Mahfud MD
Pada sub bab ini menjelaskan bahwa MPR yang semula merupakan lembaga tertinggi
negara kemudian diturunkan derajatnya menjadi lembaga negara biasa yang sejajar dengan
lembaga negara lainnya yaitu DPR dan DPD Presiden, BPK, MA, MK dan Komisi Yudisial.
dengan posisi MPR yang tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, maka peraturan
perundang - undangan di dalam tata hukum kita tidak lagi mengenal Tap MPR sebagai
peraturan atau regeling. Tap MPR yang merupakan peraturan perundang undangan derajat
kedua (setelah UUD), tidak dapat lagi dikeluarkan sebagai peraturan perundang undangan dan
tempatnya digantikan oleh Perppu yang semula menempati derajat ketiga, dalam hal ini
dikatakan masih dimungkinkan adanya Tap MPR, tetapi bukan lagi sebagai peraturan
(regeling) melainkan sebagai penetapan atau beschikking, seperti ketetapan tentang penetapan
wakil presiden menjadi presiden jiga presiden berhalangan tetap. Regeling diartikan sebagai
sifat umum sedangkan beschikking bersifat kongkrit. Kemudian pada sub bab ini menjelaskan
Tapp Sapujagat di mana Tap ini yang menutup semua Tap MPR yang bersifat mengatur dalam
arti tidak boleh ada lagi Tap MPR yang bersifat mengatur yaitu Tap No. 1/MPR/2003.
Pada periode 1945-1959, meskipun pernah berlaku sampai tiga macam UUD (UUD
1945 dan UUDS 1950), kehidupan politik berjalan sesuai kesepakatan dilihat dari sudut UUD
1945 (Peraturan Peralihan Pasal IV) pada awal perjalanan politik negara sangat memusat
ditangan Presiden. Pada Periode 1959-1966, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kehidupan
demokrasi merosot tajam dan yang muncul adalah sistem politik otoriter. Periode sistem
politik yang ke tiga yaitu periode 1966 sampai 1998 periode Orde Baru. Pada mulanya era orde
baru ini pun berlanjut di bawah sistem politik yang berubah sesuai ukuran konvensional diatas,
tetapi pada sub bab ini menjelaskan bahwa pada tahun 1966-1998 memiliki konfigurasi politik
otoriter dan karakter produk hukum yang ortodoks. Pada sub bab ini penulis sama sekali tidak
bermaksud mengatakan bahwa sistem politik yang demokratis hanya bisa dibangun di dalam
sistem pemerintahan parlementer seperti yang dianut di dalam konstitusi RIS 1949 dalam
UUDS 1950. Sistem politik yang demokratis dapat juga dibangun di dalam sistem presidensial
asalkan sistem hubungan kekuasaannya diatur dengan pembatasan dan mekanisme cheks and
balance secara ketat. Secara esensial pernyataan ini memunculkan otoriterisme selama
berlakunya UUD 1945 disebabkan banyaknya kelemahan pasal-pasal di dalam UUD 1945 yang
menjadi celah bagi otoriterisme. Kelemahan kelemahan UUD 1945 diidentifikasikan salah
satunya yaitu ketentuan-ketentuan yang memfokuskan kekuasaan pada lembaga eksekutif yang
dipimpin presiden, dikatakan secara praktis juga menjadi ketua lembaga legislatif karena jika
tidak mau menandatangani sebuah RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
pemerintah maka RUU tersebut tidak berlaku.
E. Demokratisasi Sebagai Syarat
Dalam sub bab ini memberikan simpulan dari keseluruhan isi buku ini yaitu “jika kita
ingin membangun hukum yang responsif maka syarat pertama dan utama yang harus dipenuhi
adalah demokratisasi dalam kehidupan politik”. Menurut penulis demokratisasi merupakan
perjalanan panjang sebuah negara yang menganut sistem demokratis dan mempunyai
pembelajaran proses politik yang panjang dilihat dari pernyataan dalam bab sebelumnya
mengenai perubahan- perubahan Undang – undang yang dinilai otoriter dan menjadi
demokratis, kemudian juga dijelaskan dimana Indonesia telah membuat struktur dan pola
hubungan kekuasaan negara dari sudut ketatanegaraan lebih menjamin tampilnya sistem politik
yang demokratis yaitu melalui amandemen konstitusi (1999-2002). Terdapat dua hal untuk
dapat mengaktualisasikan sistem yang demokratis yaitu :
Pertama, sistem demokrasi yang telah di kukuhkan melalui amandemen konstitusi
haruslah diikuti dengan moralitas atau semangat untuk mewujudkannya oleh
penyelenggara negara sebab seperti di kemukakan di atas sistem dan semangat
penyelenggaraan negara itu sama pentingnya.
Kedua, sebagai produk kesepakatan yang lahir dari keadaan dan waktu tertentu UUD
itu tidak boleh ditutup dari kemungkinan untuk diubah dengan usul dan terbaru, UUD
yang merupakan hasil amandemen pun harus membuka kemungkinan untuk
diamandemen lagi dengan resultan baru jika keadaan dan waktu menuntut
dilakukannya hal itu.
Dijelaskan bahwa aktualisasi ini dalam proses demokratisasi menuntut semangat bagi
para penyelenggara negara dan bagaimana sebuah produk hukum yang berdasarkan
kesepakatan harus membuka kemungkinan untuk adanya perubahan perubahan baru dan
bersifat dinamis. Dikatakan, meskipun begitu bukan berarti UUD dapat dengan mudah diubah
dengan resultan baru tanpa alasan, meskipun dapat diubah melalui resultan baru sesuai dengan
tuntutan waktu dan tempat, Undang - undang dasar dirancang dengan muatan isi dan prosedur
yang tidak mudah diubah. Perubahan hanya dapat dilakukan dengan alasan - alasan yang sangat
penting dan dengan prosedur yang tidak mudah. Dalam hal ini, disebutkan juga agar perubahan
undang undang dasar itu tidak diubah dengan mudah atas dasar kepentingan politik yang timbul
dari perubahan konfigurasi politik, maka para ahli konstitusi menyebutkan dua hal yang
penting yang harus diperhatikan
Pertama, adalah muatan konstitusi harus bersifat mendasar dan abstrak, memuat hal -
hal teknis dan kuantitatif agar tidak terlalu sering menghadapi tuntutan perubahan.
Kedua, Konsitusi harus memuat prosedur perubahan yang tidak mudah dilakukan
kecuali dengan alasan alasan yang sangat penting, dalam hal ini misalnya harus ada
ketentuan tentang jumlah minimal pengusul perubahan isi konstitusi dan korum
minimal dalam pengambilan keputusan untuk mengubah isi konstitusi tersebut dan juga
terdapat undang undang dasar yang perubahannya harus dilakukan melalui referendum.