Anda di halaman 1dari 5

Resume Buku Politik Hukum Prof. Dr.

Mahfud MD

Tema : Aktualisasi Temuan Pasca Reformasi


Kelompok : Mario
Jams
Opi Guseno
Fredy

A. Hubungan Kausalitas antara hukum dan Politik


Hubungan kausalitas antara politik dan hukum sebagai sub sistem kemasyarakatan
disebut-sebut hukum sebagai produk politik. Aktualisasi temuan pasca reformasi, di dalam bab
ke- sembilan ini terdapat lima sub bab yang akan dibahas mengenai temuan temuan yang terjadi
di saat reformasi dalam sub bab pertama yaitu hubungan kausalitas antara hukum dan politik,
di mana terdapat pada bab bab sebelumnya membuktikan bahwa hukum merupakan produk
politik. Pada sub bab ini menerangkan bahwa telah terjadi perubahan - perubahan politik yang
secara bergantian berdasarkan periode sistem politik. Dalam hal ini sebagai contoh pada saat
konfigurasi politik tampil secara demokratis maka produk produk hukum yang dilahirkan nya
berkarakter responsif, sebaliknya ketika konfigurasi politik tampil secara otoriter maka hukum
hukum yang dilahirkan- nya berkarakter ortodoks. Hubungan kausalitas ini berlaku untuk
hukum hukum publik yang berkaitan dengan disebut gezagsverhouding. Disebutkan bahwa
semakin kental muatan hukum dengan masalah hubungan kekuasaan maka semakin kuat pula
pengaruh konfigurasi politik terhadap hukum tersebut, dalam hal ini perkembangan hukum
hukum privat atau hukum hukum publik yang tidak berkaitan dengan gezagsverhouding dapat
berjalan secara linier tanpa secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan perubahan politik.
Pada sub tema ini mengambil contoh pada penpres no 11 tahun 1963 yang kemudian dijadikan
UU No. 11/PNPS/1963 (Tentang tindak pidana subversi) hal ini dilakukan oleh dua rezim yang
bertentangan yakni orde lama dan orde baru, yang kemudian UU No.11/PNPS/1963 ini baru
dicabut Setelah reformasi tahun 1998 karena memberi jalan bagi pemegang kekuasaan untuk
melakukan tindakan represif kepada siapa pun yang mengganggu posisi penguasa.

B. Perubahan Berbagai Undang – Undang


Dalam sub bab ini sedikit menjelaskan bagaimana terlihat hukum merupakan produk
politik dilihat dari perubahan undang undang yang terjadi pada saat orde baru ke reformasi,
terdapat empat contoh perubahan undang-undang yaitu :
 UU tentang partai politik dan golongan karya diganti dengan undang undang tentang
kepartaian di mana awal mula masyarakat di paksa untuk menerima dan memilih tiga
organisasi politik tanpa boleh mengajukan alternatif lain maka sekarang masyarakat
diperbolehkan membentuk partai politik yang eksistensi nya di parlemen bisa dibatasi
oleh rakyat melalui pemilu dengan diberlakukannya elektoral threshold dan
Parliamentary threshold.
 Undang - undang tentang pemilu yang menghapus porsi anggota DPR dan MPR yang
diangkat oleh presiden. Penyelenggaraan pemilu juga dilepaskan dari hubungan
struktural dengan pemerintah dari yang awalnya diselenggarakan oleh LPU atau
lembaga pemilihan umum yang diketuai oleh menteri dalam negeri kemudian dialihkan
ke komisi pemilihan umum atau KPU yang bersifat mandiri, ketentuan ini kemudian
dimasukkan dalam UUD 1945 hasil amandemen yakni dalam pasal 22E ayat 5 yang
berbunyi pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional tetap dan mandiri.
 Undang - undang tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD diubah sejalan
dengan perubahan undang undang tentang pemilu.
 Undang undang tentang pemerintahan daerah juga diganti berubah yang semula ber-
asas otonomi nyata dan bertanggung jawab menjadi batas otonomi luas dan yang secara
politik sentralistrik menjadi desentralistik. Asas otonomi luas ini bukan hanya
dituangkan dalam undang undang tentang pemerintahan daerah tapi juga dituangkan
dalam UUD empat lima hasil amandemen yakni pasal 18 ayat 5 yang berbunyi tentang
pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas luasnya kecuali urusan pemerintahan
yang diatur oleh undang undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

C. Penghapusan Tap MPR

Pada sub bab ini menjelaskan bahwa MPR yang semula merupakan lembaga tertinggi
negara kemudian diturunkan derajatnya menjadi lembaga negara biasa yang sejajar dengan
lembaga negara lainnya yaitu DPR dan DPD Presiden, BPK, MA, MK dan Komisi Yudisial.
dengan posisi MPR yang tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, maka peraturan
perundang - undangan di dalam tata hukum kita tidak lagi mengenal Tap MPR sebagai
peraturan atau regeling. Tap MPR yang merupakan peraturan perundang undangan derajat
kedua (setelah UUD), tidak dapat lagi dikeluarkan sebagai peraturan perundang undangan dan
tempatnya digantikan oleh Perppu yang semula menempati derajat ketiga, dalam hal ini
dikatakan masih dimungkinkan adanya Tap MPR, tetapi bukan lagi sebagai peraturan
(regeling) melainkan sebagai penetapan atau beschikking, seperti ketetapan tentang penetapan
wakil presiden menjadi presiden jiga presiden berhalangan tetap. Regeling diartikan sebagai
sifat umum sedangkan beschikking bersifat kongkrit. Kemudian pada sub bab ini menjelaskan
Tapp Sapujagat di mana Tap ini yang menutup semua Tap MPR yang bersifat mengatur dalam
arti tidak boleh ada lagi Tap MPR yang bersifat mengatur yaitu Tap No. 1/MPR/2003.

D. Perubahan Undang – Undang Dasar

Pada periode 1945-1959, meskipun pernah berlaku sampai tiga macam UUD (UUD
1945 dan UUDS 1950), kehidupan politik berjalan sesuai kesepakatan dilihat dari sudut UUD
1945 (Peraturan Peralihan Pasal IV) pada awal perjalanan politik negara sangat memusat
ditangan Presiden. Pada Periode 1959-1966, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kehidupan
demokrasi merosot tajam dan yang muncul adalah sistem politik otoriter. Periode sistem
politik yang ke tiga yaitu periode 1966 sampai 1998 periode Orde Baru. Pada mulanya era orde
baru ini pun berlanjut di bawah sistem politik yang berubah sesuai ukuran konvensional diatas,
tetapi pada sub bab ini menjelaskan bahwa pada tahun 1966-1998 memiliki konfigurasi politik
otoriter dan karakter produk hukum yang ortodoks. Pada sub bab ini penulis sama sekali tidak
bermaksud mengatakan bahwa sistem politik yang demokratis hanya bisa dibangun di dalam
sistem pemerintahan parlementer seperti yang dianut di dalam konstitusi RIS 1949 dalam
UUDS 1950. Sistem politik yang demokratis dapat juga dibangun di dalam sistem presidensial
asalkan sistem hubungan kekuasaannya diatur dengan pembatasan dan mekanisme cheks and
balance secara ketat. Secara esensial pernyataan ini memunculkan otoriterisme selama
berlakunya UUD 1945 disebabkan banyaknya kelemahan pasal-pasal di dalam UUD 1945 yang
menjadi celah bagi otoriterisme. Kelemahan kelemahan UUD 1945 diidentifikasikan salah
satunya yaitu ketentuan-ketentuan yang memfokuskan kekuasaan pada lembaga eksekutif yang
dipimpin presiden, dikatakan secara praktis juga menjadi ketua lembaga legislatif karena jika
tidak mau menandatangani sebuah RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
pemerintah maka RUU tersebut tidak berlaku.
E. Demokratisasi Sebagai Syarat

Dalam sub bab ini memberikan simpulan dari keseluruhan isi buku ini yaitu “jika kita
ingin membangun hukum yang responsif maka syarat pertama dan utama yang harus dipenuhi
adalah demokratisasi dalam kehidupan politik”. Menurut penulis demokratisasi merupakan
perjalanan panjang sebuah negara yang menganut sistem demokratis dan mempunyai
pembelajaran proses politik yang panjang dilihat dari pernyataan dalam bab sebelumnya
mengenai perubahan- perubahan Undang – undang yang dinilai otoriter dan menjadi
demokratis, kemudian juga dijelaskan dimana Indonesia telah membuat struktur dan pola
hubungan kekuasaan negara dari sudut ketatanegaraan lebih menjamin tampilnya sistem politik
yang demokratis yaitu melalui amandemen konstitusi (1999-2002). Terdapat dua hal untuk
dapat mengaktualisasikan sistem yang demokratis yaitu :
 Pertama, sistem demokrasi yang telah di kukuhkan melalui amandemen konstitusi
haruslah diikuti dengan moralitas atau semangat untuk mewujudkannya oleh
penyelenggara negara sebab seperti di kemukakan di atas sistem dan semangat
penyelenggaraan negara itu sama pentingnya.
 Kedua, sebagai produk kesepakatan yang lahir dari keadaan dan waktu tertentu UUD
itu tidak boleh ditutup dari kemungkinan untuk diubah dengan usul dan terbaru, UUD
yang merupakan hasil amandemen pun harus membuka kemungkinan untuk
diamandemen lagi dengan resultan baru jika keadaan dan waktu menuntut
dilakukannya hal itu.
Dijelaskan bahwa aktualisasi ini dalam proses demokratisasi menuntut semangat bagi
para penyelenggara negara dan bagaimana sebuah produk hukum yang berdasarkan
kesepakatan harus membuka kemungkinan untuk adanya perubahan perubahan baru dan
bersifat dinamis. Dikatakan, meskipun begitu bukan berarti UUD dapat dengan mudah diubah
dengan resultan baru tanpa alasan, meskipun dapat diubah melalui resultan baru sesuai dengan
tuntutan waktu dan tempat, Undang - undang dasar dirancang dengan muatan isi dan prosedur
yang tidak mudah diubah. Perubahan hanya dapat dilakukan dengan alasan - alasan yang sangat
penting dan dengan prosedur yang tidak mudah. Dalam hal ini, disebutkan juga agar perubahan
undang undang dasar itu tidak diubah dengan mudah atas dasar kepentingan politik yang timbul
dari perubahan konfigurasi politik, maka para ahli konstitusi menyebutkan dua hal yang
penting yang harus diperhatikan
 Pertama, adalah muatan konstitusi harus bersifat mendasar dan abstrak, memuat hal -
hal teknis dan kuantitatif agar tidak terlalu sering menghadapi tuntutan perubahan.
 Kedua, Konsitusi harus memuat prosedur perubahan yang tidak mudah dilakukan
kecuali dengan alasan alasan yang sangat penting, dalam hal ini misalnya harus ada
ketentuan tentang jumlah minimal pengusul perubahan isi konstitusi dan korum
minimal dalam pengambilan keputusan untuk mengubah isi konstitusi tersebut dan juga
terdapat undang undang dasar yang perubahannya harus dilakukan melalui referendum.

Anda mungkin juga menyukai