1. Konsep ‘Aql
Dalam epistemologi Islam, akal manusia itu terbagi dalam beberapa tingkatan.
Tingkatan terendah akal manusia adalah akal potensial (al-‘aql bi al-malakah). Setelah
mendapatkan stimulasi dari persepsi indrawi, yang kemudian diolah di bagian akal yang
paling rendah, maka akal potensial tertransformasikan menjadi akal aktual (al-‘aql bi al-
fi’l). Dengan demikian si subjek berfikir menjadi sadar tentang pengetahuan tertentu.
Akan tetapi jika dalam akal potensial pengetahuan itu masih berkaitan dengan persepsi
indrawi, maka dalam akal aktual penegtahuan tersebut sudah menjadi forma. Ketika
pengetahuan manusia sudah menjadi forma sepenuhnya, maka pengetahuan akan naik ke
akal pencapaian (al-‘aql al-mustafâd), dimana akal ini berfungsi sebagai panyambung
(ittishâl) dengan akal aktif25 (al-‘aql bi al-fa’âl) yang sepenuhnya bersifat forma. Maka
pada akal ini manusia bisa menjadi tahu (tercerahkan) tentang pegetahuan-pengetahuan
yang belum diketahuinya pada tingkatan-tingkatan lebih rendah.26 Dan pada tahap
kontak dengan akal aktif inilah kebersihan hati dan fikiran si subjek berfikir menjadi
penentu. Maka dalam epistemologi Islam, moral dan kebersihan hati seseorang akan
berbanding lurus dengan keilmuannya.

23
Isma’il R al-Faruqi & Lois L al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, hal. 109.
24
Untuk pembahasan yang sangat baik dalam masalah ini bisa dibaca, Mulyadhi Kartanegara,
Integrasi Ilmu, (Bandung: Arasy, 2005).
25
Yang dalam Islam sering diasosiasikan dengan malaikat Jibril As.
26
Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2005), hal. 123.

140
2. Konsep Wujud
Di antara salah satu konsep epistemologi Islam, dan yang membedakannya
dengan konsep epistemologi yang lainnya, adalah adanya tingkatan wujud (marâtib al-
wujûd).27 Cara paling sederhana untuk mengungkapkan tingkatan wujud ini adalah
dengan membaginya kepada tiga kelompok: yang Mutlak bersifat ruhani (Tuhan); yang
ruhani imajinal; dan yang jasmani. Yang mutlak disebut dengan alam amr, yang
imajinal, sebagai alam perantara antara alam ruhani dan jasmani, disebut dengan
barzakh, dan yang jasmani disebut dengan alam syahâdah (kesat mata).28
Dalam epistemologi Islam, manusia dipandang memiliki dimensi jasmani dan
ruhani. Sehingga manusia bisa berhubungan dengan yang Mutlak ruhani (Allah) melalui
alam imajinal seperti mimpi. Maka dalam Islam, adanya wahyu atau ilham lewat sebuah
mimpi merupakan hal yang niscaya.

3. Konsep Jiwa
Dalam kajian ilmiah modern Barat, “jiwa” dipandang sebagai sebuah substansi
materi murni. Jiwa dalam pandangan mereka hanyalah sebagai fungsi otak dengan sistem
neurologisnya yang canggih. Berbeda dari pandangan ilmiah Barat modern, Islam
memandang jiwa sebagai sebuah substansi immateril yang memiliki kaitan yang erat
dengan jiwa-jiwa atau intelek samawi yang bersifat immateril.29 Maka jiwa dalam
pendangan Islam memiliki dua dimensi, yaitu dimensi materi dan nonmateri. Maka
dalam kitab al-Syifâ’ dan al-Najâh, Ibn Sina memandang Psikologi (ilmu tentang jiwa)
berada dalam dua disiplin ilmu, yaitu di bawahnya fisika, dimana jiwa manusia
merupakan puncak perkembangan biologis, dan di atasnya metafisika, dimana jiwa
manusia dipandang sebagai pancaran terendah dari akal-akal samawi yang bersifat
immateril.30 Maka kebahagiaan jiwa dalam pandangan Islam berkaitan erat dengan
kebahagiaan badan dan juga ruh.

Ilmu Kalam: Contoh Kasus Hasil integrasi Naql dan ‘Aql


Keyakinan atau akidah adalah unsur yang sangat berpengaruh terhadap
kehidupan manusia. Ia merupakan referensi bagi suatu tindakan. Seorang yang memiliki
akidah pasti akan menilai sesuatu perbuatan dengan timbangan akidahnya sebelum ia
melakukannya. Dengan demikian, akidah merupakan barometer yang berpengaruh dalam
membentuk sikap seseorang.31

27
Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, hal. 214.
28
Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, hal. 127.
29
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, hal. 177-179.
30
Ibid, hal. 178.
31
Sayyid Quthb, Fî Zilâl al-Qurân, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1980), juz VII, hal. ... .

141
Begitupun dengan keyakinan umat Islam pada masa Nabi hidup. Semua kaum
muslimin pada waktu itu, yang kita kenal dengan istilah sahabat, selalu menakar dan
menilai semua tindakannya dengan apa yang digariskan oleh akidah mereka yang
terangkum dalam al-Quran dan Sunnah. Nabi adalah preseden dan contoh konkrit dalam
mewujudkan al-Quran dalam tindakan yang sempurna. Maka mereka sangat enggan
melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Maka dari keadaan seperti inilah,
muncul sebuah komunitas yang disebut dikemudian hari dengan istilah ahl al-riwâyah.
Semua yang mereka fatwakan, semua pasti menyadur riwayat hadits dari nabi atau dari
sahabat. Pada umumnya, mereka bermukin di wilayah Hijaz.
Ketika wilayah Islam semakin luas dan orang-orang dari agama lain banyak yang
masuk Islam, maka banyak ajaran mereka yang lama disusupkan ke dalam agama Islam.
Sehingga lahirlah apa yang dikenal dengan istilah israîliyyat. Di sisi yang lain, ummat
Islam mengalami kontak melalui penerjemahan dengan ilmu-ilmu asing, yang notabene
berlandaskan pada akal, khususnya ilmu filsafat. Untuk melindungi akidahnya dari
serangan pemahaman asing, seperti israîliyyat dan filasafat, maka kaum muslimin
terdorong untuk menggunakan akal untuk membangun argumen-argumen bersifat
rasional, dan muncullah pemahaman baru dalam masalah akidah pada masyarakat
muslim yang disebut dengan ilmu kalam. Maka terbentuklah sebuah komunitas baru
yang disebut dengan istilah ahl al-ra’y. Dinamakan demikian karena mereka menimbang
agama bukan hanya pada aspek periwayatan saja, namun mereka melangkah lebih jauh
dengan menggunakan akal sebagai dasar dalam beragama mereka. Pada umumnya,
mereka bermukim di wilayah Irak.
Ilmu kalam adalah ilmu yang muncul sebagai jawaban terhadap tuntutan
zamannya. Kaum muslimin menggunakan kalam untuk melindungi keyakinan mereka
dari serangan ilmu asing, khususnya filsafat. Maka wajar, kalau semua argumentasi yang
dibangunnya bersifat sangat rasional, dan bahkan dalam beberapa sisi terkesan “liberal”.
Dari dasar seperti ini, sebagian ulama mendefinisikan ilmu kalam sebagai “ilmu yang
membicarakan masalah akidah dan ketuhanan yang menggunakan argumen rasional.”32
Maka hampir bisa dipastikan bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang orisinil lahir dari
rahim Islam. Meskipun ada sebagian kalangan yang memandang bahwa ilmu kalam
sama dengan Teologi dalam dunia kristen, namun hal ini tidak mengganggu
keorisinilannya. Karena kedua ilmu tersebut lahir dari rahim kebudayaan dan agama
yang berbeda dan bahkan bertentangan. Pada kasus ilmu Kalam ini bisa dilihat
bagaimana kaum muslimin bisa mengintegrasikan antara ilmu agama dengan ilmu
rasional, yang semuanya dilakukan dengan tujuan melindungi agama.

32
Untuk definisi ilmu kalam bisa dilihat misalnya Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Kairo: Musthafa
Muhammad, t.th.), hal. 580., al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalâl, (Mesir: al-Maymuniyyah, 1409 H),
hal. 6-7., Muhammad ‘Abduh, Risâlah al-Tauhîd, (Kairo: Dar al-Manar, 1987), hal. 7.

142
Kesimpulan
Maka dari ketiga konsep integral inilah bangunan peradaban Islam tumbuh
tanpa membeda-bedakan antara ilmu agama dan non-agama. Karena dalam Islam kedua-
duanya merupakan pancaran dari wujud yang satu, diolah oleh akal yang satu, dan
diterima oleh jiwa yang satu. Maka terciptalah kemajuan dan kebahagiaan bagi fisik dan
juga ruh. Bahagia jasmani dan rohani. Bahagia dunia dan juga akhirat.

Daftar Pustaka
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam, Jakarta Timur: Akbar Media, 2012.
Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2005.
Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, 1414 H.
Islma’il R al-Faruqi & Lois L al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan Bandung:
Mizan, 2000.
Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, terj. Musa Kazhim,
Bandung: Mizan, 2003.
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, Bandung: Arasy, 2005.
Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, terj. Afif Muhammad, Bandung: Mizan, 2002.
Philip K Hitti, History of the Arabs, Jakarta: Serambi, 2013.
Sayyid Quthb, Fî Zilâl al-Qurân, Beirut: Dar al-Syuruq, 1980.

143
PECAHNYA SISTEM KHALIFAH DI DUNIA ISLAM
(1000-1250 M)

Saepul Basor

Abstrak
Sejarah Islam Klasik menjelaskan bagaimana perkembangan Islam pada
masa awal sampai hancurnya kekhalifahan Islam di masa klasik yaitu
sekitar abad ke-1 sampai abad ke 12. Perkembangan Islam pada masa
kekhalifahan Abasiyah mencapai puncak kejayaannya dari berbagai
bidang, dari mulai bidang seni, budaya sampai keilmuan. Banyak para
sejarawan dan ilmuan yang lahir pada masa tersebut. Akan tetapi
selanjutnya kekhalifahan mengalami kemynduran yang diakibatkan dari
adanya pemberontakan-pemberontakan dari daerah-daerah yang
menginginkan memerdekakan diri. Kejadian tersebut terjadi akibat dari
ketidak puasan para petinggi di daerah-daerah yang jauh dai pusat
pemerintahn terhadap para petinggi yang ada di pusat. Selain itu sikap
suka bermewah-mewahan dari para pejabat menjadikan korupsi
diberbagai bidang yang pada akhirnya keuangan negarapun amburadul.
Kemenangan pada perang salibpun tidak mampu membuat Islam Berjaya.
Karena pasca perang salab banyak ketidak sepahaman diantara orang
Islam. Dan Islampun terpecah belah hingga kekhalifahanpun tidak ada
lagi. Metode sejarah adalah metode yang akan penulis pakai dalam
penyajian makalah ini, penulis mencoba mengumpulkan sumber litelatur
yang mendukung dalam pembahasan makalah tersebut. Dalam tulisan ini
dijelaskan bagaimana Sejarah Islam Pada masa Klasik saat kekhalifahan
Islam mengalami perpecahan sehingga kekhalifahan tidak ada lagi di
dunia Islam.

Kata Kunci: Islam, Kekhalifahan, Klasik.

I. Pendahuluan
Priode pertama pemerintahan Abasiyah adalah masa keemasan pencapaian
kekuasan khalifahannya. Akan tetap, pada periode-periode sesudahnya, pemerintahan
dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Dalam periode pertama,
sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi dinasti Abbasiyah. Beberapa
gerakan politik yang merongrong pemerintah dan mengganggu stabilitas muncul di
mana-mana, baik gerakan dari kalangan intern Abasiyah sendiri maupun dari luar.
Namun, semuanya dapat diatasi dengan baik. Keberhasilan penguasa Abbasiyah
mengatasi gejolak dalam negeri ini makin memantapkan posisi dan kedudukan mereka
sebagai pemimpin yang tangguh. Kekuasaan benar-benar berada di tangan khalifah.
Keadaan ini sangat berbeda dengan periode sesudahnya. Setelah periode pertama berlalu
para khalifah sangat lemah. Mereka berada di bawah pengaruh kekuasaan yang lain.

144
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai
dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup
mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari
pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan
anak-anak pejabat. Kecenderungan bermewah-mewah, ditambah dengan kelemahan
khalifah-khalifah dan faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan
rakyat miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara professional asal Turki yang
semula diangkat oleh khalifah al-mu’tashim untuk mengambil alih pemerintah. Usaha
mereka berhasil, sehingga kekuasaaan sesungguhnya berada ditangan mereka, sementara
kekuasaaan Abasiyah di dalam khilafah Abbbasiyah yang didirikannya mulai pudar dan
ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini meskipun setelah itu usianya masih dapat
bertahan lebih dari empat ratus tahun.
Runtuhnya kekhalifahan Abasiyah adalah proses awal runtuh dan pecahnya masa
kekhalifahan Islam. Terhitung semenjak melemahnya kekuasaan Abasiyah yang
disebabkan oleh kurang berwibawanya para khalifah yang memimpin menjadikan
kekuasaan Islam melemah. Beberapa faktor penyebab runtuhnya kekhalifahan pada
kurun waktu abad ke-10 sampai abad ke-12 akan coba saya bahas dalam makalah ini.
Mulai dari munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan
Abasiyah di Baghdad, Perebutan kekuasaaan di pusat pemerintahan sampai pada
terjadinya Perang Salib dan sebab-sebab kemunduran pemerintahan abasiyah.

II. Pembahasan
1. Dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari Baghdad
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah dimulai di akhir zaman bani
Umayah. Akan tetapi berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat
perbedaan antara pemerintahan Bani Umayah dengan pemerintahan Abasiyah. Wilayah
kekuasaan Bani Umayah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar
dengan batas-batas kekuasaan Islam. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di
Spanyol dan Afrika Utara kecuali Mesir yang bersifat sebentar-bentar dan kebanyakan
bersifat nominal, yang hubungannya dengan khalifah ditandai dengan pembayaran upeti.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran
mulai lepas dari genggaman penguasa Abasiyah. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari
dua cara: Pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan
berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulat Umayyah di Spanyol dan
Idrisiyyah di Marokko. Kedua, seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah,
kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulat Aghlabiyah di Tunisia dan
Thahiriyyah di Khurasan.

145
Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyyah di Marokko, propinsi-propinsi
itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad
stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada
saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad.
Mereka bukan saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa diantaranya
bahkan berusaha menguasai khaljfah itu sendiri.
Menurut Watt, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Abasiyah mulai terlihat sejak
awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-
pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat
mereka benar-benar independen. Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai
mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan
orang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem
perbudakan baru seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam
perkembangan selanjutnya teryata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah.
Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme
kebangsaan berupa gerakan syu'u arabiyah (kebangsaan/anti Arab). Gerakan inilah yang
banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, disamping persoalan-persoalan
keagamaan. Nampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme
kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua
segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak
bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada diantara mereka
yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada
masa khilafah Abbasiyah, diantaranya adalah:
1. Yang berbangsa Persia:1
a. Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
b. Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
c. Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
d. Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).
e. Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M).
2. Yang berbangsa Turki:2
a. Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).
b. Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).
c. Ghaznawiyah di Afghanistan, (351-585 H/962-1189 M).
d. Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya:
1) Seljuk besar, atau seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib

1
Jurji Zaidan, History of Islamic Civilization, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1978), hlm. 240
2
Ibid. hlm. 242-244.

146
Tuqhrul Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai
Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522H/1037-1127
M).
2) Seljuk Kinnan di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M).
3) Seljuk Syriatau Syam di Syria,(487-511 H/1094-1117 M).
4) Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M).
5) Seljuk Rum atau Asia kecil di Asia Kecil, (470-700 H/1077-1299 M).
3.Yang berbangsa Kurdi:3
a. al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).
b. Abu Ali, (380-489 H/990-1095 M).
c. Ayubiyah, (564-648 H/1167-1250 M).
4. Yang berbangsa Arab: 4
a. Idrisiyyah di Marokko, (172-375 H/788-985 M).
b. Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).
c. Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).
d. Alawiyah di Tabaristan, (250-316 H/864-928 M).
e. Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).
f. Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
g. Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).
h. Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).
5. Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
a. Umawiyah di Spanyol
b. Fathimiyah di Mesir.
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antar
bangsa, terutama antara Arab, Persia dan Turki. Disamping latar belakang kebangsaan,
dinasti-dinasti itu juga dilatarbelakangi paham keagamaan, ada yang berlatar belakang
Syi'ah, ada yang Sunni.
1) Luas wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan
daerah sulit di lakukan bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para
penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
2) Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka
sangat tinggi.
3) Keuntungan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran
sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, Khalifah tidak sanggup memaksa
pengiriman pajak ke Baghdad.5
2. Perebutan Kekuasaaan di Pusat Pemerintahan

3
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 66
4
Ibid. hlm.66
5
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 67

147
Kebesaran, keagungan, kemegahan dan gemerlapnya Baghdad sebagai pusat
pemerintahan Dinasti Abasiyah seolah-olah hanyut dibawa sungai Tigris, setelah kota itu
dibumi hanguskan oleh tentara mongol di bawah Hulagu Khan pada tahun 1258 M.
semua bangunan kota termasuk istana emas tersebut dihancurkan pasukan Mongol,
meruntuhkan perpustakaan yang merupakan gudang ilmu, dan membakar buku-buku
yang ada di dalamnya. Pada tahun 1400 M, kota ini diserang pula oleh pasukan Timur
Leng, dan pada tahun 1508 M oleh tentara kerajaan Safawi.6
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Abasiyah menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang Abasiyah,
karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa
diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang
jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka.
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Abasiyah menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-
pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah
berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.7
Sedangkan menurut menurut W. Montgomery Watt,8 bahwa beberapa factor yang
menyebabkan kemunduran pada masa daulah Abasiyah adalah sebagai berikut.
1. Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abasiyahiyah, sementara komunikasi
pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan tu, tingkat saling
percaya dikalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada
mereka sangat tinggi.
3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara
bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak
sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Beberapa paktor di atas, merupakan hal yang sangat pantas akn membuat sebuah
dinasti ataupun kerajaan hancur, penyebab jauhnya kordinasi antara pusat dengan daerah
sulit terjalin dikarenakan jarak yang mungkin ditempuh dengan waktu yang lama.
Apalagi saat itu alat informasi jarak jauh belum canggih seperti saat ini. Selain itu
kekuatan angkatan bersenjata yang sudah professional menyebabkan ketergantungan
khalifah kepada militer sangat tingggi sehingga bisa saja militer menjadi bom waktu
yang sewaktu-waktu akan meledak menghancurkan khalifah ketika militer berkhianat.
Juga Keuangan negara yang sedang dilanda krisis, karena biaya yang dikeluarkan untuk

6
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 154-155
7
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 67
8
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1990, Cetakan Pertama,) hlm. 165-166

148
tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup
memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Dalam perkembangan selanjutnya, proses suksesi kepemimpinan politik dalam
sejarah Islam berbeda-beda dari satu masa ke masa yang lain. Ada yang berlangsung
aman dan damai, tetapi sering juga melalui konflik dan pertumpahan darah akibat ambisi
tak terkendali dari pihak-pihak tertentu. Jangankan saat nabi telah lama tiada pada saat
setelah nabi wafat pertentangan terjadi Antara kaum muslimin saat itu. Setelah Nabi
wafat, terjadi pertentangan pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar di Balai Kota
Bani Sa'idah di Madinah. Masing-masing golongan berpendapat bahwa kepemimpinan
harus berada di pihak mereka, atau setidak-tidaknya masing-masing golongan
mempunyai pemimpin sendiri. Akan tetapi, karena pemahaman keagamaan mereka yang
baik dan semangat musyawarah dan ukhuwah yang tinggi perbedaan itu dapat
diselesaikan, Abu Bakar terpilih menjadi Khalifah.
Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena perebutan kekuasaan terjadi
pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pertama-tama Ali menghadapi
pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan pemberontakan itu adalah Ali tidak
mau menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah
Usman yang ditumpahkan secara zalim. Namun di balik alasan itu, menurut Ahmad
Syalabi, Abdullah ibn Zubairlah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan yang
banyak membawa korban tersebut. Dia berambisi besar untuk menduduki kursi khilafah.
Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali,
dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi Ali9. Dengan tujuan
mendapatkan kedudukan khilafah itu pula Muawiyah, gubemur Damaskus,
memberontak. Selain banyak menimbulkan korban, Muawiyah berhasil mencapai
maksudnya, sementara Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya sendiri.10
Pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk
menjatuhkannya dari kursi khilafah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal
yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus.
Pemberontakan-pemberontakan sering terjadi, diantaranya pemberontakan Husein ibn
Ali, Syi'ah yang dipimpin oleh al-Mukhtar, Abdullah ibn Zubair, dan terakhir
pemberontakan Abasiyah yang untuk pertama kalinya menggunakan nama gerakan Bani
Hasyim. Pemberontakan terakhir ini berhasil dan kemudian mendirikan pemerintahan
baru yang diberinama Khilafah Abbasiyah atau Abasiyah.
Pada masa pemerintahan Abasiyah, perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi,
terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat
pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha

9
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987, cetakan ke- 5.)
hlm 289
10
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 68

149
untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Abasiyah. Yang ada hanyalah usaha merebut
kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Abasiyah. Hal ini
terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak
bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di
daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang
merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah
bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan
menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. 11
Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada
periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulat Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani
Buwaih. Kehadiran Bani Buwaih berawal dari tiga orang putera Abu Syuja' Buwaih,
pencari ikan yang tinggal di daerah Dalam, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar
dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki Dinas Militer yang ketika itu
dipandang banyak mendatangkan rezeki12. Pada mulanya mereka bergabung dengan
pasukan Makan ibn Kali, salah seorang panglima perang daerah Dailam. Setelah pamor
Makan ibn Kali memudar, mereka kemudian bergabung dengan panglima Mardawij ibn
Zayyar al-Dailamy .Karena prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi
gubernur al-Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya. Dari al- Karaj
itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaih bermula. Pertama-tama Ali berhasil
menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat
pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal, Bani Buwaih yang bermarkas di Syiraz itu
berhasil menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Ray, Isfahan, dan daerah-daerah
Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah Abbasiyah, al-Radhi Billah dan
mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil mendapatkan
legalitas itu. Kemudian ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith.
Dari sini tentara Buwaih menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat
pemerintahan. Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat perebutan
jabatan Amir al-Umara antara wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin militer
meminta bantuan kepada Ahmad ibn Buwaih yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan
itu dikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada tanggal Jumadil-ula 334
H/945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan langsung diangkat menjadi Amirul-Umara,
penguasa politik negara, dengan gelar Mu'izz al-Daulah. Saudaranya, Ali, yang
memerintah di bagian selatan Persia dengan pusatnya di Syiraz diberikan gelar Imad al-
Daulah, dan Hasan yang memerintah di bagian utara, Isfahan dan Ray, dianugerahi gelar
Rukn al-Daulah.
Sejak itu, sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki sebelumnya, para
khalifah tunduk kepada Bani Buwaih. Pada masa pemerintahan Bani Buwaih ini, para
11
Ibid. hlm. 69
12
Jurji Zaida, Tarikh Al-Tamaddun al-islami, Juz IV, (Kairo, Dar Al-Hilal, 1947) hlm. 145

150
khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal namanya saja. Pelaksanaan pemerintahan
sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani Buwaih. Keadaan khalifah lebih buruk
daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi'ah,
sementara Abasiyah adalah Sunni. Selama masa kekuasaan bani Buwaih sering terjadi
kerusuhan antara kelompok Ahlussunnah dan Syi'ah, pemberontakan tentara dan
sebagainya.13
Setelah Baghdad dikuasai, Bani Buwaih memindahkan markas kekuasaan dari
Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota dengan nama
Daral-Mamlakah. Meskipun demikian, kendali politik yang sebenarnya masih berada di
Syiraz, tempat Ali ibn Buwaih (saudara tertua) bertahta. Dengan kekuatan militer Bani
Buwaih, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri dari Baghdad,
seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak, Dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah,
dapat dikendalikan kembali dari Baghdad. Sebagaimana para khalifah Abbasiyah periode
pertama, para penguasa Bani Buwaih mencurahkan perhatian secara langsung dan
sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada
masa Bani Buwaih ini banyak bermunculan ilmuwan besar, di antaranya al-Farabi (w.
950 M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Farghani, Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), Ibn
Maskawaih (w. 1030 M), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan
al-Shafa.14 Jasa Bani Buwaih juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-
masjid, beberapa rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya.15 Kemajuan
tersebut diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi, pertanian, perdagangan, dan
industri, terutama permadani.
Kekuatan politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama,
tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara anak-anak mereka.
Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat. Misalnya, pertikaian antara
'Izz al-Daulah Bakhtiar, putera Mu'izz al-Daulah dan 'Adhad al-Daulah, putera Imad al-
Daulah, dalam perebutan jabatan amIr al-umara. Perebutan kekuasaan di kalangan
keturunan Bani Buwaih ini merupakan salah satu faktor internal yang membawa
kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka. Faktor internal lainnya adalah
pertentangan dalam tubuh militer, antara golongan yang berasal dari Dailam dengan
keturunan Turki. Ketika Amir al-Umara dijabat oleh Mu'izz al-Daulah persoalan itu
dapat diatasi, tetapi manakala jabatan itu diduduki oleh orang-orang yang lemah,
masalah tersebut muncul ke permukaan, mengganggu stabilitas dan menjatuhkan wibawa
pemerintah.16

13
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 70
14
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 71
15
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: Macmillan, 1970) hlm. 471
16
Muhammad AL-Khuddhari Bek, Muhadharat al-Tarikh a-umam al-Islamiyah,: al-Daulah al-
abbasiyah, (kairo: Istiqomah, 1953), hlm. 381-382.

151
Sejalan dengan makin melemahnya kekuatan politik Bani Buwaih, makin banyak
pula gangguan dari luar yang membawa kepada kemunduran dan kehancuran dinasti ini.
Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya adalah semakin gencarnya serangan-
serangan Bizantium ke dunia Islam, dan semakin banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
membebaskan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad. Dinasti-dinasti itu, antara lain
dinasti Fathimiyah yang memproklamasikan dirinya sebagai pemegang jabatan khalifah
di Mesir, Ikhsyidiyah di Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo dan lembah Furat,
Ghaznawi di Ghazna dekat kabul, dan dinasti Seljuk yang berhasil merebut kekuasaan
dari tangan Bani Buwaih.17
Jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Seljuk bermula dari perebutan
kekuasaan di dalam negeri. Ketika al-Malik al- Rahim memegang jabatan Amir al-
Umara, kekuasaan itu dirampas oleh panglimanya sendiri, Arselan al-Basasiri. Dengan
kekuasaan yang ada di tangannya, al-Basasiri berbuat sewenang-wenang terhadapal Al-
Malikal-Rahim dan Khalifah al-Qaimdari Abasiyah; bahkan dia mengundang khalifah
Fathimiyah, (al-Mustanshir, untuk menguasai Baghdad. Hal ini mendorong khalifah
meminta bantuan kepada Tughril Bek dari dinasti Seljuk yang berpangkalan di negeri
Jabal. Pada tanggal 18 Desember 1055 M/447 H pimpinan Seljuk itu memasuki
Baghdad18. Al-Malik al-Rahim, Amir al-Umara Bani Buwaih yang terakhir,
dipenjarakan. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Bani Buwaih dan bermulalah
kekuasaan Dinasti Seljuk. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan awal periode
keempat khilafah Abbasiyah.
Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun suku Ghuz di wilayah
Turkistan. Pada abad kedua, ketiga, dan keempat Hijrah mereka pergi ke arah barat
menuju Transoxiana dan Khurasan. Ketika itu mereka belum bersatu19. Mereka
dipersatukan oleh Seljuk ibn Tuqaq. Karena itu, mereka disebut orang-orang Seljuk.
Pada mulanya Seljuk ibn Tuqaq mengabdi kepada Bequ, raja daerah Turkoman yang
meliputi wilayah sekitar laut Arab dan laut Kaspia. Seljuk diangkat sebagai pemimpin
tentara. Pengaruh Seljuk sangat besar sehingga Raja Bequ khawatir kedudukannya
terancam. Raja bermaksud menyingkirkan Seljuk.
Namun sebelum rencana itu terlaksana, Seljuk mengetahuinya. Ia tidak
mengambil sikap melawan atau memberontak, tetapi bersama pengikutnya ia bermigrasi
ke daerah land, atau disebut juga Wama Wara'a al-Nahar, sebuah daerah muslim di
wilayah Transoxiana (antara sungai Ummu Driya dan Syrdarya atau Sihun). Mereka
mendiami daerah ini atas izin penguasa dinasti Samaniyah yang menguasai daerah
tersebut. Mereka masuk Islam dengan mazhab Sunni. Ketika dinasti Samaniyah

17
Ibid. hlm.379.
18
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: Macmillan, 1970) hlm. 281.
19
Ahmad, Syalabi, Mausuat al-tarikhal-islami wa al-Hadharat al=-islamiyah fi al-syarq, (Kairo:
Maktabah Al-Nahdhah Al-Mishriyah, 1974) hlm. 426

152
dikalahkan oleh dinasti Ghaznawiyah, Seljuk menyatakan memerdekakan diri. Ia
berhasil menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh dinasti Samaniyah. Setelah
Seljuk meninggal, kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Israil. Namun, Israil dan
kemudian penggantinya Mikail, saudaranya dapat ditangkap oleh penguasa
Ghaznawiyah.
Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Thugrul Bek. Pemimpin Seljuk
terakhir ini berhasil mengalahkan Mas'ud al-Ghaznawi, penguasa dinasti Ghaznawiyah,
pada tahun 429 H/1036 M, dan memaksanya meninggalkan daerah Khurasan. Setelah
keberhasilan tersebut, Thugrul memproklamasikan berdirinya dinasti Seljuk. Pada tahun
432 H/1040 M dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad.20 Di
saat kepemimpinan Thugrul Bek inilah, dinasti Seljuk memasuki Baghdad menggantikan
posisi Bani Buwaih. Sebelumnya, Thugrul berhasil merebut daerah-daerah Marwadan
Naisabur dari kekuasaan Ghaznawiyah, Balkh, urjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray, dan
Isfahan.
Posisi dan kedudukan khalifah lebih baik setelah dinasti Seljuk berkuasa; paling
tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan setelah beberapa lama
"dirampas" orang-orang Syi'ah. Meskipun Baghdad dapat dikuasai, namun ia tidak
dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Thugrul Bek memilih Naisabur dan kemudian Ray
sebagai pusat pemerintahannya. Dinasti-dinasti kecil yang sebelumnya memisahkan diri,
setelah ditaklukkan dinasti Seljuk ini, kembali mengakui kedudukan Baghdad, bahkan
mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan Abbasiyah untuk membendung faham
Syi'ah dan mengembangkan mazhab Sunni yang dianut mereka.21
Sepeninggal Thugrul Bek (455 H/1063 M), dinasti Seljuk berturut-turut
diperintah oleh Alp Arselan (455-465 H/1063-1072), Maliksyah (465-485 H/1072-1092),
Mahmud (485-487 H/1092-1094 M), Barkiyaruq (487 -498 H/1 094-1103), Maliksyah II
(498 H/ 1103 M), Abu Syuja' Muhammad (498-511 H/11 03-1117 M),dan Abu Haris
Sanjar(511-522H/1117-1128 M). Pemerintahan Seljuk ini dikena1 dengan nama al-
Salajikah al-Kubra (Seljuk Besar atau Seljuk Agung). Disamping itu, ada beberapa
pemerintahan Seljuk lainnya di beberapa daerah sebagaimana disebutkan terdahulu. Pada
masa Alp Arselan perluasan daerah yang sudah dimulai oleh Thugrul Bek dilanjutkan ke
arah barat sampai pusat kebudayaan Romawi di Asia Kecil, yaitu Bizantium. Peristiwa
penting dalam gerakan ekspansi ini adalah apa yang dikenal dengan peristiwa Manzikart.
Tentara Alp Arselan berhasil mengalahkan tentara Romawi yang besar yang terdiri dari
tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis, dan Armenia. Dengan dikuasainya
Manzikart tahun 1071 M itu, terbukalah peluang baginya untuk melakukan gerakan
penturkian (turkification) di Asia Kecil. Gerakan ini dimulai dengan mengangkat

20
Ahmad, Syalabi, Mausuat al-tarikhal-islami wa al-Hadharat al=-islamiyah fi al-syarq, (Kairo:
Maktabah Al-Nahdhah Al-Mishriyah, 1974) hlm. 427
21
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 74

153
Sulaiman ibn Qutlumish, keponakan Alp Arselan, sebagai gubernur di daerah ini. Pada
tahun 1077 M (470 H), didirikanlah kesultanan Seljuk Rum dengan ibu kotanya Iconim.
Sementara itu putera Arselan, Tutush, berhasil mendirikan dinasti Seljuk di Syria pada
tahun 1094 M/487 H.22
Pada masa Maliksyah wilayah kekuasaan Dinasti Seljuk ini sangat luas,
membentang dari Kashgor, sebuah daerah di ujung daerah Turki, sampai ke Yerussalem.
Wilayah yang luas itu dibagi menjadi lima bagian:
1. Seljuk Besar yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia, dan Ahwaz. Ia
merupakan induk dari yang lain. Jumlah Syekh yang memerintah seluruhnya
delapan orang.
2. Seljuk Kirman berada di bawah kekuasaan keluarga Qawurt Bek ibn Dawud ibn
Mikail ibn Seljuk. Jumlah syekh yang memerintah dua belas orang.
3. Seljuk Irak dan Kurdistan, pemimpin pertamanya adalah Mughirs al-Din
Mahmud. Seljuk ini secara berturut-turut diperintah oleh sembilan syekh.
4. Seljuk Syria, diperintah oleh keluarga Tutush ibn Alp Arselan ibn Daud ibn
Mikail ibn Seljuk, jumlah syekh yang memerintah lima orang.
5. Seljuk Rum, diperintah oleh keluarga Qutlumish ibn Israil ibn Seljuk dengan
jumlah syekh yang memerintah seluruhnya 17 orang.23
Disamping membagi wilayah menjadi lima, dipimpin oleh gubernur yang
bergelar Syekh atau Malik itu, penguasa Seljuk juga mengembalikan jabatan perdana
menteri yang sebelumnya dihapus oleh penguasa Bani Buwaih. Jabatan ini membawahi
beberapa departemen.
Pada masa Alp Arselan, ilmu pengetahuan dan agama mulai berkembang dan
mengalami kemajuan pada zaman Sultan Malik Syah yang dibantu oleh perdana
menterinya Nizham al-Mulk. Perdana menteri ini memprakarsai berdirinya Universitas
Nizhamiyah (1065 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Hampir di setiap kota di
Irak dan Khurasan didirikan cabang Nizhamiyah. Menurut Philip K. Hitti, Universitas
Nizhamiyah inilah yang menjadi model bagi segala perguruan tinggi di kemudian hari.24
Perhatian pemerintah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan
banyak ilmuwan muslim pada masanya. Diantara mereka adalah al-Zamakhsyari dalam
bidang tafsir, bahasa, dan teologi; al-Qusyairy dalam bidang tafsir; Abu Hamid al-
Ghazali dalam bidang teologi; dan Farid al-Din al-'Aththar dan Umar Khayam dalam
bidang sastra. Bukan hanya pembangunan mental spiritual, dalam pembangunan fisikpun
Dinasti Seljuk banyak meninggalkan jasa.Maliksyah terkenal dengan usaha pembanguna

22
Ibid.
23
Muhammad AL-Khuddhari Bek, Muhadharat al-Tarikh a-umam al-Islamiyah,: al-Daulah al-
abbasiyah, (kairo: Istiqomah, 1953), hlm. 418-421
24
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: Macmillan, 1970) hlm. 410.

154
di bidang yang terakhir ini. Banyak masjid, jembatan, irigasi, dan jalan raya
dibangunnya.25
Setelah Sultan Maliksyah dan perdana menteri Nizham al-Mulk wafat Seljuk
Besar mulai mengalami masa kemunduran di bidang politik. Perebutan kekuasaan
diantara anggota keluarga timbul. Setiap propinsi berusaha melepaskan diri dari pusat.
Konflik-konflik dan peperangan antaranggota keluarga melemahkan mereka sendiri.
Sementara itu, beberapa dinasti kecil memerdekakan diri, seperti Syahat Khawarizm,
Ghuz, dan al-Ghuriyah. Pada sisi yang lain, sedikit demi sedikit kekuasaan politik
khalifah juga kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan dinasti Seljuk di Irak
berakhir di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/l199 M.
3. Perang Salib
Perang Salib (The Crusades War) adalah serangkaian perang agama selama
hampir dua abad sebagai reaksi Kristen Eropa terhadap Islam Asia. Perang ini terjadi
karena sejumlah kota dan tempat suci Kristen diduduki Islam sejak 632, seperti di
Suriah, Asia Kecil, Spanyol dan Sicilia. Militer Kristen menggunakan salib sebagai
simbol yang menunjukan bahwa perang ini suci dan bertujuan membebaskan kota suci
Bitul Maqdis (Yerusalem) dari orang Islam.26
Peristiwa penting dalam generasi ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan
adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M). Tentara Alp Arselan yang hanya
berkekuatan 15.000 orang prajurit, berhasil mengalahkan Romawi yang berjumlah
200.000 orang. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian
terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan perang salib. Pada tahun 1095 M,
Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci.
Perang ini kemudian dikenal dengan Nama Perang Salib. Yang terjadi dalam 3 periode.27
A. Periode Pertama (1095-1477 M)
Perang salib ini semula digerakkan oleh seorang pedeta Peter dari Perancis.
Kemudian didukung oleh Paus di Vatikan, oleh raja vatikan di Eropa dan oleh kepala
orthodox yang berkedudukan di Konstantinopel. Pada tanggal 26 nopember 1095 Paus
Urbanus II mengadakan pidato menggema di seluruh Eropa, di segala Negara Kristen,
mempersiapkan tentara yang lengkap bersenjata untuk pergi berperang merebut
Palestina.
Jalinan kerjasama Antara kaisar Alexius I dengan Paus Urbanus II berhasil
membangkitkan semangatumat Kristen, terutama akibat pidato Paus Urbanus II pada
Konsili Clermont (26 Nopember 1095) . Pidato ini kemungkinan pidato yang paling
berkesan sepanjang sejarah yang dibuat paus.pidato ini menggema ke seluruh penjuru

25
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jilid 1, (Jakarta: UI Press, 1985, Cetakan
kellima) hlm. 77
26
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 231.
27
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 77

155
Eropa yang membangkitkan seluruh negara Kristen mempersiapkanberbagai bantuan
untuk mengadakan penyerbuan. Gerakan ini merupakan gerakan spontanitas yang di
ikuti berbagai kalangan masyarakat.28
Ketika tentara salib menduduki palestina terjadilah pembunuhan massal dan
penyembelihan secara besar-besaran. Kepala, tangan dan kaki manusia yang mati
terbunuh berserakan di sepanjang jalan di kota suci itu. Pada tahun 521 H/1127 M
muncul seorang pahlawan Islam termasyhur Imaduddin Zanki, gubernur dari Mousul
dapat mengalahakan tentara salib di Kota Aleppo dan Humah. Kemenangan itu
merupakan yang pertama kali yang disusul dengan kemenangan selanjutnya sehingga
tentara salib merasakan pahitnya kekalahan.
B. Periode Kedua
Imaduddin, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan Aleppo, Hamimah,
dan Endessa pada tahun 1144M. Kejatuhan Endesso ini menyebapkan orang-orang
Kristen mengobarkan Perang Salib Kedua. Paus Eugenius III menyerukan perang suci
yang disambut positif oleh Raja Perancis Louis VII dan Raja Jerman Condrad II.
Keduanya memimpin Pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syiria. Akan
tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil
memasuki Damaskus. LouisVI dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang kenegrinya.
Nurudin wafat pada tahun 1174 M. pimpinan perang kemudian dipegang oleh solahudin
Al-Ayubi. Yang berhasil mendirikan dinasti Ayubiyah di Mesir pada tahun 1175 M.
hasil peperangan shalahudin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada 2
Oktober 1187 M. dengan demikian, Kerajaan Latin yang didirikan tentara Salib di
Yerusalem yang berlangsung 88 tahun terakhir.
Jatuhnya Yerusalem ke tangan kaum Muslimin sangat memukul perasan tentara
salib, mereka menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick
Barbarossa raja Jerman, Richard The Lion Hart raja Inggris, dan Philip Augustus raja
Prancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. meskipun mendapat tantangan berat
dari Salahuddin yang disebut dengan Shulh Ar-Ramlah. Dalam perjanjian itu disebutkan
bahwa orang-orang Kristen yang berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.29
Setelah itu, pada Februari 1193 pahlawan perang salib itu, yaitu Shalahudin Al-Ayubi
wafat setelah perjanjian tersebut disepakati oleh kedua pihak
C. Periode Ketiga
Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini
mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan
dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil
menduduki Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, al- Malik al-Kamil,
membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan
28
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 238
29
Ibid. Hlm. 240

156
Dimyat, sementara al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin
keamanan kaum muslimin disana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen
di Syria.30
Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum
muslimin tahun 1247 M, dimasa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir
selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi
dinasti Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa
merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M. Demikianlah
Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol,
sampai umat Islam terusir dari sana.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara
salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di
wilahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi
lemah. Dalam kondisi demikian, mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah
belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abasiyah
di Baghdad.31
4. Sebab-Sebab Kemunduran Pemerintahan Abasiyah
Faktor yang menyebabkan khalifah Abbasiyah manjadi mundur yaitu sebagai
berikut:
A. Persaingan Antar Bangsa
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Abasiyah yang bersekutu dengan orang-orang
Persia. Persekutuan di latar belakangi persamaan nasib kedua golongan itu pada masa
Bani Ummayyah berkuasa. Setelah khalifah Abasiyah berdiri, dinasti Abasiyah tetap
mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewaska, ada 2 sebab dinasti Abasiyah
memilih orang-orang Persia dari orang-orang Arab. Yang pertama, sulit bagi orang-
orang Arab untuk melupakan Bani Ummayah. Dan yang kedua orang-orang Arab sendiri
terpecah bela dengan adanya Aya’ashabiyyah kesukuan. Dengan demikian, khalifah
Abbasiyah tidak ditegakkan diatas ashabiyah tradisional. Meskipun demikian, orang-
orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan
pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang
mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah
bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas,
meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki
dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak
ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan

30
Abd Al-Rahman Tajuddin, Dirasat fi al-Tarikh al-Islami, (Kairo: Maktabah Al-Sunnah Al-
Muhammadiyah, 1953), hlm. 148.
31
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 79

157
kuat.32 Akibatnya, di samping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-
bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah. Fanatisme kebangsaan ini nampaknya
dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem
perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara.
Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Abasiyah, mereka dianggap sebagai
hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki.
Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah
milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan
khalifah.33 Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah
dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah
adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik
dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi
tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan BaniAbbas sebenarnya sudah
berakhir. Kekuasaan berada ditangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut
oleh Bani Buwaih, bangsa Persia pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada
dinasti Seljuk pada periode keempat.
B. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan
dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Abasiyah
merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar,
sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta.34 Pertambahan dana yang besar diperoleh
antara lain dari al-Kharaj semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun
sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu
disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan
yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-
dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan
pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan
pejabat semakin mewah. Jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan
korupsi.35 Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-
marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik Dinasti
Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.36
C. Konflik keagamaan

32
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: Macmillan, 1970) hlm. 485
33
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam., Jilid I, (Kairo: Lajnah Al-Ta’lif Wa Al-Tarjamah Wa Al-Nasyr, Tanpa
Tahun) hlm. 21
34
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: Macmillan, 1970) hlm. 618.
35
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam., Jilid I, (Kairo: Lajnah Al-Ta’lif Wa Al-Tarjamah Wa Al-Nasyr, Tanpa
Tahun) hlm. 42
36
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 82

158
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-
cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya
gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Al-Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa perlu
mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan
melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah.[40] Akan tetapi, semua itu tidak
menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq
berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemic tentang ajaran, sampai
kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-
Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik
ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan
dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal
sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara
keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-
Mutawakkil misalnya, memerintahkan agar makam Husain di Karbala dihancurkan.
Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.) kembali memperkenankan orang syi'ah
"menziarahi" makam Husain tersebut.37 Syi'ah pernah berkuasa di dalam Khilafah
Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Maroko
dan Khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari
Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara Muslim
dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam.
Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan Ahlus
Sunnah. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah
ketujuh dinastiAbbasiyah (813-833 M.) dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai madzhab
resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861) aliran
Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan Ahlus Sunnah kembali naik
daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Dinasti Buwaih. Namun pada masa
Dinasti Seljuk yang menganut aliran Asy'ariyyah, penyingkiran golongan
Mu'tazilahmulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran
Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.
Berkenaaan dengan konflik keagamaan itu, syed Amerr Ali menyatakan:
“Agama Muhammad SAW seperti juga agama Isa as, terkepin-keping oleh
perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soa-soal abstarak
yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir,
37
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Al-Islam, Jilid IV, (Kairo: Maktabah Al-Nahdlah AL- Mishriyah, 1967),
hlm.7

159
selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari
perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan
manusia...Soal kehendak bebas manusia… pendapat bahwa rakyat dan kepala Agama
mustahil berbuat salah… menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga.”38
D. Ancaman dari luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Di samping itu, ada
pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan Khilafah Abbasiyah lemah dan dan
akhirnya Hancur:
Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan
menelan banyak korban. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa
terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan
fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen
yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, diantara komunitas-komunitas Kristen
Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan
melibatkan diri dalam tentara Salib itu.39
Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Pengaruh Perang
Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan,
panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena dia banyak dipengaruhi oleh
orang-orang Buddha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan
orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab.
Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki
Yerussalem.

III. Kesimpulan
Pecahnya sistem kekhalifahan di dunia Islam terjadi pada saat melemahnya
kekuatan Abasiyah. Melemahnya kekuatan abasiyah diakibatkan dari kebijaksanaan yang
lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan
politik, sehingga menyebabkan propinsi-propinsi dipinggiran mulai lepas dari
genggaman penguasa Abasiyah sehingga munculah dinasti-dinasti yang memerdekakan
diri dari Baghdad.
Selain itu, penyebab pecahnya kekhalifahan Islam dimasa lampau diakibatkan
adanya perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada
pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada
pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya. Selain itu luasnya
wilayah kekuasaan Daulah Abasiyahiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah
sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu tingkat saling percaya dikalangan para penguasa
dan pelaksana pemerintahan sangat rendah, dengan profesionalisasi angkatan bersenjata,
38
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 77
39
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 35

160
ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi, dan keuangan negara sangat sulit
karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan
militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Selain itu kelemahan umat Islam terjadi karena faktor Perang Salib yang terjadi
sebanyak tiga priode. Walaupun dalam Perang Salib umat Islam berhasil
mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara salib, namun kerugian yang mereka
derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilahnya. Kerugian-kerugian ini
mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian,
mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak dinasti kecil yang
memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abasiyah di Baghdad.
Faktor selanjutnya, yang menyebabkan pecahnya kekhalifahan dalam dunia Islam
yaitu terjadinya kemunduran pada bani kekuasaan Abasiyah yang disebabkan oleh
beberapa factor, diantaranya persaingan antar bangsa, kemerosotan ekonomi, konflik
keagamaan, dan ancaman dari luar.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam., Jilid I, (Kairo: Lajnah Al-Ta’lif Wa Al-Tarjamah Wa
Al-Nasyr, Tanpa Tahun)
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Al-Islam, Jilid IV, (Kairo: Maktabah Al-Nahdlah AL-
Mishriyah, 1967)
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jilid 1, (Jakarta: UI Press,
1985, Cetakan kellima)
Jurji Zaidan, Tarikh al-Tamaddun al-Islami, Juz IV, (Kairo: Dar Al-Hilal, 1947)
Muhammad AL-Khuddhari Bek, Muhadharat al-Tarikh a-umam al-Islamiyah,: al-
Daulah al-abbasiyah, (kairo: Istiqomah, 1953)
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: Macmillan, 1970)
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: AMZAH, 2010)
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 1, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987,
cetakan ke-5)
Syalabi, Mausuat al-tarikhal-islami wa al-Hadharat al=-islamiyah fi al-syarq, (Kairo:
Maktabah Al-Nahdhah Al-Mishriyah, 1974)
W. Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: P3M, 1998)
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990, cetakan pertama)
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014)

161

Anda mungkin juga menyukai