Anda di halaman 1dari 3

Pemikiran Politik Mu’tazila

Sebelum kita pembahasan tentang bagaimana politik mu’tazila, tema-teman harus tau ap aitu
mu;tazila, Muta’zila adalah Salah satu aliran teologi Islam yang mengagungkan akal di atas segala hal .
Dalil-dalil nas Al-Quran dan hadis adalah penopang dari kapasitas akal yang sudah dianugerahkan Allah
SWT kepada manusia, demikian kesimpulan umum dari doktrin ajaran Mu'tazilah. Penganut aliran
Mu'tazilah meyakini bahwa akal bisa mengantarkan pada keimanan dan ketaatan pada Allah SWT.

Aliran Mu'tazilah dipelopori tokoh intelektual muslim bernama Washil bin Atha' Al-Makhzumi pada
tahun 700-an masehi di Irak. Dia dianggap sebagai tokoh pemula yang membangun aliran ini.

Berikut penjelasan mengenai 5 ajaran Mu'tazilah sebagaimana dikutip dari buku Akidah & Akhlak (2020)
yang ditulis Sihabul Milahudin.

1. Mengesakan Tuhan (At-Tauhid)

Untuk mengesakan Allah SWT, ajaran Mu'tazilah menafikan dan mengingkari sifat-sifat Allah yang
tertuang dalam Asmaul Husna. Menurut Mu'tazilah, ada kesalahpahaman umat Islam memahami tauhid
Allah.

Penganut Mu'tazilah meyakini bahwa yang disebut sifat dan nama-nama-Nya yang Indah (Asmaul Husna)
adalah satu kesatuan dengan Zat Allah SWT, bukan terpisah dari-Nya.

Selain itu, Mu'tazilah memandang bahwasanya Al-Quran adalah "makhluk baru". Dalam kasus ini,
"makhluk" merujuk ke penggunaan bahasa Arab, yang artinya sesuatu yang diciptakan. Artinya, Allah
menciptakan Al-Quran, serta terlepas dari sifat firman-Nya.

Sifat Allah juga Maha Agung dan di luar kekuatan panca indera manusia. Karena itu juga, ketika manusia
masuk surga, mereka tidak dapat melihat Allah SWT.

2. Keadilan Allah SWT (Al-‘Adlu)

Mu'tazilah memandang bahwasanya manusia memiliki kehendak bebas (free will). Karena itu, ia bebas
melakukan perbuatan apa pun di luar intervensi Allah SWT.

Menurut Mu'tazilah, Allah SWT tidak mungkin menciptakan keburukan, tidak juga menghendaki
bencana, atau perbuatan dosa. Jika demikian, maka semua perbuatan buruk pasti dilakukan oleh
manusia dengan kehendak bebas mereka sendiri.

Jika Allah memiliki intervensi terhadap perbuatan manusia maka keadilan tidak dapat ditegakkan.
Bagaimana mungkin Allah memasukkan pendosa ke neraka atas perbuatan buruk yang sudah diatur
oleh-Nya, demikian juga memberi pahala atas takdir baik yang sudah ditetapkan di Lauh Al-Mahfuz,
sebagaimana pandangan aliran Jabariyah.
Apabila demikian keadaannya maka Allah SWT tidak adil. Karena itu, keadilan Allah terletak pada
kehendak bebas yang Dia anugerahkan kepada manusia. Berbekal akalnya, manusia menentukan sendiri
perbuatan mereka dan tidak terikat sama sekali dengan takdir.

3. Al-Manzilah baina Al-Manzilatain

Doktrin paling terkenal dari Mu'tazilah adalah derajat para pelaku dosa besar. Jika aliran Khawarij
memandang bahwa orang yang berbuat dosa besar telah murtad dan keluar dari Islam, sementara
Murjiah memandangnya tetap mukmin, maka Mu'tazilah berpandangan bahwa pelaku dosa besar tidak
bisa dianggap mukmin, tidak bisa juga dibilang kafir.

Posisi pelaku dosa besar berada di antara dua posisi tersebut, yaitu fasik. Orang fasik memiliki derajat
tersendiri, yaitu berada di bawah mukmin, namun di atas posisi kafir. Menurut Mu'tazilah, pelaku dosa
besar yang tidak bertobat dan meninggal dalam kefasikan akan dimasukkan ke neraka selama-lamanya,
namun hukumannya diringankan. Nerakanya tidak sepanas neraka yang dihuni oleh orang-orang kafir.

Sedangkan merujuk penjelasan Analiansyah dalam Jurnal Subtantia, Washil bin Atha’ berpendapat
bahwa orang yang melakukan dosa besar dan tidak bertaubat hingga meninggal, di hari akhirat kelak
akan berada di antara dua tempat (antara surga dan neraka). Tempat itu diistilahkan dengan Al-Manzilah
Baina Al-Manzilatain. Konsep tersebut kemudian menjadi salah satu doktrin Mu'tazilah yang paling
fundamental.

4. Amar Makruf, Nahi Munkar

Setiap muslim berkewajiban untuk mengajak kepada hal yang baik (amar makruf) dan melarang
perbuatan buruk (nahi mukar). Namun, saat aliran Mu'tazilah menjadi mazhab resmi pemerintahan
beberapa khalifah Dinasti Abbasiyah, penerapan prinsip menjadi sangat ekstrem.

Akibatnya, sejumlah ulama yang pendapatnya berseberangan dengan ajaran Mu'tazilah dipenjara dan
disiksa agar menyetujui paham aliran Mu'tazilah.

Salah seorang ulama kesohor yang terkena dampak siksaan dan kurungan penjara itu ialah Imam Ahmad
bin Hanbal yang menolak mengakui Al-Quran adalah makhluk seperti keyakinan Mu'tazilah.

5. Janji dan Ancaman (Al-Wa’du wa Al-Wa’id)

Allah SWT tidak akan pernah mengingkari janji dan ketentuannya. Jika seorang muslim berbuat baik,
maka balasannya adalah pahala dan surga. Sebaliknya, perbuatan buruk diganjar dengan dosa dan
balasan neraka.

Melalui akal, manusia diberi kemampuan untuk membedakan hal-hal baik dan buruk. Dengan kapasitas
akal, manusia bisa memahami perintah Allah SWT meskipun belum sampai kepadanya pengetahuan
agama.
Pemikiran Politik Mu’tazilah

Kelompok Mu’tazilah ini pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang
gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali.[7]

Mereka khususnya berusaha mengambil sikap yang lebih rasional dalam menanggapi terjadinya konflik
dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat.

Penamaan kelompok ini dengan sebutan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan-
perbedaan antara Washil Ibn Atha degan gurunya, Hasan al-Bashri, pada abad ke II H tentang penilaian
orang yang berbuat banyak dosa.[8]

Dalam hal ini Harun Nasution[9] menjelaskan bahwa banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah. Para ahli
sebenarnya telah mengajukan beberapa pendapat mereka, namun demikian belum ada kata sepakat
diantara mereka.

Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai
dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran-pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan
siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al-Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia
berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena
nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam
karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia.[10]

Abd al-Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya,
menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat
Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan
mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara
ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendir

Anda mungkin juga menyukai